Halaman 1 dari 30 Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi dalam Perlindungan Iklim di Indonesia Sasmito Jati Utama Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Agenda adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim berdasar fakta empiris dan normatif di Indonesia demikian penting dilakukan. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini melalui studi kepustakaanmelalui laporan ilmiah peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Hasil kajian menunjukkan bahwa agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional di Indonesia dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan terdistribusi pada semua level pemerintahan. Kata kunci : climate chane, policy adoption, mitigation PENGANTAR “......and due to their higher population densities and extensive land cover modification, a majority of cities are expected to experience more dramatic climate-induced changes than surrounding areas” (Grimmond, 2007). (.......dan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi serta alih fungsi lahan yang meluas, mayoritas dari perkotaan diperkirakan akan mengalami dampak perubahan iklim secara lebih dramatis daripada daerah di sekitarnya) 1 Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian dunia. R.A Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai ” the most complex public policy issue ever to face goverment.” 2 . Eksistensi ancaman perubahan iklim yang bersifat global tersebut, mendorong terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim. Dibawah kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah satu hasil dari pertemuan Earth Summit di 1 Grimmond, S, 2007, . The Geographical Journal, (1), hal 83–88. 2 Reinstein, RA. 1993, , The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal 79-95, Electronic Copy Available At: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#
30
Embed
Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi dalam Perlindungan Iklim di Indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Halaman 1 dari 30
Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi
dalam Perlindungan Iklim di Indonesia
Sasmito Jati Utama
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Agenda adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim berdasar fakta empiris dan normatif di Indonesia demikian penting dilakukan. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini melalui studi kepustakaanmelalui laporan ilmiah peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Hasil kajian menunjukkan bahwa agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional di Indonesia dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan terdistribusi pada semua level pemerintahan.
Kata kunci : climate chane, policy adoption, mitigation
PPEENNGGAANNTTAARR
“......and due to their higher population densities and extensive land cover modification, a majority of cities are expected to experience more dramatic climate-induced changes than surrounding areas” (Grimmond, 2007). (.......dan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi serta alih fungsi lahan yang meluas, mayoritas dari perkotaan diperkirakan akan mengalami dampak perubahan iklim secara lebih dramatis daripada daerah di sekitarnya)1
Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian
dunia. R.A Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai ” the most complex public policy
issue ever to face goverment.”2. Eksistensi ancaman perubahan iklim yang bersifat global
tersebut, mendorong terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim.
Dibawah kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah satu hasil dari pertemuan Earth Summit di
force.html 7 Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh
Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian
Halaman 11 dari 30
telah menyelesaikan kajian kebutuhan teknologi untuk mitigasi perubahan iklim
(Technology Needs Assessment for Climate Change Mitigation, TNA). Kajian ini telah
berhasil mengidentifikasi prioritas teknologi untuk mitigasi GRK untuk 7 sektor Indonesia:
Energi, Kelautan, Kehutanan, Industri, Pertanian, Persampahan, dan Transportasi. Selain
opsi pilihan teknologi, TNA juga melakukan analisis marginal abatement cost untuk
pilihan teknologi di setiap sektor.
Untuk mendukung pembuatan Strategi Nasional Adaptasi dan Rencana Aksi
Adaptasi menghadapi perubahan iklim, DNPI telah menyelesaikan Adaptation Science
and Policy Study8. Kajian mencoba mengidentifikasi berbagai kajian dan analisis yang
telah dilakukan oleh berbagai institusi yang terkait dengan adaptasi perubahan iklim di
Indonesia. Melalui kajian ini, dicoba untuk mengidentifikasi celah (gap) dan kebutuhan
untuk mengembangkan strategi adaptasi, kebutuhan strategi pendanaan serta kebutuhan
teknologi untuk Indonesia. Sejumlah kementerian sektoral, misalnya Kementerian
Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah membuat kajian terkait
dengan identifikasi tantangan dan pilihan-pilihan adaptasi di sektor pertanian, dan
strategi adaptasi untuk kelautan dan kawasan pesisir.
Perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca sebagai dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai
kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca
sesuai dengan target pembangunan nasional. Peraturan tersebut secara detail memuat
rencana aksi, bentuk kegiatan, periode pelaksanaan, lokasi serta indeks penurunan emisi
gas rumah kaca. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 sebelumnya
telah menyusun Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman Pengukuran Karbon untuk
mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Upaya Pemerintah Indonesia untuk
‘membumikan’ persoalan gas rumah kaca ditingkat daerah juga dilakukan, dengan
diterbitkannya Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tahun 2011. Adapun visualisasi hubungan aksi dunia
internasional dengan aksi pemerintah Indonesia terhadap perubahan iklim dan global
warming dalam bingkai kebijakan dapat dilihat pada bagan berikut :
8 Kajian ini berjudul ���������� ����� ��� ���� ������, yang dilakukan oleh DNPI dan LAPI ITB, atas
dukungan UK Aid dan British Council. Kajian ini dimulai pada Maret 2010 dan diselesaikan pada Juli
2010.
Halaman 12 dari 30
Gambar 1. Visualisasi Hubungan Aksi Dunia Internasi onal Dengan Aksi Pemerintah Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dan Global Warmi ng Dalam Bingkai Kebijakan
Kondisi di Indonesia, konfigurasi dampak perubahan iklim sebagaimana
disampaikan dalam tabel 6 demikian komplek, walau demikian dapat diinventarisir
beberapa bidang pembangunan yang terkait erat dengan dampak perubahan iklim
tersebut. Secara umum dampak perubahan iklim meliputi bidang-bidang diantaranya
(1) sektor sumber daya air; (2) sektor kelautan dan perikanan; (3) sektor pertanian;
Inovasi Kebijakan dalam Perubahan Iklim Melalui Str ategi Adaptasi dan Mitigasi Antar Level Pemerintah
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia demikian serius untuk melakukan
penanganan perubahan iklim, mengingat dampak nyata maupun dampak potensial yang
ada berdasarkan penelaahan beberapa kajian menunjukkan, “kondisi” krisis lingkungan
tengah terjadi di Indonesia. Pada perspektif inovasi kebijakan, maka pada level
pemerintah pusat (nasional), Pemerintah Indonesia secara makro melakukan tindakan
strategi adaptasi yang berorientasi kepada eksistensi hasil konvensi dan kebijakan dunia
internasional akan perubahan iklim. Hal ini sebagaimana pendapat Berry dan Berry
(1999), bahwa inovasi kebijakan yang terdapat pada level pemerintah pusat hasil dari
emulasi kebijakan-kebijakan yang sebelumnya (konvensi dan kebijakan dunia
internasional) yang diadopsi dalam kebijakan perlindungan iklim di Indonesia. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya merupakan faktor
pendorong dalam inovasi kebijakan yang ada. Artinya proses adopsi berlangsung
sebagai bentuk adaptasi kebijakan internasional yang berlaku secara holistik.
Secara lebih detail, kuatnya peran dunia internasional mempengaruhi kebijakan
internal Pemerintah Indonesia adalah dengan adanya Clean Development Mechanism
(CDM) sebagai program implementasi membantu negara-negara berkembang mencapai
pembangunan berkelanjutan, sekaligus membantu negara maju mencapai pelaksanaan
kewajiban membatasi dan mengurangi emisi melalui mekanisme pendanaan.
Pelaksanaan CDN dapat dilaksanakan melalui bilateral, multilateral dan unilateral. Pada
dasarnya kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK
pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang
menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan
energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer, dikenal pula sebagai
carbon sequestration, adalah kegiatan non-energi seperti kehutanan. Adapun sektor-
sektor yang termasuk kedalam CDM, antara lain : sektor energi, transportasi, industri,
komersial & rumah tangga, persampahan dan kehutanan. Hal ini apabila dikomparasikan
dengan sektor-sektor yang diintervensi dalam kebijakan penanganan iklim di Indonesia
dapat dilihat pada tabel berikut :
Halaman 15 dari 30
Tabel 1. Komparasi Sektor CDM dengan Sektor yang Di atur dalam Kebijakan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No. Sektor Penanganan CDM Kebijakan Indonesia
1 Kelautan dan Perikanan x √
2 Pertanian x √
3 Kesehatan x √
4 Sumber Daya Air x √
5 Kehutanan √ √
6 Transportasi √ √
7 Industri √ √
8 Energi √ √
9 Pengolahan Limbah √ √
10 Komersial & Rumah
Tangga
√ x
Keterangan : √ = Ya x = Tidak
Beragam inovasi kebijakan pada pada level pemerintah pusat (nasional), yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025,
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014,
Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI, National Development
Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National
Communication (SNC), Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR),
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman
Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+, juga dipengaruhi oleh kondisi
riil yang terjadi di Indonesia. Artinya bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya
bukanlah salah satu faktor penentu timbulnya inovasi kebijakan pada skala nasional,
akan tetapi juga desakan fakta empiris tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya
perubahan iklim di Indonesia. Adapun pemetaan atas dampak, rasionalitas strategi
adaptasi dan strategi serta program prioritas dalam penanganan perubahan iklim di
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Halaman 16 dari 30
Tabel 2. Pemetaan Atas Dampak, Rasionalitas Strateg i Adaptasi Dan Strategi Serta Program Prioritas Dalam Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No Dampak Bentuk Strategi
Sektor Program Prioritas Rasionalitas
1. a. Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi
b. Ketahanan pangan di Indonesia akan terancam oleh perubahan iklim
c. Indonesia akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi
d. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berkaitan erat dengan perubahan iklim
e. Variabilitas curah hujan akan berpengaruh buruk pada sumber air
f. Kenaikan permukaan air laut akan menggenangi zona pesisir yang produktif
g. Kenaikan permukaan air laut akan mengurangi mata pencarian pertanian dan pesisir
h. Pemanasan air laut akan mempengaruhi keanekaragaman hayati bahari
i. Perubahan iklim akan menyebabkan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor
Adaptasi
Kelautan dan Perikanan
Peningkatan kapasitas hukum dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan laut
Belum spesifiknya cakupan adaptasi perubahan iklim dalam regulasi dan kebijakan yang ada
2 Pertanian Penelitian Pengembangan Antisipasi, Adaptasi, dan Mitigasi Perubahan Iklim
Gagal tanam/gagal panen; kerusakan infrastruktur pertanian; meningkatnya frekuensi, intensitas dan distribusi luas wilayah pertanian yang terkena banjir, kekeringan
3 Kesehatan Penguatan sistem kesehatan sebagai respon terhadap perubahan iklim
Meningkatnya risiko penularan penyakit akibat dari perkembangbiakan, pengembangan, serta penyebaran vektor
4 Sumber Daya Air
Kajian Kerentanan Perubahan Iklim pada Wilayah Sungai dan Pengembangan Infrastruktur Sumber Daya Air dalam Peningkatan Kapasitas Tampungan Sumber Daya Air
Menurunnya debit bendungan (Pekalongan, Jateng, dll) serta adanya kekeringan dan banjir di wilayah Jawa-Bali, Nusatenggara, Sumatera
5
Mitigasi
Kehutanan Pengurangan emisi dari pencegahan kebakaran hutan dan degradasi lahan hutan gambut
Besarnya potensi kawasan hutan seluas 137,09 jt ha dan lahan gambut seluas 17 jt ha (sekitar 10% dari luas negara)
6 Transportasi Peningkatan Integrasi moda yang lebih rendah karbon atau angkutan umum untuk penumpang dan barang
Pengurangan GHGs yang paling efektif dan memiliki co-benefit yang sangat tinggi adalah dengan pendekatan shift, yaitu mengalihkan pergerakan pada kendaraan yang lebih rendah emisinya serta memperbaiki manajemennya.
7 Industri Capacity Building Bidang Konservasi Energi
Konservasi energi pada industri akan memberi dampak penghematan energi hingga 57%
8 Energi Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Terbarukan
Target Tahun 2025 : Minyak Bumi 20 %, Batu bara 33 %, Gas 30 %, geothermal 5%, Renewable Energi 5%, Coal to Liquids 2% and Biofuels 5%.
9 Pengolahan Limbah
Program peningkatan kualitas landfill
Hampir seluruh Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan open dumping yang menyebabkan GHGs.
Sumber: diolah dari bahan Presentasi Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. http://www.dephut.go.id/files/Presentasi _Roadmap_Bapenas_09.pdf
Proses adaptasi kembali terjadi, bersamaan dengan adopsi atas dampak yang
ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Artinya pada skala nasional, inovasi kebijakan
dalam bentuk munculnya beragam kebijakan-kebijakan level pusat, dipengaruhi oleh
Halaman 17 dari 30
dampak riil maupun potensial yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Sehingga faktor
dampak dapat dikatakan sebagai pemicu dari munculnya inovasi kebijakan. Lebih lanjut,
pemetaan dokumen kebijakan skala nasional yang berhubungan langsung dengan
perubahan iklim dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Kebijakan Makro, Meso, dan Mikro pada Skal a Nasional Terkait Langsung dengan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
• Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025,
• Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014,
• Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI)
• National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National Communication (SNC)
• Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
2 Pertanian Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
3 Kesehatan
4 Sumber Daya Air
5
Mitigasi
Kehutanan • Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI)
• National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National Communication (SNC)
• Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
• Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
6 Transportasi • Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI)
• National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National Communication (SNC)
• Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
7 Industri
8 Energi
9 Pengolahan Limbah
Sumber: diolah penulis, 2012.
Telaah empiris beragam upaya pemerintah Indonesia dalam perubahan iklim,
cukup banyak dilakukan melalui adanya program Clean Development Mechanism (CDM).
Berikut beberapa proyek CDM yang dikembangkan di Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :
Halaman 18 dari 30
Tabel 4. Proyek CDM Di Indonesia No Nama Proyek Uraian Lokasi
1. Bahari Co-Composting Project
Proyek manajemen limbah dari industri minyak sawit. Limbah diolah menjadi kompos untuk mengurangi emisi gas methana dari limbah minyak sawit. Reduksi emisi diperkirakan mencapai 58,458 ton CO2 per tahun dalam jangka waktu 10 tahun.
Aceh Tamiang, NAD
2 Nagamas Biomassa Cogeneration Project
Implementasi proyek Permata Hijau Group (PHG) yang melibatkan kontruksi pembangkit biomas di terminal induk PHG di Dumai, Sumatera. Dari proyek ini diharapkan dapat menurunkan CO2 sebesar 75.147 ton/tahun. Penurunan emisi GRK ini dilakukan dengan tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil untuk mengoperasikan generator.
Dumai, Sumatera
3 Gandaerah Hendana Co-Composting Project
Aktivitas dari proyek ini adalah proyek yang dilakukan di Propinsi Riau, Sumatera. Proyek ini akan menghindari emisi gas methana melalui proses pengomposan. Proyek ini akan menggunakan limbah padat dan cair dari pabrik kelapa sawit untuk memproduksi kompos organik yang dapat digunakan untuk pemupukan perkebunan kelapa sawit. Proyek ini diperkirakan dapat mengurangi emisi sebesar 81.629 ton CO2/tahun.
Riau, Sumatera
4 Gas Turbine Co- generation Project
Aktivitas proyek ini bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dengan mengenalkan sistem pembangkit turbine gas oleh PT. Sumi Rubber Indonesia (SURINDO), yang merupakan perusahaan ban automobile di Cikampek, Jawa Barat. Sistem pembangkit turbin gas ini akan menggunakan tenaga listrik dari gas alam dan menghasilkan energi listrik mencapai 56 GWh/tahun serta 148.860 ton panas. Dan hasil ini akan dimanfaatkan untuk operasi SURINDO.
Cikampek, Jawa
5 Pangkalan Brandan Palm Oil Waste Power Plant
Pangkalan Brandan Palm Oil Waste Power Plant, melakukan pembakaran 220.000 ton/tahun ampas buah sawit dari 6 pabrik pengolahan minyak sawit untuk menggerakkan 10.3 MW di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Proyek ini dikembangkan di bawah program Pembina Institute di Kanada dan Tata Energy Research Institute (TERI) di India yang sedang mengeksplorasi aplikasi CDM di Asia. Potensi pengurangan emisi sebesar 565.000 ton CO2e untuk jangka waktu 10 tahun. Sekarang, proyek ini sedang mencari investor dari negara maju (Annex I)
Pangkalan Brandan, Sumatera Utara
6 The Greenhouse Gases Emission Reduction Programme for Urban Buses in Yogyakarta
Tipe dari proyek ini adalah proyek transportasi. Tujuan utama untuk menyediakan sistem transportasi umum kota yang atraktif dan ramah lingkungan. Sistem ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas populasi penduduk kota dan dapat mengurangi emisi dari sistem transportasi yang digunakan saat ini. Diharapkan proyek ini dapat mengurangi 25% emisi CO2 yang dihasilkan oleh urban buses at the end of demonstration project, 10-15% CO2 yang dihasilkan oleh sistem transportasi kota, 5-10% ambient CO2
Yogyakarta
7 Wayang Windu Unit 2
Wayang Windu Unit 2, adalah sebuah proyek Geothermal sebesar 110 MW di Jawa. Potensi pengurangan emisi untuk jangka waktu 7 tahun sekitar 750.000 tCO2e dengan nilai 5,2 Euro per tonnya. Proyek ini dipilih sebagai sumber dari karbon kredit oleh pemerintah Belanda dan telah mendapatkan kontrak CERUPT2001 namun pada perkembangannya, kontrak tersbut gagal dikarenakan dokumen dokumen untuk persiapannya kurang
Gunung Wayang, Bandung Jawa Barat
Sumber: diolah dari www.cdm.or.id dan http://dna-cdm.menlh.go.id/id/database. Tahun 2012
Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) yang
kemudian menyatu dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berhasil
melaksanakan beberapa proyek pembangunan bersih. usulan kegiatan proyek CDM
yang telah disetujui oleh Komnas MPB sejumlah 24 proyek, dan 10 diantaranya sudah
teregistrasi secara internasional di Badan Eksekutif UNFCCC. Dari 24 proyek tersebut,
Halaman 19 dari 30
total emisi yang diturunkan sebesar 33.079.993 ton CO2 eq10. Lebih lanjut, upaya
kerjasama juga dilakukan yang berhasil dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Proyek Kerjasama dalam Rangka Perubahan Ik lim Di Indonesia
No Negara
Kerjasama Uraian
1. Indonesia – Belanda
Penandatanganan emissions reductions purchase agreement (ERPA) atau kontrak penjualan penurunan emisi tersertifikasi antara PT Gikoko Kogyo dan International Bank for Reconstruction and Development dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab Netherlands Clean Development Mechanism Facility. Program ini merupakan salah satu proyek Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), proyek ini merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia.Pemerintah Kota Pontianak menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki mesin pengumpul dan pembakar gas di tempat pengelolaan sampah akhir (TPA) Batulayang, menghasilkan pengurangan sekitar 1,5 juta ton ekuivalen CO2.
2 Indonesia -Denmark
Kerja sama kedua negara mencakup pertukaran informasi mengenai prosedur persetujuan nasional bagi proyek CDM di Indonesia, promosi pengembangan, peningkatan kapasitas, fasilitas penilaian, dan penyetujuan proyek, serta penghargaan kepemilikan sertifikat proyek CDM yang dapat ditransaksikan
3 Indonesia - Jepang Pemerintah Jepang melalui NEDO mengalokasikan anggaran sebesar Rp 130 miliar untuk pembangunan proyek Waste Heal Recovery Power Engineering (WHRPG), aplikasi teknologi pemanfaatan panas terbuang pada semen di Indonesia. WHRPG meru pakan hasil kerja sama NEDO Jepang yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan daya .saing serta meminimalkan emisi gas Co2 melalui mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM).
4 Indonesia - Inggris Lapan dan United Kingdom Space Agency (UKSA) atau lembaga antariksa Inggris. Fokus pada perubahan iklim dan peningkatan ekonomi Bermanfaat bagi pembangunan kapasitas Measurement Reporting Verification (MRV) atau pengukuran emisi karbon akibat degradasi dan deforestasi hutan guna menangani perubahan iklim. Dari sisi ekonomi, kerja sama ini akan bermanfaat di bidang observasi bumi. Hal ini akan membantu Indonesia antara lain untuk pemantauan ketahanan pangan, pemantauan laut dan perikanan, pemantauan penanaman padi, dan penanganan bencana.
5 Indonesia - Amerika
• Proyek Kesejahteraan Hijau (Green Prosperity Project) senilai 332,5 jutal dolar guna mendukung pertumbuhan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan melalui manajemen peningkatan hutan, lahan gambut, dan sumber daya alam lainnya serta penyebaran energi terbarukan.
• Pusat Perubahan Iklim atau Indonesian Climate Change Center (ICCC) yang baru,yang akan fokus pada pemetaan dan pemantauan lahan gambut yang kaya akan karbon dan hutan tropis dengan menggunakan keahlian dari US Forest Service dengan total bantuan dana sebesar 6,9 juta dolar
• Pengalihan utang untuk pemeliharaan lingkungan sebesar 28,5 juta dolar guna mendukung pelestarian hutan tropis.
• program USAID baru senilai 58 juta dolar untuk pengelolaan hutan, sumber daya kelautan, dan energi bersih, sebagai bagian dari 119 juta program kemitran SOLUSI dengan Indonesia untuk pencapaian emisi rendah.
Disamping itu masih banyak kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal penanganan perubahan iklim seperti Perancis, Norwegia,
Jerman dan juga Australia
Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, 2012
Beberapa capaian normatif dan empiris pada level nasional yang dicapai
pemerintah Indonesia sehubungan dengan penanganan perubahan iklim yang dapat
dipaparkan dalam tabel berikut :
10
Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim, (Kementrian
Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22
Halaman 20 dari 30
Tabel 6. Contoh Aksi Skala Nasional dalam Penangana n Perubahan Iklim Di Indonesia
No Bentuk Strategi
Sektor Aksi Normatif Aksi Empiris
Umum Sektoral
1.
Adaptasi
Kelautan dan Perikanan
• Integrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025,
• Integrasi dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
• Tersusunnya dokumen Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI)
• National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National Communication (SNC)
• Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
• Kebijakan Kementrian dan Dirjen
• Kerjasama bilateral & internasional dalam hal pendanaan penanganan perubahan iklim (Belanda, Inggris, Denmark Australia, Norwegia, Jepang, Perancis, Amerika Serikat dll)
• Pengiriman delegasi dalam pertemuan, kovensi tentang perlindungan iklim
• Pendirian Dewan Nasional Perubahan Iklim
Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 0,14% (1990) dan 4,35% pada tahun (2009) melalui Konservasi mangrove
2 Pertanian • Capaian normatif dalam sektor Kelautan dan Perikanan
• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Varietas padi rendah emisi, pupuk organik, aplikasi teknologi tanpa olah tanah, teknologi irigasi berselang, Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas
3 Kesehatan Capaian normatif dalam sektor Kelautan dan Perikanan
Program Indonesia Sehat 2010
4 Sumber Daya Air
Capaian normatif dalam sektor Kelautan dan Perikanan
Prokasih
5
Mitigasi
Kehutanan Capaian normatif dalam Sektor pertanian Peningkatan luas hutan menjadi 136,88 juta hektar atau sekitar 72,89 persen dari total luas daratan di Indonesia
6 Transportasi Capaian normatif dalam Sektor pertanian Cabutan subsidi, transportasi masal, bahan bakar alternatif, pajak progresive
7 Industri Capaian normatif dalam Sektor pertanian Melalui CDM
8 Energi Capaian normatif dalam Sektor pertanian Melalui CDM
9 Pengolahan Limbah
Capaian normatif dalam Sektor pertanian Pengenaan IPAL, CDM
Sumber: diolah penulis berbagai sumber, 2012
Dalam hal menumbuhkan inovasi pada level pemerintah daerah, di beberapa daerah pada tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak terdapat inisiatif lokal untuk membangun institusi hukum yang lebih “bergigi” dimana contoh salah satunya adalah Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat. Melalui Perda ini diatur secara komprehensif upaya terpadu untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menjadi kewenangan daerah yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan,
Halaman 21 dari 30
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, Perda Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Sehubungan dengan pembangunan institusi hukum di daerah, maka regulasi daerah yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Hal ini menyiratkan tingkat adopsi dari pemerintah daerah, melalui pembentukan peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai pencegahan pemanasan global dan perubahan iklim di Indonesia relatif baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah pusat melalui pendekatan top down, Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tahun 2011 yang didalamnya memuat pedoman implementasi dalam penanganan perubahan iklim khususnya pada sektor kehutanan dan pertanian ; sektor energi; sektor transportasi; sektor industri; dan sektor pengolahan limbah. Hal ini tentunya menyiratkan bahwa, eksistensi inovasi kebijakan juga dipengaruhi oleh hubungan kerjasama antar pemerintah Kebijakan daerah diorientasikan pada kegiatan mitigasi sektoral dengan menambahkan sektor pertanian dalam strategi mitigasi. Komparasi Antara Rencana Aksi Nasional & Rencana Aksi Daerah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7. Komparasi Antara Rencana Aksi Nasional & R encana Aksi Daerah dalam Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Di Indonesia
Rencana Aksi
No Bentuk Strategi Sektor pada Rencana Aksi
Nasional Sektor pada Rencana Aksi
Daerah 1.
Adaptasi
Kelautan dan Perikanan
2 Pertanian
3 Kesehatan
4 Sumber Daya Air
5
Mitigasi
Kehutanan Kehutanan dan Pertanian
6 Transportasi Transportasi
7 Industri Industri
8 Energi Energi
9 Pengolahan Limbah Pengolahan Limbah
Sumber: diolah penulis, 2012
Paparan tabel 7 menunjukkan bahwa, pada level pemerintah daerah (provinsi)
kegiatan penanganan difokuskan pada kegiatan mitigasi. Para ranah administrasi publik,
penyiapan institusi untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tingkat
provinsi juga perlu diawali dengan inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang
terkait dengan emisi gas rumah kaca. Perlu dipahami bahwa RAN GRK mengatur
pembagian kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang
yang pada Dokumen RAN PI ataupun ICCSR diklasifikasikan sebagai sektor dan juga
terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan
dengan pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan
pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam PP 38/2007. Berikut ialah tabel komparasi
sektor / bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca :
Halaman 22 dari 30
Tabel 8. Komparasi Pembagian Sektor – Bidang – Urus an Pemerintahan Terkait Kegiatan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ICCSR RAN GRK PP 38 / 2007*
1. Sektor Transportasi 2. Sektor Kehutanan 3. Sektor Industri 4. Sektor Energi 5. Sektor Pengelolaan
Persampahan
1. Bidang Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut
2. Bidang Pertanian 3. Bidang Energi dan
Transportasi 4. Bidang Industri 5. Bidang Pengelolaan
Limbah
1. Pekerjaan umum 2. Perumahan 3. Penataan ruang 4. Perencanaan pembangunan 5. Perhubungan 6. Lingkungan hidup 7. Pertanian dan ketahanan pangan 8. Kehutanan 9. Energi dan sumber daya mineral 10. Perindustrian
Keterangan : PP 38/2007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya menampilkan yang berkaitan dengan pembagian pada PP 38/2007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.
Kegiatan – kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam
RAN GRK ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan
kewenangan dan juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing – masing
lembaga. Oleh karenanya, ketentuan di dalam UU 32/2004 mengenai Pemerintah
Daerah dan juga PP 38/2007 mengenai Pembagian urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
merupakan acuan dalam penentuan lembaga penanggungjawab maupun pelaksana
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tabel 9. Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK p ada RAN dengan Pembagian Urusan Pemerintahan
Sumber : Disarikan dari PP 38 Tahun 2007
Halaman 23 dari 30
Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada
RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP 38/2007 menunjukkan bahwa seluruh
bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan. Kenyataan memperlihatkan adanya keterkaitan antara bidang
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan pemerintahan.
Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya
wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota
bergantung kepada karakteristik wilayah masing – masing. Urusan wajib ialah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan
pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan
pilihan, pada umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni
eksternalitas, akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pada praktiknya, pembagian urusan
pemerintahan ini sifatnya akan sangat kontekstual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi
perbedaan antara suatu periode ke periode lainnya maupun antar daerah. Oleh
karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan pemerintahan perlu
dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui kementerian/lembaga
pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah tersebut.
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK),
sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang
direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang
sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan
dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa
komponen sebagai berikut :
Halaman 24 dari 30
Tabel 15. Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK Institusi Tugas & Peran
Kementerian Koordinator Perekonomian
• Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
• Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas
• Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi
• Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian
• Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
Kementerian Lingkungan Hidup
• Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada Menteri Koordinator Perekonomian.
• Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable Reportable Verifiable)
Kementerian Dalam Negeri
• Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup
Kementerian / Lembaga
• Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-masing.
• Memantau pelaksanaan RAN-GRK secara berkala.
• Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Lingkungan Hidup secara berkala, minimal satu tahun sekali.
Gubernur / Pemerintah Provinsi
• Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.
• Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur
• Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK
Sumber :: RAN GRK, 2010.
Secara umum Pemerintah Pusat melalui Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah
Non Departemen memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Norma Standar Prosedur Kerja (NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan
pilihan. Norma Standar Prosedur Kerja (NSPK) tersebut kemudian berfungsi sebagai
pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan tersebut.
Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar
tingkat pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada
dasarnya adalah membangun kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK). Pemerintah Provinsi, di sisi lain, adalah perpanjangan
tangan dari Pemerintah Pusat di daerah: Dengan demikian memiliki kewenangan untuk
pengendalian implementasi kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga
memiliki peran dalam memfasilitasi isu antar kabupaten/kota. Adapun konteks
desentralisasi untuk setiap sektor pada dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan
sektoral.
Halaman 25 dari 30
Gambar 4. Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi
Lebih lanjut, berdasarkan kewenangan yang dimiliki (administrative) dan pelibatan
dalam proses penyusunan BAU (Business-As-Usual) /Baseline serta opsi mitigasi
(kemampuan teknis), maka dapat dilakukan pembagian sektor. Pembagian sektor
merupakan pembagian peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) dalam penyusunan
BAU dan opsi mitigasi atau disebut juga dengan menu sektoral. Berdasarkan
karakteristik-karakteristik ini terdapat tiga kategori yaitu:
1. Sektor Campuran ( Mixed sektor)
Sektor campuran adalah sektor yang sulit dibagi kewenangannya antara pusat
dan daerah. Pusat memiliki otoritas pada sektor ini, tetapi pada tahap
implementasi, bantuan dari daerah untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan
akan sangat besar. Karena itu, sektor ini melibatkan koordinasi bersama antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengurangan emisi.
Dalam kategori sektor campuran adalah sektor kehutanan, lahan gambut dan
pertanian. Pemerintah pusat atau kelompok kerja nasional (National working
group) yang dikoordinasi oleh Bappenas akan membuat nasional BAU/Baseline
dan kemudian mendistribusikan hasil BAU tersebut ke provinsi-provinsi (misalnya
Papua, Kaltim) (berkoordinasi dengan Bappeda dan dinas kehutanan) sehingga
Provinsi-provinsi dapat membuat BAU masing-masing. Pemerintah pusat akan
memberikan bimbingan teknis dan arahan menyangkut penyusunan BAU dan opsi
mitigasi. Pemerintah daerah dan pusat (kelompok kerja dan Bappenda/dinas)
dapat membuat usulan opsi mitigasi untuk setiap provinsi. Usulan-usulan
Halaman 26 dari 30
pemerintah provinsi digabung (aggregated) oleh kelompok kerja nasional untuk
menjadi rencana tindak mitigasi nasional (NAMAs).
2. Sektor Tertutup ( Isolated sektor)
Sektor ini disebut sektor tertutup karena pada sektor ini pemerintah provinsi
memiliki kewenangan penuh untuk menangani penyusunan BAU dan opsi mitigasi
dimana secara administratif dan teknis sektor ini merupakan kewenangan penuh
daerah, yang termasuk ke dalam sektor tertutup adalah sektor persampahan.
Provinsi (Bappeda dan dinas terkait ) perlu menentukan metodologi BAU dan opsi
mitigasi berdasarkan dokumen yang disusun oleh nasional. Masing-masing
provinsi akan menyerahkan BAU dan opsi mitigasi itu diserahkan ke kelompok
kerja nasional untuk diseleksi dan bilamana terpilih dapat dijadikan satu menjadi
National BAU dan usulan opsi mitigasi.
3. Sektor Terbuka ( Open sektor)
Sektor ini disebut sektor terbuka karena pada sektor ini penyusunan BAU dan
opsi mitigasi sifatnya yang lintas daerah atau lebih tepat menjadi kewenangan
pemerintah nasional, yang termasuk ke dalam sektor ini adalah sektor industri dan
sektor transportasi . Pada sektor ini, Pemerintah provinsi memiliki keterbatasan
dalam pelibatan penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Peran daerah adalah
penyediaan data-data yang diperlukan untuk menyusun BAU, pada tahap
implementasi dan reporting. Contohnya yang langsung ditangani oleh pusat
adalah sektor industri dan transportasi. Daerah tidak terlibat secara penuh atau
terbatas keterlibatannya dalam proses penyiapan BAU dan opsi mitigasi, karena
sudah ditangani langsung oleh nasional working group/sektor. Keterlibatan daerah
pada sektor ini adalah dalam tahap implementasi dan reporting saja, juga
penyediaan data-data awal.
Paparan tentang fakta empiris dan normatif di Indonesia nampak jelas bahwa
penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan
manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu
mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim
jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada
tingkat nasional, regional, maupun lokal. Hal yang mendasar adalah, upaya adaptasi
harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju
perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Pertimbangan mendasar bahwa,
Halaman 27 dari 30
perubahan iklim berdampak terhadap banyak sektor, maka penanganannya
membutuhkan konsep yang holistik dan koordinasi yang baik diantara sektor.
KKEESSIIMMPPUULLAANN
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap
perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut,
infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Untuk mencapai
pembangungan yang tahan terhadap resiko iklim, pada masing-masing area fokus perlu
untuk diketahui: 1) tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan
tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia; 2) kondisi yang ada pada masing-
masing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang
bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim; 3) perubahan kunci yang
diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada; dan 4) investasi dan
kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.
SSAARRAANN
Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam
melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju.
Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan
pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga
merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional.
Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program
pengentasan kemiskinan.
Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada
pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial
secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi
kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi. Adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam
rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan
iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke
depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah
terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Halaman 28 dari 30
Agenda adaptasi dalam strategi pembangunan untuk menghadapi anomali iklim
atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :
• Program pengurangan resiko bencana terkait iklim melalui program
penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang
kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan
masyarakat;
• Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan
informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk
masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan
peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;
• Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan
dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model
proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan panjang untuk skala
lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak
iklim serta menyusun rencana dan strategi kebijakan adaptasi terhadap
perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang;
• Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun
tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kemudian
mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan terhadap
program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan
mempertimbangkan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta
perubahan kondisi sosial-ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan program
yang lebih tahan terhadap perubahan iklim;
• Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan
pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam perencanaan,
perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air
tanah untuk institusi pengelolaan air;
• Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program
di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan bencana,
pengelolaan sumberdaya air, pertanian, kesehatan dan industri);
• Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan
perguruan tinggi;
• Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di
luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca
dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia;
Halaman 29 dari 30
• Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor yang
tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim, dan
pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada
kawasan pantai.
Upaya adaptasi, seperti tertulis dalam Dokumen “Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim” (lebih dikenal dengan Dokumen RAN-PI) harus dilakukan
melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke
dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau
program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3)
melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4)
mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam
perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk
mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan
tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan
adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7)
memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski
misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi
pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat
mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di
Indonesia.
REFERENSI
Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. http://www.dephut.go.id/files/Presentasi _Roadmap_Bapenas_09.pdf
CIESIN, 2007. Population Density Within and Outside of a 10 m Low Elevation Coastal Zone in Western Indonesia. s.l. : Columbia University, 2007
IIEE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy Economics Review Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta.
Grimmond, S, 2007, Urbanization And Global Environmental Change: Local Effects Of Urban Warming. The Geographical Journal, 173 (1), hal 83–88
Halaman 30 dari 30
Hulme, Mike and Sheard, Nicola (1999), Climate Change Projections in Indonesia. Climatic Research Unit. United Kingdom : University of East Anglia and WWF International, 1999
Johnson. 1992, dalam Fabby Tumiwa et al, 2010, Kertas Kebijakan : Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini., 2010. Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia. ISBN: 978-979-1157-29-2 kebayoran baru, Jakarta Electronic Copy Available At : http://www.scribd.com/document_downloads/direct/50684525?extension=pdf&ft= 1325914369<=1325917979&uahk= J6ydWpx8bQvDVz9uAcBw9ssfm+g, hal 14
Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober Tahun dengan tema “Berinvestasi Untuk Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia”, 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group, Jakarta Electronic Copy Available At http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer /WDSP/IB/2009/11/19/000333038_20091119000502/Rendered/PDF/507620v20Revis1box0info10CEA1bahasa.pdf.
Naylor, Rosamond et al. (2007), Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, PNAS Early Edition, May 1, 2007.
Nasrullah, 2010, Perubahan Iklim Dan Trend Data Iklim, Electronic Copy Available At: http://manado.kaukustujuhbelas.org/content/files/1307525387.pdf
Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. The Kyoto Protocol : International Climate Policy for the 21st Century. New York : Springer, 1999, hal. 7-8
Olson, M, 1965. The logic of collective action. Cambridge, MA: Harvard University Press
OFDA/CRED (2007), The International Disaster Database, Catholic University of Louvain, Belgium.
Pusat Standardisasi dan Lingkungan. 2008. Hutan Dan Pemanasan Bumi. Makalah disampaikan dalam Seminar “Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik) Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Departemen Kehutanan
Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim : Perubahan Variasi Curah Hujan, Cuaca dan Iklim Ekstrim. Jakarta : Badan Metereologi dan Geofi sika.
Reinstein, RA. 1993, Climate Negotitations, The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal 79-95, Electronic Copy Available At: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#
Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim, (Kementrian Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22
Setiasih, Naneng (2006), Bali Barat National Park (BBNP) Coral Monitoring Report. s.l. : Friends of the Reefs Project WWF Indonesia.
Susandi, Armi et al (2007), Climate Change in Jakarta: Its Historical Study for Projection, Proceedings of Annual Scientifi c Meeting HAGI, Semarang, Indonesia (13-15 November 2006).