BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran, obat akan banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu, fase biofarmasetik atau farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan. Maka perlu diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dalam penentuan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek terapi yang diinginkan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran, obat akan
banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi
menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu, fase biofarmasetik atau farmasetik, fase
farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.
Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya
dalam kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat
tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat
diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian
lain dari badan. Maka perlu diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat
dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dalam
penentuan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek
terapi yang diinginkan dengan efek toksis yang minimal (Ansel, H., 1989).
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, et all, 1985).
1
Untuk itulah dilakukan percobaan mengenai pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi dalam hal ini Kapsul Sulfadiazin, Tablet Sulfadiazin,
Sustained Release. Selain itu juga dilakukan percobaan mengenai pengaruh rute
pemberian obat terhadap bioavailabilitas, dalam hal ini secara oral dan intravena,
serta evaluasi sediaan di pasaran atau bioekivalensi menggunakan Furosemid
sebagai obat generik dan Lasix sebagai obat paten untuk dapat dibandingkan
nantinya.
1.2 TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi.
1.3 MANFAAT PERCOBAAN
Dengan melakukan percobaan ini diharapkan agar:
- Kita dapat mengetahui bagaimana pengaruh bentuk sediaan obat
terhadap laju disolusi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Sulfadiazin
BM : 250,27
Nama lazim : sulfadiazinum/sulfadiazine
Rumus kimia : C10H10N4O2S
Pamerian :serbuk putih sampai agak kuning, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, stabil di udara tetapi terhadap
pemeparan tehadap cahaya perlahan-lahan menjadi
hitam
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; muadah larut dalam
asam
mineral encer , dalam larutan kalium hidroksida
dan dalam amonium hidroksida ,agak sukar larut
dalam etanol dan dalam aseton,sukar larut dalam
serum manusia pada suhu 37OC.
(Depkes RI.,1995)
3
2.1.2 Furosemida
BM : 330,74
Nama lazim : Furosemidum/furosemida
Rumus kimia : C12H11N2ClO5S
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton,
dalam dimetilformamidadan dan dalam larutan alkali
hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam
etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam
kloroform.
Wadah penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Depkes
RI, 1995).
2.2 Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah
pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi
molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya
terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam
bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah proses
ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat
timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan
pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian
4
pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan segera
(Aiache, 1993).
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat
padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dan pelarut (Aiache, 1993).
Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik
sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan,
merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan
(Aiache, 1993).
Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan (rute
limiting step) sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat
berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai
pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan padat tersebut pertama-tama
harus terlarut, sesudah itu barulah obat yang berada dalam larutan melewati
membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat, obat
akan berdifusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan
pembatas kecepatan absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya,
kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi
dari obat tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap
disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorpsi tidak dapat ditentukan oleh salah
5
satu dari dua tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas
kecepatan (Aiache, 1993).
2.2.1 Kondisi Sink
Kondisi sink merupakan kondisi dimana obat pada kedua sisi lapisan epitel
dari dinding usus mencapai kesetimbangan dalam waktu singkat. Saluran
gastrointestinal bertindak sebagai natural sink; yaitu obat diserap dengan segera
pada saat melarut. Pada kondisi in vivo tidak ada konsentrasi tambahan sehingga
efek perlambatan dari gradient konsentrasi pada laju disolusi tidak terjadi
(Syukri, 2002).
Untuk mensimulasi kondisi sink in vivo, pengujian disolusi in vitro
biasanya dilakukan dengan menggunakan media disolusi yang besar atau
mekanisme di mana media disolusi diberikan kembali secara konstan dengan
pelarut baru pada kecepatan tertentu sehingga konsentrasi dari larutan tidak
pernah mencapai lebih dari 10-15 % dari solubilitas maksimalnya. Jika parameter
semacam ini dipertahankan, pengujian disolusi dilakukan dalam kondisi sink,
yaitu kondisi tanpa pengaruh gradien konsentrasi (Syukri, 2002).
Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam
suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahn yang
terkandung dalam produk obat. Pemilihan suatu metode tertentu untuk suatu obat
biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu. United States
Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan
uji pelarutan yaitu:
6
a. Metode Keranjang (Basket )
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh
tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat
yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi
rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar
kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat
operasi telah dipenuhi (Syukri, 2002).
b. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung
diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat
yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode
basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam
USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa
produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan
untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Syukri, 2002).
c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi
7
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit
untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram
dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel
tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan
dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran
membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Syukri, 2002).
2.2.2 Pengaruh Bentuk Sediaan terhadap Laju Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan
biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:
A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat.
Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran
partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan
berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti
terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Shargel, 1985).
B. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu
dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung
pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan
pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju
disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul,
tablet dan tablet salut. Secara toritis disolusi bermacam sediaan padat tidak
8
selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara masing-masing bentuk
sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori
maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul,
tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan
bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin
dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju
disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari
bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam
formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi.
Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan
granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan
dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama (Syukri, 2002).
Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di
antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan
dan porositas.
C. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang
meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metoda uji
yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan
tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak
dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif.
Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium
disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada
percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat
9
di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju
disolusi obat. Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda dapat
menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode
uji yang digunakan (Syukri, 2002).
Untuk obat yang tahan terhadap getah-lambung, kecepatan melarut
dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sebagai berikut: larutan