HEMOPTISIS Disusun Oleh: Aemsina Hayatillah Singgih Kusuma
HEMOPTISIS
Disusun Oleh:Aemsina Hayatillah
Singgih Kusuma
DEFINISI
Ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah.
Bila ditemukan gejala ini, maka pasien harus diawasi dengan ketat karena tidak dapat dipastikan akan berhenti atau berlanjut, dan harus dicari asal serta sebab perdarahan.
Hematemesis disebabkan lesi pada saluran cerna (tukak peptik, gastritis, varises esofagus); sedangkan hemoptisis
lesi di paru-paru atau bronkus/ bronkioli.
Tabel. Perbedaan Hemoptisis dan Hematemesis
Hemoptisis Hematemesis
Darah yang dibatukkan
Darah biasanya merah muda
Darah bersifat basa
Darah dapat berbusa
Didahului dengan perasaan
ingin batuk
Darah yang dimuntahkan
Darah biasanya hitam
Darah bersifat asam
Darah tidak pernah berbusa
Didahului dengan rasa mual dan
muntah
ETIOLOGI
Tuberkulosis adalah penyebab utama hemoptisis pada negara dengan angka pasien tuberkulosis yang tinggi, misalnya Indonesia.
Penyebab lain adalah bronkiektasis, abses paru, karsinoma paru, bronkitis kronik, dan sebagainya.
SEBAB HEMOPTISIS
Tabel. 2.2. Sebab-sebab Hemoptisis
Sebab Insidensi
Infeksi: Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis,
infeksi jamur, parasit, necrotizing pneumonia.
Neoplasma: Karsinoma bronkogenik, lesi metastasis, adenoma
bronkus
Penyakit kardiovaskular: emboli paru, stenosis mitral,
malformasi arteriovena, aneurisma aorta, edema paru
Lain-lainnya: Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom
Goodpasture, terapi antikoagulan, adenoma bronkus
60%
20%
5-10 %
5-10 %
PATOFISIOLOGI
Secara anatomis, asal perdarahan berbeda untuk setiap proses
patologis tertentu. Misalnya pada tuberkulosis, perdarahan mungkin
terjadi karena robekan aneurisma arteri pulmonalis pada dinding
kavitas (aneurisma Rassmussen), karena pecahnya anastomosis
bronkopulmonal, atau karena proses erosif pada arteri bronkialis
yang membesar.
Perdarahan akibat ulserasi mukosa bronkus juga bisa terjadi,
namun jarang masif. Sedangkan pada bronkitis, perdarahan berasal
dari pembuluh darah superfisialis di mukosa.
KLASIFIKASI/ BERAT RINGANNYA
Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan:Bercak (Streaking). Darah bercampur dengan sputum -
hal yang sering terjadi, paling umum pada bronkitis. Volume darah kurang dari 15-20 mL/ 24 jam.
Hemoptisis. Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang dibatukkan 20-600 mL di dalam waktu 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah lebih besar dan biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia), TB atau emboli paru.
KLASIFIKASI/ BERAT RINGANNYA
Hemoptisis Masif. Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 mL – biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB atau bronkiektasis.
Pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto toraks dapat membantu menegakkan diagnosis
penyakit yang mendasari, mengetahui asal perdarahan (kanan atau
kiri), dan adanya aspirasi.
Pemeriksaan laboratorium darah tepi dapat membantu
memperkirakan beratnya perdarahan dan perlu tidaknya dilakukan
transfusi darah. Pemeriksaan masa perdarahan atau masa
pembekuan tidak dikerjakan secara rutin.
DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1). Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifik;
2). Sumber paling umum berupa nasofaring (mimisan). Darah menetes ke faring, mengiritasi laring dan dibatukkan. Pasien sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-olah darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan dibatukkan dengan dimuntahkan;
ANAMNESIS
3). Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan saluran napas juga dicari;
4). Gejala lainnya yang berhubungan/ terkait dapat membantu dalam mendiagnosis:
a). Demam dan batuk produktif mengisyaratkan infeksi.
b). Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada mengindikasikan kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai dengan gagal jantung kongestif.
c). Kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan kanker paru atau infeksi kronik seperti tuberkulosis atau bronkiektasis.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan darah yang akut pada hemoptisis masif atau penyakit yang menyebabkan/ menyertainya: emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema paru.
Pemeriksaan Nasofaring. Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis masif untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).
Pemeriksaan Jantung. Dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut (terdapat peninggian komponen paru suara jantung kedua), kegagalan ventrikel kiri akut (adanya summation gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena insufisiensi trikuspid, sering pada penyalah guna obat inravena dan dapat menyebabkan hemoptisis karena emboli septik.
Pemeriksaan Dinding dan Rongga Dada. Kelainan di sini secara tersendiri jarang menjadi penyebab hemoptisis; akan tetapi, temuan tertentu bisa menjadi petunjuk.
Pemeriksaan Dinding dan Rongga Dada
Trauma dinding dada, coba cari adanya memar parenkim paru (pulmonary contusion) atau laserasi bronkial.
Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi redup/ pekak (dullness) menunjukkan adanya konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark paru, atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker paru).
Pleural friction rub dapat didengar pada area di atas infark paru.
Ronki merata (difus), kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya kemungkinan edema paru kardiogenik.
Laboratorium
1). Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit menunjukkan adanya kehilangan darah yang akut. Jumlah sel darah putih yang meninggi mendukung adanya infeksi. Trombositopenia mengisyaratkan kemungkinan koagulopati; trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker paru;
2) Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima warfarin/ heparin;
LABORATORIUM
3). Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien itu sesak yang jelas dan sianosis;
4) Pemeriksaan dahak. Pasien dengan darah bercampur dahak, pewarnaan gram, BTA atau preparasi kalium hidroksida dapat mengungkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker.
PENCITRAAN (IMAGING)
1). Radiografi dada akan menunjukkan adanya masa paru, kavitas atau infiltrat yang mungkin menjadi sumber pendarahan;
2). Arteriografi bronkial selektif dilakukan bila bronkoskopi (lihat bawah) tidak dapat menunjukkan lokasi pendarahan masif. Embolisasi arteri bronkial selektif untuk mengendalikan perdarahan dapat berfungsi sebagai terapi yang definitif atau sebagai tindakan antara hingga torakotomi dapat dilakukan.
BRONKOSKOPI
Saluran napas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku atau fiberoptik.
1). Bronkoskopi fiberoptik dengan anestesia topikal paling sering digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualisasi bronki subsegmental dan saluran napas sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah diameter tempat menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil (<2 mm). Jika perdarahan itu besar, maka sistem ini tidak dapat mengevakuasi darah dengan cepat untuk mempertahankan sistem lensa ini tetap bersih. Kebanyakan benda asing tidak bisa dipindahkan dengan instrumen ini;
BRONKOSKOPI
2). Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis masif dan ketika dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah biasanya dibutuhkan anestesia umum dan hanya saluran napas sentral dapat divisualisasikan.
KOMPLIKASI
Asfiksia, syok hemoragik, dan penyebaran penyakit ke sisi paru yang sehat.
PENATALAKSANAAN
Setiap pasien hemoptisis harus dirawat untuk observasi dan evaluasi lebih lanjut. Hal-hal yang perlu dievaluasi adalah:
1. Banyaknya/ jumlah perdarahan yang terjadi.Saat terjadinya batuk dicatat dan setiap darah yang dibatukkan harus dikumpulkan dalam pot pengukur untuk mengetahui jumlahnya secara tepat dalam suatu periode tertentu (biasanya 24 jam). Harus diingat bahwa jumlah darah yang dikeluarkan tidak selalu menggambarkan jumlah perdarahan yang terjadi karena mungkin saja sebagian darah tertinggal atau terjadi aspirasi dalam paru/ saluran napas.
2. Pemeriksaan fisik.
Diperhatikan adanya insufisiensi pernapasan atau sirkulasi, berupa hipotensi sistemik/ syok, penurunan kesadaran, takikardi, takipnea/ sesak napas, sianosis, dan lain-lain. Bila ditemukan ronki basah difus di lapangan bawah paru perlu dicurigai telah terjadi aspirasi yang akan mengganggu pernapasan.
TATA LAKSANA HEMOPTISIS RINGAN
Penatalaksanaan pasien hemoptisis bergantung dari beratnya
perdarahan yang terjadi dan keadaan klinis (kecenderungan
perdarahan untuk berhenti/ bertambah, tanda-tanda asfiksia/
gangguan fungsi paru, dan lain-lain).
Bila tidak/ kurang masif dapat ditangani secara konservatif yang
bertujuan menghentikan perdarahan yang terjadi dan mengganti
darah yang hilang dengan transfusi atau pemberian cairan
pengganti. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
LANJUTAN
1. Menenangkan pasien sehingga perdarahan lebih mudah berhenti
dan tidak takut-takut membatukkan darah di saluran napas.
2. Pasien diminta berbaring pada posisi bagian paru yang sakit dan
sedikit Trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak
adekuat.
3. Jalan napas dijaga agar tetap terbuka. Bila ada tanda-tanda
sumbatan, lakukan penghisapan. Bila perlu dipasang pipa
endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berarti bila jalan napas
telah bebas hambatan.
LANJUTAN
4. Pemasangan jalur intravena untuk penggantian cairan atau pemberian obat intravena.
5. Pemberian obat hemostatik belum jelas manfaatnya, namun dapat diberikan misalnya asam traneksamat, karbazokrom, atau koagulan lain seperti vitamin K, vitamin C, baik secara bolus maupun drip intravena.
LANJUTAN
6. Bila pasien gelisah dapat diberikan obat dengan efek sedasi ringan. Obat penekan refleks batuk hanya diberikan bila terjadi batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak. Yang dianjurkan adalah kodein sulfat 10-20 mg tiap 3-4 jam.
7. Transfusi darah dilakukan bila Ht turun di bawah nilai 25-30% atau Hb di bawah 10g% sedangkan perdarahan masih berlangsung.
TATA LAKSANA HEMOPTISIS MASIF
Perdarahan yang masif dan mengancam jiwa memerlukan usaha agresif invasif, berupa bronkoskopi atau operasi sito. Indikasi pembedahan segera untuk hemoptisis masif adalah:
1. Bila batuk darah lebih dari 600 ml/ 24 jam dan dalam pengamatan tidak berhenti.
2. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/ 24 jam tetapi lebih dari 250 ml/ 24 jam, kadar Hb kurang dari 10 g% dan berlangsung terus.
3. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/ 24 jam tetapi lebih dari 250 ml/ 24 jam, Hb lebih dari 10 g% tetapi dalam observasi selama 48 jam perdarahan tidak berhenti.
REFERENSI
Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Cetakan 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2000; h. 485-7.
Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h. 961-2.
Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2000; 28(5):1642-7.
Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d805736c.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2011.
Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h. 220-1.