ALIRAN FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis. Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk menyesuaiakan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Anak didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
37
Embed
ALIRAN FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ALIRAN FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar
manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai
tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut
berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah
pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses
interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni
jawaban-jawaban filosofis.
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki
agar anak didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif
untuk menyesuaiakan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan
teknologi. Anak didik harus aktif mengembangkan pengetahuan,
bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama
siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa
dalam berinisiatif.
Sedangkan penerapan dalam proses belajar mengajar aliran
konstruktivisme memberikan keleluasaan pada siswa untuk aktif
membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka
miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa
pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat
temporer atau selalu berkembang tergantung pada persepsi
subyektif individu dan individu yang berpengetahuan
menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.
Pengetahuan berguna jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan uraian diatas, melalui makalah ini penulis
merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud dengan
konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Hal tersebut sangat perlu dibahas karena
bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Dengan pemahaman yang cukup mengenai hal
tersebut diatas, maka setiap individu akan mendapatkan hasil
pembelajaran yang optimal.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang perkembangan aliran filsafat
konstruktivime dalam pendidikan?
2. Bagaimana hakikat pendidikan, tujuan umum pendidikan, hakikat
guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran menurut aliran
filsafat konstruktivisme?
3. Bagaimana implikasi aliran filsafat konstruktivisme dalam
praksis pendidikan?
4. Bagaimana analisis kritis mengenai aliran filsafat
konstruktivisme dalam pendidikan?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami latar belakang perkembangan aliran filsafat
konstruktivisme dalam pendidikan.
2. Untuk memahami hakikat pendidikan, tujuan umum pendidikan,
hakikat guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran menurut
aliran filsafat konstruktivisme.
3. Mengetahui implikasi aliran filsafat konstruktivisme dalam
praksis pendidikan.
4. Menguraikan analisis kritis mengenai aliran filsafat
konstruktivisme dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Aliran Filsafat Konstruktivisme
1. Pengertian filsafat pendidikan
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir
dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam
pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat
karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut
pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-
masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang
tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan
tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
2. Pengertian filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme.
Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.
Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau
aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi
kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam
belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003).
Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang
ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan
fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam
Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme
menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan
pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar
sebelumnya dengan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1)
menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered an
epistemology ( a philosophical framework or theory of learning ) which argues humans
construct meaning from current knowledge structures” artinya,
konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistimologi
(kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia
dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul
sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa
dasawarsa terakhir (Kuhn dalam Pannen dkk. 2000:1). Pendekatan
konstruktivisme menjadi landasan terhadap berbagai seruan dan
kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti
perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran,
perlunya siswa mengembangkan kemampuan belajar mandiri, perlunya
siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya
sendiri, serta perlunya pengajar berperan menjadi fasilitator,
mediator dan manajer dari proses pembelajaran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico,
epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan” . Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada
struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme
yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada
kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya
tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah
yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama
dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan
berkembang melebihi gagasan Vico.
Untuk menjawab bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan?
Kaum konstruktivis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu
melalui indera kita. Dengan berinteraksi terhadap obyek dan
lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah,
membau, merasakan dan lain-lainnya orang dapat mengetahui
sesuatu. Misalnya, dengan mengamati pasir, bermain dengan pasir,
seorang anak membentuk pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum
konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti,
tetapi merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita
akan “anjing” mulai dibentuk sejak kita masih kecil bertemu
dengan anjing. Pengetahuan itu makin lengkap, disaat kita makin
banyak berinteraksi dengan anjing yang bermacam-macam.
Sedangkan menurut von Glaserfeld, tokoh konstruktivisme di
Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran seorang guru ke pikiran
siswa. Bahkan bila guru bermaksud untuk memindahkan konsep, ide,
dan pengertian kepada siswa, pemindahan itu harus
diinterpretasikan dan dibentuk oleh siswa sendiri. Tanpa
keaktifan siswa dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan tidak
akan terjadi (Bettencourt, 1989).
Jadi manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan
lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan
sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang
sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-
menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan
seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara tentang konstruktivisme juga tidak dapat lepas
dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang
menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar.
Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan
intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang
biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif.
Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya
untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian
juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman,
tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat
terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget,
pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis
maupun pengalaman mental.
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan: pengetahuan
fisis, matematis-logis, dan sosial. Pengetahuan fisis adalah
pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian
seperti: bentuk, besar, kekasaran, berat, dan bagaimana benda-
benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari
abstraksi langsung suatu obyek. Pengetahuan matematis-logis
adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang
pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian tertentu. Pengetahuan
ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi
ataupun penggunaan obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari
perbuatan berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi
pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi bendanya.
Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan
yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama
menyetujui sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi
seseorang dengan orang lain (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997).
Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka dapat
berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Jadi bisa disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah
satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa
pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi
merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu
yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, tetapi
merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar
dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya
pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek,
fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme
bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang
yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu
sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya.
B. Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme Tentang
Pendidikan
1. Hakikat pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan
data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang
bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa memiliki kebebasan berpikir
yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik
belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2. Tujuan umum pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan salah satu perkembangan model
pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktivitas peserta didik dalam
setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan menemukan
pengetahuannya sendiri. Aliran konstruktivisme ini, dalam kajian ilmu
pendidikan merupakan aliran yang berkembang dalam psikologi kognitif
yang secara teoritik menekankan peserta didik untuk dapat berperan aktif
dalam menemukan ilmu baru. Kontruktivisme menganggap bahwa semua peserta
didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi
memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa
(gejala) yang terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun gagasan atau
pengetahuan ini sering kali masih naif, atau juga miskonsepsi.
Konstruktivisme senantiasa mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif
ini secara kokoh. Gagasan atau pengetahuan tersebut terkait dengan
gagasanatau pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun dalam wujud
schemata (struktur kognitif/ pengetahuan).
Pembelajaran konstruktivisme juga memungkinkan tersedianya ruang
yang lebih baik bagi keterlibatan peserta didik, memungkinkan peserta
didik untuk bereksplorasi: menggali secara lebih dalam kemampuan,
potensi, keindahan dan sikap perilaku yang lebih terbuka.Di antara ciri
yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme ini adalah
peserta didik tidak diindoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan
oleh guru, melainkan mereka menemukan dan mengeksplorasi pengetahuan
tersebut dengan apa yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri.
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui
proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks,
pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi
pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang.
Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan
filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana
mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori
pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan
prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan.
Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian
kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru
dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan
filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan
pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan
tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan
dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori
pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan
dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek
terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada
diri peserta didik.
3. Hakikat guru menurut aliran filsafat konstruktivisme
Dalam pembelajaran konstruktivis menurut Suparno (1997:16)
menyatakan bahwa peran guru atau pendidik dalam aliran
konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan mediator yang
tugasnya memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar sendiri
dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban
untuk mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan
gagasan para ahli atau tidak.
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru punya peran
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses
belajar siswa berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada
siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang
mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut
bertanggung jawab dalam membuat design, proses, dan penelitian.
Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah bukanlah tugas
utama seorang guru.
b. Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingin-tahuan siswa, membantu mereka untuk
mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide
ilmiahnya (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang
berpikir siswa secara produktif dan mendukung pengalaman belajar
siswa.
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran
siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan
apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan
baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa
dan kesimpulan siswa. Disini guru perlu mengerti mereka sudah
pada taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat
membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan
berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada
mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang
baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk
menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan
tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d. Dalam sistem konstruktivis guru dituntut penguasaan bahan yang
luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat
luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan.
Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru
menerima pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga
memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan
atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti
macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan
persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan
memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif
dimana peran siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/
membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi
eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi, Sukadi,1996). Untuk
mencapai hal tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi
untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya guru
adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak
sebagai pemberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan
informasi serta menjamin bahwa siswa menerima tanggung jawab bagi
belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi
berorientasi pada bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi
lebih cenderung bagaimana guru mengajar di depan kelas. Guru
perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama
proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau
mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu
dilakukan siswa.
4. Hakikat murid menurut aliran filsafat konstruktivisme
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan
pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha
untuk mengidentifikasi bagaimana siswa mengkonstruksi atau
membentuk pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka pelajari.
Para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka
sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Pendekatan
konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang
didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya
interaksi sosial dan negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan
dengan praktik kelas, pendekatan konstruktivis mendukung
kurikulum dan pengajaran student center bukannya teacher center.
Siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang
siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali
informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa
untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan
sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat
informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber
belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain
bisa teman sebaya.ratorium, televisi, koran dan internet.
Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari
apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan
konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada
dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung jawab atas hasil
belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi
belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa
yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya
dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan
dalam pengalaman yang baru.
Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan jaringan
ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan
bukanlah gambaran dari suatu realita. Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan
mental seseorang. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivisme
adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi menjadi
pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang
sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan
konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down
processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks
untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan
atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan
(Slavin.1997). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis
kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar
tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian
bagaimana menulis titik dan komanya.
5. Hakikat pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif
pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman
fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang
sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain
bercirikan sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa
dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi
arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b. Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan
rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih
suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru.
Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang
menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema
seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut
situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang
baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan
dunia fisik dan lingkungan.
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah
diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang
mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno
2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan
suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk
mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan
mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran
yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru.
Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti,