FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
Oleh:
AGUS MANRIADI
Filsafat pengetahuan adalah bagian filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan dan
juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Pertanyaan utama dalam filsafat pengetahuan
adalah: 1) apakah pengetahuan itu, 2) bagaimana kita memperoleh pengetahuan, bagaimana kita
tahu tentang sesuatu, 3) “apakah kebenaran itu?” (Bodner, 1986; Ryan & Cooper, 1992).
Dalam bab berikut akan disajikan salah satu filsafat pengetahuan yan g benyak
mempengaruhi pendidkan sains dan matematika akhir-akhir ini, yaitu, filsafat konstruktivisme.
Bagaimana inti pandangannya, macam-macamnya, dan bagaimana perbedaanya dengan beberapa
gagasan filsafat pengetahuan yang ada akan dibahas.
GAGASAN DASAR KONSTRUKTIVISME
Dunia (alam semesta) dan ilmu pengetahuan
Popper (1973) membedakan tiga penegrtian tentang alam semesta: 1) dunia fisik atau
keadaan fisik, 2) dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan 3) dunia dari isi
objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Dunia oleh Popper
dipandang secara ontologism (Bettencourt, 1989).
Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar
fakta. Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan
dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Einstein & Infeld dalam Bettencourt, 1989).
Menurut Einstein dan Infeld, konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang
sederhana. Hal ini terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk
mengabstraksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-percobaan mereka.
Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imaginatif (Bettencourt, 1989), tidak
cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dunia yang berbeda, dunia kenyataan dan
dunia pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan proses konstruksi imaginatif.
Hakikat Pengetahuan
Cukup lama diterima bahwa pengatahuan harus merupakan representasi (gambaran atau
ungkapan) kenyataan dunia terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan dianggap
sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa
pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap
sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan
berubah. Konsep-konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti Hukum Newton
dalam ilmu fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang
memadai. Menurut Piaget, sejarah revolusi sains menunjukan perubahan konsep-konsep
pengetahuan yang penting (Piaget, 1970: 1971).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (von Glasersfeld dalam Bettencourt,
1989 dan Matthews, 1994). von Glasersfeld mengaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu
tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang
diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia
lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman
atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan
lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan
indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air,
bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran
pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seseorang (guru) ke kepala orang lain (murid). Murid sendrilah yang harus mengartikan apa yang
telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Lorsbach &
Tobin, 1992).
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia
daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalam fisik, tetapi juga dapat
diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Menurut von Glasersfeld, pengetahuam itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang
sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama,
bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada keseluruhan objek dan
semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri
pada suatu hal tertentu, lingkugan menunjuk pada sekeliling hal yang telah kita isolasikan.
Dalam hal ini, baik hal itu maupun sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri,
bukan dunia objektif yang lepas dari pengamatan (von Glasersfeld, 1996).
Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan
dalam mengahadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menhadapi persoalan-
persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut (von Glasersfeld dalam
Matthews, 1994). Bila konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan
macam-macam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang
akan hal itu. Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan
seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang “ciri-ciri wanita” bila konsep itu dapat
digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya dan dapat membedakan
antara wanita dan lelaki yang dijumpainya.
Bagi para konstruktivis, pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu
proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita akan “anjing” tidak sekali jadi, tetapi
merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat anjing, menjamah, dan
bergaul dengan anjing di rumah, kita membangun pengertian akan “anjing” sejauh dapat
ditangkap dari anjing kita sendiri yang terbatas. Dalam perjalanan selanjutnya, kita bertemu
dengan jenis anjing-anjing lain dengan segala macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan
macam-macam anjing ini menjadikan pengetahuan kita akan aning lebih lengkap dan rinci
daripada gambaran waktu kita kecil.
Konsturktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi
kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada
yang lain bahkan secara prinsipiil. Tidak mungkinlah mentransfer pengetahuan karena setiap
oring membangun pengetahuan pada dirinya (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989).
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang
mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila
seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid,
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya
(Glasersferld dalam Bettencourt, 1989). Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang
diajarkan oleh gurunya menunjukan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan,
melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh siswa.
Dalam proses konstruksi itu, menurut von Glasersferld, diperlukan beberapa kemampuan
sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
(2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan
perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena
pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat
membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena terkadang seseorang lebih
menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah nilai dari pengetahuan yang
kita bentuk.
Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini: (1)
aspek figuratif dan (2) aspek operatif. Aspek berpikir figurative adalah imaginasi keadaan sesaat
dan statis. Ini menyangkut persepsi, imaginasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu
objek atau fenomen. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformimasi dari satu
level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Setiap level
keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi
transfomasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih essensial dari berpikir adalah aspek operatif.
Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuandari
suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa kita perlu mengetahui
sesuatu? Menurut Shapiro (1994), tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan
realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok
dengan pengalaman hidup manusia, sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan
dan pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai
berikut (von Glasersferld dan Kitchener, 1987).
1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-
pengalaman seseorang.
Realitas dan Kebenaran
Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme mengatakan
bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita
mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut Bettencourt (1989),
memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat
bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi
konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu
realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan seajuh difahami oleh yang
menangkapnya (Shapiro, 1994). Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-
masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam
kerangka pemikiran ini, bila lita bertanya “apakah yang kita ketahui itu memang sungguh
kenyataan yang ada?”, kaum konstruktivis akan menjawab, “ Kami tidak tahu, itu bukan urusan
kami.”
Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan
yang kita konstruksikan itu benar? Bebrapa faham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu
pengetahuan itu dianggap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataan. Misalnya,
pengetahuan seseoraqng bahwa “angsa itu putih” adalah benar bila dalam kenyataannya memang
angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain, orang membuktikan pengetahuannya
dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran
diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi.
Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunaklan dalam menghadapi macam-
macam fenomen dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Misalnya,
pengetahuan kita akan hukum gerak Newton dianggap benar, karena dengan hukum itu kita
dapat memecahkan banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan dengan ini, maka kita dapat
menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya: Dari yang cocok atau berlaku untuk
banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok untuk beberapa persoalan. Sekali lagi
tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi melainkan suatu proses yan
terus berkembang.
Hal yang membatasi konstruksi pengetahuan
Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi
pengetahuan manusia, antara lain (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan
(3) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan prosess konstruksi pengetahuan kita yang lampau
dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang kita
abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabsttraksi dan mengorganisasikan
konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu, semuanya punya
pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan
hukum Newton akan selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak. Pandangan kita
mengenai suatu objek, tikus misalnya, akan mewarnai dan dapat membatasi pengertian kita akan
binatang lain yang mirip dengan tikus. Pengalaman yang sudah kita abstraksikan, yang telah
menjadi suatu konsep, dalam banyak hal akan membatasi pengertian kita tentang sesuatu yang
ada kaitannya dengan konsep tersebut. Bahkan ini terjadi juga dalam pengertian kita mengenai
orang. Misalnya, pengalaman bentrok kita dengan seorang teman yang telah kita jadikan suatu
konsep “bahwa teman itu tidak baik”, akan dapat mempengaruhi pandangan dan gagasan kita
tentang orang itu selanjutnya, meskipun mungkin orang itu sudah berubah.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan
pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme, pengalaman akan fenomen yang baru akan
menjadi unsur yang sanngat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan
dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang ilmu fisika, biologi, kimia,
geologi, atau astronomi sangat jelas peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam
perkembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut. Dalam bidang ilmu
matematika pun pengalaman mengkonsepsi maupun memecahkan persoalan-persoalan baru,
akan sangat mempenngaruhi perkembangan pengetahuan seseorang tentang matematika itu
sendiri. Dalam bidang pengatahuan sosial, pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan
lingkungan yang semakin luas akan juga memperluas pemahaman pengetahuan sosial seseorang .
Struktur kognitif merupakan suatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan,
gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu
dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin (1972) disebut ekologi konseptual. Seiap
pengetahuan yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena manusia
cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. kecenderungan ini dapat
menghambat perkembangan pengetahuan (Bettencourt, 1989).
Faktor yang memungkinkan perubahan pengetahuan
Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan
dalam penngetahuannya. Perubahan ini mengembangkan pengetahuan seseotang. Bettencourt
(1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu (1) konteks
tindakan, (2) konteks membuat masuk akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pembenaran
(justifikasi).
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu ssecara terencana, ia akan
terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia
dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan atau konsep yang baru. Juga bila
seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yan tidak disangka-sangka, ia
ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakan gagasan, ide-ide, maupun
konsep-konsep yang telah ia punyai. Bila konsepnya tidak cocok, ia terpaksa harus mengubah
konsepnya. Dengan demikian, ia mengembangkan pengetahuan yang baru.
Pertanyaan “apa yang kamu maksudkan dengan ini, bagaimana kamu dapat menjelaskan
hal ini?” memacu orang untuk mengkonstruksi sesuatu dan mengerti sesuatu. Juga bila seseorang
harus mempertahankan dan membenarkan gagasannya terhadap kritikan orang lain, ia diorong
untuk menciptakan konstruksi yang baru. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa situasi atau
konteks yang memaksa seseorang untuk menyadari “sesuatu, dapat membantu orang itu
mengubah atau paling sedikit mengembangan pengetahuannya.” Dalam bidang pengajaran sains
dan matematika kadang perlu ditunjukkan persoalan atau gejala yang berlawanan dengan yang
telah dipikirkan murid. Gejala tersebut, yang dinamakan gejala anomali, dapat memacu murid
mengubah dan mengembangkan pengetahuan mereka. Misalnya, bila kebanyakan murid
beranggapan bahwa benda padat selalu akan tenggelam dalam zat cair, tunjukkan kepada mereka
gabus yang tidak tengelam dalam air.
ASAL USUL KONSTRUKTIVISME
Menurut von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini
dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh
Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan
filsafatnya, dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan.” Dia menjeladskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat
sesuatu.” Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Munurut Vico hanya Tuhan sajalah yang dapat
mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia
membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah
dikonstruksikannya (von Glasersfeld, 1988). Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada
struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas
dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang
berlaku. Sayang, bahwa Vico, menurut banyak pengamat tidak membuktikan teorinya.
Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Vico
mengatakan bahwa matematika adalah cabang penegtahuan yang paling tinggi. Alasannya,
dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan aturan-aturan yang
secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang sendirilah yang menciptakan
matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisiska
dan terlebih humaniora, manusia tidajk dapat mengerti secara penuh dana hanya Tuhan yang
dapat mengerti secara penuh karena Tuhanlah yang menciptakan mereka. Karena itu bagi Vico,
mekanika adalah kurang pasti daripada martematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, dan
kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan
taraf-taraf pengetahuan manusia ( Pompa, 1990).
Rorty (dalam von Glasersfeld, 1988) menilai konstruktivisme sebagai salah satu
pragmatisme, terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran karena hanya mementingkan
bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat
kesesuaian Vico denga model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti
pengalaman/ fenomen baru.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan
gagasan konstruktiivsme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam
epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa
pengetahuan kita itu diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungan, seperti
suatu organisme harus beradapatasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan.
Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah Piaget juga
dipengaruhi Vico (von Glasersfeld, 1988).
TIGA MACAM KONSTRUKTIVISME
Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme: (1) konstruktivisme
radikal (2) realisme hipotetis, dan (3) konstruktivisme yang biasa.
Konstruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak
merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan
oraganisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang (von Glasersfeld, 1984).
Menurutnya, Piaget termasuk konstruktivis radikal (Bettencourt, 1989).
Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang
dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentuk itu harus “jalan” dan tidak harus selalu
merupakan representasi dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui
itu memberiklan gambaran akan dunia nyata (von Glasersfeld, 1989).
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat
ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi
pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun llingkungan hanyalah sarana untuk
terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena maing-masing orang harus
menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk
dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menrut mereka, kita tidak
dapat melihat dunia pengalaman kita di luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup
dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya (von lasersfeld,
1989).
Realisme Hipotetis
Menurut realisme hipotetis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis
dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat
dengan realitas (Munevar, 1981 dalam Bettencourt, 1989). Menurut Munevar, pengetahuan kita
mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper
dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotetis.
Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini,
pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai
suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.
KONSTRUKTIVISME DI TENGAH ALIRAN FILSAFAT LAIN
Staver (1986) menjelaskan konstruktivisme melalui perdebatan dalam sejarah filsafat
pengetahuan. Pertanyaan dasar dari perdebatan itu adalah: “Struktur pengetahuan itu terletak
dalam relitas mana? Apakah yang disebut kebenaran pengetahuan?” Para pemikir sepanjang
sejarah menegaskan bahwa kenyataan itu terdiri dari dua dimensi: eksternal dan internal.
Dimensi eksternal menunjuk kepada dimensi objektif, sedangkan dimensi internal menunjuk
kepada dimensi subjektif. Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada
objek-objek dan bahwa kebenaran-kebenaran itu merupakan akibat dari deduksi logis. Misalnya,
Rene Descartes menyatakan “Cogito ergo sum”, artinya “Saya berpikir, maka saya ada”. Para
empiris juga menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada objek-objek tetapi mereka
menggunakan penalaran induktif dengan bukti-bukti berdasarkan pengalaman. Mereka
mengandaikan bahwa semua kenyataan itu diketahui melalui indera, dan kriteria kebenaran
adalah kesesuaiannnya dengan pengalaman (Staver, 1986). Dengan demikian, para rasionalis
lebih menekankan rasio, logika, dan pengetahuan deduktif, sedangkan kaum empiris lebih
menekankan pengalaman dan pengetahuan induktif. Menurut Staver, konstruktivisme merupakan
sintesis pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme menunjukkan interaksi antara subjek
dan objek, antara realitas eksternal dan internal.
Osborne (1993) dan Matthews (1994) menjelaskan bahwa konstruktivisme mengandung
suatu bahaya yang mengarah ke arah empirisme dan relativisme, terlebih dalam pendidikan sains.
Banyak kaum konstruktivis dalam pendidikan sains menekankan pengalaman, percobaan, dan
indra yang cenderung ke empirisme, yang menekankan bahwa semua konsep harus berdasarkan
kenyataan luar. Beberapa konstruktivis lainnya, terlalu menekankan abstraksi atau konstruksi
yang dapat mengarah ke relativisme yang menyatakan bahwa semua konsep adalah sah karena
setiap ide yang diturunkan dari setiap abstraksi harus dianggap sah. Konstruktivisme tidak
mempunyai dasar untuk menentukan mana abstraksi yang lebih baik.
Empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman indrawi.
Bentuk-bentuk alternatif dari empirisme tampak pada para filsuf seperti Aristoteles, Barkeley,
Hume, dan Locke. Hal pokok dari konstruktivisme adalah pandangan bahwa sumber terpenting
dari pengetahuan adalah dunia luar. Bagi mereka, esensi pengetahuan adalah representasi dunia
luar yang didapat terutama dari observasi atas alam semesta. Nativisme berlawanan dengan
empirisme. Nativisme nmengklaim bahwa sumber pengetahuan adalah dari dalam. Misalnya,
Plato berargumen mengenai adanya ide pembawaan yang dibuka selama perkembangan
intelektual anak (Lawson, 1994). Kalau kita simak, konstruktivisme memuat dua segi empiris
dan nativisme: pengetahuan itu sumbernya berasal dari luar tetapi dikonstruksikan dari dalam diri
seseorang.
Kebenaran suatu pengetahuan dalam konstruktivisme diganti dengan viabilitas
(berjalannya suatu pengetahuan). Ini berbeda dengan pragmatisme yang berslogan “kebenaran
adalah hanya apa yang jalan”. Konstruktivisme tidak mengklaim suatu kebenaran.
Konstruktivisme juga berbeda dengan idealisme. Kaum idealis menyatakan bahwa
pikiran dan konstruksinya adalah satau-satunya realitas, sedangkan konstruktivisme menyatakan
bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Bagi konstruktivis
bentukan itu harus jalan, dan ini tidak harus selalu merupakan representasi dari dunia nyata.
Bagi konstruktivisme, adalah ilusi untuk percaya bahwa apa yang kita bentuk itu memberikan
gambaran akan dunia nyata (von Glasersfeld, 1989).
Konstruktivisme juga menantang dominasi pandangan objektivisme yang beranggapan
bahwa realitas itu ada terlepas dari pengamat dan dapat diketahui/ditemukan melalui langkah-
langkah sistematis menuju kenyataan dunia ini. Bagi konstruktivisme, pengetahuan adalah
konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adalah suatu kerangka untuk mengerti bagaimana
seseorang mengorganisasikan pengalaman dan apa yang mereka percayai sebagai realitas
(Shapiro, 1994).
RANGKUMAN
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.
Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen
yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain , tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orag
harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi,
melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang
yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur
kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya situasi
konflik atau anomali yang membuat orang dipaksa untuk berfikir lebih dalam serta situasi yang
menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan
pengetahuan seseorang. Konstruktivisme dibedakan dalam tiga taraf: radikal, realisme hipotetis
dan konstruktivisme biasa. Pembedaan ini didasarkan pada hubungan antara pengetahuan dengan
realitas yang ada.