BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit. 1 Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia. 2 Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat 1 Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, Dan Operasi Kelamin dalam tinjauan Medis, hukum, dan Agama Islam, cet, ke.1 (Yogyakarta: Aditya Media,1993), hlm.28. 2 Thomas A Shannon, Pengantar Bioetika, terj, K. Bartens, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 7 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi
manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-
alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.1
Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus
disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia.2 Di
antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya
perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di
bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan
rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut,
diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan.
Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan
kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup
seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan
memasang sebuah “ respirator “. Bahkan perhitungan saat kematian penderita
penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu
pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:1 Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia,
Transplantasi Ginjal, Dan Operasi Kelamin dalam tinjauan Medis, hukum, dan Agama Islam, cet, ke.1 (Yogyakarta: Aditya Media,1993), hlm.28.
2 Thomas A Shannon, Pengantar Bioetika, terj, K. Bartens, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 7
1
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.3
Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian
dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa
didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi
karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya,
karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja
oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa
memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam
pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit.
Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan),
menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan
yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan
yuang tidak baik.4
Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema,
apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas
permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk
menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu
3 Djoko Prakoso dan Djaman Andi nirwanto, Euthanasia hak asasi manusia dan hukum pidana, cet. ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 9-10
sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi
konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak
permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat
berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter
telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter
yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.
Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan
antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada
berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam
keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan
oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang
berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang
diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan
expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.5
Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia),
seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila
batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau
matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti
pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap
penderita.6
5 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm. 59
6 Akh. Fauzi Aseri, "Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam," dalam Chuzaimah T. Yanggo dan HA. Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.66
3
Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar
masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat
menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi
baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan,
bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar
masyarakat Indonesia adalah takdir.
Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu
membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu
hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara
alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.
Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh
diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia),
akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah
(selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.7
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia,
hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of
selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas
mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.8
Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada
suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan
dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai
7 Wila Chanrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.102
8 Ibid., hlm.103.
4
jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan
nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh
anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.
Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah
SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan
hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA.
Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk
apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya
euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan
pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur'an:
9 0رحيما بكم كان الله ان أنفسكم تقتلوا ال
ذالكم بالحق اال الله حرم التى النفس تقتلوا وال10 0تعقلون لعلكم به وصاكم
االرض في فساد أو نفس بغير نفسا قتل من11 0جميعا الناس قتل فكانما
ان يحييكم ثم يميتكم ثم أحياكم الذي وهو12 لكفور االنسان
Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan
(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari
tiga sebab:
9An-Nisa (4): 29 10Al-An'am.(6): 151
11 Al-Maidah (5): 32
12 Al-Hajj (22): 66
5
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh
empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah
Islam.13
Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan
euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.
Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur
kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam
unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga
sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan
euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur
perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan
yang disengaja dan direncanakan
Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu
penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan
unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau
keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.
Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang
lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang
merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak
pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan
13 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1971), XI:43. Riwayat Ibnu Masud.
6
secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak
keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.
Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan
kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada
umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam)
khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti
masalah Euthanasia ini dalam Prespektif Fiqh Jinayah.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok
masalah sebagai berikut:
Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah
euthanasia.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam
menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang
berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.
D. Telaah Pustaka
7
Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika
dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli
medis, psikolog.
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia,
diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, karya
Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia
dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia
merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi
manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati.
Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi
Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian
baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-
orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas
dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan
dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter
melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344
karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena
menolong orang bunuh diri.
Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya
Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan
Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati
Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, cet.ke-1, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001)
F. Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, (Bandung:
Nova, t.t)
8
seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari
prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga
bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP.
Dalam Skripsi yang berjudul "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia
yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", hasil karya Imawan Mukhlas
Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam
tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan
cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap
pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra
menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain
punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati.
Dalam skripsi yang berjudul "Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi",
karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap
Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan
kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga
terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan
berbagai agama.
Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya
mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan
Djoko Prakoso dan Djaman Andi NIrwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah, 1984)
Imawan Mukhlas Abadi, "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (1999)
Anna Iffah Akmala, "Euthanasia Dalam Prespektif Etika Situasi", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (2002).
9
penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi
medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti
lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti
permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan
euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara
suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas
apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi,
sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah.
Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari
segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif
dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian
Etika.
E. Kerangka Teoretik
Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan
hebat menjelang kematiannya.14
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau
bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan
suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat
proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang
hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit
untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri,
demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.15
Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia
pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat
kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat
memperpanjang kehidupannya.16
Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan
tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau
suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan
euthanasia pasif berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai
perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya
dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara
alamiah.17
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara
sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk
mengakhiri hidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua
golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan
15 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia. hlm.28
16 Abdul Jamali, dkk, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter dalam Menangani Pasien (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hlm.132.
17 Thomas A Shanon. terj. K Bartens. pengantar bio etika, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 69-71.
11
lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien
sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien
diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau
tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya,
melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan
mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan
diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.18
Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek
kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu
dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak
berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal)
ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan
oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif
(taisir maut al-munfa'il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.19
Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien
sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan
keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam
masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas
18 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.3119 Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), II:749-
750.
12
permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai
pihak pengeksekusi euthanasia.
Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar
tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang
tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh
alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat,
pengakuan dan isyarat-isyarat.20
Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan manusia secara
menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah
hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan
pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya
euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah
memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)21
20 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm.71-72
21 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.3.
13
Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif bisa dikenai
sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan
klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana
pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena
disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk
pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:
1. Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al khata').
2. Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.
3. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba'i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata').
4. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).22
Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas
artinya yaitu sebagai berikut:
1. pembunuhan sengaja (qatl al-'amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan
terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi,
matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.
2. pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-'amd), yaitu perbuatan penganiayaan
terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi
22 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.9. Lihat juga Abd al-Qadir 'Awdah, at-Tasyri' al-Jina'I al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'I, (Bayrut: Muassasat ar-Risalat, 1992), II: 7-9.
14
mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam
objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si
korban.
3. pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata'), yaitu kesalahan dalam berbuat
sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja,
perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama
sekali tidak diniati.23
4. pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata'), pelaku sama sekali
tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar
kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
5. pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat
sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang
lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang
lain.24
Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya
euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan
orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah
ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi
dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh
termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.
23 Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung, CV Pustaka Setia, 2000), cet ke-1 desember 2000, hal 117. Lihat juga A. Djajuli, Fiqh JInayat (upaya menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. ke-2, (Jakarrta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 123
24 Jaih Mubarok, kaidah fiqh jinayah. hlm.17.
15
Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang
demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang
lain..
Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini
biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita
yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya
harapan untuk sembuh.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia25,
lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi
mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak
menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah
titipan yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi
memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.26
Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena
memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan
syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi
manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali
tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah
sendiri.27
F. Hipotesis25 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), hlm.161.
26 Yusuf Qardawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, cet.ke-1, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hlm. 379.
27 Akh. Fuzi Aseri, Euthanasia…, hlm.69.
16
Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan
dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita
pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan
medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya
melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu
(neurasthenia).
Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang
mudah, dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah
euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan
masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah
dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas
sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya
Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan
meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang
menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang.
Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya,
yaitu Allah SWT.
G. Metode Penelitian
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)
2.Sifat penelitian
17
Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia
sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang
disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat
dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam),
dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para
mujtahid
3.Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah pendekatan
normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap
permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam
lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).
4.Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan
penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian
yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka
pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun
melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik
primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan data yang diperlukan.
5. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir
deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk
euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam
18
perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa
yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.
H. Sistematika Pembahasan
Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis
membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan
dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.
Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar
belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan
penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan
umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian
euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia,
yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan
dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan
Hukum Pidana Positif (KUHP).
Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap
Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat,
tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan
dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.
19
Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh
Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi
pelaku euthanasia.
Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan
saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab
sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang
telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran
diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah
euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan
cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga
dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).28
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk
mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan.
Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi,
sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai
moral, etika dan agama.
28 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 64.
20
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan.
Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari
berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan
yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan
objektif.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan
dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi
kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang
yang bersangkutan menghendakinya.29
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
29 J. Chr Purwa Widyana, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quintum, (Antropologi Teologis II, 1974), hlm.25
21
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti
kata-katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno
berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi
memakai arti asli, melainkan lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang
meringankan orang sakit atau orang yang berada pada sakarotul maut, bahkan
kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya
kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan artinya adalah
mematikan karena belas kasihan.30
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang
menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia
ini mencakup tiga kategori, yaitu:31
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari
penderitaan dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang
menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup
diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
30 Piet Go O. Carm, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, (Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989), hlm. 5-6
31 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam prespektif hak asasi manusia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm.26-27.
22
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup
yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk
menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis
apapun istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:32
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis,
hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang
pasien.
2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk
memperpanjang hidup pasien
3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas
permintaan atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan
dalam tiga arti:33
1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberinya obat penenang.
32 Ibid., hlm.27.
33 Oemar Seno Adji, Etika profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter. (Jakarta: Erlangga.1991). hlm.176
23
3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
euthanasia adalah sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
B. Macam-macam Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari
mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu
euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter34
34 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Jakarta: Widya Medika,1997), hlm.66-67.
24
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:35
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang
segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,
tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup
pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,
sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan
dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan sendiri.
35 Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.31.
25
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien
dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai
macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans
magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka
menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya,
yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua
usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian
dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.
Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,
hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.36
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
36 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.67-68
26
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga
(misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.37
C. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia
Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya
kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan
yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga
pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui
respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan
artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan
tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi,
bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment).
Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan
ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan
jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak
lama.38
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu
dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang
mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan
pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat
37 Ibid., hlm.30.38 J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & biolaw, (Jakarta: FK UI, 2000), hlm. 40
27
pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami
henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih
ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum
meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu
bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang
jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut
kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan
fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila
otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat
tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja
yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal
istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi
lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk
segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang
menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja
melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua,
apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi
hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah
dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa
28
pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu
adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).39
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di
hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai
kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai
berikut:
1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat
dialami pasien.
2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan
berlangsung tiada henti-hentinya.
3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-
kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara
pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan
pilihannya.
4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita
tanpa alasan.
6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang
dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan
dipakai.
39 H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?" Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, (Yogyakarta: FKMPY, 1990), hlm.3-4
29
8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu
perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin
sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan
dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.40
D. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam
ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun
radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan
sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai
basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur
masyarakat.
Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara
lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan
sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat
dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat
dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah
Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi
pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya
perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat
manusia itu sendiri.41
40 F. Tengker, Mengapa euthanasia? Kemampuan medis & konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t), hlm. 95.
41 Imron Halimi, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang modern, (Solo: CV. Ramadhani, 1990), hlm. 129.
30
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari
penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak
mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana,
menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan
sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang
fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik,
perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan
perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi
manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l
Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt
(1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).42
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia
mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
42 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah. 1984), hlm.32-33.
31
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak
kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak
untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak
untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die.
"The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya
berkaitan pula dengan masalah euthanasia.43
Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan
dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh
perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak
untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia,
maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai
bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi
Hukum Se-Dunia di Manila.44
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati"
sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara
jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai
undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak
43 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 137
44 Imron Halimi, Euthanasia, hlm. 141
32
bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi
penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya
dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.45
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan
diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada
dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya,
ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang
tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya
tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui
adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk
melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di
atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil
liability".46
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi
manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan
bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat
tertentu. Oleh sebab itu masalah "hak untuk mati" yang dihadapkan sebagai suatu
kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis,
kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara
E. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
1. Konsep tentang Mati
45 Ibid.
46 Ibid., hlm. 42
33
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu
difahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan
pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-
mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila
jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang sudah dinyatakan mati dan
tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, dalam perawatan
intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang sudah
berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar
kembali kembang kempis.47Bila demikian, apa yang dimaksud dengan "mati"?.
Penting bagi para dokter untuk memperjelas arti mati, maka dari itu perlu
dijelaskan arti "mati".
Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati:
a. Berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang
memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dari hal ini dinyatakan bahwa mati
adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.48 Karena nafas dan darah bahan
yang menandakan kehidupan, maka bila tidak terjadi lagi pernafasan dan
peredaran darah, itu berarti bahwa kematian sudah menjadi kenyataan.49
b. Pemisahan tubuh dan jiwa
47 Amri Amir. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, cet. ke-1, (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.68
48 Ibid., hlm.69
49 Thomas A. Shanon. Terj. K. Bartens; Pengantar Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.58.
34
Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk. Jiwa
atau bentuk menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah makhluk yang unik
yang disebut manusia. Kematian berlangsung, jika dua unsur ini dipisahkan.
Kematian berarti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa.50
c. Kematian otak
Kriteria ini adalah: tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada
reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak sepontan atau pernafasan, tidak ada
refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).51
Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah:52
1). Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi (unreceptive and unresponsive)
terhadap stimulus (sentuhan, rangsangan) dari luar, termasuk stimulus
yang sangat menyakitkan.
2). Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernafasan spontan, paling sedikit
selama satu jam.
3). Tidak ada refleks, dan Elektroensefalogram (EEG)-nya datar.
Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neo cortex) berarti kematian
manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan
integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
2. Hak-Hak Pasien
50 Ibid., hlm.58-59
51 Electroencephalogram (EEG) adalah: pencatatan terhadap keaktivan otak. Dan juga erat kaitannya dengan Electrokardiogram; pencatat gerakan jantung dari gelombang listrik, dan kedua jenis ini terdapat pada alat oscillograf (alat catat getaran gelombang).
52 Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.1992) hlm.11
35
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan
pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan
banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan
atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib
sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap
pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan
nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang
cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.53
"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang
mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan
dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak
untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk
mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar
pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga
kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.54
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien
mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan
informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:55
53 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan. (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.71.
54 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: CV. Mandar Maju 2001), hlm.12.
55 Thomas A. Shanon. Terj K. Bartens . Pengantar Bioetika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.147-148.
36
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang
tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat
menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan
syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai
kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga
terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia.
Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri
sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas
dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk
menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter,
setelah dokter memberikan informasi.56
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu
pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak
bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak
pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien
dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
56 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.18.
37
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis
dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika
konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari
bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara
dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan
seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas
inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.57
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain
kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk
melaksanakan hak otonominya.
3. Pandangan Kode Etik Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama
manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan
yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu
menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap
terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan,
harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan.
57 Ibid., hlm. 20.
38
Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-
besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal
tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara
mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut
didasarkan pada sumpah Hippocrates.58 Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai
berikut:59
Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidakberdaya lagi. Dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya…….
Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter
tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau
tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya
dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan
berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien
telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak
tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati
penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau
58 Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm. 79.
59 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 83-84.
39
perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi
untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan
masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani."60
Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap
si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya
dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu
kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang
membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang
selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan
hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan
pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk
menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus
berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti
doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu
kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
60 Ratna Suprapti Samil (ed.), Kode Etik Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Metro Kencana. 1980), hlm.35.
40
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan
euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t
play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang
menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan
kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).61
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada
pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif.
Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima
euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka
lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu
mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan
kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi,
perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-
ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak
diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan
sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.62
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan
pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan.
Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter
untuk ikut membantu meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari
61 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.86
62 Ibid.
41
tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
5. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal
yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-
satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang
membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai
dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.63
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang
menyinggung masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal
yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:64
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig),
jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa,65 dan haruslah mendapatkan
63 Imron Halimi, Euthanasia, hlm.149-150.
64 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm.243
65 Ibid.
42
perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang
melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini
tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah
melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas
(unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan
adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.66
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya,
maka agar lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih
terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:67
a.Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara
sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek
(mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP
2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien
Pasal. 340 KUHP
3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien
Pasal. 340, 338, KUHP
4) Euthanasia tidak langsung
66Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm.71.
67 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.54-71
43
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya
tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk
meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa
dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup sipasien diperpendek.
Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung terbagi kedalam
tiga kelompok, yaitu:
a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien
Pasal. 344, 359
b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien
Pasal. 340, 359
c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien
Pasal. 304, 359
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya
secara sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat
memperpanjang hidupnya. Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien
44
Pasal. 304 jo 306 (2)
Maka agar dapat mengetahui hukuman atas tindakan tersebut perlu
disebutkan pasal-pasalnya, pasal-pasal tersebut adalah:68
Pasal. 304 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:
"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Pasal. 338 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas
tahun."
Pasal. 344 KUHP:
"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun."
Pasal. 359 KUHP:
"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun."
68 R. Soesilo, KItab undang-undang. hlm.223-248
45
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa
manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap
bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap
perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu
kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama,
ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia
Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah
euthanasia ini.
46
BAB III
PRINSIP-PRINSIP FIQH JINAYAH
A. Pengertian Fiqh Jinayah
Salah satu kesempurnaan syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang
berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja,
melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-
Qur'an maupun as-Sunah terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan
di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Hal ini terlihat, diantaranya dari aturan-
aturan yang berkenaan dengan jarimah az-zina (perzinaan), al-qadžaf (tuduhan zina),
keras), al-bughat (pemberontakan), ar-riddah (keluar dari Islam atau murtad), al-
jarah (penganiayaan atau pelukaan), dan al-qatl (pembunuhan). Aturan-aturan
tersebut dikelompokan oleh para ulama dalam bab fiqh dengan nama al-hudud, ad-
dima, al-qisas dan al-jarah.69
Istilah yang umum bagi aturan tersebut adalah al-jinayat yang sering kali
diartikan dengan Hukum Pidana Islam. Kata al-Jinayat memiliki makna sempit dan
makna luas. Makna sempit al-Jinayat sejajar dengan makna al-qisas, ad-dima atau
al-jarah, yaitu setiap perbuatan yang dilarang (haram) berkenaan dengan
penganiayaan terhadap tubuh dan penghilangan jiwa manusia. Sedangkan makna al-
jinayat secara luas sejajar dengan al-jarimat, yaitu setiap perbuatan yang dilarang,
69Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (asas-asas hukum pidana Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004) hlm.1.
47
baik berkenaan dengan tubuh, jiwa, maupun dengan hal-hal lainnya seperti
kehormatan, harta, keturunan, akal, dan agama.70
Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu
harus dipahami, Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah.
Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu,
istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya
bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan
kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan
difahami agar penggunaannya tidak keliru.
Jinayah, pada dasarnya kata jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah
atau jahat. Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang
diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara' (Hukum Islam).
Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan
agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.71
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami menjelaskan
arti kata jinayah sebagai berikut:
70 Abd al-Qadir 'Awdah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wadh'i, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1992), II:.4.
71 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2001) hlm.12
48
اكتسب ما شر من المرء يجنيه لما اسم لغة الجناية
الفعل وقع سواء شرعا محرم لفعل اسم واصطالحا
72 ذالك غير او مال او نفس على
Kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi
pengertian jarimah secara harfiyah sama halnya dengan pengertian jinayah. Adapun
pengertian jarimah segala tindakan yang diharamkan syari'at. Allah ta'ala mencegah
terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukum syar'i), atau ta'zir
(sanksi disiplin) kepada pelakunya.73
Jarimah bisa dipakai sebagai perbuatan dosa –bentuk, macam, atau sifat dari
perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau
perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan
istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan sifat perbuatan tadi.
Seperti jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan dan lain-lain.74
Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum
(luas), yaitu ditujukan bagi sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan
manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu,
pembahasan fiqh yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang
72 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', II: 4
73 Imam al-Mawardi, al-Ahkam as Sultaniyah (Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, terj. Fadhli Bakri, (Jakarta: Darul Falah. 2000), hlm. 358.
74 Rahmat Hakim, Hukum, hlm.15
49
dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku tersebut disebut
Fiqh jinayah bukan Fiqh jarimah.75
Secara umum, ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan perbuatan
jarimah, yaitu unsur formal (ar-rukn asy-syar'i), unsur material (ar-rukn al-madi),
dan unsur moral (ar-rukn al-adabi). Unsur formal adalah adanya nas yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman hukuman atas perbuatan-
perbuatan tersebut. Unsur material adalah adanya perbuatan pidana, baik melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Unsur
moral adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut terkena taklif atau
orang yang telah mukallaf.76
Dilihat dari sanksi yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara', jarimah dapat
dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah yang hukumannya
telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara'. Ia menjadi hak Tuhan;
hakim tidak mempunyai kewenangan untuk mempertinggi atau memperendah
hukuman bila si pelaku telah terbukti melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang
termasuk jarimah hudud adalah jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras,
mencuri, merampok, keluar dari Islam dan memberontak.
Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh
syara', namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal pengampunan. Pada
jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada ad-diyat (denda) atau bahkan bebas
dari hukuman, apabila korban atau wali korban memaafkan pelaku. Perbuatan yang
75 Ibid.
76 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', hlm. 110-111.
50
termasuk dalam jarimah qisas adalah pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan
terbagi kepada tiga, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan.
Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua, yaitu pelukaan sengaja dan kekeliruan.77
Ketiga, jarimah ta'zir78 yaitu jarimah yang hukumannya tidak ditetapkan baik
bentuk maupun jumlahnya oleh syara', melainkan diberikan kepada negara
kewenangannya untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Para fuqaha mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditemukan dalam al-
Qur'an dan al-Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan
hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan
mencegahnya supaya tidak mengulangi kejahatan serupa.79
B. Jarimah Qisas-Diyat
1. Qisas
Kata qisas kadang-kadang dalam hadis disebut dengan kata qawad.
Maksudnya adalah semisal, seumpama (al-Mumasilah). Adapun maksud yang
77 Para ulama berbeda pendapat dalam membagi jarimah qisas. Ulama Malikiyah membaginya menjadi dua, yaitu: pembunuhan sengaja dan kekeliruan. Jumhur membaginya menjadi tiga dengan menambahkan pembunuhan semi sengaja. Sebagian Hanafiyah membaginya menjadi empat, dengan menambahkan pembunuhan serupa kekeliruan. Sebagian Hanafiyah lainnya membaginya menjadi lima dengan menambahkan pembunuhan secara tidak langsung. Lihat abd al-qadir 'awdah, at-Tasyri', II: 7-9.
78Ta'zir berasal dari 'azzara, yang menurut bahasa berarti mencela, sedang menurut istilah berarti peraturan larangan yang perbuatan-perbutan pidananya dan ancaman hukumannya tidak secara tegas-tegas disebutkan dalam al-Qur'an, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim/penguasa, lihat. Anwar Harjono, Hukum Islam keluasan dan keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm.159
79 A. Djazuli. Fiqh jinayah. (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam).(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.161.
51
dikehendaki syara' adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak
pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam
ungkapan lain adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang
dia lakukan. Dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau
menghilangkan anggota badan orang lain. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas
sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan
sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.80
Qisas diakui keberadaannya dalam al-Qur'an, as-Sunnah, demikian pula akal
memandang bahwa disyariatkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.
Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an:81
.لبابألا اولى يا حياة القصاص فى لكم و
Qisas adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek sasaran
jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh,
melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk
jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.82
Sanksi pokok dalam pembunuhan sengaja yang telah di-naskan dalam al-
Quran dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas
(tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua pihak. Ulama
80 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, hlm.125.
81 Al-Baqarah (2): 179
82 Rahmat Hakim. Hukum pidana Islam. hlm. 125
52
Syafi'iyyah menambahkan bahwa disamping qisas pelaku pembunuhan juga wajib
membayar kaffarah.83
Ulama berbeda pendapat tentang sanksi bagi pembunuhan sengaja yang
berupa kaffarah, menurut jumhur ulama bahwa kaffarah dalam pembunuhan sengaja
tidak wajib karena kaffarah adalah ketentuan syariah untuk beribadah, maka
tempatnya juga terbatas yaitu hanya pada pembunuhan karena kesalahan. Sedangkan
pembunuhan sengaja adalah neraka jahannam. Di dalam al-Quran sendiri tidak
mewajibkan kaffarah, seandainya bagi pelaku pembunuhan sengaja wajib membayar
kaffarah, pasti al-Quran menjelaskan secara detail.84
Ada beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakannya qisas
yaitu:85
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Syarat-syarat bagi pembunuh ada tiga yaitu:
1). Pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah qisas
apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya
tidak dikenai taklif.86 Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena
mereka tidak punya niat/maksud yang sah.
2). Pembunuh menyengaja perbuatannya, dalam al-Hadis disebutkan:87
83 Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991) VI:261
84 Ibid., hlm.296
85 Wahbah az-Zuhaili. al fiqh, VI: 297
86 Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, al-Muhazzab, (Semarang: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.), II:173
87Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, kitab ad-Diyah, Bab Man Qatala fi 'immiya baina qaumain (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), IV: 183. hadis nomor; 4539, riwayat sufyan dari amr dan tawus
53
قود فهو عمدا قتل من
3). Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika
membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas,
tetapi menurut jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh/korban
Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban) ada tiga, yaitu:
1). Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun yang dipandang
tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan,
penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmi
membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.
2). Korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak),
tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya
sampai derajat kebawah berdasarkan pada hadis:
88 ألابيك ومالك أنت
89 بالولد الوالد يقاد ال
3). Korban sama derajatnya dengan membunuh dalam Islam dan
kemerdekaannya, statemen ini dikemukakan oleh jumhur (selain
88Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab at-Tijaroh. Bab ma li ar rajul min ma li waladih, (Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.), II: 769. hadis nomor: 2291. riwayat jabir ibn Abdullah.
89Al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqalani, Bulug al-Maram, Kitab al-Jinayah. (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.), hlm.245. hadis nomor 1191, (riwayat at-Tirmidzi dan ibn Majah).
54
Hanafiyah). Dengan ketentuan ini maka tidak diqisas seorang Islam yang
membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.90
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan persamaan dalam kemerdekaan dan
agamanya, tapi cukup persamaan dalam kemanusiaannya, mereka berargumen
dengan keumuman ayat qisas yang tidak mendiskriminasikan antara satu dengan
yang lainnya. Allah berfirman:
91 القتلى في القصاص عليكم كتب أمنوا الذين أيها يا
92 بالنفس النفس ان فيها عليهم كتبنا و
Menurut Hanafiyah, ayat di atas menunjukkan bahwa dalam qisas tidak
harus ada kesetaraan. Sebab, kalimat jiwa dibalas dengan jiwa" menunjukan bahwa
dasar qisas itu adalah hilangnya jiwa atau nyawa sehingga tidak ada perbedaan antara
orang merdeka dengan hamba atau muslim dengan kafir. Adapun hadis nabi yang
menyatakan bahwa "muslim tidak diqisas karena membunuh kafir", kafir yang
dimaksud adalah kafir harbi, bukan kafir zimmi atau musta'min.93 Hal ini dikuatkan
oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah melaksanakan qisas terhadap
muslim yang membunuh Yahudi, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut:
90 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh jinayah. hlm165.
91 Al-Baqarah.(2): 178.
92 Al-Maidah (5): 45
93 Jaih Mubarok, Kaidah fiqh jinayah. Hlm. 167.
55
قتل مسلما أقاد وسلم عليه الله صلي النبي أن
أحق أنا وقال بذمي مسلما أقاد الرمادي وقال يهوديا
94بذمته وفي من
Sedangkan ayat yang dijadikan landasan oleh jumhur yang menyatakan
bahwa "orang merdeka dengan orang merdeka"; "hamba dengan hamba"; dan wanita
dengan wanita"; tidak menunjukkan adanya kafaah. Ayat tersebut menjelaskan
bahwa orang yang harus diqisas adalah pembunuhnya, meskipun kedudukannya lebih
rendah. Kalimat "orang merdeka dengan orang merdeka"; "hamba dengan hamba";
dan "wanita dengan wanita"; hanya sekedar mencontohkan pelaku dan korbannya
dengan tidak menafikan kebalikannya. Sebab ayat tersebut dimaksudkan untuk
menjawab kebiasaan jahiliyah yang menerapkan qisas secara berlebihan.
Pada masa jahiliyah, wali korban dari suatu kabilah (terutama kabilah yang
kuat) meminta balasan yang lebih dari seharusnya. Misalnya, korban yang terbunuh
dari suatu kabilah adalah laki-laki merdeka, sedangkan pembunuhnya (dari kabilah
lain) adalah seorang wanita. Wali korban beserta kabilahnya meminta balasannya
tidak sekedar wanita yang membunuh tetapi ditambah dengan laki-laki merdeka.
94Ali bin 'Amr Abu al-Husayn al-Daruqutni al-Bagdadi, Sunan ad-Daruqutni, Kitab al-Hudud wa ad-Diyyat wa Gairuh, (Bayrut: Alam al-Kutb, 1982), III: 135.
56
Permintaan ini seringkali menimbulkan konflik (bahkan sampai terjadi peperangan)
antar kabilah jika tidak dipenuhi.95
Adapun berkenaan dengan laki-laki muslim dengan perempuan muslim, para
fuqaha sepakat bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan. Kedudukan mereka
setara dalam hal qisas. Tidak ada perbedaan antara tua dengan muda atau sehat
dengan sakit. Hal ini didasarkan atas keumuman ayat yang menyatakan bahwa "jiwa
dibalas denga jiwa" dan sabda Nabi saw berikut:
96 دماؤهم أتتكاف المسلمون
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishas, tindak pidana
pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung bukan bukan
karena sebab tertentu, jika tidak langsung, maka hanya dikenai membayar
diyat.
Sedangkan jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan itu langsung
atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qishas karena keduanya berakibat
sama.97
d. Syarat-syarat bagi wali korban
95 Jaih mubarok, kaidah fiqh jinayah. hlm. 167-168.Lihat Muhammad 'abd al-Hamid Abu Zayd, al-Qisas wa al-Hayat: Dirasah Muqaranah bain asy-Syari'ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Wad'i, (Dar al-Nahdah al-Arabi, 1986), h. 93-94.
96 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab aj-Jihad, Bab fi as-Sariyyah, riwayat Kutaibah bin Sa'id dari ibn Ishaq dan Yahya bin Sa'id. III: 80.
97 Abddul Qadir Audah, at-Tasyri', II: 132.
57
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah
orang yang diketahui identitasnya, jika tidak, maka tidak wajib diqisas,
karena tujuan dari diwajibkanya qisas adalah pengokohan dari pemenuhan
hak. Sedangkan pembunuhan dari orang yang tidak diketahui identitasnya
akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaanya.
Berpijak pada keterangan tentang syarat-syarat qishas ada beberapa hal yang
menghalangi dilaksanakannya qisas. Ini terjadi karena adanya kemungkinan
masuknya unsur syubhat sehingga qisas tidak bisa dilaksanakan, yaitu ada enam hal:
1) Keberadaan pembunuh sebagai orang tua korban
Menurut para Fuqaha Mazhab, keberadaan pembunuh sebagai orang tua si
terbunuh menghalangi dilaksanakannya qisas, tetapi Ulama Malikiyah
memberi batasan, hal ini selama tidak ada maksud membunuh yang dapat
dibuktikan dengan qat'i. Jika ternyata ada maksud membunuh, maka orang
tua korban juga harus diqisas. Adapun hubungan suami isteri tidak menjadi
halangan dilakukannya qisas.
2) Perbedaan derajat antara pelaku dan korban pembunuhan dalam keIslaman
dan kemerdekaannya. Ini menurut jumhur fuqaha kecuali Hanafiyah.
3) Ketidakadilan membunuh sesuai dengan yang telah disepakati, apabila ada
kesepakatan untuk melakukan pembunuhan, tetapi ternyata tidak semua yang
menyepakati ikut hadir dalam pembunuhan, atau ia hanya memberikan
semangat, bantuan, dan tidak melakukan secara langsung, maka menurut
jumhur ulama orang yang tidak melakukan langsung itu hanya dita'zir.
Berbeda dengan pendapat ulama malikiyah yang menyatakan bahwa orang
58
yang hadir atau membantu walaupun tidak melakukan secara langsung,
seperti pengintai atau penjaga pintu, tetap dikenai qisas jika terlibat dalam
kesepakatan kejahatan itu. Dan tiga syarat lagi menurut Hanafiyah yaitu:
4) Pembunuhan itu terjadi secara tidak langsung (karena satu sebab tertentu)
5) Wali korban majhul (tidak diketahui identitasnya)
6) Pembunuhannya terjadi di Dar al-kuffar98
Qisas wajib dikenakan setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali
korban. Para ulama madzhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku
pembunuhan sengaja adalah qisas. Sesuai dengan ayat:
القتلى في القصاص عليكم كتب أمنوا الذين أيها يا
99 بالعبد العبد و بالحر الحر
100 قود فهو عمدا قتل من
Kedua dalil ini dengan tegas menyatakan bahwa hukum qisas bagi pembunuh
adalah tertentu/pasti. Logika dari statement ini adalah: jika wali korban memaafkan
secara mutlak (tidak menuntut diyat), maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk
membayar diyat, tetapi pembunuh dengan kesadarannya, hendaknya membayar diyat
sebagai kompensasi pemberian maafnya wali. Tetapi tidak berarti wali terbatas dalam
menentukan sikapnya.
98 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh. VI: 274-275.
99 Al-Baqarah, (2). 178
100 Abu Dawud, Sunan. IV: 183
59
Mereka boleh mengqisas/memaafkannya secara mutlak atau memaafkan dari
qisas dengan membebani diyat sebagai penggantinya.
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja
tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu: jika mereka
menghendaki qisas, maka dilaksanakanlah hukum qisas tetapi jika menginginkan
diyat maka wajiblah membayar diyat tanpa menunggu keridlaan pembunuh. Artinya,
jika wali korban mengampuni, wajib bagi pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan adalah hadis rasulullah SAW:
اما و يؤدي ان اما النظرين بخير فهو قتيل له قتل من
101 يقاد ان
Dan firman Allah swt dalam al-Qur'an:
واداء بالمعروف فاتباع شيئ أخيه من له عفي فمن
102 باحسان اليه
Dari ayat ini dapat dipahami, jika terjadi pembunuhan hendaklah pelakunya
diselidiki. Dan jika ternyata wali korban memaafkan secara mutlak, pelaku tetap
berkewajiban membayar diyat. Hal ini karena mereka berpendapat bahwa diyat
adalah salah satu dari kerusakan jiwa, bahkan pengganti dari qisas.
101Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja'fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab ad-Diyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VIII: 38.
102 Al-Baqarah (2) : 178
60
Kemudian dari redaksi ayat tersebut berarti Allah mewajibkan al-Itba' karena
adanya pemberian maaf dari wali. Seandainya Allah mewajibkan qisas saja, tentu
Allah tidak mewajibkan diyat apabila ada ampunan atau maaf wali secara mutlak.
Tuntutan hukuman qisas merupakan hak para wali (keluarga korban), namun
keabsahan keluarga korban untuk melaksanakan ada dibawah wewenang hakim.
Artinya tuntutannya ini harus melalui pengadilan. Karena dalam kaidah dasar syara'
yang telah disepakati disebutkan bahwa pelaksanaan sanksi hudud, qisas, maupun
ta'zir merupakan hak hakim.103
Selanjutnya apabila pelaksanaan qisas akan dilakukan oleh para wali sendiri
(bukan oleh hakim dan algojonya), maka menurut Abu Hanifah, Hanabilah dan qaul
rajihnya asy-Syafi'i yang berhak mengqisas adalah setiap ahli waris yang berhak
mewarisi harta si korban baik zawil furud maupun asabah, laki-laki maupun
perempuan, suami atupun isteri.104
Sedangkan menurut ulama Malikiyah yang berhak mengqisas adalah keluarga
dari pihak ayah yang laki-laki, semua asabah bin nafsi dengan prioritas, keluarga
yang dekat didahulukan dari pada keluarga yang jauh. Perempuan tidak boleh
mengqisas karena qisas itu menghilangkan fitnah, maka dikhususkan kepada asabah
seperti dalam perwalian pernikahan.
Tetapi Malikiyah memberikan kelonggaran, yaitu perempuan boleh bertindak
sebagai pelaksana qisas dengan tiga persyaratan:
103 Sayid Sabiq, fikih sunnah, alih bahasa H.A Ali (Bandung: PT. al-Maarif, 1997), X: 67
104 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', II: 140
61
a. Perempuan itu merupakan ahli waris terbunuh, seperti anak dan
saudara kandung, sehingga bibi dari pihak ayah /ibu tidak boleh.
b. Derajat atau kekuatan ahli waris perempuan tadi lebih kuat
dibanding para asib, misalnya anak perempuan kandung
bersama dengan adanya paman, itu dapat melaksanakan qishas.
Tetapi jika anak perempuan kandung bersama adanya ayah, ia
tidak dapat mengqisas.
c. Perempuan itu dalam derajatnya mempunyai laki-laki yang
asabah, maka dikecualikan saudara perempuan (tidak dapat
mengqisas) karena adanya ibu.105
Jika yang mengqisas masih kecil/gila maka ditunggu sampai
kesempurnaannya dan diserahkan kepada hakim. Dan menurut Malikiyah, tidak usah
menunggu sampai baligh/sadarnya demi kemaslahatan pelaksanaan qisas itu
sendiri.106
Hukuman qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka
gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya.
Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambilkan dari
harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali si terbunuh. Pendapat
ini menurut Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam Syafii.
105 Ibid., hlm. 141.
106 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 280.
62
Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab
hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hal tersebut telah
tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat
dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para
ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat
pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dan wali korban.107
d. Adanya penuntutan qisas.108
e. Adanya kerelaan/ izin korban.109
Dalam hal adanya kerelaan/izin korban, pada dasarnya para fuqaha
sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak
membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus
euthanasia. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang posisi kerelaan
tersebut dengan pemaafan korban atau wali korban yang dapat
menggugurkan qisas atau diyat (bila dimaafkan secara mutlak).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah:
عليه المجني برضا القصاص يسقط
107 Perbedaannya dengan al-Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedangkan al-Afwu terkadang pengampunan qisas secara mutlak.
108 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri', I: 777-778 dan lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 294.
109 Jaih mubaraok, Kaidah fiqh jinayah. Hlm.171
63
Gugurnya qisas disebabkan karena adanya kerelaan atau izin korban
yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman
berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang
dapat menggugurkan hudud.110
Pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi'iyah:
عليه المجني برضا القصاص يسقط ال
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena
kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan
pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan
tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum
dengan qisas.111
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi'iyah:
برضا والدية القصاص عقوبتى يسقط
عليه المجني
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukum
asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih
utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau
yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan
dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang.
Adapun dalil disyariatkannya diyat adalah firman Allah SWT:
دية و مؤمنة رقبة فتحرير أخط مؤمنا قتل ومن
115قوا يصد ان اال اهله الى مسلمة
113 Menurut bahasa, diyat artinya membayar tebusan dengan sejumlah harta benda karena perbuatan: 1. Pembunuhan terhadap jiwa; dan 2. pencederaan badan. Sedangkan definisi menurut syar'i ialah wajibnya membayar sejumlah harta benda yang telah ditentukan syariat karena pembunuhan jiwa atau karena pencederaan badan.
114 Abd Qadir 'Audah, at-Tasyri', II:261
115 An-Nisa (5): 92
65
Walaupun ayat ini dalam konteks pembunuhan bersalah namun para ulama
sepakat akan wajibkan diyat dalam pembunuhan sengaja apabila qisas gugur karena
suatu sebab.
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta tetapi jika sulit
didapatkan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas,
perak, uang, pakaian, dan lain sebagainya, yang kadar nilainya disesuaikan dengan
unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah seratus ekor unta bagi
pemilik unta. Dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ratus ekor domba bagi
pemilik domba, seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk
pemilik perak, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.116
Diyat ada dua macam, yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Adapun
diyat mugalazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja
dan menyerupai sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku
pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang
membunuh anaknya.117
Jumlah diyat mugalazah adalah seratus ekor unta, yang empat puluh di
antaranya sedang mengandung. Sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda:118
116 Sayyid Sabiq, fikih sunnah. X: 93
117 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI. 304.
118 An-Nasa'i, Sunan an-Nasa'i, (Mesir: al-Bab al-Halabi, 1994), VIII: 36 diriwayatkan dari Qasim bin Rabi'ah.
66
و العصا و بالسوط العمد شبه أالخط قتيل نوإ اال
بازل الى شنية اربعون هافي االبل من مائة الحجر
خلفة كلهن عمها
Jadi seratus ekor unta itu bila diperinci adalah:
a. 30 ekor hiqqah (unta berumur 4 tahun)
b. 30 ekor jad'ah (unta berumur 5 tahun)
c. 40 ekor khilfah (unta yang sedang mengandung)
Adapun diyat mukhafafah itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan
kesalahan, hal ini berdasarkan riwayat Ibn Mas'ud, Nabi bersabda:119
جذعة وعشرون حقة عشرون اخماس أالخط دية
لبون بنات وعشرون مخاض بنات وعشرون
لبون بني وعشرون
Jadi ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. 20 ekor bintu ma'khad (unta betina berumur 2 tahun)
b. 20 ekor ibnu ma'khad (unta jantan berumur 2 tahun)
c. 20 ekor binti labun (unta betina berumur 3 tahun)
d. 20 hiqqah, dan
119 Muhammad ibn Ismail ibn Shalah al-Amir al-Kahlani al-Shan'ani, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, "Kitab al-Jinayat", "Bab ad-Diyat", (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), III: 248. hadis no.2, HR. ad-Daruqutni dari Ibn Mas'ud.
67
e. 20 jad'ah
Selanjutnya ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
pembunuhan tersalah dapat dikenai diyat mugalazah apabila:
a. Pembunuhan itu terjadi di tanah haram Mekkah
b. Pembunuhan itu terjadi di bulan haram; zul Qa'dah, zul Hijjah, Muharram dan
Rajab
c. Pembunuhan itu terhadap mahram seperti: ibu dan saudara perempuan.120
Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugalazah yang dikhususkan
pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan
diyat pembunuhan syibhu amd adalah diyat mugalazah yang pembebanannya tidak
hanya pada pelaku, tetapi juga pada 'aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayar
secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Menurut Hanafiyah, baik pembunuhan sengaja, tidak sengaja, maupun
kesalahan, pembayaran diyatnya secara berangsur-angsur selama tiga tahun. Hanya
bagi 'amid (pembunuh sengaja) lebih diperberat dengan kewajiban membayar diyat
mughaladzah dengan hartanya sendiri.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja
harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas, jika
qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan
pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal 'amid pantas
dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya 'amid membayar diyat dengan
120 Wahbah az-Zuhaili. al-Fiqh,VII: 305-306
68
hartanya sendiri bukan dari 'aqilah. Karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya
berlaku bagi 'aqilah.121
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para
pembunuh dengan hartanya sendiri. 'Aqilah tidak menanggungnya karena setiap
manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan
kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:
122 رهين كسب بما امرئ كل
Adapun jika pembunuhan disengaja itu dilakukan oleh anak kecil atau orang
gila, Malik dan Syafi'i menyatakan diyatnya anak kecil adalah setengah kecuali
pemerintah membebankan pada aqilahnya. Mereka menjelaskan bahwa sengaja atau
kesalahannya anak kecil itu sama dengan argumant ada orang gila menerkam seorang
laki-laki dengan pisau kemudian memukulnya..123
Menurut Syafiiyah bahwa yang jelas perbuatan anak kecil itu dianggap
sengaja apabila ia telah mumayyiz, jika belum mumayyiz maka dianggap kesalahan
(khata') secara pasti. Tetapi baik ia sudah mumayyiz atau belum ia tidak dapat di
qisas, karena tidak ada baginya taklif secara syara'. Hanya saja ia dibebankan diyat
dari hartanya sendiri dan 'aqilah tidak menanggung jika ia (pada saat berbuat jahat)
sudah mumayyiz.124
121 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 307.
122At-Tur (52): 21.
123 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t), II.: 297
124 Asy-Syairazi, al-Muhazzab, II:173-174.
69
C.Tujuan Fiqh Jinayah
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariah
tanpa tujuan apa-apa. Melainkan di sana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan
demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu mengetahui apa
tujuan dari ketentuan itu.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari fiqh jinayah yang
merupakan tujuan-tujuan yang luas dari syariah sebagai berikut:125
Tujuan pertama
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup. Ini merupakan hal-hal
di mana kehidupan manusia sangat tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan.
Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan dan
ketidaktertiban di mana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyyat)
dalam keputusan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid asy-Syari'ah al-
mempercepat kematian seseorang, maka hal ini bisa diklasifikasikan kedalam
jarimah pembunuhan.136
Namun demikian apakah bisa begitu saja tindakan euthanasia aktif itu
digolongkan sebagai jarimah pembunuhan?. Dalam hal ini tentunya diperlukan
beberapa tahapan untuk menjawabnya, yakni sebagai berikut:
1. Dalam fiqh Islam suatu perbuatan barulah dikatakan sebagai jarimah apabila
perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah, yakni:
a. Unsur formal atau unsur syar'i
Yang dimaksud dengan unsur formal atau unsur syar'i adalah adanya
ketentuan syara' atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang
dilakukan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat
dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap
perbuatan yang dimaksud.
b. Unsur material atau rukun maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau
adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
c. Unsur moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas'uliyyah al-jinayyah atau
pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau
pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat
jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami
136 Ibid., hlm.751
79
hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima isi beban tersebut.
Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah arang-orang
yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab
(panggilan) pembebanan (taklif).137
2. Tindakan euthanasia aktif itu apakah telah memenuhi unsur-unsur jarimah
ataukah tidak?. Jika telah memenuhi tentunya ada kesinkronan antara aspek-
aspek terjadinya euthanasia aktif dengan unsur-unsur jarimah. Adapun
aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif ialah sebagai berikut:
a. Bahwa euthanasia aktif itu merupakan tindakan pembunuhan.
Sehingga euthanasia aktif dilihat dari aspek definisinya sudah
memenuhi unsur jarimah pertama, ialah unsur formil (ar-rukn asy-
syar'i), yakni adanya nas yang jelas-jelas melarang pembunuhan baik
diri sendiri ataupun orang lain. Seperti tercantum dalam beberapa ayat
al-Qur'an sebagai berikut:
138 0رحيما بكم كان الله ان أنفسكم تقتلوا ال
ذالكم بالحق اال الله حرم التى النفس تقتلوا وال139 0تعقلون لعلكم به وصاكم
b. Adanya tindakan atau perbuatan yang mendukung terjadinya
euthanasia aktif, yakni biasanya dengan mencabut selang respirator
137 Rahmat Hakim. Hukum pidana Islam (fiqh jinayah), cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Setia.2000). hlm.52-53.lihat juga A. djajuli. fiqh jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). hlm.3.
138An-Nisa (4): 29 139Al-An'am.(6): 151
80
atau melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis
tertentu (neurasthenia), dan sebagainya. Dalam aspek ini juga telah
memenuhi unsur jarimah kedua yakni unsur materill (ar-rukn al-
maddi).
c. Adanya pelaku euthanasia aktif yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, yaitu dokter atau tim medis lainnya,
pasien, dan keluarga pasien. Dari aspek inipun telah memenuhi unsur
jarimah ketiga, yakni unsur moril (ar-rukn adabi)
Jadi jelas dalam konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif
itu merupakan jarimah pembunuhan.
Dalam hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana pembunuhan ini
(al-qatl) disebut juga al-jinayah 'ala al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa
manusia). Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk
pembunuhan. Perbedaan tersebut adalah:140
1) Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi
dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al-
khata').
2) Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan
sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.
140 Jaih Mubaraok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah fiqh jinayah (asas-asas hukum pidana Islam) (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm.9. lihat juga Abd Qadir 'Audah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Wad'i, (Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992), II: 7-9.
81
3) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat (ruba'i), yaitu:
pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma
jara majr al-khata').
4) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu:
pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan serupa kekeliruan, dan
pembunuhan secara tidak langsung (al-qatl bi al-tasabbub).
Dari macam jarimah pembunuhan di atas, tindakan euthanasia aktif bisa
digolongkan kedalam pembunuhan sengaja. Hal ini sesuai dengan definisinya, yakni;
suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk
menghilangkan nyawanya,141 atau sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dan
memang akibat perbuatan itu dikehendaki pula.
Terjadinya tindakan euthanasia aktif sangat dipengaruhi oleh alasan atau
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:142
a) Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan
lagi menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya sangat (accut),
dan telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia.
Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban
ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang
mahal. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling
tidak, harapan sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit,
dia meminta jalan yang lebih "nyaman", yaitu melalaui euthanasia.
141 A. Djazuli. Fiqh Jinayah.hlm.121
142 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshary. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), hlm.71.
82
b) Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
Apabila jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena
terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang
menyerangnya. Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang
tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk
sembuh tidak ada lagi.
c) "Kemungkinan lain" bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu)
bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena
menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.
B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Euthanasia
Dalam ajaran agama Islam tidak terdapat ajaran yang mutlak mengenai
euthanasia, namun bila ingin mempelajari dan memahami arti euthanasia secara
mendalam, maka akan jelas hukumnya dengan berdasarkan al-Qur'an sebagai salah
satu sumber hukum Islam. Euthanasia hakikinya adalah membunuh yang dilakukan
dalam rumah sakit oleh dokter ahli pada penderita karena penyakit tertentu seperti
kanker atau kecelakaan yang merusak tubuhnya hingga berdasarkan ilmu dan
teknologi kedokteran tidak mungkin sembuh.
Agar manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah
memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak
ataupun menghilangkan jiwa orang lain maupun jiwa diri sendiri adalah perbuatan
melawan hukum Allah.
83
Euthanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan dan termasuk dalam
kategori jinayat. Dalam terminologi fiqh, jinayat adalah setiap perbuatan yang
diharamkan dan tercela yang dilarang oleh Tuhan, perbuatan itu bisa merugikan
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.143
Allah melarang melakukan pembunuhan, karena pada dasarnya
menghilangkan nyawa seseorang merupakan perbuatan dosa besar sebagai mana
tercantum dalam al-Qur'an:
فيها خالدا جهنم فجزاؤه متعمدا مؤمنا يقتل من و
144 اعظيم عذابا لهَاعد و لعنه و عليه الله غضب و
Secara umum hukum Islam diamalkan untuk menciptakan kemaslahatan
hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturan diberikan secara rinci, khusus yang
berkaitan dengan hukum pidana, Islam ditetapkan aturan yang ketat yaitu Qisas
(pembunuhan), had dan diyat.
Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi, sebagaimana dikutip oleh Akh. Fauzi
Aseri menga ِatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi,
sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-
selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah barang ciptaan yang diberikan Allah,
oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.145
Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan
143 Sayid Sabiq, fikih sunnah, alih bahasa H.A Ali (Bandung: PT. al-Maarif. 1997), X:11.144An-Nisa (4): 93.
145 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia. hlm.73.
84
mempercepat kematiannya, baik dengan bunuh diri maupun dengan minta dibunuh.
Bahkan berdo'a meminta dimatikanpun tidak diperbolehkan. Tetapi Allah menyuruh
umatnya bila dalam keadaan sakit agar disamping berusaha juga berdoa agar diberi
kesembuhan, sebagaimana firman Allah swt:
146يشفين فهو مرضت واذ
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, bahwa pembunuhan (mengakhiri
hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:147
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang
diketahui oleh empat orang saksi.
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang
jama'ah Islam.
Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya
euthanasia seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satupun yang berkaitan
dengan alasan bilhaq di atas. Maka agar dapat ditentukan sanksi hukumnya dalam
masalah euthanasia ini, perlu diperjelas secara terperinci karena masalah euthanasia
ini merupakan masalah yang kompleks, baik dari segi sebabnya maupun pelaku
terjadinya euthanasia.
Karena euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan maka kiranya perlu
dijelaskan sanksi-sanksinya. Sebelum menginjak kepada sanksi-sanksi pelaku
146 As-Syu'ara' (26): 80
147Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1971). XI: 43.
85
euthanasia perlu disebutkan terlebih dahulu sanksi-sanksi dalam pembunuhan. Dalam
pembunuhan, ada beberapa jenis sanksi, yaitu; hukuman pokok, hukuman pengganti
dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qisas. Bila dimaafkan
oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Akhirnya jika
sanksi qisas atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta'zir.
Menurut sebagian ulama, yakni Imam Syafi'i, ta'zir tadi ditambah kaffarah. Hukuman
tambahan sehubungan dengan ini adalah pencabutan atas hak waris dan hak wasiat
harta dari orang yang dibunuh, terutama jika antara pembunuh dengan yang dibunuh
mempunyai hubungan kekeluargaan.148
Dokter sebagai seorang anggota masyarakat, penuh aktif, berinteraksi dan
memelihara masyarakat. Tugas dokter tidak hanya melakukan pengobatan penyakit
dan mencegah timbulnya penyakit. Tetapi juga sebagai seorang manusia dokter juga
dituntut untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan apapun bentuknya.149
Dalam masalah euthanasia ini, jika melihat kembali kepada fungsi dokter
sebagai penolong untuk mengobati, menolong dan membantu pasien dari
penyakitnya supaya sembuh, apakah secara batin dia tega melakukan euthanasia
terhadap pasiennya. Pasti dia mempunyai tekanan batin dan juga menghadapi
Dalam hal ini, jika dokter melakukan euthanasia berarti dokter telah
melakukan pembunuhan, karena pembunuhan berarti menghilangkan nyawa
seseorang, sepeti dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili:150
"Pembunuhan adalah suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang
yang dapat menghilangkan nyawa; artinya pembunuhan itu dapat
menghancurkan bangunan kemanusiaan."
Allah telah memberikan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan qisas.
Hal ini tercantum dalam al-Qur'an:
في القصاص عليكم كتب آمنوا الذين أيها يا
151 القتلى
152 بالنفس النفس أن فيها عليهم كتبنا و
Jadi berdasarkan ayat di atas dokter sebagai pelaku pembunuhan harus
dihukum qisas, hal ini sebagai konsekuensi pertama yang dihadapi oleh dokter
sebagai pihak pembunuh. Pada dasarnya Allah melarang pembunuhan apapun
jenisnya, dan Allah memberikan hukuman berupa qisas yang merupakan hak Allah
atas manusia, karena Allah sebagai sang khaliq menyuruh umatnya agar senantiasa
memelihara jiwa, sebagai unsur utama kehidupan manusia, tetapi Allah juga
150 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, cet ke-3 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 217.
151 Al-Baqarah (2): 178.
152 Al-Maidah (5): 45.
87
memberikan hak kepada keluarga si terbunuh dengan tuntutan, tuntutan itu bisa
berupa qisas (sebagai balasan), diyat (bila pembunuh dimaafkan) dan bisa juga
dimaafkan secara mutlak. Hal ini tergantung tuntutan apa yang akan dilakukan pihak
keluarga atau ahli warisnya. Dalam hal ini dokter mempunyai suatu dispensasi dari
pihak pasien (si terbunuh) berupa (kerelaan atau izin), dan persetujuan dari pihak
keluarga.
Dalam hal ini si pasien sebagai pemilik jiwa telah merelakan atau memberi
izin kepada dokter. Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena
hukuman atau tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik
jiwa, atau keluarga sebagai wali ad-dam telah merelakan bahkan menganjurkannya.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa
para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang
disuruh sendiri oleh si korban dengan disetujui walinya. Di antara mereka ada yang
berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qisas terhadap pelaku.153
Menurut Hanafiyah:
عليه المجني برضا القصاص يسقط
Gugurnya qisas disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat
dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat.
Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud.154
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hanifah, Abu yusuf dan Muhammad mereka
153 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia. hlm.74.
154 Abdul al-Qadir Audah, al-tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-wad'i (Beirut: Muassasat ar-Risalat,1992) I: 440-441
88
sama-sama memberikan sanksinya berupa diyat, karena adanya pemberian izin, dan
pemberian izin itu menimbulkan syubhat (kesamaran).155
Pendapat ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah, yakni:
156 بالشبهات الحدود ادرؤوا
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi'iyah:
المجني برضا الدية و القصاص عقوبتى يسقط
عليه
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman
asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari
pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.157
Menurut ulama Syafi'iyah dan Imam Ahmad dalam kasus euthanasia ini tidak
ada sanksi qisas dan diyat, meskipun tidak berarti menghapuskan hukuman ta'zir.
Karena si pasien telah memaafkan dari sanksi dan rela untuk dibunuh itu sama
dengan memberi maaf.158
Dari pendapat-pendapat di atas, semuanya tidak ada yang menetapkan sanksi
hukum atas kerelaan atau izin ini dengan sanksi qisas (hukuman asli), walaupun Abu
155 Ibid., hlm. 441-442
156ِِAl-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Kitab al-Hudud Bab az-Zina, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), hlm. 260, Hadis nomer. 1247, HR Baihaqi dari Ali RA
157 Abd Qadir 'Audah. At-Tasyri, hlm.441-442.
158 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 191
89
Hanifah (beserta pengikutnya) Abu Yusuf dan Muhammad menetapkan hukum atas
adanya unsur kerelaan ini dengan diyat (hukuman pengganti).
Diyat ada dua macam yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Menurut
Malikiyah pada pembunuhan disengaja dikenakan diyat mugalazah apabila
waliyuddam menerimanya. Dan jumlah dari pembayaran diyat mugalazah adalah
seratus ekor unta yang empat puluh di antaranya sedang bunting.
Dari hal ini, jika melihat hal di atas berarti dokter yang mengeuthanasia
mendapat hukuman berupa diyat mughaladzhah karena telah dimaafkan oleh pihak
keluarga, tetapi dalam hal ini apakah dokter sebagai orang lain bagi pasien dan
keluarga yang sudah melaksanakan euthanasia atas permintaan pasien dan
persetujuan keluarga sehingga mendapat hukuman diyat, mau menerima hukuman
tersebut, jika dia sudah tahu akan konsekuensinya. Sedangkan jumlah yang harus
dikeluarkan dari ketentuan diyat sendiri tidak sedikit, yaitu berupa seratus ekor unta
yang empat puluh diantaranya sedang bunting, atau harta (uang atau barang ) yang
senilai dengannya. Otomatis dokter tidak akan mau jika harus membayar diyat,
karena berarti dokter sebagai pihak yang membantu malah mendapatkan kerugian.
Jadi dari hal ini dokter terbebas dari hukuman qisas (sebagai hukuman asli) juga
diyat (sebagai hukuman pengganti). Karena fungsi diyat adalah untuk kemaslahatan
keluarga si pasien (si terbunuh). Sedangkan tindakan dokter telah disetujui pihak
keluarga pasien. Dan pihak keluarga atau ahli warisnya juga telah memaafkan secara
mutlak maka tidak ada hukuman diyat baginya.
Pada dasarnya hukuman qisas tidak dapat diganti dengan hukuman yang
dibuat oleh manusia, namun pihak korban atau ahli warisnya diberi hak tuntutan,
90
oleh karena itu hak Allah yang berupa qisas dapat diganti dengan hukuman diyat
yang merupakan hak manusia. Allah berfirman dalam al-Qur'an:
و بالمعروف فاتباع شيئ أخيه من له عفي فمن
159 باحسان اليه اداء
Adanya hukuman pengganti pada jarimah qisas ini disebabkan adanya
pemaafan dari sikorban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan, sebab
jarimah qisas merupakan hak adami hak perseorangan. Oleh karena itu, kalau
sikorban (masih hidup) atau ahli waris (jika korban mati) memaafkan pembuat
jarimah, hukuman qisaspun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat.
Apabila korban atau keluarganya memaafkan diyat ini, dapat dihapus dan sebagai
penggantinya hakim akan menjatuhkan hukuman ta'zir.160 Singkatnya, sanksi ta'zir
dapat dijatuhkan terhadap pembunuh, maka sanksi qisas tidak dapat dilaksanakan
karena tidak memenuhi syarat.
Dalam tindak pidana pembunuhan. hukum Islam memberikan kedudukan
kepada keluarga korban secara bijaksana untuk turut ambil bagian di dalam
menentukan kebijaksanaan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan
memberikan kesempatan kepada pelakunya apakah harus diqisas atau diyat, atau juga
memberi maaf secara mutlak. Keterlibatan keluarga pihak korban, ini sangat berarti
bagi pelaku tindak pidana maupun bagi keluarga si korban. karena korban (si pasien)
atau walinya mempunyai hak untuk membebaskan pembunuh dari sanksi hukuman
159 Al-Baqarah (2): 178
160 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, hlm126
91
qisas dan diyat, baik kedua-duanya atau diganti dengan sanksi lain. Dengan melihat
bahwa izin (persetujuan) dapat menghapuskan hukuman, maka izin tersebut
merupakan pemaafan yang didahulukan.
Hukuman ta'zir yang diberikan kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan
dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Karena
pembunuhan itu tidak hanya berurusan dengan hak perseorangan, melainkan juga hak
jamaah. Maka ta'zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Dan ta'zir itu tergantung
kepada kemaslahatan:161
المصلحة مع يدور التعزير
Adanya kaidah ini merupakan wujud dinamisasi hukum pidana Islam dalam
menjawab bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum ada aturannya sehingga setiap
bentuk kejahatan baru yang dianggap telah merusak ketenangan dan ketertiban
umum dapat dituntut dan dihukum.
161 A. Djazuli, Fiqh Jinayah. hlm. 162.
92
EUTHANASIADALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH
93
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
MUKHLISIN9937 3425
PEMBIMBING
DRS. OMAN FATHUROHMAN SW, M. AgDRS. SLAMET KHILMI
JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA
2004
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an
Al-Qur'an Karim, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1404. H
Hadis
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja'fi al-, Sahih al-Bukhari, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Daruquthni, Ali bin 'Amr Abu al-Husyain al-, Sunan al-Daruqutni, 3 jilid, Beirut:
Dar al-Ma'rifah, 1996.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
94
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, 2 jilid, Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Nasai', Abd ar-Rahman Ahmad ibn Suaib ibn Ali ibn Bahr an-, Sunan an-Nasai', 8 jilid, Mesir: al-Bab al-Halabi wa al-Audah, 1994.
San'ani, Muhammad ibn Ismail ibn Salah al-Amir al-Kahlani al-, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Fiqh dan Usul Fiqih
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'i, 2 jilid, Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992.
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menaggulangi kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.Anwar Harjono, Hukum Islam (keluasan dan keadilannya), Jakarta: Bulan Bintang,
1968.
Charis, Zubir A., Etika Rekayasa menurut konsep Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam menurut ajaran ahlus sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Ibnu Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.
Jaih mubarok, dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Madjrie, Abdurrahman dan Fauzan al-Anshari, Qisas pembalasan yang hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV Haji Masagung, 1994.
95
Mukti, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo, Abortus, bayi tabung, Euthanasia, transplantasi ginjal, dan operasi kelamin, dalam tinjauan medis, hukum, dan agama Islam, Yogyakarta: Aditya media,1993.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Qardhawi, Yusuf al-, Fatwa-fatwa kontemporer, alih bahasa As'ad Yasin, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
…., Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Drs. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2000.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa A. Ali, Bandung: PT. al-Ma'arif, 1997.
Supriadi, Wila Chandrawila, hukum kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001.
Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-, al-Muhazzab, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001.
Yanggo, Chuzaimah T. dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer edisi ke-4 edisi revisi, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Buku lain-lain
Abdul Jamali, dkk, Tanggung jawab Hukum Seorang Dokter dalam menangani Pasien, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990.
Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991.
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.
Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
96
F.Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis & Konsekuensi Yuridis, Bandung: Nova, t.t.
R. Soesilo, Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1988.
Carm, Piet Go O, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989.
Guwandi J, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang modern, Solo: CV. Ramadhani, 1990.
Kartono Mohamad, Teknologi Modern Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.
Sudibyo Soepardi, Kode Etik Kedokteran Islam (Islamic code of medical ethics), Jakarta: Akademika Pressindo, 2001.
Samil, Ratna Suprapti, ed, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Metro Kencana, 1980.
Shannon, Thomas A,Pengantar Bioetika, alih bahasa. K Bartens, Jakarta: Gramedia, 1995.
Sudarmo, H.R. Siswo, Euthanasia Bagaimana Sikap Seorang Dokter, Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis. Yogyakarta: FKMPY, 1990.
Widyana, J. Chr Purwa, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quantum, Antropologi Teologis II, 1974.
97
Drs. Oman Fathurohman SW, M AgDosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Mukhlisin Kepada Yth :
Dekan fakultas Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka
menurut kami skripsi saudara:
Nama : Mukhlisin
NIM : 9937 3425
Judul : “Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk
itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 3 Rajab 1425 H
98
19 Agustus 2004
Pembimbing I
Drs. Oman Fathurohman SW, M.Ag
NIP: 150 222 295
Drs. Slamet Khilmi
Dosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Mukhlisin Kepada Yth :
Dekan Fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka
menurut kami skripsi saudara:
Nama : Mukhlisin
NIM : 9937 3425
Judul : “Euthanasia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk
itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 3 Rajab 1425 H
19 Agustus 2004
Pembimbing II
Drs. Slamet Khilmi NIP: 150 252 260
99
PENGESAHAN
Skripsi berjudul
“Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”
yang disusun oleh
MUKHLISIN
NIM: 9937 3425
Telah dimunaqosyahkan di depan sidang munaqosyah pada tanggal 25 September 2004/10 Sya'ban 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
Yogyakarta, 10 Sya'ban 1425 H
25 September 2004
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Malik Madany, MA
NIP: 150 182 698
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. H. Fuad Zein, MA Fatma Amilia NIP: 150 228 207 NIP: 150 277 618
Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. H. Fuad Zein. MA NIP: 150 222 295 NIP: 150 228 207
100
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman
pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987
I. Konsonan Tunggal
Huruf ArabNama Huruf Latin N a m a
ابتثجحخدذرزسشصضطظعغفقكلمنو هـ
ء
Alif
bâ’
tâ’
s|â’
jim
ha
khâ’
dâl
zal
râ’
zai
sin
syin
Sâd
dâd
tâ’
dad
‘ain
gain
fâ’
qâf
kâf
lâm
mim
nûn
waû
hâ’
hamzah
tidak dilambangkan
b
t
S
j
h
kh
d
Z
r
z
s
sy
S
d
t
Z
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
`
tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik di atas
ge
ef
qi
ka
`el
`em
`en
w
ha
apostrof
101
ي yâ’ y ye
II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap
متعmددة
عدmة
ditulis
ditulis
muta`addidah
`iddah
III. Ta’ marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis h
حكمة
علة
ditulis
ditulis
hikmah
`illah
(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.
األولياء كرامةditulis
karâmah al-aûliyâ`
3. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis
t atau h.
الفطر زكاةditulis
zakâh al-fitri
IV. Vokal Pendek
_َ__
فعل
fathah
kasrah
ditulis
ditulis
a
fa’ala
102
___
ذكر
__ُ_
يذهب
dammah
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
i
zukira
u
yazhabu
V. Vokal Panjang
1
2
3
4
fathah + alif
جاهليةfathah + yâ’ mati
تنسىkasrah + yâ’ mati
كـريمdammah + waû mati
فروض
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
â
jâhiliyyah
â
tansâ
i
karîm
û
furûd
VI. Vokal Rangkap
1
2
fathah + yâ’ mati
بينكم
fathah + waû mati
قول
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ai
bainakum
aû
qaûl
VII. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
أأنتم
تأعد
شكرتم لئن
ditulis
ditulis
ditulis
A’antum
u’iddatla’in syakartum
103
VIII. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf “l”.
القرآن
القياس
ditulis
ditulis
al-Qur`ân
al-Qiyâs
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya.
السمآء
الشمس
ditulis
ditulis
as-Samâ`
asy-Syams
IX. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
الفروض ذوي
السنة أهل
ditulis
ditulis
zawi al-furûd
ahl as-sunnah
LAMPIRAN I
NO
1
2
HLM
6
FOOTNOTE
10
11
BABBAB IJanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, demikian itu yang diperintahkan
104
3
4
12
13
oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Dialah (Allah) yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar.
5
6
7
89
10
11
12
1314
15
16
17
50
53
54
55
56
57
5860
61
4
13
19
2021
23
24
26
2831
32
33
34
BAB IIIJinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka baginya hukum qawad (qisas).Kamu dan hartamu milik (kepunyaan) bapakmu.Tidak diqawad (hukum qissas) bapak (karena membunuh) anak.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.Dan Kami telah tetapkan kepada mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.Rasulullah Muhammad SAW mengqisas seorang muslim karena ia membunuh orang yahudi, menurut ar-Ramady diqawad muslim karena membunuh dzimmi. Dan Rasul bersabda Aku lebih berhak memutuskan terhadap orang (muslim) dan terhadap dzimi dalam hal ini.Orang-orang Islam terpelihara darahnya.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba.Barang siapa menghukum bunuh terhadap orang yang telah membunuhnya maka baginya dua pilihan yang baik; ada kalanya ia meminta diat dan ada kalanya ia menghukum qisas.Barang siapa yang membunuh maka ia dihadapkan kepada dua pilihan adakalanya dimaafkan dan adakalanya diqawad.
105
18
19
20
21
22
23
66
67
68
70
46
47
50
51
54
58
Hukuman pertama sebagai pengganti hukum qisas, baik karena sebab-sebab yang menghalangi hukum qisas ataupun sebab-sebab yang telah ditetapkan, maka apabila memperoleh pemaafan maka menjadi pembayaran diat.Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.Dalam pembunuhan tersalah, serupa sengaja, dengan cambuk, tongkat dan batu, diatnya adalah seratus ekor unta yang di dalamnya, 40 syaniyah sampai tahunnya sempurna dan khalifah.Diat kesalahan adalah lima bagian, 20 hiqqah, 20 jadz'ah, 20 banat makhadz, 20 banat labun, dan 20 bani labun. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.
24
25
26
27
28
29
30
77
78
85
87
1
2
3
4
14
16
19
BAB IVDan sesungguhnya benar-benar Kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Kami (pulalah) yang mewarisi.Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan mengidupkan.Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakannya azab yang besar baginya.Dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan aku.Dan Dialah (Allah) yang telah menghidupkan kamu,
106
31
32
33
34
35
3637
88
90
92
9396
20
23
24
28
31
3339
kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar.Janganlah kamu membunuh dirimu (saudaramu). Sesungguhnya Allah Penyayang kepadamu.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.Dan telah Kami tetapkan didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.Hindari (penjatuhan) hukuman had (karena) adanya kesamaran (syubhat).Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.Ta'zir berputar karena kemaslahatannya.Tidak diqawad (qisas) ayah (karena membunuh) anak.
LAMPIRAN II
BIOGRAFI ULAMA
Abd Qadir 'Audah
Beliau adalah seorang ulama terkenal alumnus Fakultas Hukum Universitas al-Azhar Cairo pada tahun 1930, dan sebagai mahasiswa terbaik, beliau juga seorang tokoh ulama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai Hakim yang disegani rakyat, beliau turut mengambil bagian dalam memutuskan revolusi Mesir yang berhasil
107
gemilang pada tahun 1952, dipelopori oleh kolonel Gamal Abdul Nasher. Beliau meninggal ditiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan politiknya pada tanggal 8 desember 1954. Diantara hasil karyanya ialah kitab at-Tasyri' al-Jina'I al-Islami.
Al-Bukhari
Beliau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail ibn Ibrahim al-Mughirah binj Bardzibaz al-Ja'far al-Bukhari, lahir di Bukhara pada tanggal 13 Syawal 194 H/ 810 M. Dan wafat pada tahun 256 H. Kemudian beliau pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada para fuqaha dan muhaddisin. Lalu bermukim di Madinah dan menyusun kitab at-Tarik al-Kabir. Pada masa mudanya beliau telah hafal 70.000 hadis beserta sanadnya, karyanya yang paling terkenal adalah kitab hadis shahih al-Bukhari. Guru-guru beliau adalah: Ibrahim al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Ali bin al-Madani dan Ibnu Ruhuwaih.
As-Sayid Sabiq
Beliau adalah seorang ulama terkenaldari Universitas al-Azhar Cairo, beliau dilahirkan tahun 1365 H. Banyak menulis berbagai kitab baik mengenai masalah agama ataupun politik. Beliau sebagai penganjur ijtihad yang mengajarkan kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Pada tahun 1950 an M, beliau mendapat gelar profesor dalam jurusan Ilmu Hukum Islam pada Universitas Fuad I. Karyanya yang terkenal adalah kitab Fiqh Sunnah.
Yusuf al-Qardawi
Beliau nama lengkapnya ialah Yusuf Abdullah al-Qardawi, dilahirkan pada tahun 1926 di desa Sifit Turab, Mesir. Yusuf kecil sudah bisa hafal al-Qur'an 30 juz, dengan fasih dan sempurna tajwidnya pada usia 10 tahun. Setelah menamatkan sekolah Dasar, Yusuf melanjutkan ke Ma'had Tanta, terus dilanjutkan lagi di Universitas al-Azhar Cairo. Bidang study yang diambilnya adalah bidang study Agama Fakultas Ushuluddin, setelah tamat pada tahun 1953, kemudian beliau melanjutkan lagi ke Ma'had al-Buhus wad Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah, sampai mendaptkan Diploma tinggi di bidang bahasa dan sastra, pada saat yang sama juga mengambil bidang study al-Qur'an dan as-Sunnah, dan selesai pada tahun 1960 pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar Mesir dan dilanjutkan pada program Doktoral dengan Disertasi berjudul Fiqhuz Zakat, dengan mendapatkan predikat Cumlaude. Beberapa karyanya telah dipublikasikan diantaranya: al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, al-Iman wa al-Hayat, al-Ibadat fi al-Islam, Muskilat al-Fakr wa kaifa alajaha al-Islam dan Fatwa-Fatwa kontemporer.
108
LAMPIRAN III
CURRICULUM VITAE
1. Nama : Mukhlisin
2. Tempat Tanggal Lahir : Cilacap, 19 Mei 1981
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Alamat Asal : Suru Sunda 02/III Karang Pucung Cilacap 53255
6. Alamat di Yogyakarta : Jl.Manggis 64. Wisma Gasenwa Gaten CC
7. Nama Ayah : Maktubillah Muhammad
8. Pekerjaan : PNS.
9. Nama Ibu : Supriyatni
10. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
109
Riwayat Pendidikan :
1. SD Islam al-Hidayah, masuk tahun 1986, lulus tahun 1992.
2. Madrasah Muallimin Al-Hikmah Bumiayu, masuk tahun 1992, sampai tahun
1994.
3. MTs El-Bayan Bendasari Majenang, masuk tahun 1994, lulus tahun 1995.
4. MA Al-Hikmah 1 Bumiayu, MA Muhammadiyah Majenang, MA El-Bayan
Majenang, ketiganya pada tahun yang sama (tahun 1995 sampai 1996) dan
tidak lulus.
5. MAN Cigaru Majenang, Cilacap, masuk pada tahun 1996, lulus tahun 1999.
6. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, masuk tahun 1999.
Skripsi berjudul
“Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”
yang disusun oleh
MUKHLISIN
NIM: 9937 3425
Telah dimunaqosyahkan di depan sidang munaqosyah pada tanggal 25 September 2004/10 Sya'ban 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
Yogyakarta, 10 Sya'ban 1425 H
25 September 2004
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Malik Madany, MA
NIP: 150 182 698
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
110
Dr. H. Fuad Zein, MA Fatma Amilia NIP: 150 228 207 NIP: 150 277 618
Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. H. Fuad Zein. MA NIP: 150 222 295 NIP: 150 228 207
MOTO
"Tuhan berikan manusia berupa raga, dengan raga manusia dapat bergerak tetapi Tuhan juga memberi kita jiwa, dengan jiwa manusia lebih berarti bahwa dia seorang manusia, tetapi kadang manusia lupa, dia terlena oleh buaian duniawi, baik harta, kuasa, rasa; kadang manusia ingin lebih dari apa yang ada padanya, maka Tuhan juga memberi kita fikiran agar bisa melindungi diri." "Dunia itu hampa tanpa ilmu, percuma apa yang ada didunia jika ilmu tak menghiasinya."
"Carilah sesuatu yang baik dari apa yang engkau alami disekitarmu"
"Tuangkanlah apa yang ada dihati dan difikiran dengan tanganmu lewat penamu supaya orang bisa menimba dari apa yang kamu bisa."
111
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن الله بسم
أمور على نستعين , وبهالعالمين ربm لله الحمد الحق الملك الله إال إله ال أن الدين, أشهد و الدنيا
المبعوث رسوله و عبده محمدا أن أشهد المبين, و اشرف على والسmالم الصmالة للعالمين, و رحمة واصحابه اله وعلى محمد ينوالمرسل األنبياء
: أمmابعد,اجمعينSelesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun merupakan beban
yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga dan pikiran, memberikan
kebahagiaan yang tak ternilai bagi penyusun.
Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak. Drs. H. A. Malik Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syari’ah.
112
2. Bapak. Drs. Oman Fathurohman SW, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I, atas
waktunya untuk membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
3. Bapak. Drs. Slamet Khilmi, selaku Dosen Pembimbing II, atas waktu dan
bimbingan, baik tekhnis maupun isi serta arahan-arahan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga skripsi ini selesai.
4. Kedua Oarang Tua, (Bapa) Maktubillah Muhammad dan (Ibu) Supriyatni. Dan
Adikkku, Kamilatu Syifa. Atas dukungannya baik do'a, moril, maupun materiil.
5. Sahabat-sahabatku, Afiyah Solikhakh, Mas Arifin, Sayarif Hidayat, Eggi, Imam,
Iwan dan teman-temanku yang lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas
bantuannya dan dukungannya.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas bantuannya dan
dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan doa, semoga perbuatan
baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat balasan yang berlipat ganda.
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati
guna memperbaiki tugas kami selanjutnya
Harapan kami adalah semoga skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan
dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada
umumnya. Amin.
Yogyakarta, 17 Jumadil Akhir 1425 H 4 Agustus 2004
113
Penyusun
MukhlisinNIM: 9937 3425
ABSTRAK
Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, menjadikan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Di antara sekian banyaknya penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran, diagnose mengenai penyakit dapat lebih sempurna dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif.
Dengan peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien dapat dilakukan secara lebih tepat. Dari hal inilah kemudian banyak pasien yang karena penyakitnya yang akut, dengan dukungan keluarga, memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya dengan jalan euthanasia.
Secara umum euthanasia dibedakan menjadi dua, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif, yaitu tindakan terapi dengan harapan dapat mempercepat kematian pasien. Euthanasia pasif, yaitu perbuatan yang membiarkan pasien meninggal. Biasanya dilakukan penghentian terapi yang memperpanjang hidupnya, misalnya menghentikan pemberian infus, menunda operasi, membawanya pulang, dan sebagainya.
Euthanasia, terutama euthanasia aktif merupakan suatu tindakan pembunuhan walaupun atas dasar persetujuan si terbunuh, karena makna pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa seseorang yang dapat menghancurkan bangunan hidup manusia. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena sakit yang sangat akut dan menderita atau biaya yang amat terbatas, maka dapat dilakukan dua cara: 1. menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah; 2. membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
Euthanasia adalah sebagai bentuk pembunuhan yang disengaja, apapun bentuknya pembunuhan, Allah melarang melakukannya, dan Allah mengingatkannya dengan bentuk ancaman dalam al-Qur'an yaitu berupa neraka jahannam.
Dalam al-Qur'an tidak ada satupun ayat yang jelas yang menyinggung masalah euthanasia ini. Dalam fiqh jinayah euthanasia termasuk ke dalam jenis pembunuhan, yaitu telah memenuhi unsur maddi, syar'i dan adabi. Dan euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan sengaja, maka sanksi atas tindakan euthanasia ini, adalah qisas.
114
Dokter mendapatkan sanksi berupa qisas, tetapi tindakan dokter dilakukan atas izin dari pasien dan atas persetujuan dari keluarga pasien. Maka dokter tidak dihukum qisas, karena salah satu yang menyebabkan gugurnya hukum qisas adalah adanya kerelaan atau izin dari siterbunuh. Dan juga unsur kerelaan dalam pembunuhan merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman. Tetapi mengingat masalah euthanasia ini tidak hanya berimbas bagi orang perseorangan melainkan juga bagi masyarakat sekitar maka kemudian hakim atau ulul amri berhak memberikan hukuman berupa ta'zir.
115
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah menguraikan dan menjelaskan dalam bab-bab sebelumnya mengenai
"Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah", dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dalam pandangan Fiqh Jinayah, euthanasia termasuk kedalam bentuk
pembunuhan, walaupun atas permintaan si terbunuh, karena dalam masalah
euthanasia ini terdapat unsur penghilangan nyawa, sedangkan makna
pembunuhan tersebut adalah: "Perbuatan perampasan atau peniadaan nyawa
seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh
anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama untuk
menggerakan tubuh". Dan tindakan atas euthanasia tetap dilarang, tetapi sanksi
hukumnyanya adalah ta'zir, karena perbuatan euthanasia terdapat unsur
syubhat yang dapat menghilangkan hukuman asli (qisas) dan juga hukuman
pengganti (diyat) karena terdapat persetujuan keluarga, sedangkan fungsi diyat
tersebut untuk ganti rugi atas tindakan yang telah dilakukan pelaku untuk
kelangsungan hidup pihak wali atau ahli waris terbunuh.
116
B. SARAN-SARAN
Setelah menguraikan dan menjelaskan serta menyimpulkan tentang skripsi
yang berjudul tentang "Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah", maka dapat
diberi saran-saran, antara lain:
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih
baik tidak memungkinkan lagi, baik karena sakit yang sangat akut dan
menderita atau biaya yang amat terbatas, maka dapat dilakukan dua cara: 1)
menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien ke rumah; 2)
membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud
melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang
memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan
yang datang dari Allah. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran
dan tawakal.
3. Perlu kiranya dalam Fiqh Jinayah diberikan kompilasi dan kodifikasi hukum
Islam atas persoalan-persoalan jinayah (pidana) kontemporer, agar
masyarakat lebih tahu akan sikap yang akan dilakukan dan sebagai bahan
pendidikan bagi masyarakat muslim yang mempelajarinya khususnya.