BAB I PENDAHULUAN Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten. Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva
bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen
tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok,
limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.
Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel
limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten.
Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang
atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India
menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis
flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di
Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi
kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Anatomi
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan yang meliputi permukaan
dalam palpebra dan bola mata sampai sebatas limbus. 1,2
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Konjungtiva palpebra
Berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva
tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata
sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
Konjungtiva forniks
Merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar,
strukturnya sama dengan konjunctiva palpebra namun hubungan dengan jaringa
dibawahnya lebih lemah dan membentuk lipatan-lipatan. Pada daerah konjungtiva
forniks terdapat banyak pembuluh darah sehingga mudah terjadi pembengkakan pada
daerah tersebut.
Konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi terutama melapisi bagian anterior dari sklera dan umumnya menyatu
dengan sel epitelium kornea dilimbus. Didekat kantus internus konjungtiva bulbi
membentuk lipatan plika semilunaris.
Pendarahan dari konjungtiva berasal dari arteri konjungtiva posterior dan arteri siliaris
anterior, dimana kedua arteri tersebut juga melakukan anastomosis. Yang berasal dari arteri
siliaris anterior akan berjalan mengikuti otot rektus pengerak bola mata kecuali rektus
lateralis dan menembus sklera didekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata.
Persarafan pada kornea berasal dari N. V/ Nervus Trigeminus cabang pertama/
ofltalmika.1,2,7
II. Histologi
Lapisan epitel pada konjungtiva merupakan lapisan epitel tanpa keratin dan terdiri dari
dua sampai lima lapisan sel epitel kolumnar yang superfisial. Pada lapisan dasar merupakan
sel epitel yang berbentuk kubus yang akan berubah menjadi sel epitel yang datar sebelum
terlepas nantinya. Sel epitel superfisial terdiri dari sel goblet terdapat di antara sel epitel
konjugtiva, kurang lebih 5-10% dari sel basal dan jumlah terbanyak dari sel goblet adalah
berada disekitar inferonasal dan forniks, dimana fungsi dari sel goblet adalah menghasilkan
musin dan air mata sehingga memudahkan pergerakan bola mata.
Lapisan stroma pada konjugtiva/ substansia propia terdiri dari lapisan adenoid di bagian
superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid
dan dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum.
Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3 bulan. Sedangkan lapisan
fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva
juga terdapat kelenjar aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan
fungsi dan struktur kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks
superior dari pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas.2
BAB II
KONJUNGTIVITIS FLIKTEN
I. Definisi
Konjungtivitis flikten/ Konjungtivitis skrofulosa adalah merupakan radang terbatas pada
konjungtiva dengan pembentukkan satu atau lebih tonjolan kecil yang berwarna kemerahan.1
Bila terjadi pada konjungtiva saja maka disebut sebagai konjungtivitis flikten, sedangkan
apabila terjadi pada daerah limbus maka disebut sebagai keratokonjungtivitis flikten. 1,2,3
II. Etiology
Penyebab terjadinya Konjungtivitis flikten merupakan reaksi hipersensitivitas Gell dan
Coomb’s tipe IV yang dicetuskan oleh karena adanya antigen yang berasal dari bakteri.
Umumnya secara klasik konjungtivitis flikten dihubungkan dengan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis terutama pada negara yang berkembang, sedangkan pada
Amerika Serikat penyebab terbanyak dari konjungtivitis flikten adalah bakteri
Staphylococcus aureus. Pada beberapa literatur juga dibahas penyebab dari konjungtivitis
flikten dapat disebabkan selain bakteri anatara lain infeksi virus, jamur parasit dan bahkan
infeksi gigi.4
Tabel organisme yang berkaitan dengan patogenesis konjungtivitis flikten
Mikroorganisme
Mycobacterium tuberculosis
Staphylococcus aureus
Chlamidia trachomatis
Neisseria gonorrhea
Coccidiodes immitis
Bacillus sp.
Herpes simplex virus
Ascaris lumbricoides
Hymenlepis nana
Candida albicans
III. Patogenesis
Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap terhadap
patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida,
helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada
margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus
urogenital.1,2
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi
inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat
dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam
terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi10. Reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel
Th17 akan didominasi oleh neutrofil.5
Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi sebagai
autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T.
Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau Th17 terlihat pada
produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC
memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan
diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin
seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari diferensiasi sel ini
akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC.
Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab
dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag
yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang
memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan TNF,
IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan hasil
produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme
tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga
jaringan luka akan menjadi semakin luas.5,6
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam penyakit
autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain.
Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses
inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan
jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh
sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs
juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan
memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T
CD8+8. Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut
dan juga akan berakibat pada kerusakan sel.
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T yaitu
CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang berisikan perforin,
granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan masuk ke sel target melalui proses
endositosis7. Dalam sitoplasma, sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari
kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang
akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast
ligand, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada
sel target dan memicu apoptosis.Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat
dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh
beberapa agen kontak.5,6
IV. Klasifikasi
Secara klinis konjungtivitis flikten dibagi menjadi:
a. Konjungtivitis flikten
Tanda radang/ inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat yang
terdapat flikten dan sekret hampir tidak ada
b. Konjungtivitis kum flikten/ fliktenularis
Tanda radang/ inflamasi tampak jelas, tampak sekret mukus-mukopurulen dan
umumnya konjungtivitis flikten timbul akibat infeksi sekunder pada konjungtivitis
flikten.1,2,3
V. Manifestasi klinis
Gejala Klinis pada konjungtivitis flikten:
Berupa mata merah, mata gatal, mata berair, dan nyeri. Apabila terdapat keterlibatan
korne/ Keratokonjungtivitis fliten didapatkan gejala tambahan mulai dari fotofobia, nyeri
dan blefarospasme. Apabila disertai dengan infeksi sekunder dapat disertai dengan sekret
mukopurulen yang kental.
Gejala klinis pada kerato konjungtivitis flikten:
Umumnya gejala yang timbul pada keratokonjungtivitis flikten gejalanya hampir
sama dengan konjungtivitis flikten namun lebih berat karena melibatkan kornea.
Umumnya keluhan fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme akan lebih berat.
Tanda Klinis pada konjungtivitis flikten:
Karakteristik dari konjungtivitis flikten adalah umumnya lesi flikten ditemukan pada
daerah dekat limbus, daerah konjungtiva palpebra maupun bulbi. Lesi flikten berukuran
kecil, berupa nodul yang berwarna pink keabu-abuan yang terdapat dibagian tengah dari
area yang hiperemis, dalam beberapa hari bagian dari permukaan nodul tersebut akan
mengalami perlunakan dan menjadi abu-abu, kemudia mencekung kemudian akan
menghilang tanpa adanya bekas.
Konjungtivitis Flikten Milier terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran
disekitar limbus ataupun menyebar secara tidak merata
Tanda Klinis pada Keratokonjungtivitis Flikten
Umumnya tanda klinis yang dapat dinilai pada keratokonjungtivitis flikten
mempunyai karakteristik dimana lesi umumnya dimulai dari tepi limbus berupa
gambaran penonjolan yang yang sesuai dengan tepi limbus yang berwarna putihyang
dikelilingi oleh pembuluh darah yang mengalami dilatasi maupun ulkus marginal.
Kemudian lesi yang berada ditepi limbus akan mengalami perlunakan dan nekrosis yang
umumnya akan menyebabkan jaringan parut yang perwarna putih keabu-abuan pada
kornea. 1,3
VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang penting untuk konjungtivitis flikten penting untuk dilakukan
untuk mengetahui penyebab dari konjungtivitis flikten, sehingga rekurensi dari penyakit
terserbut akan berkurang.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah mulai dari darah lengkap,
pemeriksaan foto thoraks, tes matoux, pemeriksaan urine dan feces dan pencarian terhadap
fokus infeksi lokal seperti infeksi pada telinga maupun saluran atas.3
VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus konjungtivitis flikten adalah mencari penyebabnya untuk
mempercepat penyebuhan dan mengurangi angka rekurensi.
Pemberian obat kortikosteroid lokal sebagai tetes mata yang dikombinasikan dengan
antibiotik seperti Kloramfenikol + kortikosteroid dan Polimiksin + kortikosteroid
umumnya memberikan akan penyembuhan yang cukup baik. Serta diberikan roboransia
yang mengandung vitamin A, B kompleks dan C untuk membantu penyembuhan.
Pemberian antibiotik tetrasiklin secara oral dengan dosis 250 mg 4 kali sehari
diberikan selama 3 minggu memberikan efektivitas yang cukup baik pada kasus yang
disebabkan oleh karena staphylokokus, namun karena efek samping pewarnaan pada gigi
sebaiknya tetrasiklin tidak diberikan, dan diganti dengan antibiotik golongan makrolid
seperti eritromisin. (inet)
Apabila pemeberian steroid secara lokal tidak membaik, harus diberikan suntikan
kortikosteroid ( kortison asetat 0,5%) yang disuntikan subkonjunctiva di forniks superior
supaya tidak menggangu kosmetik, diberikan sebanyak 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2
kali perminggu.
Karena angka rekurensi cukup tinggi maka harus diperhatikan efek samping yang
timbul akibat penggunaan steroid dalam jangka waktu lama.1,2,3
VIII. Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan
sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada
limbus.
Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea
karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas. Namun
beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai. 1,2
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Roirdan P, Taylor A, dan Whitcher JP. Vaughan and Asbury General Opthalmology. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill; 2007.
2. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthamology A Sistematic Approach. 7 Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
3. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. Hal 134-
135.
4. Muthialu A, Jensen LE, Wagoner M. Phyctenular Keratokonjunctivitis: 12 old Female with
Staphylococcal Blepharitis. Eye Round.org. Febuary 27, 2009; Available from: