IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : BAYU PRAKOSO NIM. E0005117 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
90
Embed
IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN …/Implikasi... · DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD ... 2012. ii Dengan menyebut nama ... penguasa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ii
IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN
YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN
DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG
DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
BAYU PRAKOSO
NIM. E0005117
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
ii
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang
iii
iv
v
PERNYATAAN
Nama : BAYU PRAKOSO
NIM : E0005117
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
“IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN
YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN
DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG
DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 30 Juli 2012
Yang membuat pernyataan,
BAYU PRAKOSO
NIM. E0005117
vi
MOTTO
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka
Apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”
(Q.S. Al Insyirah: 5-7)
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”
(Q.S. Al-Mujadilah ayat 11)
“… Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagi kalian
dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagi kalian,
Allah maha mengetahui sedang kalian tidak mengetahui”
(Q.S. Al Baqarah : 216)
“Sesungguhnya tak seorangpun dilahirkan berilmu.
Ilmu diperoleh dengan belajar”
(H.R. Ibnu Mas’ud, r.a)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini akan senantiasa penulis persembahkan
Kepada Rabb alam semesta, Allah SWT
penguasa langit dan bumi yang mengatur seluruh makhluk-Nya
Aku memuji-Nya atas segala karunia yang diberikan-Nya
Aku memohon tambahan karunia dan kemudahan dari-Nya
Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa illa ha illallah wallahu akbar
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah
Baginda Rosulullah, Muhammad SAW,
Beliau adalah sebaik-baik makhluk yang menjadi suri tauladan
Semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada beliau, keluarga beliau,
sahabat beliau serta pengikut beliau yang istiqomah
Kepada bapak dan ibu atas semua doa-doa yang tiada henti terucap
yang dengan ketulusan hati mendidik dan menyayangi penulis
yang dengan segala pengorbanannya sampai kapan pun takkan
mampumembalasnya
yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan caranya
Ya Allah sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku
kecil
Berikanlah mereka kebahagiaan dunia mapun akherat
Kepada kakak-kakak dan adik penulis yang senantiasa menjadi motivator bagi
penulis
Yang dengan canda dan tawa mereka mampu menghilangkan kelelahan ini
Semoga Allah senantiasa meridhai cita-cita kita baik dunia maupun akherat
Kepada keluarga besar dan sahabat penulis yang selalu memberikan
doa dan semangat untuk penulis
Kepada almamater... Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
viii
ABSTRAK
Bayu Prakoso, E0005117, 2012 IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD. Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan mengkaji permasalahan mengenai bagaimana pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya, dan bagaimana implikasi pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal daerah konstituen apabila terpilih nantinya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis interaktif (reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada Bab III yang mengacu pada rumusan masalah, maka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dalam mekanisme pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang mencalonkan diri di daerah yang bukan dari tempat asalnya atau konstituennya, diatur juga didalam Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun apabila terpilih anggota DPRD Kabupaten tersebut dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dimana masyarakat yang terus berkembang, menenutut anggota DPRD Kabupaten yang kompeten dan akuntabel, untuk mewujudkan check and balances antara wakil rakyat dengan wakil rakyat.
ix
ABSTRACT
Bayu Prakoso, E0005117, 2012 IMPLICATIONS NOMINATION PARLIAMENT DISTRICT MEMBER DID NOT COME FROM THE REGION OF THE REVISED CONSTITUENT’S, BE REVIEWED FROM POWERS AND DUTIES IN LAW NUMBER 27 OF 2009 CONCERNING MPR, DPR, DPD, and PARLIAMENT. Faculty of Law Sebelas Maret Surakarta.
This study aims to examine the problem of how the nomination of members of local parliament who did not come from the constituents, and how the implications of the implementation of the duties and authority of the district parliament member who is elected from the constituency.
This study is a kind of normative research is descriptive. The type of data used are secondary data, including primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of engineering documents with interactive analysis (data reduction, presentation of data, and drawing conclusions).
Based on the results of research and discussion that has been the writer explained in Chapter III, which refers to the formulation of the problem, then it can be stated as follows:
In the nomination mechanism legislators who ran for the District in an area that is not from the place of origin or its constituents, are also regulated in Article 51 paragraph (1) letter c of Law No. 8 Year 2012 on Elections for the DPR, DPD, and the Parliament. However, if the elected members of local parliament can perform tasks and responsibilities in accordance with Law Number 27 Year 2009 on the MPR, DPR, DPD, and the Parliament. Where the community is growing, demands local parliament members who are competent and accountable, to create checks and balances between the representatives of the people with the representatives of the people.
x
KATA PENGANTAR
Alhamdullilahirrabil’alamin. Segala puji bagi Allah, tiada Tuhan
selain Engkau. Dengan mengharap penuh keridhaan-Nya, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul IMPLIKASI
PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK
BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS
DAN WEWENANGDALAM UNDANG–UNDANG NOMOR 27
TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD” dengan baik,
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah
SAW,keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya terkasih hingga suatu
hari yangtelah Allah SWT janjikan.
Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-
syarat guna memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan
hambatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami
dalam menyusun penulisan hukum ini, akhirnya selesai juga berkat bantuan
dan uluran tangan dari berbagai pihak baik materiil maupun non-materiil.
Oleh karena itu dengan ketulusan hati dan ketulusan yang mendalam, penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Bapak Sunarno Danusastro, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I dalam
penulisan hukum (skripsi) penulis, yang penuh kesabaran memberikan
arahan, bantuan serta meluangkan waktu beliau demi keberhasilan
penyusunan skripsi ini;
xi
4. Ibu Aminah, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II dalam penulisan hukum
(skripsi) penulis yang yang penuh kesabaranmemberikan arahan, bantuan
serta meluangkan waktu beliau demikeberhasilan penyusunan skripsi ini;
5. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik (PA)
selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
6. Bapak dan Ibu Dosen serta staff karyawan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
7. Bapak, Ibu, dan Adik (Alm) penulis, atas segala doa yang tiada henti
terucap, kasihsayang serta dukungan yang tak ternilai;
8. Buat Istri dan Anaku tercinta terima kasih atassemangat, kesabaran dan
A. Kesimpulan .............................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar IAlur Pemikiran ......................................................................... 9
2. Gambar II Kerangka Berpikir....................................................... ........ 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hampir semua negara di dunia menyatakan pemerintahannya
berdasarkan demokrasi. Dimana demokrasi diyakini mampu
mengantarkan rakyatnya pada kehidupan yang lebih baik. Selain itu,
demokrasi juga dapat dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan
dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dimana sistem ini juga
dapat dikenal dengan pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Seperti halnya pendapat dari Moh. Yamin, bahwa negara demokrasi
menempatkan rakyat pada posisi sangat penting, karena didalam suatu
negara, rakyatlah yang memegang kedaulatan. (Moh.Yamin,1954:56),
Untuk mencapai kedaulatan rakyat tersebut, dapat dilaksanakan
dengan melalui sistem perwakilan. Dimana sistem perwakilan tersebut,
diwujudkan dengan menempatkan wakil-wakil rakyat di lembaga
perwakilan rakyat. Di Indonesia sendiri lembaga perwakilan rakyat
terdiri atas MPR, DPR, dan DPD yang berada di tingkat pusat, DPRD
yang berada di tingkat provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dimana
nantinya wakil-wakil rakyat tersebut harus bertindak atas nama rakyat.
Salah satu bentuk perwujudan demokrasi adalah dengan
diadakannya Pemilihan Umum (pemilu) yang dilakukan secara berkala
dalam waktu-waktu tertentu. Hal ini diatur di dalam Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Salah satunya adalah pemilihan wakil-wakil rakyat yang akan menduduki
kursi di parlemen.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2009:415), pentingnya pemilu untuk
diselenggarakan secara berkala dikarenakan oleh beberapa sebab;
1
2
1. Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu, dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai suatu kebijakan negara.
2. Disamping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun faktor eksternal manusia.
3. Perubahan-perubahan aspirasi pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula,
4. Pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara baik di cabang eksekutif maupun legislatif. (Jimly Asshiddiqie, 2009: 415)
Pada hakikatnya sistem pemilu dibuat dalam rangka menegakkan
prinsipprinsip demokrasi, sehingga konsepsi dalam sistem pemilu yang
tercantum dalam peraturan perundangundangan dan segala proses
teknis pelaksanaanya pun harus berlandaskan prinsipprinsip demokrasi
tersebut.
Dalam demokrasi perwakilan, kualitas demokrasi sangat
ditentukan oleh sejauh mana ditaatinya prinsipprinsip demokrasi dalam
mekanisme penentuan wakil rakyat. Yang nantinya wakil-wakil rakyat
yang telah dipilih tersebut, dapat menunjukkan akuntabilitasnya sebagai
wakil rakyat yang duduk di parlemen.
Akuntabilitas wakil rakyat, dapat dilihat dalam setiap keputusan
atau kebijakan, apakah keputusan atau kebijakan tersebut dapat
mencerminkan aspirasi rakyat atau tidak. Wakil rakyat bisa dikatakan
akuntabel apabila memiliki hubungan kesalingan dengan masyarakat
yang diwakilinya, artinya
1. Dia mampu bertindak demi sekelompok warga negara yang
diwakilinya, dan
3
2. Yang diwakilinya mempunyai kemampuan untuk memberi
sanksi atau imbalan atas kinerjanya. (Haryatmoko 2009:169)
Namun pada kenyataannya, akuntabilitas wakil-wakil rakyat yang
telah dipilih oleh konstituen dalam menjalankan tugasnya masih
dipertanyakan. Hal ini disebabkan, oleh masyarakat yang bersifat
dinamis, sehingga mengakibatkan timbulnya permasalahan atau
dinamika antara rakyat dengan pemerintah. Apabila hal ini tidak diikuti
dengan kecakapan wakil-wakil rakyat dalam menyikapi permasalahan-
permasalahan yang timbul tersebut, padahal diketahui bahwa wakil
rakyat adalah penyalur aspirasi rakyat. Banyak faktor yang menyebabkan
permasalahan tersebut, salah satunya adalah faktor domisili dari wakil
rakyat. Wakil rakyat yang tidak berdomisili atau berasal dari daerah
konstituennya, tentu saja tidak dapat secara cepat dan tepat dalam
menanggapi suatu permasalahan antara rakyat dengan pemerintah.
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dan menyusun menjadi sebuah skripsi
dengan judul ”IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD
KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH
KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG
DALAM UNDANG–UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan
masalah-masalah apa yang hendak diteliti, sehingga memberikan
kemudahan dalam mencapai sasaran yang akan dicapai. Mengacu pada
latar belakang yang telah di uraikan diaatas, maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak
berasal dari daerah konstituennya?
4
2. Bagaimana pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD
Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai
dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan target yang ingin dicapai sebagai
solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk
memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Berangkat dari
permasalahan diatas maka penulis menetapkan tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana pencalonan anggota
DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah
konstituennya
b. Untuk mengetahui bagaimana pelaksananan tugas dan
wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak
berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan
Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD
2. Tujuan Subyektif
a. Sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas
pengetahuan, wawasan dan pemahaman penulis
mengenai pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang
tidak berasal dari daerah konstituenya dan didalam
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.
b. Untuk memperoleh datadata yang relevan, lengkap dan
jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan
hukum, guna memenuhi syarat untuk menperoleh gelar
5
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam
penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara
pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan
mengenai pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang
tidak berasal dari daerah konstituenya dan didalam
menjalankan tugas dan wewenangnya.
c. Hasil penelitian ini dapat dipake sebagai acuan
dan perseorangan dengan lebih menggunakan cara-cara
persuasi dan diskusi daripada koersi dan represi.
(Miriam Budiardo, 1992 : 86-87)
Sementara itu, Henry B. Mayo dalam mendefinisikan
demokrasi mencoba menyebutkan nilainilai yang harus dipenuhi
sebagai berikut:
1) Menyelesaikan pertikaianpertikaian secara damai dan
sukarela;
2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam
suatu masyarakat yang selalu berubah;
3) Pergantian penguasa secara teratur;
4) Penggunaan paksaan sesedikit mungkin;
5) Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai
keanekaragaman;
6) menegakkan keadilan;
7) memajukan ilmu pengetahuan; dan
8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.
(Henry B. Mayo dalam Miriam Budiardjo, 1992:
165191)
Begitu juga seorang sarjana ilmu pemerintahan yaitu Austin
Ranney menyebut adanya empat prinsip dari demokrasi yaitu :
1) Popular Sovereignty (kedaulatan rakyat);
2) Political Equality ( persamaan di bidang politik)
3) Popular Consultation (kehendak rakyat sebagai
penentu);
4) Majority Rule (aturan suara terbanyak).
28
Kempat prinsip demokrasi dari Ranney tersebut
dikemukakannya dalam sebuah definisi tentang demokrasi sebagai
berikut “As we shall use the term in this book, democracy is a form
of government organized in accordance with the principles of
popular sovereignty, political equality, popular colsultation and
majority rule”.(Austin Ranney, 1960: 176)
Melalui penelusuran berbagai definisi dan kriteria mengenai
demokrasi, Eep Saefullah Fatah merumuskan tiga permasalahan
demokrasi yang cukup krusial, yaitu bagaimana menjawab paradoks
yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konfik di
satu sisi dengan keteraturan, stabilitas,dan consensus disisi lain,
kemudian sejauh mana demokrasi sebagai ide politik dengan
demokrasi sebagai praktek politik telah berpisah satu sama lain, dan
selanjutnya apakah sebenarnya hakikat demokrasi jika diterjemah
kan dari ide normatig kedalam praktek politik. Ketga pokok
permasalahan tersebut adalah merupakan entitas yang tidak
terpisahkan.
Entitas permasalahan pertama, adalah demokrasi sebuah
paradoks. Disatu sisi ia mensyaratkan adanya jaminan kebebasan
serta peluang berkompetisi dan berkonflik namun di sisi lain ia
mensyaratkan adanya keteraturan, kestabilan dan consensus.
Bagaiman paradoks ini dijwab dan di rasionalkan ? Ini merupakan
satu tema krusial tentang demokrasi sebagai ide politik kunci untuk
mendamaikan semacam ini, menurut Eep Saefullah adalah terletak
pada kira memperluangkan demokrasi. Sewajarnya ia diperlakukan
semata sebagai sebuah cara atau proses, dan bukan sama sekali
sebagai tujuan, apalagi di sakralkan. Ketika demokrasi kita perlukan
sekedar cara, maka keteraturan, kita diperlikan , stabilitan dam
consensus tidak kita tempatkan pula sebagai sebuah tujuan yang
akral. Dengan begitu, keteraturan, stabilitas, dan consensus yang
29
dicita-citakan dan dibentukpun, diposisikan sebagai hasil bentukan
dari proses yang penuh kebebasan, persuasi, dan dialog yang bersifat
konsensual. Berbedahalnya keteraturan, stabilitas, dan konsensus
diposisikan sebagai sebuah tujuan yang sakral, maka boleh dibentuk
secara ironis dan paradoksal oleh pemaksaan, koersi, represi, dan
intimidasi. Kenyataan akhir inilah yang seringkali muncul dalam
praktek politik demokrasi, sehingga demokrasi sebagai idea politik
menjadi satu kotak yang terpisah dari kotak lain, yaitu kotak
demokrasi sebagai praktek politik.
Hampir tak ada satupun negara didunia saat ini yang tidak
mengklaim dirinya menjalankan demokrasi. Sejak tahun 1917
misalnya, kita mengeenal istilah “demokrasi proletar” atau
“demokrasi Soviet” di Uni Soviet, sekalipun praktek politik yang
dijalankan negara jauh di idea demokrasi. “Demokrasi rakyat” di
Eropa Timur seusai Perang Dunia II, “Demokrasi Nasional” di
negara-negara Asia Afrika sejak tahun 1950-an, dan lain-lain.
Peristilahan praktek politik demokrasi ini akan bertambah panjang
jika kita sertakan istilah yang pernah dipakai di Dunia I, Dunia II,
Dunia III (untuk menyebut pemisahan dunia produk era perang
dingin) (Eep Saefullah Fatah, 2000 : 10-20)
Dilihat dari sudut sejarah, praktek politik demokrasi kita
dapat mengidentifikasi telah terjadinya beberapa tahapan
transformasi. Robert A.Dahl, dalam hal ini membaginya menjadi
tiga tahapan transformasi. Transformasi demokrasi pertama adalah
demokrasi yang kecil ruang lingkupnya, berbentuk demokrasi
langsung. Tahap ini terjadi dalam praktek politik Yunani dan
Athena. Transformasi demokrasi yang kedua diwujudkan dengan
diperkenalkanya praktek republikanisme perwakilan dan logika
persamaan. Transformasi ketiga dicirikanoleh belum adanya
kepastian apakah kita akan kembali kemasyarakat kecil semacam
30
Yunani kuno dan Athena ataukah kebentuk lain. Yang pasti, kembali
secara persis kemasa Yunani kuno dan Arhena sangatlah tiak
mungkin. Tahapan-tahapan ini bagaimana membawa Dahl pada
penegasan bahwa yang akan dicapai dimasa epan adalah sebuah
bentuk demokrasi yang lebih maju. Yaitu demokrasi yang
memusatkan diri pencarian sumber-sumber ketidaksamaan aripada
berusaha melaksanakan persamaan dalam masyarakat. Untuk ini
jalan yang ditempuh demokrasi maju adalah penyebar luasan
sumberdaya ekonomi, posisi, dan kesempatan melalui penyebar
luasan pengetahuan, informasi, dan keterampilan. (Robert A. Dahl,
1992: 165-167)
Sedangkan menurut Samuel P. Huntington, sejarah praktek
demokrasi dunia dibagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama
berakar padda revolusi Amerika dan Prancis dan ditandai oleh
tumbuhnya institusi–institusi nasional demokratis, sebagi sebuah
fenomena abad ke-19. Gelombang kedua dimulai pada perang dunia
II yang ditandai dengan perimbangan baru dalam kostelasi
antarbangsa akibat perang serata bermunculannya negara-negara
koonial. Sementara gelombang ketiga dimulai pada tahun 1974.
Dengan ditandai oleh berakhirnya kediktatoran Portugal dan terus
berlanjut dengan gelombang besar demokratisasi di seluruh bagian
dunia secara spektakuler hingga tahun 1990. Diantara satu
gelombang dengan gelombang lain, menurut Hungtington terjadinya
fase “pembalikan” pertama terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an
dengan kembainya bentuk-bentuk totaliterisme. Gelombang kedua
terjadi pada tahun 1950-an ketika terjadi pertumbuhan otoriterisme
terutama dalam kasus Amerika Latin (Samuel P. Huntington, 1997:
13-26)
31
Praktek demokrasi dalam tahap transformasi (menurut Dahl)
atau gelombang (menurut Hutington) dimana demokrasi itu berada.
Terdapat empat kriteria praktek politik demokrasi Eep Saefulah;
1) Partisipasi politik yang luas dan otonom. Praktek politik demokrasi pertama mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom dari seluruh elemen masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok. Demana sebuah pembatasan partisipasi merupakan praktek anti –demokrasi. Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan dan eksklusifitas dalam penentuan sumber-sumber rekruitmen politik dan tidak ada pula eksklusivitas dalam formulasi kebijakan-kebijakan politik.
2) Sirkulasi kepemimpinan poltik secara efektif dan kompetitif. Praktek demokrasi mensyaratkan jaminan adanya sirkulasi kepemimpinan politik secara berkala, selektif, dan kompetitif,dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalan, selektivitas, maupun sifat kompetitif dari sirkulasi kepemimpinan politik merupakan kriteria operasional yang amat penting. Namun, kriteria tersebut hanya akan memenuhi persyaratan demokrasi apabila melibatkan semua warga negara dalam keseluruhan prosesnya.
3) Kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Persyaratan praktek demokrasi yang lain tidak kalah pentingnya adalah adanya control efektif terhadap kekuasaan. Control terhadap kekuasaan ini dinilai efektif ketika ia dijalankanbaik oleh kelembagaan politik ditingkat infrastruktur (media massa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-lain). Disamping itu. Masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak terorganisasi juga di berikan keluasan untuk mengoontrol kekuasaan. Dalam kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting.
4) Kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Kriteria terakhir dari demokrasi adalah adanya kompetisi antar elemen Negara, antar elemen-elemen didalam Negara secara leluasadan sehat. Dalam kerangka ini, pembentukan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh tidak menghancurkan sistem
32
politik itu sendiri. Suasana yang melingkupi kompetisi ini adalah suasana yang penuh kebebasan dan salaing penghargaan, sehingga kompetisi di posisikan sebagai “konflik yang fungsional positif”. (Eep Saefullah Fatah, 2000 : 14-15)
Sementara itu Teuku May Rudi memberikan pandangannya
bahwa sistem pemerntahan demokrasi berkaitan eratdengan faktor-
faktor seperti: adanya sistem perwakilan, adanya pemilihan umum
secara berkala, adanya keterbukaan dan adanya pengawasan sosial
(social control) dari rakyat atau masyarakat dimana hal ini
merupakan bagian dari ciri karakteristik demokrasi.
Namun hakikat serta prasyarat dari semua itu adalah
terdapatnya kondisi keseimbangan diantara suprasturktur politik
dengan infrastruktur politik. Pada umumnya suprastruktur adalah
mencakup:
1) Pemerintah ;
2) Lembaga Tinggi Negara,
3) Lembagalembaga Negara (di pusat dan di daerah); dan
4) Aparatur Pelaksana Administrasi Pemerintahan.
Infrastruktur adalah mencakup saluransaluran
organisasi untuk penyaluran aspirasi rakyat, yaitu:
1) Orsospol/Parpol;
2) Kelompok Kepentingan (Interest Groups);
3) Kelompok Penekan/Pendesak (Pressure Groups); dan
4) Pendapat Umum (Public Opinion) bersamasama
media massa.
Kesimpulannya adalah bahwa prasyarat berlangsungnya
demokrasi adalah kuatnya dan berperannya infrastruktur dalam
mengimbangi suprastruktur. Pelaksanaan demokrasi sama sekali
33
bukan soal sipil atau militer, bukan soal besar kecilnya dominasi
kelompok atau golongan tertentu. Sungguh kurang tepat jika kita
meninjau dari segi itu, karena yang penting dalam hal demokrasi
dan demokratisasi adalah interaksi positif yang seimbang antara
suprastruktur dengan infrastruktur. (http://www.republika.co.id)
b. Teori Kedaulatan Rakyat
Seperti dikemukakan oleh Moh.Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, dalam paham kedaulaktan rakyat (democracy), rakyatlah
yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam negara. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 413)
Dimana di dalam suatu negara hukum, hukum yang
mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah
diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau
kedauatan rakyat (Ni’matul Huda, 2006 : 76). Meskipun rakyat
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat tetap harus mematuhi
hukum yang telah dibuat oleh pemerintah.
Salah satu cabang kekuasaan yang pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat adalah cabang kekuasaan legislatif.
Dimana kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan
kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga
legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh peara wakil
rakyat melalui parlemen, yaitu : (i) pengaturan yang dapat
mengurangi hak dan kebebasan warga negara; (ii) pengaturan yang
dapat membebani harta kekayaan warga negara; dan (iii) pengaturan
mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara.
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas
persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui perantara
34
wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
(Jimly Asshidiqie, 2009 : 298-299)
4. Tinjauan Umum tentang Partai Politik (Parpol)
a. Pengertian Parpol
Partai poitik merupakan salah satu sarana bagi warga negara
untuk turut serta dalam proses pengelolaan negara. Secara umum
dapat dikatakan bahwa partai politik adaah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai, dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan
cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
Banyak definisi mengenai partai politik menurut Carl J.
Friedrich, “partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada
anggota partainya kemanfaata yang bersifat idiil serta
materiil”,sedangakan menurut Sigmund Neuman, “partai politik
adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekkuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
melalui persaingann dengan suatu golongan atau golongan-golongan
lain yang mempunyai pandangan berbeda” (Miriam Budiardjo, 2008
: 404)
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, partai politik didefinisikan sebagai :
organisasi yang bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
35
kepentingan politik anggota masyarakat, bangsa, dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
b. Fungsi Partai Politik
Para ilmuwan politik pada umumnya biasa menggambarkan
adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik
menurut Miriam Budiardjo meliputi sarana :
1) Komunikasi politik (political communication);
2) Sosialisasi politik (political socialization);
3) Rekruitmen politik (political recruitment); dan
4) Pengatur konflik (conflict management).
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai
politik mencakup fungsi :
1) Mobilisasi dan integrasi;
2) Sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku
memilih (voting patterns);
3) Sarana rekrutmen politik; dan
4) Sarana elaborasi pilihanpilihan kebijakan.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait antara satu dan
yang lainya. Sebagai sarana komunikasi poltik partai berperan
sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest
articulation) atau political interest yang terdapat atu kadang-kadang
yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu
diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan
kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu
ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan
36
sehingga diharapkan dapat mempengaruhi atu bahkan menjadi
materi kebijakan kenegaraan yang resmi. (Jimly Asshidiqie, 2009 :
406-407)
Dalam menjalankan fungsi komunikasi inilah partai politik
disebut sebgai perantara (broker) dalam satu bursa ide-ide (clearing
house ideas) kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik
bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi
warga masyarakat sebagai “pengeras suara”. (Miriam Budiardjo,
2008 : 406)
Terkait dengan komunikasi politik, partai politik juga
berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political
socialization). Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan
partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk
mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas.
Terkait dengan sosialisasi politik ini partai juga berperan penting
dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur
antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran
dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif
masyarakat warga negara.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik
partai dibentuk memang dimaksudkan untuk dijadikan kendaraan
yang sah untuh menyeeksi kader-kader pemimpin negara pada
jenjang dan posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih
langsung oleh rakyat dan ada pula yang tidak dipilih secara tidak
langsung, seperti oleh dewan perwakilan rakyat ataupun melalui
cara-cara yang tidak langsung lainya.
Fungsi keempat sebagai pengatur dan pengelola konflik,
partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan yang
menyalurkan ragam kepentingan yang berbedabeda itu melalui
37
saluran kelembagaan politik partai. Oleh karena itu, dalam kategori
Yves Meny dan Andrew Knap, fungsi pengelola konflik dapat
dikaitkan dengan fungsi integrasi partai-politik. Partai
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu
dengan cara menyalurkan dengan sebaikbaiknya untuk
mempengaruhi kebijakankebijakan politik kenegaraan. (Jimly
Asshidiqie, 2009 : 406-407)
Sedangkan menurut pasal 11 ayat 1 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2008 Jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 20011 tentang
Partai Politik, partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana :
1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas
agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat.
3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara.
4) Partisipasi politik warga negara.
5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik melalui mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
c. Kelemahan Partai Poltik
Adanya organisasi itu, tentu dikatakan juga mengandung
beberapa kelemahan. Diantaranya adalah bahwa organisasi
cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga
38
organisasi partai poitik, kadang-kadang bertindak dengan lantang
untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataanya
dilapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.
Terkait oligarki ini Robert Michael mengemukakan :
“organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas para
pemilihnya, antara si mandatarisdengan si pemberi mandat, dan
antara si penerima kekuasaaan dengan si pemberi. Siapa saja yang
berbicara dengan organisasi , maka sebenarnya ia berbicara
tentang oligarkh”. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 410)
d. Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi
Di Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari
kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Di Eropa Barat,
terutama Inggris partai politik telah muncul jauh sebelumnya
sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang
kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.
Saat ini partai politik ditemukan di hampir semua negara di dunia.
(Miriam Budiardjo, 2008: 422)
Banyak pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai
politik. Pandangan yang paling serius diantaranya menyatakan
bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan
politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan
kekuasaanya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat
bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil
memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the
expense of the general willatau kepentingan umum.
39
Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat
ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena
itu, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, “A democratic system
without political parties or with single party is imposible or at any
rate hard to imagine”. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 404)
5. Tinjauan Umum tentang Pemilu Legislatif
a. Pengertian Pemilu
Pemilihan umum (general election) merupakan salah satu
sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil.
Oleh karena, itu dalam rangka pelaksanaan hak asasi warga negaa
adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal
ketatanegaraan yang telah ditentukan. (JimlyAsshidiqie, 2009: 416)
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Pemilu didefinisikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.
Pemilu Legislatif itu sendiri adalah pemilu untuk memilih
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di jelaskan dalam Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
40
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/ kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Pemilu legislatif yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu sisi proses dan sisi hasilnya. Dari sisi proses, Pemilu dapat
dikatakan berkualitas apabila Pemilu tersebut berlangsung
demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib dan lancar. Apabila
dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu dapat dikatakan berkualitas, apabila
Pemilu dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin
negara, yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta
meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan negara di mata
masyarakat internasional.
b. Sistem Pemilu Legislatif
Dalam ilmu politk dikenal bermacam-macam sistem
pemilihan umum dengan berbagai variasinya bergantung pada
kondisi dan situasi negara, akan tetapi umumnya berkisar pada dua
prinsip pokok, yaitu ; Pertama, sistem distrik, pada prinsipnya sistem
ini menggariskan bahwa dalam satu daerah pemilihan hanya
diperbolehkan memilih satu wakil saja. Kedua, sistem perwakilan
berimbang atau sistem Proporsional Dalam sistem ini dalam satu
daerah memilih banyak wakil. Sistem pemilu ini akan dijabarkan
lebih lanjut dibawah ini.
41
1) Sistem Distrik, biasa dinamakan juga sistem single member
constiuences atau sistem winner,s take-all. Dinamakan
demikian karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik
pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang
jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan
rakyat yang diperlukan untuk dipilih. (JimlyAsshidiqie, 2009:
424)
Hasil perhitungan suara dalam sistem ini ditentukan
dengan suara terbanyak sebagai pemenang, sementara calon
lain dengan suara yang lebih kecil dari pemenang, berapapun
jumlah calonya dan sekecil apaun selisih suaranya akan
tereliminasi. Akan tetapi sistem ini memiliki beberapa
keuntungan dan kelemahan, Menurut Prof. Miriam Budiardjo
keuntungan sistem ini adalah :
a) Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan. Maurice Duveger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika, sistem ini telah menunjang bertahanya sistem dwi-partai.
b) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukanya terhadap pimpinan partainya akan lebih independen, karena faktor kepribadian seseorang merupakan faktor penting dalam kemenangannya dan kemenangan partai. Sekalipun demikian, ia tidak lepas sama sekali dari disiplin partai, sebab dukungan serta fasilitas partai diperlukannya baik untuk nominasi maupun kampanye.
c) Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilihan lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak mengendalikan parlemen.
42
d) Sistem ini sederhana dan mudah diselenggarakan.
Disamping kelebihan sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya yaitu :
a) Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
b) Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara idieologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini. (Miriam Budiardjo, 2008: 466-467)
2) Sistem Proporsional atau sistem perwakilan berimbang,
suatu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam
wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang
diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa
menghiraukan distribusi suara itu. Dimana persentase kursi di
lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai
politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh
tiap-tiap partai politik. Misalnya adalah jumlah pemilih yang
sah pada suatu pemilihan umum tercatat 1000.000 orang, dan
misalnya jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat
ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu urang wakil rakyat di
butuhkan suara 10.000. pembagian kursi di badan perwakilan
rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang
didapat setiap partai politik yang ikut pemilu.
http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0210/08/opini/sist04.htm
Menurut pandangan Prof. Miriam Budiardjo, sistem
proporsional ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya,
sistem proporsional dianggap representatif, karena jumlah
kursi dlam paremen sesuai dengan jumlah suara masyarakat
43
dalam pemilihan umum. Selain itu, sistem proporsional
dianggap lebih demokratis, dimana semua golongan
masyarakat termasuk yang kecilpun, memperoleh peluang
untuk menampilkan wakilnya di parlemen. Akan tetapi,
disamping kelebihan sistem proporsional ini, tentunya
memiliki kelemahan, diantaranya :
a) Lemahnya intregritas antar partai untuk bekerjasama,
akan tetapi sebaliknya, justru mempertajam
perbedaan-perbedaan antar partai.
b) Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan
merupakan pemicu timbulnya partai-partai baru.
c) Hubungan antara wakil yang terpilih kemungkinan
renggang ikatanyadengan konstituen, karena wilayah
pemilihan yang lebih luas, wakil yang terpilih kurang
dikenal oleh orang banyak.
d) Peran partai yang lebih besar dibanding kepribadian
seseorang wakil, menyebabkan si wakil akan lebih
terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai
serta masalah-masalah umum ketimbang kepentingan
distrik serta warganya.
Selain dua sistem diatas, sekarang cukup banyak negara yang
menggunakan penggabungan prinsip dari dua sistem tersebut. Di
satu sisi terdapat wakil rakyat yang merupakan perwakilan ruang
(sistem proporsional). Disisi lain terdapat wakil yang merupakan
perwakilan orang (sistem distrik). Dalam pemilu tahun 2004,
Indonesia menganut sistem perwakilan demikian atau biasa disebut
sistem campuran yang dipisahkan. Dimana ada wakil DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Namun,
sistem ini tidak seutuhnya sistem campuran, sebab sistemcampuran
murni berkaitan dengan pengambilan secara seimbang prinsip distrik
44
dan sebagian prinsip proporsional untuk kemudian digabungkan.
Salah satu sistem campuran itu adalah prinsip asal domisili, yang
merupakan salah satu ciri sistem distrik, yang dilekatkan dalam
sistem proporsional. Sehingga dengan begitu terjadi proses
penggabungan dua sistem, antara sistem distrik dan sistem
proporsional. (Miriam Budiarjo dalam Hartoyo, 2004:39)
c. Komponen Pemilu Legislatif
Dilihat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dapat kita ketahui siapa saja
pihak-pihak yang terkait secara langsung didalam pelaksanaan
pemilu. Pihak-pihak yang terkait secara langsung tersebut
merupakan komponen-komponen yang terlibat didalam pemilu.
Komponen tersebut terdiri dari Peserta Pemilu (Perseorangan
maupun Parpol), Pemilih, Penyelenggara (Komisi Pemilihan
Umum), Pengawas (Badan Pengawas Pemilu).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara
yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri diatur didalam pasal 1 ayat
6. Agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif KPU
membentuk Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang
merupakan kepanjangan tangan dari KPU. Dan didalam
penyelenggaraan pemilu dilapangan dijalankan oleh Panitia Pemilih
Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) ditingkat
desa/kelurahan. Sedangkan untuk pemilihan umum yang dilakukan
diluar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri.
1) Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Pemilihan
Umum Daerah (KPUD)
45
Komisi Pengawas Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) dalam hal ini yang dimaksud adalah KPU
Kabupaten/Kota dimana didalam pasal 10 No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
KPU Kabupaten/Kota mempunyai tugas dalam
penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah meliputi:
a) Menjabarkan program dan melaksanakan
anggaran serta menetapkan jadwal di
kabupaten/kota;
b) Melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan di kabupaten/kota
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c) Membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam
wilayah kerjanya;
d) Mengoordinasikan dan mengendalikan
tahapan penyelenggaraan oleh PPK, PPS, dan
KPPS dalam wilayah kerjanya;
e) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data
kependudukan dan menetapkan data pemilih
sebagai daftar pemilih;
f) Menyampaikan daftar pemilih kepada KPU
Provinsi;
g) Menetapkan dan mengumumkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara Pemilu
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan hasil rekapitulasi
penghitungan suara di PPK dengan membuat
berita acara rekapitulasi suara dan sertifikat
rekapitulasi suara;
46
h) Melakukan dan mengumumkan rekapitulasi
hasil penghitungan suara Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan
Perwakilan Daerah, dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi di
kabupaten/kota yang bersangkutan
berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi
penghitungan suara di PPK;
i) Membuat berita acara penghitungan suara
serta membuat sertifikat penghitungan suara
dan wajib menyerahkannya kepada saksi
peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota,
dan KPU Provinsi;
j) Menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota
untuk mengesahkan hasil Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan mengumumkannya;
k) Mengumumkan calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
terpilih sesuai dengan alokasi jumlah kursi
setiap daerah pemilihan di kabupaten/kota
yang bersangkutan dan membuat berita
acaranya;
l) Memeriksa pengaduan dan/atau laporan
adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh PPK, PPS, dan KPP
m) Menindaklanjuti dengan segera temuan dan
laporan yang disampaikan oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota;
n) Menonaktifkan sementara dan/atau
mengenakan sanksi administratif kepada
47
anggota PPK, PPS, sekretaris KPU
Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU
Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang
berlangsung berdasarkan rekomendasi
Panwaslu Kabupaten/Kota dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
o) Menyelenggarakan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU
Kabupaten/Kota kepada masyarakat;
p) Melakukan evaluasi dan membuat laporan
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan
q) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau
undang-undang.
Sedangkan dalam pengawasan penyelenggaraan
Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, yang terdiri dari
Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri.
2) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota
Panitia pengawas pemilu Kabupaten/Kota
meliliki tugas dan wewenang yang telah diatur didalam
pasal 78 undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu mengawasi
jalanya penyelenggaraan Pemilu meliputi :
48
a) pemutakhiran data pemilih berdasarkan data
kependudukan dan penetapan daftar pemilih
sementara dan daftar pemilih tetap;
b) pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan
dan tata cara pencalonan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dan pencalonan kepala dan wakil kepala
daerah kabupaten/kota;
c) proses penetapan calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dan pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah kabupaten/kota;
d) penetapan pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah kabupaten/kota;
e) pelaksanaan kampanye;
f) perlengkapan Pemilu dan pendistribusiannya;
g) pelaksanaan pemungutan suara dan
h) penghitungan suara hasil Pemilu;
i) mengendalikan pengawasan seluruh proses
penghitungan suara;
j) pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai
ke PPK;
k) proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh
KPU Kabupaten/Kota dari seluruhkecamatan;
l) pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu
susulan; dan
m) proses penetapan hasil Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan Pemilu Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota
49
B. Kerangka Pemikiran
Gambar II : Kerangka Berpikir
Sebagaimana kita ketahui pengertian dasar demokrasi adalah
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Karena pemerintahan dari,
untuk, dan oleh rakyat maka tegaslah bahwa rakyatlah yang berkuasa
dan memegang kedaulatan tertinggi. Dalam era demokrasi modern yang
juga disebut demokrasi perwakilan, perwujudan dari pelaksanaan
Pemerintah Kabupaten
(UU No 32 Tahun 2004)
(UU No 12 Tahun 2008)
DPRD
Kabupaten
(UU No 27 Tahun 2009)
Masyarakat/ Konstituen
Pemilu Caleg
DPRD Kabupaten
(UU No. 8 Tahun 2012)
(PerKPU No. 18 2008)
Caleg dari daerah Konstituen
(UU No. 8 Tahun 2012)
Caleg yang tidak berasal dari daerah
Konstituen ((UU No. 8 Tahun
2012)
50
kedaulatan rakyat adalah melalui proses pemilu. Dimana pemilu
merupakan ciri dari negara demokrasi dan melalui pemilu pula rakyat
memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga eksekutif maupun
dilembaga legislatif.
Didalam praktiknya, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu
adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilembaga perwakilan. Para wakil
rakyat itu bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulah yang
menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuannya
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Agar wakil-wakil
rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, wakil-
wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Dimana wakil rakyat yang telah terpilih nantinya akan bekerja
sama dengan pemerintah didalam menjalankan pemerintahan.
Permasalahan yang sering timbul berkaitan dengan
akuntabilitas wakil rakyat diantaranya adalah masalah antara masyarakat
dengan pemerintah. Masyarakat yang bersifat dinamis diperlukan wakil
rakyat yang tanggap terhadap situasi kondisi konstituennya, didalam
menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah.
Akan tetapi, akuntabilitas wakil-wakil rakyat tersebut juga
dipertanyakan. selain kecakapan wakil rakyat di dalam menyelesaikan
masalah, wakil rakyat seharusnya mengenal baik kondisi masyrakat atau
konstituennya. Salah satu faktor terkait dengan wakil rakyat adalah
domisili. Wakil rakyat yang tidak berasal ataupun tidak mengenal kondisi
konstituennya tentunya tidak dapat mencerminkan sistem demokrasi
perwakilan tersebut. Dimana wakil rakyat yang dipilih tersebut
merupakan salah satu bentuk perwujudan rakyat didalam pemerintahan
maupun di parlemen.
Pertanyaan dari perspektif demokrasi adalah pencalonan wakil
rakyat yang tidak berasal dari daerah konstituennya, apakah pada saat
terpilih nantinya dapat menjalankan tugas dan wewenang yang dapat
mencerminkan aspirasi konstituennya? Pertanyaan ini bisa dijawab
51
dengan jalan menganalisa tugas dan wewenang serta kewajiban wakil
rakyat dan sistem demokrasi perwakilan. Apakah hal ini selaras dengan
prinsip, kaidah dari perspektif demokrasi. Dan apabila sudah terjawab,
dapat ditentukan pula apa implikasinya terhadap kualitas demokrasi
perwakilan di Indonesia.
52
BAB III
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pencalonan Anggota DPRD Kabupaten yang tidak
perihal pemilihan umum (Pemilu) secara variatif. Termasuk adalah
pengaturan pemilu anggota DPRD Kabupaten, yaitu terdapat didalam
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 dimana disebutkan, “pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang
anggotanya dipilih melalui pemilu”. Lebih lanjut, bakal calon
anggota DPRD yang mencalonkan sebagai anggota DPRD Kabupaten
harus memenuhi persyatan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun
2008 tentang pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. (Jurnal
Konstitusi Volume 4 nomor 1 : 72).
Salah satu perwujudan dari tindakan demokratis adalah
berupa partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Apapun tingkat partisipasi warga, suasana demokrasi yang
sesungguhnya tergantung pada partisipasi aktif dan penuh kesadaran
oleh warganya. Hak-hak dasar yang tidak bisa ditolak, seperti
kebebasan berbicara, berserikat dan beragama adalah inti untuk
melakukan partisipasi bagi warga negara. (Malik Haramain dan MF.
Nurhuda. Y 2000:3)
Salah satu bentuk partisipasi bagi warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjadi anggota DPRD
Kabupaten. Akan tetapi, terdapat syarat-syarat ataupun ketentuan
yang harus dipenuhi, misalnya adalah syarat-syarat mencalonkan diri
sebagai bakal calon anggota DPRD Kabupaten adalah harus
53
53
memenuhi persyaratan didalam pasal 51 ayat (1) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan
DPRD disebutkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia;
e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Terdaftar sebagai pemilih;
j. Bersedia bekerja penuh waktu;
54
k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat
pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah
(PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai
pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha
milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
n. Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
o. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan
Selain harus memenuhi syarat-syarat tersebut bakal calon
tersebut juga harus memenuhi kelengkapan administratif dalam pasal
51 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang di buktikan dengan :
a. Kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
55
b. Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB,
syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang
dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah.
c. Surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. Surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. Surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. Surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja
penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
g. Surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,
pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali
sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
i. Kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
56
j. Surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan
oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
k. Surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan
oleh 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di
atas kertas bermeterai cukup
2. Pendaftaran Bakal Calon
Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini KPU Kabupaten,
memberikan sosialisasi pencalonan sesuai dengan Peraturan KPU
Nomor 18 tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yaitu pasal 17
yaitu KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan
sosialisasi kepada pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya
mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota.
Apabila telah memenuhi persyaratan bakal calon yang telah
diseleksi atau dipilih oleh Parpolnya, sesuai dengan pasal 51 Undang-
undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, partai politik peserta Pemilu juga melakukan seleksi
bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik. Bakal calon yang telah memenuhi
persyaratan dapat mengajukan pendaftaran dengan mengisi formulir
yang diserahkan kepada KPU Kabupaten.
57
3. Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon DPRD
Kabupaten/Kota
Bakal calon calon yang telah memenuhi persyaratan di
verifikasi kelengkapan administrasinya oleh KPUD Kabupaten/Kota.
Sesuai Pasal 58 ayat (3) Undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD dimana disebutkan “KPU
melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Kabupaten dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (8) Peraturan
KPU Nomor 18 tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang
dimaksud verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah
verifikasi/penelitian terhadap keabsahan pemenuhan syarat pengajuan
bakal calon dan keabsahan pemenuhan syarat bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilakukan
oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Verifikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten adalah
verifikasi sesuai dengan ketentuan pasal 26 Peraturan KPU Nomor 18
tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yaitu
a. Meneliti jangka waktu pengajuan bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
b. Meneliti kebenaran surat pencalonan yang
ditandatangani oleh Ketua Umum/Ketua dan Sekretaris
Jenderal/Sekretaris partai politik;
58
c. Meneliti kebenaran jumlah calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan
untuk setiap daerah pemilihan , sebanyakbanyaknya
120% (seratus dua puluh per seratus) dari jumlah kursi
yang ditetapkansetiap daerah pemilihan;
d. Meneliti kebenaran jumlah bakal calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang
diajukan untuk setiap daerah pemilihan berkenaan
dengan prosentase keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah
bakal calon yang diajukan
e. Meneliti kebenaran nama-nama bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d, berkenaan
dengan daftar bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bahwa setiap 3
(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu) orang perempuan.
Didalam proses verifikasi KPU Kabupaten diawasi oleh
Panwaslu Kabupaten sesuai dengan pasal 61 ayat (1) Undang-undang
8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD
yaitu “Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan
administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
59
4. Penyusunan Daftar Calon Sementara
Bakal calon yang telah lulus verifikasi disusun oleh KPU
sesuai dengan ketentuan pasal 62 ayat (1) Undang-undang 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu; Bakal
calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
disusun dalam daftar calon sementara oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.
b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota
DPRD provinsi.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara
anggota DPRD kabupaten/kota.
Kemudian daftar calon sementara anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tersebut diumumkan oleh KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada
satu media massa cetak harian, media massa elektronik baik nasional
maupun daerah selama 5 (lima) hari. Dimana masukan dan
tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU provinsi,
atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar
calon sementara diumumkan.
5. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap
Selanjutnya untuk menentukan daftar calon tetap diumumkan
oleeh KPU sesuai dengan ketentuan pasal 66 Undang-undang 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu ;
a. KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.
b. KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota
DPRD provinsi.
60
c. KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap
anggota DPRD kabupaten/kota.
d. Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) disusun berdasarkan nomor
urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
Sedangkan pengumuman daftar calon tetap diatur sesuai
dengan ketentuan pasal 67 Undang-undang 8 tahun 2012 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu ;
a. Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.
b. KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan
dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing
pada media massa cetak harian nasional dan media
massa elektronik nasional.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis
pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.
Menilik pengaturan tentang tata cara pencalonan anggota
DPRD berdasarkan Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan
Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, jelaslah bahwa calon yang
tidak berasal dari daerah konstituen dapat mencalonkan diri di
wilayah yang bukan daerah asalnya. Hal ini ditur didalam pasal 50
ayat (1) huruf c Undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, disebutkan bahwa salah
satu syarat pendaftaran bakal calon adalah bertempat tinggal di
61
wilayah Indonesia. Jadi, meskipun bakal calon tersebut tidak berasal
dari daerah konstituen (daerah pemilihannya), juga dapat
mencalonkan sebagai anggota DPRD Kabupaten tertentu atau daerah
lain.
Meskipun dapat mencalonkan diri, dan akhirnya terpilih, apakah nantinya anggota DPRD yang tidak berasal dari daerah konstituennya selama 5 tahun masa jabatan dapat menjalankan tugas dan wewenang nya secara baik, sedangkan kondisi masyarakat yang bersifat dinamis dan selalu berubah, dibutuhkan lebih banyak kesigapan anggota DPRD didalam menghadapi suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Rousseau,
JJ. Rousseau maintained that the shared evaluative standpoint of the general will is completely dependent on cultural, geographic and historic factors." In his essay On the Social Contract, for example, Rousseau says "the same laws cannot be suitable to so many diverse provinces which have different customs, live in contrasting climates, and which are incapableof enduring the same form of government (Appalachian Journal of Law, Vol. 3 :48)
Berdasarkan pendapat Rousseau tersebut, dapat disimpulkan bahwa
suatu aturan atau kebijakan disuatu daerah belum tentu dapat
diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, wakil rakyat sebagai
pembuat kebijakan ataupun aturan seharusnya mengenal betul kondisi
masyarakat atau konstituennya.
B. Pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang
tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan Undang-
undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Sebelum masuk kedalam substansi pokok, yaitu pelaksanaan
pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak
berasal dari daerah konstituennya, penulis akan sedikit menguraikan
kembali tentang tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD
Kabupaten sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
62
1. Kewenangan DPRD Kabupaten dalam menjalankan Fungsi
Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan
DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan
fungsi legislasi. Melalui fungsi legislasi ini sesungguhnya
menempatkan DPRD pada posisi yang sangat strategis dan terhormat,
karena DPRD ikut menentukan keberlangsungan dan masa depan
daerah Kabupaten. Hal ini juga dimaknai sebagai amanah untuk
memperjuangkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara
umum yang dimaksudkan dengan fungsi legislasi adalah fungsi untuk
membuat peraturan daerah. Hal ini ditegaskan pada Pasal 344 ayat
1A, dan 1B, Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa :
a. DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan
wewenang membentuk peraturan daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
b. DPRD kabupaten/kota membahas dan memberikan
persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai
anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota.
Mengingat arti penting dari fungsi legislasi bagi
penyelenggaran pemerintahan daerah yang produknya berbentuk
peraturan daerah. Peranan peraturan daerah tersebut meliputi :
a. Peraturan daerah menentukan arah pembangunan dan
pemerintahan daerah.
b. Peraturan daerah sebagai dasar perumusan kebijakan
publik daerah.
c. Peraturan daerah sebagai kontrak sosial daerah.
d. Peraturan daerah sebagai pendukung pembentukan
perangkat daerah dan susunan perangkat daerah ( Sadu
Wasistiono, Yonantan Wiyoso, 2009: 59)
63
DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan
fungsi Anggaran. Penyusunan anggaran secara transparan, partisipatif
dan akuntabel, merupakan suatu tuntutan rakyat, dimana setiap input
tertentu harus menghasilkan output. Bahkan diharapkan mampu
menentukan outcome, benefit dan impact. Demi kesejahteraan rakyat
khususnya.
Proses pengelolaan keuangan daerah mempunyai peranan
sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Adapun
prinsip yang mendasari proses pengelolaan keuangan daerah yaitu;
a. Transparansi
Masyarakat memiliki hak dan akses yang sama
untuk mengetahui proses anggaran, karena menyangkut
aspirasi dan kepentingan masyarakat terutama
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
b. Akuntabilitas
Prinsip pertanggung jawaban publik yang berarti
proses penganggaran mulai dari perencanaan,
penyusunan dan pelaksanaan harus dapat dilaporkan
dan di pertanggung jawabkan kepada masyarakat.
c. Value of Money, prinsip ini sesungguhnya merupakan
penerapan tiga aspek yaitu ekonomi, efisiensi dan
efektifitas.
Ekonomi, berkaitan dengan pemilikan dan penggunaan
sumberdaya dalam jumlah dan kualitas tertentu.
Effisiensi, penggunaan dana masyarakat harus dapat
menghasilkan output yang maksimal.
Efektif, penggunaan anggaran harus mencapai target-
target atau tujuan kepentingan publik. (Mardiasmo,
2002:105)
64
DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan
fungsi Pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan secara khusus
tercantum dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD Pasal 344 ayat 1C yang berbunyi :
“DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota”
Pengawasan ini bertujuan untuk mengembangkan kehidupan
demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat daerah dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mekanisme checks
and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 secara umum ruang lingkup pengawasan DPRD oleh
DPRD meliputi tiga hal yaitu :
a. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan daerah
dan Peraturan perundang-undangan lainya (Peraturan
kepala daerah, Keputusn kepala daerah dan lain
sebagainya), pengawasan ini meliputi pengawasan
terhadap pencapaian tujuan awal saan ditetapkan
peraturan daerah.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, pengawasan
ini merupakan pengawasan terhadap pencapaian tujuan
awal saat ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
c. Pengawasan terhadap Perjanjian Kerjasama dengan
Pihak Ketiga, pengawasan ini meliputi pengwasan
terhdap kerjasama daerah oleh pemerintah daerah
dengan pihak ketiga baik lokal maupn internasional,
materi meliputi : bidang yang dikerjasamakan, jangka
waktu kerjasama, manfaat bagi daerah, dan sumbar
65
pembiayaan. ( Sadu Wasistiono, Yonantan Wiyoso,
2009: 146)
2. Implikasi pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPRD
Kabupaten yang tiak berasal dari daerah Konstituen
Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa dalam Pasal
50 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana salah satu syarat
untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD adalah “Bertempat
tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini
menegaskan bahwa seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai
calon legislatif didaerah yang bukan merupakan daerah asalnya.
Sebagaimana dibahas didalam Bab II Pemilu legislatif yang
berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan sisi
hasilnya. Dari sisi proses, pemilu dapat dikatakan berkualitas apabila
Pemilu tersebut berlangsung demokratis, jujur dan adil, serta aman,
tertib dan lancar. Apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu dapat
dikatakan berkualitas, apabila Pemilu dapat menghasilkan wakil-
wakil rakyat dan pemimpin negara, yang mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan harkat dan martabat
bangsa dan negara di mata masyarakat internasional.
Peran KPU dalam mewujudkan Pemilu yang berkualitas,
sangat menentukan. Penyelenggaraan Pemilu secara langsung, bebas,
rahasia, jujur dan adil hanya dapat diwujudkan apabila dilaksanakan
oleh penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU, yang mempunyai
integritas, profesionalitas dan akuntabel. Namun, banyaknya calon
anggota legislatif yang kurang berkualitas, bukan karena kesalahan
KPU sebagai penyelenggara Pemilu, karena KPU hanya menyeleksi
caleg berdasarkan persyaratan formal sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Sedangkan masalah yang bersifat substansial, yang
66
menyangkut sikap dan perilaku caleg, tentunya partai politik di mana
mereka bernaung adalah pihak yang lebih tahu.
Seperti diketahui bahwa caleg yang berkualitas itu sekurang-
kurangnya harus memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu:
a. Memiliki kualitas moral
b. Memiliki kualitas intelektual
c. Memiliki keterampilan profesional.
Sedangkan masuknya caleg-caleg yang kurang berkualitas ke
DPR/ DPRD antara lain disebabkan oleh:
a. Proses pengkaderan di sebagian partai politik tidak
berjalan dengan baik, malah mungkin tidak jalan sama
sekali. Kebanyakan partai politik sesudah Pemilu boleh
dikatakan tidak ada kegiatan sama sekali, malahan
kantornya tidak diketahui lagi entah dimana, apalagi
partai politik yang baru dibentuk dekat Pemilu. Dalam
kondisi semacam ini, sulit diharapkan proses kaderisasi
akan berjalan dengan baik.
b. Proses rekruitmen caleg di internal partai politik tidak
berjalan secara demokratis. Penetapan caleg lebih
banyak ditentukan oleh seberapa banyak kontribusi
yang dapat diberikan oleh caleg kepada partai politik,
baik berupa dana ataupun popularitas yang dimiliki
oleh caleg, yang diharapkan akan dapat mendongkrak
perolehan suara partai politik yang bersangkutan.
Dalam hal ini kualitas caleg sering diabaikan. (Jurnal
Konstitusi Volume 2 nomor 1 : 13-15)
Selain masalah tentang pengkaderan calon legislatif, bukankah
permasalahan tentang domisili akan berpengaruh terhadap kinerja
67
anggota legislatif (anggota DPRD Kabupaten khususnya) dimana
DPRD Kabupaten mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil.
Dapat kita pahami masyarakat akan lebih mengenal sikap dan
perilaku calon legislatif apabila berasal dari daerah pemilihannya itu
sendiri dibanding calon yang berasal dari luar daerah pemilihan.
Sehingga nantinya masyarakat akan lebih selektif didalam memilih
anggota legislatif.
Didalam undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD yaitu didalam pasal 351 huruf (k) dimana
anggota DPRD kabupaten memiliki kewajiban, “Memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis konstituen di daerah
pemilihannya”. Bentuk pertanggung jawaban moral dan politis
tersebut akan berbeda apabila anggota legislatif tersebut berasal dari
daerah konstituennya. Dimana masyrakat mengenal betul siapa wakil
rakyatnya, dan wakil rakyatnya mengenal betul kondisi masyarakat
(konstituen) secara penuh. Hal ini merupakan perwujudan check and
balances antara anggota legislatif dengan konstituennya.
Dalam menjaankan tugas dan wewenangnya anggota legislatif
hendaknya mengenal betul kondisi masyarakat sepenuhnya. Dimana
masyarakat yang trus berkembang secara dinamis, permasalahan-
permasalahan yang timbul di masyarakat. Dibutuhkan anggota
legislatif yang sigap dan tanggap dalam mennyelesaikan
permasalahan di masyarakat. Yang mengenal betul kondisi masyrakat
dan lebih cepat di dalam menyelesaikan permasalahan.
Pada kenyataannya kinerja anggota legislatif pada saat ini tidak
memberikan hasil yang maksimal. Belum lagi masalah-masalah yang
menerpa beberapa orang anggota legislatif, antara lain terlibat
korupsi/suap, skandal seks, perjudian, narkoba dan lain-lain, telah
menimbulkan kekecewaan masyarakat. Hal inilah yang menimbulkan
banyak pertanyaan tentang akuntabilitas wakil rakyat.
68
Cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas harus mulai jauh
sebelum pelaksanaan suatu mandat, artinya harus mulai dari saat
rekrutmen partai. Haryatmoko berpendapat bahwa, untuk
mengangantisipasi akuntabilitas caleg adalah sebelum mandat dan
dalam masa jabatan yaitu berupa :
a. Desain Kontrak, sarana ini merupakan persetujuan antara wakil rakyat dan konstituen tentang tugas dalam jangka waktu tertentu yang harus dipenuhi, misalnya, setelah masa bakti dua tahun tidak berhasil memperjuangkan upaya perbaikan fasilitas pendidikan atau penciptaan lapangan kerja didaerah mereka, mandat akan dilihat kembali. Memang, persetujuan semacam itu belum memiiki kekuatan hukum, tetapi bisa menjadi mekanisme kontrol untuk mengukur akuntabilitas wakil rakyat.
b. Mekanisme penyaringan dan seleksi. Mekaisme penyaringan berjalan asal ada kompetisi dari beberapa kandidat. Ada tiga kemungkinan dalam proses penyaringan ini ; pertama, konstituen mengorganisir diri untuk memberi informasi ke partai politik tentang catatan calon wakil rakyat. Kedua, kompetisi tidak berhasil karena informasi yang tidak cukup tentang kandidat yang sudah tersaring, bahkan meski sudah mencari informasi dari pihak ketiga. Ketiga, seleksi kurang informasi atau ada unsur manipulasi sehingga mereka yang memenuhi tuntutan kompetensi justru tidak terpilih. Apabila dalam seleksi atau penyaringan syarat terpenuhi, calon wakil rakyat bisa diandalkan, maka salah satu unsur utama akuntabilitas sudah dipenuhi, yaitu integritas wakil rakyat.
c. Monitor dan pelaporan. Partai politik akan meningkatkan kepercayaan rakyat bila memiliki komisi etika yang akan meberikan pelatihan etika yang akan memberi pelatihan etika publik, membantu menjamin akuntabilitas dan mengawasi anggota partai yang menjadi wakil rakyat atau pejabat publik. Selain itu, pengawasan dari pehak independen diluar organisasi, civil society, parliament watch dan pelaporan secara terbuka atau konfidensial akan membantu memberi informasi tentang apakah yang dialakukan wakil rakyat berhasil atau gagal.
d. Pengecekan secara institusional. Komisi etik, Komisi Kerja DPP partainya merupakan lembaga-lembaga yang berperan juga untuk menuntut akuntabilitas wakil
69
rakyat. Agar akuntabilitas instusional ini efektif, perlu membangun mekanisme untuk menampung masukan, keluhan atau laporan dari organisasi independen, atau civil society. (Haryatmoko, 2011 : 176-177)
Dapat kita pahami bersama berdasarkan pendapat Haryatmoko
tersebut bahwa domisli anggota DPRD Kabupaten tersebut berperan
penting untuk terciptanya akuntabilitas kerja. Dimana model
antisipasi akuntabilitas sebelum mandat dan dalam masa jabatan
sangat sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini dapat berjalan
apabila hubungan anggota DPRD Kabupaten dan Konstituen tercipta
secara baik. Hal ini dapat dipermudah apabila anggota DPRD
tersebut berasal dari daerah Konstituen.
70
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah,
maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa didalam pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang
tidak berasal dari daerah konstituen diatur didalam sebelumnya
disebutkan bahwa 51 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8
tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
dimana salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai
anggota DPRD adalah “Bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini menegaskan bahwa
seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif
didaerah yang bukan merupakan daerah asalnya.
2. Bahwa didalam menjalankan tugas dan wewenangnya anggota
DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen,
akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal ini dapat kita lihat
kenyataannya kinerja anggota legislatif pada saat ini tidak
memberikan hasil yang maksimal. Belum lagi masalah-masalah
yang menerpa beberapa orang anggota legislatif, antara lain
terlibat korupsi/suap, skandal seks, perjudian, narkoba dan lain-
lain, telah menimbulkan kekecewaan masyarakat. Didalam
undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD yaitu didalam pasal 351 huruf (k) dimana anggota
DPRD kabupaten memiliki kewajiban, “Memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis konstituen di
71
71
daerah pemilihannya”. Bentuk pertanggung jawaban moral dan
politis tersebut akan berbeda apabila anggota legislatif tersebut
berasal dari daerah konstituennya. Dimana masyrakat mengenal
betul siapa wakil rakyatnya, dan wakil rakyatnya mengenal betul
kondisi masyarakat (konstituen) secara penuh. Hal ini
merupakan perwujudan check and balances antara anggota
legislatif dengan konstituennya. Hal-hal tersebut dapat kita
kurangi apabila wakil rakyat berasal dari daerah konstituen.
Dimana masyarakat merupakan kontrol alami, baik sebelum
mandat dan dalam masa jabatan
B. Saran
1. Walaupun pelaksanaan pemilu legislatif telah banyak
mengalami kemajuan yang berarti. Namun, harus ada
pembenahan dan penyempurnaan aturan hukum mengenai
pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari
daerah konstituen. Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c tahun 2012
tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana
salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD
adalah “Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Untuk mewujudkan check and balances antara
wakil rakyat dan konstiuen, wakil rakyat seharusnya berasal dari
daerah konstituenya, sehingga masyrakat tentunya akan lebih
selektif lagi di dalam memilih anggota DPRD Kabupaten yang
berasalah dari daerahnya.
2. Didalam menjalankan tugas dan wewenangnya anggota DPRD
Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen dibutuhkan
suatu sistem antisipasi yaitu antisipasi akuntabilitas sebelum
72
mandat dan dalam masa jabatan, hal ini dapat diwujudkan secara
maksimal apabila wakil rakyat tersebut berasal dari daerah
konstituen. Dimana wakil rakyat merupakan salah satu bentuk
penjelmaan rakyat di parlemen akan tetapi masyarakat juga
merupakan sistem kontrol akan kinerja DPRD Kabupaten
tersebut.
73
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Jakarta: Setjen MKRI.
______ . 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.
______, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta
_______. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press.
Budiardjo, Miriam. 1992. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Budiyanto. 2003. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara untuk SMU Kelas 3. Jakarta:
PT. Gelora Aksara Pratama
_______. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
_______. 1992. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi.
Yogyakarta: UII Press.
_______. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Diantha, I Made Pasek. 1990. Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam
Demokrasi Modern. Bandung: Putra Abardin
Fatah, Eep Saefullah. 2000. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru; Masalah
dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
74
_______. 2000. Zaman Kesempatan; AgendaAgenda Besar Demokratisasi Pasca
Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.
Haryatmoko. 2009. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haramain, Malik dan MF. Nurhuda. Y. 1999. Mengawal Transisi Refleksi Atas
Pemantauan Pemilu, Jakarta : JAMPI PB.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Grafiti Press.
Mahmud, Peter. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Persada Media Grup.
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Maleong, Lexy J. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
_________. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Andi.
Soekanto, Soerjono. 2006. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Grafitti Press.
Soetopo, HB. 2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
_________. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Pandoyo, Toto S. 1981. Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945,
Proklamasi dan Kekuasaan MPR. Yogyakarta: Liberty.
Wasistiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso.2009. Meningkatkan Kinerja DPRD.
Bandung : Fokus Media.
75
Ramlan Surbakti, Sistem Proporsional http://www.kompas.com/kompas-