Kata Pengantar Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Jarimah Ta’zir” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. M. Abduh Malik sebagai dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Islam yang telah membimbing penulis dalam menyusun tugas ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai bahan pelengkap nilai semester tiga program studi ilmu hukum untuk mata kuliah Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam Jakarta. Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai jarimah ta’zir, mulai dari pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, dan uqubahnya. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat kepada para pembaca dan penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis i
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Jarimah Ta’zir” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik sebagai dosen pengampu mata kuliah Hukum
Pidana Islam yang telah membimbing penulis dalam menyusun tugas ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai bahan
pelengkap nilai semester tiga program studi ilmu hukum untuk mata kuliah
Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam
Jakarta.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai jarimah
ta’zir, mulai dari pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, dan uqubahnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat kepada
para pembaca dan penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun supaya penulis dapat menyempurnakan makalah selanjutnya.
Jakarta, November 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
Para ahli fikih dalam menentukan batas maksimal sanksi hukum ta’zir
adalah sebagai berikut.
1. Hukuman ta’zir itu diterapkan dengan pertimbangan kemaslahatan dan
dengan memerhatikan kondisi fisik terhukum.
Dalam hal ini pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir harus
pandai-pandai mengaktualisasikannya. Dari Abi Imamah bin Sahal dan
Sa’id bin Sa’ad Ubadah, ia berkata:
“Di antara rumah-rumah kami ada seorang laki-laki kecil, lemah lagi
cebol. Dia tidak merasa takut dengan orang-orang kampong untuk berbuat
cabul dengan seorang budak dari budak-budak perempuan mereka.
Peristiwa ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
oleh Sa’id bin ‘Ubadah, sedangkan laki-laki tersebut beragama Islam.
Rasulullah bersabda: “Pukullah dia sebagai hukumannya.” Para sahabat
menyela: “Ya Rasulullah, Sungguh dia sangat lemah, tidak seperti yang
engaku kira. Seandainya dia itu kami pukul seratus kali, berarti kami
membunuhnya.”Maka Rasulullah bersabda: “Ambillah dahan korma yang
berdahan seratus mayang, lalu pukullah kepadanya dengan sekali
pukulan.” Sa’id berkata: Lalu mereka mengerjakannya.11
2. Hukuman ta’zir yang dijatuhkan tidak boleh melebihi hukuman had.
Menurut pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i dan ini merupakan
pendapat yang terbaik, yaitu bahwa hukuman ta’zir terhadap pelanggaran
memandang perempuan lain yang bukan mahramnya dan bergaul bebas
10 Diriwayatkan oleh Bukhari.11 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Jarimah Ta’zir 10
dengan lawan jenis yang melebihi batas-batas ketentuan syarak, tidak
dibolehkan hukuman had perzinaan. Batas maksimal hukuman terhadap
kejahatan pencurian barang yang tidak dipelihara, tidak dibolehkan
melebihi batas maksimal hukuman had potong tangan. Demikian juga,
batas maksimal hukuman terhadap kejahatan mengumpat dengan tidak
menuduh berzina, tidak dibolehkan melebihi hukuman had terhadap
kejahatan menuduh berzina.
3. Hukuman ta’zir bisa diberikan maksimal sedikit di bawah batas minimal
hukuman had. Menurut pengikut Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah,
hukuman ta’zir itu bias diberikan dengan mencambuknya sebanyak 40 kali
atau 80 kali cambukan.
4. Hukuman ta’zir maksimalnya tidak boleh melebihi 10 kali cambukan.
Ketentuan ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Ahmad dan
yang lainnya.
Sanksi Hukuman Mati
Mengenai hukuman mati dalam perkara ta’zir, Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi kalian dan memerintahkan kalian dengan
maksud memecah belah persatuan kalian, atau memisahkan kalian, maka
bunuhlah.”12
Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah telah memerintahkan untuk
membunuh orang yang hendak memecah belah persatuan. Kasus tersebut
bukanlah kasus hudud, melainkan ta’zir. Adapun mengenai eksekusinya
diserahkan kepada imam. Berdasarkan hal tersebut, seorang khalifah boleh
menjatuhkan hukuman mati pada kasus-kasus tertentu, jika memang hukuman
tersebut dianggap setimpal dengan perbuatannya.
12 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Jarimah Ta’zir 11
Sanksi hukuman mati boleh dijatuhkan dalam perkara tertentu dari kasus
jarimah ta’zir. Imam Malik, Ahmad, dan Abu Quail berpendapat bahwa sanksi
hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus tertentu, misalnya menjatuhkan
hukuman mati kepada orang yang memata-matai orang Islam dan hukuman ini
dijatuhkan karena memandang kemaslahatan umat.13
Sebagian pengikut Asy Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa
menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang menyerukan bid’ah diperbolehkan
sebagaimana pula terhadap orang yang menolak dan mengingkari takdir. Umar
bin Abdul Aziz menjatuhi hukuman mati terhadap Ghailan Al Qadri karena
menyerukan bahwa takdir itu perkara bid’ah. Sementara itu, mazhab Maliki
berpendapat dibolehkannya menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang
tidak pernah berhenti membuat kerusakan di muka bumi. Menurut Imam Abu
Hanifah, pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat
dijatuhi hukuman mati oleh hakim. Misalnya, pencuri yang dimasukkan lembaga
pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ia sudah dikenai sanksi
hukuman penjara, hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati kepadanya.14
Sanksi Jilid
Jilid adalah hukuman dengan memukul terhukum menggunakan cambuk
atau alat lainnya yang sejenis. Jilid merupakan salah satu dari sanksi bagi pelaku
tindak pidana hudud. Namun demikian, ta’zir juga mengenal masalah jilid. Imam
diperbolehkan menjatuhkan sanksi pemukulan dengan cambuk, tongkat, batang
dahan, atau alat lain yang sejenis.
Ketentuan umum hukuman jilid bagi pelaku tindak pidana ta’zir adalah
jilid tidak boleh lebih dari sepuluh kali atau sepuluh pukulan.
Hal ini berdasarkan nas hadits. Dari Abdurrahman bin Jabir, bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:13 Ibid, hlm.19114 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 10.
Jarimah Ta’zir 12
Artinya: “Tidak ada sanksi dengan sepuluh kali pukulan, kecuali pada had dari
hudud.”15
Dari Abu Bardah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Janganlah men-jilid lebih dari sepuluh kali jilid, kecuali dalam had
dari hudud Allah.”16
Masih banyak lagi haditst yang sejenis. Ini menunjukkan bahwa
pemukulan dan jilid tidak boleh melebihi sepuluh kali. Apakah mutlak jilid hanya
dalam ta’zir boleh dilakukan maksimal sepuluh kali?
Abu Bakar dan Umar bin Khatab radhiallahu’anhuma mencambuk
seratus kali terhadap seorang laki-laki yang didapati berduaan dengan perempuan
lain ditempat tidur. Umar bin Khatab radhiallahu’anhuma telah menjatui
hukuman cambuk seratus kali terhadap orang yang terakhir kalinyabaru dijatuhi
hukuman ta’zir , kemudian didapati telah mencuri sesuatu daribaitul mal. Putusan
Umar ini dapat dipahami sebagai aktualisasi abstrak dari sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam.
“Barang siapa terbukti melakukan kejahatan miras, deralah dia, dan jika
dia kembali melakukannya maka deralah dia, kemudian jika dia kembali
melakukannya untuk yang ketiga kalinya atau empat kalinya, maka
bunuhlah dia.”
Hadits ini merupakan dasar bahwa hukuman jilid dapat ditingkatkan
dengan pertimbangan tertentu, misalnya karena pelaku telah berulang kali
melakukan kejahatan yang serupa, padahal sebelumnya ia telah dijatuhi hukuman
ta’zir yang ringan sebagai peringatan. Menurut pengikut Asy-Syafi’I Ahmad dan
15 Diriwayatkan oleh Bukhari.16 Diriwayatkan oleh Bukhari.
Jarimah Ta’zir 13
Abu Hanifah, hukuman ta’zir itu bisa diberikan dengan mencambuknya sebanyak
40 kali, atau 80 kali cambukan. Wallahu ‘alam.
Sanksi Pengasingan
Pengasingan adalah membuang seseorang di tempat yang jauh.
Pengasingan sebagai hukuman ta’zir dapat dijatuhkan kepada pezina ghairu
muhshan setelah sebelumnya ia dijatuhi had zina. Sanksi semacam itu telah
disebutkan di dalam hadits, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah menetapkan sanksi pengasingan
selama satu tahun bagi siapa saja yang berzina, sedangkan ia bukan muhshan,
dan juga ditegakkan had baginya.”17
Dari Ibnu Abbar radhiyallahu’anhu, ia berkata:
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melaknat wanita yang berperilaku seperti
laki-laki, dan seorang laki-laki yang berperilaku seperti wanita. Beliau bersabda:
“Usirlah mereka”18 dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam telah mengusir si
fulan. Begitu pula dengan Umar yang juga telah mengusir seseorang.”19
Hadits-hadits di atas merupakan dalil bahwa sanksi pengasingan
merupakan salah satu sanksi yang telah ditetapkan oleh syara’. Sanksi tersebut
pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam kasus ta’zir. Para sahabat juga
pernah melakukan hal yang sama. Umar pernah mengasingkan Shabigha ke
Bashrah setelah men-jilid-nya. Umar juga pernah mengasingkan Nasr bin Hijjaj
karena takut bisa menimbulkan fitnah bagi wanita. Utsman pernah mengasingkan
Abu Dzar Al Ghifariy.20
Termasuk perkara yang sunnah adalah membatasi pengasingan selama
satu tahun dan pengasingan dilakukan di daerah yang masih menjadi bagian dari 17 Diriwayatkan oleh Ahmad.18 Maksudnya diasingkan.19 Diriwayatkan oleh Bukhari.20 Abdurrahman Al Maliki, Op.Cit., hlm. 267
Jarimah Ta’zir 14
wilayah islam. Pengasingan yang lebih dari satu tahun akan membuat kabur
makna pengasingan, karena orang yang diasingkan seperti mukim (menetap).
Mukim akan melenyapkan makna pengasingan, yaitu membuang dan
mengucilkan.
Pengasingan tidak boleh dilakukan di luar batas wilayah islam. Jika itu
terjadi, berarti orang yang diasingkan telah keluar dari negeri islam menuju negeri
kufur. Hal ini bukanlah suatu hal yang baik. Oleh karenanya, hendaknya Negara
islam menetapkan tempat tertentu yang masih merupakan wilayahnya sebagai
tempat pengasingan.
Sanksi Penjara
Pemenjaraan secara syar’i adalah menghalangi atau melarang seseorang
untuk mengatur dirinya sendiri. Pemenjaraan bisa dilakukan di rumah, masjid,
penjara, atau tempat-tempat lain. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Bahaz bin
Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah saw. telah menahan
seseorang karena tuduhan, kemudian melepaskannya.”
Pemenjaraan di masa Rasulullah saw. dilakukan di rumah atau di masjid.
Demikian pula pada masa Abu Bakar, karena pada masa itu belum ada tempat
khusus yang dijadikan sebagai penjara. Ketika Umar bin Khaththab menjadi
khalifah, ia membeli rumah milik Sufyan bin Umayyah seharga 400 dirham dan
dijadikannya sebagai penjara, yang satu dari kayu dan dinamakan dengan Nafi’an,
sedangkan yang satunya dari tanah liat dan dinamakan Makhisan.
Sanksi Ghuramah (Ganti Rugi)
Ganti rugi adalah hukuman bagi pelaku perbuatan yang diancam dengan
hukuman ta’zir, dengan cara membayar harta sebagai sanksi atas perbuatannya.
Sanksi ini telah ditetapkan di dalam As Sunnah. Telah diriwayatkan dalam sebuah
hadits, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya: Rasulullah saw.
Jarimah Ta’zir 15
pernah ditanya tentang pencurian kurma yang masih menggantung. Rasulullah
saw. bersabda:
“Barang siapa mengambil dengan mulutnya dan tidak menyembunyikannya, maka
tidak apa-apa baginya. Dan apa yang ia bawa, maka di dalamnya terdapat dua
kali lipat dan pukulan hukuman. Dan barang siapa mengambil dari tempat
pengeringan kurma, maka di dalamnya terdapat pemotongan tangan jika yang
diambil tersebut seharga baju besi.”21
Ada harga dua kali lipat sebagai ganti rugi bagi seseorang yang mencuri
kurma, kemudian membawanya. Dalam masalah orang tidak mau membayar
zakat, maka ta’zir yang ditetapkan adalah mengambil harta orang itu.
Penetapan besar kecilnya ganti rugi yang belum ditetapkan oleh syara’,
maka penetapan kadar ganti ruginya diserahkan kepada khalifah atau diwakilkan
oleh qadhi. Apabila seorang qadhi telah menetapkan bahwa pelaku dijatuhi
hukuman membayar ganti rugi dengan besar sekian, maka keputusannya tidak
dapat dicabut kembali. Jika yang bersangkutan tidak mampu membayarnya, ganti
rugi tersebut tidak diganti dengan dipenjarakan, dan tidak pula diberi
pengampunan. Akan tetapi, jika masih tersisa benda yang dimiliki oleh orang
yang harus membayar ganti rugi, maka pembayaran diambil dari benda tersebut
sampai sesuai dengan kadar yang ditetapkan qadhi. Jika ternyata sudah tidak ada
lagi benda yang dimiliki oleh terhukum, maka ditunggu sampai ia memiliki harta,
baru kemudian diambil ganti rugi darinya dan diserahkan kepada negara.
Sanksi-sanksi Ta’zir yang Lain
Selain sanksi-sanksi tersebut di atas, masih terdapat beberapa sanksi ta’zir
yang lainnya, yang biasa diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat ra.
Berikut beberapa sanksi ta’zir lainnya.
21 Diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasai, Ibnu Majah, dengan maknanya, At Tirmidzi men-hasan-kannya dan Al Hakim men-shahih-kannya.
Jarimah Ta’zir 16
1. Tawbikh atau pencelaan. Yaitu mencela pelaku dengan kata-kata,di
mana dengan kata-kata itu diharapkan pelaku segera menyesal karena
telah melakukan suatu perbuatan yang tidak baik. Abu Dzar ra.
Meriwayatkan bahwa ia pernah mencela seorang laki-laki dengan
menyebut ibunya. Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah mencela dengan menyebut
ibunya? Sungguh engkau adalah orang di mana dalam dirimu
terdapat jahiliah.”22
Ada seorang budak melaporkan Abdurrahman bin ‘Auf kepada
Rasulullah saw. Abdurrahman menjadi sangat marah dan berkata
kepada laki-laki itu, “Wahai anaknya Sauda’ (wanita hitam).”
Rasulullah saw. sangat marah mendengar perkataan Abdurrahman, lalu
beliau mengangkat tangannya dan bersabda:
“Tidak ada kelebihan bagi anak yang putih atas anak yang hitam,
kecuali pada kebenaran.”
Merahlah muka Abdurrahman bin Auf. Ia menyesal, takut dan lemas,
kemudian ia menempelkan telinganya ke tanah dan berkata kepada
orang yang dihinanya, “pukullah sampai engkau rida.”
Rasulullah saw. bersabda mengenai orang yang berjual beli di masjid:
“Katakan kepada orang yang menjual dan membeli di masjid,
“mudah-mudahan Allah tidak memberi keuntungan pada
perdaganganmu.”23
22 Diriwayatkan oleh Bukhari.23 Diriwayatkan oleh At Tirmidzi.
Jarimah Ta’zir 17
2. Al Hijri atau pemboikotan. Yaitu penguasa memerintahkan kepada
rakyatnya untuk tidak bicara kepada seseorang dalam batas waktu
tertentu karena orang itu telah melakukan perbuatan tertentu.
Rasulullah saw. pernah memerintahkan pemboikotan terhadap tiga
sahabat yang tidak ikut dalam jihad tanpa uzur syar’i. Umar bin
Khaththab juga pernah men-jilid Shabigha, dengan men-jilid,
mengasingkan, dan memerintahkan orang-orang untuk tidak berbicara
dengannya.
3. Nasihat, yaitu seorang qadhi menasihati pelaku dosa dengan
memperingatkannya pada azab Allah Ta’la.
4. Pencabutan, yaitu menghukum pelaku dosa dengan mencabut sebagian
dari haknya.
5. Melenyapkan harta. Misalnya dalam kasus jual beli khamr, maka
qadhi boleh menambahkan hukuman berupa menghancurkan semua
khamr yang diperjualbelikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jarimah Ta’zir 18
Secara bahasa, ta’zir bermakna al-Man’u artinya pencegahan. Menurut
istilah, ta’zir bermakna at-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Ada
pun definsi ta’zir secara syar’i adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan
maksiat yag di dalamnya tidak ada had dan kifarat.
Ciri-ciri ta’zir, yakni landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada
ijma, mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan selain hudud dan qisas,
pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran
sanksinya oleh syara’, meskipun jenis sanksinya telah tersedia, hukuman
ditetapkan oleh penguasa atau qadhi (hakim), dan didasari pada ketentuan umum
syari’at islam dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Secara umum, tindak pidana ta’zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
tindak pidana hudud dan tindak pidana qisas yang syubhat, atau tidak jelas, atau
tidak memenuhi syarat, tetapi merupakan maksiat, tindak pidana atau kemaksiatan
yang ditentukan oleh Al Qur’an dan hadits, tetapi tidak ditentukan sanksinya, dan
berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil amri
(penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemashlatan umum.
Dasar hukum jarimah ta’zir di dalam Al Qur’an dan hadits tidak
menerapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya.
Tetapi, disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam
masyarakat.
Uqubah yang dapat dijatuhkan kepada pelaku jarimah ta’zir, yakni