Top Banner
 BAB I PENDAHULUAN Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14.3 % dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai pen yebab penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi  primer (hipertensi esensial atau hipertensi idopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditentukan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai  prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu dit eliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormone dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi), juga dapat menyebabkan stroke, gagal ginjal, dan gangguan retina mata. Menurut kabo (2010) hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis di mana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah yang disepakati normal. Hipertensi adalah faktor penyebab utama kematian karena stroke dan faktor yang memperberat infark miok ard. Hipertensi merup akan gangguan asimptomatik y ang sering terjadi dengan peningkatan tekanan darah secara persisten. Diagn osa h ipertensi pada orang dewasa dibuat saat  peningkatan diastolik, paling sedikit dua kunjungan berikut adalah 90mmHg at au lebih tinggi atau bila tekanan darah sistolik meningkat dari dua atau lebih kunjungan berikutnya secara konsisten lebih tinggi dari 140mmHg. (Potter & Perry, 2005). Di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur (Joint National Committee,JNC VII). Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan
16

Hipertensi

Oct 15, 2015

Download

Documents

Yuni Fajar Esti

hipertensi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan

    tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14.3 % dan meningkat

    menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai pen yebab penyakit jantung di Indonesia.

    Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi

    primer (hipertensi esensial atau hipertensi idopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang

    dapat ditentukan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai

    prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan

    terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan pusat rujukan dapat mencapai

    sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu

    gangguan sekresi hormone dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal

    dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi), juga dapat

    menyebabkan stroke, gagal ginjal, dan gangguan retina mata.

    Menurut kabo (2010) hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis di mana

    tekanan darah meningkat di atas tekanan darah yang disepakati normal. Hipertensi adalah

    faktor penyebab utama kematian karena stroke dan faktor yang memperberat infark miokard.

    Hipertensi merupakan gangguan asimptomatik yang sering terjadi dengan peningkatan

    tekanan darah secara persisten. Diagnosa hipertensi pada orang dewasa dibuat saat

    peningkatan diastolik, paling sedikit dua kunjungan berikut adalah 90mmHg atau lebih tinggi

    atau bila tekanan darah sistolik meningkat dari dua atau lebih kunjungan berikutnya secara

    konsisten lebih tinggi dari 140mmHg. (Potter & Perry, 2005).

    Di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia

    menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk

    mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study

    menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan

    deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur (Joint National

    Committee,JNC VII). Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta

    orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang

    dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka

    cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui

    faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan

  • kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

    Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1986, dan 1992 menunjukkan

    peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskuler yang menyolok sebagai penyebab kematian

    dan sejak tahun 1993 diduga sebagai penyebab kematian nomor satu. Penyakit tersebut

    timbul karena berbagai faktor risiko seperti kebiasaan merokok, hipertensi, disiplidemia,

    diabetes melitus, obesitas, usia lanjut dan riwayat keluarga. Hal ini memberikan perhatian

    kepada tenaga kesehatan khususnya keperawatan untuk meningkatkan pengetahuan yang

    mendalam terhadap penyakit degenerative, penyakit hipertensi merupakan penyakit yang

    banyak di alami masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data diruang

    perawatan penyakit dalam khususnya ruang Jabal Rahmah Rumah Sakit Islam Samarinda

    selama enam bulan terakhir tahun 2011. Hipertensi menempati urutan pertama, yaitu 190

    kasus,dengan jumlah pasien laki-laki 88 orang dan perempuan 102 orang.

    Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu

    hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari

    seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh disebabkan oleh hipertensi

    sekunder. Hanya 50% dari golongan hipertensi sekunder dapat di ketahui penyebabnya dan

    dari golongan ini hanya beberapa persen yang dapat diperbaiki kelainannya. Oleh karena itu

    upaya penaggulanan hipertensi terhadap hipertensi primer baik menggenai patogenesis

    maupun tentang penggobatannya Saat ini banyak penderita hipertensi yang tidak tahu

    ataupun tidak mengerti penyakitnya bahkan banyak yang tidak tahu resiko dari penderita

    hipertensi apabila tidak di atasi. Beberapa komplikasi penyakit yang sering terjadi akibat

    penyakit hipertensi yang tidak cepat di atasi adalah stroke, insomnia dan vertigo. Komplikasi

    yang paling sering terjadi pada penderita hipertensi adalah penyakit jantung, yang sering

    dikenal dengan nama penyakit jantung hipertensi. Penyakit jantung hipertensi adalah istilah

    yang diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left

    ventricle hyperthrophy (LVH) atau hipertrofi ventrikel kiri (HVK), gagal jantung, miokard

    infark dan penykait katup jantung, yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik

    secara langsung maupun tidak langsung.

    Mengingat berbagai masalah yang bisa terjadi pada penderita hipertensi, maka dari itu

    penulis mengangkat tema refrat mengenai penyakit jantung hipertensi sehingga dapat

    membantu para pelaksana kesehatan dalam menangani kasus hipertensi yang di harapkan

    nantinya dapat berguna bagi seluruh masyarakat maupun para penderita hipertensi.

  • BAB II

    LATAR BELAKANG

    2.1 Hipertensi

    2.1.1.Definisi Hipertensi

    Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg. Hipertensi

    diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).

    Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah

    tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti

    feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit

    parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat-obatan.

    Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,

    Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan

    darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat

    1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah.

    Tabel 1.Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

    Klasifikasi Tekanan

    Darah

    TDS (mmHg) TDD (mmHG)

    Normal

    Prehipertensi

    Hipertensi derajat 1

    Hipertensi derajat 2

  • 1) Hipertensi esensial

    Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga

    hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya

    seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,

    defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang

    meningkatkan risiko seperti obesitas,alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer

    biasanya timbul pada umur 30 50 tahun.

    2) Hipertensi sekunder

    Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik

    diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,

    hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,

    hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.

    2.1.3. Kerusakan Organ Target

    Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun

    secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi

    adalah :

    1. Penyakit ginjal kronis

    2. Jantung

    a. Hipertrofi ventrikel kiri

    b. Angina atau infark miokardium

    c. Gagal jantung

    3. Otak

    a. Stroke

    b. Transient Ischemic Attack (TIA)

    4. Penyakit arteri perifer

    5. Retinopati

  • Gambar 1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah

    Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut

    dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek

    tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotensin II, stress

    oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain

    juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar

    dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat

    meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-).

    2.1.4. Evaluasi Hipertensi

    Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien,

    riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

    penunjang.

    Tujuan evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:

    Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau

    menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan

    pengobatan.

    Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.

    Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.

  • 2.2. Penyakit Jantung Hipertensi

    2.2.1. Definisi Penyakit Jantung Hipertensi

    Hypertensive heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan

    penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH) atau

    hipertrofi ventrikel kiri (HVK), gagal jantung, miokard infark dan penyakit katup jantung,

    yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak

    langsung. ( Braverman, E.R. 2009 )

    2.2.2. Etiologi

    Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan

    berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung

    memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat,

    ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac

    output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin terlihat. ( Braverman, E.R.

    2009 ).

    Tekanan darah tinggi adalah faktor risiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.

    Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai

    darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan

    jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.

    Tekanan darah tinggi juga berpengaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang

    akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi

    pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.

    Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi.

    (Ali, W. 1996).

    2.2.3. Patofisiologi

    Patofisiologi dari PJH adalah hal yang kompleks dari faktor hemodinamik, struktural,

    neuroendokrin, sellular, dan molekular. Di satu sisi, faktor-faktor tersebut memainkan

    peranan penting pada munculnya hipertensi dan komplikasinya. Di sisi lain, peningkatan

    tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor ini. Peningkatan tekanan darah

    dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 jalan, yaitu secara

    langsung dengan meningkatkan afterload dan tidak langsung dengan perubahan vaskular dan

    neurohormonal.

  • a. Left Ventricular Hypertrophy (LVH)

    Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% memiliki LVH. Risiko LVH meningkat 2 kali

    lipat diasosiasikan dengan obesitas. Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara

    level dan durasi peningkatan tekanan darah dan LVH.

    LVH, didefinisikan sebagai peningkatan massa di ventrikel kiri, disebabkan oleh respon

    myosit pada stimulus yang bermacam-macam yang menemani peningkatan tekanan darah.

    Hipertrofi myosit dapat muncul sebagai respon kompensasi pada peningkatan afterload.

    Stimulus mekanik dan neurohormonal yang muncul seiring dengan hipertensi dapat

    menyebabkan aktivasi dari myocardial cell growth, ekspresi gen, dan karena itu

    menimbulkan LVH. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin, melalui kerja

    angiotensin II pada reseptor angiotensin I, menyebabkan pertumbuhan interstitium dan

    komponen sel matriks. Kesimpulannya, timbulnya LVH dikarakterisasi dengan hipertrofi

    myosit dan ketidakseimbangan antara myosit dan interstitium dari struktur miokardium.

    Pola bervariasi dari LVH telah dideskripsikan, termasuk remodeling konsentrik, LVH

    konsentrik, dan LVH eksentrik. LVH konsentrik adalah peningkatan ketebalan dan massa

    ventrikel kiri disertai peningkatan volume dan tekanan diastolik ventrikel kiri, biasa

    ditemukan pada orang dengan hipertensi. LVH eksentrik adalah peningkatan ketebalan

    ventrikel kiri tidak menyeluruh tetapi pada tempat tertentu seperti septum. LVH awalnya

    memainkan peran protektif sebagai respon dari peningkatan tekanan dinding untuk

    mempertahankan cardiac output yang adekuat..

    b. Atrium kiri yang abnormal

    Perubahan struktural dan fungsional dari atrium kiri sangat sering ditemui pada pasien

    hipertensi tetapi tidak terlalu diperhatikan. Peningkatan afterload mempengaruhi atrium kiri,

    yaitu karena peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri sekunder dari peningkatan

    tekanan darah menyebabkan gangguan atrium kiri, penambahakan ukuran dan ketebalan

    atrium. Sebagai tambahan dari perubahan-perubahan struktural tersebut, pasien memiliki

    faktor risiko terhadap fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dengan hilangnya kontribusi atrium

    pada keadaan disfungsi diastolik akan menyebabkan gagal jantung.

    c. Penyakit katup jantung (valvular disease)

    Walaupun penyakit katup jantung tidak menyebabkan PJH, hipertensi yang kronik dan

    parah dapat menyebabkan dilatasi aorta, menuju pada insuffisiensi signifikan dari aorta.

  • Selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan mempercepat proses

    sklerosis pada aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.

    d. Gagal jantung

    Gagal jantung adalah komplikasi yang biasa terjadi pada peningkatan tekanan darah

    kronik. Pasien dengan hipertensi ada yang asimtomatik tetapi memiliki risiko untuk menjadi

    gagal jantung, ada juga yang simtomatik gagal jantung. Hipertensi sebagai penyebab gagal

    jantung kronik biasanya tidak disadari, karena pada saat terjadi gagal jantung, disfungsi

    ventrikel kiri tidak mampu untuk menaikkan tekanan darah, karena itu mengaburkan etiologi

    gagal jantung.

    e. Myocardial ischemia

    Pasien dengan angina mempunyai prevalensi hipertensi yang tinggi. Hipertensi adalah

    faktor risiko yang melipatgandakan kemungkinan munculnya CAD. Munculnya iskemi pada

    pasien hipertensi adalah multifaktorial. Faktor stress yang berasosiasi dengan hipertensi dan

    hasilnya adalah disfungsi endotel, menyebabkan gangguan sintesis dan pelepasan poten

    vasodilator nitric oxide (NO). Penurunan level NO memicu timbulnya dan mempercepat

    arteriosclerosis dan pembentukan plaque. Morfologi plaque nya identik dengan pada pasien

    tanpa hipertensi.

    2.2.4. Gambaran radiologis

    Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi konsentrik

    ventrikel kiri. Pada keadaan lanjut, apeks jantung membesar ke kiri dan bawah. Aortic knob

    membesar dan menonjol disertai klasifikasi. Aorta ascenden dan descenden melebar dan

    berkelok ( pemanjangan aorta/elongasio aorta) ( Peter L. 2004 ).

    2.2.5. Gambaran klinik

    Pada stadium dini hipertensi, tampak tanda-tanda akibat rangsangan simpatis yang

    kronis. Jantung berdenyut cepat dan kuat. Terjadi hipersirkulasi yang mungkin sebagai akibat

    aktivitas neurohormonal yang meningkat disertai dengan hipervolemia. Pada stadium

    selanjutnya, timbul mekanisme kompensasi pada otot jantung berupa hipertorfi ventrikel kiri

    yang difus, tahanan pembuluh darah perifer meningkat. Gambaran klinik seperti sesak napas,

    salah satu dari gejala gangguan fungsi diastolik, tekanan pengisian ventrikel meningkat,

    walaupun fungsi sistolik masih normal. Bila berkembang terus, terjadi hipertrofi yang

  • eksentrik dan akhirnya menjadi dilatasi ventrikel, dan timbul gejala payah jantung. Stadium

    ini kadangkala disertai dengan gangguan pada factor koroner. Adanya gangguan sirkulasi

    pada cadangan aliran darah koroner akan memperburuk kelainan fungsi mekanik atau pompa

    jantung yang selektif. ( Peter L. 2004 ).

    2.2.6. Penatalaksanaan

    Perubahan gaya hidup

    Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik

    pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang

    meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai

    tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensi. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan

    untuk mengatasi risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari

    intervensi gaya hidup pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan

    hipertensi, pada uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah

    terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensi, bahkan jika

    intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang cukup untuk

    menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang diperlukan untuk kontrol

    tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah

    adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium,

    pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.

    Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi

    Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI

  • Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi tekanan

    darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan penurunan berat

    badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan peningkatan sensitivitas

    insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3.1 mmHg telah diamati terjadi dengan

    reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan

    berat badan, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit

    kardiovaskular. Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama

    30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih

    dan frekuensi kurang.

    Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variasi

    ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis, penurunan tekanan

    darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-7.4 g (75-125 mEq)

    menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada individu hipertensif

    dan reduksi yang lebih rendah pada individu normotensif. Diet yang kurang mengandung

    kalium, kalsium, dan magnesium berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi dan

    prevalensi hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium urin memiliki

    hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau kalium saja.

    Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif moderat yang tidak

    konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah, suplementasi kalium mungkin

    berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke. Penggunaan alkohol pada individu yang

    mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari (satu gelas standar mengandung ~14 g etanol)

    berhubungan dengan tekanan darah yang lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol

    berkaitan dengan reduksi tekanan darah. Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau

    alkohol dapat mempengaruhi tekanan darah masihlah belum diketahui.

    Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu, diet

    yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak mengurangi tekanan

    darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi

    masukan NaCl harian menjadi

  • Terapi farmakologis

    Golongan obat

    Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya

    bendroflumetiazid), betabloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin

    converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya

    candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan

    alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan

    antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk

    keadaan krisis hipertensi.

  • 1. Diuretik tiazid

    Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan

    darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,

    meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi

    langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama.

    Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek

    diuretik tiazid terjadi dalam waktu 12 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 1224

    jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari.

    Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan

    manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada

    tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat

    untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

    Efek samping

    Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,

    hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi

    kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia,

    sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus hatihati. Diuretik tiazid juga dapat

    mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan

    resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia,

    menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang

    mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian

    tiazid dihentikan.

    2. Beta-blocker

    Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor

    beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta2

    banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta2 juga

    dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal.

    Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer

    akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf

    simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart

    rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan

    penglepasan renin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin aldosteron. Efek

  • akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan

    sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan betablocker akan

    mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Betablocker

    yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective betablockers), misalnya bisoprolol,

    bekerja pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta1 saja oleh karena itu

    penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati.

    Betablocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta1 dan beta2.

    Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas

    simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulanbeta pada saat

    aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada

    saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan

    karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa betablocker, misalnya labetolol,

    dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,

    mempunyai efek agonis beta2 atau vasodilator. Betablocker diekskresikan lewat hati atau

    ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obatobat yang diekskresikan

    melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang

    diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga

    dapat diberikan sekali dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak

    melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi

    fenomena rebound.

    Efek samping

    Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan

    jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan

    kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade

    reseptor beta2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala

    hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena betablocker

    memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk memberi peringatan jika

    terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas

    pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan betablocker yang

    larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Betablockers nonselektif juga

    menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.

  • 3. ACE inhibitor

    Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif

    pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada

    darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan

    vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan

    perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika

    sistem angiotensinreninaldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium,

    atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga

    bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek

    vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih

    kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat

    diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk

    menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama

    ACEi harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin

    terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.

    4. Antagonis Angiotensin II

    Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.

    Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon

    farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh

    karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.

    Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui

    ACE. Oleh karena itu memblok sistem reninangitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1

    dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor

    angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak

    mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada

    stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang

    hanya berfungsi satu.

    Efek samping ACEi dan AIIRA

    Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar

    elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua

    golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat

    menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan produksi aldosteron, sehingga suplementasi

  • kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi

    ACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan

    efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak

    menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.

    5. Calcium channel blocker

    Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard,

    selsel dalam sistem konduksi jantung, dan selsel otot polos pembuluh darah. Efek ini

    akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls

    elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot

    polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion

    kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin);

    fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat

    vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan

    diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan

    mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.

    Efek samping

    Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki seringn

    dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga

    sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu

    CCB sering mengakibatkan gangguan gastrointestinal, termasuk konstipasi.

    6. Alpha-blocker

    Alpha blocker (penghambat adrenoseptor alfa) memblok adrenoseptor alfa1 perifer,

    mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah.

    Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.

    Efek samping

    Alpha blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian

    dosis pertama kali. Alpha blocker bermanfaat untuk pasien laki-laki lanjut usia karena

    memperbaiki gejala pembesaran prostat.

  • 7. Golongan lain

    Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan

    darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral

    (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha2 atau reseptor

    lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,

    sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.

    Efek samping

    Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus

    dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga

    diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan

    hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita. Obat-obat kerja sentral

    tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat

    seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai

    mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat menyebabkan efek samping pada

    sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.