Top Banner
TUGAS KEDOKTERAN KELUARGA DIABETES MELLITUS KELOMPOK 5 : Adisyari Puri Handini 1102008007 Isyana Prasantini 1102008312 Nugraha Mauluddin 1102008182 Sheinny Herliandry 1102008239 Siti Hidayah Tsaniawati 1102008315 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
66

DM ADISY

Oct 23, 2015

Download

Documents

dm
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DM ADISY

TUGAS KEDOKTERAN KELUARGA

DIABETES MELLITUS

KELOMPOK 5 :

Adisyari Puri Handini 1102008007Isyana Prasantini 1102008312Nugraha Mauluddin 1102008182Sheinny Herliandry 1102008239Siti Hidayah Tsaniawati 1102008315

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSIKepaniteraan Ilmu Kedokteran KeluargaPeriode 23 September – 26 Oktober 2013

Page 2: DM ADISY

PENDAHULUAN

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik

pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

Diagnosis diabetes mellitus menurut PERKENI atau yang dianjurkan ADA

(American Diabetes Association) jika pemeriksaan gula darah: 1) Kadar gula darah

sewaktu lebih atau sama dengan 200mg/dl: 2) Kadar gula darah puasa lebih atau sama

dengan 126mg/dl; 3) Kadar gula darah lebih atau sama dengan 200mg/dl pada 2 jam

setelah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa.

Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa

prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah

1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada

penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5.7%. Riset ini

juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional

berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15 tahun yang

bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian

secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan

DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan

terapi obat.

Page 3: DM ADISY

TINJAUAN PUSTAKA

● Diabetes Melitus

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedang

menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak

dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat

dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan

akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif

dan gangguan fungsi insulin. WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu

diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau

non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes mellitus gestasional.

Epidemiologi

Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 194

juta jiwa atau 5.1% dari 3.8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun

menderita diabetes mellitus dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta

jiwa. WHO memprediksi bahwa di Indonesia akan terjadi peningkatan dari 8.4 juta

diabetisi pada tahun 2000 menjadi 21.3 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini akan

menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina,

dan India dalam prevalensi diabetes mellitus (Diabetes Care, 2004).

Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan

bahwa prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan

gejala adalah 1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula

darah pada penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah

5.7%. Riset ini juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara

nasional berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15

tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).

Page 4: DM ADISY

Klasifikasi

Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut PERKENI (ADA,1997):

a. Diabetes melitus tipe I

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik

melalui proses imunologik maupun idiopatik.

b. Diabetes melitus tipe II

Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin bersama resistensi insulin.

c. Diabetes melitus tipe lain

1. Defek genetik fungsi sel beta

2. Defek genetik kerja insulin

3. Penyakit eksokrin pankreas

4. Endokrinopati

5. Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, lukokortikoid,

hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon-alfa, dll

6. Infeksi

7. Sebab imunologi yang jarang

8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

d. Diabetes melitus gestasional (DMG)

Manifestasi Klinis

Keluhan umum pada pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM

lanjut usia pada umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien

adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.

Pada DM lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua

sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai dengan

komplikasi yang lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke

dokter adalah adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain:

a. Gangguan penglihatan: katarak

b. Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisul

c. Kesemutan, rasa baal

d. Kelemahan tubuh

e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh

f. Infeksi saluran kemih

Page 5: DM ADISY

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah

lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya

jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau

sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu,

tertusuk peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya

neuropati juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah

merasa lelah. Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke

dokter adalah keluhan mata kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-

gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa akibat hiperglikemia.

Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus pada lanjut usia:

a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala

awal

b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi

traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.

c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa

sakit, mononeuropati, disfungsi otonom dari traktus gastrointestinal (diare),

sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan

inkontinensia stress.

d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemia, angina, dan

infark miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan

darah tepi (tungkai diabetes dan gangren).

e. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal

(proteinuria, glomerulopati, uremia)

Anamnesis

Banyak pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

yang asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah pada

pemeriksaan laboratorium rutin. Para ahli masih berbeda pendapat mengenai kriteria

diagnosis DM pada lanjut usia. Kemunduran, intoleransi glukosa, bertambah sesuai

dengan pertambahan usia, jadi batas glukosa pada DM lanjut usia lebih tinggi dari

pada orang dewasa yang menderita penyakit DM.

Page 6: DM ADISY

Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (WHO 1985):

a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau

b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau

c. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram

pada TTGO

Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau

didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa

puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas

perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila

TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM

dapat ditegakkan.

Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah

puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat

dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO

pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer

terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca

reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun

kepekaannya terhadap insulin.

Pemeriksaan

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang

tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM

sebagai berikut:

d. Usia >45 tahun

e. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2

f. Hipertensi (>140/90 mmHg)

g. Riwayat DM dalam garis keturunan

Page 7: DM ADISY

h. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000

gram

i. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi

glukosa oral (TTGO) standar.

Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,

pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang

berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3

tahun.

Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah

utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan

pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.

Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis

DM

Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti

DM

DM

Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200

Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200

Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126

Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110

Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2006

Page 8: DM ADISY

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti tersebut dibawah

ini:

a. Keluhan khas DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan tidak khas DM: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara:

1. Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl

Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam

3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl

TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang

setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Page 9: DM ADISY

Keluhan klinik diabetes

Keluhan klasik DM (+) Keluhan klasik DM (-)

GDP≥126≥126GPS≥200≤200

GDP≥126100-125<100GDS≥200140-199<140

Ulangi GDS atau GDP

GDP>126<126GDS≥200<200 TTGO

GD 2 JAM

≥200140-199<140

NORMAL

TGT GDPT

DM

Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):

a. Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohirat yang cukup) dan kegiatan jasmani seperti biasa.

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgbb (anak-anak),

dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

f. Diperiksaa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Page 10: DM ADISY

Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu

merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok

TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

Penatalaksanaan

a. Tujuan

- Jangka pendek

Menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

- Jangka panjang

Mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan

tujuan akhir menurunkan morbiditas mortilitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar glukosa darah,

tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, insulin melalui pengelolaan pasien secara

holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,

dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO)

atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan sesuai

indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress

berat, berat badan yang menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua

keadaan tersebut perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan

kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan

khusus.

b. Pilar Pengelolaan DM

- Edukasi

Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memmerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien

dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Page 11: DM ADISY

Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:

a) Penyakit DM

b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

c) Penyulit DM

d) Intervensi farmakologis dan non farmakologis

e) Hipoglikemia

f) Masalah khusus yang dihadapi

g) Perawatan kaki pada diabetes

h) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran

keterampilan

i) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah

merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama

dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,

dokumentasi, dan evaluasi. Masalah kaki yaitu borok di kaki dengan atau tanpa

infeksi terlokalisasi atau menyerang seluruh kaki adalah dan kematian berbagai

jaringan tubuh karena hilangnya suplai darah, infeksi bakteri, dan kerusakan jaringan

sekitarnya merupakan masalah utama pada penderita diabetes.

- Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota

tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap

penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna

mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir

sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada

penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal

jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan

obat penurun glukosa darah atau insulin.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:

a) Karbohidrat 60-70 %

Page 12: DM ADISY

b) Protein10-15 %

c) Lemak 20-25 %

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

a) Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.

Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria

sebesar 30 kal/ kg BB.

b) Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi

5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk

usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.

c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas

aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal

diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan

aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan

aktivitas sangat berat.

d) Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada

tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai

dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan

penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling

sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600

kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3

porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi

makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,

sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang

diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan

penyakit penyertanya.

Page 13: DM ADISY

Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB (kg) / TB (m2)

IMT Normal Wanita : 18.5 – 23.5

IMT Normal Pria : 22.5 – 25

BB kurang : < 18.5

BB lebih

Dengan risiko : 23.0-24.9

Obes I : 2.5.0-29.9

Obes II : ≥30.0

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kalori Basal:

Laki-Laki : BB ideal (kg) X 30 kalori/kg = … Kalori

Wanita : BB ideal (kg) X 25 kalori/kg = … Kalori

Koreksi/Penyesuaian:

Umur >40 tahun : -5% X Kalori basal = ... Kalori

Aktivitas Ringan : +10% X Kalori basal = … Kalori

Sedang : +20 %

Berat : +30 %

BB Gemuk : - 20 % X Kalori basal = - / + … Kalori

Lebih : - 10 %

Kurang : +20 %

Stress metabolik: 10-30 % X Kalori basal = + ... Kalori

Hamil trimester I& II = + 300 Kalori

Hamiltrimester III / laktasi = + 500 Kalori

Total Kebutuhan = ... Kalori

Page 14: DM ADISY

Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:

a) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu

makan

b) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman

berkalori rendah lainnya pada waktu makan

c) Makanlah dengan waktu yang teratur

d) Hindari makan makanan manis dan gorengan

e) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan

f) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama

setiap makan

g) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus

h) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil

i) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil

- Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama

kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe II.

Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun

harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan

memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan

jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,

sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan

kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun

tetap dilakukan tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan

yang kurang gerak seperti menonton televisi.

Page 15: DM ADISY

Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:

a) Continous

Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus

menerus tanpa berhenti. Contoh: Jogging 30 menit, maka

pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti.

b) Rhytmical

Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot

berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh berlari,

berenang, jalan kaki.

c) Interval

Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat.

Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat

d) Progresive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari

intensitas ringan sampai sedang selama mencapai 30-60 menit

Sasaran HR = 75-85% dari maksimal HR

Maksimal HR = 220 – (umur)

e) Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi. Contoh: jalan jogging dan sebagainya.

ii. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Indikasi pemakaian obat hiperglikemik oral:

Diabetes setelah umur 40 tahun

Diabetes kurang dari 5 tahun

Memerlukan insulin dengan dosis <40 unit sehari

DM tipe II, berat normal atau lebih

Page 16: DM ADISY

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

a) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan

sampai dosis hampir maksimal

b) Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan

c) Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan

d) Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan

e) Metformin : sebelum/pada saat/ esudah makan

f) Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan

pertama

g) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.17

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama

meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,

dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk

menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada

berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal

ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit

kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan

sulfonilurea kerja panjang.

Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan

sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2

macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi

Page 17: DM ADISY

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati.

b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan

pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor

Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel

lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan

glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan

pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena

dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada

gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan

tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati

secara berkala.

c) Penghambat Glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga

memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai

pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasiendengan gangguan

fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)dan hati,

serta pasien-pasien dengan kecenderunganhipoksemia

(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,renjatan,

gagal jantung). Metformin dapat memberikan

efeksamping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut

dapatdiberikan pada saat atau sesudah makan.

d) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Page 18: DM ADISY

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di

usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan

efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah kembung dan flatulens.

e) Terapi Kombinasi Sulfonilurea dan Biguanid

Pada saat-saat tertentu diperlukan terapi kombinasi/

pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan

biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang

sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid

untuk bekerja efektif. Kedua-duanya rupanya mempunyai efek

terhadap sensitivitas reseptor; jadi pemakaian kedua obat

tersebut saling menunjang. Kombinasi kedua obat efektif pada

banyak penyandang DM yag sebelumnya tidak bermanfaat bila

dipakai sendiri-sendiri.

f) Insulin

Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel

beta pulau Langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi

pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian

meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan

penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai

bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke

dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan

membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati.

Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas,

sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan

merupakan suatu produk farmasi.

Indikasi terapi dengan insulin:

Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin

eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada

atau hampir tidak ada

Page 19: DM ADISY

Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan

insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan

kadar glukosa darah

Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat,

tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke

DM gestasional dan penyandang DM yang hamil

membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik

Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau

yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk

memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara

bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk

mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

normal selama periode resistensi insulin atau ketika

terjadi peningkatan kebutuhan insulin

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hiperglikemi

oral

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan

sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu

meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin

basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin

basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada

keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial

akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk

melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu

macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja

Page 20: DM ADISY

pendek (short acting), kerja menengah (intermediate

acting), kerja panjang (long acting) atau insulin

campuran tetap (premixed insulin).

Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis

insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk

koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja

menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi

insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan

OHO.

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan

dengan kebutuhan pasien dan respons individu terhadap

insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah harian.

Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan

menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi

belum tercapai.

Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam,

yaitu:

Insulin kerja singkat

Yang termasuk di sini adalah insulin regular Crystal

Zinc Insulin (CZI). Saat ini dikenal 2 macam insulin

CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang

ada antara lain: Actrapid, Velosulin , Semilente.

Insulin jenis ini diberi 30 menit sebelum makan,

mencapai puncak setelah 1-3 macam dan efeknya dapat

bertahan sampai 8 jam.

Insulin kerja menengah

Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine

Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini

awal kerjanya adalah 1.5-2.5 jam. Puncaknya tercapai

dalam 4-15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai

dengan 24 jam.

Insulin kerja panjang

Page 21: DM ADISY

Merupakan campuran dari insulin dan protamine,

diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan

sehingga efek yang dirasakan cukup lama, yaitu sekitar

24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI),

Ultratard

Insulin infasik (campuran)

Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan

menengah. Preparatnya: Mixtard 30/40. Pemberian

insulin secara sliding scale dimaksudkan agar

pemberiannya lebih efisien dan tepat karena

didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu.

Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali. Adapun cara

dan dosis pemberiaannya sebagai berikut:

- Gula darah <60 mg % → 0 IU

- <200 mg % → 5 – 8 IU

- 200-250 mg% → 10 – 12 IU

- 250-300 mg% → 15 – 16 IU

- 300-350 mg% → 20 IU

- >350 mg% → 20 – 24 IU

Cara penyuntikan insulin:

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah

kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus

terhadap cubitan permukaan kulit.

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau

intravena secara bolus atau drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin)

antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan

perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak

terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau

diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat

dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis

insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat

dalam buku panduan tentang insulin.

Page 22: DM ADISY

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara

penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar,

demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan

terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai

lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang

sama.

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin

(jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah

unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi

yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100

Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen

yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian

atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular

dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan

masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang

dilakukan segera setelah penyuntikan akan

mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa

kerja

Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia

seperti pada non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi

ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi (stress),

Page 23: DM ADISY

dll. Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang

dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu

atau dua kali sehari.

Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia

ialah karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena

persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang

terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini

tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya

Efek samping penggunaan insulin:

Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling

berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat

ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan

jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan

insulin konvensional dapat terjadi lipoatrofi yaitu terjadi

lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi

jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi

imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda

terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak

begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan

jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat

lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara

yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin

tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.

Alergi sistemik atau lokal

Reaksi alergi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada

reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan

yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritema dan

indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa

menit atau jam dan berlagsung selama beberapa hari.

Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah

pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi

Page 24: DM ADISY

mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik,

penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi

atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan

hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa

urtikaria, erupsi kulit, angioedema, gangguan

gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat

jarang ialah hipotensi dan syok yang di akhiri kematian.

Peningkatan berat badan

Edema insulin

g) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan

dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai

dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan

pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak

dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam

obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja

berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,

dapat pula diberikan kombinasi tiga OHOdari kelompok yang

berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang

disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi

tiga OHO.

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak

dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin

kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada

malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut

pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang

baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin

kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan

menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.

Page 25: DM ADISY

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik

oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

Penilaian Hasil Terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau

secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

adalah:

a) Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai

sasaran terapi

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala

sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa

hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam

posprandial.

b) Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai

A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek

perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.

Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam

setahun.

c) Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah

kapiler.Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa

darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah

Page 26: DM ADISY

dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat

tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik

dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang

dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen

kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.

PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau

pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,

tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat

sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal

glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko

hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya

hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika

mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

d) Pemeriksaan Glukosa Urin

Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak

langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak

mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal

rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien,

bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil

pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat

dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

e) Penentuan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup

penting terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali

buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda

keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang

hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,

sementara benda keton yang penting adalah asam beta

hidroksibutirat. Saat ini telah dapatdilakukan pemeriksaan kadar

asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan

menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah

Page 27: DM ADISY

< 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis

dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD.

Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri,

dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya

KAD.

c. Kriteria Pengendalian

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan

pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti

hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh

kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid, dan HbA1c seperti

tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria pengendalian DM

Baik Sedang Buruk

Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-139 >140

Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-159 160-199 >200

HbA1c (%) 4-5,9 6-8 >8

Kolesterol total (mg/dl)

LDL (mg/dl) tanpa PJK

LDL (mg/dl) dengan PJK

HDL (mg/dl)

Trigeliserida (mg/dl) tanpa PJK

Trigliserida (mg/dl) dengan PJK

<200

<130

<100

>45

<200

<150

200-239

130-159

100-129

35-45

200-249

150-199

>240

>160

>130

<35

>250

>200

BMI (IMT) wanita (kg/m2)

BMI (IMT) pria (kg/m2)

18,5-22,9

20,0-24,9

23-25

25-27

>25 atau <18,5

>27 atau <20,0

Tekanan darah (mmHg) <140/90 140-160/90-95 >160/95

● Penyulit

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

a. Penyulit akut

Page 28: DM ADISY

i. Ketoasidosis diabetik

ii. Hiperosmolar non ketotik

iii. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa

darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang

diabetes harus selalu n dipikirkakemungkinan terjadinya hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea

dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,

sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja

obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan

gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu

hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau

terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan

kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan

pengawasan yang lebih lama.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar,

banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik

(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang

memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau

minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g

melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah

15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien

dengan hipoglikemia berat.

Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat

diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan

darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

b. Penyulit menahun:

i. Makroangiopati :

a) Pembuluh darah jantung

Page 29: DM ADISY

b) Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.

Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,

meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki

merupakan kelainan yang pertama muncul.

c) Pembuluh darah otak

ii. Mikroangiopati:

A. Retinopati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi

risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak

mencegah timbulnya retinopati.

B. Nefropati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi

risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8

g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati

C. Neuropati

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,

berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk

terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering

dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih

terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,

pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi

adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi

sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya

setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,

perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko

amputasi.

Pencegahan

Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang

yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita,

tetapi berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer

Page 30: DM ADISY

ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan

upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.

Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial

lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran

terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu

memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan

pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditnamkan

pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis

makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko

merokok bagi kesehatan.

Pencegahan Sekunder

Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan

memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan

pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar.

Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sudah harus diwaspadai dan

sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun.

Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peranan penting

untuk meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.

Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan

primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-

langkah yang disebutkan di atas diharapkan dapat diperoleh hasil yang

optimal, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tata cara pengaobatan baku

yang akan menjadi pegangan bagi para pengelola.

Pencegahan Tersier

Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka

pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan

merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.

Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk

Page 31: DM ADISY

diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit

makroangiopati.

Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait

sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli

sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli

dari disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,

radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dan lain sebagainya.

● Diabetes Mellitus dan Hipertensi

Indikasi pengobatan hipertensi pada DM tipe 2:

1. Bila TD sistolik >140 mmHg dan/atau TD diastolik >90 mmHg.

2. Hipertensi sistolik: TD sistolik >140 mmHg dan TD sistolik < 90 mmHg.

Sasaran (target penurunan) tekanan darah:

1. Dewasa (>18 tahun):

a. tidak hamil <130/85 mmHg

b. hamil 120/80 mmHg

2. Hipertensi sistolik:

a. TD sistolik >180 mmHg -> < 160 mmHg

b. TD sistolik 160-179 mmHg -> diturunkan 20 mmHg

Pengelolaan:

1. Non-farmakologis

Modifikasi gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan

aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi

garam.

2. Farmakologis

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi (OAH):

a. Pengaruh OAH terhadap profil lipid

b. Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin

c. Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa

Page 32: DM ADISY

d. Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:

a. Penghambat ACE

b. Penyekat reseptor angiotensin II

c. Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

d. Diuretik dosis rendah

e. Penghambat reseptor alfa

f. Antagonis kalsium

Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik

antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal

mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis. Pasien dengan tekanan darah sistolik

>140 atau tekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung.

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.

Catatan:

Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II receptor

blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki

mikroalbuminuria.

Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.

Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi

glukosa.

Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.

Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis

secara bertahap.

Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap

● Retinopati Diabetikum

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh

kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus retina. Kelainan patologik yang

paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.

Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami retinopati diabetik hanya bila ia telah menderita

lebih dari 5 tahun. Bila seseorang telah menderita DM lebih 20 tahun maka biasanya telah

terjadi kelainan pada selaput jala / retina.

Page 33: DM ADISY

Retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang

hamil harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester pertama dan

kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.

Klasifikasi

Secara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi:

1. Retinopati diabetik non proliferatif 

Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat

diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam

retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari

pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu

bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan

gangguan pada ketajaman penglihatan.

2. Retinopati diabetik preproliferatif 

Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vaskular maka gejala iskemia melebihi

gambaran retinopati diabetika dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak

mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau

soft eksudate yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf.

Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops) segmentasi vena (boxcar

phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak

teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiografi

fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskhemis, non perfusi kapiler dan defek

pengisian kapiler (Vaughan & Ashbury, 1995).

3. Retinopati diabetik proliferative 

Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh

sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak.

Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris

juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis.

Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca (corpus vitreum) dan

terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya

penglihatan mendadak.

Page 34: DM ADISY

Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :

Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium “florid”, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina

menonjol, perdarahan retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi

fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitreus

masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.

Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau “quiescent”, lesi intra retina minimal

neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi

lambat.

Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan,

eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa

Patofisiologi

Merupakan bentuk yang paling umum yang dijumpai dan merupakan cerminan klinis dari

hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Disebabkan oleh

penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah

diteliti adanya perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit)

dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan

mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina). 

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk

kapiler-kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik-titik, vena

retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan intra retina. Perdarahan

dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam

lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau

bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.

Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non proliferatif.

Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang

lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton wall spot), infark pada lapisan serabut

saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma

melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina

mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manikmanik. Bila satu

dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif.

Page 35: DM ADISY

● Kaki Diabetes Melitus

1. Definisi

Kaki diabetes adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan

komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada kaki penderita diabetes,

dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

a. Sering kesemutan (asimptomatik)

b. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermiten)

c. Nyeri saat istirahat

d. Kerusakan jaringan (nekrosis, ulkus)

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling

ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter

pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir

dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini di Indonesia, kaki diabetes masih

merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal karena sedikit

sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum ada pendidikan khusus

untuk mengelola kaki diabetes. Disamping itu ketidaktahuan masyarakat mengenai

kaki diabetes masih sangat mencolok, lahi pula adnya permasalahan biaya

pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua

menambah peliknya masalah kaki diabetes.

Di negara maju saat ini telah ada klinik kaki diabetes yang aktif mengelola

sejak pencegahan primer sehingga angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan

sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya. Di RSUPN dr.

Cipto Mangunkusumo, angka kematian dan angka amputasi sebesar 16% dan 25%

pada tahun 2003. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan

sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

2. Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes

Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini karena kemampuan

sel darah putih memakan dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula

darah di atas 200 mg%.

Risiko tinggi mengalami masalah kaki karena diabetes, yaitu:

Page 36: DM ADISY

a. Mengalami kerusakan saraf kaki

b. Mempunyai penyakit pembuluh darah di kaki

c. Pernah mepunyai borok di kaki

d. Bentuk kaki berubah

e. Adanya callus

f. Buta atau penglihatan buruk, penyakit ginjal terutama gagal ginjal kronis

g. Para lansia, terutama yang hidup sendirian

h. Orang-orang yang tidak bisa menjangkau kaki mereka sendiri untuk

membersihkannya

i. Kontrol kadar gula darah yang buruk

j. Berkurangnya indra perasa di kaki

3. Patofisiologi dan patogenesis Kaki Diabetes

Terjadi masalah kaki diabetes diawali adanya hiperglikemia pada penyandang

DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.

Neuropati akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang

kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki

dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap

infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran

darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki

diabetes.

Diabetes sering kali menyebabkan penyakit vaskuler perifer yang menghambat

sirkulasi darah. Terjadi penyempitan disekitar arteri menyebabkan penurunan

sirkulasi yang signifikan dibagian tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut

berperan dalam menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit

maupun jaringan sehingga menyebabkan luka tidak sembuh.

Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati yang merupakan faktor

endogen. Sedangkan trauma dan infeksi merupakan faktor eksogen yang berperan

dalam terjadinya kaki diabetik.

Angiopati diabetik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik

dan faktor resiko lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) mempunyai dampak

terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang dapat menimbulkan

pengapuran dan penyempitan pembuluh darah (ateroskeloris) akibatnya terjadi

gangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil yang mengakibatkan sirkulasi

Page 37: DM ADISY

darah kuarang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan penyumbatan

aliran darah terutama daerah kaki.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya

kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Adanya luka yang tidak

disadari akibat adanya insensitivitas.

Kaki diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan:

a. Kaki diabetik akibat angiopati (penyempitan dan penyumbatan)

Penderita hiperglikemia lama akan menyebabkan perubahan patologi

pada pembuluh darah. Ini dapat mengakibatkan penebalan tunika interna

“hiperplasi membran basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan

abnormaliatas trombosit sehingga menghantarakan perlekatan (adhesi) dan

pembekuan (agregasi).

Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan leukosit DM tidak normal

sehingga fungsi kemotoksis dilokasi radang terganggu. Demikian fungsi

fagosit dan bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi

mikroorganisme (bakteri) sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phagositosis

bakterisid intraseluler. Bertambahnya aktivitas trombosit akan menyebabkan

tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat

dan memudahkan terbentuknya trobosit pada dinding arteria yang sudah kaku

hingga akhirnya terjadi gangguan aliran darah.

b. Kaki diabetes akibat neuropati

Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan

syaraf sensoris dan otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan

sensasi nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat

keadaan kaki yang tidak sensitif ini. Gangguan syaraf otonom oleh karena

kerusakan serabut syaraf simpatis mengakibatkan hilangna tonus vaskuler

berkurang dan produksi keringat berkurang, kulit menjadi kering dan pecah-

pecah mudah kena infeksi.

Distribusi tempat terjadinya kaki diabetik secara anatomik:

a. 50% ulkus pada ibu jari

b. 30% pada ujung plantar metatarsal

Page 38: DM ADISY

c. 10-15% pada dorsum kaki

d. 5-10% pada pergelangan kaki

e. Lebih dari 10% adalah ulkus multipel

Klasifikasi penyakit kaki pada penderita diabetes melitus:

a. Tingkat 0 : Risiko tinggi mengalami penyakit kaki, belum ada borok

b. Tingkat 1 : Borok permukaan yang tidak terinfeksi

c. Tingkat 2 : Borok lebih dalam, sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan

d. Tingkat 3 : Borok dalam yang melibatkan tulang dan formasi abscess

e. Tingkat 4 : Kematian jaringan tubuh terlokalisir, seperti di ibu jari kaki, bagian

depan kaki atau tumit

f. Tingkat 5 : Kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki

Diagnosis Kaki Diabetes

Untuk mendiagnosis dan menangani kerusakan saraf kaki dilakukan beberapa

tes antara lain:

a. Merasakan sentuhan ringan

b. Kepekaan pada suhu

c. Sensasi pada getaran

d. Efisiensi saraf untuk mengirim pesan ke dan dari ota

Gambar 3. Test Diagnostik Neuropati Perifer Diabetika

4. Pengelolaan Kaki Diabetes

Page 39: DM ADISY

Dalam pengelolaan kaki diabetes, ada berbagai hal yang harus ditangani

dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan

sebagu berikut:

a. Kontrol Metabolik

Kadar glukosa darah harus diusahakan agar selalu senormal mungkin,

untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat

menghambat penyembuhan luka. Insulin diperlukan untuk menormalisasikan

kadar gula darah. Status nutrisi, kadar albumin serum, Hb, dan derajat oksigen

juga perlu diperhatikan.

b. Kontrol Vaskuler

Keadaan vaskuler yang buruk tentu akan menghambat penyembuhan

luka. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali dengan warna

dan suhu kulit. Pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer yaitu

berupa:

1) Modifikasi faktor risiko: memperbaiki faktor resiko yang terkait

arteroskeloris (hiperglikemia, hipertensi, disiplidemia) dan latihan

kaki.

2) Terapi farmakologis: aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat

dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah

mempunyai penyulit makro-angiopati.

3) Revaskularisasi: operasi bedah dapat memperbaiki vaskularisasi daerah

distal.

4) Terapi hiperbarik: bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan

oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetes.

c. Kontrol Luka

Perawatan luka sejak pasien pertama kali datang yaitu dilakukan

debridemen. Penggunaan dressing yang mengandung komponene zat

penyerap.seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada

keadaan luka yang masih produktif. Hydriphilic fiber dressing akan

bermanfaat untuk luka yang produktif dan terinfeksi. Terapi topikal untuk

mengurangi mikroba pada luka seperti cairan salin untuk membersihkan luka.

Berbagai saran penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control

Page 40: DM ADISY

seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor untuk

mempercepat kesembuhan luka.

d. Kontrol Infeksi

Data mengenai pola kuman umumnya didapatkan infeksi bakteri yang

multipel anaerob dan aerob. Pola kuman yang polimikrobial campuran gram

positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka dalam dan berbau.

Lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum

luas mencakup kuman gram positif dan gram negatif (seperti misalnya

golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat

terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).

e. Kontrol Tekanan

Tekanan terus-menerus pada kaki diabetes dapat menimbulkan ulkus.

Oleh karena itu, pada penderita diabetes (terutama neuropatik) perlu dilakukan

pembuangan kalus secara teratur dan memakai sepatu yang pas sehingga

tekanan pada kaki dapat berkurang.

f. Kontrol Edukasi

Edukasi pasien diabetes harus dilakukan terus menerus dan rinci dan

teratur.

Page 41: DM ADISY

DAFTAR PUSTAKA

● Alvin .C, 2008. Diabetes Melitus, Harrison internal Medicine 17 Th Edition, 2052 2063

● Depkes (2008) Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit Diabetes Melitus

Cetakan ke 2

● National Diabetes Fact Sheet 2011 diakses dari www.cdc.gov pada 2 Mei 2012

● Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. PERKENI (2011)

● Konsensus Pengelolaan dan Penceghan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI

(2011)

● http://eprints.undip.ac.id/35606/3/Bab_2.pdf

● http://diabetesmelitus.org/komplikasi-diabetes-melitus/