Page 1
TUGAS KEDOKTERAN KELUARGA
DIABETES MELLITUS
KELOMPOK 5 :
Adisyari Puri Handini 1102008007Isyana Prasantini 1102008312Nugraha Mauluddin 1102008182Sheinny Herliandry 1102008239Siti Hidayah Tsaniawati 1102008315
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSIKepaniteraan Ilmu Kedokteran KeluargaPeriode 23 September – 26 Oktober 2013
Page 2
PENDAHULUAN
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Diagnosis diabetes mellitus menurut PERKENI atau yang dianjurkan ADA
(American Diabetes Association) jika pemeriksaan gula darah: 1) Kadar gula darah
sewaktu lebih atau sama dengan 200mg/dl: 2) Kadar gula darah puasa lebih atau sama
dengan 126mg/dl; 3) Kadar gula darah lebih atau sama dengan 200mg/dl pada 2 jam
setelah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa
prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah
1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada
penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5.7%. Riset ini
juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional
berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan
DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan
terapi obat.
Page 3
TINJAUAN PUSTAKA
● Diabetes Melitus
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedang
menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif
dan gangguan fungsi insulin. WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu
diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau
non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes mellitus gestasional.
Epidemiologi
Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 194
juta jiwa atau 5.1% dari 3.8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun
menderita diabetes mellitus dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta
jiwa. WHO memprediksi bahwa di Indonesia akan terjadi peningkatan dari 8.4 juta
diabetisi pada tahun 2000 menjadi 21.3 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini akan
menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina,
dan India dalam prevalensi diabetes mellitus (Diabetes Care, 2004).
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan
bahwa prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan
gejala adalah 1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula
darah pada penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah
5.7%. Riset ini juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara
nasional berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15
tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).
Page 4
Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut PERKENI (ADA,1997):
a. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik
melalui proses imunologik maupun idiopatik.
b. Diabetes melitus tipe II
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin bersama resistensi insulin.
c. Diabetes melitus tipe lain
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Endokrinopati
5. Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, lukokortikoid,
hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon-alfa, dll
6. Infeksi
7. Sebab imunologi yang jarang
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
d. Diabetes melitus gestasional (DMG)
Manifestasi Klinis
Keluhan umum pada pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
lanjut usia pada umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien
adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai dengan
komplikasi yang lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke
dokter adalah adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain:
a. Gangguan penglihatan: katarak
b. Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisul
c. Kesemutan, rasa baal
d. Kelemahan tubuh
e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
f. Infeksi saluran kemih
Page 5
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah
lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya
jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau
sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu,
tertusuk peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya
neuropati juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah
merasa lelah. Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke
dokter adalah keluhan mata kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-
gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa akibat hiperglikemia.
Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus pada lanjut usia:
a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala
awal
b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi
traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.
c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa
sakit, mononeuropati, disfungsi otonom dari traktus gastrointestinal (diare),
sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan
inkontinensia stress.
d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemia, angina, dan
infark miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan
darah tepi (tungkai diabetes dan gangren).
e. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal
(proteinuria, glomerulopati, uremia)
Anamnesis
Banyak pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
yang asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah pada
pemeriksaan laboratorium rutin. Para ahli masih berbeda pendapat mengenai kriteria
diagnosis DM pada lanjut usia. Kemunduran, intoleransi glukosa, bertambah sesuai
dengan pertambahan usia, jadi batas glukosa pada DM lanjut usia lebih tinggi dari
pada orang dewasa yang menderita penyakit DM.
Page 6
Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (WHO 1985):
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO
Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau
didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa
puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila
TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM
dapat ditegakkan.
Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah
puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat
dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO
pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer
terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca
reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun
kepekaannya terhadap insulin.
Pemeriksaan
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:
d. Usia >45 tahun
e. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2
f. Hipertensi (>140/90 mmHg)
g. Riwayat DM dalam garis keturunan
Page 7
h. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000
gram
i. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi
glukosa oral (TTGO) standar.
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang
berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3
tahun.
Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan
pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis
DM
Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200
Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110
Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2006
Page 8
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti tersebut dibawah
ini:
a. Keluhan khas DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan tidak khas DM: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara:
1. Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Page 9
Keluhan klinik diabetes
Keluhan klasik DM (+) Keluhan klasik DM (-)
GDP≥126≥126GPS≥200≤200
GDP≥126100-125<100GDS≥200140-199<140
Ulangi GDS atau GDP
GDP>126<126GDS≥200<200 TTGO
GD 2 JAM
≥200140-199<140
NORMAL
TGT GDPT
DM
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):
a. Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohirat yang cukup) dan kegiatan jasmani seperti biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgbb (anak-anak),
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksaa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Page 10
Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
Penatalaksanaan
a. Tujuan
- Jangka pendek
Menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.
- Jangka panjang
Mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan
tujuan akhir menurunkan morbiditas mortilitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, insulin melalui pengelolaan pasien secara
holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO)
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress
berat, berat badan yang menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua
keadaan tersebut perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.
b. Pilar Pengelolaan DM
- Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memmerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien
dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Page 11
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
a) Penyakit DM
b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c) Penyulit DM
d) Intervensi farmakologis dan non farmakologis
e) Hipoglikemia
f) Masalah khusus yang dihadapi
g) Perawatan kaki pada diabetes
h) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran
keterampilan
i) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama
dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi. Masalah kaki yaitu borok di kaki dengan atau tanpa
infeksi terlokalisasi atau menyerang seluruh kaki adalah dan kematian berbagai
jaringan tubuh karena hilangnya suplai darah, infeksi bakteri, dan kerusakan jaringan
sekitarnya merupakan masalah utama pada penderita diabetes.
- Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
a) Karbohidrat 60-70 %
Page 12
b) Protein10-15 %
c) Lemak 20-25 %
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
a) Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria
sebesar 30 kal/ kg BB.
b) Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi
5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk
usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan
aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
d) Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600
kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.
Page 13
Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB (kg) / TB (m2)
IMT Normal Wanita : 18.5 – 23.5
IMT Normal Pria : 22.5 – 25
BB kurang : < 18.5
BB lebih
Dengan risiko : 23.0-24.9
Obes I : 2.5.0-29.9
Obes II : ≥30.0
PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI
Kalori Basal:
Laki-Laki : BB ideal (kg) X 30 kalori/kg = … Kalori
Wanita : BB ideal (kg) X 25 kalori/kg = … Kalori
Koreksi/Penyesuaian:
Umur >40 tahun : -5% X Kalori basal = ... Kalori
Aktivitas Ringan : +10% X Kalori basal = … Kalori
Sedang : +20 %
Berat : +30 %
BB Gemuk : - 20 % X Kalori basal = - / + … Kalori
Lebih : - 10 %
Kurang : +20 %
Stress metabolik: 10-30 % X Kalori basal = + ... Kalori
Hamil trimester I& II = + 300 Kalori
Hamiltrimester III / laktasi = + 500 Kalori
Total Kebutuhan = ... Kalori
Page 14
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:
a) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu
makan
b) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman
berkalori rendah lainnya pada waktu makan
c) Makanlah dengan waktu yang teratur
d) Hindari makan makanan manis dan gorengan
e) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan
f) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama
setiap makan
g) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus
h) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil
i) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil
- Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe II.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun
harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun
tetap dilakukan tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan
yang kurang gerak seperti menonton televisi.
Page 15
Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:
a) Continous
Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus
menerus tanpa berhenti. Contoh: Jogging 30 menit, maka
pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti.
b) Rhytmical
Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh berlari,
berenang, jalan kaki.
c) Interval
Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat.
Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat
d) Progresive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari
intensitas ringan sampai sedang selama mencapai 30-60 menit
Sasaran HR = 75-85% dari maksimal HR
Maksimal HR = 220 – (umur)
e) Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi. Contoh: jalan jogging dan sebagainya.
ii. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
Indikasi pemakaian obat hiperglikemik oral:
Diabetes setelah umur 40 tahun
Diabetes kurang dari 5 tahun
Memerlukan insulin dengan dosis <40 unit sehari
DM tipe II, berat normal atau lebih
Page 16
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
a) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis hampir maksimal
b) Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
c) Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
d) Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan
e) Metformin : sebelum/pada saat/ esudah makan
f) Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan
pertama
g) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.17
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)
dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
Page 17
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan
pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.
c) Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasiendengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)dan hati,
serta pasien-pasien dengan kecenderunganhipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan
efeksamping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapatdiberikan pada saat atau sesudah makan.
d) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Page 18
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e) Terapi Kombinasi Sulfonilurea dan Biguanid
Pada saat-saat tertentu diperlukan terapi kombinasi/
pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan
biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang
sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid
untuk bekerja efektif. Kedua-duanya rupanya mempunyai efek
terhadap sensitivitas reseptor; jadi pemakaian kedua obat
tersebut saling menunjang. Kombinasi kedua obat efektif pada
banyak penyandang DM yag sebelumnya tidak bermanfaat bila
dipakai sendiri-sendiri.
f) Insulin
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel
beta pulau Langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi
pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan
penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai
bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke
dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan
membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati.
Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas,
sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan
merupakan suatu produk farmasi.
Indikasi terapi dengan insulin:
Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin
eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada
atau hampir tidak ada
Page 19
Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan
insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah
Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat,
tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke
DM gestasional dan penyandang DM yang hamil
membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik
Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau
yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara
bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hiperglikemi
oral
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan
sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu
meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu
macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja
Page 20
pendek (short acting), kerja menengah (intermediate
acting), kerja panjang (long acting) atau insulin
campuran tetap (premixed insulin).
Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis
insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk
koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja
menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi
insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan
OHO.
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan
dengan kebutuhan pasien dan respons individu terhadap
insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi
belum tercapai.
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam,
yaitu:
Insulin kerja singkat
Yang termasuk di sini adalah insulin regular Crystal
Zinc Insulin (CZI). Saat ini dikenal 2 macam insulin
CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang
ada antara lain: Actrapid, Velosulin , Semilente.
Insulin jenis ini diberi 30 menit sebelum makan,
mencapai puncak setelah 1-3 macam dan efeknya dapat
bertahan sampai 8 jam.
Insulin kerja menengah
Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine
Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini
awal kerjanya adalah 1.5-2.5 jam. Puncaknya tercapai
dalam 4-15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai
dengan 24 jam.
Insulin kerja panjang
Page 21
Merupakan campuran dari insulin dan protamine,
diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan
sehingga efek yang dirasakan cukup lama, yaitu sekitar
24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI),
Ultratard
Insulin infasik (campuran)
Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan
menengah. Preparatnya: Mixtard 30/40. Pemberian
insulin secara sliding scale dimaksudkan agar
pemberiannya lebih efisien dan tepat karena
didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu.
Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali. Adapun cara
dan dosis pemberiaannya sebagai berikut:
- Gula darah <60 mg % → 0 IU
- <200 mg % → 5 – 8 IU
- 200-250 mg% → 10 – 12 IU
- 250-300 mg% → 15 – 16 IU
- 300-350 mg% → 20 IU
- >350 mg% → 20 – 24 IU
Cara penyuntikan insulin:
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah
kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus
terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau
intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin)
antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan
perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak
terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau
diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat
dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis
insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat
dalam buku panduan tentang insulin.
Page 22
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara
penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar,
demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan
terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai
lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang
sama.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin
(jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah
unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi
yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen
yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian
atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular
dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan
masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang
dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa
kerja
Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia
seperti pada non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi
ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi (stress),
Page 23
dll. Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang
dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu
atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia
ialah karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena
persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang
terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini
tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya
Efek samping penggunaan insulin:
Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling
berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan
jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan
insulin konvensional dapat terjadi lipoatrofi yaitu terjadi
lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi
jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi
imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda
terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak
begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan
jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat
lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara
yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin
tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Alergi sistemik atau lokal
Reaksi alergi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada
reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan
yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritema dan
indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa
menit atau jam dan berlagsung selama beberapa hari.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah
pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi
Page 24
mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik,
penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi
atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan
hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa
urtikaria, erupsi kulit, angioedema, gangguan
gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat
jarang ialah hipotensi dan syok yang di akhiri kematian.
Peningkatan berat badan
Edema insulin
g) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak
dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
dapat pula diberikan kombinasi tiga OHOdari kelompok yang
berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi
tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Page 25
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik
oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
Penilaian Hasil Terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
a) Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala
sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa
hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam
posprandial.
b) Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai
A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam
setahun.
c) Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah
kapiler.Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah
Page 26
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat
tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik
dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang
dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat
sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
d) Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak
langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal
rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien,
bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil
pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
e) Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali
buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda
keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang
hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,
sementara benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Saat ini telah dapatdilakukan pemeriksaan kadar
asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan
menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah
Page 27
< 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis
dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD.
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri,
dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya
KAD.
c. Kriteria Pengendalian
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti
hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh
kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid, dan HbA1c seperti
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-139 >140
Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-159 160-199 >200
HbA1c (%) 4-5,9 6-8 >8
Kolesterol total (mg/dl)
LDL (mg/dl) tanpa PJK
LDL (mg/dl) dengan PJK
HDL (mg/dl)
Trigeliserida (mg/dl) tanpa PJK
Trigliserida (mg/dl) dengan PJK
<200
<130
<100
>45
<200
<150
200-239
130-159
100-129
35-45
200-249
150-199
>240
>160
>130
<35
>250
>200
BMI (IMT) wanita (kg/m2)
BMI (IMT) pria (kg/m2)
18,5-22,9
20,0-24,9
23-25
25-27
>25 atau <18,5
>27 atau <20,0
Tekanan darah (mmHg) <140/90 140-160/90-95 >160/95
● Penyulit
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
a. Penyulit akut
Page 28
i. Ketoasidosis diabetik
ii. Hiperosmolar non ketotik
iii. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang
diabetes harus selalu n dipikirkakemungkinan terjadinya hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea
dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu
hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang
memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g
melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah
15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat
diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan
darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
b. Penyulit menahun:
i. Makroangiopati :
a) Pembuluh darah jantung
Page 29
b) Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
c) Pembuluh darah otak
ii. Mikroangiopati:
A. Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
B. Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8
g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
C. Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya
setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,
perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko
amputasi.
Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang
yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita,
tetapi berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer
Page 30
ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan
upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial
lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran
terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu
memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan
pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditnamkan
pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko
merokok bagi kesehatan.
Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan
pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar.
Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun.
Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peranan penting
untuk meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.
Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan
primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-
langkah yang disebutkan di atas diharapkan dapat diperoleh hasil yang
optimal, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tata cara pengaobatan baku
yang akan menjadi pegangan bagi para pengelola.
Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka
pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk
Page 31
diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit
makroangiopati.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli
sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli
dari disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dan lain sebagainya.
● Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Indikasi pengobatan hipertensi pada DM tipe 2:
1. Bila TD sistolik >140 mmHg dan/atau TD diastolik >90 mmHg.
2. Hipertensi sistolik: TD sistolik >140 mmHg dan TD sistolik < 90 mmHg.
Sasaran (target penurunan) tekanan darah:
1. Dewasa (>18 tahun):
a. tidak hamil <130/85 mmHg
b. hamil 120/80 mmHg
2. Hipertensi sistolik:
a. TD sistolik >180 mmHg -> < 160 mmHg
b. TD sistolik 160-179 mmHg -> diturunkan 20 mmHg
Pengelolaan:
1. Non-farmakologis
Modifikasi gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam.
2. Farmakologis
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi (OAH):
a. Pengaruh OAH terhadap profil lipid
b. Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
c. Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
Page 32
d. Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
a. Penghambat ACE
b. Penyekat reseptor angiotensin II
c. Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
d. Diuretik dosis rendah
e. Penghambat reseptor alfa
f. Antagonis kalsium
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik
antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal
mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis. Pasien dengan tekanan darah sistolik
>140 atau tekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung.
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.
Catatan:
Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II receptor
blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikroalbuminuria.
Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi
glukosa.
Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap
● Retinopati Diabetikum
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus retina. Kelainan patologik yang
paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.
Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami retinopati diabetik hanya bila ia telah menderita
lebih dari 5 tahun. Bila seseorang telah menderita DM lebih 20 tahun maka biasanya telah
terjadi kelainan pada selaput jala / retina.
Page 33
Retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang
hamil harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester pertama dan
kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.
Klasifikasi
Secara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi:
1. Retinopati diabetik non proliferatif
Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat
diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam
retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari
pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu
bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan
gangguan pada ketajaman penglihatan.
2. Retinopati diabetik preproliferatif
Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vaskular maka gejala iskemia melebihi
gambaran retinopati diabetika dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak
mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau
soft eksudate yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf.
Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops) segmentasi vena (boxcar
phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak
teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiografi
fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskhemis, non perfusi kapiler dan defek
pengisian kapiler (Vaughan & Ashbury, 1995).
3. Retinopati diabetik proliferative
Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh
sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak.
Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris
juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis.
Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca (corpus vitreum) dan
terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya
penglihatan mendadak.
Page 34
Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :
Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium “florid”, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina
menonjol, perdarahan retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi
fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitreus
masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.
Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau “quiescent”, lesi intra retina minimal
neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi
lambat.
Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan,
eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa
Patofisiologi
Merupakan bentuk yang paling umum yang dijumpai dan merupakan cerminan klinis dari
hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Disebabkan oleh
penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah
diteliti adanya perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit)
dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan
mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina).
Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk
kapiler-kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik-titik, vena
retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan intra retina. Perdarahan
dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam
lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau
bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.
Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non proliferatif.
Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang
lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton wall spot), infark pada lapisan serabut
saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma
melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina
mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manikmanik. Bila satu
dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif.
Page 35
● Kaki Diabetes Melitus
1. Definisi
Kaki diabetes adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada kaki penderita diabetes,
dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Sering kesemutan (asimptomatik)
b. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermiten)
c. Nyeri saat istirahat
d. Kerusakan jaringan (nekrosis, ulkus)
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir
dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini di Indonesia, kaki diabetes masih
merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal karena sedikit
sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum ada pendidikan khusus
untuk mengelola kaki diabetes. Disamping itu ketidaktahuan masyarakat mengenai
kaki diabetes masih sangat mencolok, lahi pula adnya permasalahan biaya
pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua
menambah peliknya masalah kaki diabetes.
Di negara maju saat ini telah ada klinik kaki diabetes yang aktif mengelola
sejak pencegahan primer sehingga angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan
sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya. Di RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo, angka kematian dan angka amputasi sebesar 16% dan 25%
pada tahun 2003. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan
sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
2. Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes
Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini karena kemampuan
sel darah putih memakan dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula
darah di atas 200 mg%.
Risiko tinggi mengalami masalah kaki karena diabetes, yaitu:
Page 36
a. Mengalami kerusakan saraf kaki
b. Mempunyai penyakit pembuluh darah di kaki
c. Pernah mepunyai borok di kaki
d. Bentuk kaki berubah
e. Adanya callus
f. Buta atau penglihatan buruk, penyakit ginjal terutama gagal ginjal kronis
g. Para lansia, terutama yang hidup sendirian
h. Orang-orang yang tidak bisa menjangkau kaki mereka sendiri untuk
membersihkannya
i. Kontrol kadar gula darah yang buruk
j. Berkurangnya indra perasa di kaki
3. Patofisiologi dan patogenesis Kaki Diabetes
Terjadi masalah kaki diabetes diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki
dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran
darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki
diabetes.
Diabetes sering kali menyebabkan penyakit vaskuler perifer yang menghambat
sirkulasi darah. Terjadi penyempitan disekitar arteri menyebabkan penurunan
sirkulasi yang signifikan dibagian tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut
berperan dalam menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit
maupun jaringan sehingga menyebabkan luka tidak sembuh.
Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati yang merupakan faktor
endogen. Sedangkan trauma dan infeksi merupakan faktor eksogen yang berperan
dalam terjadinya kaki diabetik.
Angiopati diabetik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik
dan faktor resiko lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) mempunyai dampak
terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang dapat menimbulkan
pengapuran dan penyempitan pembuluh darah (ateroskeloris) akibatnya terjadi
gangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil yang mengakibatkan sirkulasi
Page 37
darah kuarang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan penyumbatan
aliran darah terutama daerah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Adanya luka yang tidak
disadari akibat adanya insensitivitas.
Kaki diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan:
a. Kaki diabetik akibat angiopati (penyempitan dan penyumbatan)
Penderita hiperglikemia lama akan menyebabkan perubahan patologi
pada pembuluh darah. Ini dapat mengakibatkan penebalan tunika interna
“hiperplasi membran basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan
abnormaliatas trombosit sehingga menghantarakan perlekatan (adhesi) dan
pembekuan (agregasi).
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan leukosit DM tidak normal
sehingga fungsi kemotoksis dilokasi radang terganggu. Demikian fungsi
fagosit dan bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi
mikroorganisme (bakteri) sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phagositosis
bakterisid intraseluler. Bertambahnya aktivitas trombosit akan menyebabkan
tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat
dan memudahkan terbentuknya trobosit pada dinding arteria yang sudah kaku
hingga akhirnya terjadi gangguan aliran darah.
b. Kaki diabetes akibat neuropati
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan
syaraf sensoris dan otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan
sensasi nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat
keadaan kaki yang tidak sensitif ini. Gangguan syaraf otonom oleh karena
kerusakan serabut syaraf simpatis mengakibatkan hilangna tonus vaskuler
berkurang dan produksi keringat berkurang, kulit menjadi kering dan pecah-
pecah mudah kena infeksi.
Distribusi tempat terjadinya kaki diabetik secara anatomik:
a. 50% ulkus pada ibu jari
b. 30% pada ujung plantar metatarsal
Page 38
c. 10-15% pada dorsum kaki
d. 5-10% pada pergelangan kaki
e. Lebih dari 10% adalah ulkus multipel
Klasifikasi penyakit kaki pada penderita diabetes melitus:
a. Tingkat 0 : Risiko tinggi mengalami penyakit kaki, belum ada borok
b. Tingkat 1 : Borok permukaan yang tidak terinfeksi
c. Tingkat 2 : Borok lebih dalam, sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
d. Tingkat 3 : Borok dalam yang melibatkan tulang dan formasi abscess
e. Tingkat 4 : Kematian jaringan tubuh terlokalisir, seperti di ibu jari kaki, bagian
depan kaki atau tumit
f. Tingkat 5 : Kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki
Diagnosis Kaki Diabetes
Untuk mendiagnosis dan menangani kerusakan saraf kaki dilakukan beberapa
tes antara lain:
a. Merasakan sentuhan ringan
b. Kepekaan pada suhu
c. Sensasi pada getaran
d. Efisiensi saraf untuk mengirim pesan ke dan dari ota
Gambar 3. Test Diagnostik Neuropati Perifer Diabetika
4. Pengelolaan Kaki Diabetes
Page 39
Dalam pengelolaan kaki diabetes, ada berbagai hal yang harus ditangani
dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan
sebagu berikut:
a. Kontrol Metabolik
Kadar glukosa darah harus diusahakan agar selalu senormal mungkin,
untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat
menghambat penyembuhan luka. Insulin diperlukan untuk menormalisasikan
kadar gula darah. Status nutrisi, kadar albumin serum, Hb, dan derajat oksigen
juga perlu diperhatikan.
b. Kontrol Vaskuler
Keadaan vaskuler yang buruk tentu akan menghambat penyembuhan
luka. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali dengan warna
dan suhu kulit. Pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer yaitu
berupa:
1) Modifikasi faktor risiko: memperbaiki faktor resiko yang terkait
arteroskeloris (hiperglikemia, hipertensi, disiplidemia) dan latihan
kaki.
2) Terapi farmakologis: aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat
dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah
mempunyai penyulit makro-angiopati.
3) Revaskularisasi: operasi bedah dapat memperbaiki vaskularisasi daerah
distal.
4) Terapi hiperbarik: bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan
oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetes.
c. Kontrol Luka
Perawatan luka sejak pasien pertama kali datang yaitu dilakukan
debridemen. Penggunaan dressing yang mengandung komponene zat
penyerap.seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada
keadaan luka yang masih produktif. Hydriphilic fiber dressing akan
bermanfaat untuk luka yang produktif dan terinfeksi. Terapi topikal untuk
mengurangi mikroba pada luka seperti cairan salin untuk membersihkan luka.
Berbagai saran penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control
Page 40
seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor untuk
mempercepat kesembuhan luka.
d. Kontrol Infeksi
Data mengenai pola kuman umumnya didapatkan infeksi bakteri yang
multipel anaerob dan aerob. Pola kuman yang polimikrobial campuran gram
positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka dalam dan berbau.
Lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum
luas mencakup kuman gram positif dan gram negatif (seperti misalnya
golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).
e. Kontrol Tekanan
Tekanan terus-menerus pada kaki diabetes dapat menimbulkan ulkus.
Oleh karena itu, pada penderita diabetes (terutama neuropatik) perlu dilakukan
pembuangan kalus secara teratur dan memakai sepatu yang pas sehingga
tekanan pada kaki dapat berkurang.
f. Kontrol Edukasi
Edukasi pasien diabetes harus dilakukan terus menerus dan rinci dan
teratur.
Page 41
DAFTAR PUSTAKA
● Alvin .C, 2008. Diabetes Melitus, Harrison internal Medicine 17 Th Edition, 2052 2063
● Depkes (2008) Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit Diabetes Melitus
Cetakan ke 2
● National Diabetes Fact Sheet 2011 diakses dari www.cdc.gov pada 2 Mei 2012
● Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. PERKENI (2011)
● Konsensus Pengelolaan dan Penceghan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI
(2011)
● http://eprints.undip.ac.id/35606/3/Bab_2.pdf
● http://diabetesmelitus.org/komplikasi-diabetes-melitus/