Top Banner
1 IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN PENDUDUK PENDATANG DI KOTA DENPASAR I Nengah Merta Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti Denpasar [email protected] Abstract Keywords: Implications, public services, identity, migrants Not yet vanished in shared memory that the Bali Bombing of October 12, 2002 killed hundreds of lives. The event had a big impact for the people of Bali. Uncontrolled migrant population is considered as one of the causes of the Bali bombing tragedy. The incident then made local governments more aware to exercise control over the presence of migrants (tamiu). The government is strict in controlling the immigrant population living in Denpasar by issuing a KIPP policy. KIPP as one of the public service practices required by the government of Denpasar City.What are the implications of public services in controlling immigrants? The purpose of this study is to understand the implications of public services in controlling the population of migrants. The research method uses descriptive qualitative research by involving government, media crew, migrant community leaders and academics as respondents. The findings of this study indicate that in practice KIPP services open opportunities for corruption, collusion, and nepotism. high cost public services. population data from the village, sub-district, district and city levels even to the provincial level are out of sync, social pathology is increasing. This paper will be very useful for structuring public service bureaucracy. Abstrak Kata kunci: implikasi, pelayanan, public, identitas, pendatang Belum sirna dalam ingatan bersama bahwa tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 telah membunuh ratusan jiwa. Peristiwa itu membawa dampak perubahan besar bagi masyarakat Bali. Penduduk pendatang yang tidak terkontrol dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya tragedi bom Bali tersebut. Peristiwa itu kemudian semakin menyadarkan pemerintah daerah untuk melakukan kontrol terhadap kehadiran penduduk pendatang (tamiu). Pemerintah tegas melakukan penertiban penduduk pendatang yang tinggal di Denpasar dengan mengeluarkan kebijakan KIPP. KIPP sebagai salah satu praktik pelayanan publik yang diwajibkan oleh pemerintah Kota Denpasar. Bagaimanakah Implikasi
21

IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

Nov 17, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

1

IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN

PENDUDUK PENDATANG DI KOTA DENPASAR

I Nengah Merta

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti Denpasar

[email protected]

Abstract

Keywords: Implications, public

services, identity, migrants

Not yet vanished in shared memory that the Bali Bombing of October

12, 2002 killed hundreds of lives. The event had a big impact for the

people of Bali. Uncontrolled migrant population is considered as one

of the causes of the Bali bombing tragedy. The incident then made

local governments more aware to exercise control over the presence of

migrants (tamiu). The government is strict in controlling the

immigrant population living in Denpasar by issuing a KIPP policy.

KIPP as one of the public service practices required by the government

of Denpasar City.What are the implications of public services in

controlling immigrants? The purpose of this study is to understand

the implications of public services in controlling the population of

migrants. The research method uses descriptive qualitative research by

involving government, media crew, migrant community leaders and

academics as respondents. The findings of this study indicate that in

practice KIPP services open opportunities for corruption, collusion,

and nepotism. high cost public services. population data from the

village, sub-district, district and city levels even to the provincial level

are out of sync, social pathology is increasing. This paper will be very

useful for structuring public service bureaucracy.

Abstrak

Kata kunci:

implikasi,

pelayanan,

public, identitas,

pendatang

Belum sirna dalam ingatan bersama bahwa tragedi Bom Bali 12

Oktober 2002 telah membunuh ratusan jiwa. Peristiwa itu

membawa dampak perubahan besar bagi masyarakat Bali.

Penduduk pendatang yang tidak terkontrol dianggap sebagai

salah satu penyebab terjadinya tragedi bom Bali tersebut.

Peristiwa itu kemudian semakin menyadarkan pemerintah

daerah untuk melakukan kontrol terhadap kehadiran

penduduk pendatang (tamiu). Pemerintah tegas melakukan

penertiban penduduk pendatang yang tinggal di Denpasar

dengan mengeluarkan kebijakan KIPP. KIPP sebagai salah

satu praktik pelayanan publik yang diwajibkan oleh

pemerintah Kota Denpasar. Bagaimanakah Implikasi

Page 2: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

2

pelayanan publik dalam penertiban penduduk pendatang?

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami Implikasi

pelayanan publik dalam penertiban penduduk pendatang.

Metoda penelitian menggunakan penelitian desktiptif

kaulitatif dengan melibatkan pemerintah, awak media, tokoh

masyarakat warga pendatang dan akademisi sebagai

responden. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam

praktiknya pelayanan KIPP terbuka peluang korupsi, kolusi,

dan nepotisme. pelayanan publik biaya tinggi. data jumlah

penduduk dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota

bahkan sampai pada tingkat provinsi tidak sinkron, patologi

sosial meningkat. Tulisan ini akan sangat bermanfaat bagi

penataan birokrasi pelayanan publik.

Metode

Penelitian ini sangat terkait dengan teks, dan wacana yang merupakan

pokok konseptual sehingga hasil penelitian dapat memberikan keberpihakan

pada kelompok yang terhegemoni. Instrumen utama pada penelitian ini adalah

peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara,

didukung dengan alat tulis, tape recorder, dan kamera. Informan dalam penelitian

ini diambil dari lima komponen utama yaitu pemerintah, tokoh masyarakat adat,

akademisi, media sosial, dan penduduk pendatang, yang dilakukan dengan

teknik bola salju (snow ball), sampai jumlah tertentu pada tingkat kejenuhan dan

kesahihan data yang digali.

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan dianalisis secara deskriptif-

kualitatif dan interpretatif. Selanjutnya dilakukan reduksi data, penyajian data

dan menarik simpulan. Seluruh hasil analisis data pada penelitian ini dirangkum

dan disusun sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data disajikan

dalam bentuk narasi, deskripsi kata-kata, ungkapan, disajikan dalam bentuk

tabel, gambar, foto, dan angka-angka yang diintegrasikan ke dalam satu

rangkaian yang tidak terpisahkan.

Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian

Berkembangnya Praktik Korupsi dalam Pelayanan Publik

Berdasarkan struktur alur pelayanan birokrasi menganut pola sinergisitas

antara desa dinas dan desa adat/pakraman. Harapah terbnetuknya sinergisitas ini

Page 3: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

3

kemudian justeru melahirkan dualisme kepemimpinan. Inilah yang membuka

peluang berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam praktik pelayanan

publik. Dalam praktiknya, aparat desa pakraman berkewajiban melakukan

pendataan penduduk pendatang dan sekaligus mempunyai kewenangan

menerbitkan KIPP dengan sejumlah biaya yang dikenakan. Di pihak lain, desa

dinas di bawah kepemimpinan perbekel juga mempunyai tugas melakukan

penertiban penduduk pendatang, tetapi tidak ada ketentuan pemungutan biaya

sepeser pun atau gratis. Bapak Wayan Sunarta S.Sos, Kepala Desa Tegal Harum,

menyampaikan pernyataannya sebagai berikut.

“Untuk mendapatkan surat tanda lapor diri, penduduk luar daerah yang tinggal lebih dari tiga puluh hari wajib melaporkan diri kepada kelihan

desa pakraman bisa juga kaling atau kadus. Pada saat lapor itu harus

membawa surat keterangan bepergian dari daerah asal dan syarat lainnya.

Untuk melapor itu tidak dipungut biaya di kantor desa. Kalau yang

melakukan pungutan itu desa adat, bukan dinas.

Terkait dengan kecurigaan beberapa pihak tentang terbukanya praktik

korupsi dalam pelayanan KIPP, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali,

Kombes Pol. Mahendra Jaya, dalam berita media Jawa Pos, mengatakan bahwa

jajaran kepolisian Daerah Bali akan membersihkan pemungutan uang kartu

identitas penduduk sementara. Pihaknya siap memberangus pungutan uang

kartu identitas penduduk sementara (KIPP). Karena termasuk pungutan liar

(pungli), polisi akan menindak tegas orang yang melakukan pungutan atau

pembayaran kipem yang selama ini dilakukan sejumlah oknum dengan

mengatasnamakan pararem. Padahal sumber dana desa pun jelas dan telah diatur

undang-undang, apalagi dengan berlakunya e-KTP. Penarikan kipem

menurutnya juga terkesan pemerasan terhadap warga pendatang., sembari

menuturkan sebagai berikut.

“Engga benar itu, narik memaksa. Apalagi narik berdasarkan pararem itu

tidak benar. Faktanya di lapangan yang tidak punya KTP Bali masih

ditarikin juga. Jumlahnya kisaran seratus ribuan malah bisa lebih. Di salah

satu desa adat, penarikan kipem itu dilakukannya terorganisir melalui

pemilik kos. Dengan dalih jika pengurusan dilakukan sendiri, biayanya

akan lebih mahal sekitar Rp150.000,00 per tiga bulan. Sementara berkenan

diuruskan hanya Rp100.000,00 per tiga bulan. Kipem sendiri ditarik

berdasarkan perorangan. Kejelasan aluran pungutan juga tidak

transparan. Sementara pemungutan terus dilakukan sehingga jelas

Page 4: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

4

kesannya bukan lagi menertibkan, justru melakukan pungli (Jawa Pos

Group, Selasa, 5 Desember 2017).

Kontroversi pemaknaan ini menjadi lebih mendalam ketika disikapi lebih serius

melalui adanya aturan pidana bagi yang melakukan pungutan pengurusan dan

penerbitan dokumen kependudukan. Hal ini diatur secara khusus dalam pasal 95

B yang menyatakan sebagai berikut.

“Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT

instansi pelaksana, dan instansi pelaksana yang memerintahkan dan/atau

memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk

dalam pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 79A dipidana dengan pidana penjara paling lama

enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,00”

Kendatipun tindakan tersebut dianggap korupsi, namun pihak desa adat

melalui consensus yang disebut pararem menganggap tindakan tersebut legal.

Punggutan berupa uang keamanan, uang kebersihan, uang perpanjangan KIPP,

uang suka duka, dan pungutan lainnya yang marak terjadi di setiap Banjar di Bali

atas nama awig-awig ataupun pararem desa adat di Bali bukan sesuatu yang baru.

Hal ini telah biasa dialami oleh penduduk pendatang secara berkepanjangan.

Warga pendatang tidak kuasa untuk menolak dan dianggap sebuah kewajiban

secara masif di setiap lingkungan banjar, di tempat mereka bertempat tinggal

sementara.

Biaya Kartu Identitas Penduduk Pendatang Tinggi

Berhadapan dengan mekanisme pelayanan publik sering diibaratkan

memasuki hutan belantara yang penuh dengan ketidakpastian. Waktu dan biaya

pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna pelayanan. Penduduk

pendatang merasakan prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban

penyelenggara pelayanan. Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga

ketika berhadapan dengan unit pelayanan. Fenomena tersebut telah menjadikan

warga pendatang berposisi sebagai kelompok minoritas yang dikuasai. Atas

nama modal ekonomi, atas nama modal politik, (menghegemoni penduduk

pendatang).

Syarifudin Abdullah selaku warga pendatang asal Bima, wawancara pada

Minggu, 18 Mei 2014 menyampaikan.

Page 5: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

5

“Apakah biaya pembuatan kartu identitas penduduk pendatang ada

batasan nominalnya? Berapa nominal terbesarnya? Kalau seperti itu

berarti terserah mau tentukan harganya berapa saja dong? Dengan

ketentuan tidak boleh melebihi biaya terbesar yang ditetapkan. Sejujurnya

kami merasa dipersulit dan keberatan dengan biaya yang dibebankan.

Katanya kalau urus sendiri mahal, ya mau tidak mau kita bayar saja sama

petugas supaya cepat dapatnya”

Onny, seorang pendatang asal Bandung yang mengaku baru satu tahun

tinggal di Bali, menyampaikan pendapatnya pada Minggu, 5 Juli 2015 sebagai

berikut.

“Saat ini saya tinggal di daerah Monang Maning dan ditarik biaya kartu

identitas penduduk pendatang sebesar Rp100.000,00, per kepala bagi saya

itu berat ya Pak, sama suami saya jadi harus bayar dua ratus ribu. Belum

lagi harus perpanjang tiap tiga bulan, tambah lagi administrasinya seratus ribu. Jadinya, y a nggak ada bedanya antara buat baru sama perpanjang.

Sudah kena biaya untuk buat kartunya, biaya perpanjang, ditambah lagi

ada iuran lagi dipungut sama petugas banjar.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Fajar, selaku pendatang baru

yang berasal dari Kota Ngawi, Jawa Timur, dalam wawancara Kamis, 11 Juni

2015 menyampaikan sebagai berikut.

“Di tempat tinggal saya kalau untuk buat KIPEM, yang punya KTP dari

luar Bali kenanya seratus sepuluh ribu sama materai juga enam ribu. Kalau yang ada KTP Bali, kenanya dua puluh lima ribu sama materai

enam ribu juga. Kalau kita telat aja ngurus perpanjangnya misalnya

kurang dari tiga bulan, kita kena denda lagi lima puluh ribu, nah kalau

lebih dari tiga bulan, wah dua kali lipat kenanya Pak, dendanya seratus persen. Jadinya, dua ratus dua puluh ribu. Tinggi sekali biayanya Pak.”

Implikasi praktik penerbitan KIPP, dirasakan menyimpang dari aturan

pemerintah pusat. Pelayanan tidak lagi berdasarkan peraturan resmi baik dari

pemerintah pusat maupun peraturan daerah, melainkan didasari hasil keputusan

atau hasil perarem desa adat masing-masing. Publik tetap harus tunduk kepada

awig-awig yang telah disepakati atau diputuskan oleh desa pakraman, berapa pun

besar biaya yang telah disepakati.

Publik memberikan analisisnya sendiri dengan sebuah kalimat ajakan

yang sangat logis untuk dipertimbangkan agar pelayanan publik dapat dijangkau

oleh masyarakat tanpa kecuali.

“Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar; kalau bisa murah, kenapa mahal;

kalau bisa cepat, kenapa diperlambat salah satu kalimat yang dimuat dalam sebuah harian” (Antara Megapolitan Sabtu, 27 Juni 2015 05:46 WIB

oleh seorang Pewarta: Ahmadi).

Page 6: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

6

Keluhan pelayanan publik biaya tinggi, menurut informan, mencuat pada

permasalahan apakah benar biaya pembuatan dan perpanjangan KIPP sebesar

itu. Apakah memang harus membayar, sedangkan imbauan petugas di kantor

desa Dinas menurut mereka tidak ada pemungutan biaya alias gratis. Bagaimana

jika penghasilan pendatang kecil? Kemudian diharuskan membuat surat tanda

lapor diri setiap tiga bulan dengan biaya Rp100.000,00. Perpanjangan kartu juga

dibebani biaya administrasi dan ditambah lagi dengan penarikan iuran lain setiap

bulannya .

Tidak Sinkronnya Data Jumlah Penduduk

Selama ini ada tiga sumber utama data kependudukan, yaitu sensus

penduduk, survei sampel di bidang kependudukan, dan registrasi penduduk.

Ketiga model pendataan penduduk tersebut tentu memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Faktanya di lapangan, tiga sumber data

kependudukan tersebut menunjukkan ketidaksinkronan data jumlah penduduk.

Undang-Undang No. 24, Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan yang telah disahkan oleh DPR RI pada 24 November 2013

merupakan perubahan substansi yang mendasar di bidang penataan administrasi

kependudukan dalam rangka menjamin akurasi data kependudukan melalui

ketunggalan NIK dan ketunggalan dokumen kependudukan. Harapannya

pendataan jumlah penduduk dari tingkat yang paling rendah, yaitu dusun,

desa/lurah sampai ke pusat dapat memberikan informasi data kependudukan

yang sesuai dengan jumlah yang seharusnya dan akhirnya dapat sebagai sumber

data yang valid.

Namun dalam kenyataannya, sampai saat ini sangat sulit didapat data

jumlah penduduk yang sinkron antara sumber data yang satu dan sumber data

yang lainnya dalam kurun waktu yang sama. Sebagai ilustrasi diperoleh data

dalam empat tahun terakhir, seperti tampak pada Tabel 1.

Tabel 1

Jumlah Penduduk Diperinci Menurut Kecamatan di Kota Denpasar

Proyeksi Tahun 2013--2016

No Kecamatan 2013 2014 2015 2016

(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)

Page 7: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

7

1 Denpasar Selatan 266.420 273.090 279.640 286.060 2 Denpasar Timur 146.510 148.890 151.200 153.480

3 Denpasar Barat 245.580 250.440 255.160 259.790

4 Denpasar Utara 180.510 191.180 194.600 197.970

Total Penduduk Kota Denpassar 839.020 863.600 880.600 897.300

Sumber : BPS Provinsi Bali Proyeksi Tahun 2016: data diolah

Berdasarkan perincian mengenai jumlah penduduk menurut data dari

empat wilayah kecamatan, sebagaimana tabel 1 dapat diketahui bahwa pada

tahun 2013 jumlah penduduk Kota Denpasar, tercatat sebanyak 839.020 jiwa.

Pada tahun 2014 naik menjadi 863.600 jiwa atau naik sebesar 28,46%. Tahun 2015

jumlah penduduk Kota Denpasar bertambah lagi menjadi 880.600 jiwa atau

mengalami kenaikan sebesar 1,93%. Tahun 2016 jumlah penduduk Kota

Denpasar meningkat kembali menjadi 897.300 jiwa atau mengalami kenaikan

sebesar 1,86%.

Kemudian ada versi lainnya, tentang jumlah penduduk juga diperoleh

dari data resmi hasil pencatatan yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik Kota

Denpasar, dari Tahun 2001 --2015. Data tersebut menunjukkan jumlah dan laju

pertumbuhan penduduk Kota Denpasar sebagaimana tampak dalam Tabel 2.

Tabel 2.

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Denpasar Periode Tahun 2001--

2015

No Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan

(jiwa) (%)

1 2001 532.921 36,57 2 2002 555.174 3,20

3 2003 578.201 4,15

4 2004 602.018 4,12

5 2005 626.641 4,09

6 2006 652.110 4,06

7 2007 678.193 4,00

8 2008 705.115 3,97

9 2009 732.897 3,94

10 2010 788.589 7,60

11 2011 810.900 2,83

12 2012 828.900 2,22

13 2013 846.200 2,09

14 2014 863.600 2,06

Page 8: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

8

15 2015 880.600 1,97

Sumber : BPS Kota Denpasar

Dari dua sumber data yang ada, yaitu tabel 1. dan tabel 2, ditemukan data

jumlah penduduk yang tidak sinkron, yakni jumlah penduduk Kota Denpasar

pada tahun 2013. Data berdasarkan Badan Statistik Kota Denpasar jumlah

penduduk Kota Denpasar tahun 2013 adalah sebanyak 846.200 orang, sedangkan

data BPS Provinsi Bali pada tahun yang sama menunjukkan jumlah penduduk

Kota Denpasar tahun 2013 sebanyak 839.020 orang. Artinya, berdasarkan kedua

sumber data tersebut, terdapat perbedaan angka jumlah penduduk yang cukup

sebesar, yakni 7.170 jiwa penduduk.

Demikian pula ketidaksinkronan yang terjadi antara data BPS Kota

Denpasar Tahun 2015, sebagaimana Tabel 2, menunjukkan angka yang besar,

yakni sejumlah 880.600 jiwa, sedangkan hasil pendataan Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil Kota Denpasar sesuai dengan jumlah pemegang KTP dan KIPP

hanya terdapat 655.615 jiwa atau setara dengan 167.622 KK.

Temuan data jumlah penduduk sebagainama fakta di atas, menunjukkan

adanya ratusan ribu penduduk pendatang yang belum terdata dengan baik.

Bapak I Nyoman Artayasa selaku Kepala Bidang Mobilitas Kependudukan Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar menyampaikan pendapatnya

mengenai hal ini. Disampaikan dalam wawancara pada Rabu, 17 Juni 2015

sebagai berikut.

“Data penduduk yang tidak sinkron ini lebih diakibatkan karena

dinamika penduduk pendatang tidak bisa dikontrol. Jumlah penduduk

pendatang hingga saat ini juga belum dapat didata secara pasti. Data hasil

penertiban kependudukan pada masing-masing desa/kelurahan baru

beberapa saja yang memberikan laporan. Perbedaan angka ini menunjukkan ada ratusan ribu penduduk pendatang yang tidak terdata

dan tidak terjaring oleh pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Sekarang bisa sama-sama kita lihat, ternyata selama

ini masih banyak penduduk pendatang yang belum terdata.”

Fakta lain terungkap bahwa data jumlah penduduk Desa Tegal Harum

salah satu desa di kecamatan Denpasar Barat pada tahun 2015 menunjukkan

keadaan yang bervariasi menurut versi beberapa sumber seperti yang tertera

pada Tabel 3.

Page 9: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

9

Pada Tabel 3 tertera data kependudukan dari empat sumber yang ada

juga menunjukkan kondisi data kependudukan yang tidak konsisten. Jika

diamati dari sumber BPS Provinsi Bali tahun 2015, tertera jumlah penduduk Desa

Tegal Harum sebanyak 16.683 jiwa. Jika dibandingkan dengan data menurut

Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016, jumlah penduduk Desa Tegal

Harum tertulis sebanyak16.684 jiwa. Data tersebut juga tidak sinkron denngan

data yang dimiliki Badan Pusat Statistik Kota Denpasar yang diperinci menurut

agama. Data keadaan akhir tahun 2015, tercatat jumlah penduduk Desa Tegal

Harum sebanyak 16.837 jiwa. Berbeda pula jika dilihat berdasarkan Profil Desa

Tegal Harum, yaitu data per April 2015 tertera jumlah penduduk Desa Tegal

Harum berjumlah 10.597 jiwa.

Tabel 3.

Jumlah Penduduk Desa Tegal Harum Tahun 2015 Menurut Berbagai Sumber

Data

No Sumber Data Total

(Jiwa)

1 BPS Provinsi Bali data diolah tahun 2015 16.683 2 Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016 16.684

3 Badan Pusat Statistik Kota Denpasar Diperinci

Menurut Agama Keadaan Akhir Tahun 2015 16.837

4 Profil Desa Tegal Harum Data per April 2015 10.597

Sumber : Data diolah dari BPS Provinsi Bali Tahun 2015, Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016, dan Profil Desa Tegal Harum Tahun 2015

Meningkatnya Patologi Sosial

Implikasi meningkatnya patologi social dan potensi konflik diamati dari

Perebutan sumber daya ekonomi tidak lepas dari mengalirnya jumlah penduduk

pendatang. Sebagaimana diuraikan informan I Nyoman Arya Sudarsana, selaku

warga Banjar Sanga Agung Denpasar Barat. Dalam wawancara yang dilakukan

pada Senin, 29 Juni 2015, ia menyampaikan sebagai berikut.

“Keberadaan penduduk pendatang sudah sangat mengkhawatirkan, perlu

segera diambil langkah-langkah yang tepat, perlu tindakan seleksi yang

ketat terhadap kedatangan kaum migran, budaya Bali akan luntur, bisa

dilihat pada kehidupan sehari-hari, misal di jalan raya, dulu pengemudi

di Bali terkenal dengan sifat santai dan tenang dalam mengemudi,

kemudian mulai berdatangan pengemudi dari luar Bali, dan paling

banyak dari Pulau Jawa, dengan gaya dan budaya mereka dalam

mengemudi yang seenaknya dan tanpa peduli dengan orang lain,

Page 10: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

10

penduduk asli akan terkontaminasi dengan budaya tersebut dan akan ikut

bergaya seperti itu karena merasa jalan raya itu juga milik mereka. Itu

hanya contoh sederhana, bagaimana cara mengatasi ini, sama saja kita

dijajah oleh bangsa sendiri, jangan sampai Bali menjadi Betawi ke-2. Saya

sangat sedih dengan keadaan ini, PSK bertebaran, kaki lima berserakan,

lingkungan kumuh. Perlu segera diambil tindakan”.

Perebutan Sumber Daya Ekonomi

Dibukanya pasar tradisional oleh desa adat selalu dimanfaatkan dengan cepat

oleh para pendatang untuk membuka pasar malam seribu tenda, usaha kuliner di

malam hari yang buak 24 jam. Di sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa

bisnis kuliner tersebut belum memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Bali

di sekitar, bahkan cenderung memarginalkan masyarakat setempat. Salah satu

penyebabnya adalah 80% aset kuliner tersebut dimiliki oleh pendatang dari luar

Bali.

Kondisi demikian tidak menutup kemungkinan konflik internal sebagai akibat

adanya perebutan sumber-sumber pendapatan antara desa pakraman dan

pendatang yang berbisnis kuliner menjadi sangat sulit dihindarkan. Ibarat

pepatah “ada gula ada semut”, tak mengherankan jika pengembangan aneka

kegiatan penjaja makanan yang laris manis mengundang orang-orang nonBali

bermigrasi ke daerah Denpasar Barat, khususnya wilayah Desa Tegal Harum

untuk mencari nafkah. Salah seorang penduduk asli dari Banjar Buana Kubu, I

Ketut Warta, dalam wawancara pada Selasa, 15 Maret 2016, menyampaikan

sebagai berikut.

“Kehadiran warga pendatang, terutama pendatang luar Bali tidak saja

merampas ruang untuk hunian dan kegiatan usaha, tetapi sudah

merampas periuk nasi bagi penduduk asli Bali. Hal ini tidak bisa

dilepaskan dari banyaknya pendatang yang mencari nafkah dan

bertempat tinggal di sini. Mereka memasuki ranah nafkah yang

diusahakan oleh orang Bali. Akibatnya, peluang nafkah orang Bali

menjadi mengecil, bahkan bisa pula terpinggirkan. Belum terhitung lagi

adanya kenyataan bahwa para pendatang kebanyakan orang-orang yang

bermental kepeloporan, ulet, pekerja keras, atau memiliki semangat

kewirausahaan yang tinggi sehingga mereka sangat siap bersaing dengan

orang-orang Bali”.

Gesekan Akibat Perbedaan Agama

Page 11: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

11

Kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar

jurang permusuhan antarbangsa. Perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat

untuk menimbulkan perpecahan antarkelompok dalam masyarakat , hal itu

sudah sangat sering terjadi. Salah satu faktor penyebab tumbuhnya sikap

eksklusivistik seperti ini adalah pemaknaan mereka terhadap agama pihak lain

berbeda, sebagaimana pemaknaan orang Bali terhadap peningkatan status

musala menjadi mesjid di Monang-Maning. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan dalam wawancara yang dilakukan dengan Kadek Jaya selaku

penduduk setempat, pada Selasa, 12 Juni 2014 seperti di bawah ini.

“Orang Bali memaknai rumah ibadah sebagai ancaman terhadap identitas

ke bali-an mereka. Akibatnya, konflik yang terkait dengan pendirian

tempat ibadah, selalu bisa terjadi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada

kasus musala di Perumahan Monang -Maning. Pada saat ada tanda-tanda orang Islam mendirikan mesjid, maka orang Hindu mengingatkan bahwa

musala tidak boleh dimesjidkan .

Pernahkah terjadi gesekan karena perbedaan agama di Desa Tegal Harum,

Kecamatan Denpasar Barat? Seorang penduduk asal Jawa Timur yang

merupakan pedagang kue pukis, Bapak Tumin, dalam wawancara pada Selasa,

15 Maret 2016 menuturkan sebagai berikut,

“Saya pernah itu Pak, diperlakukan tidak enak. Sebagai muslim saya

sering mendapatkan diskriminasi, saat saya berada di lingkungan

masyarakat Hindu. Kekerasan itu biasanya paling banyak dalam bentuk

kata-kata yang tidak menyenangkan. Beberapa saudara Hindu bahkan

yang beragama lain pun ketika tahu kalau saya adalah muslim, mereka

menyebut saya orang Jawa .

Roni, selaku pendatang muslim dari Manado yang diwawancarai pada Selasa,

15 Maret 2016, terkait dengan diskriminasi yang diterima dari beberapa

orang,

menyatakan sebagai berikut.

“Bom Bali dulu itu menimbulkan pemikiran negatif masyarakat Bali

terhadap muslim, contohnya saja seperti penjagaan yang ketat di Bali, Gilimanuk, Padang Bai. Dulu, kan tidak terlalu ketat diperiksanya Pak,

sekarang ada pemeriksaan barang terus pemeriksaan diri. Malahan Pak, kalau ketahuan muslim malah lebih khusus lagi pemeriksaannya.”

Sikap yang demikian tampak dalam kehidupan warga di Kecamatan

Denpasar Barat, khususnya penduduk muwed (asli) dan para pendatang (tamiu)

Page 12: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

12

yang berada atau bertempat tinggal yang cukup pada memunculkan prasangka

etnis, yaitu masih ada jarak pemisahan antara penduduk asli dan pendatang.

Artinya, dalam kehidupan muwed (asli) dan kelompok pendatang (tamui) terjadi

prasangka antaretnik, yakni antipati yang didasarkan pada suatu generalisasi

yang salah dan kaku.

Gesekan Akibat Perbedaan Budaya

Fenomena perubahan sosial budaya sebagai akibat dari modernisasi dan

globalisasi yang melanda masyarakat Bali akhir -akhir ini menimbulkan

keprihatinan berbagai elemen masyarakat di Bali. Berbagai elemen tersebut

menilai bahwa Bali tengah dihadapkan pada berbagai tantangan, bahkan

“ancaman”.

Hal yang paling meresahkan adalah adanya ketakutan akan terancamnya

eksistensi ideologi tri hita karana berikut agama Hindu dan kebudayaan Bali.

Globalisasi yang berintikan pada kapitalisme dan perdagangan bebas, diikuti

oleh masuknya modal asing, telah membawa Bali terseret pada mekanisme

jejaring ideologi pasar. Bali yang menurut istilah Nordholt (2005: xxix) adalah

”benteng terbuka”, tidak kuasa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi,

bahkan jerat ideologi pasar ini membawa Bali pada sebutan “McDonalds-isasi of

Bali” atau “Coca-Colanisasi of Bali” (Inside Indonesia, Desember 1994; Atmadja,

2010).

Perbedaan identitas budaya terkadang dapat menimbulkan

munculnya suatu gesekan yang berujung pada konflik. Hal tersebut

berdasarkan pengalaman para pendatang ketika berbaur di lingkungan tempat

tinggal yang dihuni oleh para pendatang yang mengusung budaya dan adat

istiadat masing-masing.

Pembahasan

Berkembangnya Praktik Korupsi dalam Pelayanan Publik

Implikasi buruknya pelayanan publik membuat celah -celah korupsi

terbuka lebar. Karena pelayanan publik bersentuhan langsung dengan

masyarakat, terlebih lagi jika fenomena sosial itu terjadi di akar rumput,

akibatnya lebih buruk lagi. Terbukanya peluang korupsi dapat mereduksi dan

mengikis semangat masyarakat untuk pemberantasan korupsi itu sendiri.

Page 13: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

13

Bahkan, dapat berdampak pada tumbuhnya sikap permisif sebagian masyakarat

terhadap tindakan korupsi.

Secara struktur tertib administrasi kependudukan utamanya pendataan

penduduk pendatang, menganut pola sinergisitas antara desa dinas d an desa

adat/pakraman. Namun, kedua struktur yang ada tersebut mempunyai alurnya

sendiri-sendiri. Hal ini sekaligus sewbagai sebuah momentum terbukanya celah

korupsi, kolusi dan nipotisme dalam pelayanan publik..

Sebagai bagian dari sistem informasi kependudukan, KIPP diterbitkan

sebagai identitas kewarganegaraan yang secara legal tidak dikenakan biaya.

Akan tetapi, penerbitan KIPP oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang,

yakni desa pakraman, berpedoman pada keputusan (pararem) ternyata seara

terbuka melakukan pungutan (biaya). Hal itu diakui sah berdasarkan awig-awig

yang ada. Tumpang tindih aturan mengenai pungutan terkait dengan pelayanan

publik ini membuka peluang terjadinya korupsi .

Kontroversi pemaknaan ini menjadi lebih tajam ketika disikapi dari sisi

aturan pidana bagi yang melakukan pelanggaran dalam arti masih melakukan

pungutan terhadap pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan. Hal ini

diatur secara khusus dalam pasal 95 B yang menyatakan sebagai berikut.

“Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT

instansi pelaksana, dan instansi pelaksana yang memerintahkan dan/atau

memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk dalam

pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang No. 24, Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan

(Pasal 79A) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 75.000.000,00”

Dalam konteks ini Piliang (2003) lebih menyoroti korupsi dari sisi mental

dan budaya birokrasi pelaku pelayanan publik yang cenderung mementingkan

gaya hidup. Bahwa gaya hidup konsumerisme dan hedonisme yang melanda

masyarakat, khususnya para penguasa dan aparatnya, merupakan mata air dari

mental korupsi, kolusi, dan nepotisme., secara mental kita belum siap memasuki

gaya hidup tersebut sebagaimana di negara maju. Mesin hasrat kapitalisme di

samping menanamkan hasrat positif kemajuan, menumbuhkan pula di dalam

diri setiap orang negative narcism desire, hasrat untuk diakui, dipuja, dan

Page 14: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

14

disanjung oleh orang lain lewat gaya dan penampilan (mobil, rumah, lapangan

golf), bukan lewat sifat jujur, sederhana, dan bertanggung jawab (Piliang,

2003:222).

Biaya Kartu Identitas Penduduk Pendatang Tinggi

Pelayanan publik biaya tinggi, didorong oleh kepentingan politik dan

ekonomi para aktor pelaku kebijakan . Warga pendatang sebagai kelompok

subordinat menerima ide-ide dan kepentingan politik, dan bahkan kepentingan

ekonomi kelompok berkuasa. Hal ini kemudian diterjemahkan menjadi suatu

kemampuan yang terlihat alami dan berkembang dalam lingkungan sosial yang

terbentuk dari habitus dan ranah yang melibatkan modal (habitus x modal) +

ranah melahirkan produk berupa hasil keterampilan yang menjadi tindakan

praktis dan legal.. Legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang

karena ideologi, kultur, nilai -nilai, norma, dan politiknya yang sudah

diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat (Sugiono,

2007:37). Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan

peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,

melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-

masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa

pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada

mereka (pendatang)

Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa

memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar

Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat

biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.

Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan peraturan resmi

baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah, melainkan menggunakan

hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-masing. Publik tetap harus

tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa pakraman, berapa pun besar

biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada mereka (pendatang)

Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa

memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar

Page 15: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

15

Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat

biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.

Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan

peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,

melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-

masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa

pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada

mereka (pendatang). Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu

saja bisa memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang

dari luar Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat.

Akibat biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.

Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan

peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,

melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-

masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa

pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada

mereka (pendatang)

Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa

memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar

Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat

biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.

Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan

peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,

melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-

masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa

pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada

mereka (pendatang)

Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa memunculkan

gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar Bali karena

dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat biaya

penerbitan KIPP sangat tinggi.

Page 16: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

16

Tidak Sinkronnya Data Jumlah Penduduk

Tidak sinkronnya data jumlah penduduk sebagainama fakta hasil

penelitian, menunjukkan adanya ratusan ribu penduduk pendatang yang belum

terdata dengan baik. Kendala utama yang dihadapi pelayanan penerbitan KIPP

dalam rangka mendukung sinkronisasi data kependudukan selama ini adalah

sifat penduduk pendatang yang masih cenderung nomaden, Artinya selalu

berpindah-pindah dari tempat ketempat yang lain atau banjar yang satu ke banjar

yang lain. Bahkan, tidak jarang mereka pindah dari wilayah desa pakraman yang

satu ke wilayah desa pakraman yang lainnya. Hal ini tentu akan mempersulit

petugas untuk memantau keberadaan mereka dan besar kemungkinan tidak

terdata dengan baik.

Berdasarkan fakta empiris tersebut, membuktikan bahwa belum

maksimalnya pelayanan publik dalam pengendalian penduduk pendatang

melalui penerbitan KIPP masih menjadi masalah yang serius. Kondisi itu dapat

diduga berawal dari institusi yang ada di bawahnya, yakni di tingkat dusun, desa

atau kelurahan sampai pada tingkat Kabupatn dan Provinsi. Ketidaksinkronan

data kependudukan ini membutuhkan perhatian yang saksama agar tidak

berdampak serius terhadap kebijakan pembangunan.

Meningkatnya Patologi Sosial

Sejarah mencatat tentang masyarakat modern yang serba kompleks

sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi,

dan lain-lain. Hal ini di samping mampu memberikan berbagai alternatif

kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan kesulitan

mengadakan adaptasi, berbagai alternatif kemudahan bagi kehidupan manusia

juga dapat menimbulkan kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment,

menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat

internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya

sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang

menyimpang dari pola yang umum dan banyak melakukan sesuatu apa pun

demi kepentingannya sendiri, bahkan mayarakat cenderung merugikan orang

Page 17: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

17

lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang melahirkan apa yang dinamakan dengan

patologi sosial” (Kartono, 2005 :v).

Pengaruh globalisasi membuat Bali semakin dilematis dalam menghadapi

problema urban. Di satu sisi harus memelihara pertumbuhan ekonomi dengan

ambisi menjaga kelestarian budaya. Akan tetapi, di sisi yang lain, setiap

peningkatan ratio pertumbuhan ekonomi, justru menambah kencangnya lonjakan

marginalisasi ataupun peminggiran terhadap penduduk lokal. Selain itu, pada

saat yang bersamaan percepatan laju pertumbuhan urban pun tidak dapat

dihindari. Semakin padatnya penduduk pendatang, dari berbagai daerah yang

berbekal bermacam-macam kebudayaan kadang kala dapat berlangsung lancar

dan lembut. Akan tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui

konflik-konflik hebat.

Situasi sosial seperti ini dapat memunculkan tingkah laku

patologis/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah

kelompok-kelompok masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati

norma-norma dan peraturannya sendiri dan bertingkah semau sendiri. Dengan

demikian muncul banyak masalah sosial, tingkah laku sosiopatik, deviasi sosial,

disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, dan diferensiasi sosial. Hal ini dapat

memicu terjadi konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial dan

kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga rakyat banyak,

yang semuanya tidak dapat dicernakan dan diintegrasikan oleh individu.

Perebutan Sumber Daya Ekonomi

Dibukanya pasar tradisional oleh desa adat menciptakan peluang yang

besar dibukanya pasar malam yang menghadirkan persaingan kesempatan

berusaha. Banyak orang berpendapat bahwa bisnis kuliner di pasar malam belum

memberikan manfaat optimal bagi masyarakat di sekitar, bahkan cenderung

memarginalkan masyarakat setempat. Salah satu penyebabnya adalah 80% aset

kuliner tersebut dimiliki oleh pendatang dari luar Bali.

Kedatangan tamiu (pendatang) disertai motivasi ekonomi yang kuat,

tanpa disadari telah mengakibatkan sejumlah sumber daya alam dan manusia

telah dikuasai oleh penduduk pendatang. Kondisi itu menciptakan terbentuknya

pola hubungan yang tidak seimbang antara kelompok pendatang dan kelompok

Page 18: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

18

penduduk asli. Hal ini menyebabkan masyarakat atau penduduk asli

termarginalkan di tanahnya sendiri.

Gesekan Akibat Perbedaan Agama

Terjadinya gesekan karena perbedaan agama justru lebih dipicu oleh

bervariasinya agama warga pendatang. Masuknya aliran-aliran keagamaan baru

yang pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu menjadi

alternatif bagi krama yang tidak mampu mengikuti padatnya aktivitas panca

yadnya di Bali, utamanya di desa pakraman. Rasionalisasi awig-awig dipandang

setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan

aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang semestinya dapat

diselesaikan dengan musyawarah.

Salah satu faktor penyebab tumbuhnya sikap eksklusivistik seperti ini

adalah pemaknaan mereka terhadap agama pihak lain berbeda. Sikap yang

demikian nampak dalam kehidupan warga di Kecamatan Denpasar Barat,

khususnya penduduk muwed dan para pendatang atau warga tamiu yang berada

atau bertempat tinggal di wilayah yang cukup padat. Hal tersebut memunculkan

prasangka etnis, yaitu masih ada jarak pemisahan antara penduduk asli dan

pendatang. Artinya, dalam kehidupan muwed dan kelompok pendatang terjadi

prasangka antaretnik, yakni antipati yang didasarkan pada suatu generalisasi

yang salah dan kaku.

Ekspresi sikap ini misalnya terlihat pada sikap yang memalingkan muka

ketika berpapasan di jalan, mencibir, dan sebagainya. Atau bisa juga terlihat pada

sikap penduduk muwed yang memandang para pemulung yang notabene

umumnya adalah pendatang. Dalam hal ini muwed selalu mengaitkan mereka

dengan kejahatan, misalnya pencurian atau paling tidak sebagai mata-mata

pencuri. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Sudagung (2001:30) bahwa prasangka

adalah permusuhan terhadap seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok,

semata-mata karena ia menjadi anggota kelompok itu dan diduga mempunyai

kualitas yang tercela atau tidak disukai.

Fanatisme terhadap desa pakraman yang berlebihan mudah memicu selisih

paham dengan desa pakraman dan pendatang yang sesama agama pun

memungkinkan terjadi gesekan internal. Wiana (2011), mengemukakan ada dua

Page 19: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

19

cara pemahaman mengenai agama yang keliru, Pertama, cara pemahaman yang

bersifat eksklusif negatif, yaitu suatu sikap yang mengagungkan agama yang

dianutnya melebihi agama lain dengan menganggap agama lain yang tidak

dianutnya adalah agama yang lebih rendah. Kedua, sikap beragama yang munafik

juga merupakan bentuk yang memicu gesekan karena perbedaan agama.

Gesekan Akibat Perbedaan Budaya

Kebudayaan menjadi faktor utama dalam kebiasaan yang tanpa disadari

dilakukan seseorang dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Perbedaan

identitas budaya terkadang dapat menimbulkan munculnya suatu gesekan yang

berujung pada konflik. Hal tersebut berdasarkan pengalaman para pendatang

ketika berbaur di lingkungan tempat tinggal yang dihuni oleh para pendatang

yang mengusung budaya dan adat istiadat masing-masing.

Pendatang sebagaimana disebutkan Degung Santikarma (Bali Post, 2004)

sering ditempatkan sebagai sumber masalah (trouble makers), yang tidak saja

mengancam sumber nafkah mereka, tetapi juga ditempatkan sebagai ancaman

terhadap identitas budaya. Pendatang dianologikan sebagai perusak identitas

karena datang dengan latar belakang adat, budaya, dan keyakinan yang berbeda;

sedangkan penduduk asli (etnik Bali) merupakan penjaga tradisi dan kemurnian

identitas. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap identitas

etnik Bali juga berasal dari etnik-etnik lain yang bermigrasi ke Bali. Berbagai

persoalan di atas dikhawatirkan dapat berdampak pada perubahan pola perilaku,

sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya masyarakat Bali. Karakter budaya lokal

luntur, dikalahkan budaya luar yang dibawa oleh pendatang yang berkunjung ke

Bali.

Kesimpulan

Implikasi Pelayanan Publik Dalam Penertiban penduduk Pendatang Di

Kota Denpasar adalah, berkembangnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Biaya pelayanan publik yang tinggi. Tidak sinkronnya data jumlah penduduk

dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota bahkan sampai pada tingkat

provinsi. Meningkatnya patologi sosial berupa gesekan secara ekonomi, berupa

perebutan sumber-sumber ekonomi dalam masyarakat, kesempatan berusaha

dagang maupun lapangan kerja informal semakin sempit, persaingan semakin

Page 20: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

20

ketat. Bidang agama dan budaya terjadi fraksi-fraksi ditengah masyarakat

dilakangan bawah yang terpecah-pecah, akibat adanya desakan peraturan atau

pararem desa adat untuk melestarikan budaya Bali yang bernapaskan agama

Hindu, dengan aturan atau praktik budaya lain yang bernapaskan agama yang

dianutnya, yang berkeinginan juga menaati norma-norma budayanya sendiri.

Adanya kecenderungan perilaku pembiaran dari pemerintah terkait, berlarut-

larutnya ketidak sinkrunan data jumlah penduduk. Tidak ada tindakan tegas dari

pemerintah menyebabkan tidak disiplinnya petugas pelayanan dan warga

masyarakat untuk tunduk kepada aturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Aryana, I Nyoman. 2005. ”Implementasi Surat Keputusan Wali Kota Denpasar

Nomor 610, Tahun 2002 sebagai Dasar Penertiban Penduduk di Kota

Denpasar (Perspektif Budaya)”. (tesis). Denpasar : Universitas Udayana.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2016.

Degung, Santikarma. 2004. Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Bali Post Press.

Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Geovernance Melalui

Pelayanan Public. Yogyakarta: UGM Press.

Fashri, Fauzi. 2007. Penyikapan Kuasa Simbol: Apropisasi Reflektif

PemikiranPierre Bourdieu. Jakarta: Juxtapose

Febrinada, Lis. 2009. “Rekonstruksi Regulasi Pelayanan Kependudukan dan

Catatan Sipil oleh Birokrasi Pemerintah dalam Perspektif Hukum

Administrasi Negara”. (Disertasi). Semarang: Universitas Diponogoro.

Foucault, Michel. 1995. Discipline And Punish, The Birth of The Prison. Random

House, Inc : New York

Jawa Pos Group. 2017. “Polda Bali Akan Brangus Pungutan untuk Kipem”.

Diunduh dari

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/05/31484/polda-bali-

akan-brangus-pungutan-untuk-kipem pada 5 Desember 2017.

Juniartha, IW. 2005. “Bom Bali Jimbaran Kuta Melawan Mereka yang Tak Takut

Mati” Kompas, Kamis 20 Oktober 2005. Kecamatan Denpasar Barat Dalam

Angka Tahun 2017.

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP

Bali/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung I MDP Bali.

Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-

SK/MMDP/VII/2014 tentang Penataan Penduduk Pendatang Di Desa Pakraman.

Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 610, Tahun 2002 tentang Penertiban

Penduduk Pendatang di Kota Denpasar.

Page 21: IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN …

21

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Wali Kota se-Bali Nomor

153, Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan

di Provinsi Bali.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13, Tahun

2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan

Partisipasi Masyarakat.

Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 12, Tahun 2013 tentang Penghentian

Pungutan Restribusi Kota Denpasar.

Perda Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3, Tahun 2001 tentang Desa Pakramani.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas Matinya

Makna. Yogyakarta : Jalasutra.

______. 2006. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Bandung :

Jalasutra.Profil Desa Tegal Harum Tahun 2014. Sugiono, Muhadi. 2007. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pandangan Dunia

Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suprawoto. 2007. “Layanan Publik

Melalui E-Government tentang Pelayanan KTP Online oleh Pemerintah

Kota Surabaya”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 610, Tahun 2002 tentang Perubahan

Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 593, Tahun 2000 tentang

Penertiban Penduduk Pendatang.

Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23, Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Wiana, I Ketut. 2011. “Weda Wakya III: Tuntunan Menyelenggarakan

Hidup”.Surabaya : Paramita

Yesaya, Buinei. 2012. “Analisis Kualitas Pelayanan Publik terhadap Kinerja

Pembangunan Ekonomi di Provinsi Papua (Studi Kasus Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura)”. (tesis). Universitas Brawijaya.