2
REFERAT
PEMBUNUHAN ATAU BUNUH DIRI PADA KASUS TENGGELAM
Disusun Oleh
Mayastuti Nur M.
Farah Nishfi RamadhaniShanti Andri Sakarisa
Yosephine Adisty Pembimbing:
dr. Tasmonoheni, SpF
LABORATORIUM/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIKFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2015DAFTAR ISI
Halaman
COVERiDaftar Isiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah1
1.2. Permasalahan2
1.3. Ruang Lingkup 21.4. Tujuan3BAB II TINJAUAN PUSTAKA 42.1.
Definisi Tenggelam42.2. Mekanisme Tenggelam42.2.1 Wet Drowning5
2.2.2 Dry Drowning62.3. Klasifikasi Tenggelam6
2.3.1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru6
2.3.2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam7
2.3.3. Klasifikasi Lain7
BAB IIIPEMBAHASAN93.1. Cara Kematian93.2. Pemeriksaan Post
Mortem93.3. Pemeriksaan Luar Jenazah113.4. Pemeriksaan Dalam133.5.
Pemeriksaan Laboratorium14BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN17DAFTAR
PUSTAKA18BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Drowning atau tenggelam didefinisikan sebagai masuknya cairan
yang cukup banyak ke dalam saluran nafas atau paru-paru. (Idries
AM, 1997) Berdasarkan World Health Organization (WHO), 0,7%
kematian didunia atau 500.000 kematian setiap tahunnya disebabkan
oleh tenggelam. Tenggelam merupakan penyebab utama kematian didunia
diantara anak laki-laki berusia 5- 14 tahun. Di amerika serikat,
tenggelammerupakan penyebab kedua kematian yang disebabkan oleh
kecelakaan diantara anak-anak usia 1 sampai 4 tahun, dengan angka
kematian rata-rata 3 per 1000 orang. Berdasarkan definisi terbaru
dari WHO pada tahun 2002, tenggelam merupakan suatu proses gangguan
respirasi yang disebabkan subumersi atau imersi oleh cairan.
Sebagian besar korban tenggelam hanya mengisap sebagian kecil air
dan akan baik dengan sendirinya. Kurang dari 6 % dari korban
tenggelam membutuhkan perawatan medis dirumah sakit. Jika korban
tenggelam diselamatkan secepatnya maka proses tenggelam selanjutnya
dapat dicegah yang berarti tidak akan menjadi fatal (David S,
2012).
Tenggelam merupakan salah satu kematian yang disebabkan oleh
asfiksia. Kematian karena asfiksia sering terjadi, baik secara
wajar maupun tidak wajar, sehingga tidak jarang dokter diminta
bantuannya oleh pihak polisi/penyidik untuk membantu memecahkan
kasus-kasus kematian karena asfiksia terutama bila ada kecurigaan
kematian tidak wajar. Tenggelam merupakan kematian tipe asfiksia
yang disebabkan adanya air yang menutup jalan saluran pernapasan
sampai ke paru-paru (Fitricia, 2010). Bila pada asfiksia yang lain
tidak terjadi perubahan elektrolit dalam darah, sedangkan pada
tenggelam perubahan tersebut ada, baik tenggelam dalam air tawar
(fresh water drowning) maupun tenggelam dalam air asin (salt water
drowning). Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah
asfiksia, mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam
adalah karena inhibisi vagal dan spasme laring(David S, 2012).
Penelitian pada akhir tahun 1940-an hingga awal 1950-an menjelaskan
bahwa kematian disebabkan adanya gangguan elekrolit atau terjadinya
hipoksia dan asidosis yang menyebabkan aritmia jantung akibat
masuknya air dengan volume besar ke dalam sirkulasi melalui
paru-paru (Singh et al, 2015).Tenggelam pada umumnya merupakan
kecelakaan, baik kecelakaan secara langsung maupun tenggelam yang
terjadi oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah
pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi. Pembunuhan
dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban biasanya bayi
atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi tanpa sengaja,
yaitu korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal
hanya pingsan. Untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai,
sehingga mati karena tenggelam. Bunuh diri dengan cara
menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang jarang terjadi.
Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru
kemudian terjun ke air (Singh et al, 2015).
Kondisi drowning memiliki banyak tantangan untuk dibuktikan
dalam pendekatan patologi, dalam menentukan sebab, serta cara
kematian jenazah. Dalam menentukan cara kematian diperlukan
pertimbangan terkoordinasi terhadap keadaan-keadaan yang diduga
pada kematian, bukti-bukti medis obyektif yang ada, serta walaupun
tidak mutlak spesifik, terdapat beberapa data konfirmatif yang
dapat dicari melalui pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan
pemeriksaan TKP yang dapat membantu menemukan cara kematian jenazah
korban tenggelam.Meskibukanmerupakancarakematian mayor
padakasustenggelam,
ilmukedokteranforensikdapatmemberikankontribusidalammembedakancarakematiantenggelamkarenabunuhdiriataupembunuhan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan Pembaca mengenai pembunuhan atau bunuh diri
pada kasus tenggelam.
1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Bagaimana
membedakancarakematianpembunuhanataubunuhdiripadakasustenggelam?
1.2.2 bagaimanapemeriksaanpost partum pada kasus tenggelam ?
1.2.3 bagaimana pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan
pemeriksaantambahanpada kasus tenggelam ?
1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Mengetahui karakteristik yang
membedakancarakematianpembunuhanataubunuhdiripadakasustenggelam1.3.2
Mengetahuicarapemeriksaanpost partumpada kasus tenggelam
1.3.3 Mengetahui cara pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam
danpemeriksaan tambahan pada kasus tenggelam
1.4 Manfaat Penulisan1.4.1 Makalah ini dapat digunakan sebagai
dasar untuk pengembangan makalah berikutnya.
1.4.2 Makalah ini dapat menjadi dasar pengetahuan
mengenaipembunuhanataubunuhdiripadakasustenggelam.BAB IITINJAUAN
PUSTAKA2.1 Definisi Tenggelam
Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh
aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh
seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir
tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh
akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit
serum yang mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa
juga disebabkan karena laringospasme sebagai akibat refleks vagal
(Idries AM, 1997).
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus
tenggelam di dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di
bawah permukaan air maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria
sebagai peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai
tetapi dapat juga terjadi di dalam wastafel ataun ember berisi air.
Jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru adalah
sebanyak 2 L untuk orang dewasa dan 30-40 mL untuk bayi (Dahlan S,
2000). 2.2 Mekanisme Tenggelam
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia
akibat spasme laring, asfiksia karena garggling dan choking,
refleks vagal, fibrilasi ventrikel (air tawar) dan edema pulmoner
(dalam air asin) (Shepherd R, 2003)1. Refleks vagal
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem
tidak ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam
parunya sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drowning)
(Shepherd R, 2003).2. Spasme laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat
jarang sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena
rangsangan air yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi parunya tidak
didapati adanya air atau benda air (Dahlan S, 2000).3. Pengaruh air
yang masuk paru
Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang
menyebabkna morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan
sistem saraf pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi
karena tenggelam (kerusakan primer) atau dari aritmia, gangguan
paru atau disfungsi multiorgan (Cantwell PG et al, 2013).
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia
disertai gangguan elektrolit. Cairan yang teraspirasi dan terdapat
pada paru menghasilkan vasokonstriksi dan hipertensi yang
diperantarai oleh nervus vagus.Air tawar berpindah lebih cepat dari
membran kapiler-alveoli ke mikrosirkulasi. Ini akan mengakibatkan
hemodilusi dan hemolisis. Dengan pecahnya elektrolit maka ion
kalium intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hiperkalemia
yang akan mempengaruhi kerja jantung (terjadi fibrilasi ventrikel).
Pemeriksaan post mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl
pada jantung kiri lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan
buih serta benda air pada paru. Selain itu, air tawar cenderung
lebih hipotonik dibandingkan plasma dan menyebabkan gangguan
surfaktan alveoli. Hal ini akan menyebabkan instabilitas alveoli,
atelektasis, dan penurunan komplians paru (Cantwell PG et al,
2013).
Pada peristiwa tenggelam di air asin, akan mengakibatkan
terjadinya anoksia dan hemokonsentrasi. Air akan ditarik dari
sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan
menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi dan hipovolemia. Serta
tidak terjadi gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan post mortem
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri
lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda
air. Dibandingkan dengan tenggelam pada air tawar, kematian pada
tenggelam di airasin prosesnya lebih lambat (Dahlan S, 2000). Air
asin, yang bersifat hiperosmolar, akan menarik cairan ke dalam
alveoli dan menyebabkan dilusi surfaktan. Cairan yang kaya protein
akan bereksudasi secara cepat ke alveoli dan interstitial paru. Hal
ini menyebabkan komplians paru berkurang dan membran
kapiler-alveoli rusak dan terjadi perpindahan cairan sehingga
terjadi hipoksia (Cantwell PG et al, 2013).2.2.1 Wet Drowning
Pada wet drowning yang mana terjadi inhalasi cairan, diketahui
terjadi proses dari korban menahan nafas. Karena peningkatan CO2
dan penurunan kadar O2, terjadi megap-megap dan dapat timbul
regurgitasi dan aspirasi isi lambung. Refleks laringospasme yang
diikuti dengan pemasukan air akan muncul. Kemudian korban
kehilangan kesadaran dan terjadi apneu. Penderita kemudian akan
megap-megap kembali sampai beberapa menit, bahkan penderita dapat
kejang. Penderita kemudian dapat berakhir dengan henti nafas atau
jantung (Cantwell PG et al, 2013).2.2.2 Dry Drowning
15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning, yang
mana tidak disertai dengan aspirasi cairan. Kematian ini biasanya
terjadi dengan sangat mendadak dan tidak tampak adanya tanda-tanda
perlawanan. Mekanisme kematian yang pasti masih tetap spekulatif.
Cairan yang mendadak masuk dapat menyebabkan 2 macam mekanisme
kematian :1. Laringospasme yang akan menyebabkan asfiksia dan
kematian
2. Mengaktifkan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi
refleks vagal yang akan mengakibatkan cardiac arrest
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning :
1. Intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal)
2. Penyakit yang telah ada, misalnya aterosklerosis
3. Kejadian tenggelam/ terbenam secara tak terduga/ mendadak
4. Ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan
sirkulasi katekolamin. disertai kekurangan oksigen, dapat
menyebabkan cardiac arrest (Cantwell PG et al, 2013).2.3
Klasifikasi Tenggelam
2.3.1 Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam
dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe
basah (wet drowning) (Dahlan S, 2000)1. Tipe kering (dry
drowning)
Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan
dewasa yang banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif)
atau alkohol, dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau
usaha penyelamatan diri saat tenggelam. Selain itu, air tidak
teraspirasi masuk ke traktus respiratorius bawah atau ke lambung.
Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari refleks vagal
yang dapat menyebabkan henti jantungatau akibat darispasme laring
karena masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus
respiratorius bagian atas.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning
seperti intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya
penyakit yang sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian
tenggelam/ terbenam secara tak terduga/ mendadak, ketakutan atau
aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin,
disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabka cardiac arrest)
(Dahlan S, 2000).2. Tipe basah (wet drowning)
Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi
cairan. Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan
berkurangnya pertukaran udara. Aspirasi air sampai paru menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air tawar bergerak dengan cepat
ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak sehingga
menyebabkan ninstabilitas alveoli, atelektasis, dan menurunnya
kemampuan paru untuk mengembang (Dahlan S, 2000).
Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban
menahan nafas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi
megap-megap. Dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung
kemudian adanya laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air.
Setelah itu, korban kehilangan kesadaran dan terjadi apneu.
Penderita kemudian megap-megap kembali, bisa sampai beberapa menit
diikuti kejang-kejaang. Penderita akhirnya mengalami henti nafas
dan jantung (Dahlan S, 2000).2.3.2 Berdasarkan Lokasi Tenggelam
Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadintya
tenggelam, maka dapat dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan
tenggelam di air asin
1. Air TawarAir tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah
besar, sehingga terjadi hemodilusi yang hebat sampai 72% yang
berakibat terjadinya hemolisis. Oleh karena terjadi perubahan
biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam plasma meningkatdan
natrium berkkurang, juga terjadi anoksiayang hebat pada miokardium.
Hemodilusi menyebabkan cairan dalam oembuluh darah atau sirkulasi,
menjadi berlebihan sehingga terjadi penurunan tekanan sistol dan
dalam waktu beberapa menit terjadi fiberilasi ventrikel. Jantung
untuk beberapa saat masih berdenyut dan lemah, terjadi anoksia
serebri yang hebat yang dapat mejelaskan mengapa kematian terjadi
dengan cepat (Idries AM, 1997).2. Air asin
Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran eletrolit dari air
asin ke darah sehingga mengakibatkan peningkata natirum plasma, air
akan ditarik dari sirkulasi pulmoinal ke dalam jaringan
interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmo yang hebat
dalam waktu yang singkat dna peningkatan hematokrit (hipovolemiia).
Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi) menyebabkan
sirkulasi aliran darah menjadi lambat dan anoksia pada miokardium
yang menimbulkan payah jantung dan kematian terjadi kuurang lebih
8-9 menit setelah tenggelam (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997)2.3.3
Klasifikasi Lain
Klasifikasi tenggelam menurut Levin adalah sebagai berikut
(Levin DL, 1993) :1. Typical drowning
Keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban
saat korban tenggelam.
2. Atypical drowning
a. Dry Drowning
Keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk
ke dalam saluran pernapasan
b. Immersion Syndrome
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba masuk ke dalam
air dingin (suhu < 20o C) yang menyebaabkan terpicunya refleks
vagal yang
menyebabkan apneu, bradkardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh
darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan
sirkulasi serebral
c. Subemersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderit epilepsi atau penyakit
jantung, hipertensi atau konsumsi alkohol yang mengalami trauma
kepala saat masuk ke air.
d. Delayed dead
Keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24
jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam
BAB IIIPEMBAHASAN
3.1 Cara Kematian pada Korban Tenggelam
Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena (Dahlan S, 2000) :
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam terjadi karena kecelakaan sering terjadi
karena korban jatuh ke laut, sungai ataupun danau. Pada anak-anak,
kecelakaan sering terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi
air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan antara
lain karena mabuk atau serangan epilepsi
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air sering
kali terjadi. Terkadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar
supaya tubuh dapat tenggelam dengan mudah
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke
laut atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.
Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi
amat sukar atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada
saksi, maka tidak dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh
diri/ pembunuhan
3.2 Pemeriksaan Post Mortem
Keadaan sekitar individu pada kasus tenggelam penting. Perlu
diingat adanya kemungkinan korban sudah meninggal sebelum masuk ke
dalam air. Tenggelam terjadi tidak hanya terbatas di dalam air
dalam seperti laut, sungai, danau atau kolam renang, tetapi mungkin
pula terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang
berada di bawah permukaan air (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).Bila
mayat masih segar (belum terdapat pembusukan), maka diagnosis
kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui : (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997)a. Pemeriksaan luar
b. Pemeriksaan dalam
c. Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi
jaringan, dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat
tenggelam dibuat berdasarkan adanya diatom pada paru, ginjal, oto
skelet atau sumsum tulang. Pada mayat akibat tenggelam, pemeriksaan
harus seteliti mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan
(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).Pemeriksaan mayat yang dilakukan
harus seteliti mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan
karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk. Hal yang perlu
diperhatikan adalah (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).1. Menentukan
identitas korban
Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara
lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.2. Apakah korban masih hidup sebelum
tenggelam
Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup
atau sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil
pemeriksaan
a. Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam
ialah pemeriksaan diatom.
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai
yang menentukan pada mayat yang terbenam selam beberapa waktu dan
mulai membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli
yang secara fisik dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam
mempunyai nilai yang bermakna.
e. Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat
menjelaskan bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat
masuk ke dalam air.3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis
drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan
tipe drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit,
keracunan atau kekerasan lain.
Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem (antemortem
impact) pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan
pada vertebra servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.
4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian
Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian,
misalnya kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada
pemeriksaan luar atau bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di
tempat itu atau di tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat
kematian.
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke
dalam air. Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena
air masuk ke dalam saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus
immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal ini mungkin
disebbakan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu
cairan melalui saluran napas atas. Beberapa korban yang terjun
dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk
ke hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan
kadang-kadang keracunan alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung,
berarti kematian terjadi seketika akibat spasme glotis yang
menyebabkan cairan tidak dapat masuk.
Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin
lama makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit
(fatal period). Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari
air, masih ada kemungkinan dapat hidup bila upaya resusitasi
berhasil.Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi
tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing
korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan
jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
pernapasan.3.3 Pemeriksaan Luar JenazahPemeriksaan luar jenazah
yang dapat dijadikan petunjuk pada mati tenggelam di air laut
maupun air tawar adalah (Abraham et al, 2009).a. Mayat dalam
keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-benda
asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam
dalam air.
b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut.
Teori intravital menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi
intravital. Pada waktu air memasuki trakea, bronkus, dan saluran
pernapasan lainnya, maka terjadi pengeluaran sekret oleh saluran
tersebut. Sekret ini akan terdorong keluar oleh udara pernapasan
sehingga berbentuk busa mukosa. Pendapat lain menyatakan bahwa
Schaumfilz merupakan reaksi pembusukan. Gejala ini biasanya tidak
ditemukan bila mayat diangkat. Busa yang ditemukan kadang disertai
dengan perdarahan.
c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi
perdarahan atau bendungan.
d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital,
jika kedinginan, maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan
pori-pori tampak lebih jelas. Kutis anserina biasanya ditemukan
pada kulit anterior tubuh terutama ekstremitas. Gambaran seperti
kutis anserina dapat juga terjadi karena rigor mortis pada otot
tersebut.
e. Washer womans hand. Telapak tangan dan kaki berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke
dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini
tidak patognomomik karena mayat yang lama dibuang ke dalam air akan
terjadi keriput juga.
f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada
waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa
saja yang terdapat dalam air.
g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet
biasanya dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku,
lutut, punggung kaki atau tangan. Puncak kepala mungkin terbentur
pada dasar ketika terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka
post-mortal akibat benda-benda atau binatang dalam air.
h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis,
Tardieu spot. Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi
lebih sedikit daripada gantung diri karena pada tenggelam tidak
terjadi kematian secara mendadak sehingga pecahnya kapiler tidak
secara tiba-tiba atau hanya sedikit.
i. Penurunan suhu mayatPada mayat yang sudah membusuk, dapat
ditemukan:
a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.
b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong
pangkal lidah. Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami
pembusukan di darat.
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre
(kepala orang negro).
d. Pugilistic attitudePosisi lutut dan siku sedemikian rupa
sehingga kaki dan tangan tampak membengkok (frog stand). Ini
disebabkan cairan dan gas yang terbentuk pada persendian.
e. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman
karena terbentuk FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati
di darat.
f. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi
prolaps atau adanya gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar
anak yang dikandung.
g. Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga
warna kulit tidak jelas, rambut lepas. 3.4 Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan
benda asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran
pernapasan(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).Pada korban tenggelam di
air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan besar atau menggelembung
tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di depan hati.
Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak
masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah
(melalui proses imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan
dapat mengalami emfisema. Ketika paru tersebut dipindahkan dari
dada, paru tetap mempertahankan bentuk normalnya dan cenderung
tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami emfisema kering
akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah
dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya
seperti sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika
jaringan dipotong dan ditekan antara ibu jari dan keempat jari
lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada cairan dan gas, kecuali
jika terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering pada kasus
tenggelam di air tawar(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).Pada kasus
tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar seperti
balon, lebih berat, sampai menutupi jantung (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997). Pada pengirisan terdapat banyak cairan, beratnya
kadang melebihi 2.000 gram. Karena paru sangat edema maka tepi
depan paru overlap di depan mediastinum sehingga berbentuk seperti
cetakan iga. Paru berwarna keunguan atau kebiruan dengan permukaan
mengkilap. Paru lembab dan konsistensinya seperti agar-agar dan
hilang dengan penekanan. Ketika paru dipindahkan dari tubuh dan
ditempatkan pada meja pemotongan, paru tidak mempertahankan bentuk
normalnya tapi cenderung datar. Ketika dipotong, tidak ada suara
krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan jaringan
mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka akan
ditemukan paru dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di
air laut paru mengalami lembab dan basah (Sauko et al,
2004).Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler
terjepit di antara septum inter alveolar. Dapat ditemukan
bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie subpleura dan bula
emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas tenggelam,
tetapi sebagai usaha respirasi (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997).Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke
saluran pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran
pernafasan dari trakea, bronkus sampai percabangan bronkus di
hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan benda-benda air seperti
pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka dapat
dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).Organ lain seperti otak, ginjal, hati,
dan limpa dapat mengalami pembendungan. Lambung dan usus halus
dapat sangat membesar, berisi air dan lumpur(Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel
yang terbuat dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom
dapat ditemukan dalam air tawar, air laut, air sungai, air sumur,
dan udara. Diatom dan elemen plankton lain masuk ke dalam saluran
pernapasan atau pencernaan ketika seseorang tenggelam menelan air.
Kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakan
dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar ke
seluruh jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat ditenggelamkan
dalam air meskipun diatom dapat masuk ke dalam paru-paru secara
pasif, tidak ada aliran sirkulasi darah yang mungkin terjadi,
sehingga (secara teori) tidak mungkin ada diatom yang dapat
ditemukan pada organ-organ dalam yang lebih jauh (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru
mayat segar. Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom
dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet atau sumsum tulang
paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang bermakna sebab
berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan terhadap
air minum atau makanan(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).Pemeriksaan
diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru dilakukan
dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,
masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat
sampai jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari
agar jaringan hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil
diteteskan asam nitrat pekat sampai terbentuk cairan jernih,
dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades,
pusingkan kembali dan akhirnya dilihat dengan mikroskop.
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom
cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per satu sediaan atau pada
sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997).Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan
cara permukaan paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian
perifer, ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru,
taruh pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan lihat dengan
mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan
jenis lainnya(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Gambar 1. Prinsip Tes Diatom (Saukoet al, 2004)Menurut Simpson,
bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada kasus-kasus yang
jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah banyak
hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis
dari karena itu tes ini jadi sangat tidak realibel sehingga teknik
ini seharusnya dilakukan dan hasilnya diinterpretasikan dengan
pertimbangan keadaan lain (Shepherd, 2003)2. Pemeriksaan
Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada
tidaknya klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung
adalah salah satu tes yang baik yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis kasus tenggelam. Banyak dari peneliti telah
mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang validitas
studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun 1944
Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida
pada sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan
kiri dapat bernilai diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan
adalah segera setelah terjadinya kematian. Dia menetapkan bahwa
perbedaan kadar klorida sekitar 17 mEq/L atau lebih pada kasus
tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai pendukung penegakan
diagnosis tenggelam (Saukoet al, 2004)Menurut Gettler, pada kasus
tenggelam di air tawar, kadar serum klorida di darah yang berasal
dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah kanan.
Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya (Abrahamet
al, 2009)Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan
untuk menentukan diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher
digunakan untuk menentukan perbedaan dari berat jenis plasma dari
jantung kanan dan kiri. Bila pada pemeriksaan ditemukan berat jenis
jantung kiri lebih tinggi dibandingkan dengan jantung kanan, maka
dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat tenggelam (Abraham
et al, 2009)Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat
menyokong diagnosis, walaupun secara tersendiri kurang bermakna
(Shepherd, 2003)Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma
turun dan kalium plasma meningkat, sedangkan pada inhalasi air
asin, natrium plasma meningkat cukup tinggi dan kalium hanya
meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar, konsentrasi
natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah
dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi,
ini disebabkan ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat
mengubah tingkat natrium dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena
itu Simpson berpendapat bahwa analisis dari kadar Na, Cl dan Mg
telah dipergunakan, tetapi hasilnya terlalu beragam untuk digunakan
didalam praktek sehari-hari (Shepherd, 2003)BAB IVKESIMPULAN DAN
SARANTenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh
aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau
sebagian tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near
drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam,
tetapi tidak terjadi kematian.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia
akibat spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks
vagal, fibrilasi ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam
air asin)
Padaperistiwatenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan
hemodilusi sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi
karena fibrilasi ventrikel. Padaperistiwatenggelam di air asin,
karena konsentrasi elektrolit air asin lebih tinggi daripada
plasma,air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan
interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru,
hemokonsentrasi, dan hipovolemia.
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam
dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe
basah (wet drowning). Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat
terjadinya tenggelam, maka dapat dibedakan menjadi tenggelam di air
tawar dan tenggelam di air asin.
Diagnosis kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium
berupa histologi jaringan, destruksi jaringan, dan berat jenis
serta kadar elektrolit darah.
Pada pemeriksaan luar, dapat ditemukan Schaumfilz froth, kuntis
anserina, washer womans hand, cadaveric spasm, tanda-tanda asfiksia
seperti sianosis dan petekie. Kemudian dapat juga dijumpai luka
lecet dan penurunan suhu mayat
Pada pemeriksaan dalam, paru tetap kering pada kasus tenggelam
di air tawar. Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat
ditemukan membesar. Petekie juga dapat dijumpai. Organ lain dapat
mengalami pembendungan.DAFTAR PUSTAKA
Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Intarniati,
Pranarka K, et al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 16-24
Cantwell PG, Verive MJ,S hoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang S,
et al. 2013. Drowning. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview. (Accessed 21
Februari 2015)
Dahlan S.2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penengak Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.David Szpilman, dkk. 2012. Drowning. The New England
Journal of Medicine. Acesed from http://www.nejm.org/doi/pdf/.
Fitricia, Ria. 2010. Tanda Intravital yang Ditemukan Pada Kasus
Tenggelam di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP H. Adam
Malik/RSUD Pingardi Medan pada Bulan Januari 2007-Desember 2009.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Idries, Abdul Munim. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik
Edisi Pertama:Tenggelam. Binarupa Aksara. Hal. 177-190.
Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1997.
Levin DL, Morriss FC, Toro LO, Brink LW and Turner GR. Drowning
and near Drowning. Pediatr Clin of North Am. 1993; 40(2):
321Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of
Health. 2008; 8(2)
Sauko P, Bernard K.2004 . Knights Forensic Pathology, 3nd Ed.
London : Oxford University Press, 393-398
Sheperd R, Simpsons Forensic Medicine. 12nd Ed. Oxford
University Press. NewYork, 1996, 104-106.
Shepherd R. 2003. Simpsons Forensic Medicine, 12nd ed. New York
: Oxford University Press, 104-106.Singh R, Kumar M, ell. Drowning
Associated Diatoms. Department of Forensic Science Punjabi
University. [cited 2015Feb19] available from :
http://www.icmft.orgWHO,2013.Drowning, Available from :
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/drowning/en/
(Accessed 21 Februari 2015)
Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam
(Review). Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia 2012; 14(3):
39-46