1 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG ISPA TERHADAP PERILAKU ORANG TUA MERAWAT BALITA DI PUSKESMAS MOJOGEDANG I KARANGANYAR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai sarjana Keperawatan Oleh : Agus Triyanto NIM : ST 14005 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
86
Embed
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG ISPA · PDF fileKuesioner Penelitian 6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... ISPA pada balita dari Januari sampai Juni 2015 di Puskesmas Mojogedang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG ISPA
TERHADAP PERILAKU ORANG TUA MERAWAT
BALITA DI PUSKESMAS MOJOGEDANG I
KARANGANYAR
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai sarjana Keperawatan
Oleh :
Agus Triyanto
NIM : ST 14005
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
2
3
4
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dan sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT serta salam terhatur kepada Rasulullah Muhammad S.A.W, yang selalu
melindungi dan melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat
menyusun skripsi ini dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang ISPA
terhadap Perilaku Orang Tua Merawat Balita di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar”.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Ketua STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.
2. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Ketua Program Studi S-1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan ijin
penyusunan skripsi ini.
3. Wahyuningsih Safitri, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing Utama yang
telah membimbing dan membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Rahajeng Putriningrum, SST., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang
telah banyak membimbing dan membantu peneliti dalam menyusun skripsi
ini.
5
5. Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Penguji yang telah
meluangkan waktu membimbing dan membantu peneliti dalam menyusun
skripsi ini.
6. Drg. Bambang Mulyawan selaku Kepala Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
terlibat dalam penelitian ini.
8. Seluruh staf pengajar Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih kurang
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
para pembaca, khususnya bagi penulis.
Surakarta, Februari 2016
Penulis
6
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
ABSTRAK xi
ABSTRACT xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 8
2.2 Keaslian Penelitian 33
2.3 Kerangka Teori Penelitian 34
2.4 Kerangka Konsep Penelitian 35
2.5 Hipotesis 35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 36
3.2 Populasi dan Sampel 36
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 38
3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran 39
3.5 Alat Penelitian dan Cara pengumpulan data 39
3.6 Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data 45
7
3.7 Etika Penulisan 49
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Puskesmas Mojogedang I 50
4.2 Hasil Penelitian 51
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden 57
5.2 Perilaku Orang Tua Sebelum Penkes 60
5.3 Perilaku Orang Tua Sesudah Penkes 62
5.4 Pengaruh Pendidikan Kesehatan 64
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan 69
6.2 Saran 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
8
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian 33
Tabel 3.1 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran 39
Tabel 4.1 Tenaga Puskesmas Mojogedang I 51
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi Jenis Kelamin 52
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi Umur 52
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pendidikan 53
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi Pekerjaan 53
Tabel 4.6 Perilaku Sebelum Penkes 54
Tabel 4.7 Perilaku Sesudah Penkes 55
Tabel 4.8 Pengaruh Pendidikan Kesehatan 56
9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori 34
Gambar 2.2 Kerangka konsep Penelitian 35
10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan
1. Surat Ijin Studi Pendahuluan
2. Surat Ijin Penelitian
3. Surat Permohonan Menjadi Responden
4. Surat Pernyataan Menjadi Responden
5. Kuesioner Penelitian
6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
7. Hasil Uji Normalitas
8. Hasil Penelitian
9. Lembar Dokumentasi
10. Lembar Konsultasi
11
Agus Triyanto
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang ISPA Terhadap Perilaku
Orang Tua Merawat Balita di Puskesmas Mojogedang I Karanganyar
Abstrak
Pendidikan kesehatan tentang ISPA merupakan usaha atau kegiatan untuk
membantu individu, kelompok atau masyarakat terutama orang tua dalam
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam perawatan balita
ISPA. Pendidikan kesehatan sangat penting bagi orang tua untuk mengenal
ISPA lebih dalam agar dapat memberikan perawatan yang tepat saat sakit
dirumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan
kesehatan tentang ISPA terhadap perilaku orang tua merawat balita di
Puskesmas Mojogedang I Karanganyar
Penelitian quasi eksperimen dengan one group pretest and post test design
dengan jumlah sampel 101 orang tua balita penderita ISPA di Puskesmas
Mojogedang I Karanganyar. Analisis data menggunakan uji wilcoxon. Variabel
yang diamati yaitu pendidikan kesehatan dan perilaku orang tua merawat balita
ISPA. Teknik sampling menggunakan accidental sampling.
Perilaku keluarga dalam merawat balita ISPA sebelum dilakukan
pendidikan kesehatan, yang paling banyak adalah kategori cukup yaitu
sebanyak 71 responden (70,2%), Sesudah dilakukan pendidikan kesehatan,
perilaku keluarga dalam merawat balita ISPA kategori baik sebanyak 28
responden (27,7%), cukup sebanyak 62 responden (61,4%), dan kategori
kurang sebanyak 11 responden (10,9%). Hasil penelitian nilai Z -8,495 dan
nilai p value 0,000 yang kurang dari α = 0,05 sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang ISPA terhadap
perilaku orang tua merawat balita.
Pendidikan kesehatan dapat meningkatan pengetahuan orang tentang ISPA
dan akhirnya pengetahuan tersebut dapat berpengaruh terhadap perilaku orang
tua dalam merawat ballitanya yang menderita ISPA.
Kata kunci: pendidikan kesehatan, ISPA, perilaku orang tua merawat balita.
12
AgusTriyanto
The Effects of Health Education on Acute Upper Respiratory Infection (URI)
on Parental Behaviors in Pediatric Care at Mojogedang I Public Health
Center of Karanganyar
Abstract
Health education on acute upper respiratory infection (URI) is an effort or
activity to help individuals, groups, and communities, particularly parents
increase their knowledge and ability in taking care of children with URI. The
health education is necessary to make them more aware of URI so that they are
able to give proper treatment at home when their children are sick. This research
aims at finding out the effects of health education on URI on parental behaviors in
pediatric care at Mojogedang I public health center of Karanganyar.
It is a quasi-experimental research with one-group pretest-posttest design.
Samples of 101 parents of children with URI were taken at Mojogedang I public
health of Karanganyar with accidental sampling technique. The data were
analyzed using Wilcoxon test. The observed variables included health education
and parental behaviors in taking care of children with URI.
Prior to the provision of health education, most respondents with total
number of 71 respondents (70.2%) had fair parental behaviors in pediatric care.
After health education had been provided, 28 respondents (27.7%) had good
parental behaviors, 62 respondents (61.4%) had fair parental behaviors, and 11
respondents (10.9%) had poor parental behaviors in taking care of their children
with URI. The research results in Z-value of -8.495 and p-value of 0.000 which is
less than α = 0.05, and therefore it can be concluded that there is an effect of
health education on URI on parental behaviors in pediatric care.
In short, health education is capable of increasing parents’ knowledge on
URI, and accordingly it can give effect to their behaviors in taking care of
children with URI.
Keywords: health education, URI, the parental behaviors in pediatric care.
13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Word Health
Organization (WHO) merupakan salah satu penyebab kematian tersering
pada anak di negara berkembang. ISPA menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan
kematian pada anak berusia lima tahun setiap tahunnya (Misnadiarly, 2008).
Kasus ISPA di Indonesia selalu menempati urutan pertama penyebab 32,1%
kematian bayi pada tahun 2009, serta penyebab 18,2% kematian pada balita
pada tahun 2010 dan 38,8% tahun 2011. Data dari Program Pemberantasan
(P2) ISPA tahun 2009 cakupan penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil
yang di peroleh 18.749 kasus sementara target yang ditetapkan hanya 16.534
kasus. Survei mortalitas yang dilakukan di subdit ISPA tahun 2010
menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di
Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Kemenkes
RI, 2012). Berdasarkan data dari Dinkes Jateng tahun 2007 tercatat 28%
penyakit ISPA mempunyai konstribusi dalam menyebabkan kematian
bayi dalam satu tahun dan 23% pada anak balita dimana 80-90% dari seluruh
kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia (Dinkes Jateng, 2007).
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk
adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Kemenkes RI, 2012).
14
ISPA adalah salah satu penyakit yang tergolong air borne disease (penularan
penyakit melalui udara) yang terjadi tanpa adanya kontak dengan penderita
maupun benda yang terkontaminasi. Penularan penyakit ISPA terjadi dalam
bentuk droplet nuclei (partikel yang sangat kecil sebagai hasil dari batuk atau
bersin dan dapat tinggal dalam udara bebas untuk waktu yang cukup lama dan
di hisap langsung pada saat bernafas), maupun dalam bentuk dust (partikel
dengan berbagai ukuran sebagai hasil resuspensi partikel yang terletak di
lantai, tempat tidur dan tempat lainnya dan tertiup angin bersama debu (Noor,
2006).
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk
standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi
penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA
(Smeltzer dan Bare, 2010). Beberapa perawatan yang perlu dikerjakan orang
tua untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA di rumah antara lain
mengatasi panas (demam), mengatasi batuk, pemberian makanan, pemberian
minuman dan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perawatan ISPA
(Depkes RI, 2010)
ISPA apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan sejumlah
kecacatan seperti otitis medis yang merupakan penyebab ketulian dan
timbulnya gangguan perkembangan serta gangguan belajar pada anak-anak
15
(Depkes, 2007). Komplikasi yang bisa timbul apabila ISPA tidak segera
ditangani dapat mengakibatkan infeksi pada paru, infeksi pada selaput otak,
penurunan kesadaran dan bahkan bisa menimbulkan kematian (Widoyono,
2011).
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh keluarga baik yang
dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Peran
keluarga sangat penting dalam menangani ISPA karena penyakit ISPA
termasuk dalam penyakit yang sering diderita sehari-hari di dalam keluarga
atau masyarakat. Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya
dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu perawatan oleh ibu balita,
tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita,
dan pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Pelayanan kesehatan yang dimaksud salah satunya adalah puskesmas. Salah
satu kebijakan operasional dalam penanganan ISPA antara lain pendidikan
kesehatan (Kemenkes RI, 2012).
Pendidikan kesehatan dalam waktu pendek menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan, dan dalam jangka menengah dapat berpengaruh
pada perilaku seseorang. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu
kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya
pesan tersebut masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh
pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Akhirnya pengetahuan
16
tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya (Notoadmodjo,
2011).
Pendidikan kesehatan tentang ISPA merupakan usaha atau kegiatan
untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat terutama orang tua
dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam perawatan
balita ISPA sehingga kualitas kesehatan tercapai secara optimal (Depkes,
2009). Pengetahuan individu sangat penting karena merupakan domain dalam
membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak di dasari pengetahuan
(Notoatmojo, 2011).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan data jumlah penderita
ISPA pada balita dari Januari sampai Juni 2015 di Puskesmas Mojogedang I
sebanyak 810 orang. Peneliti melakukan wawancara dengan 4 orang tua
balita penderita ISPA di wilayah Puskesmas Mojogedang I Karanganyar.
Hasil wawancara didapatkan data bahwa 2 orang tua balita penderita ISPA
mengatakan tidak tahu tentang ISPA, 1 orang tua mengatakan pernah
diberitahu petugas Puskesmas saat di Posyandu secara lisan dan 1 orang tua
pada saat ditanya tindakan yang dilakukan sebelum berobat ke Puskesmas
untuk mengatasi batuk dan pilek tersebut mengatakan selama dirumah
biasanya diberikan obat yang dibelinya dari warung. Orang tua balita
penderita ISPA juga mengatakan bahwa perlunya informasi tentang
penanganan ISPA yang berupa tulisan atau brosur karena kalau cuma lisan
biasanya mudah lupa dan apabila ada brosurnya bila lupa bisa dibaca lagi.
17
Pendidikan kesehatan sangat penting bagi orang tua untuk mengenal
ISPA lebih dalam agar dapat memberikan perawatan yang tepat saat sakit
dirumah. Berdasarkan beberapa fenomena di atas maka peneliti merasa
tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Pengaruh Pendidikan
Kesehatan tentang ISPA terhadap Perilaku Orang Tua Merawat Balita di
Puskesmas Mojogedang I Karanganyar”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini
adalah “Apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang ISPA terhadap
perilaku orang tua merawat balita di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar?”
1.3 Tujuan Penelitian
1. 3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang ISPA terhadap
perilaku orang tua merawat balita di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendiskripsikan karakteristik orang tua dengan balita ISPA di
Puskesmas Mojogedang I Karanganyar.
18
2. Mendiskripsikan perilaku orang tua merawat balita ISPA sebelum
diberikan pendidikan kesehatan di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar
3. Mendiskripsikan perilaku orang tua merawat balita ISPA sesudah
diberikan pendidikan kesehatan di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar.
4. Menganalisis beda perilaku orang tua merawat balita ISPA sebelum dan
setelah diberi pendidikan kesehatan di Puskesmas Mojogedang I
Karanganyar.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan pengetahuan masyarakat meningkat tentang
perawatan ISPA di rumah khususnya orang tua yang mempunyai balita
penderita ISPA.
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan pada manajemen
Puskesmas supaya program pendidikan kesehatan tentang ISPA dijadikan
program rutin yang dilaksanakan di Puskesmas.
3. Manfaat bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya bahan
ajar dalam proses belajar mengajar tentang pendidikan kesehatan
mengenai ISPA dan perilaku merawat balita penderita ISPA.
19
4. Manfaat bagi peneliti lain
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar
bagi peneliti-peneliti selanjutnya, terkait pendidikan kesehatan tentang
ISPA dan perilaku merawat balita penderita ISPA dengan metode
penelitian yang berbeda.
5. Manfaat bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan peneliti
dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan
tentang ISPA dan perilaku merawat balita penderita ISPA.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Pendidikan Kesehatan
2.1.1.1 Pengertian
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang
lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok,
atau masyarakat (Notoatmodjo, 2011).
Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang
ditujukan kepada prilaku agar prilaku tersebut kondusif untuk kesehatan
(Notoatmodjo, 2012).
Menurut Lawrence Green pendidikan kesehatan adalah proses perubahan
perilaku yang dinamis, di mana perubahan tersebut bukan proses
pemindahan materi dari seseorang ke orang lain dan bukan pula
seperangkat prosedur. Artinya perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran
dari dalam individu atau masyarakat sendiri. Pendidikan kesehatan adalah
istilah yang diterapkan pada penggunaan proses pendidikan secara
terncana untuk mencapai tujuan kesehatan yang meliputi beberapa
kombinasi dan kesempatan pembelajaran (Wahid dkk, 2007).
21
2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Tujuan pendidikan kesehatan, secara operasional adalah agar masyarakat
memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatannya,
keselamatan lingkungan dan masyarakatnya, agar orang melakukan
langkah-langkah dalam mencegah terjadinya penyakit menjadi lebih parah,
dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang
disebabkan oleh penyakit, agar orang memiliki pengertian yang lebih baik
tentang eksistensi dan perubahan-perubahan system dan cara
memanfaatkannya dengan efisiensi dan efektif, serta agar orang
mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya,
tanpa selalu meminta pertolongan kepada system pelayanan kesehatan
yang formal (Wahid dkk, 2007).
Secara ringkas, pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan
untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan
(Notoadmojo, 2012).
2.1.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatn dapat dilihat dari berbagai dimensi
antara lain :
1. Dimensi sasaran
Pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu, Pendidikan
22
kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok, dan Pendidikan
kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
2. Dimensi tempat pelaksanaan.
Pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat, dengan
sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya: pendidikan kesehatan di
sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid, pendidikan
kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah-rumah sakit dengan
sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas dan lain sebagainya,
dan pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh
atau karyawan yang bersangkutan.
3. Dimensi tingkat pelayanan
Pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan 5 tingkat
pencegahan (five levels of prevention) menurut Leavel & Clark sebagai
berikut: Health promotion atau peningkatan kesehatan, General and
specific protection atau perlindungan umum dan khusus, Early
diagnosis and prompt treatment atau diagnosis dini dan pengobatan
segera atau adekuat, Disabilitaty limitation atau pembatasan kecacatan,
Rehabilitation atau rehabilitasi
(Wahid dkk, 2007).
2.1.1.4 Metode Pendidikan Kesehatan
Metode pendidikan kesehatan dikelompokkan menjadi tiga metode,
yaitu metode individual (perorangan), metode kelompok dan metode
massa.
23
1. Metode Individual (perorangan).
Dalam metode ini yang dilibatkan tidak hanya individu saja, tetapi juga
keluarganya. Bentuk pendekatan dalam metode ini adalah bimbingan
dan penyuluhan, serta wawancara.
2. Metode Kelompok
Apabila kelompok besar (lebih 15 orang), dengan menggunakan
ceramah atau seminar. Sedangkan bila kelompok kecil (kurang 15
orang), dengan menggunakan diskusi, curah pendapat, bola salju,
bermain peran maupun permainan simulasi.
3. Metode Massa
Pendekatan massa tidak membedakan usia, golongan, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, ekonomi maupun pendidikan. Metode yang dapat
dilakukan adalah dengan ceramah umum, pidato di media elektronik,
sinetron maupun tulisan-tulisan.
(Notoadmojo, 2012).
2.1.1.5 Alat Peraga Pendidikan Kesehatan
Macam-macam alat peraga dalam pendidikan kesehatan menurut
Effendi (2007) antara lain:
1. Papan pengumuman
Papan yang berukuran biasa yang dapat ditempelkan untuk
menempelkan informasi kesehatan. Papan pengumaman dapat
menempelkan gambar-gambar yang mengandung informasi kesehatan,
tulisan-tulisan tentang prosedur pelayanan kesehatan dan sebagainya.
24
2. Poster
Poster adalah pesan yang singkat dalam bentuk gambar, dengan tujuan
untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok agar tertarik pada obyek
materi yang di informasikan.
3. Leaflet
Leaflet adalah selembar kertas yang berisi tulisan cetak tentang suatu
masalah khususunya untuk suatu tujuan tertentu.
4. Flash card
Flash card adalah beberapa kertas/kartu yang berisi suatu masalah atau
program tertentu. Biasanya tulisan terletak dibalik gambar yang ada
pada gambar depan.
5. Flip chart
Flip chart adalah beberapa cart yang telah disusun berurutan dan berisi
tulisan dengan gambar-gambar yang telah disatukan dengan ikatan atau
ring spiral pada bagian pinggir sisi atas.Biasanya jumlah chart lebih dari
12 lembar, berukuran poster lebih besar atau lebih kecil. Dan biasanya
memakai kertas tebaln (Effendi, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2012), pada garis besarnya ada tiga macam alat peraga
atau media dalam pendidikan kesehatan, yaitu:
1. Alat bantu lihat (visual aids).
Berguna dalam membantu menstimulasi indra penglihatan pada waktu
terjadinya proses penerimaan pesan. Yang termasuk dalam alat bantu ini
adalah slide (power point), gambar peta, bagan, boneka, dan sebagainya.
25
2. Alat bantu dengar (audio aids).
Membantu menstimulasikan indra pendengar pada waktu proses
penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya piringan hitam,
radio, pita suara, kepingan CD, dan sebagainya.
3. Alat bantu lihat-dengar (audio visual aids).
Yang termasuk dalam alat bantu ini adalah televisi, video cassette, dan
DVD.
2.1.2 Konsep Perilaku
2.1.2.1 Pengertian
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu perilaku manusia mempunyai
bentangan yang sangat luas. Bahkan kegiatan internal (internal activity)
seperti berfikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.
Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari
proses interaksi dengan lingkungan. Cara yang kedua inilah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan
perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan
lingkungan ini melalui suatu proses belajar (Notoatmodjo 2011).
Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya
stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung (Sunaryo, 2006).
26
2.1.2.2 Proses pembentukan perilaku
Untuk membentuk perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi
tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan
perilaku dalam operant conditioning ini adalah melakukan identifikasi
tentang hal-hal yang merupakan penguat yang akan dibentuk, melakukan
analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki, menggunakan secara urut
komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi
reinforcer atau hadiah–hadiah untuk masing-masing komponen tersebut,
dan melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah tersusun (Notoatmodjo, 2011).
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Lebih lanjut
dijelaskan berdasarkan pendapat Maslow, bahwa manusia memiliki lima
kebutuhan dasar, yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama
yaitu oksigen, karbondioksida, cairan elektrolit, makanan, dan seks.
2. Kebutuhan rasa aman, misalnya: Rasa aman terhindar dari pencurian,
rasa aman terhindar dari konflik, rasa aman terhindar dari sakit dan
penyakit, rasa aman memperoleh perlindungan hukum.
3. Kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya: Mendambakan kasih
sayang/cinta kasih orang lain baik dari orang tua, saudara, teman,
kekasih, dan lain-lain, Ingin dicintai/mencintai orang lain, Ingin
diterima oleh kelompok tempat ia berada.
27
4. Kebutuhan harga diri, misalnya; Ingin dihargai dan menghargai orang
lain, adanya respek atau perhatian dari orang lain, toleransi atau saling
menghargai dalam hidup berdampingan.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, misalnya: ingin dipuja atau disanjung oleh
orang lain, Ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-cita, Ingin
menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karier, usaha, kekayaan,
dan lain-lain (Sunaryo, 2006).
2.1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Perilaku dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen, yaitu :
1. Faktor genetik atau faktor endogen
Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal
untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup itu. Faktor
genetik berasal dari dalam diri individu (endogen), antara lain:
a. Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku yang spesifik, saling
berbeda satu dengan lainnya.
b. Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari
cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Perilaku
pada pria disebut maskulin, sedangkan perilaku wanita disebut
feminin.
c. Sifat fisik, kalau diamati perilaku individu akan berbeda karena
sifat fisiknya misalkan perilaku pada individu yang pendek dan
gemuk berbeda dengan individu yang memiliki fisik tinggi kurus.
28
d. Sifat kepribadian. Menurut masyarakat awam, kepribadian adalah
bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu
lainnya. Perilaku individu tidak ada yang sama karena adanya
perbedaan kepribadian yang dimiliki individu, yang dipengaruhi
oleh aspek kehidupan seperti pengalaman,usia watak, tabiat, sistem
norma, nilai dan kepercayaan yang dianutnya.
e. Bakat pembawaan, bakat merupakan interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan serta bergantung pada adanya kesempatan untuk
pengembangan.
f. Inteligensi. Inteligensi sangat berpengaruh terhadap perilaku
individu. Oleh karena itu, kita kenal ada individu yang intelegen,
yaitu individu yang dalam mengambil keputusan dapat bertindak
tepat, cepat, dan mudah. Sebaliknya bagi individu yang memiliki
intelegensi rendah dalam mengambil keputusan akan bertindak
lambat (Sunaryo, 2006).
2. Faktor eksogen atau faktor dari luar individu
a. Faktor lingkungan. Lingkungan disini menyangkut segala sesuatu
yang ada disekitar individu, baik fisik, biologis maupun sosial.
Ternyata lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku
individu karena lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan
perilaku. Contoh : individu yang bergaul dengan individu yang
hidup di lingkungan hitam, perilakunya banyak diwarnai keadaan
tersebut.
29
b. Pendidikan. Proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya
melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok. Secara
luas, pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu
dengan lingkungannya, baik secara normal atau tidak normal.
c. Agama. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke
dalam konstruksi kepribadian seseorang sangat berpengaruh dalam
cara berpikir, bersikap, beraksi, dan berperilaku individu.
Seseorang yang mengerti dan rajin melaksanakan ajaran agama
dalam kehidupan, akan berperilaku dan berbudi luhur sesuai
denagn ajaran agama.
d. Sosial ekonomi, salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap
perilaku seseorang adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial
dapat menyangkut sosial ekonomi dan sosial budaya.
e. Kebudayaan, Dalam arti sempit kebudayaan diartikan sebagai adat-
istiadat, atau peradaban manusia. Ternyata hasil kebudayaan
manusia akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri.
f. Faktor-faktor lain: Susunan saraf pusat, memegang peranan
penting karena merupakan sarana untuk memindahkan energi yang
berasal dari stimulus melalui neuron ke simpul saraf tepi yang
seterusnya akan berubah menjadi perilaku. Persepsi, merupakan
proses diterimanya rangsang melalui panca indera yang didahului
oleh perhatian sehingga individu sadar akan sesuatu yang ada di
dalam maupun luar dirinya. Melalui persepsi, dapat diketahui
30
perubahan perilaku seseorang. Emosi, adalah manifestasi perasaan
atau afek keluar disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya
berlangsung tidak lama (Sunaryo, 2006).
2.1.2.4 Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu
terhadap rangsangan yang bersal dari dalam maupun luar diri individu
tersebut. Secara garis basar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu :
1. Perilaku pasif (respons internal)
Perilaku yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung
dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berfikir, tanggapan atau sikap
batin dan pengetahuan. Disebut juga perilaku tertutup atau covert
behavior.
2. Perilaku aktif (respons eksternal)
Perilaku yang jelas dapat di observasi secara langsung. Disebut juga
perilaku terbuka atau overt behavior. (Notoatmodjo, 2011).
2.1.2.5 Cara Pengukuran Perilaku
Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku adalah
dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan skala
yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas
seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan
negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala guttman ini pada
umumnya dibuat seperti cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila
31
skor benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat
dilakukan seperti skala likert (Hidayat, 2007).
Cara mengukur perilaku ada 2 cara yaitu diukur secara langsung yakni
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari, bulan yang lalu (recall), dan diukur secara tidak langsung yakni,
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo,
2012).
2.1.2.6 Tingkatan Perilaku
Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran).
Orang tersebut menyadaridalam arti mengetahui stimulus (objek)
terlebih dahulu.
2. Interest.
Orang mulai tertarik kepada stimulus.
3. Evaluation.
Menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
Hal ini berarti sikapmresponden sudah lebih baik lagi.
4. Trial.
Orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Adoption
Subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus (Notoadmodjo, 2012).
32
2.1.3 ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Akut )
2.1.3.1 Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut,
istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory
Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran
pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut :
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
berserta organ adneksanya seperti sinus – sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran
pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru – paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernafasan (respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
33
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Kemenkes RI,
2012).
2.1.3.2 Etiologi
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur menurut Depkes RI (2010)
antara lain :
1. Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia
biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV),
dan bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S.
pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2. Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh
virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai
bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A.
Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
3. Anak usia sekolah dan remaja.
ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh
virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai
34
bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan
Mycoplasma (Depkes RI, 2010).
2.1.3.3 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :
1. Bukan pneumonia/ISPA ringan
Pasien dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan
frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kearah dalam, tidak ada gangguan tidur, dahak/sputum
encer, nafsu makan menurun/anoreksia serta suhu tubuh 37 sampai
dengan < 38 oC.
2. Pnemonia / ISPA sedang
Didasarkan pada adanya batuk, dahak/sputum mulai kental, suhu tubuh
38 oC, tidak mau makan, sakit pada kerongkongan saat menelan,
kadang sesak napas, dimana frekuensi nafas cepat pada anak berusia
dua bulan sampai < 1 tahun adalah > 50 kali per menit dan untuk anak
usia 1 sampai < 5 tahun adalah > 40 kali per menit dan untuk > 5 tahun
sampai dewasa > 30 kali per menit seta kesulitan bernapas ditandai
dengan adanya penggunaan oto bantu pernapasan.
3. Pneumonia berat/ISPA berat
Gejala pneumonia/ISPA sedang ditambah dengan gejala panas tinggi
(suhu tubuh > 38oC), napas berbunyi, kadang disertai penurunan
kesadaran dan perubahan bunyi suara (stridor) (Widoyono, 2011).
35
2.1.3.5 Penatalaksanaan kasus ISPA
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk
standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi
penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta
mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi
penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian
makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang
penting bagi pederita ISPA (Smeltzer & Bare, 2010).
1. Pengobatan pada ISPA menurut Depkes RI (2010) adalah sebagai
berikut :
a. Pneumonia berat, dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotika
melalui jalur infus diberi oksigen dan sebagainya.
b. Pneumonia, diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya
kotrimoksazol jika terjadi alergi atau tidak cocok dapat diberikan
amoxilin, penisilin dan ampisilin.
c. Bukan pneumonia, tanpa pemberian obat antibiotik, diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu
parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
pemeriksaan tenggorokan di dapat adanya bercak nanah disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
36
tenggorokan oleh kuman streptococcus dan harus diberi antibiotic
selama 10 hari.
2. Perawatan ISPA di rumah.
Beberapa perawatan yang perlu dikerjakan orang tua untuk mengatasi
anaknya yang menderita ISPA di rumah menurut Depkes RI (2010)
antara lain :
a. Mengatasi Panas (Demam)
Anak usia 2 bulan-5 tahun, demam diatasi dengan memberikan
paracetamol atau dengan kompres, bayi di bawah 2 bulan dengan
demam harus segera di rujuk. Paracetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b. Mengatasi Batuk
Anjurkan memberi obat batuk yang aman dengan ramuan
tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap
atau madu ½ sendok teh diberikan tiga kali sehari.
c. Pemberian Makanan.
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.
Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
37
d. Pemberian Minuman.
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)
lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan
dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
e. Lain-Lain.
Mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, tidak
dianjurkan lebih-lebih pada anak yang demam. Jika pilek, bersihkan
hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan
menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan
tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan di rumah keadaan memburuk
maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas kesehatan,
untuk penderita yang mendapat obat antibiotic, selain tindakan di
atas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan
benar selama 5 hari penuh dan untuk penderita yang mendapatkan
antibiotic, usahakan agar setelah 2 hari anak di bawa kembali ke
petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
2.1.3.5 Faktor Resiko ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
38
1. Faktor lingkungan.
a. Pencemaran udara dalam rumah.
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal
ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan
dapur terletak didalm rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang
tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan
karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-
sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih
tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA
dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis,
pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi,
dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6-10
tahun. (Maryunani, 2010).
b. Ventilasi rumah.
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke
atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai
udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
optimum bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-
bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara
pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan
39
seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan
bangunan, mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan
oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal,
mendisfungsikan suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010).
c. Kepadatan hunian rumah.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada
hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada
faktor ini (Maryunani,2010).
2. Faktor individu anak
a. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak
dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur
6-12 tahun. (Maryunani, 2010).
b. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada
bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti
40
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan
lainnya. Penelitian menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500
gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi
saluran pernafasam dan hubungan ini menetap setelah dilakukan
adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data
ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan
lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit
saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.
(Maryunani, 2010).
c. Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah
membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan
infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering
mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi
buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan
gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi
kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan
serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).
41
d. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan
empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan
sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah
sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada
kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian
vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan
tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila
antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar
antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan
adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan
untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010).
e. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA
yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.
42
Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak
akan menjadi lebih berat. (Maryunani, 2010).
3. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya
saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa
anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010).
2.1.3.7 Pencegahan ISPA
Pencegahan ISPA dapat dilakukan antara lain:
1. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik.
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah
kita atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit
ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima
sempurna, banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta
istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap
sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita
akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri
penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
43
2. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun
orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh
kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang
disebabkan oleh virus / bakteri.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah,
sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa
menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat
memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan
sehat bagi manusia.
4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/
bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit
ini melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit
penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara yang umumnya
berbentuk aerosol (anatu suspensi yang melayang di udara). Adapun
bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari sekresi saluran
pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di
udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit). (Depkes RI,
2010).
44
Pencegahan ISPA dapat juga dilakukan dengan cara antara lain:
membiasakan pemberian ASI, segera berobat jika mendapati anak
panas, batuk, pilek, periksakan kembali jika dalam 2 hari belum
menampakkan perbaikan dan Imunisasi Hib (untuk memberikan
kekebalan terhadap Haemophilus influenzae) (Misnadiarly, 2008).
2.1.3.9 Komplikasi ISPA
ISPA yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan:
1. Infeksi pada paru
Kuman penyebab ISPA akan masuk lebih dalam kesaluran
pernapasan yaitu bronkus dan alveoli sehingga menginfeksi bronkus
dan alveoli sehingga pesien akan sulit bernapas kerena adanya
sumbatan jalan napas oleh penumpukan secret hasil produksi kuman
pada rongga paru.
2. Infeksi selaput otak
Kuman juga mampu menjangkau selaput otak sehingga menginfeksi
selaput otak dengan menumpukan cairan yang mampu berakibat
meningitis.
3. Penurunan Kesadaran
Infeksi dan penumpukan cairan pada selaput otak menyebabkan
terhambatnya suplay oksigen dan darah ke otak
4. Kematian
Penangganan yang lama dan tidak tepat pada pasien ISPA mampu
memperlambat dan merusak seluruh fungsi tubuh oleh kuman
45
sehingga pasien akan mengalami henti napas dan henti jantung
(Widoyono, 2011).
2.2 Keaslian penelitian
Table 2.1 Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
Nuryanto
(2012)
Hubungan status gizi
terhadap terjadinya penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada balita
Metode cross
sectional
dengan uji
chi square.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor yang paling
dominan sebagai penyebab
terjadinya penyakit ISPA pada
balita adalah status imunisasi
149,37, status gizi 29,91 dan
tingkat pendidikan 20,57.
Della
Oktaviani
(2010)
Hubungan antara kondisi
fisik rumah dan perilaku
keluarga terhadap kejadian
ISPA pada balita di
Kelurahan Cambai Kota
prabumulih.
Metode cross
sectional
dengan uji
chi square
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada hubungan antara atap,
lantai, ventilasi rumah, luas lantai
dan kepadatan hunian rumah
dengan kejadian ISPA, dan tidak
ada hubungan dinding rumah dan
tempat pembuangan sampah
dengan kejadian ISPA pada
balita.
Paramitha
Anjanata
Maramis
(2013)
hubungan tingkat pendidikan
dan pengetahuan ibu tentang
ISPA dengan kemampuan ibu
merawat balita ISPA pada
balita di Puskesmas Bahu
Kota Manado
Metode cross
sectional
dengan uji
chi square
Hasil penelitian didapatkan
bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan dengan
perawatan ISPA pada balita dan
terdapat hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan perawatan
ISPA pada balita di Puskesmas
Bahu Kota Manado.
Muzakar
(2012)
Pengaruh pemberian air
rebusan seledri terhadap
penurunan tekanan darah
pada penderita hipertensi di
Puskesmas Kenten Laut.
Penelitian
quasi
eksperimen
dengan
rancangan
pre post
eksperimental
dengan uji
Paired t Test
Hasil penelitian menunjukkan
tekanan darah mengalami
penurunan secara bermakna
setelah diberikan air rebusan
seledri + obat anti hipertensi
selama 3 hari berturut-turut.
Rata-rata penurunan tekanan
sistolik 20,32 mmHg dan
Diastolik 7,09 mmHg.
46
2.3 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat dibuat kerangka teori yang