HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SIKAP TERHADAP PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMK NEGERI 1 SALATIGA MARKELINA SUWARNO PUTRI 802007067 Pembimbing I Berta Esti A. P., S.Psi., MA Pembimbing II Ratriana Y.E.K. M.Si, Psi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
34
Embed
HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SIKAP TERHADAP PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMK ... · 2016. 10. 13. · ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui . hubungan antara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SIKAP
TERHADAP PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA
SMK NEGERI 1 SALATIGA
MARKELINA SUWARNO PUTRI
802007067
Pembimbing I
Berta Esti A. P., S.Psi., MA
Pembimbing II
Ratriana Y.E.K. M.Si, Psi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 salatiga. self-efficacy merupakan
keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan
dan menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Sedangkan menyontek adalah tindak kecurangan dalam tes melalui
pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat perilaku
menyontek antar individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu menyontek
sampai kadang-kadang menyontek. Dalam penelitian ini menggunakan sampel acak
dengan subjek penelitian 99 siswa siswi SMK N 1 Salatiga. Variabel menyontek diukur
dengan menggunakan skala likert yang disusun berdasarkan bentuk –bentuk menyontek
menurut Klausmeier, dan variabel self efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self
efficacy menurut Bandura. Analisis data menggunakan Karl Pearson’s Product Moment
didapatkan hasil perhitungan korelasi dengan nilai r = -0,006 dan nilai p = 0,954 lebih besar
dari 0,05. hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 Salatiga.
Kata Kunci : self efficacy, menyontek
ABSTRACT
This study aimed to determine the relationship between self-efficacy with attitudes toward
cheating behavior on students SMK N 1 salatiga. self-efficacy is the belief or confidence in
the ability of individuals to carry out and complete the academic tasks facing, so as to
overcome obstacles and achieve the expected goals by obtaining satisfactory value. While
cheating is fraud in the test through the use of information derived from outside illegally.
The level of cheating behavior among different individuals, may vary from that always
cheat to cheat sometimes. In this study using a random sample of 99 research subjects
students of SMK N 1 Salatiga. Cheat variables measured using a Likert scale which is
based on the shape-shape cheated by Klausmeier, and self efficacy variable is based on the
aspects according to Bandura's self-efficacy. Analysis of data using Karl Pearson's
product moment correlation calculation results obtained with r = -0.006 and p = 0.954
greater than 0.05. The results showed no relationship between self-efficacy with attitudes
toward cheating behavior in students of SMK N 1 Salatiga.
Keywords: self-efficacy, cheating
PENDAHULUAN
Untuk mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak henti-hentinya
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Arifin (2004) mengungkapkan, salah satu
upaya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik adalah
dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan. Standar
tersebut dibuat untuk menyeragamkan standar kelulusan di seluruh tanah air dari empat
bidang studi yang diujikan. Hal ini penting, mengingat standar itu sangat dibutuhkan
karena berkaitan dengan mutu pendidikan di Indonesia.
Standar kelulusan memang harus ditentukan, namun demikian standar kelulusan ini
seringkali menimbulkan kecemasan bukan saja diantara para peserta ujian, melainkan juga
pihak sekolah akan merasa cemas apabila jumlah lulusan tidak mencapai target yang
ditetapkan. Terlepas dari berbagai permasalahan yang ada, namun dapat dipastikan bahwa
seorang yang akan menghadapi tes, apapun bentuk tes itu, akan mengalami kecemasan.
Tingkat kecemasan yang terlalu tinggi mendorong munculnya keinginan untuk mengambil
jalan pintas, yaitu menyontek.
Menyontek merupakan perilaku yang dapat terjadi karena adanya pengaruh
dari dalam diri maupun karena interaksi dengan dunia luar. Sebagaimana diungkapkan oleh
Sarwono (2004), bahwa perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan reaksi individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Sebagai sebuah
bentuk perilaku, menyontek merupakan hasil bentukan akibat pengamatan atau hasil
interaksi dengan lingkungan. Individu yang tertekan karena takut gagal dalam
menghadapi tes mendorong munculnya reaksi dalam bentuk perilaku menyontek.
Sujana & Wulan (1994) menyatakan bahwa menyontek adalah tindak kecurangan
dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat
perilaku menyontek setiap individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu
menyontek sampai kadang-kadang menyontek. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang
berbeda. Faktor tersebut berkenaan dengan bagaimana individu mempersepsikan dan
menilai perilaku menyontek. Dengan kata lain, bagaimana sikap individu terhadap
perilaku menyontek. Sumarman (2002) menyatakan, bahwa sikap merupakan evaluasi dari
seseorang yang dipelajari dengan mengungkapkan perasaan individu tentang suatu obyek
apakah disukai atau tidak. Jadi apabila individu menunjukkan sikap setuju terhadap
perilaku menyontek, maka ia akan menyontek. Sedangkan individu yang menunjukkan
sikap tidak setuju, maka ia tidak akan menyontek.
Banyak faktor yang mendorong timbulnya perilaku menyontek, antara lain tinggi
rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh setiap individu berperan penting terhadap
timbulnya perilaku menyontek. Perilaku menyontek lebih sering terjadi saat para pelajar
merasa tidak siap dan mungkin kurang percaya diri. Keadaan ini akan menimbulkan
kecemasan dan rasa takut gagal yang menunjukkan rendahnya self-efficacy (Calabrese &
Cochran dalam Anderman, dkk. 2007). Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki
pengharapan akan memperoleh nilai yang bagus dan nilai yang memuaskan karena sudah
mempersiapkan diri sebelum ujian. Sebaliknya siswa yang memiliki self-efficacy rendah
akan merasa cemas pada saat menghadapi ujian, menunjukkan sikap yang tidak tenang
karena khawatir tidak mampu menyelesaikan soal-soal ujian, dan akhirnya memutuskan
untuk menyontek. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Aini (2010) yang
menemukan bahwa terdapat korelasi negatif dan signifikan antara academic self-efficacy
dan perilaku menyontek (cheating) mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Malang,
dengan nilai koefisien korelasi -0,415 dan nilai signifikansi 0,001.
Kecenderungan menyontek merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering
dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari.
Demikian pula yang terjadi di SMK Negeri 1 Salatiga. Dalam penelitian pendahuluan yang
telah dilakukan di SMK Negeri 1 Salatiga ditemukan 30 siswa menjawab “pernah” yang
terdiri dari 20 siswa menjawab “sering”, enam siswa menjawab “kadang-kadang”, empat
siswa menjawab “jarang” menyontek, dan 2 siswa tidak menjawab terhadap pertanyaan
tentang perilaku menyontek. Temuan ini menunjukkan bahwa menyontek sudah dianggap
biasa oleh siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Mereka sudah tidak menghiraukan lagi akibat
buruk dari menyontek.
Berbagai alasan dikemukakan siswa ketika mereka ditanya mengapa mereka
menyontek. Salah satu alasan yang mereka sebutkan adalah karena mereka tidak benar-
benar memahami materi dan tidak cukup belajar, sehingga mereka merasa tidak percaya
diri akan kemampuan mereka dan takut mengalami kegagalan. Oleh karena itu, penelitian
ini diarahkan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Sedangkan tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga.
A. Sikap Terhadap Perilaku Menyontek
1. Pengertian
Sikap adalah salah satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi
dan tingkah laku. Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude, yaitu suatu cara
bereaksi terhadap suatu perangsang atau suatu kecenderungan untuk bereaksi terhadap
suatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Azwar (2007) menjelaskan, bahwa sikap
merupakan suatu respon evaluatif, yang hanya akan timbul apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti
bahwa reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi
dalam diri individu yang memberikan kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai
baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan, tidak menyenangkan, yang kemudian
mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Sikap positif akan terbentuk
apabila rangsangan yang datang pada seseorang memberi pengalaman yang
menyenangkan. Sebaliknya sikap negatif akan timbul, bila rangsangan yang datang
memberi pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, sikap merupakan
pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan
mengenai obyek, orang, atau peristiwa. Dengan demikian, sikap adalah suatu sistem
evaluasi positif atau negatif terhadap suatu stimulus, yakni suatu kecenderungan untuk
menyetujui atau menolak.
Individu akan memiliki sikap positif terhadap perilaku apabila mempunyai
keyakinan dan penilaian yang positif terhadap hasil dari perilaku tersebut. Sebaliknya,
sikap terhadap perilaku negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku
negatif. Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan, bahwa sikap terhadap perilaku yang akan
dilakukan dipengaruhi oleh keyakinan individu bahwa melakukan perilaku tertentu akan
membawa pada konsekuensi-konsekuensi tertentu dan penilaian individu terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada individu. Keyakinan tentang konsekuensi
perilaku terbentuk berdasarkan pengetahuan individu tentang perilaku tersebut, yang
diperoleh dari pengalaman masa lalu dan informasi dari orang lain.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ajzen (1991), bahwa sikap terhadap perilaku
merupakan derajat penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku tertentu.
Individu memiliki sikap positif terhadap perilaku bila mempunyai keyakinan dan penilaian
yang positif terhadap hasil dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap perilaku
negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku negatif.
Azwar (2007) mengungkapkan, bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu
proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang diperoleh dari
pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku. Pengaruh langsung
tersebut akan direalisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu
berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan
yang mengganggu ekspresi sikapnya, maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk
perilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.
Terbentuknya suatu perilaku, dimulai dari pemahaman informasi (stimulus) yang
positif kemudian sikap yang ditunjukkan akan sesuai dengan informasi. Selanjutnya sikap
akan menimbulkan respon berupa perilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi.
Apabila penerimaan perilaku melalui proses yang didasari oleh sikap yang positif maka
perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dengan demikian apabila pemahaman terhadap
menyontek adalah positif, maka perilaku menyontek akan dilakukan secara berulang-ulang
dan berlangsung lama.
Alhadza (2005) mengungkapkan, bahwa menyontek atau cheating merupakan
wujud dari suatu perilaku dan ekspresi mental seseorang yang merupakan hasil belajar
dari interaksi dengan lingkungannya. Perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating
dalam konteks pendidikan atau sekolah antara lain meniru pekerjaan teman, bertanya
langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes atau ujian, menerima kiriman
jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, saling tukar pekerjaan tugas dengan
teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian
di kelas dan take home test.
Haryono, dkk. (2001) mendefinisikan menyontek sebagai segala macam
tindakan dalam ujian atau tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah. Sedangkan
Indarto dan Masrun (2004) mendefinisikan menyontek sebagai perbuatan curang, tidak
jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes. Dengan demikian, sikap
terhadap perilaku menyontek dapat diartikan sebagai keyakinan individu untuk
melakukan segala macam perbuatan tidak jujur yang dilakukan dengan sengaja untuk
mendapatkan jawaban pada saat tes dengan tujuan memperoleh nilai secara tidak sah
dengan memanfaatkan informasi dari luar.
2. Aspek Sikap
Menurut Azwar (2007), sikap memiliki 3 komponen yaitu:
a. Komponen kognitif. Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi
kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek
sikap.
b. Komponen afektif. Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku. Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Komponen perilaku sebuah
sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap hal
tertentu dengan cara tertentu.
3. Bentuk Perilaku Menyontek
Menurut Klausmeier (1985) dalam Setyani (2007), menyontek dapat dilakukan
dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a. Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes.
b. Mencontoh jawaban siswa lain.
c. Memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman.
d. Mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis dalam peraturan
ujian maupun yang ditetapkan oleh guru.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap
Menurut Azwar (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri
individu.
a. Pengalaman pribadi. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi
akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya
penting.
c. Pengaruh Kebudayaan. Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu
dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan yang berkembang dimana seseorang hidup dan
dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap.
d. Media Massa. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan
opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-
pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama. Pemahaman akan baik dan buruk diperoleh
dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dalam hal seperti itu,
ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali
menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.
f. Faktor Emosional. Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu
frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.
Adapun beberapa faktor yang dapat menjadi pendorong peserta didik untuk
melakukan tindakan menyontek, menurut Hartanto (2012) dapat dibagi menjadi dua
yaitu faktor internal dan faktor external. Faktor internal dalam perilaku menyontek
misalnya self-efficacy yang rendah, kemampuan akademik yang rendah, pengaturan
waktu, dan prokrastinasi. Faktor eksternal misalnya tekanan dari teman sebaya, tekanan
dari orang tua, peraturan sekolah yang kurang jelas, dan sikap guru yang kurang
tegas terhadap siswa yang melakukan tindakan menyontek.
Sedangkan menurut Irawati (2008), faktor–faktor yang menjadi penyebab
seseorang menyontek adalah a) tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada
“hasil studi” berupa angka dan nilai, b) pendidikan karakter baik di rumah maupun di
sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan peserta didik, c) sikap malas dan rendahnya
motivasi belajar, sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang
bertanggung jawab, d) pengaruh teman sebaya, dan e) tidak memiliki self-efficacy
terhadap kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan tugas/soal ujian.
B. Self-Efficacy
1. Pengertian
Bandura (1997) dalam Pudjiastuti (2012) mendefinisikan konsep self-efficacy
sebagai keyakinan tentang kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melakukan
serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai keinginannya. Pengertian lain
diberikan oleh Baron dan Byrne (2003) yang mendefinisikan bahwa self-efficacy
merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Berdasarkan
beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan
individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya dalam melakukan
suatu tugas guna mencapai suatu tujuan.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, maka self-efficacy merupakan keyakinan
atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan dan
menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Menurut Prakosa (1996) keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan
tindakan, pergerakan usaha, serta keuletan seseorang. Self-efficacy menunjukkan pada
keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat melakukan tindakan yang dikehendaki oleh
situasi tertentu dengan berhasil. Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009) juga mengatakan
bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya. Hal ini akan
berpengaruh dalam pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang dalam mencapai
tujuan yang diharapkan. Bandura menambahkan, bahwa persepsi individu terhadap
kemampuannya (mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan
tindakan dalam jenis performansi tertentu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi
akan mempersepsi bahwa mereka mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk
melewati dan menyelesaikan tugas-tugas akademik sehingga mencapai suatu hasil yang
optimal, sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy
rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum tentu dapat menyelesaikan tugas-
tugas akademik yang dihadapi dengan baik untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan. Self-efficacy tidak menitikberatkan pada jumlah kemampuan yang dimiliki,
tetapi pada keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan dengan apa yang dimiliki
pada berbagai variasi situasi.
2. Aspek-Aspek Self-Efficacy
Aspek-aspek self-efficacy dalam penelitian ini menggunakan aspek-aspek self-
efficacy menurut Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009), yaitu:
a. Magnitude Level (tingkat kesulitan tugas). Magnitude level berkaitan dengan tingkat
kesulitan tugas yang dihadapi. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam
memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu
sulit sedangkan orang lain mungkin menganggap tidak demikian. Apabila terdapat
sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan
semakin mudah dilakukan. Magnitude level terbagi atas 3 bagian, yaitu:
1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa
mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan pilihan
perilaku yang akan diambil.
2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuan, yaitu
seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu dalam menghindari situasi dan
perilaku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya.
3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu seberapa
besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas dan tantangan
pekerjaan.
b. Generality (luas bidang perilaku). Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana
seseorang merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik
pada setiap bidang yang biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah
dilakukannya.
c. Strength (kemantapan keyakinan). Berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu
dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang
kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan
dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
3. Efek Self-Efficacy
Self-efficacy memiliki aspek yang mempengaruhi proses kognitif. Fungsi utama
dari proses kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta
mengembangkan cara untuk mengontrol kehidupannya. Keterampilan pemecahan masalah
secara efektif memerlukan proses kognitif untuk memproses berbagai informasi yang
diterima. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif kemampuan
individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi,
maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
C. Logika Berpikir
Pelaksanaan evaluasi proses belajar sangat dibutuhkan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran. Tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dapat
dilihat dari perubahan yang terjadi pada peserta didik. Perubahan pada aspek
pengetahuan dapat dievaluasi melalui serangkaian tes yang akhirnya akan menggambarkan
hasil belajar peserta didik. Fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa seringkali
terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan tes, khususnya tes tertulis. Salah
satu bentuk kecurangan yang sering terjadi adalah munculnya aktivitas menyontek
yang dilakukan oleh sebagian peserta didik. Saat ini menyontek pada saat ulangan
sepertinya bukan hal yang tabu lagi bagi sebagian kalangan peserta didik. Berbagai cara
dan strategi mulai dari yang termudah hingga tercanggih dilakukan untuk memperoleh
jawaban. Mulai dari bertanya pada teman, bahkan saling tukar lembar jawaban, hingga
melihat catatan kecil di kertas atau di handphone yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Fenomena menyontek terjadi karena terdapat hal-hal yang mendukung untuk
dilakukannya perilaku tersebut. Menurut pendapat Notoatmodjo (2003), perilaku manusia
sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Perilaku menyontek
terjadi karena pelaku takut gagal. Mereka menyontek karena takut memiliki nilai kurang
sempurna dari nilai rata-rata. Perasaan takut gagal mendorong munculnya sikap yang
kemudian menimbulkan respon berupa perilaku menyontek.
Perilaku menyontek yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah self-efficacy. Bandura (1997) dalam Pudjiastuti
(2012) mendefinisikan konsep self-efficacy sebagai keyakinan tentang kemampuan yang
dimiliki untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam
mencapai keinginannya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, self-efficacy merupakan
keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan
ujian atau tes dan menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan.
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan mempersepsikan bahwa mereka
mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk melewati dan menyelesaikan ujian atau
tes sehingga mencapai suatu hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya,
seseorang dengan self-efficacy rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum
tentu dapat membuat mereka berhasil lulus ujian atau menyelesaikan tugas untuk
mendapatkan hasil sesuai dengan harapan mereka. Oleh karena itu, bagi individu yang
memiliki self-efficacy rendah cenderung mengambil jalan pintas agar lulus dalam
menghadapi tes atau ujian yaitu dengan cara menyontek. Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek.
Sebagaimana hasl penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) yang menemukan bahwa
terdapat hubungan negatif antara efikasi diri akademik dengan perilaku menyontek
D. Hipotesis Penelitian
Ho: tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek.
Ha: terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek.
METODE PENELITIAN
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK Negeri I Salatiga yang berjumlah
1.317 orang, sedangkan sampel yang digunakan adalah siswa SMK Negeri 1 Salatiga
berjumlah 99 orang. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yaitu
metode penelitian yang menggunakan alat-alat atau instrumen untuk mengukur gejala-
gejala tertentu dan diolah secara statistik (Faisal, 1990).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
secara langsung dari obyek penelitian dengan cara membagikan skala secara langsung dan
diisi oleh responden. Sedangkan analisis item dalam alat ukur diukur dengan menggunakan
skala Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak
sesuai) dan STS (sangat tidak sesuai).
Seleksi item dalam penelitian ini menggunakan teknik corrected item-total
correlation. Azwar (2012) menyebutkan bahwa item dapat dinyatakan lolos apabila
koefisien korelasinya minimal 0,30. Oleh karena itu apabila terdapat item yang memiliki
skor dibawah 0,30 dinyatakan gugur. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik
Cronbach’s Alpha. Nunnally (1994) dalam Gozali (2013:48) menyatakan bahwa skala
dianggap reliabel ketika memenuhi koefisien alpha (α) lebih besar dari 0,70. Sedangkan
penentuan kategori tingkat reliabilitas dengan koefisien Alpha mengacu dari Sugiyono
(2012) seperti tampak pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1.
Pedoman Penilaian Reliabilitas Skala
Alpha Kriteria
0,00 – 0,199
0,20 – 0,399
0,40 – 0,599
0,60 – 0,799
0,80 – 1,000
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat kuat
Alat Ukur
1. Skala Self-efficacy
Skala self-efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self-efficacy menurut Bandura