Top Banner
Pekan IX Pekan IX Filsafat Politik 25. Kekuasaan dan Tapal Batas Politik Di Bagian Tiga ini kita telah belajar bahwa filsafat tidak hanya berkenaan dengan persoalan teoretis abstrak yang berkaitan dengan metafisika, epistemologi, logika, dan penggunaan bahasa, tetapi juga dengan persoalan praktis yang lebih konkret, semisal yang berhubungan dengan ilmu dan moralitas. Baik filsafat ilmu maupun filsafat moral merupakan cabang utama filsafat: keduanya menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan yang lebih praktis yang mengenai ilmu tertentu atau situasi etis tertentu. Di pekan ini saya ingin kita membahas sebuah cabang kecil pohon filsafat, filsafat politik. Pada aktualnya ada sejumlah bidang penyelidikan filosofis lain yang bisa dimasukkan ke Bagian Tiga, kalau saja kita punya waktu. Namun demi maksud kita, suatu pembahasan filsafat politik bisa berfungsi sebagai cara yang memadai untuk melengkapi kajian kita tentang bagaimana menerapkan pemikiran filosofis dalam pencarian kealiman kita. Banyak di antara filsuf yang telah kita telaah yang banyak membicarakan filsafat politik. Contohnya, gagasan utama buku Plato yang paling panjang dan paling sistematis, yang berjudul Republic, mengemukakan rencana rasional demi sistem politik ideal. Akan tetapi, ada banyak segi dari usulannya yang tampaknya bagi pembaca modern kurang realistis dan/atau ketinggalan zaman untuk file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (1 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM
51

Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Mar 17, 2019

Download

Documents

letram
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Pekan IX

Filsafat Politik

25. Kekuasaan dan Tapal Batas Politik

Di Bagian Tiga ini kita telah belajar bahwa filsafat tidak hanya

berkenaan dengan persoalan teoretis abstrak yang berkaitan dengan

metafisika, epistemologi, logika, dan penggunaan bahasa, tetapi

juga dengan persoalan praktis yang lebih konkret, semisal yang

berhubungan dengan ilmu dan moralitas. Baik filsafat ilmu maupun

filsafat moral merupakan cabang utama filsafat: keduanya

menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan yang

lebih praktis yang mengenai ilmu tertentu atau situasi etis

tertentu. Di pekan ini saya ingin kita membahas sebuah cabang

kecil pohon filsafat, filsafat politik. Pada aktualnya ada

sejumlah bidang penyelidikan filosofis lain yang bisa dimasukkan

ke Bagian Tiga, kalau saja kita punya waktu. Namun demi maksud

kita, suatu pembahasan filsafat politik bisa berfungsi sebagai

cara yang memadai untuk melengkapi kajian kita tentang bagaimana

menerapkan pemikiran filosofis dalam pencarian kealiman kita.

Banyak di antara filsuf yang telah kita telaah yang banyak

membicarakan filsafat politik. Contohnya, gagasan utama buku Plato

yang paling panjang dan paling sistematis, yang berjudul Republic,

mengemukakan rencana rasional demi sistem politik ideal. Akan

tetapi, ada banyak segi dari usulannya yang tampaknya bagi pembaca

modern kurang realistis dan/atau ketinggalan zaman untuk

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (1 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 2: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

dipertimbangkan dengan sangat serius. Saran bahwa filsuf mesti

dilatih untuk menjadi raja, misalnya, merupakan ide yang jarang,

kalau pernah, dipraktekkan. Salah satu pertimbangan filsafat

politik Plato tampaknya sedemikian jauh dari cara pikir kita

sendiri mengenai politik sehingga pemikiran politik modern banyak

berakar pada ide-ide yang sangat berbeda yang diajukan oleh murid

cemerlangnya. Buku Aristoteles, Politics, juga mengandung beberapa

contoh yang relevansinya terbatas pada negara-kota Yunani kuno,

yang merupakan sistem politik perintis demokrasi modern; namun

persoalan utama yang diangkat adalah kepentingan abadi, yang

dayaterapnya melampaui konteks historis aslinya. Karenanya, pada

kuliah ini kita akan melongok teks klasik filsafat politik ini.

Aristoteles memandang politik bukan sekadar sebagai bidang

opsional penyelidikan filosofis, melainkan sebagai tugas esensial

bagi filsuf mana pun, karena “manusia pada hakikatnya ialah hewan

politis” (AP 1253a(37)). Dalam Politics, Aristoteles menetapkan

sesuatu yang merupakan kota “terbaik”. (Kebetulan, kata Yunani

untuk “kota” adalah polis, yang melahirkan kata “politik”.) Hal

ini menghajatkan dia untuk bukan hanya membahas ciri-ciri khasnya,

melainkan juga menganalisis sifat umum kota dan sistem-sistem

politik (“politeiai”) yang berlainan yang bisa dipakai untuk

memerintah kota. Namun politeiai tidak hanya meliputi struktur

pemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya

(1295a(133)). Walaupun analisisnya sama sekali bukan kata akhir

pada pokok bahasan tersebut, pemeriksaan terhadap gagasan-gagasan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (2 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 3: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Aristoteles bisa menyediakan suatu contoh yang baik tentang

berbagai cara penetapan tapal batas yang menentukan sistem politik

yang bisa diterima.

Arsitoteles memulai kajian politiknya dengan mengklaim bahwa

“setiap kota adalah bentuk persekutuan ... untuk kepentingan

kebaikan”, dan bahwa tugas filsuf politis adalah “menyelidiki

susunan kota” (AP 1252a(35)). Kemudian ia menunjukkan bahwa

beberapa keluarga menimbulkan desa, dan persekutuan antardesa

menimbulkan kota. Oleh sebab itu, persekutuan yang menyusun kota

memerlukan kesepakatan tertentu antara “orang-orang yang serupa,

untuk kepentingan kehidupan yang merupakan kemungkinan

terbaik” (1328a(209)). Aristoteles tak pernah berpandangan bahwa

sekutu-sekutu semacam itu harus sama dalam segala hal, tetapi

bahwa baik kesatuan maupun keragaman harus eksis di antara sekutu-

sekutu dalam berbagai hal: “kota cenderung menjadi ada pada suatu

titik ketika persekutuan yang terbentuk oleh orang banyak itu

swasembada” (1261a-b(55-57)). Oleh karena itu, tujuan kota adalah

not [to be] a partnership in a location and for the sake of not

committing injustice against each other and of transacting

business. These things must necessarily be present if there is to

be a city, but not even when all of them are present is it yet a

city, but [the city is] the partnership in living well both of

households and families for the sake of a complete and self-

sufficient life. (1280b(99))

(bukan persekutuan lokasi dan untuk kepentingan yang tidak

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (3 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 4: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

melakukan kelaliman satu sama lain dan [untuk kepentingan]

transaksi bisnis. Hal-hal ini niscaya harus ada jika ada yang

akan menjadi kota, tetapi bila semuanya ini ada itu belum juga

menjadi kota, kecuali persekutuan hidup yang baik di antara baik

rumahtangga maupun keluarga untuk kepentingan kehidupan yang

swasembada dan lengkap.) (1280b(99))

Siapa saja yang dapat secara aktif berpartisipasi dalam

persekutuan politik yang membentuk kota itu tergolong

“warganegara”. Dengan demikian, Aristoteles mendefinisikan

warganegara sebagai siapa saja yang bisa memegang jabatan

pemerintahan: “Siapa saja yang berhak turut serta di jabatan yang

mencakup perundingan dan keputusan ialah ... warganegara kota ini;

dan kota adalah besarnya jumlah orang-orang semacam itu yang cukup

dengan pandangan akan kehidupan yang swasembada” (AP 1275 a-b

(87)). Berkongsi dalam persekutuan politik kota mensyaratkan

warganegara untuk bukan hanya menjadi pengambil keputusan yang

cakap, melainkan juga menjadi orang yang mau mematuhi putusan-

putusan yang dibuat oleh orang-orang lain. Arsitoteles menekankan

(1277b(92)) bahwa “warganegara yang baik harus mengetahui dan

mempunyai kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal

inilah yang merupakan keluhuran budi warganegara—pengetahuan

tentang aturan pada orang-orang merdeka dari kedua [sudut

pandang].”

Dalam pengertian ini, monarki, yang di dalamnya hanya ada satu

orang yang mengatur, tidak mempunyai warganegara; pada faktanya,

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (4 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 5: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

secara teknis monarki itu tidak memiliki kota dan politik juga,

lantaran tiada persekutuan antara yang setara untuk tujuan

mengatur dan diatur. Karena inilah Aristoteles kadang-kadang

membandingkan monarki dengan sistem yang ia sebut sistem politik

“republikan” (yakni non-monarkis): hanya yang terakhir inilah yang

merupakan politeiai dalam arti sempit kata (walaupun kadang-kadang

ia menggunakan istilah ini secara longgar untuk mangacu pada

monarki juga), sehingga sistem republikan merupakan perhatian

utamanya dalam Politics.

Salah satu segi terpenting filsafat politik Aristoteles adalah

bahwa, dalam pembahasannya, ia menyusun kerangka yang mengandung

enam tipe kemungkinan sistem politik. Tipe-tipe itu dibedakan oleh

perbedaan sumber wewenang dan kekuasaan yang memerikannya. Sesudah

menegaskan bahwa “unsur yang berwewenang” dalam sistem politik

pasti “seorang atau lebih”, ia menjelaskan perbedaan antara sistem

politik yang “benar” dan yang merupakan “penyimpangan” (AP 1279a

(96)): “bila seorang atau beberapa atau banyak orang mengatur

dengan pandangan untuk kepentingan umum, sistem politik ini

niscaya benar, sedangkan yang dengan pandangan untuk kepentingan

pribadi seseorang atau beberapa atau banyak orang merupakan

penyimpangan.”

Nama-nama yang dipakai oleh Aristoteles untuk menandai masing-

masing dari enam sistem tersebut adalah sebagai berikut. Bentuk

monarki yang benar disebut “kerajaan”. (Di Yunani kuno, monos

berarti “sendirian” atau “tunggal”; archos berarti “pengatur”.

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (5 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 6: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Akhiran “-krasi” berasal dari kratos, yang bermakna “kekuasaan”.)

Bentuk “pengaturan oleh beberapa orang” yang benar adalah

“aristokrasi”, yang bermakna bahwa pemerintahan dipegang oleh

orang-orang terbaik (aristos). Adapun “politi” (polity) merupakan

bentuk pengaturan oleh mayoritas yang benar, walaupun Aristoteles

juga memakai istilah ini untuk mengacu dengan cara umum pada semua

sistem politik. Karena kadang-kadang ia membandingkan perbedaan

politeiai dengan monarki, Aristoteles dalam konteks ini mungkin

memaksudkan politeiai untuk ditafsirkan dalam pengertian sempit

ini; secara demikian, klaimnya adalah bahwa semua sistem non-

monarkis (yakni semua republik) bisa disebut politi. Dalam

Nicomachean Ethics (NE 1160a), ia menghindari penggunaan [istilah]

“politi” yang samar-samar dengan mengacu pada sistem politik

ketiga yang benar ini sebagai “timokrasi”, yang bermakna kekuasaan

yang dipegang oleh orang-orang yang memiliki properti (timema)

sendiri. Malahan, ia terang-terangan menyatakan bahwa istilah ini

akan lebih disukai daripada istilah “politi”, walaupun yang

terkemudian ini lebih lazim di antara keduanya. Akan tetapi,

catatan singkat tentang timokrasi ini sulit dibedakan dari

oligarki (lihat bawah); jadi, saya akan mengadopsi istilah-istilah

yang dipakai dalam Politics kendati mungkin bermakna ganda.

Aristoteles juga memaparkan penyimpangan dari tiga bentuk sistem

politik yang pada dasarnya positif:

Deviations from those mentioned are tyranny from kingship,

oligarchy from aristocracy, democracy from polity. Tyranny is

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (6 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 7: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

monarchy with a view to the advantage of the monarch, oligarchy

[rule] with a view to the advantage of the well off, democracy

[rule] with a view to the advantage of those who are poor; none

of them is with a view to the common gain. (AP 1279b(96))

(Penyimpangan dari yang disebut tadi adalah tirani dari kerajaan,

oligarki dari aristokrasi, demokrasi dari politi. Tirani adalah

monarki dengan pandangan untuk kepentingan kepala negara,

oligarki dengan pandangan untuk kepentingan orang-orang kaya,

demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang miskin;

tak satu pun dari ketiganya yang berpandangan untuk perolehan

umum.) (AP 1279b(96))

Mari sekarang kita periksa masing-masing dari enam sistem politik

ini dengan agak lebih rinci.

Dalam pembahasannya tentang kerajaan, Aristoteles berhati-hati

dengan menunjukkan bahwa ada beberapa jenis raja. Pembedaan utama

adalah antara yang wewenangnya melampaui hukum dan yang harus

mematuhi hukum. Sistem politik yang “raja”-nya memerintah “menurut

hukum” bukan kerajaan sejati; raja semacam ini lebih menyerupai

“jenderal permanen” (AP 1287a(113)). Kerajaan dalam pengertiannya

yang sejati adalah “kerajaan absolut”, yang rajanya ialah “orang

yang memiliki wewenang atas segala masalah ..., dengan suatu

penataan yang mirip manajemen rumahtangga” (1285b(110-111)). Pada

kerajaan, “sistem politik terbaik bukan yang didasarkan pada hukum

dan [aturan] tertulis”, karena raja yang baik akan mampu menilai

secara adil menurut keadaan situasi tertentu masing-masing, dengan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (7 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 8: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

dibimbing oleh prinsip-prinsip umum hukum, meskipun penilaiannya

tidak perlu ditetapkan oleh prinsip-prinsip itu (1286a(111)).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam AP 1284a(106-

107): “Jika ada satu orang yang amat menonjol dengan keluhuran

budi yang berlimpah—atau sejumlah orang ...--... orang-orang

semacam itu tak bisa dianggap lagi sebagai bagian dari kota ...

[Ini karena] mereka sendiri merupakan hukum.” Lalu ia menunjukkan

bahwa “penolakan” merupakan nasib yang tak terhindarkan bagi orang-

orang semacam itu “dalam sistem politik yang menyimpang” (1284b

(108)), biarpun dalam “sistem politik terbaik ... orang-orang

semacam ini akan menjadi raja yang permanen di kota-kota mereka.”

Walaupun secara teknis kerajaan merupakan sistem politik terbaik,

Aristoteles lebih menyukai aristokrasi karena beberapa alasan.

Selalu ada bahaya bahwa orang yang memegang semua kekuasaan akan

berubah menjadi buruk, sehingga sistem terbaik akan turun menjadi

yang terburuk (yaitu tirani). Satu-satunya perlindungan terhadap

orang semacam itu yang dikuasai oleh hasratnya sendiri bagi dia

adalah menerima aturan hukum; jadi, “hukum—yang diberlakukan

secara benar—inilah yang seharusnya berwewenang”, bukan orangnya

(AP 1282a-b(103)). Hakikat hukum adalah sedemikian sehingga

melindungi orang-orang terhadap bahaya perusakan yang bisa

disebabkan oleh nafsu mereka sendiri, sebagaimana yang dijelaskan

oleh Aristoteles (1287a(114)): “Orang yang meminta untuk diatur

oleh hukum ... bersikap meminta diatur oleh yang baik dan [akal]

intelek saja, sedangkan orang yang meminta manusia [akan] menambah

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (8 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 9: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

keburukan. Hasrat merupakan sesuatu yang tergolong jenis ini; dan

semangat itu menyelewengkan penguasa dan orang-orang terbaik. Oleh

sebab itu, hukum adalah [akal] intelek tanpa nafsu.”

Masalah lain mengenai kerajaan dalam benak Aristoteles adalah

bahwa bolehjadi ada lebih dari satu orang manusia yang baik di

kebanyakan kota, sehingga orang-orang baik yang tidak dibolehkan

untuk memerintah mungkin tidak puas dengan ketimpangan antara

mereka sendiri dan raja. Situasi yang tidak adil semacam ini

hampir tak terpecahkan oleh penggantian raja dengan aristokrasi,

yang pemerintahnya ialah pria-pria yang baik (AP 1286b(112)).

(Mereka tak mungkin wanita-wanita yang baik karena, menurut

Aristoteles, wanita bahkan tak boleh menjadi warganegara!)

Karenanya, Aristoteles menyiratkan bahwa, ironisnya, semakin

kurang berkuasa seorang raja (yakni semakin tidak menyerupai raja

sejati), semakin lama ia mampu melanggengkan pemerintahannya (1313a

(173)).

“Aristokrasi ... dalam beberapa hal merupakan oligarki” (oligos

bermakna “beberapa”), karena pada kedua tipe sistem politik itu

“pengaturnya beberapa orang” (AP 1306b(159)). Perbedaannya adalah

bahwa, tidak seperti oligarki tipikal (yakni menyimpang) yang

pemerintahnya dipilih dengan hanya “atas dasar kekayaan”,

pemerintah aristokrasi dipilih “sesuai dengan keluhuran

budi” (1273a(82)). (Bila kepemilikan properti adalah tipe kekayaan

yang dipakai sebagai salah satu kualifikasi utama untuk memilih

orang yang diberi kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dalam

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (9 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 10: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

suatu oligarki (lihat umpamanya 1279b(96)), sistem itu bisa juga

disebut timokrasi. Salah satu cara melaporkan potensi ambiguitas

antara istilah “oligarki” dan “timokrasi” adalah mencatat bahwa

timokrasi akan menjadi politi jika nilai properti yang diperlukan

untuk menjadi warganegara sangat rendah, dan akan menjadi oligarki

jika nilainya tinggi, karena hanya akan ada segelintir orang yang

cukup kaya untuk menjadi warganegara.) Oligarki biasanya buruk

bagi suatu kota, karena tidak ada jaminan bahwa pengatur-pengatur

itu berbudi luhur (umpamanya dengan menjaga kesejahteraan orang-

orang miskin) hanya lantaran mereka kaya. Sebaliknya, aristokrasi,

menurut definisi Aristolteles, merupakan sistem politik yang

memberi kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada beberapa orang

yang akan, dengan berbudi luhur, menjaga kepentingan orang-orang

yang bukan anggota kelompok yang memerintah.

Pembedaan yang paling diperhatikan oleh Aristoteles dalam Politics

adalah antara dua bentuk ekstrim pemerintahan non-monarkis, yaitu

oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena dua sistem itu yang

paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik di

Yunani kuno maupun di zaman modern. Contohnya, ia berkata, “hukum

bisa oligarkik atau demokratik” (AP 1281a(100)), dalam ertian

bahwa “dalam sistem politik demokratik, rakyat memiliki wewenang,

sedangkan sebaliknya dalam oligarki, [wewenang] itu milik

segelintir orang” (1278b(94)). Dalam AP 1279b-1280a(96-97), ia

menjelaskan:

oligarchy is when those with property have authority in the

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (10 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 11: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

political system; and democracy is the opposite, when those have

authority who do not possess a [significant] amount of property

but are poor ... What makes democracy and oligarchy differ is

poverty and wealth: wherever some rule on account of wealth,

whether a minority or a majority, this is necessarily an

oligarchy, and wherever those who are poor, a democracy. But it

turns out ... that the former are few and the latter many ...

(oligarki adalah bila yang dengan properti memiliki wewenang

dalam sistem politik; dan demokrasi adalah lawannya, bila yang

mempunyai wewenang ialah yang tidak memiliki sejumlah properti

[yang signifikan], kecuali sedikit sekali ... yang membuat

demokrasi dan oligarki berbeda adalah kemiskinan dan kekayaan:

bilamana suatu pemerintah berdasarkan kekayaan, entah minoritas

entah mayoritas, ini niscaya oligarki, dan bilamana itu yang

miskin, [maka ini] demokrasi. Namun terbukti ... bahwa yang kaya

itu sedikit dan yang miskin itu banyak ...)

“Prinsip penentu aristokrasi adalah keluhuran budi” dan “yang

oligarki adalah kekayaan”, sedangkan prinsip penentu demokrasi

adalah “mayoritas [orang miskin] yang memiliki wewenang” (1310a

(167)).

Demokrasi adalah sistem politik yang di dalamnya persekutuan

antara “rakyat awam” (démos) menetapkan bagaimana kekuasaan dan

wewenang didistribusikan di kotanya. Oleh sebab itu, ini dicirikan

oleh tipe “kemerdekaan” yang melibatkan [orang-orang] “yang diatur

dan yang mengatur menurut gilirannya” (AP 1317a-b(183)). Penataan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (11 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 12: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

pengaturan timbal-balik di antara yang setara semacam itu

“merupakan hukum” (1287a(113)). Sebagaimana dengan kebanyakan

sistem politik lain, Aristoteles membahas beberapa variasi

demokrasi, yang meliputi tipe yang di dalamnya “rakyat menjadi

penguasa monarki”, dalam pengertian bahwa “yang banyak itu

mempunyai wewenang [hukum] bukan selaku individu, melainkan selaku

semuanya bersama-sama” (1292a(125-126)). Dalam arti sempit sistem

politik (yaitu yang tidak memasukkan monarki), “jenis demokrasi

ini bukan sistem politik. Ini karena bilamana hukum tidak mengatur

maka tidak ada sistem politik.”

Aristoteles mengingatkan bahwa sistem politik terbaik bagi kota-

kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu: salah satu dari sistem-

sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang paling

tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi,

umpamanya, ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan merupakan

sistem terbaik bagi suatu kota, walaupun pada umumnya “memiliki

aturan hukum yang dipilih menurut kesukaan oleh salah seorang

warganegara” (AP 1288a(115-116)). Politi, sistem politik yang

sering lebih disukai oleh Aristoteles, merupakan jalan tengah

antara aristokrasi dan demokrasi. Namun dalam kasus politi pun, ia

mengakui bahwa “tidak ada yang bisa mencegah sistem politik lain

untuk lebih menguntungkan bagi [kota-kota] tertentu” (1296b(136)).

Politi adalah sistem politik yang didasarkan pada “jalan

tengah” (lihat umpamanya NE 1106a-1109b(65-75)), prinsip terkenal

dari Aristoteles mengajarkan agar kita selalu menghindari

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (12 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 13: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

keekstriman; dalam hal ini kita diberitahu bahwa “jenis kehidupan

pertengahan adalah yang terbaik” bagi kota dan sekaligus bagi

individu (AP 1295a(133)). Dengan kata lain, politi adalah sistem

politik yang “kelas menengah”-nya, sebagaimana yang kini kita

sebut, merupakan mayoritas rakyat yang mempunyai kekuasaan dan

wewenang untuk memerintah dengan cara yang mencampur unsur-unsur

tiga sistem republikan lainnya. Campuran yang dipikirkan oleh

Aristoteles ini mencakup kombinasi antara demokrasi dan oligarki

(dua keekstriman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur ekstrimnya

akan saling membatalkan: suatu politi mensyaratkan “percampuran

antara ... yang kaya dan yang miskin” (1293b-1294b(129-132)).

Namun ini mungkin juga mencampur unsur-unsur aristokrasi dan

oligarki, sebagaimana politi mensyaratkan “hukum yang

mendistribusikan pejabat atas dasar keunggulan [seperti dalam

aristokrasi] sampai yang kaya [sebagaimana dalam oligarki]” (1288a

(116)). Bila kita baca perkataan Aristoteles bahwa jenis oligarki

terbaik “sangat dekat dengan yang disebut politi” (1320b(190)),

kita harus mengasumsikan bahwa oligarki yang baik ini pada

aktualnya merupakan aristokrasi. Ini karena aristokrasi dan politi

adalah “pertengahan” yang baik antara dua hal “ekstrim” yang

buruk, yaitu oligarki dan demokrasi.

Dengan mempertimbangkan hal itu, sekarang kita dapat memetakan

hubungan antara empat sistem politik republikan (non-monarkis),

dengan menggunakan bagan alur sederhana (seperti pada Gambar

IX.1a) atau salib 2LAR (seperti pada Gambar IX.1b) yang

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (13 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 14: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

dilandaskan pada dua pertanyaan dasar berikut ini: (1) Apakah ada

beberapa pengatur? dan (2) Apakah sistem itu baik (yakni “benar”)?

oligarki aristokrasi

(kekayaan) (beberapa, baik)

aristokrasi pertengahan

(bijak) politi demokrasi

(banyak, baik) (banyak, buruk)

politi hal ekstrim

(kelas menengah)

oligarki

demokrasi (beberapa, buruk)

(miskin)

(a) sebagai Bagan Alur (b) dipetakan pada Salib

Gambar IX.1: Empat Bentuk Sistem Politik Republikan

Peta-peta ini membantu kita dalam melihat mengapa kadang-kadang

praktis Aristoteles menyamakan politi dengan aristokrasi

(umpamanya AP 1286b(112)): sistem-sistem ini, sebagai

“pertengahan”, adalah baik bagi kebanyakan kota, sedangkan

demokrasi dan oligarki, sebagai hal “ekstrim” yang buruk.

Sistem politik lainnya dalam kerangka Aristoteles adalah “tirani”.

Secara teknis, ini merupakan lawan (yaitu penyimpangan dari)

kerajaan. Namun Aristoteles juga menyebutnya “bentuk ekstrim

demokrasi”, dan menambahkan bahwa sebagian dari bentuk-bentuk

oligarki dan demokrasi adalah “tirani”, yang terbagi di kalangan

orang banyak (AP 1312b(172)). Ia menjelaskan hubungan antara

tirani dan dua sistem politik lain yang menyimpang sebagai berikut:

Kingship accords with aristocracy, while tyranny is composed of

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (14 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 15: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

the ultimate sort of oligarchy and of democracy--hence it is

composed of the two bad political systems and involves the

deviations and errors of both of them....

.... Having wealth as its end comes from oligarchy ..., as does

its distrust of the multitude.... From democracy comes their war

on the notables .. (1310b-1311a(168-169))

(Kerajaan sesuai dengan aristokrasi, sedangkan tirani tersusun

dari jenis terdalam oligarki dan demokrasi—karenanya ini tersusun

dari dua sistem politik yang buruk dan mencakup penyimpangan dan

kekeliruan keduanya ...

... Kekayaan sebagai tujuan berasal dari oligarki ...,

sebagaimana kecurigaan khalayak umum ... Dari demokrasi berasal

perang besar ...) (1310b-1311a(168-169))

Ia lalu menjelaskan mengapa kerajaan mengandung risiko tirani yang

tidak berharga:

Kingships no longer arise today; if monarchies do arise, they

tend to be tyrannies. This is because kingship is a voluntary

sort of rule ..., but [nowadays] there are many persons who are

similar, with none of them so outstanding as to match the extent

and the claim to merit of the office. (1313a(173))

(Kerajaan tidak muncul lagi saat ini; jika monarki benar-benar

muncul, monarki ini cenderung menjadi tirani. Ini karena kerajaan

adalah jenis aturan sukarela ..., tetapi [dewasa ini] ada banyak

orang yang serupa, tanpa ada yang sedemikian menonjol untuk

sesuai dengan tingkat itu dan klaim untuk kebaikan jabatan itu.)

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (15 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 16: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

(1313a(173))

Jika sekarang kita tambahkan dua bentuk monarki pada empat bentuk

sistem politik republikan, kita dapat meletakkan keenam sistem itu

bersamaan dalam bentuk bagan alur melingkar, yang memungkinkan

kita untuk melihat keseluruhan kerangka pada satu kesempatan saja.

kerajaan terbaik

aristokrasi politi

lebih baik

sistem politik yang baik

jalan tengah

sistem politik yang buruk

lebih buruk

oligarki demokrasi

tirani terburuk

Gambar IX.2: Enam Bentuk Sistem Politik Aristoteles

Dalam bahasannya tentang revolusi politik, Aristoteles

mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah

menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih

sering mengalami revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem

politik terdekatnya” (AP 1316a-b(179-180)). Dengan kata lain,

revolusi lebih mungkin dipengaruhi oleh logika internal pada

hubungan antara sistem-sistem politik yang berlainan daripada oleh

faktor empiris pada tipe sistem yang berlaku di kota tetangga.

Dalam AP 1286b(112)), Aristoteles memerikan dengan lebih lengkap

bagaimana gerak maju sistem politik, sebagaimana yang dilambangkan

oleh tanda panah di Gambar IX.2, berjalan sendiri secara khas

dalam situasi-situasi historis nyata: sistem politik biasanya

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (16 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 17: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

berawal dengan kerajaan, berlalu menjadi aristokrasi atau politi,

turun menjadi oligarki, jatuh menjadi genggaman tirani, dan

dibebaskan dari penindasan oleh demokrasi. Walaupun gerak dari

aristokrasi ke demokrasi “membahayakan sistem politik” (1270b

(76)), ia mengakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang

hampir tak terelakkan, lantaran berfungsi sebagai perlindungan

terbaik melawan tirani. Namun Aristoteles mengharap fakta historis

ini bisa diatasi oleh akal, sehingga hal yang kurang ekstrim dari

sistem yang benar-benar baik, politi, bisa menjadi kenyataan,

walaupun jarang terdapat di masa lalu. Peningkatan ini bisa juga

dipetakan pada segitiga 6CR (dengan beberapa anak panah yang

ditambahkan) dengan menempatkan tiga sistem “yang baik” pada

segitiga yang menunjuk ke atas dan tiga sistem “yang buruk” pada

segitiga yang menunjuk ke bawah, seperti dalam Gambar IX.3

(bandingkan Gambar V.8). Garis ke atas menuju politi adalah putus-

putus dengan maksud melambangkan sulitnya penerapan transisi pada

sistem ideal ini.

politi

oligarki tirani

kerajaan aristokrasi

demokrasi

Gambar IX.3: Kerangka Kerja Aristoteles sebagai 6CR

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (17 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 18: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Ikhtisar kerangka kerja Aristoteles yang berharga untuk sistem

politik dalam Buku VIII, Bab 10 dari Nicomachean Ethics

menambahkan beberapa hal tambahan yang perlu disebut dalam

simpulan. Di sini kerajaan diperlakukan sebagai opsi terbaik,

karena siapa saja raja yang benar-benar baik akan selalu mempunyai

minat masalah terbaik dalam benaknya. Karena ia memiliki kekuasaan

dan wewenang mutlak atas semua rakyatnya, tak seorang pun yang

mampu mencegah raja dari pengejawantahan kehendak baiknya. Kendati

aristokrasi terdiri dari orang-orang “terbaik”, ini tidak sebaik

kerajaan, karena beberapa orang yang buruk lebih berkemungkinan

untuk menyusupi aristokrasi dan merusak pengatur lainnya yang

baik. Adapun bila semua pemilik properti dibiarkan untuk

mempengaruhi cara pembentukan hukum dan penyebaran hak di kalangan

warganegara, kerusakan semacam itu bahkan lebih mungkin terjadi.

Aristoteles membandingkan pertalian antara warganegara dan kota

dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe pertalian

keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara

bagaikan putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami

dan warganegara lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi

(atau politi), pertalian antarpemilik properti itu seperti

pertalian antarsaudara kandung. Namun sebagaimana pertalian

keluarga tidak selalu serasi, masing-masing sistem politik ini

bisa diselewengkan, sehingga kerajaan memunculkan tirani,

aristokrasi memunculkan oligarki, dan politi memunculkan

demokrasi.

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (18 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 19: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Sebagaimana yang telah kita saksikan, kerajaan adalah pilihan yang

risikonya terbesar, karena “yang terburuk adalah kebalikan dari

yang terbaik.” Oleh sebab itu, ketika memilih suatu sistem

politik, kita harus senantiasa memperhatikan bahwa bila tujuan

kita suatu sistem tertentu, kita mungkin justru berujung pada

kebalikannya. Karenanya, sebagaimana yang telah kita lihat,

Aristoteles di tempat lainnya membela politi (yakni timokrasi)

sebagai pilihan teraman: walaupun tergelincir menjadi demokrasi,

efek negatifnya pada warganegara umum hanya minimal, karena

demokrasi adalah “yang paling sedikit keburukannya” dari tiga

sistem politik yang buruk. Dalam sistem “pemerintahan mayoritas”,

kehendak mayoritas berkemungkinan untuk dipengaruhi secara

merugikan oleh motif mementingkan diri sendiri dari rakyat yang

buruk yang tinggal di masyarakat mana pun, kendati dalam beberapa

hal, ini akan diseimbangkan oleh motif-motif yang baik dari rakyat

yang bijak. Pada kuliah mendatang saya akan menyarankan cara yang

agak mengejutkan tentang penerobosan tapal batas politik

sebagaimana yang ditentukan oleh sistem Aristoteles. Kemudian kita

akan menyimpulkan Bagian Tiga dengan mempertimbangkan sitem

politik apa yang paling alim bagi masyarakat modern ketika kita

memasuki milenium ketiga.

26. Teokrasi: Penerobosan Terdalam

Dewasa ini kita sering mendengar betapa hebat demokrasi sehingga

barangkali cukup mengejutkan bagi kalian ketika kita belajar di

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (19 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 20: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

kuliah terdahulu bahwa filsuf sebesar Aristoteles memandangnya

sebagai sistem yang buruk! Mengapa orang-orang yakin bahwa

demokrasi teramat baik? Sebagian besar dari kalian barangkali

mengira: “karena ini memberi kita kebebasan maksimal.” Namun mitos

ini sangat meragukan. Demokrasi memberi warganegaranya kekuasaan

dan wewenang untuk memilih pejabat dan menetapkan undang-undang.

Jika Aristoteles benar, hasil nettonya mungkin buruk, karena orang-

orang yang baik barangkali merupakan minoritas. Dalam hal demikian

ini, orang-orang yang baik itu takkan mampu untuk menjalankan

kontrol secukupnya untuk menerapkan kebijakan yang benar-benar

bijaksana bagi kota. Kisah Sokrates dan Yesus merupakan dua contoh

yang baik tentang bagaimana mayoritas cenderung membuat putusan

yang salah, mengingat keduanya dihukum mati sebagai akibat

langsung dari sesuatu yang menyerupai suara demokrasi. Kendati

terdapat banyak perbedaan antara kedua peristiwa ini (umpamanya

Sokrates membela diri dengan panjang-lebar, sedangkan Yesus tetap

membungkam di depan penuduh-penuduhnya), ada kemiripan yang

mendasar. Pada kedua kejadian itu mayoritas orang dibolehkan untuk

menyuarakan pendapat untuk mengeksekusi kedua orang tersebut yang

mereka rasa akan lebih baik bagi kota mereka.

Dengan memperhatikan hal itu, mari kita periksa lebih dekat

bagaimana perbedaan tingkat kebebasan yang ditawarkan kepada

warganegara oleh tiga pasang sistem politik Aristoteles. Sering

dikatakan bahwa tiada sesuatu yang merupakan kebebasan yang tak

terbatas: sesungguhnya, kebebasan biasanya dibatasi oleh pengacuan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (20 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 21: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

pada beberapa pembatasan, seperti pembatasan kesetiaan kepada

penguasa, atau ketaatan kepada hukum, secara sukarela. Jadi,

pertanyaannya di sini, bagaimanakah masing-masing sistem politik

menggariskan tapal batas yang membatasi kebebasan warganegara?

Raja memerlukan tingkat kesetiaan yang tinggi dari rakyatnya,

sampai batas bahwa mereka tak bisa dengan tepat disebut

“warganegara” sama sekali; namun pada gilirannya, raja yang baik

itu memberi rakyatnya tingkat kebebasan yang tinggi. Kehidupan

sehari-hari mereka tidak perlu dicampuri oleh hukum yang

berlebihan selama mereka tetap setia kepada raja. Kelas penguasa

di suatu aristokrasi mensyaratkan tingkat penghormatan dan

kesetiaan yang lebih moderat, tetapi pada gilirannya menawarkan

tingkat kebebasan yang moderat juga. Lebih banyak hukum yang

dibutuhkan untuk mengendalikan kelas rendahan, dan hukum-hukum ini

membatasi kebebasan semua warganegara. Akhirnya, dalam suatu

politi (atau timokrasi), dan lebih-lebih dalam demokrasi, tingkat

kebebasan warganegara pada aktualnya rendah secara komparatif—

kendati keyakinan umum adalah sebaliknya. Mengapa? Karena dalam

sistem ini terdapat sedikit atau tiada kebutuhan bagi warganegara

untuk setia atau penuh-hormat kepada sesama warganegara; alih-

alih, jaringan hukum yang kompleks harus dilembagakan supaya

warganegara yang lebih kuat tidak menzalimi warganegara lain yang

lebih lemah.

Dalam politi atau demokrasi, hukum-hukum menyingkirkan kebebasan

dan menggantinya dengan hak. Kerangka sistem politik Aristoteles

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (21 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 22: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

secara gamblang mengungkap bahwa pengorbanan kebebasan semacam itu

merupakan harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang hendak

meminimalkan risiko tirani. Ini karena sistem yang terlalu

membanggakan tingkat kebebasan yang tinggi bisa dengan cepat

berubah menjadi kebalikannya, yang sedikit atau tidak menawarkan

kebebasan kepada warganegara, tetapi yang meningkatkan kezaliman

dan penindasan dari suatu tipe yang tidak mungkin terjadi dalam

demokrasi. (Pertalian berkebalikan antara kebebasan dan risiko

adalah unsur pokok tabel yang tersedia di Gambar IX.6, yang

merangkum enam tipe dasar sistem politik, plus dua hal ekstrim

yang akan kita periksa pada jam ini.) Sebagaimana yang akan kita

lihat di Kuliah 27, terminologi Aristoteles kini agak ketinggalan

zaman. Namun bagaimanapun, dengan menyediakan kerangka kerja yang

jelas demi pemahaman tentang bagaimana sistem politik berjalan

(apa pun sebutannya!), ia menunjukkan bagaimana kesetiaan kepada

yang berkuasa itu membentuk tapal batas yang memungkinkan sistem

politik yang memungkinkan kebebasan bagi warganegaranya.

Paradoks ini, bahwa tingkat kebebasan yang tinggi hanya terwujud

melalui pengorbanan hak-hak kita sebanyak-banyaknya kepada

kekuasaan yang lebih tinggi, berkaitan erat dengan sebuah masalah

lain—yaitu yang pada aktualnya merupakan tema yang agak umum di

kalangan filsuf politik. Bahkan, ada banyak matakuliah pengantar

filsafat yang mencurahkan sebagian besar atau semua kuliahnya pada

filsafat politik untuk membahas masalah lain ini, yang dihasilkan

oleh konflik antara kebebasan dan kesetaraan. Baik kebebasan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (22 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 23: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

maupun kesetaraan merupakan contoh khas sesuatu yang dianggap

ideal yang mestinya menentukan ciri sistem politik yang baik (dan

yang dewasa ini biasanya berarti “demokratik”). Namun jika setiap

orang itu bebas sepenuhnya untuk melakukan hal yang mereka

senangi, maka akan ada begitu banyak ketimpangan: yang kuat

cenderung menguasai yang lemah; yang kaya cenderung meminggirkan

yang miskin; yang berkuasa cenderung melecehkan yang lemah; dan

sebagainya. Negara ekstrim tanpa pengatur (dan tanpa aturan)

semacam itu disebut “anarki”. Sebaliknya, negara dengan kesetaraan

total antara setiap orang hanya bisa terjadi melalui penyingkiran

kebebasan orang-orang tersebut. Novel terkenal karya B.F. Skinner,

Walden Two, menyediakan contoh yang baik tentang opsi ini.

Masyarakat ideal yang ia bayangkan adalah yang pengkondisian

psikologisnya digunakan untuk menetapkan pertalian antara setiap

orang, sehingga rakyat tinggal di negara dengan kesetaraan yang

serasi, meskipun mereka tidak memiliki kebebasan.

Untuk menanggapi masalah konflik antara kebebasan dan kesetaraan

itu, ada dua cara yang amat berlainan. Cara pertama mengupayakan

kompromi. Inilah pilihan yang diambil oleh sistem politik

demokratik (yaitu, dengan meminjam istilah Aristoteles,

“republik” [lihat Gambar IX.1]). Tentu saja ada banyak cara lain

yang berbeda untuk meyakinkan betapa baik kompromi tersebut.

Umpamanya, para sosialis melakukannya dengan pengetatan kontrol

pemerintahan terhadap perekonomian, sehingga mengurangi

ketimpangan dengan mengurangi tingkat kebebasan, sedangkan para

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (23 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 24: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

libertarian melakukannya dengan pelenyapan kontrol pemerintahan

semacam itu dan penaruhan kepercayaan kepada kekuatan ekonomi

alamiah yang akan mengatur tingkat perubahan kebebasan dan

sekaligus kesetaraan.

Tanggapan kedua terhadap masalah tersebut adalah menolak kompromi,

atas dasar bahwa yang dibutuhkan adalah penerobosan. Inilah opsi

yang dipilih oleh sistem politik utopia. Contohnya, komunisme,

dalam bentuk Marxis aslinya, merupakan filsafat politik yang

mengklaim bahwa ada kemungkinan terdapat masyarakat yang individu-

individunya menikmati tingkat kebebasan dan kesetaraan yang

tertinggi. Karl Marx (1818-1883) yakin bahwa kerja adalah faktor

terpenting yang memberi makna kepada seorang manusia, karena kita

ialah apa yang kita lakukan. Marx melihat bahwa dalam masyarakat

kapitalis pada zamannya, pekerja-pekerjanya terasingkan dari

produk jerih payah mereka oleh pengusaha rakus, yang memanfaatkan

pekerja sebagai obyek, sebagai alat pencetak uang. Ia menyatakan,

sekiranya orang-orang bangkit dan memberontak melawan ini dan

perlakuan buruk lainnya akibat kapitalisme, suatu masyarakat baru

akan tiba. Pandangan Marx tentang masyarakat komunis sempurna

antara orang-orang ini adalah masyarakat yang di dalamnya setiap

orang memberi kerja “menurut kemampuan mereka”. Sayangnya, abad

keduapuluh memberi kita bukti yang berlimpah bahwa karakter dan

motivasi orang-orang yang memberontak melawan kezaliman tidaklah

semurni yang diimpikan oleh Marx. Komunisme adalah sistem politik

yang gagal karena alasan yang sama dengan alasan yang diyakini

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (24 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 25: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

oleh Marx bahwa demokrasi gaya-kapitalis telah gagal: pada kedua

kasus itu, ironisnya, semakin keras usaha orang-orang untuk

membawa kebebasan dan keadilan menuju tangan diri mereka sendiri,

mereka semakin menjadi budak kezaliman yang mereka ciptakan!

Terdapat begitu banyak model masyarakat utopia lain; namun pada

jam ini saya akan memusatkan perhatian istimewa pada sebuah

alternatif untuk komunisme yang jarang diakui sebagai sistem

politik yang laik, bahkan juga oleh orang-orang yang mengira

meyakininya. Ini merupakan pandangan utopia yang cukup berbeda

dengan negara komunis-nya Marx atau pun Manusia Super-nya

Nietzsche; karena ini merupakan pandangan bahwa tujuan bumi itu

ditentukan dan dikendalikan bukan oleh orang-orang yang menerobos

batas-batas pandangan penyangkal-kehidupan yang asing, melainkan

oleh Tuhan yang menerobos lubuk hati manusia yang paling dalam.

Sebagian besar orang-orang religius bukan hanya yakin bahwa Tuhan

ada dan bahwa kita, entah bagaimana, dapat berkomunikasi dengan

Tuhan, melainkan juga bahwa Tuhan mempunyai rencana bagi dunia ini—

rencana yang pemenuhan hakikinya tidak bisa dicegah dengan segala

ikhtiar-balik pada peran manusia. Sebagian besar orang-orang

religius yakin rencana ini terbatas pada alam “spiritual”, dan

bahwa pada alam “material” yang berupa (umpamanya) ekonomi dan

politik, sistem manusia bisa berfungsi secara cukup terpisah dari

rencana ilahi ini. Akan tetapi, para pemikir keagamaan yang paling

mendalam (dan kebanyakan secara filosofis) selalu menegaskan bahwa

pembedaan artifisial semacam itu tidak sah. Jika ada Tuhan beserta

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (25 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 26: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

rencana-Nya, maka rencana ini berhubungan dekat dengan kegiatan

politik seluruh masyarakat sebagaimana dengan kegiatan pribadi

individu di dalam masyarakat yang ada.

Nama terbaik bagi ide bahwa aturan Tuhan tidak hanya berlaku pada

beroperasinya kekuasaan ilahi di hati manusia, tetapi juga pada

beroperasinya kekuasaan tersebut di ruang pengadilan dan pasar,

adalah “teokrasi” (dengan theos yang berarti “Tuhan” dan kratos

yang berarti “kekuasaan”). Sayangnya istilah ini sering dipakai di

masa lalu untuk mengacu pada ide yang dikira serupa yang pada

aktualnya bertolak-belakang dengan teokrasi dalam bentuknya yang

murni. Secara tradisional, sistem politik disebut “teokrasi” jika

suatu kelompok religius (semisal gereja) menganggap diri sendiri

sebagai juru bicara Tuhan di bumi, sehingga kebijakan apa pun yang

dirumuskan oleh pemimpin-pemimpinnya harus diterima oleh orang-

orang itu sebagai perintah langsung dari Tuhan. Untuk membedakan

penggunaan istilah “teokrasi” secara tradisional ini dari

[pengertian] yang ketepatan maknanya saya yakini, saya menciptakan

istilah “eklesiokrasi” untuk mengacu pada segala sistem politik

yang kekuasaannya digunakan oleh pemimpin “majelis” (ekklesia)

orang-orang religius. Contoh khas eklesiokrasi adalah bangsa

Israel selama periode yang menyertai Ezra dan Nehemiah (yaitu

sesudah kembali dari pengasingan Babilonia), sebagian besar dari

Eropa selatan selama masa Kekaisaran Romawi Suci, dan kota Jenewa

selama bagian terakhir dari kehidupan John Calvin.

Alasan pentingnya pembedaan antara eklesiokrasi dan teokrasi tulen

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (26 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 27: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

adalah bahwa, walaupun teokrasi sebenarnya merupakan pandangan

tentang “kerajaan Tuhan di bumi” yang mestinya oleh orang-orang

religius dianggap sebagai yang terbaik dari semua sistem politik

yang mungkin ada, eklesiokrasi adalah penyelewengan terhadap

idaman hakiki yang membodohi banyak kaum-beriman yang polos.

Malahan, sebagaimana yang kita pelajari dari Aristoteles,

penyelewengan terhadap sistem yang pada hakikatnya baik itu pada

hakikatnya merupakan sistem yang buruk. Eklesiokrasi

menyelewengkan teokrasi dengan menggantikan aturan otonom Tuhan di

hati setiap individu dengan versi keagamaan dari salah satu sistem

politik yang berasal-usul dari manusia tersebut. Ini berarti,

seorang manusia, atau lebih, akhirnya menggunakan kekuasaan atas

anggota-anggota majelis religius yang awam, dengan memakai nama

Tuhan sebagai garansi keaslian. Namun demikian, ini merupakan

tragedi agama manusia: bahwa dalam upaya membawa orang lain menuju

Tuhan, ada banyak penganut agama yang akhirnya menghalangi orang

lain dari menerima kekuatan yang sangat spiritual yang hendak

mereka anjurkan. Sungguh, ini terjadi manakala seseorang

membebankan seperangkat standar kepada orang lain, dengan

mengklaim bahwa Tuhan berbuat hanya dengan cara khusus ini,

sehingga semua orang yang tidak bersesuaian dengan konsepsi khusus

tentang “Jalan Tuhan” ini akan ditolak oleh Tuhan.

Salah satu di antara banyak masalah lantaran sikap serba-terlalu-

umum terhadap keyakinan keagamaan adalah bahwa ini berasumsi bahwa

kita manusia pada aktualnya dapat memahami Tuhan; sebaliknya,

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (27 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 28: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

teokrasi hanya menganggap bahwa untuk mengikuti rencana Tuhan,

seorang manusia harus berkehendak untuk dipahami oleh Tuhan. Ini

biasanya berarti kita bebal perihal Jalan Tuhan sampai saat

terungkap secara aktual di hati kita masing-masing. Saya yakin

bentuk “murni” teokrasi ini tersaji di keseluruhan Bibel (dan di

Kitab-Kitab dari banyak agama dunia lainnya, walau bentuknya tidak

semurni itu) sebagai sistem politik aktual. Perbedaan tepatnya

antara teokrasi dan semua sistem politik lain (termasuk

eklesiokrasi) sesungguhnya adalah bahwa teokrasi sajalah yang

melepaskan semua hak manusia untuk memerintah diri mereka sendiri,

dengan mengakui Tuhan selaku satu-satunya pemerintah sejati.

Dengan pengertian ini, teokrasi bisa disebut “sistem politik non-

politis”, asalkan kita mengerti bahwa frase tersebut harus

ditafsirkan dengan menggunakan logika sintetik. Filsafat politik

yang disebut anarki (yakni “tanpa pengatur”) pada aktualnya ada

kesamaannya dengan teokrasi dalam hal gagasan bahwa orang-orang

hanya melestarikan kelaliman bila mencoba menggunakan hukum untuk

memerintah diri mereka; akan tetapi, karena ini menolak semua

aturan, ini tak bisa dengan tepat disebut sistem politik begitu

saja. Dipandang dari perspektif orang yang tidak percaya kepada

Tuhan, teokrasi sulit dibedakan dari anarki. Tentu saja,

perbedaannya adalah bahwa para teokrat percaya kepada prinsip

pedoman umum yang menyatukan setiap orang bersama-sama secara diam-

diam, sedangkan pada para anarkis tiada yang tinggal selain

keragaman yang tak terbatas dan pergulatan yang tak terpecahkan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (28 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 29: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

antara kehendak-kehendak yang berlawanan.

Dalam Bibel, sebagaimana dalam literatur agama lainnya, kerajaan

Tuhan disajikan sebagai sesuatu yang tiba-tiba muncul, dengan

menduduki alam keadilan insani dengan keadilan ilahi yang tak bisa

diprediksikan atau pun dipahami dengan kategori-kategori insani.

Invasi ilahi ini terutama terarah menuju hati manusia; namun

demikian, sebagaimana yang dijelaskan di Perjanjian Baru dengan

banyak cara, tanggapan orang terhadap perubahan ini seharusnya

tidak sekadar pada bagian dalam, tetapi harus memperbaharui semua

segi kehidupan orang tersebut. Penderitaan Yesus pada khususnya

harus dipandang sebagai jenis penderitaan yang politis seluruhnya,

yang terkait langsung dengan penolakan radikalnya terhadap segala

alat manusia yang digunakan untuk mencapai keadilan di bumi. Pesan

salib dan kebangkitan kembali adalah pesan teokratik: hanya bila

kita meninggal demi cara insani kita dalam memerintah diri

sendiri, maka kita akan membiarkan Tuhan merembesi kita dengan

kehidupan baru yang berciri keadilan ilahi. Perbedaan tajam antara

gagasan ini dan gagasan Manusia Super ala Nietzsche menyiratkan

bahwa kita dapat menyebut cara pemecahan masalah kelaliman

manusiawi ini “transvaluasi nilai ilahi”. Bagaimana keadilan Tuhan

menerobos semua bentuk keadilan insani (termasuk yang dianut oleh

pendukung eklesiokrasi), yang memberi makna baru kepada kata-kata

seperti “kesetaraan” dan “hak”, itu dilukiskan dalam Gambar IX.4.

keadilan ilahi

teokrasi

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (29 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 30: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

eklesiokrasi

keadilan insani

Gambar IX.4: Transvaluasi Nilai Ilahi

Ada banyak implikasi teokrasi, sebagai sistem politik, yang

terlalu rumit untuk dibahas di sini. Akan tetapi, saya akan

menyebut salah satu implikasi yang paling signifikan: sistem ini

menolak ide, yang begitu sering diambil begitu saja di budaya

Barat modern, bahwa kita mempunyai hak asasi, seperti hak atas

“kehidupan, kebebasan, dan kebahagiaan”. Menggantikan asumsi

tersebut, sistem ini mengklaim bahwa hak asasi manusia seharusnya

jangan diakui sebagai sesuatu selain hadiah dari Tuhan. Hanya jika

kita mengakui bahwa tidak mempunyai hak atas kita sendiri, dan

karenanya kita berutang kesetiaan mutlak kepada Tuhan, maka kita

akan diberi kebebasan mutlak. Dalam Bibel, kebebasan ini tidak

hanya spiritual, tetapi juga politis sepenuhnya. Oleh sebab itu,

teokrasi bertolak belakang dengan demokrasi; lantaran demokrasi

menekankan hak asasi manusia sebagai tukaran untuk pembatasan yang

ketat terhadap kebebasan kita. Akan tetapi, teokrasi tidak

menghajatkan penghancuran sistem-sistem lain. Teokrasi justru bisa

berdampingan dengan apa pun dari enam sistem Aristoteles (termasuk

demokrasi). Kebebasanlah yang ditawarkannya yang berawal di hati

manusia, dan melepaskan kelekatan kita dengan segala sistem

politik terbatas yang dibuat oleh manusia yang mengendalikan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (30 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 31: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

kehidupan kita.

Fakta bahwa teokrasi paling sering dipaparkan di Bibel dengan

istilah kerajaan menyiratkan bahwa inilah yang dipandang paling

tepat sebagai tipe sistem politik monarkis, bukan yang republikan.

Sesungguhnya, jika kita perhitungkan teokrasi dan selewengannya,

yaitu eklesiokrasi, bersama-sama dengan dua bentuk sistem politik

monarkis Aristoteles, yaitu kerajaan dan tirani, kita dapat

melukiskan pertaliannya sebagai 2LAR sempurna, yang timbul dari

dua pertanyaan: (1) apakah sistemnya religius? dan (2) Apakah

sistemnya baik (atau “benar”)? Sebagaimana teokrasi yang merupakan

bentuk religius kerajaan (dengan Tuhan selaku raja), eklesiokrasi

adalah bentuk religius tirani. Oleh sebab itu, dua peta sama yang

dipakai di Gambar IX.1 untuk memerikan hubungan antara empat

sistem politik republikan bisa digunakan untuk memetakan hubungan

antara empat sistem politik monarkis:

eklesiokrasi teokrasi

(Tuhan palsu) (religius, baik)

teokrasi pertengahan

(Tuhan sejati) kerajaan tirani

(nonreligius, baik) (nonreligius, buruk)

kerajaan hal ekstrim

(orang baik)

eklesiokrasi

tirani (religius, buruk)

(orang buruk)

(a) Sebagai Bagan Alur (b) Dipetakan pada Salib

Gambar IX.5: Empat Bentuk Sistem Politik Monarkis

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (31 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 32: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Gambar IX.5a menunjukkan bagaimana eklesiokrasi merupakan bentuk

ekstrim teokrasi, sebagaimana olegarki merupakan bentuk ekstrim

aristokrasi. Selanjutnya, sebagaimana kerajaan merosot menjadi

tirani, teokrasi merosot menjadi eklesiokrasi bila peran yang

hanya tepat bagi yang ilahi dirampas oleh manusia. Dalam

pengertian ini, eklesiokrasi adalah bentuk asal semua tirani,

karena penindasannya secara spiritual dan sekaligus secara fisikal.

Dengan meletakkan salib 2LAR di sini pada Gambar IX.5b bersama-

sama dengan korelasi republikannya di Gambar IX.1b, kita sekarang

dapat menyusun 3LAR sempurna. Tiga pertanyaan yang menelurkan

perangkat lengkapnya yang berupa delapan sistem politik yang

nirmustahil adalah: (1) Apakah sistemnya monarkis? (2) Apakah

sistemnya religius atau diatur oleh sedikit orang? (3) Apakah

sistemnya baik (atau “benar”)? Delapan sistem ini bisa dipetakan

pada salib ganda (yaitu sepasang salib konsentris, dengan salah

satunya diputar dengan sudut 45º dari yang lain). Namun sebagai

ganti pelukisan gambar serumit itu di sini, saya menyediakan

sebuah ikhtisar yang lebih rinci tentang pertalian antara delapan

sistem dalam tabel yang tersaji di Gambar IX.6. Tabel ini

mendaftar delapan tipe sistem politik dari yang terbaik ke yang

terburuk, bersama-sama dengan unsur 3LAR yang bersesuaian dengan

masing-masing. Kolom kedua memberi deskripsi tunggal tentang

bagaimana nama setiap sistem itu diturunkan dari kata kunci Yunani

yang mengacu pada sumber kekuasaan politiknya. Kolom ketiga dan

keempat membandingkan tingkat risiko, kebebasan, dan hak asasi

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (32 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 33: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

yang disediakan oleh setiap sistem. Adapun kolom kelima meringkas

dan mengembangkan analogi Aristoteles antara pertalian negara-

warganegara dan pertalian antara berbagai anggota keluarga.

Tipe logis

sistem politik

Sumber wewenang

“kekuasaan” [kratos] dan

“aturan” [arche]

Tingkat

risiko dan

kebebasan

Tingkat hak

asasi

Analogi keluarga

(warga/negara)

Teokrasi (+++) Pengalaman ketuhanan

[theos] setiap orang

mutlak tiada Orang/diri (sehat)

Kerajaan (+-+) Satu orang yang baik tinggi rendah Putra/ayah yang

baik

Aristokrasi (-+

+)

Kelas elit orang

“terbaik” [aristos]

sedang sedang Istri/suami yang

baik

Timokrasi atau

Politi (--+)

Semua pemilik

“properti” [timema] atau

kelas menengah

rendah tinggi Adik/kakak

Demokrasi (---) Semua warganegara

“umum” [demos]

rendah tinggi Saudara kembar

Oligarki (-+-) Beberapa

“gelintir” [oligos]

orang kaya

lebih rendah sedang Istri/suami yang

buruk

Tirani (+--) Satu orang yang buruk sangat rendah rendah Putra/ayah yang

buruk

Eklesiokrasi (+

+-)

“majelis” [ekklesia]

orang-orang religius

terendah amat rendah

(tiada)

Orang/diri (tak

sehat)

Gambar IX.6: Delapan Tipe Pokok Sistem Politik

Kebenaran atau kesalahan teokrasi bukan sesuatu yang bisa

ditunjukkan dengan bukti filosofis atau ilmiah apa pun. Alih-alih,

ini harus diterima sebagai “mitos”, dalam pengertian khusus yang

diperkenalkan di Kuliah 3, sebagai kebenaran yang begitu benar

sehingga ini pun tak bisa dipertanyakan oleh orang-orang yang

hidup dengan cahaya bimbingannya. Ini tidak berarti bahwa tidak

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (33 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 34: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

ada alasan untuk percaya kepada teokrasi. Dengan melangkah menuju

mitos ini, kita justru akan menemukan Tuhan yang mendobrak

kehidupan kita dalam pengalaman konkret yang nyata, yang

kesahihannya hampir tak bisa diragukan. Namun lantaran alasan ini—

yakni karena teokrasi tidak bisa disahihkan oleh ilmu dan oleh

cinta kealiman, tetapi hanya oleh pengalaman dan oleh takjub

berkeheningan—saya akan menghindari pembahasan tema religius

pandangan ini lebih lanjut dalam hal ini; alih-alih, kita akan

kembali ke topik pengalaman keagamaan pada Pekan XI.

27. Kealiman di Tapal Batas: Ide lawan Ideologi

Jika sekarang kita melangkah mundur dan melihat berbagai solusi

yang kita pertimbangkan terhadap masalah pencarian sistem politik

terbaik, mungkin mudah menjadi patah semangat. Bahkan, begitu pula

untuk kebanyakan topik lain yang telah kita bahas, terutama di

Bagian Tiga ini. Tanpa keraguan, tema yang paling sering saya

temui dalam membaca lembar mawas mahasiswa adalah ide bahwa

pertanyaan filosofis “tidak mempunyai jawaban pasti”; kadang-

kadang ini dipakai sebagai bukti bagi pandangan bahwa kenyataan

yang diacu oleh pertanyaan semacam itu tidak eksis atau tidak

relevan dengan kehidupan nyata. Akan tetapi, saya harap pada saat

ini saya telah menunjukkan bahwa kedua pandangan itu tidak benar.

Jauh dari penemuan bahwa tiada jawaban-pasti terhadap pertanyaan-

pertanyaan yang kita pikirkan, kita biasanya mendapati banyak

jawaban pasti! Ini karena filsuf yang baik mencari jawaban-jawaban

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (34 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 35: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

pasti, sebanyak yang dicari oleh ilmuwan alamiah; masalahnya,

tentu saja, adalah bahwa para filsuf tidak mampu menggapai tingkat

kesepakatan yang dicapai oleh para ilmuwan alamiah, karena

pertanyaan-pertanyaan filosofis lebih mengenai ide-ide daripada

obyek-obyek empiris. Dengan kata lain, masalah yang diangkat oleh

pengalaman yang muncul secara berhadapan muka dengan kenyataan

yang niscaya tidak kita ketahui itu biasanya bukan masalah

tiadanya sesuatu yang [bisa] kita katakan; masalahnya justru bahwa

kita mempunyai banyak hal yang [bisa] kita katakan yang agaknya

berlawanan. Oleh sebab itu, tugas filsuf adalah berupaya memasang

setiap bagian dari teka-teki (puzzle) bersama-sama sedemikian rupa

sehingga aspek-aspek yang benar dari setiap jawaban itu bisa

diakui untuk aspek masing-masing. Para filsuf yang mengakui cinta

kealiman sebagai bagian esensial dari tugas mereka takkan pernah

puas dengan suatu jawaban tunggal yang diduga serba-mencakup; ini

bukan karena mereka meragukan keberadaan jawaban semacam itu,

melainkan karena mereka melihat sekilas realitasnya yang

menakjubkan!

Alternatif terhadap mencintai kealiman “di tapal batas” antara

pengetahuan kita dan kebebalan kita yang terakui adalah memilih

sebuah ide saja atau sejumlah ide dan mengangkatnya ke tingkat

kebenaran mutlak. Bila ini terjadi, orang-orang yang mengklaim

“kebenaran” ini secara khas mengakui bahwa menyebarkan ajaran ini

(“berita baik” bahwa kebenaran mutlak bisa diketahui!) kepada

orang lain yang masih di kegelapan merupakan tugas mereka.

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (35 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 36: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Sayangnya, tujuan ini terlalu sering dibawa ke sisi ekstrimnya

yang berupa memaksa orang lain untuk “setuju” dengan jawaban pasti

satu-satunya yang diambil sebagai kebenarna mutlak. Akibatnya,

serangkaian ide filosofis yang bisa menawarkan wawasan luas kepada

kita berubah menjadi ideologi politik, suatu antitesis filsafat-

yang-baik. Ideologi, istilah yang saya gunakan di sini, adalah

segala rangkaian ide—yang acapkali berwawasan luas bila dipandang

secara obyektif, di luar penerapan politisnya (secara keliru)—yang

tersaji sedemikian rupa sehingga “orang-orang yang percaya”

memandang bahwa diri mereka memiliki monopoli atas kebenaran.

Maksudnya, bila seseorang serta-merta menolak kemungkinan

perspektif sah lainnya, suatu ideologi pasti terdapat. Ideologi

adalah sistem pikiran yang tersusun rapi yang tidak hanya

diperlakukan sebagai mitos oleh orang-orang yang “tinggal di

dalamnya”, tetapi juga dipaksakan kepada orang-orang yang tidak

mau menerima mitos itu sebagaimana adanya.

Abad keduapuluh bisa juga disebut “abad ideologi”. Ideologi

politik menghasilkan pembagian Timur-Barat, yang mencapai

puncaknya pada masa Perang Dingin, ketika istilah “Marxis” dan

“Kapitalis” tampaknya hampir menentukan “keburukan” orang-orang

yang berdiri di sisi lain. Di alam moral, berbagai jenis

fundamentalisme keagamaan yang tiba-tiba muncul di seluruh dunia

menggambarkan contoh terbaik tentang bahaya ideologi daripada

contoh-contoh tunggal lainnya. Bila orang-orang lebih suka

membunuh orang-orang yang tidak sependapat dengan ide-ide mereka

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (36 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 37: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

daripada berdialog dengan mereka, pasti ideologinya berjalan.

Namun ideologi baru berjalan kuat, walau sulit dimengerti, dalam

ilmu—terutama ilmu sosial, yang memiliki perbedaan yang begitu

tajam antara (umpamanya) psikolog behavioris dan psikolog

kedalaman sehingga dialog tidak dimungkinkan sama sekali. Bukannya

mencari wawasan-wawasan tulen di mana saja wawasan-wawasan itu

bisa ditemukan, orang-orang yang di bawah kendali ideologi bahkan

tidak mau mempertimbangkan bahwa pendekatan-pendekatn lain

terhadap bidang tersebut mungkin sah. Adapun ilmu alamiah pun

tidak sepenuhnya kebal terhadap kekuasaan ideologi, meski para

ilmuwan cenderung menunaikannya dengan menggunakan istilah-istilah

seperti “paradigma” untuk menerangkan perbedaan mereka yang tak

bisa dipertemukan. Intinya adalah bahwa, jika kita mengambil

pelajaran dari abad keduapuluh, itu merupakan bumerang ideologi.

Kutipan dari kitab terakhir Bibel: “mereka yang hidup dengan

pedang, mati oleh pedang” (Wahyu 13:10).

Dengan mengingat hal itu, saya ingin mengingatkan bahwa jangan

sampai teokrasi beralih menjadi ideologi, suatu “isme” yang bisa

diperlakukan sebagai solusi final terhadap semua masalah manusia.

Jika seseorang merasa bahwa kebebasan teokratik tidak mengizinkan

ia kembali ke tapal batas realitas politik dengan mengakui bahwa

tidak semua orang menerima pandangan teokratik, maka orang semacam

itu akan berisiko mengalihkan sistem ide yang pada potensinya

berwawasan luas ke ideologi yang menakutkan: teokrasi akan merosot

menjadi eklesiokrasi. Pada kuliah terakhir dari Bagian Tiga ini,

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (37 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 38: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

saya ingin kita merambah tantangan untuk hidup secara alim di alam

nyata. Saya yakin, kunci untuk melakukannya adalah cukup percaya

diri untuk hidup dengan memegang ide-ide kita sebagai yang ideal,

namun cukup rendah hati untuk melawan godaan yang membelokkannya

menuju ideologi.

Dalam membahas berbagai cabang filsafat terapan di Bagian Tiga

ini, kita mula-mula memikirkan persoalan kausalitas yang muncul

dalam filsafat ilmu. Pandangan Hume tentang “kebiasaan” adalah

suatu jawaban pasti: ini memerikan idenya tentang bagaimana kita

sampai merasa bahwa obyek-obyek dan kejadian-kejadian diatur oleh

suatu kekuasaan yang niscaya berhubungan. Argumen Kant, bahwa

“hukum kausalitas” diperlukan demi kemungkinan pengalaman,

merupakan suatu jawaban pasti terhadap persoalan yang sama. Ide-

ide ini tidak diajukan sebagai opini belaka, seolah-olah Hume

mengatakan bahwa ia lebih suka tinggal di Inggris daripada

Skotlandia, dan Kant menanggapi bahwa ia lebih suka tinggal di

Skotlandia, karena kakeknya tinggal di sana; kedua orang ini

mengungkap pandangan dengan yakin bahwa setiap orang yang hendak

berpikir filosofis harus menerima kebenarannya. Dalam hal ini, dua

jawaban-pasti terhadap pertanyaan yang sama itu tampaknya saling

berlawanan, padahal mungkin ada beberapa jalan yang memandang

keduanya benar. Contohnya, kita bisa mengakui kebenaran jawaban

Hume dengan memaparkan hal-hal yang bisa kita temukan dengan

membatasi diri kita pada perspektif empiris, sedangkan jawaban

Kant mendekripsikan hal-hal yang kita temukan dengan juga

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (38 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 39: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

mengambil perspektif transendental.

Berikutnya kita mempertimbangkan filsafat moral dan pertanyaan

tentang tindakan yang baik. Lagi-lagi, kita lihat bagaimana Kant,

Mill, dan Nietzsche masing-masing mengusulkan suatu jawaban pasti

terhadap persoalan ini; namun jawaban-jawaban mereka tampaknya

menjadi berbeda. Begitu pula pekan ini, ketika mempertimbangkan

filsafat politik dan hakikat pemerintahan yang baik, kita melihat

bahwa Aristoteles mempunyai enam jawaban pasti; namun filsuf-

filsuf sepeninggalnya masih mengusulkan alternatif lain yang tak

pernah terbayang oleh Aristoteles. Bila timbul pertentangan ide

yang tak terelakkan antara filsuf-filsuf yang berlainan, kita

jangan menyimpulkan bahwa sesungguhnya pertanyaan semacam itu

pasti tidak memiliki jawaban sama sekali. Kita justru harus

mengambilnya sebagai tantangan, untuk menentukan manakah dari

jawaban-jawaban pasti tersebut yang paling memadai dan/atau untuk

menunjukkan bagaimana dua jawaban atau lebih ini bisa benar secara

serempak, masing-masing dengan cara uniknya sendiri. Dalam

melakukan yang terakhir ini kita akan tidak hanya menancapkan

perspektif yang bisa dibenarkan yang bisa menimbulkan pengetahuan

(yaitu ilmu); kita juga akan mempraktekkan seni mencintai

kealiman, dan karenanya menghindari bahaya penyalahgunaan ide

semacam itu sebagai ideologi.

Dalam sorotan pembedaan antara yang secara alim menghormati basis

mawas semua ide-ide yang berwawasan dan yang secara tolol

mengangkat sejumlah ide pada status mutlak ideologi, mari kita

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (39 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 40: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

curahkan sisa [waktu] kuliah ini untuk pemeriksaan tentang

filsafat politik apakah yang paling sesuai dengan alam nyata

sebagaimana adanya kini, pada fajar milenium ketiga. Tanpa

keraguan, ideologi politik yang “memenangkan” pertempuran ideologi

abad keduapuluh adalah demokrasi. Kendati ada sambutan buruk dari

banyak filsuf, dari Aristoteles sampai Nietzsche, dewasa ini

hampir setiap orang di masyarakat Barat modern menganggap itulah

sistem politik yang “benar”—barangkali itu merupakan mitos yang

paling jarang dipertanyakan di antara mitos-mitos kultural kita.

Kant sering diakui sebagai salah seorang pendiri ideologis

demokrasi liberal modern. Setengah dari bukunya, Metaphysics of

Morals (1797), dan beberapa esai yang berpengaruh yang ditulis

menjelang akhir hayatnya, mendesak agar sistem hak asasi manusia

universal dipaksakan oleh “liga bangsa-bangsa”—suatu ide yang

secara signifikan mempengaruhi perkembangan sistem politik Barat

berikutnya, termasuk yang kini disebut “Perserikatan Bangsa-

Bangsa”. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Kant dengan “hak asasi”

itu pada aktualnya cukup berbeda dengan yang dewasa ini kita

maksud ketika kita menggunakan kata ini. Bagi dia, “hak asasi”

harus muncul dari konsep tindakan benar:

Every action is right which in itself, or in the maxim on which

it proceeds, is such that it can coexist along with the freedom

of the will of each and all in action, according to a universal

law. (SR 45)

(Setiap tindakan adalah benar yang di dalam lubuknya, atau dalam

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (40 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 41: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

kaidah yang diproses olehnya, adalah sedemikian rupa sehingga ini

bisa berdampingan dengan kebebasan kehendak bertindak masing-

masing dan semuanya, menurut hukum universal.) (SR 45)

Artinya, perbuatan eksternal (sebagaimana yang diatur oleh ranah

politik) bisa benar hanya jika dapat berdampingan dengan perbuatan

semua individu lain yang bebas (benar). Prinsip ini tidak hanya

mendasari teori hak asasi Kant, tetapi juga terletak pada pondasi

teokrasi! Sayangnya, pengertian hak asasi manusia Kant sering

diambil lepas dari konteksnya yang tepat dan dipakai untuk

mengalihkan demokrasi yang berbasis hak asasi ke suatu ideologi

politik.

Jika kita akan menggunakan Kant dan filsuf modern lain yang

berpengaruh sebagai landasan penyusunan versi kerangka sistem

politik Aristoteles yang diperbarui, itu kelihatannya cukup

berbeda. Pembedaan utamanya adalah antara sistem “demokratik” dan

“totaliter” (sebagai ganti “republikan” dan “monarkis”); sosialis

dan libertarian mewakili bentuk “ekstrim” sistem demokratik,

sedangkan liberal dan konservatif mewakili bentuk “pertengahan”-

nya (bandingkan Gambar IX.1 dan IX.5). dalam sistem ini,

“demokrasi” mempunyai makna yang jauh lebih canggih daripada yang

dimiliki oleh Aristoteles. Namun baik penggunaan istilah

“demokratik” kita maupun penggunaan istilah “republikan”

Aristoteles mengacu pada tipe sistem federal, yang dengannya orang-

orang sepakat (sekurang-kurangnya secara tersirat) untuk mematuhi

sistem politik tertentu dengan harapan memaksimalkan kebebasan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (41 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 42: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

bersama tanpa mencabut hak-hak yang esensial. Begitu pula dan

sebaliknya, penggunaan istilah “totaliter” kita dan penggunaan

istilah “monarkis” Aristoteles keduanya serupa dengan sistem

feodal, yang dengannya monopoli kepemilikan tanah secara lokal dan/

atau nasional berjalan tanpa membolehkan penyebaran partisipasi

pembuatan putusan politis.

Filsuf yang pada umumnya diakui sebagai mengajukan pembelaan yang

paling rumit bagi demokrasi liberal modern adalah John Rawls

(1921- ). Buku klasiknya, A Theory of Justice (1971), mengusulkan

dua prinsip yang pada dasarnya Kantian sebagai pondasi teoretis:

First: each person is to have an equal right to the most

extensive basic liberty compatible with a similar liberty for

others.

Second: social and economic inequalities are to be arranged so

that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s

advantage, and (b) attached to positions and offices open to all.

(TJ 60)

(Pertama: setiap orang berhak memiliki hak yang setara dengan

kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan kebebasan yang

serupa untuk orang lain.

Kedua: ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditata sehingga

keduanya (a) secara masuk akal diharapkan menjadi keuntungan

setiap orang, dan (b) dilekatkan pada kedudukan dan jabatan yang

terbuka bagi semuanya.) (TJ 60)

Prinsip-prinsip ini menjamin hak asasi yang setara dan peluang

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (42 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 43: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

yang setara bagi semua warganegara. Pemerintah harus menggunakan

prinsip pertama sebagai pedoman untuk menentukan sejumlah dasar

hak asasi seperti “kehidupan, kebebasan, dan perburuan

kebahagiaan” (sebagaimana dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia A.

S.), kepada semua orang, tanpa mempedulikan ras, agama, jenis

kelamin, dan lain-lain. Contoh Rawls sendiri tentang hak asasi

semacam itu meliputi hak untuk memberi suara, memiliki properti,

bebas berbicara, dan sebagainya. Secara demikian, prinsip kedua

mensyaratkan bahwa pemerintah menjamin bahwa posisi-posisi seperti

jabatan politik dan pekerjaan-pekerjaan bergaji tinggi (atau

segala peluang kerja dalam hal ini) terbuka bagi semua orang tanpa

diskriminasi yang tidak terkait dengan kelayakan mereka dengan

posisi itu. Prinsip kedua merupakan upaya pelestarian kesadaran

akan keadilan meskipun ada ketimpangan ekonomik dan sosial dengan

menetapkan “kelaliman” sebagai ketimpangan yang tidak

menguntungkan setiap orang.

Sebagian besar dari buku Rawls itu dicurahkan untuk

mengklarifikasi dan mengkualifikasi dua prinsip dasar keadilan

tersebut. Di antara banyak hal yang dibuat dalam hal ini adalah

bahwa hak asasi politis dasar tidak bisa diperdagangkan untuk

keuntungan sosial atau pun ekonomik, bahwa kemalangan orang (atau

kelompok) tak bisa didalihkan untuk berpaling ke orang (atau

kelompok) lain yang beruntung (sebagaimana yang mungkin dibolehkan

oleh politik utilitarian), bahwa prinsip-prinsip itu berlaku pada

cara terstrukturnya lembaga-lembaga tetapi tidak dengan niscaya

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (43 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 44: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

pada cara perlakuan kita kepada sembarang orang istimewa yang

dikenalkan kepada kita dalam situasi kehidupan-nyata, dan bahwa

pembuat kebijakan harus mempertimbangkan hak asasi dan peluang

generasi masa lalu dan masa depan sebanyak hak asasi dan peluang

generasi masa kini. Singkatnya, Rawls membatasi keadilan sebagai

“fairness”[1]

, dengan mengemukakan bahwa pemerintah bertanggung

jawab untuk memelihara anggota masyarakat yang kurang beruntung.

Pandangannya memicu perdebatan yang sedemikian sengit sehingga

kita pun tak bisa mulai mempertimbangkan seluk-beluknya di

matakuliah pengantar ini, kecuali mengatakan bahwa penentang utama

pandangan semacam itu ialah para libertarian (umpamanya Robert

Nozick), yang menyatakan bahwa intervensi pemerintah itu mencabut

rakyat dari kebebasan asasi mereka, dan para komunitarian

(umpamanya Alasdair MacIntyre), yang mengetengahkan bahwa prinsip

keadilan yang berlainan timbul dari komunitas yang berlainan dan

karenanya tak bisa digeneralisasikan begitu saja.

Dari perspektif Kantian, masalah utama perihal upaya pembelaan

versi sosialis tentang demokrasi liberal itu adalah

kecenderungannya kepada asumsi bahwa “masyarakat” (yakni

pemerintah) melimpahkan hak asasi dan peluang kepada rakyat. Kant

mempertahankan pandangan yang lebih individualistik, yang

dengannya setiap orang (dalam bentuk “diri nomenal”) melimpahkan

atau kurang melimpahkan hak-hak asasi ini (bersama-sama dengan

kewajiban-kewajiban yang sejajar) kepada dirinya sendiri—suatu

perbedaan yang diakui sendiri oleh Rawls (TJ 257). Ini merupakan

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (44 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 45: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

masalah karena cenderung mengalihkan tanggung jawab dari orang-

orang ke lembaga-lembaga, sehingga cenderung menyebabkan individu-

individu merasa seperti “gerigi-gerigi” dalam mesin “sosial”.

Sesungguhnya, bagi banyak teoritisi-politik masa kini, tanggung

jawab pemberian dan perlindungan hak asasi dianggap sebagai peran

badan politik internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahwa

cara pembelaan demokrasi ini pada dasarnya ideologis adalah bukti

dari fakta bahwa tujuan puncak kebanyakan pendukung sedemikian itu

adalah pemerintahan satu-dunia. Kant sendiri memandang ini sebagai

tahap idaman dalam perkembangan sejarah politik manusia; namun

hanya jika orang-orang yang berada di posisi kekuasaan tetap sadar

bahwa kekuasaan itu tidak tinggal di dalam lembaga, tetapi di

dalam orang-orang itu sendiri, dan bahwa tanpa mereka tidak ada

hak asasi yang dilimpahkan.

Sayangnya, praktis semua pendukung demokrasi sebagai awal

pemerintahan satu-dunia cenderung mengabaikan sebuah aspek teori

Kant yang krusial bagi keseluruhan pandangannya: bahwa demokrasi

hanyalah sebuah tahap dalam perkembangan jangka-panjang evolusi-

politik ras manusia. Kita mesti melihat bahwa, dalam pandangan

Kant, semua struktur politik harus diarahkan ke tujuan ideal yang

merupakan sesuatu yang serupa dengan [sistem] yang saya sebut

“teokrasi”. Kant menunggu-nunggu hari manakala semua bentuk

kendali lahiriah yang saling dipaksakan antarmanusia (yakni semua

“paksaan”, apakah politis, religius, ataukah ideologis dengan cara

apa pun) membuka jalan ke suatu dunia yang di dalamnya setiap

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (45 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 46: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

orang hidup bebas dan bertanggung jawab menurut kesadaran diri

mereka akan hukum moral di dalam diri mereka. Tentu saja, ini bisa

terjadi hanya bila ras manusia belajar untuk terakhir kalinya

bahwa keluhuran terpenting dalam kehidupan—keluhuran filosofis

yang berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan—tidak bisa

dipaksakan kepada orang lain dengan perintah atau keputusan resmi;

alih-alih, kita harus mendorong setiap orang untuk memanfaatkan

akal mereka sendiri untuk memutuskan mana yang benar, baik, dan

indah bagi mereka sendiri. Ia pikir, ini merupakan pandangan yang

pada dasarnya religius, sekalipun ini merupakan agama tanpa bentuk

idelogis apa pun yang lahiriah yang akan menyebabkan perbenturan

dengan ideologi lain. Konsepsi agama moral ini, suatu cara

pengalaman makna kehidupan tanpa pemaksaan ideologi kepada orang-

orang lain yang mungkin tidak terbuka kepadanya, nirmustahil hanya

bila agama dan politik berbaur. Kant mengacu pada pembauran ini

sebagai “kerajaan tujuan-tujuan” (kingdom of ends) dalam teorinya

tentang moral dan sebagai “kerajaan Tuhan di bumi” dalam teorinya

tentang agama. Yang terakhir ini merupakan bagian dari filsafat

Kant yang sedemikian signifikan (dan sering disalahpahami secara

kasar) sehingga saya akan mencurahkan dua kuliah pada pokok

bahasan ini dalam Pekan XI.

Jalan maju dari demokrasi, jika kita memperhitungkan konteks

pandangan politik Kant yang luas itu, adalah membuang asumsi umum

bahwa moralitas bisa dijadikan undang-undang. Semakin bergerak

demokrasi menuju anarki (yaitu lebih sedikit hukum, dan akhirnya

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (46 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 47: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

tanpa hukum), semakin baiklah kita. Untuk satu hal, ini akan

memberi orang-orang peluang untuk bermoral secara murni, bukan

karena hanya “benar secara politis”. Dalam situasi terkini di

kebanyakan negeri Barat, mayoritas orang kurang mempedulikan moral

karena mereka sampai yakin bahwa pemerintah mengundang-undangkan

moralitas; ini menimbulkan keyakinan mitologis bahwa selama saya

merupakan “warganegara yang mematuhi hukum”, secara moral saya

baik. Namun sebagaimana yang ditunjukkan oleh argumen Kant,

kebaikan legal (eksternal) tidak niscaya sesuai dengan kebaikan

moral (internal). Ironisnya, sistem legal yang memaksakan hukum

yang disebut hukum “moral” itu akhirnya menyingkirkan potensi

keterpujian tindakan-tindakan yang baik dari warganegara.

Sudahkah manusia berkembang sampai suatu tahap yang di situ semua

sistem politik lahiriahnya dapat lenyap begitu saja sebentar lagi?

Tentu saja tidak! Bahwa ini harus menjadi tujuan puncak merupakan

sepotong kebenaran dalam ideologi Marxis. Namun upaya menerapkan

kebijakan semacam ini dalam jangka pendek tak akan menjadi langkah

maju, tetapi langkah mundur maut bagi perkembangan politik manusia—

sebagaimana abad keduapuluh dengan percobaan Marxisme yang

terlukis dengan memilukan. Sebagai ganti usaha memaksakan tujuan

(“damai di bumi”) itu melalui pemaksaan ideologis, tujuan kita

seharusnya berupaya menerapkan struktur politik yang mempunyai

bentuk penyangkalan-diri yang terpasang-tetap—yaitu struktur-

struktur yang dengan sifat-sifat dasarnya mencegah siapa saja yang

akan berusaha mengangkatnya ke status ideologi. Semakin banyak ini

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (47 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 48: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

terjadi, semakin banyak manusia belajar untuk mempercayai prinsip-

prinsip batiniahnya sendiri di atas upaya-upaya politik yang lemah

untuk menetapkan benar-salah dengan alat-alat eksternal.

Barangkali satu-satunya pelajaran terpenting yang bisa kita

pelajari dari kajian kita tentang kealiman di Bagian Tiga ini

adalah bahwa, sebagaimana kita hidup dengan menunggu hari manakala

manusia bisa hidup damai tanpa struktur politik lahiriah, kita

harus lebih menyambut perbedaan pendapat daripada melawannya.

Semakin bisa kita cakup ide bahwa “oposisi ialah persahabatan

sejati” ke dalam pemahaman kita tentang realitas politik, semakin

dekat kita sampai ke penempatan ras manusia ke suatu kesadaran

yang mendalam akan kealiman di tapal batas.

PERTANYAAN PERAMBAH

1. A. Apakah kekuasaan itu?

B. Dari manakah hukum berasal?

..............................

..............................

2. A. Apakah anarki (“tanpa pengatur”) merupakan sistem politik?

B. Mungkinkah ada kebebasan mutlak?

..............................

..............................

3. A. Bagaimana Tuhan bisa memiliki “kerajaan” di bumi?

B. Akankah para filsuf membuat raja-raja yang baik?

..............................

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (48 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 49: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

..............................

4. A. Apakah manusia memiliki hak asasi bawaan sejak lahir?

B. Apakah segala sesuatu di dunia ini benar-benar adil?

..............................

..............................

BACAAN ANJURAN

1. Aristotle, The Politics, Buku 4, Bab 2 (AP 1289a-b).[2]

2. Aristotle, Nicomachean Ethics, Buku VIII, Bab 10 (NE 1160a-

1161a).[3]

3. Niccolo Machiavelli, The Prince, terj. G. Bull

(Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1961).[4]

4. Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince, terj. Katherine

Woods (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1943).

5. Stephen Palmquist, Biblical Theocracy: A vision of the

biblical foundations for a Christian political philosophy (Hong

Kong: Philopsychy Press, 1993).[5]

6. Karl Marx dan Frederick Engels, Manifesto of the Communist

Party, terj. Samuel Moore (Moscow: Progress Press, 1952[1888]).

[6]

7. John Rawls, A Theory of Justice, §11, “Two Principles of

Justice” (TJ 60-65).

8. Stephen Palmquist, “’The Kingdom of God is at Hand!’ (Did

Kant really say that?)”, History of Philosophy Quarterly 11

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (49 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 50: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

(1994), pp. 421-437.[7]

Catatan Penerjemah

[1] Sebuah kata umum yang menyiratkan perlakuan kepada semua pihak

secara serupa, tanpa pengacuan pada perasaan atau kepentingan diri

sendiri.

[2] Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/

politics.4.four.html

[3] Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/

nicomachaen.8.viii.html

[4] Untuk alternatif, lihat http://www.sas.upenn.edu/~pgrose/mach/

index1.htm

[5] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/bth/toc.

html

[6] Untuk alternatif, lihat http://www.yale.edu/lawweb/avalon/

mancont.htm

[7] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/srp/arts/

KGH.html

Send comments (in English) to: [email protected]

Back to the Index of Pohon Filsafat.

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (50 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM

Page 51: Filsafat Politik - blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/langgeng/files/2012/10/9-filsafat-politik.pdfpemerintahan spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya ... “setiap kota

Pekan IX

Back to the English version of The Tree of Philosophy.

Back to the listing of Steve Palmquist's published books.

Back to the main map of Steve Palmquist's web site.

This page was first placed on the web on 27 April 2003.

file:///E|/My%20Data/fdx/mr%20(jangan%20dihapus%20sa...9)/Filsafat%20Mawas%20Pengantar_files/Pekan%20IX.htm (51 of 51)10/8/2005 4:24:23 PM