1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari di lakukan seorang dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang kita temukan komplikasi dari tindakan ekstraksi gigi yang kita lakukan. Karenanya kita perlu waspada dan diharapkan mampu mengatasi kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi (Robinson, 2005). Tindakan pencabutan gigi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan bahaya bagi penderita, dasar pembedahan harus dipahami, walaupun sebagian besar tindakan pencabutan gigi dapat dilakukan ditempat praktek. Beberapa kasus perlu penanganan di rumah sakit oleh karena ada pertimbangan kondisi sistemetik penderita. Tindakan dengan teknik yang cermat dengan didasari pengetahuan serta ketrampilan merupakan faktor yang utama dalam melakukan tindakan pencabutan gigi. Jaringan hidup harus ditangani dengan hati-hati, tindakan yang kasar dalam penanganan akan mengakibatkan kerusakan atau bahkan kematian jaringan (Robinson, 2005). Pencabutan gigi dapat dilakukan bilamana keadaan lokal maupun keadaan umum penderita (physical status) dalam keadaan yang sehat. Kemungkinan terjadi suatu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari di
lakukan seorang dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang kita temukan
komplikasi dari tindakan ekstraksi gigi yang kita lakukan. Karenanya kita perlu
waspada dan diharapkan mampu mengatasi kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat terjadi (Robinson, 2005).
Tindakan pencabutan gigi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi penderita, dasar pembedahan harus dipahami, walaupun sebagian
besar tindakan pencabutan gigi dapat dilakukan ditempat praktek. Beberapa kasus
perlu penanganan di rumah sakit oleh karena ada pertimbangan kondisi sistemetik
penderita. Tindakan dengan teknik yang cermat dengan didasari pengetahuan serta
ketrampilan merupakan faktor yang utama dalam melakukan tindakan pencabutan
gigi. Jaringan hidup harus ditangani dengan hati-hati, tindakan yang kasar dalam
penanganan akan mengakibatkan kerusakan atau bahkan kematian jaringan
(Robinson, 2005).
Pencabutan gigi dapat dilakukan bilamana keadaan lokal maupun keadaan
umum penderita (physical status) dalam keadaan yang sehat. Kemungkinan terjadi
suatu komplikasi yang serius setelah pencabutan, mungkin saja dapat terjadi
walaupun hanya dilakukan pencabutan pada satu gigi (Robinson, 2005).
Pembedahan tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh karena dapat
menimbulkan efek samping/komplikasi yang tidak diinginkan, misalkan
perdarahan, edema, trismus, dry soket dan masih banyak lagi. Dokter gigi harus
mengusahakan agar setiap pencabutan gigi yang ia lakukan merupakan suatu
tindakan yang ideal, dan dalam rangka untuk mencapai tujuan itu ia harus
menyesuaikan tekniknya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan komplikasi
yang mungkin timbul akibat pencabutan dari tiap-tiap gigi. Di samping itu,
perawatan pasca-pembedahan juga merupakan suatu hal yang penting agar
prosedur pencabutan gigi yang dilakukan berhasil dengan baik dan sempurna
(Peterson, 2003).
2
Rasa sakit merupakan salah satu permasalahan dalam praktek kedokteran
gigi yang erat kaitannya dengan ekstraksi gigi. Dimana untuk menanggulangi rasa
sakit yang dialami pasien sebelum melakukan prosedur dental biasanya dokter
gigi akan melakukan anestesi. Anestesi lokal merupakan Metoda pencegahan rasa
sakit dengan cara menyuntikkan cairan anestesi pada bagian tertentu dari tubuh
dengan tujuan untuk menghambat konduksi impuls rasa sakit dari sistim saraf
perifer ke sistim saraf pusat (Purwanto, 1993).
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang kegoyangan gigi ?
2. Jelaskan pemeriksaan pada pasien beserta diagnosanya !
3. Jelaskan tentang anestesi, persyarafannya serta bahan anastetikum ?
4. jelaskan faktor pertimbangan pra-ekstraksi dan penundaan ekstraksi ?
5. Jelaskan tentang teknik, prinsip dan prosedur ekstaksi gigi ?
6. Jelaskan tentang komplikasi anestesi dan ekstraksi gigi ?
7. Jelaskan mengenai penanganan komplikasi yang terjadi ?
1.3 Tujuan
Kompetensi yang akan dicapai peserta didik adalah mampu melakukan
pemeriksaan dan mendiagnosa secara tepat, dan menjelaskan mengenai
anestesi dan prosedur ekstraksi gigi dengan benar dan runtut.
Pada akhir modul ini, peserta didik mampu :
1. Menganalisis hasil pemeriksaan subjektif, objektif, serta pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosa.
2. Menentukan rencana perawatan berdasarkan diagnosa.
3. Menjelaskan prosedur anestesi dan pemilihan obat anastetikum.
4. Menjelaskan faktor pertimbangan pra-ekstraksi dan penudaan ekstraksi.
5. Menjelaskan prosedur ekstraksi gigi dengan benar.
6. Menjabarkan komplikasi yang mungkin terjadi pasca anestesi dan
ekstraksi beserta penanganannya.
3
BAB II
SKENARIO
2.1 Skenario
Bu sumi (28 tahun) sekretaris perusahan ternama, datang ke dokter gigi
Fitri ingin mencabutkan kedua gigi taring atasnya yang lubang besar dan goyang.
Kedua gigi tersebut dulu pernah ditambal, tapi tambalannya sudah lepas kurang
lebih stahun yang lalu. Kegoyangan gigi tersebut sudah berlangsung sejak 6 bulan
yang lalu tidak pernah bengkak, terkadang nyeri saat minum dingin atau
berbicara. Tapi selama ini bu sumi masih berusaha mempertahankannya. Sekarang
Bu Sumi ingin kedua gigi tersebut dicabut karena dia tidak mau datang berkali-
kali ke dokter gigi untuk perawatan.Pada pemeriksaan intra oral didapatkan gigi
13 lubang pada daerah servikal dan goyang 1o, tes dingin psositif. Pada gigi 23
didapatkan pula lubang pada daerah servikal dan goyang 4o, tes dingin negative,
calculus positif. Bagaimana dokter gigi Fitri menanggapi permintaan Bu Sumi?
2.2 Keyword
Mencabutkan kedua gigi taring, gigi 13 lubang pada daerah servikal dan
goyang 1o, tes dingin psositif dan gigi 23 didapatkan pula lubang pada daerah
servikal dan goyang 4o, tes dingin negative,dan calculus positif.
2.3 Learning issue
1. Definisi dan Metode Ekstraksi Gigi
2. Indikasi dan Kontraindikasi Ekstraksi Gigi
3. Tahap Ekstraksi Gigi dan komplikasi pasca Ekstraksi Gigi
4. Macam-macam anastesi
5. Teknik- teknik anastesi
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang
alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana
dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari
perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan
mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang
ekstraksi. Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep,
pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di
dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat semula
dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi erupsi yang
merupakan indikasi, misalnya gigi berjejal. Ekstraksi gigi dengan teknik
pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi dengan menggunakan
teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Howe, 1999).
3.1.1 Indikasi dan Kontraindikasi Ekstraksi Gigi
1. Indikasi
Tujuan dokter gigi adalah menciptakan rongga mulut yang sehat dan dapat
berfungsi dengan baik sampai akhir pertumbuhan gigi. Walaupun demikian,
ekstraksi gigi penting dilakukan dengan berbagai alasan (Peterson, 2004):
a. Karies Besar
Gigi yang mahkotanya sudah sangat rusak dan tidak dapat direstorasi lagi.
b. Nekrosis Pulpa
Gigi dengan pulpitis irreversible yang perawatan endodonti tidak dapat
dilakukan lagi atau merupakan kegagalan setelah dilakukan perawatan endodonti.
c. Penyakit Periodontal
Periodontitis dewasa yang berat dan luas akan menyebabkan kehilangan tulang
berlebihan dan mobiliti gigi yang menetap.
5
d. Gigi Retak
Gigi yang retak atau mengalami fraktur akar yang biasanya menyebabkan nyeri
hebat dan tidak dapat dikendalikan dengan perawatan endodonti.
e. Gigi Malposisi
Gigi yang dapat menyebabkan trauma jaringan lunak dan posisinya tidak dapat
diperbaiki dengan perawatan orthodonti.
f. Gigi Terpendam
Apabila gigi terpendam menimbulkan masalah dan menyebabkan gangguan
fungsi normal dari pertumbuhan gigi, maka gigi terpendam ini diekstraksi.
g. Gigi Berlebih
Dapat mengganggu pertumbuhan gigi geligi normal atau menyebabkan gigi
berjejal berat dan estetis yang kurang pada gigi anterior.
h. Gigi yang berkaitan dengan lesi patologis
Ekstraksi gigi dengan lesi patologis harus dilakukan bersamaan dengan
pembuangan lesinya.
i. Gigi Persistensi
Gigi desidui yang sudah waktunya tanggal tetapi masih kuat dan gigi
penggantinya sudah erupsi. Biasanya gigi desidui mengalami resorbsi sehingga
akan goyah, tetapi pada gigi desidui yang gangren tidak mungkin terjadi resorbsi
atau karena kondisi kesehatan dari pasien maka gigi desidui itu masih tetap
tertanam dalam tulang alveolar.
j. Keperluan Orthodonti
Ekstraksi gigi premolar dilakukan untuk perawatan orthodonti dengan
pertumbuhan gigi yang berjejal.
k. Ekstraksi Preprostetis
Untuk keperluan pembuatan protesa dilakukan ekstraksi gigi.
l. Preradioterapi
Pasien yang akan mendapatkan perawatan radioterapi pada rongga mulutnya
harus dilakukan ekstraksi gigi terlebih dahulu pada gigi-gigi yang merupakan
indikasi pada daerah yang akan diradioterapi (Peterson, 2004).
6
II. Kontraindikasi
Walaupun gigi memenuhi persyaratan untuk dilakukan ekstraksi, pada
beberapa keadaan tidak boleh dilakukan ekstraksi gigi karena beberapa faktor atau
merupakan kontraindikasi ekstraksi gigi. Pada keadaan lain, kontraindikasi
ekstraksi gigi sangat berperan penting untuk tidak dilakukan ekstraksi gigi sampai
masalahnya dapat diatasi (Peterson, 2004).
a. Penderita penyakit jantung, hipertensi, arteriosklerosis, dan diabetes mellitus
kontraindikasi pada pemberian adrenalin. Adrenalin pada ekstraksi gigi
merupakan kontraindikasi pada penderita penyakit jantung, hipertensi,
arteriosklerosis dan diabetes melitus.
b. Penderita Trombositopenia
Penderita trombositopenia memiliki jumlah trombosit lebih sedikit dari normal
sehingga darah sukar membeku. Seperti yang telah diketahui bahwa trombosit
penting artinya dalam pembekuan darah.
c. Penderita Leukemia
Penderita leukemia memiliki jumlah leukosit yang lebih banyak dari normal
dalam darah sehingga mudah mengalami perdarahan.
d. Kaheksi
Penderita memiliki keadan umum yang sangat buruk karena malnutrisi atau
sesudah menderita penyakit yang lama dan berat. Akibatnya semua keadaan
menjadi jelek, perdarahan banyak, penyembuhan luka lambat dan dengan suntikan
atau sedikit trauma ia dapat kolaps. Ekstraksi gigi ditunda sampai keadaan umum
penderita lebih baik.
e. Penderita Hemofilia
Merupakan penyakit atau kelainan susunan darah yang bersifat herediter dan
hanya terdapat pada laki-laki. Apabila penderita mendapatkan luka, maka
darahnya tidak dapat membeku. Hal ini disebabkan oleh trombosit tidak dapat
pecah kalau berhubungan dengan udara karena kekurangan zat antihemofilia
dalam serum, sehingga darah akan terus mengalir.
f. Kehamilan
7
Ekstraksi gigi merupakan kontraindikasi pada trimester pertama, karena
keadaan umum ibu hamil pada trimester pertama sering sangat lemah dan dalam
masa pembentukan janin.
g. Peradangan di sekitar Gigi
Apabila terdapat peradangan di sekitar gigi, maka ekstraksi gigi adalah
kontraindikasi. Ekstraksi gigi dapat dilakukan jika inflamasinya sudah sembuh
(Peterson, 2004).
3.1.2 Metode Ekstraksi Gigi
1. Pencabutan intra-alveolar
Instrumen yang digunakan secara luas dalam pencabutan gigi adalah tang.
Penggunaan instrument ini memungkinkan operator memegang bagian akar gigi
dan kemudian mengubah posisi gigi dalam soketnya dengan memberi tekanan
melalui tang. Bilah dari instrumen dipaksakan masuk ke dalam membran
periodontal antara gigi dan akar serta dinding soket tulang dan kedua instrumen
tang dan bein harus digunakan (Howe, 1999).
Idealnya semua permukaan dalam dari tang harus cocok dengan
permukaan akar. Prinsip penting lainnya dalam aplikasi tang pada gigi adalah
sumbu panjang bilah harus diletakkan pad pada atau sejajar terhadap sumbu
panjang akar gigi (Howe, 1999).
2. Pencabutan trans-alveolar
Metode pencabutan ini termasuk pembelahan gigi atau akar dari perlekatan
tulangnya, terkadang disebut metode terbuka atau bedah dengan beberapa indikasi
dibawah ini:
a. Adanya gigi yang menahan usaha pencabutan intra-alveolar bila diaplikasikan
tekanan yang sedang besarnya.
b. Sisa akar yang tidak dapat dipegang oleh tang atau dikeluarkan dengan
elevator, khususnya yang berdekatan dengan sinus maksilaris.
c. Adanya riwayat kesulitan atau kegagalan pencabutan gigi sebelumnya.
d. Gigi dengan restorasi yang luas, khususnya bila saluran akar telah dirawat atau
pulpa sudah nonvital.
e. Gigi hipersementosis dan ankilosis.
8
f. Gigi dilaserasi atau geminasi.
g. Gigi dengan gambaran radiografi bentuk akar yang rumit atau akar yang
kurang menguntungkan atau berlawanan dengan arah pencabutan.
h. Bila ingin dipasangkan geligi tiruan imediat atau beberapa saat setelah
pencabutan. Metode ini memungkinkan dilakukannya penghalusan tulang
alveolar agar protesa dapat dipasang (Howe, 1999).
Setelah memutuskan untuk melakukan metode trans-alveolar untuk
mencabut gigi atau akar gigi, jenis anastesi yang akan digunakan harus ditetapkan
dan rencana keseluruhan untuk mengatasi kesulitan pencabutan tersebut termasuk
cara mengatasi atau mencegah komplikasi yang mungkin terjadi juga harus
diperhitungkan. Komponen penting dalam perencanaan tersebut adalah bentuk
flap mukoperiosteal, metode yang digunakan untuk mencabut gigi atau akar gigi
dari soket dan pembuangan tulang yang diperlukan untuk mempermudah tindakan
pencabutan (Howe, 1999).
3.1.3 Prinsip Ekstraksi Gigi
Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-prinsip yang
akan memudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan memperkecil terjadinya
komplikasi ekstraksi gigi (Jong,1997).
1. Asepsis
Aseptik berarti tidak adanya patogen pada suatu daerah tertentu. Teknik
septik adalah usaha mempertahankan objek agar bebas dari mikroorganisme
(Jong,1997).
Asepsis ada 2 macam:
a) Asepsis medis
Tehnik bersih, termasuk prosedur yang digunakan untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme. Misalnya: mencuci tangan, mengganti linen tempat tidur, dan
menggunakan cangkir untuk obat.
b) Asepsis bedah
Teknik steril, termasuk prosedur yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme dari suatu daerah. Termasuk patogen dan spora, dari suatu
obyek atau daerah. Prosedur asepsis bedah diikuti jika Anda melakukan
9
prosedur invasif ke dalam rongga tubuh biasanya bebas dari mikroorganisme
(Jong, 1997).
Prinsip-Prinsip Tindakan Asepsis Yang Umum
Semua benda yang menyentuh kulit yang luka atau dimasukkan ke dalam
kulit untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh, atau yang dimasukkan ke
dalam rongga badan yang dianggap steril haruslah steril.
a. Jangan sekali-kali menjauhi atau membelakangi tempat yang steril.
b. Peganglah objek-objek yang steril, setinggi atas pinggang dengan demikian
objek-objek itu selalu akan terlihat jelas dan ini mencegah terjadinya
kontaminasi diluar pengawasan.
c. Hindari berbicara, batuk, bersin atau menjangkau suatu objek yang steril.
Jangan sampai menumpahkan larutan apapun pada kain atau kertas yang
sudah steril.
d. Bukalah bungkusan yang steril sedemikian rupa, sehingga ujung
pembungkusnya tidak mengarah pada si petugas.
e. Objek yang steril menjadi tercemar, jika bersentuhan dengan objek yang
tidak steril.
f. Cairan mengalir menurut arah daya tarik bumi, jika forcep dipegang
sehingga cairan desinfektan menyentuh bagian yang steril, maka forcep itu
sudah tercemar (Jong, 1997).
2. Pembedahan atraumatik
Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara hati-hati,
tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti, sehingga membuat trauma
sekecil mungkin. Tindakan yang kasar menyebabkan trauma jaringan lunak,
memudahkan terjadinya inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan
yang digunakan haruslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul akan
memperbesar terjadinya trauma (Jong, 1997).
3. Akses dan lapangan pandang baik
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan pandang
yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor tersebut adalah posisi kursi,
10
posisi kepala pasien, posisi operator, pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah
atau saliva. Posisi kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan
kenyamanan bagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi maksila, posisi pasien
lebih tinggi dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi lebih rendah
sehingga pasien duduk lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan
lantai. Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih rendah dari
dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi tegak dan dataran oklusal
terendah sejajar dengan lantai. Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar
daerah operasi dapat terlihat dengan jelas tanpa bayangan hitam yang membuat
gelap daerah operasi. Retraksi jaringan juga dibutuhkan untuk mendapatkan
lapangan pandang yang jelas. Daerah operasi harus bersih dari saliva dan darah
yang dapat mengganggu penglihatan ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan
penyedotan pada rongga mulut (Jong, 1997).
4. Tata Kerja Teratur
Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin dengan
mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk mengetahui cara kerja yang
berbeda untuk setiap pembedahan, sehingga dapat menggunakan tekanan
terkontrol sesuai dengan urutan tindakan (Jong, 1997).
3.1.4 Faktor Pertimbangan Pra-Ekstraksi Gigi
1. Pemeriksaan keadaan umum penderita (identifikasi penyakit sistemik)
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemeriksaan Ro foto gigi
4. Indikasi & kontra indikasi
5. Pemilihan jenis anastetikum
6. Metode pencabutan
7. Posisi penderita
8. Posisi operator
9. Armamentarium
Penggunaan peralatan yang efektif dimulai dengan pemahaman tentang
desainnya. Peralatan pencabutan dengan desain yang baik mempunyai keuntungan
mekanis untuk melipatgandakan tekanan yang diberikan sampai mencapai tingkat
11
yang cukup untuk menyelesaikan tugasnya. Elevator dan tang gigi berfungsi
sebagai pengungkit yang menghantarkan gaya atau tekanan ke gigi yang akan
dicabut. Efektivitasnya ditingkatkan oleh desain bilah elevator yang
memungkinkan alat dipegang dengan kuat dan nyaman selama digunakan.
Efisiensi makin meningkat dengan adanya bilah elevator dengan paruh tang yang
dapat mencengkeram struktur akar dengan erat sehingga menghindari selip
(Pedersen, 1996).
1. Elevator
Apabila pencabutan harus dilakukan, elevator lurus hampir selalu menjadi
pasangan tang. Proses pencabutan biasanya diawali dengan elevator. Alat ini
digunakan untuk mengetes anestesi, untuk memisahkan perlekatan epitel dan
mengawali dilatasi atau ekspansi alveolus. Elevator adalah suatu instrumen yang
peka terhadap sentuhan. Bila digunakan dengan hati-hati, ahli bedah mulut dapat
mengetahui besar tekanan yang diperlukan untuk menyelesaikan pencabutan. Oleh
karena itu, elevator dan tang merupakan alat yang saling melengkapi (Pedersen,
1996).
Elevator didesain dalam dua pola dasar yaitu (Pedersen, 1996):
a. Elevator Lurus
Sebagian besar pencabutan diawali dengan elevator lurus #34S, #46, atau
#301. Yang paling kecil dari kelompok ini adalah #301, lebar bilahnya 2mm
sedangkan bilah dari #34 adalah 3,5mm. Elevator lurus standar didesain dengan
pegangan berbentuk buah pir, tangkai yang lurus dan bilah cembung/cekung
dengan dataran miring. Elevator lurus yang paling sering digunakan adalah #34S,
karena lebarnya ideal untuk insersi interproksimal. Lebar tambahan memberikan
keuntungan mekanis yang lebih besar selama tekanan rotasional apabila
dibandingkan dengan bilah yang lebih sempit. Elevator #301 dapat digunakan
untuk preparasi pencabutan gigi yang berjejal atau malposisi apabila celah
interprosksimal sangat terbatas. Juga sangat bermanfaat untuk mengeluarkan
ujung akar atau frakmennya.
b. Elevator Bengkok
Sementara elevator lurus digunakan pada sebagian besar pencabutan,
elevator bengkok mempunyai kegunaan yang lebih terbatas, tetapi seringkali
12
penting. Elevator #41 mewakili kelompok tersebut. Elevator ini mempunyai bilah
bengkok dengan ujung yang tajam untuk mencengkeram sementum, atau
diinsersikan ke dalam lubang kaitan. Seperti semua elevator bengkok, tekanan
aplikasi utama adalah rotasional dengan aksi pengungkitan sekunder, keduanya
sering dikombinasikan. Seperti umumnya elevator bengkok, alat ini ditumpukan
pada tulang alveolar sebelah bukal yang kuat, bukan gigi. Elevator #73 dan #74
dan Potts (kanan dan kiri) pada dasarnya mempunyai desain yang serupa yaitu
bengkok, dengan bilah melengkung dan ujung membulat. Elevator Potts berbeda
dengan Miller yaitu elevator ini mempunyai pegangan crossbar. Kedua peralatan
ini digunakan untuk mengawali pencabutan M3 yang tidak erupsi. Elevator Potts
dan Miller diinsersikan interproksimal pada garis servikal gigi M3 atas yang
impaksi, yang akan dicabut. Elevator ini digunakan dengan titik tumpuan bukal
pada tulang alveolar, yang memungkinkan diaplikasikan tekanan yang
dihantarkan mengakibatkan pergeseran gigi ke arah disto-buko-oklusal yang
merupakan arah pengeluaran yang umum dari M3 impaksi.
2. Tang Gigi
Pencabutan dengan tang mempunyai satu tujuan yaitu menghantarkan
tekanan terkontrol pada gigi sehingga mengakibatkan dilatasi alveolus dan
luksasi, serta pencabutan. Evolusi dari tang menghasilkan banyak sekali desain,
masing-masing dengan ciri tersendiri yang mampu menjalankan tugasnya dengan
efisien, dengan tenaga minimum, trauma dan komplikasi yang minimum. Melalui
proses pemakaian dan pengalaman yang lama, jumlahnya agak berkurang.
Meskipun demikian, desain yang umum dilengkapi dengan pegangan, engsel dan
paruh (Pedersen, 1996).
Pengguanaan tang gigi seperti juga penggunaan elevator, maka dalam
penggunaan tang ini pinch graps digunakan untuk rahang atas dan sling graps
untuk rahang bawah. Pada kebanyakan kasus, tang ini diaplikasikan pada gigi
dengan paruh paralel terhadap sumbu panjang gigi. Adaptasi dicapai dengan
menmpatkan paruh yang lingual dulu, kemudian tang ditutup dan ditekan
keapikal. Jika mahkota bukal diaplikasikan pertama. Tekanan mencengkeram ke
apikal dipertahankan selama proses pencabutan, karena mempertahankan adaptasi
13
adalah sangat penting bagi keberhasilan aplikasi dari tekanan bukal, lingual dan
rotasional. Seringkali pada tahap akhir adaptasi, tang biasanya terletak apikal dari
lokasi aplikasi awal, yang merupakan kondisi yang diharapkan karena dengan
demikian terjadi dilatasi alveolus. Penghantaran tekanan yang terkontrol
tergantung pada posisi operator penggunaan tangan dan lengan, graps dan posisi
pasien yang benar. Tekanan yang terkontrol dan besar akan dihantarkan dengan
aman apabila persyaratan tersebut dipenuhi. Tan dipegan dekat ujung pegangn
menjauhi paruh tang. Memegang jauh dari ujung pegangan akan mengurangi
keuntungan mekanis dan sebaiknya dihindarkan. Persepsi taktil dari tekanan
diaplikasikan dan hasil yang diperoleh dapat berkurang karena cara memegang
tang yang terlampau kuat, disebut sindrom white knuckel (Pedersen, 1996).
a. Tang Untuk Gigi Rahang Atas
Tang #150; sementara #151 merupakan tang mandibula serbaguna, #150
adalah tang serbaguna untuk rahang atas, dapat digunakan untuk sebagian besar
pencabutan gigi rahang atas. Paruhnya hampir paralel dengan pegangn. Paruhnya
gak sempit seperti #151 dan pada mulanya digunakan untuk pencabutan gigi
premolar. Tang ini digunakan dari depan kanan dan kiri dengan pinch graps. Tang
Read yang digunakan di Inggris Raya serupa dengan #150 (Pedersen, 1996). Tang
#53; #53R dan #53L adalah tang untuk molar rahang atas dengan paruh yang
relatif lebar (6mm) dan asimetri. Satu paruhnya mempunyai tonjolan di tengah
untuk adaptasi terhadap trifurkasi bukal, sedangkan yang paruh lainnya
mempunyai kecekungan untuk mencengkeram akar lingual. Selain itu, juga
memiliki pegangan bayonet yang dimaksudkan untuk menghindari terjepitnya
bibir bawah terhadap gigi insisivus (Pedersen, 1996).
Tang #210; pasangan untuk tang #222 bawah (untuk rahang atas) adalah
#210. Ini juga didesain khususnya untuk pencabutan M3. Tang ini mempunyai
pegangan bayonet yang panjang dan paruh yang besar pendek dan simetris
(5mm). #286 adalah tang dengan paruh yang kecil dan desain bayonet untuk
mengambil frakmen akar atau gigi atas yang berjejal. Karena kurangnya
konvergensi paruhnya maka biasanya hampir tidak ada atau sedikit sekali migrasi
aplikasi dari tang ini, yang merupakan kelemahan yang serius (Pedersen, 1996).
14
Tang #1; tang #1 adalah tang dengan pegangan yang panjang, dan berat
dengan paruh yang simetris. Pegangan yang panjang dilengkapi dengan
pengungkit yang panjang yang pada keadaan tertentu ideal untuk pencabutan C.
tang ini juga bisa digunakan untuk gigi insisivus atas (Pedersen, 1996). Gigi susu;
versi lebih kecil dari #150, #150S digunakan untuk pencabutan gigi susu. #150
standar biasanya cukup baik untuk pencabutan kebanyakan gigi atas susu
(Pedersen, 1996).
b. Tang untuk rahang bawah
#151 tang mandibula mempunyai paruh yang hampir membentuk sudut
90o dengan pegangan. Tang #151A dulu didesain untuk gigi premolar bawah.
Melalui pengalaman, bentuk universal ini (bisa untuk kanan atau kiri) menjadi
murni digunakan untuk pencabutan gigi bawah misalnya untuk mencabut seluruh
bawah. Pegangannya sedikit melengkungke arah bawah dan paruhnya relative
sempit(3mm untuk #151). Seperti pada kebanyakan tang untuk rahang bawah,
tang digunakan dari kanan depan oleh operator yang tidak kidal dan kiri depan
sebagai operator yang kidal (Pedersen, 1996).
Tang #17 dan #23, Tang #17 didesain untuk pencabutan gigi molar bawah.
Paruhnya simetris dengan gigi molar bawah. Paruhnya simetris dengan tonjolan
bagian tengah atau ujubg pada masing-masing paruh, yang ditujukan agar
mencengkeram bifurkasi atau groove akar bukal atau lingual. Ujung tersebut
apabila dikombinasikan dengan paruh yang lebar akan memberikan adaptasi
molar yang lebih baik dibandingkan dengan tang #151. Tang lain yang sering
digunakan untuk rahang bawah #23. Paruhnya simetris dan berbentuk seperti
tanduk konus, yang didesain untuk beradaptasi dngan baik di bifurkasi gigi molar.
Tang ini digunakan dengan tekanan menutup yang kuat dan kontinu yang
dikombinasikan dengan tekanan kea rah bukal dan lingual (Pedersen, 1996).
Tang #222. Gigi molar ketiga bawah menimbulkan kendala tersendiri
dalam jalan masuk dan tekanan hantaran yang diperlukan karena lokasinnya
dibagian posterior ujung lengkung rahang. Tang #222 dapat meniadakan kendala
ini Tang ini mempunyai pegangan yang agak panjang (18 cm dibandingkan
dengan 17 cm dari #17) dengan paruh yang lebar (6mm). Apabila gigi molar
ketiga bawah akarnya konus dan berfusi, #222 ini bisa berfungsi dengan baik
15
untuk menghantarkan tekanan rotasional. Selain itu bisa juga digunakan dengan
tekanan bukal/lingual konvensional, sering dengan penekanan pada lingual pada
saat penghantaran (Pedersen, 1996).
Tang #74. Tang #74 dan #74N desainnya vertical dengan paruh agak kecil
(4mm untuk #74). Tang –tang tersebut cocok untuk pencabutan gigi anterior
bawah. Paruhnya yang kecil beradaptasi dengan baik pada gigi insisivus bawah
yang kecil dan seringkali berjejal. Tang digunakan dengan posisi operator di
sebelah kanan depan atau kiri depan. Jika adaptasinya kurang ke apikal, sering
terjadi fraktur mahkota gigi (Pedersen, 1996).
Gigi susu. Ada model tang b#151 yang lebih kecil, #151 dapat digunakan
untuk pencabutan gigi-gigi bawah susu. Secara umum, #151 merupakan tang yang
cocok untuk gigi-gigi ini (Pedersen, 1996).
3.1.5 Instrumentasi Pencabutan Gigi dengan Pembedahan
1) Instrumentasi Jaringan Lunak
Peralatan dibagi menjadi kelompok-kelompok menjadi peralatan jaringan
lunak dan jaringan keras. insisi dilakukan dengan sebuah knife handle bard parker
dengan bilah disposable #11, #12 aqtau #15 bilah #15 merupakan bilah multiguna,
digunakan untuk mewakili fungsi dari jenis yang lain. bilah tersedia dalam
bungkus tunggal yang sudah steril. sebagai alternative, juga tersedia knife handle
beserta bilah disposable yang sudah cekat. insisi dibuat dari posterior ke anterior
atau dari jauh ke dekat. apabila merencanakan pembuatan full thickness flap insisi
harus mencapai tulang melalui mukoperiosteum. insisi yang sempurna dari
periosteum memungkinkan reaksi flap. refleksi flap dilakukan dengan elevator
periosteal, biasanya menggunakan molt #9. instrument di insersikan pada tepi
insisi dan digerakkan di bawah periosteum dengan gerakan mendorong
/menyusup/ mengangkat. dictum yang harus dipenuhi adalah pengangkatan flap
harus adekuat tapi jangan berlebihan. persyaratan yang lain adalah flap tidak
boleh berlubang. perforasi pada periosteum akan menimbulkan gangguan suplai
darah. meskipun termasuk dalam kelompok elevator periosteal, seldin lebih sering
digunakan sebagai sebuah refraktor. Minnesota adalah retractor lain yang
bermanfaat. penggunaan retractor yang benar, adalah bertumpu pada tulang
16
rahang dan mukosa labial sehingga tidak berkontak dengan kulit bibir. retraksi
yang terlalu lama dari flap tanpa melakukan relaksasi sehingga sebaiknya
dihindarkkan, karena akan menghalangi suplai darah (Pedersen, 1996).
2) Instrumentasi Jaringan Keras
Tulang biasanya diambil dengann menggunakan peralatan kecepatan
tinggi dengan larutan seline steril. bur yang disukai adalah round/tapered fissure.
meskipun peralatan kecepatan tinggi tersebut sangat efisien, alat ini juga
menghasilkan panas tinggi, yang bisa mengakibatkan nekrosis tulang. instrument
putar tersebut juga digunakan unntuk memecah gigi dan untuk pembuatan lubang
kaitan untuk elevator. tulang juga bisa diambil dengan rounge #4A atau tang
pemotong tulang #5. alat-alat tersebut merupakan instrument berpegas yang
berujung ganda dan mempunyai sisi yang tajam. rounge sangat ideal untuk
membentuk dan menghaluskan tulang pada waktu alveoplasti. osteotumdengan
mallet juga digunakan untuk eksisi tulang dan pemecahan gigi. untuk pasien yang
sadar atau yang tidak disedasi, penggunaan esteotum dengan tekanan tangan lebih
dapat diterima disbanding mallet, pada akhir pembedahan sebaiknya dilakukan
penghalusan tulang dengan kikir tulang berujun ganda, yang memotong hanya
dengan tekanan dorongan. peralatan untuk bedah sebaiknya dikelompokkan
menjadi satu set (Pedersen, 1996).
3.1.6 Faktor Penyebab Penundaan Ekstraksi Gigi
Penundaan pencabutan gigi erat hubungannya dengan kontraindikasi
relatif pencabutan gigi Pencabutan gigi dapat dilakukan bilamana keadaan lokal
maupun keadaan umum (sistemik) pasien dalam keadaan yang sehat. Jika keadaan
umum pasien kurang baik, kemungkinan dapat terjadi suatu komplikasi yang
serius setelah pencabutan. Kelompok kontraindikasi ini disebut bersifat relatif
sebab pada beberapa kasus tetap dapat dilakukan pencabutan, meskipun banyak
hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan tindakan operasi.
1. Diabetes
Diabetes mellitus (DM) atau kencing manis adalah suatu penyakit kronis
yang terjadi ketika konsentrasi glukosa darah dalam tubuh berlebih. Ini biasanya
terjadi ketika produksi insulin, hormon pengatur kadar glukosa darah, dari
17
pankreas tidak memadai, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkan. Dua faktor utama yang menjadi
pertimbangan dalam melakukan pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus
adalah terhambatnya penyembuhan luka dan rekonstruksi tulang (Loo dkk, 2009)
2. Jantung
Penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung merupakan faktor resiko
dalam praktek kedokteran gigi, terutama karena tidak adanya kontrol medis
yang memadai. Oleh karena itu penting bagi dokter gigi untuk mengetahui
masalah medis setiap pasien, perawatan yang diterima, dan kemungkinan
pengobatan yang akan dilakukan. Penyakit jantung yang paling sering terlihat
dalam praktek kedokteran gigi, seperti hipertensi arteri, penyakit jantung iskemik,
aritmia dan gagal jantung. Peran dokter gigi pada pasien penderita penyakit
jantung meliputi mendeteksi penyakit, merujuk pasien, edukasi dan konseling,
penundaan perawatan gigi, serta pencegahan dan perawatan kondisi mulut. Dokter
gigi bertugas memeriksa tekanan darah pasien selama kunjungan rutin atau
skrining dan memberi konseling berkaitan dengan faktor risiko seperti merokok,
dan gaya hidup (Pamplona dkk, 2011).
3. Hipertensi
Hipertensi atau yang dikenal sebagai tekanan darah tinggi didefinisikan
sebagai suatu kenaikan tekanan darah sistole lebih dari 140mmHg atau tekanan
darah diastole lebih dari 90 mmHg, dengan diagnosis didasarkan pada hasil yang
sama pada dua atau lebih kunjungan setelah pemeriksaan awal. Hipertensi
ditandai adanya suatu kenaikan tekanan darah yang persisten sebagai akibat dari
kenaikan resistensi dari arteri perifer. Hipertensi menjadi kontraindikasi relatif
dalam pencabutan gigi berkaitan dengan penggunaan anestesi lokal. Adanya
vasokonstriktor dalam anestesi lokal merupakan masalah tersendiri berkaitan
dengan tekanan darah pasien. Anestetikum lidokain dengan epinefrin (adrenalin)
sebagai vasokonstriktornya merupakan yang paling umum digunakan dalam
praktek dokter gigi.Salah satu efek samping yang paling penting dari
campuran lidokain dengan epinefrin adalah efek kardiovaskular yang membatasi
penggunaannya pada beberapa kasus tertentu. Hal ini disebabkan karena
penyerapan sistemik epinefrin dari tempat injeksi atau injeksi intravaskulernya.
18
Efek kardiovaskular yang dimaksud seperti hipertensi, nyeri dada, takikardia, dan
aritmia jantung lainnya. (Rahajoe, 2008).
4. Pasien terapi steroid
Pada dasarnya, steroid merupakan terapi pengganti hormon yang dihasilkan
oleh adrenal ketika produksinya tidak normal. Kelenjar adrenal memproduksi
hormon aldosteron dan kortisol yang memungkinkan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres dan sangat penting untuk kelangsungan hidup. Ketika kekurangan
hormon tersebut, tubuh kurang mampu beradaptasi dengan situasi yang penuh
tekanan atau yang menimbulkan stress. Pada keadaan inilah terapi pengganti
diindikasikan. Penggunaan jangka panjang steroid menyebabkan insufisiensi
adrenal sekunder dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Intervensi bedah
pada pasien yang menerima pengobatan steroid harus dilakukan dengan
pertimbangan untuk mencegah krisis adrenal, penyembuhan luka tertunda, dan
infeksi (Nakano dkk, 2002).
5. Kehamilan
Saat hamil, wanita mengalami berbagai perubahan pada tubuhnya.
Perubahan tersebut meliputi perubahan sistem kardiovaskular, pernapasan dan
pencernaan, serta perubahan dalam rongga mulut dan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi oral. Hal ini terutama dipengaruhi oleh sirkulasi hormon seks
wanita, yaitu estrogen dan progesteron. Kehamilan normal berlangsung sekitar
38 minggu atau 9 bulan. Masa kehamilan dibagi menjadi trimester (periode 3
bulan), sebab setiap trimester membutuhkan penanganan medis dan dental yang
berbeda. Trimester pertama dan terakhir merupakan kontraindikasi pada
pencabutan gigi. Hal ini disebabkan oleh adanya resiko kelahiran prematur
dan sindrom hipotensi supinasi. Hanya pada trimester kedua pencabutan gigi
aman untuk dilakukan (Nayak dkk, 2012).
6. Diskrasia darah
Anemia, penyakit hemoragik seperti hemofilia dan leukemia
merupakan jenis diskrasia darah yang menimbulkan banyak kesulitan selama
pencabutan gigi.4 Diskrasia darah membuat pasien rentan terhadap infeksi
pasca operasi dan pendarahan. Pencabutan sebaiknya dilakukan hanya setelah
konsultasi dengan hematologis dan persiapan yang tepat dari pasien. Pendapat
19
dari hematologis dibutuhkan untuk menghindari komplikasi selama pemulihan
pasien (Ghosh, 2006).
7. Terapi koagulan
Terapi antikoagulan adalah salah satu bentuk yang paling umum digunakan
dalam pengobatan kontemporer. Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya tromboemboli, karena itu biasanya
dianjurkan pada semua pasien dengan risiko tromboemboli. Risiko tromboemboli
dapat terjadi pada subyek dengan riwayat angina, aterosklerosis, fibrilasi atrium,
kecelakaan cerebrovaskular, trombosis vena dalam, penyakit arteri perifer,
penyakit jantung iskemik, infark miokard dan emboli paru, dan juga pada
pasien setelah angioplasty dan pemasangan stent, operasi bypass dan prostetik
pemasangan katup jantung. Antikoagulan saat ini terdiri dari dua obat dasar yaitu
natrium warfarin dan heparin. Antikoagulan sering dikombinasikan dengan obat
antiplatelet seperti asam asetilsalisilat atau sulfat clopidogrel untuk
mencegah agregasi trombosit (Ghosh, 2006).
Pasien yang mengkonsumsi antikoagulan dan obat antiplatelet lebih
beresiko mengalami perdarahan oleh karena prosedur dental dibandingkan
pasien lain. Namun, menghentikan penggunaan obat-obatan ini dapat memicu
peristiwa trombotik (misalnya, deep vein thrombosis (DVT), stroke) pada
pasien. Oleh karena itu, risiko perdarahan harus dipertimbangkan bersama dengan
risiko dan konsekuensi dari trombosis (Madrid, 2009).
8. Gondok beracun
Pasien hipertiroid rentan terhadap penyakit kardiovaskular. Sebelum
melaksanakan prosedur perawatan dental, terutama bedah mulut, dokter gigi
sebaiknya mengkonsultasikan riwayat jantung pasien dengan dokter yang
merawatnya. Pada keadaan ini, penggunaan epinefrin harus dihindari dan
tindakan bedah mulut harus ditunda untuk pasien yang menunjukkan tanda-tanda
atau gejala penyakit yang tidak terkontrol seperti takikardi, denyut nadi tidak
teratur, berkeringat, hipertensi, tremor, atau telah mengabaikan instruksi dari
dokternya. Segala bentuk perawatan dental invasif harus ditunda selama lebih
dari enam bulan atau hingga satu tahun. Pasien penderita penyakit ini juga
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi, sehingga keadaan yang penuh
20
tekanan seperti prosedur bedah mulut dapat memicu krisis tirotoksis. Manajemen
stres dalam hal ini merupakan hal sangat penting. Berikut ini garis besar
modifikasi perawatan dental untuk pasien penderita penyakit tirokotoksis
(Nagendra, 2011) :
a. Menghindari penggunaan adrenalin dan mengontrol penyebaran infeksi.
b. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan
c. NSAID dan aspirin harus digunakan dengan hati-hati
d. Perawatan harus dihentikan jika tanda-tanda atau gejala krisis tirotoksis
berkembang
e. Pasien rentan terhadap obat depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat
f. Pasien rentan terhadap penyakit kardiovaskular, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan darah yang tepat dan konsultasi dengan dokter yang
menangani pasien
g. Manajemen stres sangat penting pada pasien ini
9. Penyakit kuning
Penyakit kuning adalah kondisi dimana konsentrasi bilirubin dalam darah
meningkat secara abnormal. Seluruh jaringan tubuh, termasuk sklera dan kulit,
menjadi warna kuning atau hijau kekuningan. Penyakit ini tampak secara klinis
ketika tingkat bilirubin serum melebihi 2,5 mg/dl.31 Virus hepatitis B, C, D dan G
ditularkan melalui darah, sedangkan hepatitis A dan E Penularannya melalui
jalur fekal-oral. Makanan dan minuman yang terkontaminasi akibat pengelolaan
yang tidak tepat dan tidak higienis berkaitan dengan jalur fekal-oral penularan
hepatitis A dan E (Puttaiah dkk, 2010).
9. Hipotensi
Hipotensi meningkatkan resiko terjadinya hipotensi ortostatik ketika
mengubah posisi pasien dari posisi supine menjadi duduk atau berdiri. Hipotensi
ortostatik didefiinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg atau
tekanan darah diastolik >10 mmHg. Keadaan ini terbukti telah menjadi faktor
risiko terjadinya sinkop. Gejala klinis dari hipotensi ortostatik yaitu
ketidakstabilan posisi tubuh, pusing, atau pingsan. Prosedur perawatan gigi
sering menyebabkan pasien mengalami stres psikis akibat perasaan takut, ngeri
atau rasa nyeri yang hebat. Ketika hipotensi diperparah dengan kondisi
21
psikologis tersebut, akan terjadi penurunan cerebral blood flow. Berkurangnya
aliran darah ke otak dapat memicu terjadinya kegawatdarutan medik sinkop.
Sinkop merupakan keadaan dimana seseorang mengalami penurunan atau
hilangnya kesadaran secara tiba-tiba dan bersifat sementara akibat tidak
adekuatnya cerebral blood flow. Selain disebabkan oleh faktor psikogenik seperti
rasa takut dan tegang, keadaan ini juga dapat dipicu oleh faktor- faktor non-
psikogenik seperti rasa lapar, kondisi fisik yang jelek, serta lingkungan yang
panas, lembab dan padat. Sinkop dapat muncul selama prosedur pencabutan gigi,
pembedahan, injeksi anestesi lokal, atau bahkan saat penderita duduk dalam
posisi tegak sebelum ada tindakan perawatan giginya sama sekali (Protzman,
2012).
10. Asma
Oleh karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat
antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas.
Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan
dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi
maupun sistemik. Adapun kaitannya dengan prosedur dental, penting bagi dokter
gigi untuk mengetahui apakah seorang penderita memiliki asma yang
terkontrol dengan mengajukan pertanyaan spesifik tentang obat asma,
frekuensi serangan asma dan kebutuhan perawatan darurat. Prosedur dental
umumnya dianggap sebagai keadaan yang penuh tekanan, sehingga tidak jarang
pasien mengalami kecemasan atau rasa takut yang berlebihan ketika akan atau
sedang berhadapan dengan rangkaian penatalaksaan pencabutan gigi. Kecemasan
dental ini dapat memi serangan asma. Pasien harus dibuat nyaman dan santai agar
komplikasi akibat kecemasan dental dapat dihindari. Hal penting yang juga perlu
diperhatikan pada penderita asma adalah efek dari obat-obatan yang digunakan.
Dosis tinggi (> 400 mg) steroid inhalasi dapat menyebabkan supresi adrenal dan
menempatkan penderita pada risiko krisis adrenal. Jika ada keraguan mengenai
Levobupivacaine, Kecuali kokain, maka semua anestesi lokal bersifat
vasodilator (melebarkan pembuluh darah). Sifat ini membuat zat anestesi
lokal cepat diserap, sehingga toksisitasnya meningkat dan lama kerjanya
jadi singkat karena obat cepat masuk ke dalam sirkulasi. Untuk
memperpanjang kerja serta memperkecil toksisitas sering ditambahkan
vasokonstriktor (Samodro, 2011).
3. Golongan Lainnya
Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran. Anestesi lokal
sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil
dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan (Rahardjo, 2009).
Obat Anestesia yang Sering Dipakai dalam Kedokteran Gigi
1. Lidocain
Sejak diperkenalkan pada tahun 1949 derivat amida dari xylidide ini sudah
menjadi agen anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam
kedokteran gigi bahkan menggantikan prokain sebagai prototipe anestesi
lokal yang umumnya digunakan sebagai pedoman bagi semua agen
anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan anestesi lebih cepat dari
pada procain dan dapat tersebar dengan cepat diseluruh jaringan,
menghasilkan anestesi yang lebih dalam dengan durasi yang cukup lama.
Obat ini biasanya digunakan dalam kombinasi dengan adrenalin (1:80.000
atau 1: 100.000). Pengunaan lidocain kontraindikasi pada penderita
penyakit hati yang parah (Nurvitasari dkk., 2011).
2. Mepivacain
Derivat amida dari xilidide ini cukup populer yang diperkenalkan untuk
tujuan klinis pada akhir tahun 1990an. Kecepatan timbulnya efek,durasi
aksi, potensi dan toksisitasnya mirip dengan lidocain. Mepivacain tidak
27
mempunyai sifat alergenik terhadap anestesi lokal tipe ester. Agen ini
dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan anestesi
infiltrasi / regional. Bila mepivacain dalam darah sudah mencapai
tingkatan tertentu , akan terjadi eksitasi sistem saraf sentral bukan depresi,
dan eksitasi ini dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi respirasi
(Nurvitasari dkk., 2011).
3. Prilocain
Merupakan derivat toluidin dengan tipe amida pada dasarnya mempunyai
formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lidocain dan
mepivacaine. Prolocain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat
daripada lidocain namun anestesi yang ditimbulkan tidak terlalu dalam.
Prolocain juga kurang mempunyai efek vasodilator bila dibandingkan
dengan lidocain dan bisanya termetabolisme lebih cepat. Obat ini kurang
toksis dibanding dengan lidocaine tapi dosis total yang dipergunakan
sebaiknya tidak lebih dari 400mg (Nurvitasari dkk., 2011).
Adrenalin (epinephrine), suatu alkaloid sintetik yang hampir mirip dengan
sekresi medula adrenalin alami. Felypressin (octapressin), suatu polipeptida
sintetik yang mirip dengan sekresi glandula pituutari posterior manusia.
Mempunyai sifat vasokonstriktor yang dapat diperkuat dengan penambahan
prilokain (Nurvitasari dkk., 2011).
3.2.2 Macam-Macam Anastesi Lokal
1. Anastesi Topikal
Menghilangkan rasa sakit di bagian permukaan saja karena yang dikenai
hanya ujung-ujung serabut urat syaraf. Bahan yang biasa digunakan berupa
salep.
2. Anastesi Infiltrasi
Sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang bawah.
Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-
28
anak cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu
kompak.
3. Anastesi Blok
Digunakan untuk pencabutan gigi molar tetap (Nurvitasari dkk., 2011).
Berikut kami jabarkan :
a. Anastesi Topikal
Anastesi topikal yaitu pengolesan analgetik lokal diatas selaput mukosa.
Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anestesi tertentu pada
daerah kulit maupun membran mukosa yang dapat dipenetrasi untuk
memblok ujung-ujung saraf superfisial. Semua agen anestesi topikal
sama efektifnya sewaktu digunakan pada mukosa dan menganestesi
dengan kedalaman 2-3 mm dari permukaan jaringan jika digunakan
dengan tepat (Whitehead, 1990).
Anastesi topikal tersedia dalam bentuk :
1. Semprotan (spray form) yang mengandung agen anestesi lokal
tertentu dapat digunakan untuk tujuan ini karena aksinya
berjalan cukup cepat. Bahan aktif yang terkandung dalam
larutan adalah lignokain hidroklorida 10% dalam basis air yang
dikeluarkan dalam jumlah kecil kontainer aerosol. Bila anestesi
dilakukan dengan menggunakan semprotan, larutan umumnya
dapat didistribusikan dengan lebih mudah dan efeknya akan
lebih luas daripada yang kita inginkan. Waktu timbulnya
anastesi adalah 1 menit dan durasinya adalah sekitar 10 menit
(Whitehead, 1990).
2. Salep yang mengandung lignokain hidroklorida 5% juga dapat
digunakan untuk tujuan yang sama, namun diperlukan waktu 3-4
menit untuk memberikan efek anastesi. Beberapa industri
farmasi bahkan menyertakan enzim hialuronidase dalam
produknya dengan harapan dapat membantu penetrasi agen
anastesi lokal dalam jaringan. Amethocaine dan benzocaine
29
umumnya juga ditambahkan dalam preparat ini. Salep sangat
bermanfaat bila diaplikasikan pada gingiva lunak sebelum
pemberian tumpatan yang dalam (Whitehead, 1990).
3. Emulsi yang mengandung lignokain hidroklorida 2% juga dapat
digunakan. Emulsi ini akan sangat bermanfaat bila kita ingin
mencetak seluruh rongga mulut dari pasien yang sangat mudah
mual. Sesendok teh emulsi dapat digunakan pasien untuk
kumur-kumur disekitar rongga mulut dan orofaring dan
kemudian dibiarkan satu sampai dua menit, sisanya diludahkan
tepat sebelum pencetakan. Emulsi ini juga dapat bermanfaat
untuk mengurangi rasa nyeri pascaoperatif seperti setelah
gingivektomidan tidak berbahaya bila tertelan secara tidak
disengaja (Whitehead, 1990).
4. Etil klorida, disemprotkan pada kulit atau mukosa akan
menguap dengan cepat sehingga dapat menimbulkan anastesi
melalui efek pendinginan. Manfaat klinis hanya bila semprotan
diarahkan pada daerah terbatas dengan kapas atau cotton bud
sampai timbul uap es. Namun tindakan ini harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari terstimulasinya pulpa gigi-
gigi tetangga dan inhalasi uap oleh pasien. Manfaat teknik ini
memang terbatas tetapi kadang-kadang dapat digunakan untuk
mendapat anastesi permukaan sebelum insisi dari abses fluktuan
(Whitehead, 1990).
Teknik Anastesi Lokal
1. Membran mukosa dikeringkan untuk mencegah larutnya bahan anastesi
topikal (Whitehead, 1990).
2. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan disuntik ± 15
detik (tergantung petunjuk pabrik) kurang dari waktu tersebut, obat tidak
efektif (Whitehead, 1990).
30
Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa minimal 2
menit, agar obat bekerja efektif. Salah satu kesalahan yang dibuat pada pemakaian
anastesi topikal adalah kegagalan operator untuk memberikan waktu yang cukup
bagi bahan anastesi topikal untuk menghasilkan efek yang maksimum
(Whitehead, 1990).
b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik anestesi lokal paling sering digunakan
pada maxilaris. Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan pada permukaan
supraperiosteal yang berhubungan dengan periosteum bukal dan labial. Larutan
anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan akan terinfiltrasi
sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan menimbulkan efek anestesi
dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf tersebut. Teknik infiltrasi dapat
dibagi menjadi (Lamlanto, 2009).
1. Suntikan submukosa
Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat dibalik membran mukosa.
Walaupun tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering
digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan
molar bawah atau operasi jaringan lunak (Lamlanto, 2009).
2. Suntikan supraperiosteal
Pada beberapa daerah seperti maksila, bidang kortikal bagian luar dari tulang
alveolar biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular yang kecil.
Pada daerah-daerah ini bila larutan anestesi didepositkan di luar periosteum,
Gambar 1 Suntikan submukosa, suntikan
supraperiosteal, suntikan subperiosteal,
suntikan interdental papilla, dan suntikan
peridental.
31
larutan akan terinfiltrasi melalui periosteum, bidang kortikal, dan tulang
medularis ke serabut saraf. Dengan cara ini, anestesi pulpa gigi dapat
diperoleh melalui penyuntikan di sepanjang apeks gigi. Suntikan
supraperiosteal merupakan teknik yang paling sering digunakan pada
kedokteran gigi dan sering disebut sebagai suntikan infiltrasi (Lamlanto,
2009).
3. Suntikan subperiosteal
Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan antara periosteum dan bidang
kortikal. Karena struktur ini terikat erat, suntikan tentu terasa sangat sakit.
Karena itu, suntikan hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain atau bila
anestesi superfisial dapat diperoleh dari suntikan supraperiosteal. Teknik ini
biasa digunakan pada palatum dan bermanfaat bila suntikan supraperiosteal
gagal untuk memberikan efek anestesi, walaupun biasanya pada situasi ini
lebih sering digunakan suntikan intraligament (Lamlanto, 2009).
4. Suntikan intraoseous
Seperti terlihat dari namanya, pada teknik ini larutan di depositkan pada tulang
medularis. Prosedur ini sangat efektif bila dilakukan dengan bantuan bur
tulang dan jarum yang di desain khusus untuk tujuan tersebut. Setelah
suntikan supraperiosteal diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil
melalui mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk
mendapat jalan masuk bagi bur dan reamer kecil. Kemudian dapat dibuat
lubang melalui bidang kortikal bagian luar tulang dengan alat yang sudah
dipilih. Lubang harus terletak di dekat apeks gigi pada posisi sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin merusak akar gigi geligi (Lamlanto, 2009).
Jarum yang pendek dengan hub yang panjang diinsersikan melalui lubang
dan diteruskan ke tulang, larutan anestesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke
ruang medularis dari tulang. Jumlah larutan tersebut biasanya cukup untuk
sebagian besar prosedur perawatan gigi. Teknik suntikan intraoseous akan
memberikan efek anestesi yang baik pada pulpa disertai dengan gangguan
sensasi jaringan lunak yang minimal. Walaupun demikian, biasanya tulang
alveolar akan terkena trauma dan cenderung terjadi rute infeksi. Prosedur
asepsis yang tepat pada tahap ini merupakan keharusan. Pada prakteknya,
32
dewasa ini sudah dipasarkan larutan anestesi yang efektif dan penggunaan
suntikan intraligamentum atau ligamentum periodontal sudah mengurangi
perlunya suntikan intraoseous dan karena itu, teknik suntikan intraoseous
sudah makin jarang digunakan (Lamlanto, 2009).
5. Suntikan intraseptal
Merupakan versi modifikasi dari teknik intraoseous yang kadang-kadang
digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila akan
dipasang geligi tiruan immediet serta bila teknik supraperiosteal tidak
mungkin digunakan. Jarum 27 gauge diinsersikan pada tulang lunak di crest
alveolar. Larutan didepositkan dengan tekanan dan berjalan melalui tulang
medularis serta jaringan periodontal untuk memberi efek anestesi. Teknik ini
hanya dapat digunakan setelah diperoleh anestesi superfisial (Lamlanto,
2009).
6. Suntikan intraligament
Teknik ini umumnya menggunakan syringe konvensional yang pendek dan
lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk tujuan tersebut.
Teknik ini mempunyai beberapa manfaat. Efeknya yang terbatas
dimungkinkan dilakukannya perawatan pada satu gigi dan membantu
perawatan pada kuadran mulut yang berbeda. Suntikan ini juga tidak terlalu
sakit bagi pasien yang umumnya tidak menyukai “rasa bengkak” yang sering
menyertai anestesi lokal. Suntikan ini juga dapat menghindari terjadinya baal
pada lidah, pipi dan jaringan lunak lainnya, jadi mengurangi resiko “trauma”
pada bibi dan lidah yang baal dan tidak menimbulkan rasa kurang enak bagi
pasien sehingga ia dapat makan, minum dan berbicara secara normal. Efeknya
yang terlokalisir membuat teknik ini dapat digunakan sebagai suntikan
diagnostik untuk mengidentifikasi sumber sakit (Lamlanto, 2009).
C. Anestesi Blok
Anestesi Blok pada Maxillaris
1. Anestesi Blok Nervus Infraorbital
33
Nervus infraorbital merupakan salah satu cabang terminal dari divisi
maxillaris nervus trigeminus. Nervus ini mempersarafi kulit pipi, kulit dan
mukosa dari bibir atas dan bagian hidung. Nervus alveolar superior
anterior (ASA) memisahkan nervus infraorbital dalam kanal infraorbital
sekitar 5 mm sebelum foramen infraorbital. Nervus ASA menyalurkan
sensasi ke gigi incisivus atas dan gigi caninus dan kadang-kadang ke
premolar dan jaringan periodontium bagian bukal, gingival dan mukosa
serta tulang yang berhubungan dengan gigi-gigi ini. Nervus MSA
mempersafari pulpa dan jaringan yang bersebelahan dari gigi premolar
maxillaris dengan akar mesiobukal dari molar pertama. Teknik infiltrasi
maupun blok dapat menganestesi cabang terminal dari nervus ASA dan
MSA. Teknik anestesi blok nervus infraorbital bergantung pada deposisi
anestesi lokal ke dalam foramen infraorbital yang memungkinkan larutan
anestesi berdifusi di sepanjang kanal infraorbitalis dan di sekitar tulang
untuk mencapai nervus ASA dan MSA (Lamlanto, 2009).
Injeksi infraorbital diindikasikan jika peradangan dan infeksi merupakan
kontraindikasi penggunaan anestesi infiltrasi di bagian anterior maxillaris,
jika akan dilakukan pembukaan pada sinus maxillaris (Lamlanto, 2009).
Untuk keperluan bedah mulut, injeksi ini dapat diberikan untuk
menghindari penyuntikan ke dalam jaringan inflamasi di daerah gigi
incisivus dan kaninus, tetapi dapat juga mencapai anestesi yang lebih
mendalam untuk lesi yang lebih besar seperti kista (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Sebaiknya menggunakan jarum panjang (35mm) tidak kurang dari 27
gauge.
Gambar 3. Lokasi nervus infraorbitalis
Gambar 3.6. Jarum diarah sejajar dengan long axis gigi dan diinsersikan pada puncak mucobukal fold di atas premolar pertama.
34
2. Mintalah pasien untuk membuka mulut sedikit.
3. Menarik bibir atas dengan ibu jari tangan kiri.
4. Gunakan jari telunjuk untuk meraba foramen infraorbital secara ektraoral.
Letakkan jari telunjuk di titik injeksi.
5. Mengarahkan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris di antara gigi
premolar.
6. Arahkan jarum sejajar akar gigi premolar menghadap foramen infraorbital
sampai berkontak dengan tulang, sekitar 15 sampai 20 mm.
7. Jarum ditarik sedikit, jika apsirasi negatif , suntikkan secara perlahan-
lahan 1,5 ml larutan anestesi.
2. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Medial
Anestesi blok nervus alveolar superior medial digunakan pada prosedur
dimana gigi premolar maxillaris atau akar mesiobukal dari molar pertama
yang memerlukan anestesi. Meskipun tidak selalu digunakan, teknik ini
berguna apabila anestesi blok nervus alveolar superior posterior atau
anterior atau anestesi infiltrasi supraperiosteal mengalami kegagalan untuk
mencapai anestesi yang adekuat. Kontraindikasi anestesi ini yaitu inflamasi
akut dan infeksi di daerah suntikan atau prosedur yang hanya melibatkan
satu gigi dimana anestesi yang adekuat dapat diperoleh dengan anestesi
infiltrasi. Teknik ini menggunakan jarum 25 atau 27 gauge (Lamlanto,
2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Identifikasi puncak mukobukal fold di atas gigi premolar kedua
maxillaris yang akan menjadi titik tusukan.
Gambar 5. Lokasi nervus alveolar superior medial
Gambar 6. Jarum diinsersi ke puncak mucobukal fold di atas premolar kedua maxillaris.
35
2. Operator berdiri di arah antara pukul Sembilan dan sepuluh sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah antara pukul dua dan tiga.
3. Menarik pipi dengan alat retraksi dan menginsersi jarum sampai ujung
jarum berada di atas apeks dari gigi premolar kedua.
4. Lakukan aspirasi dan depositkan larutan anestesi dua pertiga cartridge
secara perlahan-lahan selama satu menit.
5. Pelaksanaan teknik mengalami kesuksesan apabila menganestesi
daerah pulpa gigi jaringan lunak dan tulang disekitar gigi premolar
pertama dan kedua dan akar mesiobukal gigi molar pertama.
3. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Posterior
Nervus alveolar superior posterior merupakan percabangan dari divisi
maxillaris dari nervus trigeminus. Yang merupakan bagian utama fossa
pterygopalatinal, melewati inferior sepanjang dinding posterior maxillaris,
dan masuk ke tulang sekitar satu cm ke superior dan posterior gigi molar
ketiga. Nervus PSA mempersarafi gingival bagian bukal, jaringan
periodontium, dan alveolus yang berhubungan dengan gigi molar atas.
Nervus ini mempersarafi pulpa dari semua gigi molar atas dengan
kemungkinan pengecualian pulpa mesiobukal dari molar pertama, yang
dipersarafi oleh nervus alveolar superior medial (MSA) pada sebagian
besar individu (Lamlanto, 2009).
Anestesi blok ini dimaksudkan untuk menganestesi nervus alveolar
superior posterior menembus aspek posterolateral dari tuberositas
maxillaris sebelum mencapai tulang. Dengan demikian, ada hubungan
yang erat antara daerah suntikan dengan plexus venous pterygoid di bawah
dan di atas dan dapat dengan mudah dimasuki jarum (Lamlanto, 2009).
Injeksi blok nervus PSA dilakukan di daerah yang sangat vaskular,
sehingga pembentukan hematoma sering terjadi, terutama ketika jarum
masuk lebih dari 15 mm. Perdarahan segera dapat dikontrol oleh tekanan,
tetapi setelah injeksi, trismus dapat berlangsung selama berminggu-
minggu. Terapi antibiotik harus diresepkan jika hematoma membesar
(Lamlanto, 2009).
36
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Gunakan jarum yang pendek atau panjang, tidak kurang dari 27 gauge.
2. Instruksikan pasien untuk sedikit membuka mulut, dan gerakkan
mandibula ke arah daerah injeksi.
3. Retraksi bibir dan pipi dengan ibu jari atau jari telunjuk dari tangan kiri.
4. Insersikan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris ke bagian distal dari
molar kedua.
5. Masukkan jarum ke posterior, superior, dan medial (dengan sudut 45o dari
dataran oklusal) sampai kedalaman 15 mm.
6. Lakukan aspirasi.
7. Injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahan-lahan.
4. Anestesi Blok Nervus Palatinal
Anestesi blok nervus palatinal berguna ketika perawatan diperlukan pada
aspek palatal dari gigi premolar dan molar maxillaris. Nervus palatinal
keluar dari kanal dan menuju ke depan antara tulang dan jaringan lunak
palatal. Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi di daerah
suntikan. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 atau 27 gauge.
Teknik (Lamlanto, 2009):
1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.
Gambar 7 Lokasi nervus alveolar superior posteriorSumber :
Gambar 8 Jarum diinsersikan di atas mukobukal fold di atas molar kedua maxillaris dengan sudut 45o ke arah superior, medial dan posterior.
37
2. Operator berdiri di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator
yang kidal berdiri di arah jarum jam pukul empat.
3. Gunakan kapas, cari foramen palatinal dengan menempatkan kapas pada
jaringan palatal sekitar 1 cm di medial diantara gigi molar kedua dan
ketiga.
Daerah di sekitar satu atau dua millimeter di sebelah anterior foramen
merupakan titik tusukan. Gunakan kapas, berikan tekanan ke daerah
foramen sampai percabangan jaringan. Arah jarum suntik tegak lurus
terhadap daerah suntikan hingga satu sampai dua millimeter dari anterior
foramen. Sambil menjaga tekanan pada foramen, suntikkan larutan
anestesi volume kecil sehingga jarum masuk ke jaringan sampai berkontak
dengan tulang. Jaringan akan pucat di sekitar daerah suntikan (Lamlanto,
2009).
Kedalaman penetrasi biasanya lebih dari beberapa millimeter. Sekali
berkontak dengan tulang, lakukan aspirasi dan injeksikan larutan anestesi
sebanyak seperempat cartridge (0.45 cc). Resistensi deposisi larutan
anestesi secara normal dapat dirasakan operator. Teknik ini menganestesi
mukosa palatal dan palatum keras dari premolar pertama aspek anterior ke
posterior dari palatum keras ke garis tengah medial (Lamlanto, 2009).
5. Anestesi Blok Nervus Nasopalatinal
Anestesi blok nervus nasopalatinal, yang juga dikenal sebagai anestesi
blok incisivum dan anestesi blok sphenopalatinal, menganestesi nervus
nasopalatinal secara bilateral. Teknik ini mendepositkan larutan di area
foramen incisivum. Teknik diindikasikan ketika perawatan memerlukan
Gambar 11. Daerah insersi untuk anestesi blok nervus palatinal satu cm dari median diantara molar kedua dan ketiga maxillaris.
Gambar 10. Lokasi nervus palatinal
38
anestesi aspek lingual dari beberapa gigi anterior. Teknik ini menggunakan
jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.
2. Operator harus berdiri di arah jarum jam pukul Sembilan sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah jarum jam pukul tiga.
Mengidentifikasi papilla incisivum.
3. Daerah lateral secara langsung ke papilla incisivum merupakan daerah
injeksi. Dengan kapas, tahan tekanan di atas papilla incisivum.
Menginsersi jarum arah lateral ke papilla dengan bevel berlawanan
jaringan.
4. Masukkan jarum secara perlahan-lahan ke foramen incisivum sambil
mendepositkan sedikit larutan anestesi dan mempertahankan tekanan
pada papilla. Setelah berkontak dengan tulang, retraksi jarum sekitar
satu millimeter, lakukan aspirasi, dan suntikkan seperempat cartridge
(0.45cc) dari larutan anestesi selama tiga puluh detik.
5. Keseimbangan jaringan sekitar dan pengendapan larutan anestesi
adalah normal. Anestesi akan diberikan ke jaringan lunak dan keras
dari aspek lingual gigi anterior dari distal dari gigi kaninus pada satu
sisi ke sisi distal dari gigi kaninus di sisi yang berlawanan.
6. Anestesi Blok Nervus Maxillaris
Ada Tiga teknik yang digunakan untuk memblokir nervus maxillaris, salah
satunya secara ekstraoral dan dua teknik secara intraoral. Teknik ekstraoral
jarang digunakan dalam praktik klinis kedokteran gigi. Secara intraoral, ada
Gambar 3.13. Insersi arah lateral ke foramen incisivum untuk memblok nervus nasopalatinal.
Gambar 3.12. Lokasi nervus nasopalatinal
39
dua teknik untuk memblok nervus maxillaris yaitu pada tuberositas (mirip
dengan anestesi blok nervus alveolar superior posterior) dan kanal palatinal.
Meskipun sulit diprediksi dan cenderung menimbulkan komplikasi,
prosedur pada tuberositas lebih mudah. Tujuan teknik ini secara langsung
untuk mengarahkan jarum ke superior, medial, dan posterior sepanjang
permukaan permukaan zygomatikum dan infratemporal dari maksilla masuk
ke fossa pterygopalatinal. Dengan kedalaman 24 sampai 44 mm (Lamlanto,
2009).
Injeksi intraoral maxillaris dilakukan dengan jarum terpasang dengan hub
melengkung karena suntikan ini dapat dilakukan dengan mudah dengan
jarum bersudut daripada dengan jarum lurus, khususnya jika ingin mencapai
fisur sphenomaxillaris. Setelah pipi diretraksi, jarum diinsersi tinggi di
mukobukal fold pada permukaan posterior yang cekung dari zigomatikum
yang berlawanan dengan molar ketiga. yang merupakan lanjutan yang
miring ke atas, ke dalam, dan sedikit ke belakang sampai 3 cm, yang
berkontak dengan tulang. Dua milliliter dari larutan diinjeksikan. Selama 12
menit, daerah infraorbital dari wajah, termasuk bagian hidung dan sebagian
bibir atas, menjadi mati rasa. Jika palatum mati rasa, ini merupakan tanda
larutan anestesi telah terpenetrasi ke ganglion sphenopalatinal. Dengan
demikian sebagian maxillaris dapat teranestesi, termasuk sinus maxilaris.
Jika palatum tidak mati rasa, dilakukan injeksi tambahan pada palatinal
anterior dan foramen incisivum jika anestesi pada seluruh bagian maxillaris
diinginkan (Lamlanto, 2009).
Gambar 3.14 Blok nervus maxillaris
40
Injeksi maxillaris ekstraoral lebih baik daripada secara intraoral karena
secara intraoral, bibir dan pipi diretraksi, sehingga dapat saja terpotong
dan memar. Selain itu, jarum diinsersi ke dalam permukaan yang steril.
Anatomi landmark untuk insersi jarum ditemukan dengan meraba
pinggiran superior dari lengkung zigomatikum ke tempat dimana terbentuk
sudut siku-siku dengan tepi superior dari orbit. Sudut ini disebut sudut
zygomatikum. Dari titik ini garis vertikal ditarik ke bawah 0.5 cm di
bawah tepi inferior zygomatikum, yang merupakan tempat insersi jarum.9
Tekhnik (Lamlanto, 2009):
1. Sterilkan kulit dengan menggunakan kapas beralkohol.
2. Setelah kulit steril dan siap, jarum diinsersi dengan gigi-geligi
beroklusi.
3. Beberapa tetes dari larutan anestesi dinjeksikan ke bawah kulit,
kemudian jarum melewati pipi secara vertikal menuju otot bucinator
dengan kedalaman 2 sampai 3 cm, selanjutnya berkontak dengan
tulang.
4. Sekarang jarum diarahkan sedikit lebih ke belakang melewati dinding
posterior dari maxillaris.
5. Setelah jarum dimasukkan 2 cm lagi, pengendapan tulang kembali
terasa, permukaan anterior menjadi lebih lebar dari sphenoid di bawah
foramen rotundum.
6. Jarum telah masuk sedalam 5 cm, ditandai dengan karet disk. Dua
millimeter larutan anestesi diinjeksikan, dan gejala anestesi akan
dirasakan seperti yang digambarkan dalam teknik intraoral.
Perlu dicatat bahwa dengan metode okular mengakibatkan gangguan
seperti diplopia, kelopak mata melemah, dan dilatasi dari pupil yang
terjadi dalam jangka waktu pendek dan beberapa pasien mengalami
gangguan anestesi pada palatum lunaknya.
Anestesi Blok pada Mandibularis
1. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Inferior
41
Anestesi blok nervus alveolar inferior merupakan salah satu teknik yang
paling umum pada anestesi blok mandibula. Teknik ini sangat berguna
ketika beberapa gigi dalam satu kuadran memerlukan perawatan. Target
teknik ini adalah nervus mandibular yang berjalan ke medial ramus, yang
masuk ke foramen mandibular. Nervus lingual, mental, dan incisivum juga
teranestesi. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto,
2009).
Teknik direct. Ketika melakukan teknik anestesi blok nervus alveolar
mandibula pada orang dewasa, jarum panjang (35mm) tidak lebih kecil
dari 27 gauge yang mesti digunakan. Jarum panjang dianjurkan karena
penetrasinya sampai 25 mm mungkin diperlukan, jarum tidak diinsersi
sampai hub untuk menghindari patah jarum. Penting untuk mengoreksi
“landmarking” dan dan melakukan tekniknya secara berurutan (Lamlanto,
2009).
Injeksi ini akan menganestesi nervus alveolar inferior dan memblok
nervus lingual. Jika membutuhkan anestesi lingual, jarum ditarik setengah
dan aspirasi diulangi. Jika aspirasi negatif, larutan pada cartridge diinjeksi
pada titik ini, dan jarum kemudian ditarik (Lamlanto, 2009).
Teknik direct (Lamlanto, 2009) :
1. Letakkan ibu jari pada fossa retromolar, raba coronoid notch pada
batas anterior ramus.
2. Letakkan jari telunjuk pada batas posterior ramus di tempat yang sama
dengan ibu jari.
3. Beritahu pasien untuk membuka mulut dengan lebar.
Gambar 15. Lokasi nervus alveolar inferior
Gambar 16. Setelah berkontak dengan tulang, jarum di arahkan ke posterior dengan syringe sejajar dataran oklusal, jarum kemudian masuk ke kuarter ketiga.
42
4. Insersi jarum ke dalam mulut secara menyilang terhadap gigi premolar
mandibula dari sisi yang berlawanan sejajar dengan dataran oklusal.
5. Tempatkan titik penetrasi dengan visualisasi bentuk V dari batas
anterior ramus mandibula pada aspek lateral dan raphe
pterygomandibular secara medial. Ramus diraba dan raphe muncul.
6. Penetrasi bentuk V dengan imajinasi pertengahan diantara setengah
ibu jari. Masukkan jarum sampai berkontak dengan tulang, biasanya
dengan kedalaman 20 sampai 30 mm.
7. Setelah mencapai tulang, tarik jarum sedikit (supraperiosteal) dan
aspirasi.
8. Jika aspirasi negatif, injeksikan sekitar 1.5 ml larutan anestesi.
Teknik indirect. Teknik anestesi blok nervus alveolar inferior indirect
dapat digunakan pada awal atau dapat digunakan sebagai alternatif jika
teknik direct gagal. Teknik indirect mengatasi masalah kontak ridge
internal oblique mandibula, tetapi pergerakan jarum diperlukan dalam
posisi yang benar. Orientasi pasien, membuka mulut, posisi tangan kiri
operator dan peralatan sama saja dengan teknik direct. Titik penetrasi
mukosa juga sama, pertengahan antara ramus dan raphe
pterygomandibular pada titik tengah ibu jari dokter gigi. Syringe diarahkan
secara intraoral sepanjang dataran oklusal dari gigi premolar dan molar
pada daerah yang akan diinjeksi. Setelah penetrasi mukosa, jarum
disuntikkan 10 mm ke dalam jaringan. Syringe kemudian berayun di atas
gigi premolar yang berlawanan sisi, kemudian metode selanjutnya seperti
yang dijelaskan pada teknik direct.4
2. Anestesi Blok Nervus Incisivum
Anestesi blok nervus incisivum jarang digunakan dalam praktik klinik
meskipun sangat berguna pada perawatan yang terbatas pada gigi anterior
mandibular dan tidak membutuhkan efek anestesi pada seluruh kuadran.
Teknik ini hampir mirip dengan anestesi blok nervus mentale dengan satu
langkah tambahan. Nervus mentale dan incisivum dianestesi dengan teknik
43
ini. Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi pada daerah
injeksi. Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge
(Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Mintalah pasien membuka sebagian mulut, atau ditutup selama
injeksi.
2. Lebih baik menggunakan jarum pendek 27 atau 30 gauge.
3. Jarum langsung dari belakang apeks premolar kedua.
4. Jarum berkontak dengan tulang, lalu tarik jarum sedikit.
5. Setelah aspirasi, injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahan-
lahan.
6. Jangan memasukan jarum ke foramen mentale, karena dapat melukai
nervus.
3. Anestesi Blok Nervus Mentale
Anestesi blok nervus mentale diindikasikan untuk prosedur yang
berhubungan dengan jaringan lunak bukal anterior ke foramen mentale.
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah
injeksi. Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto,
2009).
Injeksi ini jarang digunakan karena bagian yang teranestesi lebih efektif
dianestesi dengan injeksi pterygomandibular. Lokasi dan ukuran foramen
mentale bervariasi, kadang-kadang terdapat dua foramen mentale. Injeksi
ini secara intraoral diantara dan sedikit di bawah dua premolar (Lamlanto,
2009).
Gambar 18. Lokasi nervus mentale dan incisivum.
Gambar 19. Insersi jarum pada mukobukal fold di atas foramen mentale untuk blok nervus mentale dan incisivum.
44
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Pasien harus dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator yang kidal harus
berdiri di arah jarum jam pukul empat.
2. Daerah injeksi terletak di puncak mukobukal fold di atas foramen
mentale. Foramen dapat diraba secara manual dengan tekanan jari di
daerah mandibula bagian premolar.
3. Pasien akan merasa sedikit tidak nyaman akibat palpasi ke foramen.
Gunakan instrumen retraksi untuk meretraksi jaringan lunak.
4. Jarum diarahkan ke foramen mentale dengan bevel menghadap tulang.
Menembus jaringan lunak dengan kedalaman lima millimeter, aspirasi
dan injeksi sekitar 0.6cc larutan anestesi.
5. Pelaksanaan teknik ini dikatakan sukses apabila menghasilkan anestesi
jaringan lunak bukal anterior ke foramen, bibir bawah dan dagu pada
daerah injeksi.
4. Anestesi Blok Nervus Buccal
Anestesi blok nervus bukal, atau dikenal dengan anestesi blok bukal
panjang atau buccinators, merupakan tambahan yang berguna pada
anestesi blok nervus alveolar inferior ketika dilakukan manipulasi dari
jaringan lunak bukal di regio molar mandibula. Titik target teknik ini
adalah nervus bukal yang melalui ramus dibagian anterior. Kontraindikasi
prosedur ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah injeksi. Teknik
ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).
Nervus buccinators diblok pada titik tranversal batas anterior ramus. Yang
muncul dari dalam prosessus coronoid dari mandibula dan melintasi ramus
setinggi molar atas dalam posisi mulut terbuka. Daerah injeksi terbaik
pada tinggi ini dan masuk ke dalam jaringan yang menutupi tepi anterior
coronoid. Sekitar satu ml larutan anestesi diinjeksikan. Efek anestesi
dicapai setelah 5 menit (Lamlanto, 2009).
45
Teknik (Lamlanto, 2009)
1. Pasien berada dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
diarah jarum jam pukul delapan sedangkan operator kidal harus berdiri
di arah jarum jam pukul empat.
2. Mencari sisi yang paling distal gigi molar pada sisi yang dirawat.
Jaringan di bagian distal dan bukal di gigi molar terakhir merupakan
daerah injeksi.
3. Menggunakan instrument retraksi untuk meretraksi pipi. Bevel jarum
menghadap tulang dan syringe di arahkan sejajar bidang oklusal pada
daerah injeksi. Jarum diinsersi ke dalam jaringan lunak dan beberapa
tetes larutan anestesi disuntikkan.
4. Jarum dimasukkan sekitar satu atau dua millimeter sampai berkontak
dengan tulang. Setelah berkontak dengan tulang dan aspirasi negatif,
0.2 cc larutan anestesi lokal didepositkan. Jarum ditarik dan ditutup
kembali. Pelaksanaan anestesi dikatakan sukses apabila menghasilkan
efek anestesi pada jaringan lunak bukal dari daerah molar mandibula.
5. Anestesi Blok Vazirani-Akinosi Closed-Mouth
Anestesi blok nervus mandibula Vazirani-Akinosi closed mouth merupakan
teknik yang berguna untuk pasien yang sulit membuka mulut seperti trismus
atau ankylosis temporomandibular joint. Kesulitan membuka mulut
merupakan kontraindikasi teknik anestesi blok nervus alveolar inferior dan
teknik Gow-Gates yang membutuhkan pasien membuka mulut secara
maksimal. Keuntungan lainnya dari teknik ini yaitu resiko trauma yang
minimal dari nervus alveolar inferior, arteri, vena dan otot pterygoid, tingkat
komplikasi yang rendah dan ketidaknyamanan yang minimal dari injeksi.
Gambar 20. Lokasi nervus bukal. Gambar .21. Jaringan distal dan bukal dari gigi molar terakhir merupakan targen daerah injeksi.
46
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada ruang
pterygomandibular, cacat atau tumor pada regio tuberositas maxillaris atau
ketidakmampuan untuk memvisualisasikan bagian medial ramus. Teknik ini
menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Injeksi ini dilakukan pada mulut tertutup. Posisi pasien meiring 45o
dengan gigi geligi beroklusi. Ibu jari yang bebas digunakan untuk
merefleksi pipi secara lateral dan mengidentifikasi presessus coronoid.
2. Syringe diletakkan sejajar bidang oklusal, dan diposisikan setinggi
mukogingiva yang dekat dengan gigi molar ketiga maxillaris.
3. Jarum diputar searahss mukogingiva dari molar ketiga atas, dan
menganestesi mucosa di medial mandibula.
4. Menjaga syringe tetap sejajar dengan dataral oklusal, diarahkan ke
posterior dan sedikit ke lateral sampai masuk sekitar 1.5 inci (38 mm).
Ujung jarum akan masuk ke pertengahan ruang pterygomandibular dan
dekat dengan percabangan utama nervus mandibular.
5. Larutan anestesi didepositkan setelah aspirasi dan jarum kemudian
ditarik. Tanda munculnya efek anestesi akan dimulai setelah 4 sampai 5
menit.
6. Jika jarum terlalu jauh masuk ke medial, nervus tidak akan teranestesi.
Perlu diketahui bahwa dengan teknik ini, struktur posterior akan
teranestesi sebelum struktur anterior. Tanda klasik kram dari bibir
bawah akan tertunda.
6. Anestesi Blok Gow-Gates
Teknik ini menggunakan landmark eksternal yang mengarahkan jarum ke
titik tusukan yang lebih tinggi, sehingga menjamin tinggi yang memadai
untuk deposit larutan di atas lingual. Berikut dua landmark ektraoral yang
digunakan
1. Pertama, dataran diidentifikasi untuk mengarahkan jarum suntik.
Dataran ini memanjang dari batas bawah ke notch telinga melalui
commisura bibir.
47
2. Kedua adalah sebuah titik, tragus telinga, yang mengidentifikasi
landmark yang mengarahkan jarum.
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Mencari daerah anterior dengan mulut terbuka lebar.
2. Kedalaman blok pada orang dewasa sekitar 25 sampai 27 mm.
3. “Landmarking” gigi cenderung tidak penting; titik injeksi sekitar cusp
dari gigi molar kedua maxillaris.
4. Menggunakan garis dari tragal notch ke sudut mulut, membimbing
jarum ke leher condylus.
5. Dengan kepala pasien miring ke belakang dan mulut terbuka lebar,
meraba ridge internal oblique dengan jari telunjuk atau ibu jari.
6. Angulasi dari injeksi ini sejajar dengan pertemuan dua eksternal
landmark.
7. Titik tusukan berada diantara raphe pterygomandibula dan ridge
internal oblique, mendekati anterior leher condylar dari kontralateral
premolar.
8. Depositkan seluruh larutan cartridge. Mula kerjanya mungkin lebih
lambat tetapi efek anestesinya 2 sampai 3 jam.
2.2.5 Indikasi dan Kontraindikasi Anastesi
Anestesi lokal telah digunakan secara luas di bidang kedokteran umum dan
gigi. Komplikasi serius dari anestesi lokal jarang terjadi, tetapi kejadian fatal
akibat pemberian anestesi lokal telah dilaporkan. Komplikasi pemakaian anestesi
lokal berkisar dari gejala ringan yang terjadi akibat absorbsi sistemik anestesi
Gambar 22. Pasien membuka mulut secara maksimal. Cusp mesiolingual dari molar kedua maxillaris merupakan titik acuan injeksi.
Gambar 23. Jarum kemudian diarahkan ke distal sejajar dengan garis imajinasi notch intertragic ke sudut mulut.
48
lokal pada pemberian yang benar dan sesuai dosis sampai gejala berat pada sistem
saraf pusat (SSP) dan toksisitas pada jantung akibat penyuntikkan intravaskuler
yang tidak disengaja yang dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan toksisitas sistemik anastesi
lokal, diantaranya faktor risiko yang ada pada pasien, obat-obatan penyerta, lokasi
penyuntikkan dan teknik anestesi, jenis obat anestesi, total dosis yang digunakan,
kecepatan pengenalan tanda intoksikasi dan keadekuatan pengelolaan (Rindarto
dan Sutiyono 2009).
Dalam bidang kedokteran gigi, secara umum anestesi lokal diindikasikan
untuk berbagai tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak
tertahankan oleh pasien, diantaranya ekstraksi gigi, apikoektomi, gingivektomi,