Top Banner

of 104

Jurnal Ilmu Pemerintahan Baru Koreksi Last

Jul 17, 2015

Download

Documents

Adi Pranadipa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

KATA PENGANTAR

Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, merupakan sebuah ruang apresiasi intelegensia yang dihadirkan oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan bagi pengembangan ilmu politik dan pemerintahan. Perkenankan redaksi pada edisi perdana ini, JIPP menghampiri ruang pembaca yang budiman dengan memuat tulisan-tulisan terpilih, tentunya dengan keragaman topik yang berkaitan dengan dinamika politik dan pemerintahan, yakni ; Analisa Politik kegagalan restorasi showa dalam peristiwa 26 februari 1936 ( studi tentang peran politik militer jepang pada pemerintahan showa, Demokrasi media massa dalam prinsip kebebasan, Pergeseran peran ideologi dalam partai politik, Keterlibatan kiai dalam pilkada (studi kasus pilkada di kabupaten banjarnegara tahun 2006), Analisis penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu, Pemberdayaan aparatur daerah (telaah teoritis terhadap kinerja aparatur daerah), Kebijakan pemerintah dalam pengendalian pencemaran air sungai siak (studi pada daerah aliran sungai bagian hilir, dan Khilafah dalam sistem pemerintahan islam. Kemudian, dengan kerendahan hati redaksi menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu redaksi dalam penyelesaian jurnal ini, dan tentunya redaksi Jurnal Ilmu Politik dan pemerintahan mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengguna jurnal atas kesediaan memberikan saran dan kritik bagi penyempurnaan jurnal ini, dan selamat membaca ! Tanjungpinang,10 Oktober 2011

Redaksi

i

KATA SAMBUTAN

Jurnal yang sampai di pembaca ini, merupakan jerih payah seluruh civitas akademika Program Studi Ilmu Pemerintahan yang didukung keluarga besar FISIP UMRAH. Jurnal ini merupakan hasil pergulatan pemikiran para penulisnya yang merupakan potret dari fenomena yang terjadi disekitar kita. Oleh karena itu, adalah wajar tulisan-tulisan yang hadir memiliki dinamika yang berbeda-beda, namun semuanya mengandung semangat yang sama, yakni mimbar akademis yang berkualitas. Kekuatan ini tentu perlu disyukuri bersama, karena dalam usianya yang masih sangat muda, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UMRAH mampu menghadirkan bacaan ilmiah untuk mengisi kekosongan bacaan serupa di Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal ini dapat menjadi media yang menarik untuk berdiskusi, baik di kalangan birokrasi, mahasiswa, ataupun masyarakat secara luas Luasnya jelajah empirik yang ada, juga menjadi bacaan yang menarik, karena studinya tidak hanya di wilayah Kepri, tapi juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia, sehingga suasana keindonesiaan juga terasa dalam jurnal ini. Akhirnya, semoga sedikit kontribusi dari Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UMRAH mampu meningkatkan mutu pendidikan civitas akademika UMRAH pada khususnya dan Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya. Selamat Menikmati. Wallahu alam bisshawab Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

Alim Bathoro, M.Si

iii

DAFTAR ISI

Analisa Politik Kegagalan Restorasi Showa Peristiwa 26 Februari (1936) (Studi Tentang Peran Politik Militer Jepang pada Pemerintahan Showa) ........... Kustiawan Demokratisasi Media Masa dalam Prinsip Kebebasan ................................ Jamhur Poti Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik ............................................ Iman Yudhi Prasetya Keterlibatan Kiai dalam Pilkada (Studi Kasus Pilkada di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006) .......................... Rudi Subiyakto Analisis : Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu .................................... Bismar Arianto Pemberdayaan Aparatur Daerah (Telaah Teoritis Terhadap Kinerja Aparatur Daerah) .................................... Agus Hendrayadi Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Pencemaran Air Sungai Siak (Studi Pada Daerah Aliran Sungai Siak Bagian Hilir) ............................................ N.A. Dwi Putri Khilafah Dalam Sistem Pemerintahan Islam .................................................. Oksep Adhayanto

1 - 16 17 - 29 30 - 40

41 - 50

51 - 60

61 - 67

68 - 79 80 - 98

v

ANALISA POLITIK KEGAGALAN RESTORASI SHOWA DALAM PERISTIWA 26 PEBRUARI (1936) (Studi Tentang Peran Politik Militer Jepang pada Pemerintahan Showa) Kustiawan1

Abstract This study was written with the political events in the military government in Japan. Political events which the writer suggested here is the event on 26 February 1936 or better known as Ni-ten-ni-roku-jiken. This event lasted for four days, from 26 to 29 February 1936. What is interesting in this event is the political thought of the perpetrators of the young officers of the rank of lieutenant to captain. Since the beginning of the Shoowa, Japan faces many difficulties that plagued the community, both in terms of economic, social, or political. Of the many people who feel they are not satisfied with the condition of the country at the time, came the young observer group from the armed forces. The difficulties that occur in the Japanese nation that encourages groups of young officers to think that Japan needs a restoration which they named Restoration Shoowa (Shoowa-Ishin), which means the national reorganization by way of revolution, an idea inspired by the success of restoration Meeji (Meeji -Ishin). Key Word : Restoration Shoowa,The young officers, The spirit of Japan, The Military, The Emperor

Pendahuluan Peristiwa politik yang penulis kemukakan disini adalah peristiwa pada 26 Pebruari 1936 atau lebih dikenal dengan nama Ni-ten-ni-roku-jiken. Gerakan yang terjadi pada masa pemerintahan Shoowa ini merupakan gerakan politik militer terbesar di Jepang selama abad ke-20. Peristiwa ini berlangsung selama empat hari, dari tanggal 26 sampai dengan 29 Pebruari 1936. Yang menarik dalam peristiwa ini adalah pemikiran politik pelakunya yaitu para perwira muda yang berpangkat letnan sampai kapten. Sejak awal masa Pemerintahan Shoowa, Jepang menghadapi berbagai kesulitan yang melanda masyarakatnya, baik dalam hal ekonomi, sosial, maupun politik. Masyarakat umum menganggap bahwa berbagai kesulitan itu terjadi akibat perilaku pemerintah yang berkolaborasi1

Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

1

dengan kaum zaibatsu, dengan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pihak zaibatsu untuk kepentingan pribadi bukan untuk kejayaan Jepang. Pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi berbagai kesulitan tersebut, bahkan kebijakan pemerintah dalam hal diplomasi luar negeri dinilai mengakibatkan kedudukan Jepang dipandang remeh oleh kekuatan Barat terutama Amerika dan Inggris. Dari sekian banyak masyarakat yang merasa tidak puas atas kondisi negeri saat itu, muncullah kelompok pemerhati muda yang berasal dari angkatan bersenjata, adalah sekelompok perwira muda yang berumur 22 tahun sampai 34 tahun. Kelompok perwira muda ini merasa terpanggil untuk melakukan usaha memperbaiki keadaan dalam negeri. kelompok perwira muda menganggap kenyataan yang dialami bangsanya saat itu disebabkan oleh ide-ide Barat yang telah terserap oleh orang-orang pemerintah. Kalau pengaruh pemikiran Barat ini dibiarkan, mereka khawatir itu akan merusak lembaga luhur kekaisaran yang unik. Berbagai kesulitan yang terjadi pada bangsa Jepang, mendorong kelompok perwira muda untuk berpikir bahwa Jepang membutuhkan sebuah restorasi yang mereka namakan Restorasi Shoowa (Shoowa-ishin) reorganisasi nasional dengan jalan revolusi , sebuah ide yang diilhami oleh keberhasilan Restorasi Meeji (Meeji-ishin). Untuk mencapai tujuan tersebut kelompok perwira muda membuat rencana aksi pemberontakan dan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah yang tidak mereka sukai. Sebelumnya berbagai aksi dilakukan oleh aktivis-aktivis lain yang pada umumnya berasal dari kelompok fanatik bersayap kanan, yaitu Peristiwa Maret (Sangatsu-jiken) dan Peristiwa Oktober (Juugatsu-jiken) di tahun 1931, Peristiwa Ketsumeedan (Ketsumeedan-jiken) dan Peristiwa 15 Mei (Go-ten-ichigo-jiken) di tahun 1932, Peristiwa November (Juuichigatsu-jiken) di tahun 1934, dan lain-lain. Namun, keseluruhan aksi tersebut gagal dan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Aksi para perwira muda pada 26 Februari 1936 merupakan aksi terbesar dan sekaligus terakhir dari serentetan aksi pada awal masa Shoowa. Kelompok perwira muda berharap pengaruh pem-baratan kehidupan sosial Jepang dalam segala segi akan hilang setelah cita restorasi berhasil. Para perwira muda ingin membawa semangat Jepang (Nihon-seeshin) untuk melakukan perubahan nasional dengan membentuk sistem pemerintahan dibawah kaisar. Untuk mencapai cita-citanya tersebut cara satu-satunya yang dapat mereka tempuh adalah kudeta. Ternyata kudeta yang mereka lakukan itu mengalami kegagalan dan cita-cita mulia mereka untuk membentuk sistem pemerintahan di bawah kaisar pun ikut gagal. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan diatas, maka timbul pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan, yaitu mengapa aksi yang dilakukan oleh kelompok perwira muda mengalami kegagalam dalam mewujudkan keinginannya? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memahami sampai sejauh mana pemikiran politik dalam militer Jepang khususnya para perwira muda Jepang dalam kontribusinya terhadap kemajuan bangsanya. Selanjutnya diharapkan menambah wawasan kita mengenai beberapa kejadian politik militer pada masa lampau di masa pemerintahan Shoowa Jepang dan juga dapat memperkaya informasi mengenai studi tentang peran politik militer Jepang pada masa Shoowa. 2Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan penyebab kegagalan Restorasi Showa pada gerakan politik 26 Februari 1936, Pendekatan kualitatif yang digunakan adalah pendekatan Grounded (penyusunan teori dari bawah), dimana penelitian ini bisa memahami secara komprehenshif tentang para perwira muda. Penyusunan Grounded Theory perlu dipahami tiga unsur dasar grounded theory yaitu konsep, kategori, dan proposisi. Konsep adalah suatu kajian dasar karena hal itu dibentuk dari konseptualisasi data berdasarkan teori yang disusun. Kategori didefinisikan sebagai kumpulan yang lebih tinggi dan lebih abstrak dari konsep. Sedangkan proposisi menunjukkan hubungan-hubungan kesimpulan. Antara satu kategori dan konsepkonsep yang menyertainya dan diantara kategori yang diskrit, unsur ini dinamakan hipotesis. (Lexy, 2007: 72,73). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yakni di Tokyo, Jepang, diantaranya markas granisun Angkatan Darat, Hotel Sanno, dan tempat kejadian peristiwa 26 Pebruari 1936. Penelitian ini dilakukan mulai pada saat penulis berkesempatan memperoleh beasiswa pertukaran mahasiswa selama satu tahun di universitas Chiba, Jepang, yaitu dari tanggal 01 Oktober 1998 sampai dengan tanggal 30 September 1999. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang menjadi perhatian penulis, yaitu data primer, dimana datadata dapat melalui observasi dan penulis menyusun berbagai keterangan dan menceritakan kembali apa yang telah dikemukakan oleh para pakar militer politik Jepang modern di dalam buku-buku tersebut sesuai dengan permasalahan penulis yang telah diketengahkan di depan, dengan sedikit memasukkan pandangan penulis sendiri. Sumber keterangan dan pembahasan yang dipaparkan di dalam penelitian ini sengaja tidak penulis sebutkan dalam teks kecuali yang dianggap perlu dan penting saja. Sedangkan data sekunder penulis dapatkan dari catatat dan mengedepankan pengunaan metode dokumentasi, dimana penulis mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa dokumen, buku, surat kabar, majalah, transkrip, prasasti, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa politik militer Jepang pada masa Shoowa. Pengunaan Dokumen Pengunaan dokumen ini dibedakan menjadi. Pertama, dokumen resmi. Kedua, dokumen pribadi, dan ketiga, kajian isi (Content Analysis). Guba dan Lincoln (19981:228) membedakan antara dokumen dan record. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa. Sedangkan dokumen ialah setiap bahan tertulis atau film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik (Lexy : 2007 : 216). Penelitian yang mengunakan dokumen resmi terbagi atas dokumen internal dan eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu. Sedangkan dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkanoleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, bulletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada mediaJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

3

massa (Lexy : 2007 : 219). Keterangan dan pembahasan di dalam penelitian ini diambil dari buku-buku dan dokumendokumen tentang Peristiwa 26 Pebruari dan tentang politik militer Jepang pada masa Shoowa. Penulis menyusun dan mendeskripsikan apa yang telah dikemukakan oleh para pakar politik militer Jepang modern di dalam buku-buku tersebut sesuai dengan permasalahan penulis yang telah diketengahkan di depan. Kerangka Teori Teori Konflik Menurut Paul Conn (Ramlan, 1992 : 154), situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict). Konflik menang-kalah adalah situasi konflik yang bersifat antagonistic sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Dalam hal ini yang terlibat konflik politik dalam sipil-militer adalah para perwira muda dan pemerintah yang berkuasa, yaitu Tenno keika, pemimpin tertinggi militer Jepang. Konflik menang-menang ialah suatu situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Ciri struktur konflik ini adalah dialog, konpromi, dan kerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan keuntungan kedua belah pihak. Intensitas konflik tidak sama artinya dengan konflik yang mengandung kekerasan. Intensitas konflik mengarah pada tingat keterlibatan para perwira muda dalam peristiwa 26 Pebruari 1936. Konflik yang mengandung kekerasan lebih merujuk pada akibat konflik daripada sebab-sebabnya. Termasuk senjata yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk menyatakan permusuhan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas dan violence (kekerasan) ada dua aspek, yaitu pertama segi eksternal. Aspek ini meliputi kondisi organisasi, stratifikasi social, kelas, dan kemungkinan perubahan status. Kedua segi internal, faktor yang mempengaruhi intensitas suatu konflik adalah besar-kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan, dan besar-kecilnya risiko yang timbul dari konflik tersebut. Teori Bangsa-Negara Pengertian bangsa dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah bangsa-negara (nation-state). Bangsa dalam bangsa-negara mencakup jumlah kelompok masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dalam suku bangsa. Kesamaan identitas cultural dalam suku bangsa lebih sempit cakupannya daripada identitas cultural dalam bangsa-negara. Ben Anderson, seorang ilmuwan politik dari Universitas Cornell merumuskan pengertian bangsa secara unik. Menurut Anderson, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat (Ramlan, 1992:42). Sedangkan Negara didefinisikan oleh beberapa ahli politik diantaranya Roger H.Soltau menyatakan bahwa negara adalah agen atau kewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Sedangkan menurut Harold J.Leski mengatakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat 4Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

memaksa yang secara sah lebih berkuasa daripada individu yang merupakan bagian dari masyarakat (Budiarjo;2003) . Negara dapat disimpulkan adalah Suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah. Negara bersifat memaksa, memonopoli, dan mencakup semua. Menurut Charles E Merriam fungsi negara adalah untuk keamanan ekstern , ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan, kebebasan (Budiarjo, 2003) Tinjauan Pustaka Kelompok Bersenjata (Militer) Ruling Class juga disebut political class (klas politik) dan dengan sendirinya politik menimbulkan persoalan kekuatan (power). Menurut F.A.M de Voltaire, mengatakan raja pertama adalah seorang tentara. Pada mulanya dalam sejarah umat manusia, golongan memerintah terdiri dari golongan militer (men of the sword) atau orang yang berpedang. Golongan ini berpartner dengan men of the pen (para cerdik pandai) seperti Ulama (Islam), gerejawan (katolik), para brahmana (Hindu). Militer adalah seorang ahli perang atau ahli menggunakan kekerasan. Tatanan masyarakat Jepang yang bisa dianalogkan dengan militer adalah kaum samurai. Samurai adalah sama dengan militer modern. Revolusi Meiji merupakan sukses golongan militer dalam upaya industrialisasi dan moderenisasi suatu Negara Asia. Rezim Meiji adalah adalah sebuah rezim kekaisaran tradisional yang berusia lama, yang secara cerdik mengunakan dukungan samurai bawahan untuk menghabisi riwayat dominasi sebuah kasta militer yang rapuh karena feodalisme yang korup dan irasional. Perwira Muda Kelompok perwira muda terbentuk pada pertengahan tahun 1920-an di Akademi Angkatan Darat Tookyoo. Pada waktu itu Kepala Akademi Militer dijabat oleh Mazaki. Semasa menjadi kepala sekolah itu, Mazaki selalu menanamkan pada siswanya pentingnya patriotisme dan nasionalisme. Untuk lebih memahami pengetahuan tentang nasionalisme, para siswa kemudian masuk Daigakuryoo.2 Setelah mereka benar-benar paham konsep nasionalisme, salah seorang penggerak para perwira muda Nishida Mitsugu bersama teman-temannya secara terselubung mendirikan Tenkentoo (nama organisasi untuk memperjuangkan reformasi) tahun 1927. Anggota kelompok intinya adalah Ookura Eeichi, Muranaka Kooji, Kooda Kiyosada, Andoo Teruzoo, Koono Hisashi, dan Suematsu Tahee. Selain itu terdapat juga pemimpin perwira muda angkatan laut Fujii Hitoshi dan Koga Kiyoshi (keduanya penentang Perjanjian Angkatan Laut London). Organisasi itu kemudian tidak bertahan lama. Pihak polisi militer mengumumkan bahwa organisasi itu dianggap ilegal kemudian dibubarkan. Meskipun organisasi Nishida dan kawan-kawan dibubarkan, anggota kelompok baik dari angkatan darat maupun angkatan laut telah memelihara hubungan yang baik. Pada tahun 1930 mereka pun sudah membentuk simpatisan di daerah-daerah. hubungan baik itulah yang menjadi2

Daigakuryoo merupakan sebuah lembaga penelitian yang mengajarkan nasionalisme. Lembaga ini didirikan oleh seorang sipil sayap kanan Ookawa Shuumee pada tahun 1923.

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

5

landasan kuat bagi mereka untuk melakukan aksi-aksi teroris selanjutnya. Pada perkembangan berikutnya, sekitar akhir tahun 1930 timbul gagasan para perwira muda untuk membuat sebuah restorasi yang mereka namakan Restorasi Shoowa. Ide itu muncul karena mereka ingin melakukan perubahan nasional untuk mengangkat harkat rakyat pedesaan yang menderita. Restorasi Showa Restorasi Shoowa (Shoowa-ishin), yang berarti reorganisasi nasional dengan jalan revolusi, sebuah ide yang diilhami oleh keberhasilan Restorasi Meeji (Meeji-ishin). Ide restorasi ini mengarah pada semangat nasionalisme Jepang yang mengagungkan keberadaan kaisar. Menurut J.S Mill (1806-1873) bahwa semangat restorasi atau nasionalitas sebagai kondisi esensial dari stabilitas dalam masyarakat politik ketika nasionalitas berisi perasaan tentang kepentingan bersama di antara mereka yang hidup di bawah pemerintahan yang sama. Semangat nasionalitas ditanamkan kaisar melalui konsep fasisme Jepang. Konsep fasisme Jepang tidak dapat dipisahkan dari Restorasi Meiji. Fasisme di Jepang dipelopori oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hirohito dan dikembangkan oleh Perdana Menteri Hideki Tojo. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai negara fasis, Kaisar Hirohito melakukan beberapa hal, yaitu mengagungkan semangat bushido, menyingkirkan tokoh-tokoh politik yang anti militer, melakukan perluasan wilayah ke negara-negara terdekat seperti Korea, Manchuria, dan Cina, memodernisasi angkatan perang, mengenalkan ajaran shinto Hakko I Chiu yaitu dunia sebagai satu keluarga yang dipimpin oleh Jepang. Berkembangnya negara-negara fasis seperti Italia, Jerman, dan Jepang membuat situasi politik di kawasan Eropa semakin menghangat, dan diwarnai dengan ketegangan yang mendorong terjadinya Perang Dunia II. Semangat bushido yang diagungkan dalam fasisme Jepang diartikan sebagai semangat berani mati. Semangat ini juga mencerminkan etos yang tinggi. Kondisi Perekonomian Jepang Terutama di Pedesaan Sejak awal pemerintahan Shoowa menyadari bahwa Perang Dunia Pertama berakibat sangat buruk terhadap situasi dalam negeri Jepang terutama perekonomian. Ketika Perang Dunia Pertama berakhir pada tahun 1919, dapat dikatakan perekonomian Jepang sudah mulai memburuk. Padahal, pada masa Perang Dunia Pertama perekonomian Jepang berkembang sangat pesat. Jepang berada di pihak Inggris, Francis, dan Rusia yaitu negara-negara yang menang perang. Sementara negara-negara Eropa sibuk dengan perang, Jepang yang merebut daerah jajahan Jerman di Shantung (Cina) dapat memperoleh keuntungan perdagangan di daerah itu. Pada waktu itu Jepang banyak menghasilkan produk industri tekstil (kain katun dan sutra), dan memajukan usaha Pengapalan, bidang usaha yang banyak didominasi negaranegara Eropa dulu. Pada bulan September tahun 1923, perekonomian Jepang terpukul lagi dengan terjadinya gempa bumi besar yang melanda daerah Kantoo. Gempa bumi itu menghancurkan daerahdaerah yang merupakan pusat industri Jepang, yaitu Tookyoo dan sekitarnya. Kondisi perekonomian Jepang yang terpukul berkali-kali itu mengakibatkan utang-utang bank menumpuk. Untuk mengatasi situasi tersebut, pada bulan April 1927 Perdana Manteri Tanaka Giichi menjalankan moratorium selama tiga minggu. Hal itu dilakukan pemerintah untuk memberi waktu pada bank yang bermasalah untuk mengatasi krisisnya. Dengan adanya moratorium itu, 6Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

krisis yang terjadi pada bank kecil dan menengah bisa diatasi dan uang nasabah pun menjadi selamat. Namun, krisis itu meninggalkan ketidakpercayaan masyarakat pada bank kecil dan menengah. Kebanyakan dana nasabah dipindahkan ke bank-bank besar, yaitu bank milik zaibatsu. Jadi, ketika rakyat kecil semakin menderita, justru zaibatsu semakin kuat. Hal itu mengakibatkan kesenjangan sosial antara yang miskin dan yang kaya semakin besar. Kesulitan hidup petani kecil itu ternyata juga bersamaan dengan kegagalan panen pada tahun 1931 di daerah Hokkaido dan Toohoku. Kemudian pada tahun 1934 terjadi kekeringan hebat yang menyebabkan kegagalan panen besar-besaran di daerah utara dan timur Jepang. Para buruh pabrik yang di PHK tersebut kebanyakan anak-anak muda pedesaan yang merantau ke kota. Namun, karena tidak bisa bekerja lagi di kota, mereka kembali ke desa, tetapi di desa pun mereka tidak ada pekerjaan dan tidak ada makanan. Akhirnya, anak laki-laki desa yang di PHK tadi berupaya agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada jalan lain saat itu kecuali menjadi tentara. Makanya, pada waktu itu banyak anak muda pedesaan berbondongbondong menjadi tentara nasional. Setelah anak-anak desa menjadi prajurit, atasannya yaitu para perwira muda yang kebanyakan berasal dari keluarga elit di perkotaan mendengarkan cerita prajurit bawahannya dan merasa tidak tega serta tidak sampai hati melihat betapa menderitanya rakyat pedesaan, kemudian mereka berusaha untuk melakukan sesuatu yang dapat mambantu rakyat pedesaan. Para perwira muda menganggap bahwa pederitaan rakyat desa itu akibat ulah para pejabat pemerintah yang mereka anggap penjahat. Nampaknya pemerintah sudah tidak mampu lagi mengatasi krisis ekonomi rakyat. Karena itu, para perwira muda yang dipimpin Isobe Asaichi dan kawan-kawan berpikir bahwa Jepang memerlukan sebuah restorasi dengan mengembalikan kekuasaan kepada kaisar yang suci. Inilah salah satu yang mendorong para perwira muda untuk melakukan Peristiwa 26 Pebruari [Kawara, 1990:63]. Pertentangan Antara Pemerintah Sipil dan Militer Sejak tahun 1924, pemerintahan Jepang dikuasai oleh orang-orang sipil. Hamaguchi, seorang sipil yang menjadi perdana menteri pada tahun 1929 merupakan orang yang sangat menentang militerisme. Pada bulan April 1930, pemerintah sipil di bawah Hamaguchi menandatangani Perjanjian Angkatan Laut London yang membatasi jumlah tonase kapal perang pelengkap. Perjanjian itu merupakan lanjutan dari perjanjian yang dibuat di Washington pada tahun 1922. Perjanjian yang diadakan di London ini diikuti oleh lima negara besar, yaitu Jepang, Amerika, Inggris, Prancis, dan Italia. Delegasi Jepang yang dipimpin oleh Wakatsuki Reejiroo dan Takarabe Takeshi menyetujui rasio tonase kapal perang pelengkap 10-10-6,975 untuk Amerika, Inggris, dan Jepang. Rasio tonase yang ditandatangani itu ternyata tidak sesuai dengan kehendak militer. Meskipun delegasi Jepang sudah memperjuangkan rasio 10-10-7, karena didesak oleh delegasi Amerika dan Inggris, akhirnya delegasi dan kabinet mengalah dengan rasio 10-10-6,975. Keputusan delegasi itu dibuat tanpa sepengetahuan kalangan militer [Sasaki, 1995:24]. Setelah perjanjian itu ditandatangani, munculah perdebatan antara militer dan kabinet. Kalangan militer yang merasa dilangkahi mempermasalahkan perjanjian itu dalam sidang diet. Mereka mengutuk tindakan pemerintah sipil yang terlanjur menandatangani perjanjian itu. Mereka membuat alasan dengan mengklaim bahwa pemerintah sipil sudah melanggar hak pengomandoan yang ada di tangan kaisar. Tindakan kabinet itu dinilai pihak militer sudah menyalahi konstitusi. Secara konstitusi Meiji yang berlaku saat itu, bahwa kaisar mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian-perjanjian, dan pihak militer bertanggung jawab kepadaJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

7

kaisar dalam masalah yang berkaitan dengan militer. Karena itu, menurut pihak militer, semestinya yang menentukan besar kecilnya persenjataan adalah militer, dan bilamana kabinet menandatangani perjanjian tentang persenjataan tanpa persetujuan militer, secara tidak langsung pemerintah sipil melanggar hak kaisar [Oouchi, 1984:279-282]. Di sisi lain, pemerintah sipil juga mempunyai alasan. Mereka menyatakan bahwa perjanjian itu merupakan masalah diplomasi yang seharusnya berada di tangan kabinet bukan militer. Akhirnya perjanjian itu diratifikasi sebagaimana yang diingini oleh kabinet, tetapi masalah ini meninggalkan permusuhan yang mendalam di antara pemerintah sipil dan militer beserta kelompok sayap kanan. Terutama kelompok sayap kanan tidak menerima dan tidak memaafkan tindakan pemerintah yang dianggap melangkahi wewenang kaisar. Setelah perjanjian Angkatan Laut London itu diratifikasi, di dalam tubuh angkatan laut muncul dua kubu yang saling bertentangan. Dua kubu itu adalah Jooyakuha yang merupakan faksi yang menyetujui perjanjian itu dan Kantaiha yang tidak hanya tidak menyetujui perjanjian itu, tetapi juga menentang adanya pembatasan jumlah tonase. Jooyakuha didukung oleh orang-orang yang berkuasa di pemerintah seperti Hamaguchi, Takarabe (menteri angkatan laut), Wakatsuki (mantan perdana menteri), dan Okada Keesuke (anggota dewan tertinggi militer)3. Sedangkan Kantaiha didukung oleh Kepala Staf AL (gunreebusoochoo) Katoo Kanji, para perwira muda angkatan darat dan angkatan laut. Dalam perselisihan itu, kelompok Kantaiha akhirnya lebih dominan (Sasaki, 1995:24). Setiap kali tentara di lapangan mau bergerak maju, ada saja gangguan dari pemerintah sipil yang selalu menghalang-halangi kehendak tentara itu. Pimpinan militer termasuk menteri AD ketika itu memang berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Di satu sisi mereka sangat setuju dengan usulan perwira di lapangan, tetapi di lain sisi juga harus tunduk kepada keputusan pemerintah. Perpecahan dalam Angkatan Darat Sekitar tahun 1931, dalam tubuh militer terutama angkatan darat mulai terjadi perpecahan. Sejak saat itu tubuh militer sendiri terpilah menjadi dua faksi yang saling berseteru untuk memperebutkan posisi periling dalam angkatan darat dan pemerintah. Dua faksi yang berlawanan itu adalah faksi bernama Koodooha dan Tooseeha. Posisi penting dalam militer itu adalah jabatan menteri AD. Jabatan menteri AD itu memang merupakan posisi yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan siapakah yang duduk dalam jabatan strategis di AD. Faksi Koodooha sebenamya sudah ada sejak tahun 1920-an. Pada waktu itu yang mencetuskan Koodooha adalah Araki Sadao dan Mazaki Jinzaburoo. Araki mencetuskan nama Koodooha yang asal katanya dari koo yang berarti kaisar dan doo yang berarti jalan. Dari nama itu dapat disimpulkan bahwa, mereka adalah orang-orang yang fanatik kepada kaisar. Ada beberapa orang Koodooha yang pernah mengajar di Akademi Angkatan Darat,4 bahkan Mazaki dan Araki pernah menjadi kepala sekolah di akademi itu. Semasa menjadi guru, Mazaki dan Araki selalu mengajarkan pada anak didiknya pemahaman ciri khas negara Jepang yang memiliki lembaga kekaisaran dan menanamkan nasionalisme yang berdasarkan kesetiaan kepada kaisar. Usia yang masih muda dan sifat patriotis, menjadikan siswa-siswa mereka sangat antusias menanggapi ajaran-ajaran itu, sehingga mereka, Araki dan Mazaki, pun menjadi populer3

4

Dewan Tertinggi Militer itu terjemahan dari gunji-sangi-in. Dewan ini mempunyai kedudukan yang istimewa dalam militer, sehingga setiap keputusan dewan mempunyai pengaruh yang kuat dalam militer. Istilah Jepangnya adalah Tookyoo-rikugun-daigakkoo

8

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

di kalangan para siswa dan para perwira muda lulusan akademi itu. Jadi, Koodooha itu lama-lama menjadi besar karena didukung oleh para perwira muda yang fanatik. [Shillony, 1973:14-18]. Orang-orang Koodooha selalu menganggap bahwa esensi negara Jepang berada pada kaisar yang bersifat mulia dan mutlak yang tiada taranya. Menurut mereka, kaisar merupakan pewaris sejarah dan mempunyai kedudukan tersendiri dalam struktur negara sebagai keturunan dewa. Mereka menentang pemikiran Barat yang mempengaruhi pejabat pemerintah, para politisi, dan perwira tinggi militer. Bagi mereka, konsep Barat yang menganggap kaisar hanya sebagai salah satu jabatan itu sudah sangat merendahkan keberadaan lembaga kekaisaran. Karena itu, Mazaki dan kawan-kawan mengutuk pengaruh pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan ciri khas negara Jepang di bawah Kaisar Yang Mulia. Menurut mereka, pengaruh pemikiran Barat itu tercermin dalam sikap para politisi yang korup, kaum konglomerat yang mementingkan diri sendiri, dan adanya dominasi klan tertentu dalam militer. Para perwira muda yang bergabung dengan kelompok Koodooha itu lama-lama semakin fanatik. Kemudian mereka merencanakan untuk melakukan perubahan, yaitu membentuk pemerintah militer dengan cara kudeta pada tahun 1930. Melihat radikalisme Koodooha, muncul kelompok lain yang terkenal dengan nama Tooseeha sebagai tandingannya. Anggota kelompok ini sebagian besar perwira-perwira tinggi yang berpangkat kolonel sampai jendral yang berpengalaman, bukan perwira-perwira yang muda. Orang-orang Tooseeha itu sebagian besar lulus sekolah akademi militer di Barat. Mereka berwawasan lebih luas, pintar dalam masalah politik, dan ahli dalam membuat strategi aksi militer. Tooseeha sebagai kelompok pengimbang dari Koodooha itu bermaksud mengontrol tindakan para perwira muda Koodooha yang menyimpang dari kedisiplinan militer. Mereka sementara lebih cenderung memihak pemerintah. Memang mereka pun prihatin terhadap keadaan negara Jepang yang terpuruk dan menginginkan membentuk pemerintah militer, tetapi mereka tidak menginginkan perubahan yang drastis melalui revolusi atau kudeta sebagaimana yang diinginkan oleh para perwira muda Koodooha. Tooseeha menginginkan perubahan secara bertahap tanpa gejolak yang besar. Pada bulan November 1934, perseteruan antara Koodooha dan Tooseeha itu semakin memuncak. Pada waktu itu menteri AD memerintahkan polisi militer untuk menangkap Isobe Asaichi dan Muranaka Kooji yang merupakan pimpinan perwira muda Koodooha. Mereka dituduh merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintah bersama dengan siswa-siswa akademi militer. Peristiwa penangkapan terhadap Isobe dan kawan-kawan ini disebut dengan Peristiwa November (Juuichigatsu-jiken) (tentang peristiwa ini lihat halaman 33). Tuduhan yang ditujukan terhadap mereka itu tidak tepat dan tidak ada bukti yang kuat atas isu keterlibatan mereka itu. Sebenarnya tuduhan itu hanyalah dibuat-buat oleh orang-orang Tooseeha agar Koodooha tersingkir. Mereka merekayasa penangkapan itu. Padahal, Isobe dan Muranaka sama sekali tidak mempunyai maksud untuk melakukan kudeta. Akhirnya pada bulan Maret 1935, Isobe dan Murakana dipecat dari dinas aktif militer. Setelah dipecat, Isobe dan Muranaka yang merasa tersingkirkan itu membuat pamflet dan menyebarkannya ke tempat-tempat umum. Pamflet yang berjudul Beberapa Pandangan mengenai Usaha Perbaikan Angkatan Darat (Shukugun ni kansuru ikensho) itu berisi kecaman terhadap sikap perwira tinggi Tooseeha yang menyulut terjadinya perpecahan dalam AD. Pamflet yang membocorkan rahasia-rahasia di dalam AD itu berakibat buruk bagi Koodooha di luar sangkaan mereka karena sejak saat itu, Tooseeha selalu meningkatkan pengawasan terhadap perwira-perwira muda Koodooha. Pada tanggal 16 Juli 1935, menteri AD melakukan mutasi di jajaran perwira tinggi angkatanJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

9

darat. Yang dimutasi adalah Mazaki (pemimpin Koodooha). Ketika itu Mazaki dipecat dari jabatan inspektur jendral pendidikan militer. Hal ini merupakan pukulan fatal bagi Koodooha. Mutasi yang diperintah oleh menteri AD sudah sesuai dengan hukum yang berlaku ketika itu. Tetapi, Mazaki yang bersikeras tidak mau menurut malah sengaja membocorkannya kepada para perwira muda dengan mengklaim bahwa pemecatan itu tidak sah, hanya dibuat-buat oleh orangorang Tooseeha atas prakarsa Nagata dan Hayashi untuk menyingkirkannya. Setelah itu, Mazaki membocorkan peristiwa pemecatannya disertai cerita-cerita rekayasa sendiri yang membenarkan posisinya kepada para perwira muda Koodooha yang sangat fanatik. Para perwira muda yang mendengarkan itu menjadi marah dan bermaksud untuk melakukan tindakan balasan dengan mengancam orang-orang Tooseeha. Setelah Peristiwa November dan pemecatan Mazaki, kekecewaan para perwira muda Koodooha sulit untuk dikendalikan. Pada tanggal 12 Agustus 1935, seorang perwira muda yang bernama Aizawa Saburoo membunuh Nagata Tetsuzan yang dianggap dalang atas tersingkirnya para perwira tinggi Koodooha seperti Peristiwa November 1934 dan pemecatan Mazaki pada bulan Juli 1935. Sejak pertengahan bulan Agustus 1935 itu, para perwira muda yang merasa tersingkir mulai memikirkan rencana kudeta secara lebih kongkret untuk membinasakan pejabat pemerintah dan orang-orang Tooseeha. Rentetan peristiwa mulai dari Peristiwa November, pemecatan Mazaki sampai pembunuhan Nagata itu lama-lama mendorong para perwira muda Koodooha untuk membuat rencana aksi kudeta yang nyata sebagai satu-satunya pemecahan atas keadaan serba buntu yang dialaminya [Oouchi, 1984:407]. Gerakan 26 Pebruari : Gerakan Politik Para Perwira Muda Setelah tiga bulan lebih melakukan persiapan demi persiapan dengan semangat sebagai patriot, akhirnya seluruh kelompok perwira muda berketeguhan hati untuk melakukan aksi pembunuhan terhadap penjahat-penjahat pada tanggal 26 Pebruari 1936. Pada tanggal 26 Pebruari, di pagi yang bersalju, sekitar pukul 02.00 dini hari, sebuah terompet dibunyikan di markas militer resimen infantri pertama di Roppongi, resimen infantri ketiga di Azabu, dan resimen infantri ketiga pasukan khusus pengawal istana di Akasaka. Suara terompet itu menandakan dimulainya sebuah aksi kudeta besar pada masa Shoowa. Beberapa perwira aksi memimpin apel besar dan mengumumkan kepada prajuritnya bahwa pagi itu akan diadakan aksi penyerangan ke pusat pemerintahan Tookyoo untuk membinasakan para penjahat yang telah membuat rakyat menderita. Bendera yang berslogan Sonnoo Tookari5 dikibarkan. (Shillony, 1973:135). Dampak Politik Yang Ditimbulkan 1. Dampak Hukum dan Politik Terhadap Perwira Muda Pada tanggal 1 Maret, menteri angkatan darat menyatakan bahwa para perwira muda yang terlibat dipecat dengan resmi dari dinas militer. Beberapa hari kemudian kaisar menunjuk Hirota Kooki sebagai perdana menteri yang baru menggantikan Okada. Hirota yang juga termasuk Tooseeha menunjuk Terauchi Hisaichi sebagai Menteri AD yang baru. Terauchi mempunyai tugas menyelesaikan kasus para perwira muda yang melakukan kudeta terhadap negara. Pada tanggal 4 Maret Menteri AD membentuk Dewan Mahkamah Militer Istimewa (Tokubetsu5

Istilah Soonoo Tookan dalam bahasa Indonesia berarti hormati kaisar, hancurkan pengkhianat negara.

10

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

gunpoo-kaigi) dan memutuskan bahwa sidang mahkamah militer itu rahasia, tidak terbuka untuk umum, dan menunjuk Ishimoto Torazoo sebagai ketua hakim yang mengadili para perwira muda. Setelah kurang lebih 1400 orang yang terlibat diintrogasi, berdasarkan bukti yang ada, Dewan Mahkamah Militer Istimewa memutuskan bahwa hanya 123 orang yang dinyatakan bersalah dan dijadikan terdakwa, yaitu 19 orang perwira muda, 74 orang bintara, 19 orang prajurit tanpa pangkat, satu orang pumawirawan, dan 10 orang sipil [Takahashi, 1965:179]. Pada tanggal 28 April, mulai diselenggarakan persidangan bagj 19 orang perwira muda. Di bawah dewan hakim yang diketuai oleh Ishimoto, para perwira muda tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk mengungkapkan motif mereka. Kawashima yang mewakili perwira tinggi Koodooha mengatakan bahwa para perwira muda sudah melakukan kesalahan besar, yakni mengerahkan tentara nasional tanpa perintah dari pimpinan militer dan juga tidak menuruti perintah Kaisar agar menarik diri dari lokasi yang sudah diduduki. Padahal mereka mengetahui bahwa orang yang melawan perintah kaisar adalah pembangkang. 2. Menguatnya Kekuasaan Tooseeha Setelah gerakan militer para perwira muda, Tooseeha berhasil mengokohkan kekuatan mereka di dalam AD. Tooseeha merupakan kumpulan orang yang mempunyai wawasan yang luas di diet, bahkan sampai tahun 1945 yang menjadi perdana menteri selalu dari angkatan darat. Ditunjuknya Terauchi sebagai Menteri AD dan Sugiyama sebagai kepala staf AD semakin menambah kekuatan Tooseeha dalam militer. Di bawah kekuasaannya, orang-orang Tooseeha mengadakan pembersihan di lingkungan angkatan darat terutama terhadap Koodooha. Semua anggota Koodooha yang terlibat itu ditahan dan dikucilkan. Tooseeha memecat dan mengucilkan pemimpin Koodooha, yaitu Mazaki, Araki, dan lain-lain sampai beberapa tahun. Hasil Penelitian 1. Sikap Kaisar terhadap Gerakan Politik Para Perwira Muda Ketika berita terjadinya aksi pembunuhan pada pagi hari tanggal 26 Pebruari terdengar oleh kalangan istana, kaisar menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Kaisar dengan muka masam mengatakan para pelaku pembunuhan itu adalah pengkhianat negara. Kawashima yang datang untuk melaporkan tentang adanya peristiwa berdarah itu menyela dengan mengatakan bahwa tindakan perwira muda itu didasari oleh kesetiaan mereka kepada kaisar yang mulia dan negara yang suci. Dengan sikap yang tegas, kaisar memerintahkan Kawashima agar segera menumpas pemberontak dan dengan nada yang marah mengatakan, Mereka telah membunuh para pembantu kepercayaan saya. Motif mereka sebaik apapun pembenaran apa yang dapat diterima atas kebrutalan tindakan mereka? Saya memerintahkan untuk menumpas pemberontak itu segera. Honjoo Shigeru yang khawatir bahwa penggunaan kata pemberontak akan menimbulkan rasa tidak senang di kalangan militer menyela, Mungkin Paduka Yang Mulia berkenan mempertimbangkan penggunaan kata pemberontak. Akan tetapi kaisar tetap pada pendiriannya dan berkata, Tentara yang bertindak tanpa perintah saya bukanlah prajuritku. Mereka adalah pemberontak! (Kawara, 1990:I72). Sikap kaisar di atas terlihat sangat berbeda dengan sikap sebelumnya yang selalu patuh terhadap apa yang diingini oleh pihak militer. Kaisar mengritik keras pekerjaan perwira tinggi militer yang lambat memberikan komando kepada pasukannya untuk menumpas para pemberontak. Kaisar Hirohito adalah seorang yang pintar, ramah, menghormati pembantuJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

11

terdekatnya, tetapi juga kadangkala tidak tegas dalam bertindak. Namun dalam Peristiwa 26 Pebruari ini, kaisar memperlihatkan sikap yang tegas yang terkesan berbeda dari biasanya. Semenjak hari pertama sampai selesai pemberontakan, kaisar selalu bersikap tegas dan marah. Menurut penulis, kemarahan kaisar yang diperlihatkannya sejak hari pertama sampai selesainya pemberontakan itu lebih disebabkan karena dia merasa sangat dirugikan atas terbunuhnya para pembantu kepercayaannya. Melihat usianya yang begitu muda (berumur 34 tahun), kaisar memang belum berpengalaman dalam memimpin negara. Pada waktu itu kaisar yang hanya mempunyai keahlian dalam bidang biologi harus mengandalkan sesepuh-sesepuh baik militer maupun sipil seperti Makino, Saitoo, Suzuki, Honjoo, Araki, dan yang lainnya. Kepada para sesepuh militer itulah kaisar selalu minta petunjuk dan nasehat dalam mengatasi persoalanpersoalan negara. 2. Sikap Perwira Tinggi Militer Setelah melihat sikap kaisar yang tegas, Dewan Tertinggi Militer (Gunji-sangi-iri) mulai mencari akal untuk menyelesaikan aksi para perwira muda. Untuk mencegah situasi dalam negeri agar tidak memburuk, pada sore hari tanggal 26 Pebruari anggota dewan segera mengadakan pertemuan. Keputusan rapat Dewan Tertinggi Militer itu menjadi sah dan memiliki wewenang jika rapat itu dibuka atas permintaan kaisar yang merupakan panglima tertinggi militer. Namun rapat dewan kali ini diselenggarakan bukan atas permintaan kaisar tetapi atas inisiatif anggota dewan yang memihak Koodooha. Dengan demikian, dilihat dari segi hukum rapat dewan tersebut sama sekali tidak memiliki wewenang apa-apa. Bagaimanapun, rapat dewan tetap juga diadakan dan dihadiri oleh 12 orang jenderal dan 3 orang letnan jenderal. Antara 15 orang yang hadir itu terdapat dua faksi yang berbeda, yaitu faksi yang pro pemberontak dan faksi yang anti pemberontak. Faksi yang pro pemberontakan ada 12 orang, yaitu Menteri Angkatan Darat Jendral Kawashima, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Fushimi-no-miya, Kepala Garnisun Tookyoo Letnan Jendral Kashii Kohee, Kepala Badan Intelijen Angkatan Darat Letnan Jenderal Yamashita Tomoyuki, dan mantan pejabat tiga besar angkatan darat yaitu Mazaki, Araki, Hayashi, Terauchi, Nishi Gi ichi, Asaka-no-miya, Ueda Kenkichi, dan Abe Nobuyuki. Sementara itu, faksi anti pemberontakan ada tiga orang, yaitu Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Sugiyama, Menteri Angkatan Laut Laksamana Oosumi Mineo, dan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Shimada Shigetaroo. Jadi, dapat di katakan rapat itu didominasi oleh kelompok yang mendukung pemberontak. Kelompok perwira muda telah mendengar perintah kaisar itu secara tidak resmi. Mendengar perintah kaisar, kelompok perwira muda sangat terkejut karena tidak menyangka sama sekali kalau kaisar bersikap begitu dingin terhadap mereka. Dalam situasi tertekan tersebut, kelompok perwira muda dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menuruti perintah kaisar dan kembali ke komando komandan mereka masing-masing, atau tetap mempertahankan posisi mereka sekarang. Jika kelompok perwira muda mematuhi perintah kaisar, itu berarti mereka kalah dan tentunya cita-cita restorasi akan hilang. Tetapi jika mereka tetap keras kepala untuk mempertahankan posisi sekarang, maka Isobe dan kawan-kawan akan menjadi musuh kaisar. Mana yang harus mereka pilih? Para perwira muda bingung untuk menentukan sikap mereka selanjutnya. Pada waktu itu di antara para perwira muda sendiri ada yang ingin mundur dan ada pula yang ingin maju. Kita sudah terlanjur melakukan aksi. Jadi mau tidak mau kita harus tetap maju untuk mencapai citacita suci restorasi sampai berhasil. Akhirnya mereka menyatukan pendapat dan memutuskan 12Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

untuk tetap meneruskan aksi. Sementara itu, kaisar yang mengeluarkan hoochoku-meeree pada pagi hari tanggal 28 Pebruari masih menunggu-nunggu penumpasan terhadap pemberontak. Namun sampai siang hari tanggal 28 Pebruari ternyata penumpasan itu belum juga dilaksanakan oleh pimpinan militer. Kepada kaisar dilaporkan bahwa penundaan itu terjadi karena evakuasi penduduk sipil dari lokasi yang diduduki pemberontak memakan waktu lama. Padahal alasan itu hanya dibuat-buat pimpinan militer. Maka pada malam hari tanggal 28 Pebruari kaisar yang tidak sabar lagi memanggil Honjoo dan mengatakan jika pimpinan militer belum juga bergerak melakukan penumpasan, maka dia sendiri akan maju dengan membawa pasukan pengawal istana dan menumpas pemberontak. Pagi-pagi tanggal 29 Pebruari itu, pimpinan militer pertama-tama membujuk dan mengajak melalui pamflet-pamflet, balon-balon pengumuman yang digantungkan di pesawat, dan melalui siaran radio agar para tentara pembangkang menyerahkan diri dan kembali ke baraknya masingmasing. Salah satu ajakan yang disiarkan langsung melalui radio pada pukul 06.00 pagi hari tanggal 29 Pebruari berbunyi sebagai berikut. Kalian pasti percaya bahwa perintah-perintah dari atasan adalah benar dan kalian telah benar dalam mematuhinya dengan baik. Tetapi, Kaisar Yang Mulia telah memerintahkan kamu semua kembali ke barakmu masing-masing. Kalian harus mematuhi ucapan Yang Mulia. Jika menentang maka kalian selamanya akan dianggap sebagai pemberontak. Saat saya bicara ini belum terlambat untuk menyerahkan diri. Turunkan senjatamu dan kembalilah ke unitmu masing-masing, maka kalian akan dimaafkan [Kawara, 1990:78] Mendengar himbauan itu, tentara-tentara yang terlibat pemberontakan goyah hatinya dan mulai ada yang menyerah. Sampai pukul 11.30 tanggal 29 Pebruari semua tentara pemberontak sudah menyerah kecuali 200 tentara di bawah komando Kapten Andoo di Sannoo-hoteru. Namun tentara Andoo pun pada akhirnya menyerah pada siang hari pukul 14.00. Jadi, pada pukul 14.00 itu tentara pemberontak tidak ada yang tersisa dan semuanya sudah menyerah. Jadi, dari awal sampai akhir para perwira muda yang terlalu muda dan kurang berwawasan luas itu terus menerus dipermainkan oleh para perwira tinggi. 3. Kemarahan Kalangan Perwira Tinggi Angkatan Laut Pada malam hari tanggal 26 Pebruari, kalangan perwira tinggi angkatan laut mengadakan rapat di markas besar angkatan laut. Mereka mengecam tindakan perwira muda yang melakukan aksi pembunuhan terhadap perwira tinggi angkatan laut. Pihak angkatan laut mengritik sikap Menteri Angkatan Darat Kawashima dan Dewan Tertinggi Militer yang mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan kehendak kaisar. Mereka menentang tindakan perwira tinggi Koodooha itu yang seakan-akan melecehkan kekuasaan kaisar dengan membuat pernyataan tanpa sepengetahuan Yang Mulia. Menurut penulis, wajar jika kalangan angkatan laut sangat menentang dan mengecam tindakan perwira muda angkatan darat dan pendukungnya. Hal tersebut lebih disebabkan karena di antara enam korban Peristiwa 26 Pebruari, tiga di antaranya (Saitoo, Okada, dan Suzuki) adalah perwira tinggi angkatan laut. 4. Gagalnya Menghubungi Chichibu-no-miya Peran Chichibu-no-miya sangat berarti bagi perjuangan kelompok perwira muda untuk mencapai kemenangan cita-cita restorasi. Hal tersebut bukan hanya karena Chichibu-no-miyaJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

13

merupakan pedukung terkuat kelompok perwira muda, tetapi karena dia adalah orang pertama pewaris tahta kerajaan. Dia merupakan calon pengganti Kaisar Hirohito bila Hirohito wafat atau diturunkan dari singgasana. Chichibu-no-miya sangat mengecam keras terhadap pejabat istana yang memanfaatkan lembaga kekaisaran untuk kepentingan pribadi dengan mengabaikan keadaan masyarakat pedesaan yang menderita. Berbeda dengan Kaisar Hirohito yang tidak menginginkan reformasi nasional untuk memperbaiki keadaan negara, Chichibu-no-miya bahkan sangat menginginkan reformasi nasional dengan cara revolusi militer. Pandangan Chichibu-nomiya pada dasarnya sama dengan Nishida yang merupakan teman seangkatannya di Akademi Militer tahun 1920-24 dan Andoo yang merupakan teman sejawat di resimen ketiga tahun 193032. Hubungan dekat Chichibu-no-miya dengan para perwira muda yang radikal itu mendapat tanggapan serius dari kaisar dan para panasehatnya. Akibatnya, pada tahun 1932 ketika Konoe Fumirnaro ingin menyerahkan kursi Ketua Dewan Penasehat Istana (naidaijin) kepada Chichibuno-miya, dengan tegas kaisar menolaknya. Akhirnya dia hanya dijadikan anggota markas besar angkatan darat selama tahun 1932-1935. Perhatian Chichibu-no-miya terhadap tindakan perwira muda juga dibuktikan semasa mereka masih sama-sama di resimen ketiga pada tahun 1930 di Azabu. Chichibu-no-miya pemah mengatakan kepada Letnan Satu Sakai Naoshi bahwa pada saat kalian memberontak, datanglah kepadaku dengan serombongan pasukan [Hane, 1982:50]. Kalangan istana yang mengetahui hubungan dekat Chichibu-no-miya dengan para perwira muda sangat khawatir. Kekhawatiran kalangan istana itu terutama disebabkan ketika itu adanya desas-desus bahwa para perwira muda akan menculik Hirohito dan mengangkat Chichibu-no-miya ke singgasana menggantikan Kaisar Hirohito jika Hirohito tidak merestui cita-cita suci mereka, yaitu Restorasi Shoowa. 5. Simpatisan Aksi di Daerah-daerah Tidak diberitahu Para perwira muda mempunyai banyak simpatisan di daerah-daerah. Simpatisan perwira muda di daerah-daerah tidak diberitahu sama sekali mengenai rencana kudeta itu. Karena itu, tidak heranlah bila berita kudeta kelompok perwira muda pada tanggal 26 Pebruari itu agak mengejutkan para simpatisan mereka di daerah-daerah. Para simpatisan yang mengetahui berita itu dari surat kabar yang terbit saat itu tidak bisa berbuat banyak. Sebelumnya, pada bulan Agustus 1935 Isobe pernah memberitahu Kooga Kiyoshi (pemimpin simpatisan di daerah Kantoo) melalui telepon tentang rencana aksi pembunuhan terhadap penjahat tetapi tidak menyebutkan waktunya. Setelah itu, Isobe tidak lagi menghubungi simpatisan di daerah. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari analisa politik kegagalan para perwira muda dalam Peristiwa 26 Pebruari ini, maka kegagalan aksi perwira muda itu disebabkan oleh lima hal yaitu, I). Sikap kaisar terhadap tindakan perwira muda. Setelah mendengar para pembantu terdekatnya terbunuh, kaisar menunjukkan sikap yang tegas dan marah sehingga dia tidak mendukung perbuatan para perwira muda. II). Sikap perwira tinggi militer. Dalam tubuh petinggi AD sendiri terdapat dua faksi yang bertentangan, yaitu Koodooha yang mendukung perbuatan perwira muda dan Tooseeha yang merupakan faksi penentang. Ketika diadakan rapat Dewan Tertinggi Militer, Koodooha dapat dikatakan menang karena keputusan rapat dewan mendukung aksi perwira muda. Namun, ketika kaisar menolak pengunduran diri kabinet, perwira tinggi Koodooha malah membelot, sedang peran Tooseeha semakin kuat. Perintah kaisar yang resmi sebagaimana 14Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

yang dikehendaki Tooseeha pun dikeluarkan. Perintah yang pada intinya menyuruh perwira muda menarik pasukannya itu membuat para perwira muda terkejut. Mereka merasa dikhianati oleh perwira tinggi militer yang tadinya sudah mendukung. Bahkan sampai di pengadilan pun mereka selalu dipersalahkan sehingga perwira muda dijadikan tumpuan kesalahan oleh kedua faksi yang bertentangan itu. III). Kemarahan kalangan perwira tinggi angkatan laut. Kalangan perwira tinggi angkatan laut tidak bisa begitu saja menerima perbuatan perwira muda yang mencoba membunuh perwira tinggi AL (Saitoo, Suzuki, dan Okada). Para perwira muda yang berupaya mencari dukungan dari kalangan angkatan laut melalui Laksamana Ogasawara pun gagal. IV). Gagalnya menghubungi Chichibu-no-miya. Usaha perwira muda untuk mendapatkan dukungan dariChichibu-no-miya (saudara pertama kaisar) juga gagal. Chichibuno-miya terus dikawal ketat oleh penasehat-penasehat kaisar selama terjadinya Peristiwa 26 Pebruari sehingga para perwira muda tidak berhasil menghubungi Chichibu-no-niya. Bahkan ketika dia tiba di Tookyoo dia terus dikawal secara ketat oleh pasukan pengawal istana dan dikarantinakan di ruang pribadi kaisar sampai pemberontakan selesai. V). Simpatisan aksi di daerah-daerah tidak diberitahu. Para perwira muda tidak memberitahu simpatisan aksi itu karena mereka merasa yakin bahwa aksi itu akan berjalan lancar. Berdasarkan hasil penelitian dan setelah melihat kelima sebab gagalnya Peristiwa 26 Pebruari di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa penyebab kesalahan yang paling menentukan adalah penyebab yang pertama yaitu sikap kaisar. Para perwira muda terlalu terburu-buru tanpa mempelajari situasi dan kondisi dengan seksama termasuk pemikiran kaisar. Ternyata setelah melihat kejadian itu kaisar tidak mendukung tindakan para perwira muda, bahkan dia sangat marah atas tindakan para perwira muda. Kaisar tidak menerima pembunuhan terhadap para pembantu terdekatnya. Ini berarti adanya kesalahpahaman antar perwira muda terhadap pemikiran kaisar. DAFTAR PUSTAKA Gaffar, Affan, Politik Indonesia. Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2006 Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Indonesia. Pustaka Utama. Jakarta, 2003. Bergamini, David. Japan s Imperial Conspiracy. New York: William and Company, 1971 Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Grasindo, 1992 Furukawa Kiyoyuki. Suupaa Nihonshi (Sejarah Jepang Super). Tookyoo : Koodansha, 1991 Moelong, Lexy. Metode Penelitian Sosial, Bandung, Remaja Rusdakarya, 2007 Hiramatsu Ichiroo. Nihonshi-jiten (Kamus Sejarah Jepang). Tookyoo: Tookyoosoogensha, 1990 Imanishi Eezoo. Shoowashi: Ni-ten-ni-roku-jiken zengo (Sejarah Shoowa: Sebelum dan Sesudah Peristiwa 26 Pebruari). Tookyoo : Chuxikoo-bunko , 1975 Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1990 Jawara, Toshiki. Hirohito and His Times. Tookyoo: Kodansha International, 1990 Maki, John M. Japans Militarism. New York: Alfred A. Knopf. Inc, 1945 Ookura Eeichi. Ni-ten-ni-roku-jiken e no Banka (Sajak Ratapan untuk Peristiwa 26 Pebruari) Tookyoo: Yumiuri-shinbunsha, 1971 Oouchi Cikara. Fashizumu e no michi (Jalan menuju Fasisme). Tookyoo: Chuuoo kooronsha, 1984Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

15

Sawachi Hisae , 1974. Tsumatachi no Ni-ten -ni-roku-jiken (Peristiwa 26 Pebruari bagi Isteri Perwira Muda). Tookyoo : Chuukoobunko Sasaki Ryuuji. Shoowashino Jiten (Kamus Sejarah Shoowa) Tookyoo : Chuuookooronsha , 1995 Shillony, Ben Ami. Revolt in Japan and The Young Officers. New Jersey: Princeton University Press, 1973 Takahashi Masae. Ni-ten-ni-roku-jiken (Peristiwa 26 Pebruari). Tookyoo : Chuukoo shinsho, 1965 Takahara Tomiyasu. Ichiokunin no Shoowashi- Ni-ten-ni-roku-jiken to Nitchuu sensoo Vol.2. Tookyoo : Mainichi shinbunsha , 1975

16

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

DEMOKRATISASI MEDIA MASSA DALAM PRINSIP KEBEBASAN Jamhur Poti1Abstract Democratization of the mass media is a central issue in the era of globalization. The development of mass media in various parts of the world so quickly and growing democratization of mass media is relatively new and difficult to measure with political issues, economic, cultural and other. Democracy has become a unity in all community activities such as the freedom to communicate, express and association are rights fundamental as a citizen. Democratization in the perspective of how the mass media of communication associated gain freedom in carrying out its function and role as the press in presenting information, and realize the rights of citizens to obtain information in the space of civil society, including in the freedom to think and act without the intervention and pressure from any party . Due to the freedom think honest communication is achieved, will make public an informative, intelligent and evolved. The silencing of a freedom in the mass media will make people less informative and will become a marginalized community. Keywords; Demokratisasi, Media Massa Pendahuluan Bangsa kita telah melalui tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokratisasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita masih bersifat minimal. Demokrasi dimengerti hanya sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair, jujur dan adil. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis. Demokratisasi adalah suatu proses dalam sistem suatu negara menuju bentuk demokrasi, dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat dan untuk rakyat. Abraham Lincoln pada tahun 1967, memberikan pengertian demokrasi sebagai Governmens of the people, by the people, and for the people. Demokrasi adalah suatu penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa demokrasi1

Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji, saat ini menjabat Pembantu Dekan III

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

17

kreativitas manusia tidak mungkin didapat dan berkembang, secara historis perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme merupakan bagian dari perjuangan demokrasi. Belakangan para tokoh nasional juga memandang bahwa demokrasi merupakan tujuan utama dari perjuangan anti-kolonialisme. Prinsip dasar dari sebuah demokrasi yaitu bahwa demokrasi terkait dengan interaksi sesama manusia dan dalam keterkaitan itu terdapat saling memahami atau mengenal, prinsip tersebut sesuai dengan karakter manusia sebagai homo-social. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara termasuk memberikan ruang bagi media massa yang bebas untuk menjalankan fungsi persnya. Salah satu konsep dari sistem negara yang yang demokrasi menurut Huntington (2008), yaitu adanya peran media massa yang bebas. Hal yang terkait erat dengan hak publik untuk tahu adalah dengan media massa yang bebas, yaitu surat kabar, televisi, radio dan media baru yang bisa menginvestigasikan jalannya pemerintahan dan melaporkannya tanpa takut adanya penuntutan dan hukuman. Eskalasi demokratisasi media massa dewasa ini begitu cepat, dunia yang begitu luas telah menjadi sebuah desa yang global (global village), apa yang dikemukakan oleh Marshall Mc. Lucham pada tahun 1964, sekarang memang benar-benar menjadi kenyataan. Penduduk dunia saling berhubungan semakin erat dan hampir disemua aspek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, ekonomi, pariwisata, politik hingga persoalan pribadi, ataupun aspek kehidupan lain. Perkembangan yang signifikan memang berimbas ke media massa yang global seperti; CNN, MTV, CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembus yuridiksi berbagai negara. Informasi mengalir deras melalui jaringan media global dan kantor-kantor berita internasional, seperti Reuters, UPI, AP, AFP dan lain-lain. Informasi-informasi itu sering dimaknai didalamnya mengandung kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya, perilaku dan gaya hidup yang global. Perkembangan dan pertumbuhan media massa di Indonesia juga mengalami kemajuan yang sangat signifikan, setelah terjadinya reformasi pada tahun 1997-1998, kemajuan media massa tidak dapat dipisahkan dari perubahan sistem politik disuatu negara. Media massa diharapkan dan yang diandalkan dapat berperan sebagai pengawas (watch dog function) untuk mengungkap kebenaran dan kesalahan yang dilakukan oleh penyelengara pemerintahan atau yang memiliki kekuasaan. Banyak sekali peran yang dapat dilakukan oleh media massa pada suatu negara yang menjamin terhadap kebebasan pers dalam menjalankan fungsinya. akan tetapi kecenderungan beberapa media massa disuatu negara dalam perspektif komunikasi khususnya belum demokratis dan masih bersifat linier dalam menyampaikan arus informasi dari atas ke bawah (top down), agar media massa mampu menjalankan peranannya maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Menurut Denis McQuail, 1987:126), Kebebasan media massa atau pers harus diarahkan agar dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan khalayaknya, bukan hanya sekadar untuk membebaskan media massa dan pemiliknya dari kewajiban harapan dan tuntutan masyarakat. Istilah demokratisasi media massa memang relatif baru, dan sulit untuk mengukur dan membatasi secara tegas dengan demokrasi dalam aspek kehidupan sehari-hari yang lain seperti politik, sosial ekonomi dan budaya. Oleh karena itu bahwa karakteristik komunikasi adalah Omnipresent atau ada di mana-mana. Theodorson (1969) juga berpendapat bahwa, Walaupun demokrasi pada dasarnya suatu konsep politik, tetapi dipergunakan juga dalam pengertian filosofis untuk menunjukkan suatu yang melekat erat (inherent) mengenai persamaan, 18Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

kebebasan untuk mendapatkan manfaat dan hak-hak azasi manusia yang fundamental Reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, merupakan transisi demokrasi dari otoritarian menuju liberatarian, demokrasi di Indonesia di era tahun 1968-1998 cenderung menganut sistem otoritarian dimana media massa dan kebebasan pers dibatasi oleh Undangundang dan peraturan pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa tunduk dibawah kekuasaan pemerintah. Begitu besarnya kontrol pemerintah terhadap media massa pada saat orde baru tersebut, seolah kran-kran pers dikunci rapat oleh pemerintah, akibatnya pers tidak dapat memberikan informasi yang akurat dan terbuka (transparancy) kepada masyarakat, media tidak dapat mengkritik kebijakan pemerintah yang menyimpang, kritik dibungkam dan system oposisi diharamkan, yang ahirnya penyimpangan yang dilakukan pemerintahan itu berakibat seperti semakin merajarelanya koncoisme korupsi, kolusi nepotisme, pembangunan yang tidak merata, bertambahnya kesenjangan sosial, ketika media massa tidak bebas untuk menyampaikan informasi maka pengetahuan masyarakat tentang informasi yang sebenarnya termarjinalisasikan. Kasus yang paling terlihat dengan banyaknya surat kabar dan majalah yang dibreidel, seperti kasus majalah Tempo dan majalah Detik pada tahun 1997, karena tidak tunduk pada pemerintah yang berkuasa, maka kedua koran dan majalah tersebut dibreidel, begitu ketatnya pengawasan pemerintahan yang otoriterian terterhadap kebebasan pers, namun tidak semua hal yang buruk pada teori otoriterian, ada sisi kebaikan yang dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, meskipun saat itu media massa dan persnya seolah-olah dibungkam dan dikontrol oleh pemerintah yang berkuasa, namun dari sisi ketahanan dan keamanan bangsa terjamin, angka kriminal berkurang, disintegrasi dapat dibilang hampir tidak ada, konflik antar etnis, agama dapat diminimalisir. Kini, berbagai tayangan media massa yang mengungkapkan perilaku pejabat tinggi, kritikan terhadap pemerintah, proses persidangan dapat dilihat oleh masyarakat tanpa ditutup-tutupi, mahasiswa dan masyarakat dapat berdemonstrasi menyampaikan aspirasinya, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat semakin cerdas dan kritis. Puncaknya yaitu pemilihan langsung para kepala daerah serta presiden Republik Indonesia. Demokrasi memang identik dengan kebebasan, namun harus dapat dipertanggungjawabkan. Karena demokrasi yang kebablasan akan menimbulkan potensi konflik yang tinggi. Begitu besarnya pengaruh tekanan pemerintah yang menganut system otoritarian terhadap media massa, sulit bagi media massa untuk menghindari campur tangan kekuasaan pemerintah, sebab dalam sistem politik apa pun media massa selalu mendapat kontrol dari pemerintah yang berkuasa, guna mempertahankan kekuasaannya, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dan yang dilakukan oleh pemerintahannya tidak ekpose diruang publik. Belajar dari sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pernah ada beberapa puluh tahun yang lalu, demokrasi menjadi sistem alternatif yang dipilih oleh beberapa negara yang sudah maju. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara termasuk memberikan ruang bagi media massa yang bebas untuk menjalankan fungsi persnya. Gambarannya adalah pemerintah tidak dapat mengontrol apa yang ditulis atau disiarkan oleh media massa, dan pemerintah tidak dapat menjebloskan orang ke dalam penjara karena pandangannya. Tanda yang paling jelas dari suatu rezim yang tidak demokratis adalah pelanggaran akan hak-hak yang fundamental. jika gagasan-gagasan mengalir secara bebas tetapi tidak menyentuh kehidupan rakyat, jika pers independent dari pemerintah tetapi dipenuhi oleh hal-hal yang tidak prinsip, jika lapangan publik terbuka tetapi juga kosong maka demokrasi dapat tergerus sebagaimana tentunyaJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

19

ia akan runtuh ketika hak-hak fundamental dilarang. Begitu besarnya peran yang dimainkan oleh media massa, sehingga media massa ditempatkan menjadi pilar keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Akan tetapi pada realitasnya saat ini peran media massa tidak jarang justru menjadi bias, karena apa yang disuguhkan oleh media massa itupun sarat dengan kepentingan. Media massa tidak selamanya jujur tapi mengandung pesan tertentu. Kebebasan media massa saat ini telah menjadi kebablasan, contoh kecil maraknya majalah orang dewasa (porno) yang di jual bebas hingga anak di bawah umur pun dapat membelinya, hal ini justru mempengaruhi moral generasi bangsa yang semakin buruk bahkan ada yang berakhir ke tindakan pencabulan, kriminalitas yang di lakukan anak di bawah umur. Kasus lain yang pernah hangat-hangatnya adalah berita sengketa perbatasan dengan negara tentangga seperti dengan negara Malaysia, pemberitaan yang secara berturut-turut di ekspos media massa hingga terjadinya demontrasi yang dilakukan mahasiswa untuk mengkritik pemerintah Indonesia agar bertindak tegas kepada pemerintahan Malaysia, namun alih-alih justru terjadi aksi anarkis yang di lakukan mahasiswa dengan aparat kepolisian di negeri sendiri. Kebebasan bukan segala-galanya atau bukan tanpa batas, sama halnya dengan demokrasi. Demokrasi juga membutuhkan tegaknya tatanan hukum dan ketertiban, tanpa semua itu, demokrasi menjadi tidak mungkin. Semestinya kebebasan hak-hak untuk berkomunikasi yang disampaikan oleh media massa tetap menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan sistem politik. Sistem politik suatu negara sangat menentukan bagaimana sistem media massa tersebut berperan, yang pasti sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dalam arti luas sering disebut filsafat sosial. Menurut Ati Rahmiati, (2007), dalam filsafat sosial hubungan manusia dengan negara di bagi menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Rasional: hubungan manusia dan negara ligaliter atau setara, dalam hal ini manusia mampu eksis secara individu, maka dari itu ia menuntut kebebasan yang sebebas-bebasnya, namun demikian pada umumnya manusia selalu menempatkan dirinya secara proposional, tahu kapan saatnya untuk bebas dan tidak. 2. Absolutisme: Cara pandang manusia yang tidak akan eksis bila tidak ada kelompok. adanya sistem otoritarian, manusia tidak ada apa-apanya tanpa kelompok. Contoh nyata sistem otoritarian di terapkan di negara Malaysia. Dapat diambil kesimpulan bahwa sistem media massa dipengaruhi oleh sistem sosial politik dan filsafat sosial (rasionalisme dan absolutisme), Kini, berbagai tayangan media massa yang mengungkapkan perilaku pejabat tinggi, kritikan terhadap pemerintah, proses persidangan dapat dilihat oleh masyarakat tanpa ditutup-tutupi, mahasiswa dan masyarakat dapat berdemonstrasi menyampaikan aspirasinya, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat semakin cerdas dan kritis. Puncaknya yaitu pemilihan langsung para kepala daerah serta presiden Republik Indonesia. Demokrasi memang identik dengan kebebasan, namun harus dapat dipertanggungjawabkan. Karena demokrasi yang kebablasan akan menimbulkan potensi konflik yang tinggi. Demokratisasi Untuk mengetahui arti demokratisasi, dapat dilihat dari dua sisi tinjauan yaitu tinjauan bahasa (etimologis) dan tinjauan istilah (terminologis). Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua 20Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Pada abad ke-20, demokrasi sudah digunakan dalam sistem politik. Sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala, dan didalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Dengan demikian menurut definisi diatas, demokrasi mengandung dua dimensi, yaitu kontes dan partisipasi. Menurut Affan Gaffar (2000:3) memaknai demokrasi dalam dua bentuk, yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi yang perwujudannya telah ada pada dunia politik praktis. Demokrasi empirik dianggap diterima oleh masyarakat karena dirasakan sesuai dengan normanorma yang ada dalam masyarakat selama ini. Sementara Robert Dahl mengatakan, hal yang paling menentukan juga bagi sistem dalam demokrasi adalah bagaimana masyarakat untuk mengimplikasikan hak-hak fundamental seperti adanya kebebasan untuk berekpresi, berkomunikasi, berkumpul, dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu. Theodorson (1969) juga sependapat, walaupun demokratisasi pada dasarnya suatu konsep politik, tetapi dipergunakan juga dalam pengertian filosofis untuk menunjukkan suatu yang melekat erat (inherent) mengenai persamaan, kebebasan untuk mendapatkan manfaat dan hak-hak azasi manusia yang mendasar, seperti kebebasan untuk berkomunikasi dan berkepresi. Demokratisasi merupakan tema sentral yang sudah menjadi isu globalisasi dalam perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang didalamnya tercakup berbagai persoalan yang saling terkait antara satu sama lainnya. Sebagai suatu tema sentral demokratisasi telah menjadi objek studi yang sangat luas pembahasannya, ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond, Verba, 1984). Sementara Demokratisasi menurut Charles Tilly, 2011. Adalah perubahan dari suatu rejim, sebagaimana schema yang tergambar di bawah;

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

21

Sumber : Charles Tilly, 2011 Mahfud MD (1999:2) membenarkan pandangan di atas, yaitu bahwa terdapat dua alasan mengapa negara lebih memilih demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara, yaitu: 1. Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; 2. Demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peran masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itulah diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar kepada warga masyarakat tentang demokrasi. Pemahaman mengenai demokrasi di Indonesia mungkin belum sepenuhnya dikuasai dan dimengerti oleh masyarakat. Beberapa konflik di Indonesia terjadi karena pihakpihak yang terkait merasa memiliki kebebasan terhadap hak-hak yang fundamental seperti hak untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi. Demokratisasi dalam konteks komunikasi selalu dikaitkan dengan bagaimana warga negara dapat merealisasikan atau mewujudkan hak-hak sebagai kewarganegaraannya. Demokratisasi sangat berkaitan dengan kebebasan berkarya dan berekpresi individu dalam ruang civil society, 22Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

termasuk di dalamnya, antara lain kebebasan untuk berkomunikasi, kebebasan berpikir dan beragama kebebasan untuk berpendapat dan berasosiasi serta kebebasan untuk memiliki dan mengatur kepemilikannya. Sebaliknya, demokratisasi lainnya dapat berbagi perspektif politik menempatkan nilai lebih pada keselarasan antara masyarakat dan pimpinan lembaga negara dengan cara terpercaya, prioritas kepentingan tentang hak-hak masyarakat dan kekuasaan negara untuk membuat undang-undang yang dianggap perlu. dengan kondisi-kondisi yang menjamin setiap warga negara bebas dalam penggunaan kekuatan politik dengan menguasai lembaga negara. (McQuail, 2001, Huntington, 2001) Berbicara tentang kebebasan berkomunikasi, berekpresi dengan kontek media massa dalam menjalankan peran dan fungsinya, sebagai landasan dari sistem press dunia Four Theories of The Press oleh Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm,1956 (dalam Empat Teori Press,1986:8), yang mengkategorikan teori-teori pers didunia dalam empat teori pers, yaitu: teori press otoriter, teori pers bebas (liberatarian), teori pers bertanggungjawab sosial dan teori pers komunis Soviet. Empat teori pers tersebut secara umum sudah banyak menjadi tulisan dan pembahasan. Kemudian McQuail (1991:95), menambahkan 2 teori pers lagi, yaitu teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. Teori pers pembangunan oleh McQuail dikaitkan dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri system komunikasi yang sudah maju Pada tahun 1967, dengan berdirinya Press Foundation of Asia menawarkan konsep jurnalisme pembangunan yang mendapat sambutan bagi negara-negara berkembang. Unsur positif dari pers pembangunan, bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional.,untuk otonomi dan identitas kebudayaan nasional. Teori pers keenam, teori pers partisipan demokratik. Teori ini lahir pada masyarakat liberal yang sudah maju. Lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sentralisme dari birokratisasi institusi-institusi siaran publik yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab sosial.(McQuail,1991:121). Inti dari demokratisasi terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan dan aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis. Prinsip ini menyukai baragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi. Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers berfungsi, harus dilihat asumsiasumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya perbedaan antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya. Demokratisasi di Indonesia. Perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini, sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, (2010), menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Anwar Ibrahim, juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu. Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara,Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

23

sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan. Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.(Amartya Zen, 2010). Demokrasi pada saat ini belum dapat memberikan suatu perubahan yang berarti bagi masyarakat Indonesia, namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia, kebebasan informasi, mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum yang termarjinal juga mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik. Peran Media Massa Peran kedua adalah mendidik (to educate). Lewat pemberitaannya, pers mencoba memberi pencerahan, mencerdaskan, dan meluaskan wawasan khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsanya. Dalam konteks politik, pers memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga. Peran ketiga adalah menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat menghibur sering kita temukan di media massa seperti: berita seputar selebritis, teka-teki silang, cerita bersambung, dan lain-lain sebagai selingan dari berita-berita berat yang lain. Peran keempat adalah mempengaruhi (to influence). Media yang independen dan bebas dapat mempengaruhi dan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Yang dikontrol bukan cuma penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, militer, tetapi juga berbagai hal di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti yang dikatakan Deddy Mulyana, (2001:121), media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak tentang dampak komunikasi massa pada pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat. Media massa merupakan agen sosialisasi (penyebaran nilai-nilai) memainkan peranan penting dalam transmisi sikap (behaviour), pikiran (cognitifve) dan hubungan (interaksional). Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik dimana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju suatu perubahan masyarakat yang sehat, cerdas bebas berpendapat dan berdemokrasi. Hasil penelitian Freedom House, (2008). Cina adalah salah-satu contoh negara yang paling tidak demokrasi dalam kebebasan pers, menurut penelitian dari 189 negara yang diurutkan posisi kebebasan persnya, Cina berada di peringkat ke 181, selain terus mengendalikan media siaran dan media cetak, pemerintah Cina bahkan memperketat tekanan terhadap media baru (new media) seperti internet dan media massa yang baru saja berkembang termasuk Twitter, Google, Yahoo dan lainnya. Sementara itu, menurut hasil survey Reporters Without Borders, 24Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

2008. Indonesia menduduki posisi kedua di ASEAN dalam rangking kebebasan pers, namun diukur peringkat seluruh dunia Indonesia menempati posisi ke 117, sedang Singapura berada diperingkat ke 136, Malaysia berada pada peringkat ke 141 dan Thailand peringkat ke 153, Philipina jauh ketinggalan berada lebih rendah yaitu pada urutan 156. Namun yang sangat mengejutkan negara Timor Leste meskipun baru beridiri melalui sebuah proses referendum berpisah dengan negera Indonesia menduduki posisi paling tinggi di Asia tenggara (ASEAN) dan berada di posisi ke 93 untuk seluruh dunia. Salah satu alasan untuk menilai kebebasan pers di Indonesia termasuk yang baik diperingkat Asia Tenggara (ASEAN) ialah karena setelah terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, tidak lagi terjadi tekanan dan pengendalian oleh negara terhadap pers. Meskipun Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum dan regulasi yang menuju demokrasi untuk menjamin kebebasan pers, namun ancaman terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers tidak serta merta lenyap dan berakhir. Ancaman tersebut masih saja terjadi bisa berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran dan fungsi pers, berbagai ancaman terhadap demokrasi media massa dan pers juga berasal dari kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan kepentingan pemilik (Owner) juga tidak bisa dipungkiri. Fenomena menarik yang juga harus dicermati beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah atau regulasi, seperti lewat proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau melalui pengadilan (justice). Di sisi lain mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman pers lewat kekerasan terhadap editor terus juga terjadi, merupakan penghambat terjadinya proses demokrasi dalam media massa. Sementara itu kebebasan pers di Cambodia tidak hanya dijamin oleh konstitusi negara tapi juga oleh Undang-Undang Pers yang disahkan pada tahun 1995. beberapa pasal dalam UU Pers menyatakan negara berhak membatasi kebebasan pers dan menindak media massa yang terbukti bersalah menurut hukum. Kasus kebebasan pers di Cambodia masih terancam oleh banyak hal, seperti banyaknya kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan laporan Club of Cambodian Journalist (CCJ), dalam kurun waktu Mei 2005-Mei 2006, enam jurnalis digugat melakukan pencemaran nama baik, termasuk satu orang yang dijebloskan ke penjara. Di tahun berikutnya 2006-2007, dalam periode yang sama empat kasus serupa menimpa jurnalis lain namun untungnya mereka tidak ditangkap. Hingga saat ini, laporan periode ini belum dipublikasikan. (Pa Nguon Teang Direktur Program Radio Voice of Democracy (VOD), Cambodia, 2008). Namun berbeda menurut, Jim Nolan, Barrister at Law, Sydney Australia (2007), Australia adalah sebuah negara yang tegas serta kaya, dan menganut demokrasi parlementer federal dengan pers bebas yang sedang berkembang. Meskipun muncul kekuatiran mengenai kepemilikan media massa yang terkonsentrasi dalam suatu keluarga atau kelompok, dan adanya beberapa perubahan terkini undang-undang dan regulasi media massa yang mungkin semakin mengkonsentrasikan kepemilikan tersebut. Munculnya media baru (internet), tentu saja membuat peran pers meningkat pesat. Demikian pula perkembangan sejumlah suara-suara independen yang memiliki akses dengan audiensnya, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan beberapa tahun sebelumnya. Tak ada keraguan bahwa pengaruh internet, pada gilirannya berdampak pada pers, radio dan televise mainstream. Dampak internet memang belum mendeterminasi media-media mainstream dalam skala besar namun secara umum kondisi ini telah meningkatkan kebebasan pers dan media massa serta kebebasan berbicara di Australia. Hal lain yang menjadi perhatian media massa dan pers di Australia adalah minimnya undang-undang perlindunganJurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

25

jurnalis dimana undang-undang menyediakan tingkat perlindungan yang lebih besar, yang mengizinkan jurnalis tidak mengungkapkan nara sumber mereka di pengadilan atau pemeriksaan pendahuluan lainnya, di Indonesia lebih di kenal dengan perlindungan terhadap nara sumber. Demokratisasi Media Massa Media massa sekarang kini telah masuk dalam arus globalisasi yang mana media massa bersifat universal dan tiada mengenal batas wilayah dan hukum suatu negara. Jenis dan fungsinya juga semakin canggih sehubungan dengan perkembangan arus modenisasi dan tekhnologi pada masa kini. Media sebaran sudah dianggap sesuatu yang lazim yang selaras dengan kemajuan masyarakat manusia modern (Spark, 2000, Chan, 2001). Media massa dapat diklasifikasikan kepada dua kategori yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak terdiri daripada sumber bertulis seperti surat kabar, majalah, buku dan bahan percetakan yang lain, sedangkan media elektronik pula terdiri daripada televisi, radio, internet blog, telefon seluler dan sebagainya. Salah satu bentuk media massa yang paling dominan sekaligus memiliki kekhasan, adalah media penyiaran, khususnya televisi. Penyiaran menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi yang jumlahnya terbatas, sehingga diperlakukan secara berbeda dengan media cetak. Penyiaran senantiasa sarat dengan aturan highly regulated, baik infrastruktur maupun isinya. (McQuail, 2002: 207). Media massa merupakan pilar keempat setelah eksekutif, legilslatif dan yudikatif dalam sistem negara yang menganut demokrasi. Media massa berperan sebagai pengawas (watch dog function) yang dapat diandalkan untuk mengungkap kebenaran dan kebohongan serta kecurangan yang dilakukan oleh penyelengara pemerintahan atau yang memiliki kekuasaan. Media massa juga merupakan sebagai penyaluran informasi (to inform) yang benar dan terpercaya, agar masyarakat mendapatkan pengetahuan dan mengetahui perkembangan terkini. Banyak sekali peran yang dilakukan oleh media massa dalam menjalankan fungsi pers dalam mewujudkan system negara yang demokrasi. Perkembangan media massa di Indonesia setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998 mengalami peningkatan dan perkembangan yang sangat signifikan. Sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an, perkembangan lembaga media massa khususnya televisi dan radio (broadcast) sudah mulai berlangsung di mana-mana. Perkembangan tersebut sebagai cerminan berlangsungnya proses demokratisasi dalam sistem penyiaran Indonesia. Dalam hal ini, apa yang terjadi dalam sistem penyiaraan nampak sebagai sesuatu yang tak terlepas dari dan bahkan mengawali sebuah gelombang kebebasan, dalam sistem media massa di Indonesia sejak tahun 1990-an yang dianggap memiliki sumbangan penting dalam membawa Indonesia masuk ke dalam era reformasi informasi. Kecenderungan beberapa media massa disuatu negara dalam perspektif komunikasi khususnya belum demokratis dan masih bersifat linier dalam menyampaikan arus informasi yaitu dari atas ke bawah (top down communication). Namun, agar media massa dikatakan demokrasi dalam menjalankan peranannya terutama dalam menunjang menyampaikan informasi, maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. (McQuail, 2002: 208). Prinsip Kebebasan Kebebasan pers yang awalnya cenderung hanya diartikan sebagai kebebasan untuk menyebarkan informasi dan pikiran-pikiran melalui media massa tanpa adanya kekangan dari 26Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011

penguasa, kini berkembang tidak hanya freedom from namun bebas untuk freedom for. Kebebasan pers mencakup kebebasan eksternal dan kebebasan internal. Kebebasan eksternal adalah jaminan kemeredekaan bagi pers untuk menyiarkan dan menulis berita tanpa ada intervensi pihak lain. Sementara kebebasan internal adalah kebebasan pers dalam menulis dan menyiarkan berita tanpa ancaman dari dalam, yaitu pihak birokrasi media itu sendiri secara institusional. Kebebasan pers dapat menjadi sarana public empowerment, karena menghendaki peran serta masyarakat sebagai kekuatan sosial, didukung pemodal sebagai kekuatan ekonomi, serta negara dan aparaturnya sebagai kekuatan politik untuk turut membangun dan mendorong demokratisasi pers. (Werner J. Severin & James W. Tankard, 2005:373). Kebebasan pers juga tidak hanya berarti kebebasan satu arah dari pihak media atau peran pers saja, namun menjamin keterlibatan masyarakat untuk menggunakan hak-hak sebagai wargenegara apabila merasa dirugikan oleh pers. Kebebasan pers pada gilirannya akan menumbuhkan enlightened understanding dari persoalan-persoalan publik hingga persoalan politik. Melalui pers, masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif mempengaruhi agenda publik. Selain itu, lewat upaya pencerdasan, kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin tinggi dan tidak akan mudah menempuh jalan main hakim sendiri, termasuk terhadap pers. John Stuart Mill, (2000:15), berpendapat bawa manusia harus bebas untuk bertindak berdasarkan pendapat mereka tanpa halangan apapun baik yang bersifat fisik maupun moral dari pihak