HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEKIP PALEMBANG BULAN DESEMBER 2012 Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Oleh: Yurika Erliani, S.Ked 04114705090 Pembimbing 1: dr. Hendarmin Aulia, SU Pembimbing 2: Bahrun Indawan Kasim, SKM, Msi Prof. Dr. dr. RM. Suryadi Tjekyan, DTM & H, MPH DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013
46
Embed
Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEKIP PALEMBANG
BULAN DESEMBER 2012
Tugas AkhirSebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Oleh:Yurika Erliani, S.Ked
04114705090
Pembimbing 1:dr. Hendarmin Aulia, SU
Pembimbing 2:Bahrun Indawan Kasim, SKM, Msi
Prof. Dr. dr. RM. Suryadi Tjekyan, DTM & H, MPH
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang
salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura.1 Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang
kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat
terjadi kesukaran bernapas dan tidak dapat minum. Usia Balita adalah kelompok yang
paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara
berkembang.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas
40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.
Menurut WHO, 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian
besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, di mana pneumonia
merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita
setiap tahun.2
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA
juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh
kematian balita.3
Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009 menyebutkan angka
kejadian ISPA tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008 sebanyak
282.661 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus. Sedangkan menurut data
yang ada di Puskesmas Sekip Palembang, penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas
Sekip Palembang tahun 2007 sebanyak 11.959 kasus, tahun 2008 sebanyak 16.690
kasus, tahun 2009 sebanyak 17.201 kasus.4
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita antara lain:
status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan pemberian vitamin A,
BBLR, imunisasi tidak lengkap, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, tingkat sosial
ekonomi dan pendidikan. Sebuah penelitian di wilayah kerja Puskesmas DTP Jamanis
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010 yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita menyebutkan adanya hubungan status gizi dengan
kejadian ISPA (p value = 0,001).5 Data yang diperoleh dari rekam medik URJ anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya pada periode Februari 2008 dari kunjungan sebanyak
1020 balita yang terkena ISPA sebanyak 484 (47,45%) dan dari pembahasan terdapat
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan taraf
siknifikannya sedang dan mempunyai arah positif, artinya semakin baik status gizi
balita semakin besar peluang tidak menderita ISPA.6 Penelitian lain yang dilakukan di
Puskesmas Sosial Palembang menyatakan adanya hubungan bermakan antara status
gizi dengan kejadian ISPA pada balita (OR: 29,91).7
Telah lama diketahui adanya sinergitas antara malnutrisi dan infeksi.
malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti hubungan
status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sekip
Palembang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran status gizi balita di Puskesmas Sekip
Palembang bulan Desember 2012.
2. Untuk mengetahui distribusi status gizi balita berdasarkan jenis kelamin.
3. Untuk mengetahui angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip
Palembang bulan Desember 2012.
4. Untuk mengetahui distribusi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin.
5. Untuk mengetahui proporsi kejadian ISPA pada balita berdasarkan status
gizi.
6. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Puskesmas Sekip Palembang
mengenai hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
yang merupakan penyakit tersering diderita oleh balita yang berobat ke
pelayanan kesehatan anak Puskesmas Skip Palembang tahun 2012.
2. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya dan bahan referensi
bagi perpustakaan FK UNSRI Palembang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan tentang
pentingnya mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam upaya promotif dan preventif di bidang kesehatan
khususnya dalam menurunkan angka kejadian ISPA pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut
dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses
ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi
akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak
seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho
pneumonia.8
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat
diketahui menurut:
2.1.1 Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu: ISPA
atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold),
Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain
yang relatif tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia
yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.9
2.1.2 Klasifikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: pneumonia berat dan bukan
pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast
breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih,
atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe
chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan
dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.10
2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas: pnemonia
berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas
sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu
anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali
permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding
dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.10
2.1.3 Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria
untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan
adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi
napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit
dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan
sampai kurang dari 5 tahun.11
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai
dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali
permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah
ke dalam (severe chest indrawing).11
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai
tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita
dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan
frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.11
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang
dikelompokkan sebagai tanda bahaya:
1. Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa
Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa di antara 194 balita yang status
gizinya baik, 62,4% mengalami ISPA. Sedangkan pada 64 balita dengan status gizi
malnutrisi, 56,3% yang mengalami ISPA. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value
sebesar 0,470. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5%, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012.
4.6 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara status
gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan
Desember 2012. Hasil ini berbeda dengan teori imunitas tubuh balita menjadi
menurun pada status gizi yang kurang. Banyak faktor lain yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita yaitu factor individu balita seperti status gizi, status
imunisasi, berat lahir. Faktor perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua,
status social dan ekonomi, dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor
lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur
maupun asap rokok, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.
Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun
2006 mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Pati I menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,01), ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00), ada hubungan antara
ventilasi ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,03), ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadiap ISPA pada balita
(p value = 0,00), ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00). Sedangkan status gizi, status
imunisasi, lantai ruang tidur, kepemilikan lubang asap dapur, dan penggunaan jenis
bahan bakar tidak memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita.20
Pada penelitian Nuryanto yang meneliti factor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang pada bulan
Januari sampai April 2009 menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status
gizi (p value = 0,004), status imunisasi (p value = 0,005), kepadatan rumah (p value =
0,011), keadaan ventilasi rumah (0,007), status merokok orang tua (p value = 0,005),
pendidikan ibu (p value = 0,001), dan status ekonomi keluarga (p value = 0,005)
dengan kejadian ISPA pada balita.21
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sukmawati dan Sri Dara Ayu di
wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan Bantoa Kabupaten Maros,
Makassar, menunjukkan hasil ada hbungan antara status gizi (p value = 0,031) dengan
kejadian ISPA pada balita, tidak ada hubungan bermakna antara berat badan lahir
dengan jedaian ISPA (p value = 0,636), dan ada hubungan bermakna antara status gizi
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,026).22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember 2012.
2. Jumlah kunjungan balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang
pada bulan Desember 2012 sebanyak 258 balita, proporsi laki-laki lebih banyak
yaitu 131 balita laki-laki (50,8%) dan 127 balita perempuan (49,2%).
3. Status gizi terbanyak yang dimiliki responden yaitu status gizi baik dengan jumlah
188 balita (72,9%) dan terendah yaitu status gizi lebi dengan jumlah 6 balita
(2,3%).
4. Proporsi balita laki-laki sama dengan proporsi balita perempuan pada status gizi
baik yaitu masing-masing sebesar 50% (94 balita).
5. Angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember
2012 sebesar 157 kasus (60,9%) dari total kunjungan 258 kunjungan.
6. Proporsi balita laki-laki yang mengalami ISPA lebih banyak yaitu sebesar 51,6%
(81 balita) dan proporsi balita perempuan sebesar 48,4% (76 balita).
7. Kejadian ISPA pada balita dengan status gizi baik sebanyak 116 kasus (61,7%),
sedangkan pada gizi kurang sebesar 32 kasus, gizi buruk 4 kasus, dan gizi lebih 5
kasus.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel penelitian yang lebih
banyak sesuai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu
faktor individu balita seperti status gizi, status imunisasi, berat lahir. Faktor
perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua, status social dan ekonomi,
dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor lingkungan yaitu
pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur maupun asap rokok,
ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.
2. Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan dalam periode yang lebih lama.
3. Penelitian lanjutan sebaiknya juga meneliti hubungan usia dan kejadian ISPA
pada balita.
4. Penelitian lanjutan sebaiknya menggunakan data primer berupa kuisioner.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.2. Salam, A.,(2006) Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten
Magelang. Tesis , UGM. Yogyakarta3. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.4. http://www.dinkes.palembang.go.id/ 5. Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (Ispa) Pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.2 Tahun 2012.6. Rahmawati D. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di
Urj Anak Rsu Dr. Soetomo Surabaya. 2008. Politeknik Kesehatan Program Studi Kebidanan Sutomo Surabaya.
7. Sulistyoningsih R, Rustandi R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Dtp Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010. 2011. ISBN 978-602-96943-1-4. FKM UNSIL.
8. Justin, 2006. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia, Unhalu, Kendari.
9. Anonim, 1996. Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita Dalam Pelita VI, Jakarta.
10. Anonim, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita, Jakarta.
11. Depkes R.I., (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.
12. Anonim, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.13. Sukar, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang ( Indoor ) Terhadap ISPA
Pnemonia, Buletin Penelitian Kesehatan, Bandung.14. Anwar A, 1992, Pengaruh Pencemran Udara” Indoor” Pembakaran Biomassa
Terhadap Kesehatan : Majalah Kesehatan Masyarakat,Jakarta.15. Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media
Promosi Kesehatan Indonesia No XII , Jakarta.16. Adningsih, 2003. Tidak Merokok Adalah Investasi, Interaksi Media Promosi
Kesehatan Indonesia No XIV, Jakarta.17. Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.18. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.19. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.20. Suhandayani I, 2007. Skripsi: Factor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun 2006. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.
21. Nuryanto. 2010. Beberapa factor yang Berhubungan dengan Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol 4, No 11 tahun 2010.
22. Sukmawati, Ayu SD. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir dan Imunisasi dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamasean Kabupaten Bontoa Kecamatan Maros, Sulawesi Selatan. Media Gizi Pangan, Vol 10, Edisi 2, Juli – Desember 2010.