Top Banner
Acara V EKSTRAKSI KARAGENAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh: Nama : Christina Hanny S NIM : 13.70.0026 Kelompok B2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
22

KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Dec 09, 2015

Download

Documents

Lapres karagenan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara V

EKSTRAKSI KARAGENAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:

Nama : Christina Hanny S

NIM : 13.70.0026

Kelompok B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rumput laut basah ditimbang sebanyak 40 gram

Rumput laut dipotong kecil-kecil dan diblender dengan diberi air sedikit

Rumput laut blender dimasukkan kedalam panci

Rumput laut direbus dalam 1L air selama 1 jam dengan suhu 80-90oC

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, panci, kompor,

pengaduk, hot plate, glass beker, termometer, oven, pH meter, timbangan digital.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut (Eucheuma cottonii),

isopropil alkohol (IPA), NaOH 0,1N, NaCl 10%, HCl 0,1 N serta aquades

1.2. Metode

1

Page 3: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

pH diukur hingga netral yaitu pH 8 dengan ditambahkan larutan HCL 0,1 N atau NaOH 0,1N

Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kain saring bersih dan cairan filtrat ditampung dalam wadah.

Volume larutan diukur dengan menggunakan gelas ukur.

Ditambahkan NaCl 10% sebanyak 5% dari volume larutan.

Direbus hingga suhu mencapai 60oC

2

1. 2.

Page 4: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Endapan karagenan ditiriskan dan direndam dalam caira IPA hingga jadi kaku

3

Filtrate dituang ke wadah berisi cairan IPA (2x volume filtrat). Dan diaduk dan diendapkan selama 10-15 menit

Serat karagenan dibentuk tipis-tipis dan diletakan dalam wadah

Dimasukan dalam oven dengan suhu 50-60oC

Serat karagenan kering ditimbang. Setelah itu diblender hingga jadi tepung karagenan

Page 5: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

% Rendemen kemudian dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :Berat basah : 40 gram

Page 6: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Ekstraksi Karagenan

Kelompok Berat Awal (gr) Berat Kering (gr) % Rendemen

B1 40 3,05 7,625%B2 40 4,38 10,950%B3 40 3,99 9,975%B4 40 2,20 5,500%B5 40 1,90 4,750%

Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa berat kering yang dihasilkan pada setiap

kelompok berbeda-beda. Hasil tertinggi diperoleh pada kelompok B2, sedangkan pada

kelompok B5 diperoleh hasil yang terkecil. Hasil tersebut sebanding dengan besarnya

presentase rendemen yang dihasilkan.

5

Page 7: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. PEMBAHASAN

Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang diperoleh dari ekstraksi alga merah

(rhodophyceae) atau jenis rumput laut lainnya. Spesies Chondrus crispus merupakan

salah satu sumber utama karagenan yang paling banyak digunakan (Perreira & Velde,

2011). Secara kimiawi, karagenan merupakan polisakarida linear yang tersusun atas unit

galaktosa dan 3,6 anhydrogalactose dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara

bergantian (Zhou et al., 2008). Jenis karagenan ada 5 yaitu kappa, lambda, iota, nu, dan

tetha. Namun secara komersial, jenis karagenan yang biasa digunakan adalah karagenan

kappa, lambda, dan iota. Pembeda diantara masing-masing jenis karagenan tersebut

adalah pada posisi serta jumlah gugus sulfat yang mengikatnya. Perbedaan tersebut

tentu saja akan mempengaruhi sifat dan karakteristik dari masing-masing karagenan

(Markfoeld, 2002). Karagenan kappa dapat diperoleh dari spesies Kappaphycus

alvarezii, atau yang lebih sering dikenal dengan Eucheuma cottonii. Kemudian

karagenan iota diperoleh dari Eucheuma spinosum, sedangkan karagenan lambda

diproduksi dari spesies Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al., 2002). Dalam

penelitiannya Jonathan et al. (2010) menjelaskan bahwa karagenan jenis tetha

memberikan tingkat viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan karagenan

lambda. Oleh karena sifatnya tersebut, karagenan tetha tidak dapat dimanfaatkan

sebagai gelling agent dan thickener.

Karagenan kappa dan iota dapat terbentuk secara enzimatis oleh enzim sulfohydrolase

dengan adanya kehadiran masing-masing prekusor. Prekusor karagenan kappa yaitu mu,

sedangkan karagenan iota adalah nu (Markfoeld, 2002). Karagenan dapat membentuk

gel secara thermo-reversible. Hal ini terkait dengan strukturnya yang mampu

membentuk ikatan helix ketika terjadi peningkatan suhu (Winarno, 1990). Dalam

industri pangan, karagenan banyak dimanfaatkan sebagai emulsifier, stabilizier , gelling

agent, dan thickening agent (Zhou et al., 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi

sifat karagenan antara lain waktu, suhu dan pH pada saat pengekstraksian, keberadaan

senyawa kation dalam larutan, serta kondisi dan jenis karagenan itu sendiri (Montolalu,

2008). Menurut Velde & Ruiter (2002), kappa karagenan merupakan jenis karagenan

yang paling efektif sebagai gelling agent, sedangkan lambda karagenan sebagai

6

Page 8: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

stabilizer. Menurut Hunt & Park (2013) dalam Sung-Hwan Eom et al. (2013), dalam

industri pangan, karagenan biasanya diaplikasikan dalam produk susu dan olahannya,

serta produk olahan daging. Dalam pembuatan biskuit seperti crackers dan wafer,

karagenan ditambahkan untuk mendapatkan tekstur yang lebih renyah. Selain itu

karagenan juga dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi (kosmetik), industri non-

pangan, serta bioteknologi.

Pembuatan karagenan ini dilakukan dengan metode ekstraksi yaitu pemisahan suatu

komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut sebagai tenaga pemisahnya

yang dalam hal ini adalah larutan alkali (Treybal, 1981). Tahapan tersebut terbagi

menjadi 4 tahap utama yaitu tahap pengekstraksian, penyaringan, presipitasi dan

pengendapan (Bawa et al., 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi

antara lain jenis pelarut, perbandingan antara berat bahan dengan jumlah pelarut yang

digunakan, waktu dan temperatur ekstraksi, serta ukuran padatan yang diekstrak

(Distantina et al., 2011).

Dalam praktikum ini, digunakan rumput laut spesies Eucheuma cottonii. Eucheuma

cottonii merupakan kelompok kappa karagenan yang berasal dari edible red seaweed

yang kaya akan kandungan nutriennya serta kandungan senyawa fenolik yang mampu

menekan pertumbuhan sel kanker melalui kinerja dari antioksidan dan sifat

antipoloferative yang terkandung didalamnya (Shamsabadi et al., 2013). Mula-mula

rumput laut basah ditimbang beratnya sebanyak 40 gram, kemudian dihaluskan dengan

menggunakan blender dengan diberi penambahan air sebanyak 1 liter. Menurut Arpah

(1993) penghalusan rumput laut bertujuan untuk mempercepat proses ekstraksi.

Semakin kecil ukuran sampel maka akan semakin luas pula permukaan yang akan

kontak dengan pelarut. Kemudian rumput laut tersebut direbus (diekstraksi) selama 1

jam pada suhu 80-90°C. Perebusan dilakukan di atas kompor dengan api kecil dan

sesekali dilakukan pengadukan. Selama proses ekstraksi, suhu dan waktu pemanasan

ekstraksi merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hal ini untuk menghindari

terjadinya kegosongan dan pembentukan gel yang tidak sempurna (Fachruddin, 1997).

Apabila proses pemanasan dilakukan melebihi suhu optimal, maka akibatnya akan

terjadi degradasi biopolymer dalam struktur molekul karagenan yang menyebabkan

Page 9: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

adanya penurunan viskositas serta kekuatan pembentukan gel. Pembentukan gel terjadi

karena adanya penggabungan rantai-rantai polimer hingga terbentuk suatu jala tiga

dimensi yang saling bersambungan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pembentukan gel yaitu jenis karagenan yang digunakan, konsistensi, serta hadirnya ion-

ion dan pelarut yang dapat menjadi penghambat terbentuknya hidrokoloid (Distantina et

al., 2014). Selain dengan proses pemanasan, karagenan juga dapat diekstraksi secara

enzimatis, yaitu dengan menggunakan enzim selulase, atau dengan bantuan jamur

Aspergillus niger. Berdasarkan hasil yang didapat, Soovendran et al. (2009)

mengungkapkan bahwa ekstraksi dengan enzim selulase menghasilkan % rendemen

yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraksi dengan penggunaan jamur Aspergillus

niger.

Setelah direbus, karagenan didiamkan hingga suhunya mencapai 30°C. pH larutan

rumput laut diatur hingga menjadi pH 8 dengan penambahan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1

N. Hal ini telah sesuai dengan teori Bawa et al. (2007), bahwa polisakarida galaktosa

akan mengalami reaksi hidrolisis apabila dalam kondisi asam dan stabil dalam kondisi

basa. Namun jika larutan terlalu basa atau terlalu asam, maka struktur polimer gel

karagenan dapat terurai, sehingga % rendemen, kekuatan gel dan viskositas yang

dihasilkan akan rendah. Menurutnya pula, pH optimal Eucheuma cottonii yaitu antara

pH 8 – pH 8,5. Hasil penelitian Anisuzzaman et al. (2014) menunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi basa yang digunakan dalam ekstraksi, maka gel yang

terbentuk akan semakin kuat.

Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan menggunakan kain saring dan filtratnya

ditampung dalam wadah dan diukur volume filtrat yang ada. Menurut Earle (1969),

penyaringan bertujuan untuk memisahkan partikel yang ada di dalam cairan, dimana

banyaknya filtrat yang dihasilkan tergantung pada sifat dan bentuk partikel, serta

frekuensi pergerakan selama penyaringan. Cairan filtrat kemudian ditambah dengan

larutan NaCl 10% sebanyak 5% dari volume filtrat yang ada, dan dipanaskan kembali

hingga suhu mencapai 60°C. Satuhu (1996) menjelaskan bahwa penambahan NaCl

bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dari gel.

Page 10: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Tahap setelah dilakukan penyaringan adalah tahapan presipitasi dan pengendapan.

Filtrat yang telah dipanaskan kemudian dituang ke dalam wadah yang telah berisi 700

ml larutan IPA (Isopropil Alkohol), lalu diaduk terus menerus selama 10-15 menit

hingga terbentuk endapan karagenan. Larutan IPA adalah cairan yang dapat digunakan

untuk pemurnian karagenan karena karagenan tidak dapat larut dalam alkohol sehingga

karagenan akan terpresipitasi apabila direaksikan dengan larutan IPA (Distantina et al.,

2011). Presipitasi merupakan proses terbentuknya endapan dalam suatu senyawa

melalui suatu reaksi-reaksi kimia. Secara umum, presipitasi dalam isolasi karagenan

dibagi menjadi 2 jenis yaitu presipitasi alkohol dan presipitasi dingin dengan

pembekuan. Dibandingkan dengan presipitasi dingin, presipitasi alkohol lebih murah

dan cepat, sehingga lebih sering digunakan dalam penelitian (Food Chemical Codex,

1981). Presipitasi alkohol dilakukan dengan menggunakan etanol ataupun dengan

larutan IPA. Dalam aplikasinya, larutan IPA dianggap lebih aman, namun hasil yang

diberikan tidak lebih baik dari presipitasi dengan menggunakan etanol, hal ini karena

panjang rantai karbon etanol yang lebih pendek (Yasita & Rachmawati, 2010).

Endapan karagenan yang terbentuk kemudian diambil dan direndam ke dalam larutan

IPA hingga semua bagian terendam untuk mendapatkan serat yang lebih kaku. Serat

karagenan yang terbentuk kemudian dibentuk tipis-tipis dan diletakan di atas wadah

yang tahan panas untuk dipanaskan dalam oven selama 12 jam pada suhu 50-60°C.

Tujuan dilakukannya pengeringan antara lain menghilangkan kadar air yang

terkandung dalam serat karagenan (Aslan, 1998). Serat karagenan yang telah

dikeringkan kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi tepung

karagenan dan dihitung % rendemennya dengan rumus yang ada.

Dalam praktikum ini, kualitas karagenan dianalisa dengan mengukur % rendemennya.

Rendemen karagenan diartikan sebagai rasio antara berat kering karagenan dengan berat

basah rumput laut, dimana semakin tinggi nilai % rendemen maka semakin tinggi

kualitas karagenan yang dihasilkan (Hapsari, 2013). Departemen Dinas Perikanan

(2009) menetapkan standar minimal rendemen karagenan adalah 25%. Berdasarkan

standar tersebut maka hasil yang didapat dalam praktikum ini tergolong sangat kecil.

Hasil yang tertinggi diperoleh oleh kelompok B2 yang memiliki % rendemen sebesar

Page 11: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

10,95% dengan berat kering 4,38 gram. Kemudian diikuti oleh kelompok B3 dengan %

rendemen sebesar 9,975; B1 7,625%; B4 5,5%, dan B5 4,75%. Perbedaan hasil tersebut

dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni kurang optimalnya proses ekstraksi baik

dari segi suhu maupun lamanya proses ekstraksi berlangsung. Selain itu, kurang

optimalnya proses netralisasi mengakibatkan terurainya struktur polimer karagenan

(Bawa et al, 2007).

Penurunan kadar karagenan juga dapat terjadi selama proses pengeringan. Penggunaan

suhu dan waktu pengeringan yang kurang optimal menyebabkan produk berwarna

kecoklatan dan tidak sepenuhnya kering. Proses pengeringan dengan menggunakan

oven, sebagaimana yang digunakan dalam praktikum pada dasarnya memang tidak

begitu efektif. Hal ini karena proses penyaluran panas yang tidak sama rata, sehingga

mengakibatkan tingginya resiko degradasi polisakarida dalam karagenan. Proses

pengeringan karagenan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan spray dryer, karena

suhu yang digunakan relatif rendah dan dapat menghasilkan produk serbuk secara

langsung (Djaeni et al, 2012). Menurut Basmal et al. (2009) % rendemen sangat

dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu ekstraksi yang dilakukan. Penggunaan api

kompor yang terlalu besar serta waktu dan cara pengadukan yang terlalu cepat atau

terlalu lama akan mempengaruhi karakteristik karagenan yang dihasilkan.

Page 12: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. KESIMPULAN

Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang diperoleh dari ekstraksi alga merah

(rhodophyceae) atau jenis rumput laut lainnya.

Dalam praktikum ini, digunakan rumput laut spesies Eucheuma cottonii.

Eucheuma cottonii menghasilkan karagenan kappa.

Karagenan banyak dimanfaatkan sebagai emulsifier, stabilizier , gelling agent, dan

thickening agent.

Dalam industri pangan, karagenan biasanya diaplikasikan dalam produk susu dan

olahannya, produk olahan daging, serta biskuit.

Pembuatan karagenan dilakukan dengan metode ekstraksi.

Selama proses ekstraksi, suhu dan waktu pemanasan ekstraksi merupakan faktor

penting yang harus diperhatikan.

Polisakarida galaktosa akan stabil dalam kondisi basa, sehingga ekstraksi dilakukan

dalam kondisi basa (pH 8).

Penambahan NaCl dalam pembuatan karagenan bertujuan untuk meningkatkan

kekuatan dari gel.

Larutan IPA adalah cairan yang dapat digunakan untuk pemurnian karagenan.

Kualitas karagenan dianalisa dengan mengukur % rendemennya, dimana semakin

tinggi nilai % rendemen maka semakin tinggi kualitas karagenan yang dihasilkan.

Semarang, 26 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen

- Ignatius Dicky A.W

Christina Hanny S13.70.0026

11

Page 13: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. DAFTAR PUSTAKA

Arpah, M. (1993). Pengawetan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Aslan,M., (1998), ”Budidaya Rumput Laut”, Kanisius, Yogyakarta, hal. 89.

Basmal, J., Sedayu, B. B., Utomo, B. S. B. 2009. Mutu semi refined carrageenan (SRC) yang diproses menggunakan air limbah pengolahan SRC yang didaur ulang. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 4(1): 1-11.

Bawa, I.G.A.G, Puta, A.B, Laila, I.R. (2007). Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia Vol 1(1):15-20

Departemen Dinas Perikanan. (2009). Karaginan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Selawesi Tengah. Indonesia.

Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. (2011). Carrageenan Properties Extracted From Eucheuma cottonii, Indonesia. World Academy of Science, Engineering and Technology 54 : 738-742.

Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. 2014. Stabilization of Kappa Carrageenan Film by Crosslinking: Comparison of Glutaraldehyde and Potassium Sulphate as the Crosslinker. IPCBEE vol.74 IACSIT Press, Singapore.

Djaeni, M, Prasetyaningrum, Mahayana, A. (2012). Pengeringan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Pada Spray Dryer Menggunakan Udara yang di Dehumidifikasi dengan Menggunakan Zeolit Alat Tinjauan : Kualitas Produk dan Efisiensi Energi. Momentum Vol 8(2):28-34

Earle, R.L. (1969). Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Penerjemah: Zein Nasution. Sastra Hudaya, Bogor.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Food Chemical Codex. (1981). Carrageenan. National Academy Press Washington.

Hapsari, S.S.M. (2013). Ekstraksi Karaginan. Universitas Jendral Sudirman. Purwokerto.

Jonathan P. Doyle, Persephoni Giannouli, Brian Rudolph, and Edwin R. Morris. 2010. Preparation, authentication, rheology and conformation of theta carrageenan. Carbohydrate Polymers 80 (2010) 648–654.

12

Page 14: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Markfoeld, D. (2002). Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius. Jakarta.

Montolalu, R.I. (2008). Effect of Extraction Parameters on Gel Properties of Carrageenan from Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta). Journal of Applied Phycology Vol 20:525-526.

Perreira, L & F.V, Velde. (2011). Portugesse Carrageenophythes : Carrageenan Composition and Geographic Distribution of Eight Species (Gigartinales rhodophyta). Carbohydrate Polymer Vol 84(1):614-623.

S.M.Anisuzzaman, Awang Bono, Duduku Krishnaiah, Norazwinah Azreen Hussin, and Hong Ying Wong. 2014. Effects of Extraction Process Conditions on Semi Refined Carrageenan Produced by using Spray Dryer. Journal of Applied Sciences 14 (12) : 1283-1288.

Satuhu, S. (1996).Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Shamsabadi, F.T, Khoddami, A, Fard, S.G, Abdullah, R, Othman, H.H & S, Mohamed. (2013). Comparison of Tamoxifen with Edible Seaweed (Eucheuma cottonii L) Extract in Suppresing Breast Tumer. Institute of Bioscience Universitas Putra Malaysia. Malaysia.

Soovendran A/l Varadarajan, Nazaruddin Ramli, Arbakariya Ariff, Mamot Said, Suhaimi Md Yasir. 2009. Development of high yielding carragenan extraction method from Eucheuma Cotonii using cellulase and Aspergillus niger. Malaysia.

Sung-Hwan Eom, Jung-Ae Kim, Byoung-Yil Son, Dong Hyun You, Jeong Min Han, Jung-Hwan Oh, Bong-Yeun Kim and Chang-Suk Kong. 2013. Effects of Carrageenan on the Gelatinization of Salt-Based Surimi Gels. Journal of Fish Aquatic Science 16 (3), 143-147.Korea.

Treybal, R.E., (1981). Mass Transfer Operation, 3th ed., p.p. 34-37, 88, Mc Graw Hill International Editions, Singapore.

Van de Velde,.F.,Knutsen, S.H., Usov, A.I., Romella, H.S., and Cerezo, A.S., 2002, ”1H and 13 C High Resolution NMR Spectoscopy of Carrageenans: Aplication in Research and Industry”, Trend in Food Science and Technology, 13, 73-92.

Velde, F.V & Ruiter, G.A. (2002). Carrageenan in Biopolymers. Wiley-VCH. Germany.

Winarno, F.G. (1990). Teknologi Pengolahan Rumput Laut. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 15: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Yasita, D & I.D, Rachmawati. (2010). Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.

Zhou, M.H, Ma, J.S, Li, J, Ye, H.R, Huang, K.X & X.W, Zhao. (2008). A k-carrageenase from Newly Isolated Pseudoalteromonas-like Bacterium WZUC 10. Biotechnology and Bioprocess Engineering Vol 13:545-551.

Page 16: KARAGENAN_HANNY_13.70.0026_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganRumus :

Kelompok B1:

Kelompok B2:

Kelompok B3:

Kelompok B4:

Kelompok B5:

6.2. Diagram Alir

6.3. Laporan Sementara

6.4. Abstrak Jurnal

15