Top Banner
Tentang Bunuh Diri & Euthanasia Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqh STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN PURWAKARTA 2008/2009
24

Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

Jun 11, 2015

Download

Documents

Eka L. Koncara

Lebih lanjut:
[email protected]
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

Tentang

Bunuh Diri & Euthanasia

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqh

STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN PURWAKARTA

2008/2009

Page 2: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, makalah yang berjudul “Bunuh Diri dan Euthanasia” ini

telah selesai kami susun untuk dapat digunakan sebagai salah satu tugas mata

pelajaran Masailul Fiqh.

Makalah ini dibuat agar pengetahuan kami menjadi lebih bertambah dan

mampu menerapkan pengetahuan tersebut di dalam lingkungan masyarakat.

Akhirnya kami berharap dari kegiatan ini dapat bermanfaat khususnya

bagi kami dan teman-teman semua. Agar lebih memotivasi untuk meningkatkan

kualitas pendidikan di bidang Masailul Fiqh.

Kami menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan untuk itu kami mohon saran dari semua pihak agar berikutnya

lebih sempurna. Semoga bermanfaat…

Plered, Desember 2008

Penyusun

Page 3: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II BUNUH DIRI ..................................................................................... 2

A. Pengertian ................................................................................. 2

B. Pandangan Agama Tentang Bunuh Diri ..................................... 3

BAB III EUTHANASIA .................................................................................... 12

A. Euthanasia ................................................................................. 12

B. Unsur-Unsur Euthanasia ........................................................... 13

C. Beberapa Aspek Euthanasia ...................................................... 13

D. Batas-Batas Tanggung Jawab Ilmuan dan Praktisi Ilmu ............ 15

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20

Page 4: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

1

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus

kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia

dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai

siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih

mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai

dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan proses

pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi

buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi

menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan proses

pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks.

Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk

berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar

penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non

infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan.

Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat

untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan

dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya

adalah menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu

kematian.

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu

pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di

dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia

ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk

menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu

kematiannya.

Page 5: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

2

BAB II

BUNUH DIRI

A. Pengertian

Bunuh diri adalah tindakan mencabut nyawa diri sendiri dengan

menggunakan segala macam cara. Motif bunuh diri ada banyak macamnya.

Biasanya pelaku bunuh diri dilanda keputusasaan dan depresi karena cobaan

hidup dan tekanan lingkungan. Adapula yang bunuh diri karena kekurangsehatan

akal alias tidak waras. Beberapa agama melarang dan mengutuk tindakan bunuh

diri.

Apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu?

Ternyata semua kasus ”horor” tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati

seseorang. Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois,

Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa

mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey

mengetahui fakta tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34

remaja yang 17 di antaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa

tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah

dibandingmereka yang meninggal bukan karena bunuh diri. Temuan yang

dipublikasikan di jurnal Archives of General Psychiatry menyatakan bahwa PKC

merupakan komponen yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat

dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu.

Pandey dan timnya sangat tertarik untuk mengatahui kaitan lain antara

PKC dengan kasus bunuh diri di kalangan remaja belasan tahun. Dari 17 remaja

yang meninggal akibat bunuh diri, sembilan di antaranya memiliki sejarah

gangguan mental.

Delapan yang lain tidak mempunyai riwayat gangguan psikis namun dua

di antaranya mempunyai sejarah kecanduan alkohol dan obat terlarang. Aktivitas

PKC pada otak para remaja tersebut jumlahnya sangat kecil dibanding dengan

Page 6: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

3

remaja yang meninggal bukan karena bunuh diri. Dari sini disimpulkan bahwa

kondisi abnormal PKC bisa menjelaskan mengapa sebagian remaja memiliki

keinginan bunuh diri.

B. Pandangan Agama Tentang Bunuh Diri

1. Agama Kristian Awal

Agama Kristian Awal tertarik kepada kesyahidan yang merupakan

suatu tindakan yang dibenarkan oleh agama mereka. Kematian Jesus juga

dianggap sebagai sejenis bunuh diri oleh sesetengah orang, umpamanya

Tertullian. Adanya tujuh kes bunuh diri dalam Wasiat Lama. Dalam kitab

Matthew 27:3, pembunuhan diri Judas Iscariot yang mengkhianati Jesus

mungkin merupakan suatu tanda sesal atau sekurang-kurangnya suatu

pengakuan kebersalahannya.

Kumpulan penyokong bunuh diri yang paling terkenal ialah kumpulan

Donatis yang mempercayai bahawa melalui membunuh diri, mereka boleh

mencapai kesyahidan dan naik ke syurga. Mereka melompat dari cenuram,

membakar diri dalam bilangan-bilangan besar, serta menghentikan

pengembara-pengembara dan menawarkan wang atau mengugut mereka

dengan kematian untuk menggalakkan mereka membunuh orang yang

dikatakan syahid Donatis. Mereka itu akhirnya diisytiharkan sebagai

pembidaah.

Bagaimanapun ketika agama Kristian menjadi agama utama Empayar

Rom, pandangan-pandangannya terhadap bunuh diri beransur-ansur

berubah. Pada abad ke-5, St. Augustine menulis sebuah buku yang berjudul

Kota Tuhan (The City of God) dan di dalamnya, beliau membuat kutukan

pertama dalam agama Kristian terhadap bunuh diri. Justifikasi untuk

kutukannya ialah tafsiran baru bagi rukun, "Jangan membunuh", dengan

alasan-alasannya yang lain berasaskan "Phaedra" oleh Plato. Walaupun ini

hanya merupakan tentangan kemanusiaan, sesetengah orang Kristian

Page 7: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

4

kesudahannya menindas orang-orang yang membunuh diri, menghina

mayat-mayat mereka (dengan kekadangnya mengebumikan mayat mereka

di simpang jalan dengan sebatang pancang menembusi mayat mereka),

memfitnah mereka, serta menyeksa keluarga-keluarga mereka.

Pada abad ke-6, bunuh diri menjadi suatu dosa keagamaan serta

jenayah sekular dan pada tahun 533, sesiapa yang membunuh diri kerana

dituduh melakukan jenayah tidak dibenarkan upacara pengebumian Kristian

yang merupakan keperluan untuk naik ke syurga. Kemudian pada tahun 693,

sebarang percubaan untuk membunuh diri juga menjadi jenayah gereja yang

dihukum dengan pengucilan, diikuti oleh tindakan-tindakan sivil.

Banyak orang Kristian mempercayai tentang kesucian nyawa

manusia, suatu prinsip yang secara umum mengatakan bahwa semua nyawa

manusia adalah suci — suatu ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan

sungguh mengajaibkan — dan setiap usaha harus diambil untuk

menyelamatkan dan mengekalkannya jika mungkin.

Tidaklah sehingga kira-kira seribu tahun selepas St. Augustine

bahawa orang-orang Kristian sekali lagi menyoal tentang bunuh diri.

Walaupun mereka masih mempercayai bahawa bunuh diri umumnya adalah

salah, orang-orang Kristian yang liberal berpendapat bahawa orang-orang

yang memilih untuk membunuh diri berasa terlalu sedih dan Tuhan Kristian

yang penuh dengan kasih sayang akan mengampunkan perbuatan mereka.

2. Katolisisme Modern

Dalam agama Katolisisme, kematian melalui bunuh diri dianggap

sebagai suatu dosa besar. Alasan utama Kristian adalah bahawa hayat

seseorang dimiliki Tuhan dan oleh itu, pemusnahan nyawa disamakan

dengan perbuatan untuk menguasai apa yang sebenarnya dipunyai Tuhan.

Bagaimanapun, alasan ini ditentang oleh David Hume yang berpendapat

bahawa jika membunuh ketika seorang masih semula jadinya hidup adalah

Page 8: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

5

salah, ia haruslah salah juga untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang

akan semula jadinya mati, kerana ini juga kelihatan menentang kehendak

Tuhan. Walaupun demikian, perbezaan antara pendapat-pendapat ini

mungkin dapat dirapatkan berdasarkan doktrin Katolik tentang cara-cara

luar biasa: Gereja Katolik mengajar bahawa tidak adanya sebarang

kewajipan moral bagi sesiapa memilih kaedah-kaedah luar biasa untuk

menyelamatkan orang-orang yang menghadapi kematian yang mungkin.

Perkara 2281 dalam Soal Jawab mengatakan:

2281: Bunuh diri menentang kecenderungan semula jadi manusia

untuk memelihara dan mengekalkan hidupnya. Ia menentang kasih sayang

kepada diri sendiri. Ia juga menyinggung kasih sayang jiran kerana ia

memutuskan pertalian perpaduan secara tidak adil dengan keluarga,

negara, dan masyarakat-masyarakat lain yang terus kita punyai kewajipan.

Bunuh diri adalah bertentangan dengan kasih sayang kepada Tuhan hidup.

Soal Jawab Gereja Katolik 1997 menunjukkan bahawa bunuh diri

mungkin tidak selalunya dilakukan dengan kesedaran yang penuh – dan oleh

itu tidak seratus peratus dianggap salah dari segi moral: "Gangguan psikologi

yang teruk, sesakan jiwa, atau ketakutan terhadap kesusahan, penderitaan,

atau penyeksaan, boleh mengurangkan kebertanggungjawapan seseorang

yang membunuh diri."

Konteks yang penting tentang pengutukan bunuh diri Gereja Katolik

ialah desakan mutlak Gereja terhadap kesucian hidup. Adalah dari segi ini,

dan memandangkan bahawa perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang

berfikir selepas pertimbangan jelas bahawa Gereja menganggap bunuh diri

sebagai salah satu daripada dosa yang paling besar dan dengan itu

mengakibatkan risiko penglaknatan abadi.

Seriusnya pendirian Gereja terdiri daripada dua alasan:

1. Bunuh diri ialah penolakan kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan

kasih sayang manusia kepada Tuhan.

Page 9: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

6

2. Bunuh diri mengakibatkan perpecahan komuniti-komuniti kawan, orang-

orang yang disayangi, dan masyarakat umumnya.

3. Agama Protestan Modern

Orang-orang Kristian Konservatif (mazhab-mazhab Evangelisme,

Karismatik, dan Pentekostalisme) sering memperdebatkan bahawa oleh

sebab bunuh diri melibatkan pembunuhan, jadi sesiapa yang melakukannya

akan turun ke neraka. Beberapa tokoh Bible telah membunuh diri, dengan

yang paling terkenal ialah Judas Iscariot yang menggantung diri selepas

mengkhianati Christ. Sedangkan bunuh diri diperlakukan dengan cara yang

negatif dalam kitab Bible, tidak adanya sebarang ayat yang tersurat di

dalamnya yang mengatakan secara langsung bahawa bunuh diri akan

mengakibatkan nerhaka. Oleh itu, terdapat kepercayaan yang semakin

bertumbuh bahawa orang-orang Kristian yang membunuh diri masih akan

diberikan Syurga.

Walau bagaimanapun, walaupun orang-orang Kristian masih

mempercayai bahawa bunuh diri adalah salah pada umumnya, mereka

masih menganggap bahawa orang-orang membunuh diri hanya kerana

mereka berasa terlalu sedih dan oleh itu, mempercayai bahawa Tuhan

Kristian yang penuh dengan kasih sayang akan mengampunkan perbuatan

mereka itu.

4. Agama Yahudi

Agama Yahudi, secara tradisi dan berdasarkan penekanannya

terhadap kesucian nyawa, memandangkan bunuh diri sebagai salah satu

dosa yang paling serius. Bunuh diri sentiasa dilarang oleh undang-undang

Yahudi dan tidak mempunyai sebarang kecualian. Ia tidak diperlihatkan

sebagai satu pilihan yang dapat diterima walau jika keadaannya memaksa

seseorang melakukan kesalahan besar yang jalan keluar tunggal ialah untuk

Page 10: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

7

membunuh diri bagi mengelakkan perbuatan tersebut. Membantu dalam

bunuh diri dan meminta bantuan tersebut (dan dengan itu, mencipta

subahat untuk perbuatan dosa) juga dilarang, dan merupakan pencabulan

Leviticus 19:14, "Jangan kamu meletakkan kesentuhan di hadapan orang

buta." Rabai-rabai Yahudi mentafsirkan ayat ini sebagai melarang sebarang

jenis halangan terhadap ajaran yang betul seperti memujuk orang lain

mempercayai doktrin yang palsu (dari segi teologi), dan memberi nasihat

kewangan yang buruk (dari segi ekonomi) atau dalam kes ini, halangan

terhadap kesusilaan dan jasmani (sila lihat Talmud Bavli (B.) Pesah.im 22b; B.

Mo'ed Katan 5a, 17a; B. Bava Mezia 75b. and B. Nedarim 42b).

Larangan terhadap bunuh diri tidak tersurat dalam Talmud. Karya

Semahot (Evel Rabbati) 2:1–5 yang ditulis selepas kitab Talmud bertindak

sebagai asas untuk kebanyakan undang-undang Yahudi tentang bunuh diri,

bersama-sama Genesis Rabbah 34:13 yang berdasarkan larangannya pada

Genesis 9:5: "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan

menuntut." (Cf. Undang-undang mengenai pembunuhan M.T. 2:3; karya

Talmud Babylonia, Undang-undang Mahkamah (Sanhedrin) 18:6; S.A. Yoreh

De'ah (Kod Undang-undang Yahudi) 345:1ff)

Menurut falsafah Chassidisme Yahudi, sesuatu roh turun ke dunia ini

untuk melakukan misinya yang tidak dapat dilaksanakan di "dunia-dunia

rohaniah". Ini ialah tafsiran mereka untuk kenyataan Talmud: "Satu saat di

Dunia Yang Akan Datang (yang bermaksud kedua-dua hidup selepas mati

serta dunia Zaman Messiah) adalah lebih seronok daripada seluruh hayat di

dunia ini. Tetapi satu perbuatan yang baik di dunia ini adalah lebih penting

daripada seluruh kehidupan abadi di Dunia Yang Akan Datang" (Etika Bapa

Kita, Mishna). Menurut mazhab Chassidisme Chabad, walaupun makhluk-

makhluk rohani (para roh dan malaikat yang tinggal di dunia-dunia rohaniah)

tahu akan kewujudan Tuhan, mereka tidak dapat mencapai IntipatiNya.

Semasa mematuhi Rukun-rukun Torah, tubuh dan roh seseorang mencapai

Page 11: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

8

Intipati Tuhan (kerana Torah mewakili kehendak Tuhan yang secocok dengan

intipatiNya) dan menyucikan kedua-dua tubuh dan roh seseorang, serta juga

dunia fizikal ini. Penyucian dunia fizikal melalui pelaksanaan Rukun-rukun

akhirnya akan mewujudkan Zaman Messiah yang merupakan matlamat dan

tujuan Penciptaan. Oleh itu, kehidupan di dalam dunia fizikal memberi roh

seseorang suatu peluang yang unik dan sesiapa yang tidak memanfaatkan

diri dengan peluang ini dianggap sebagai telah melakukan suatu dosa yang

paling besar.

Jawatankuasa Undang-undang dan Piawai Yahudi, badan

cendekiawan undang-undang Yahudi dalam mazhab Agama Yahudi

Konservatif, telah menerbitkan sebuah teshuva tentang bunuh diri serta

bunuh diri dibantu di dalam terbitannya, Agama Yahudi Konservatif, Jilid L,

No. 4, pada musim panas 1998. Ia menegaskan larangan dan menumpukan

perhatian kepada arah aliran orang-orang Amerika Syarikat dan Eropah yang

semakin bertumbuh untuk mencari bantuan bagi membunuh diri. Teshuva

memerhatikan bahawa sedangkan banyak orang jatuh sakit, seringnya

dengan penyakit-penyakit yang membawa maut, kebanyakan mereka tidak

cuba membunuh diri. Jawatankuasa itu mempercayai bahawa kita

diwajibkan menentukan sebab-sebab mengapa sesetengah orang mencari

bantuan untuk membunuh diri supaya dapat memperbaiki keadaan-keadaan

tersebut.

Kesimpulan agama Yahudi Konservatif adalah seperti yang berikut:

"... mereka yang membunuh diri dan mereka yang membantu orang-orang

lain berbuat demikian bertindak atas berbagai-bagai niat. Sesetengah alasan

adalah tidak mulia dan melibatkan umpamanya, keinginan anak-anak untuk

melihat ibu atau bapa mereka mati dengan segera supaya tidak

menghabiskan harta pusaka secara boros untuk penjagaan kesihatan yang

'sia-sia', atau keinginan syarikat-syarikat insuran untuk mengurangkan

Page 12: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

9

dengan sebanyak yang mungkin pembelanjaan wang ke atas pesakit-pesakit

yang tidak dapat dirawat."

Kertas kerja itu mengatakan bahawa respons yang wajar untuk sakit

bukannya bunuh diri, tetapi kawalan sakit yang lebih baik atau pemberian

lebih banyak ubat sakit. Kertas itu menegaskan bahawa banyak doktor

senjaga mengekalkan pesakit-pesakit dalam keadaan sakit dengan enggan

memberikan ubat sakit yang mencukupi atas berbagai-bagai alasan; ada

yang berbuat demikian kerana kejahilan, ada yang hendak mengelakkan

ketagihan drug yang mungkin, dan yang lain atas sikap ketabahan yang

salah. Agama Yahudi Konservatif berpendapat bahawa bentuk-bentuk

pemikiran seumpama ini adalah "aneh" dan kejam dan dengan adanya ubat-

ubat masa kini, tidak terdapat sebarang alasan yang munasabah bagi sesiapa

untuk menderita seksa yang tidak henti-henti.

Kertas kerja itu kemudian menyelidikkan punca psikologi terhadap

rasa putus asa setengah pesakit dan menegaskan:

"Pakar-pakar perubatan dan orang-orang lain yang diminta untuk membantu

dalam penamatan hayat harus menyedari bahawa orang-orang yang berfikir-

fikir hendak membunuh diri seringnya hidup sendirian tanpa sesiapa yang

menunjukkan sebarang minat terhadap kewujudan mereka yang berterusan.

Daripada membantu pesakit dalam bunuh diri, respons yang wajar untuk

keadaan-keadaan sebegini adalah untuk memberi pesakit itu sekumpulan

orang yang menegaskan secara jelas dan berulang kali minat mereka

terhadap kewujudan berterusan pesakit tersebut... Permintaan-permintaan

untuk mati harus dinilai dari segi tahap sokongan sosial yang diterima oleh

pesakit kerana permintaan-permintaan sebegini seringnya ditarik balik oleh

pesakit sebaik sahaja ada orang yang menunjukkan minat akan

kewujudannya. Dalam zaman individualisme serta rumah-rumah tangga

yang berpecah belah dan berselerak, dan di persekitaran antiseptik hospital-

hospital yang orang-orang hampir mati mendapati diri ditinggalkan, rukun

Page 13: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

10

mitzvah untuk melawat pesakit-pesakit (bikkur Holim) menjadi lebih penting

bagi mengekalkan keinginan pesakit untuk terus hidup."

5. Buddhisme

Menurut agama Buddha, perbuatan-perbuatan seseorang pada hayat

terdahulu mempunyai pengaruh yang kuat ke atas apa yang dialaminya pada

hayat kini; perbuatan-perbuatan kini pula mempengaruhi pengalaman-

pengalaman masa depan, menurut doktrin karma. Perbuatan sengaja akal,

badan, atau pertuturam menghasilkan reaksi. Reaksi atau akibat ialah sebab

untuk keadaan dan perbezaan yang kita alami di dalam dunia.

Agama Buddha mengajar bahawa semua orang mengalami banyak

kederitaan (dukkha) yang berasal terutamanya daripada perbuatan-

perbuatan negatif dahulu, atau hanya kerana kita masih di dalam samsara,

iaitu kitaran kelahiran dan kematian. Lagi satu alasan untuk kederitaan yang

dialami manusia ialah ketakkekalan dan ilusi (maya). Oleh sebab setiap

benda atau perkara sentiasa dalam keadaan ketakkekalan atau fluks,

manusia mengalami ketakpuasan hati terhadap peristiwa-peristiwa yang tak

tetap dan cepat berlalu dalam kehidupan. Untuk melepaskan diri daripada

samsara, seseorang hanya harus menyedari sifat benarnya melalui makrifat

detik kini; ini ialah Nirwana.

Bagi penganut-penganut agama Buddha, ajaran pertama ialah untuk

menahan diri daripada tidak memusnahkan nyawa, termasuk nyawa sendiri.

Bunuh diri dianggap sebagai suatu bentuk tindakan yang negatif. Walaupun

pandangan demikian, suatu ideologi kuno Asia yang serupa dengan seppuku

(hara-kiri) terus mempengaruhi penganut-penganut agama Buddha yang

tertindas supaya memilih bunuh diri maruah.

Page 14: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

11

6. Hinduisme

Dalam Hinduisme, membunuh diri dianggap sebagai sama sahaja

dosanya dengan membunuh orang lain. Kitab-kitab umumnya mengatakan

bahwa kematian melalui bunuh diri (dan sebarang kematian ganas)

mengakibatkan seseorang menjadi hantu. Bagaimanapun, agama Hindu

menganggap bahawa membunuh diri melalui puasa di bawah berbagai-bagai

keadaan yang tertentu dapat diterima. Amalan ini yang dikenali sebagai

Sallekhana memerlukan terlalu banyak masa dan daya fikiran sehingga

tindakan tersebut tidak lagi merupakan suatu tindakan mengikut gerak hati.

Amalan tersebut juga memberikan masa untuk seseorang menyelesaikan

semua urusan duniawinya, berfikir-fikir tentang kehidupan, serta mendekati

diri dengan Tuhan.

7. Islam

Islam, serupa dengan agama-agama Nabi Ibrahim yang lain,

memperlihatkan bunuh diri sebagai suatu dosa yang amat menjejaskan

perjalanan rohaniah seseorang. Bagi mereka yang dahulu percaya, tetapi

akhirnya menolak kepercayaan mereka kepada Allah, hakikatnya kelihatan

jelas negatif.

Sepatah ayat dalam bab keempat Al-Quran, An-Nisaa berkata: "Dan

janganlah kamu bunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu." (4:29) Larangan terhadap bunuh diri juga dicatat dalam

kenyataan-kenyataan hadis yang tulen. Umpamanya, "Orang yang mencekik

dirinya sendiri hingga mati akan mencekiknya juga dalam neraka, dan orang

yang menikam dirinya juga akan menikam dirinya di dalam neraka dan orang

yang melemparkan dirinya dari tempat tinggi untuk membunuh diri, maka

akan selalu dia melemparkan dirinya di dalam neraka

Page 15: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

12

BAB III

EUTHANASIA

A. Euthanasia

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan

kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,

terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi

secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi

sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu

pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20

SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis

Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa

euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19

terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan

pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan

dokter.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti,

yaitu:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,

buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan

memberikan obat penenang.

Page 16: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

13

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

B. Dari Pengertian Pengertian di Atas Maka Euthanasia Mengandung Unsur

Unsur Sebagai Berikut:

1. Berbuat sesuatu atau tidfak berbuat sesuatu.

2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang

hidup pasien

3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.

5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Dari berbagai penggolongan euthanasia, yang paling praktis dan mudah

dimengerti adalah:

a. Euthanasia pasif, di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau

melanjutkan bantuan medik.

b. Euthanasia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana

dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup

pasien.

C. Beberapa Aspek Euthanasia

1. Aspek Hukum

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari

dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan

dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja

menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter

selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa

melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli

apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan

sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui

Page 17: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

14

pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi

seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan

bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita

tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang

terdapat dalam KUHP Pidana.

2. Aspek Hak Asasi

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan

sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang

untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak

asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang

cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya

dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak

langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai

untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas

lagi dari segala penderitaan yang hebat.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan

keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau

pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir

tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun

pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan

haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang

dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu

kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,

keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada

seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau

memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama

Page 18: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

15

secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter

bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan

yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,

walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam

keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak

berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada

seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan

tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan

pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan

memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis

bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan

berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di

tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang

berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai

upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya

medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan.

Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal

hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang

ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung

pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang

cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk

menopangnya.

D. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmuwan dan Praktisi Ilmu

Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin

mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial

maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk

mendapatkan ilmu.

Page 19: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

16

Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus

berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya

kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak

termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas terasa pada

ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan kebutuhan

manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat dengan

kebutuhan “primer” manusia.

Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan

dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam

kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning merupakan

isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena menyangkut secara

langsung kehidupannya. Ketika ditemukan teknologi operasi plastik untuk

merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi sejenisnya, perdebatan

diantara pihak yang pro maupun kontra nampak nyata terletak pada perdebatan

dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini

menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu

sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan

tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung

kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat

dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis,

tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masing-masing memiliki

standar/ukuran kebenaran.

Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam pengembangan

ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai

dengan standarnya sendiri. Selanjutnya dalam rangka situasi sosial yang ada

maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya bersifat relatif.

Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat

didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti

masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu

Page 20: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

17

bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat

dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada

jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.

Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu,

dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti

ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut

secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya. Pertanyaannya adalah etika

yang mana yang harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila

beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus

digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu

tersebut.

Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih

efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai manusia,

bahkan dapat secara nyata menghancurkan kehidupan. Kekecewaan Einstein

terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam kasus Hiroshima ; kemajuan

teknologi industri di satu pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan

contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif.

Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat

mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam

anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya.

Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai.

Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya

menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap tindakan

dokter dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam

penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter

yang bersangkutan.

Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan

berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi

kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat

Page 21: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

18

berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula euthanasia dapat hadir

diantara manfaat dan bencana

Page 22: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

19

BAB IV

P E N U T U P

Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan

legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada

beragam jenisnya.

Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh

publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan.

Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu

yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang

definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Bunuh diri dan euthanasia

memungkinkan hal tersebut terjadi.

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara

tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan

untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.

Ada empat metode euthanasia:

Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar

menginginkan kematian.

Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk

menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai

contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman

untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).

Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat

ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat

terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.

Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk

euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan

wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan,

namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat

Page 23: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

20

dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas

pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr.

Jack Kevorkian.

Kesimpulan:

1. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi

manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.

2. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.

3. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.

4. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi

belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran

pada aspek lainnya.

Page 24: Fiqih - Bunuh Diri & Euthanasia

21

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kapanlagi.com

http://id.wikipedia.org

http://www.sinarharapan.co.id

http://ms.wikipedia.org

http://netsains.com

http://id.wikipedia.org

http://tumoutou.net