Page 1
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 1
Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar
Tindak Pidana Khusus
Pembicara : 1. Dian Prawiro Napitupulu (2013)
2. Alex Mulandar Manalu (2013)
Pemateri : 1. David Julianus Saruksuk (2014)
2. Indra Permana Raja Gukguk (2014)
Moderator : Waristo Ritonga (2014)
A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Tindak Pidana Khusus
1. Pengertian Tindak Pidana Khusus
Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan
ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu
merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum
Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana
tersendiri.1
Kriteria tindak pidana khusus :2
Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat
dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapapun.
Penyimpangan ketentuan hukum pidana
1 https://slissety.wordpress.com/tindak-pidana-khusus 2 https://belajarhukumonline.wordpress.com/2015/11/24/pengertian-tindak-pidana-khusus-dikaitkan-dengan-pasal-63-ayat-2-kuhp-dan-pasal-103-kuhp/
Page 2
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 2
Undang-Undang tersendiri
Pasal 103 KUHP , pasal ini merupakan aturan penutup di buku I, dengan bunyi:
“Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh
Undang-Undang ditentukan lain.3
Berikut adalah Perbedaan antara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus :4
2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah
tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU
Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa
telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana
khusus.
3 Lihat pasal 103 Undang-Undang no 1 tqahun 1946 (KUHP) 4 http://mylegalnote.blogspot.sg/2015/06/resume-hukum-tindak-pidana-khusus.html
Page 3
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 3
Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:
1. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)
2. Tindak Pidana Korupsi
3. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika
4. Tindak Pidana Perpajakan
5. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)
7. Tindak Pidana Anak
3. Dasar Hukum serta Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Khusus
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No. 7
Drt. 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 1/Perpu/2002 dan UU No. 2/Perpu/2002.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu; untuk orang/golongan tertentu.
Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana
Formal.
Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar hukum UU Pidana Khusus melihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.
Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini
mengandung pengertian:
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang
UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur
seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
B. Ajaran Lex Special Derogat Lege Generali
Page 4
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 4
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara
demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati
pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang
gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.5
Pasal 103 KUHP , pasal ini merupakan aturan penutup di buku I, dengan bunyi:
“Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh
Undang-Undang ditentukan lain.
Pasal 63 ayat 2 KUHP : “ Jika bagi sesuatu perbuatan yang diancam oleh ketentuan pidana pada
ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saya yang digunakan. 6
C. Kekhususan Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang diluar KUHP
I. TINDAK PIDANA EKONOMI
a) Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Ekonomi
UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi mengenai
hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 pada intinya yang disebut
tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1
sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun
1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
b) Unsur-Unsur dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7
Tahun 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e.
5 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali 6 Lihat pasal 63 ayat (2) KUHP serta komentar-komentarnya terjemahan R. Soesilo
Page 5
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 5
Tindak pidana Pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU Drt. No. 7 Tahun
1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar
undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran
tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 ini lebih bersifat hokum administrasi.
Secara teliti pelanggaran terhadap UU Drt. No. 7 Tahun 1955 disebut dengan tindak pidana ekonomi,
oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara.
c) Sanksi dalam Tindak Pidana Ekonomi
Sanksi terhadap pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan
tindakan tata tertib. Sistem ini dikenal dengan istilah double track system. Sanksi pidana berupa sanksi
pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana ini sesuai dengan ketentuan Ps. 10 KUHP.
Sedangkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Ps. 8 UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Tindakan tata tertib berupa:
1. Penempatan perusahaan si terhukum berada dibawah pengampuan;
2. Kewajiban membayar uang jaminan;
3. Kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
4. Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat
satu sama lai, atas biaya si terhukum apabila hakim
Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps. 6 ayat (1), yaitu sanksi pidana
penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e
dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternative, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok
sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan
pemberatan, yaitu:
Page 6
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 6
1. UU Drt. No. 8 Tahun 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap ketentuan Ps 1
sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat (1) huruf a yaitu kata-
kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2. UU No. 5/PNPS/1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana
Ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana dalam buku II Bab I dan II KUHP, dengan
hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun[8] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau
hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
d) Sistem Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 terdapat perbedaan
dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak
pidana umum.
1. Tingkat pertama, Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps. 35, Ps. 36, Ps. 37, Ps. 38,
Ps. 39;
2. Tingkat banding, diatur dalam Ps. 41, Ps. 42, Ps. 43, Ps. 44, Ps. 45, dan Ps. 46;
3. Tingkat kasasi, diatur dalam Ps. 47, Ps. 48.
II. TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
a. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya,yaitu dengan cara memasukkan
ke dalam tubuh.
Yang dimaksud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang ini.
Page 7
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 7
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
b. Jenis-Jenis Narkotika
Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 6:
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
1. Narkotika Golongan I;
2. Narkotika Golongan II; dan
3. Narkotika Golongan III.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa Psikotropika yang
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digolongkan menjadi:
1. Psikotropika golongan I;
2. Psikotropika golongan II;
3. Psikotropika golongan III;
4. Psikotropika golongan IV.
c. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Narkotika
1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapar diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan
hokum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan
lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut
2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika
Page 8
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 8
Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan:
1. Pelaku utama;
2. Pelaku peserta;
3. Pelaku pembantu
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:
1. Penyalahgunaan/melebihi dosis; hal ini disebabkan oleh banyak hal.
2. Pengedaran narkotika, karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik
nasional maupun internasional.
3. Jual beli narkotika.
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga
karena motivasi untuk kepuasan.
d. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika
Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran (punishment) adalah merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang
lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang
berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang
diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment).
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai jenis-jenis pidana atau
hukuman.
1. Pidana Pokok:
o Pidana mati
o Pidana penjara
o Kurungan
o Denda
2. Pidana Tambahan
Page 9
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 9
o Pencabutan hak-hak tertentu
o Perampasan barang-barang tertentu
o Pengumuman putusan hakim
III. TINDAK PIDANA KORUPSI
1) Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan
merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga
memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.[15]
Pengertian korupsi menurut pendapat para ahli: (1) Andi Hamzah: “Korupsi berasal dari kata
corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak
bermoral”;[16] (2) Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan
kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk
dilaksanakan”.[17] Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa
pengertian korupsi adalah penyalahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri.
2) Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat
disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:
1. Korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri:
o Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
bahwa pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat perundang-undangan
diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas jabatan negeri atau tugas lainnya
serta digaji menurut undang-undang yang berlaku.
o Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai negeri
adalah:
Page 10
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 10
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu
juga orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-
undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas
nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli
dan kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.
Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan administrasi,
ketua/anggota peradilan agama.
Anggota angkatan perang.
Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara
atau masyarakat.
3) Sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem pembuktian
terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa
yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah
ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai
“Omkering van het Bewijslast” atau “Reversal Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan
menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian
yang bias apabila diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian
yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum, namun
mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan tidak lagi
pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian
inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian” yang bagi masyarakat awam
hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.
Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu
Page 11
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 11
sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem
pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi,
dengan demikian berlaku asas praduga tak bersalah”.[20]
Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan, karena
dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan telah bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Pembuktian terbalik yang
terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP,
terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 dinyatakan bahwa: “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan
tindak pidana korupsi”.
Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban Jaksa
Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan haknya dan dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan hal yang menguntungkan
posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib
untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu
termuat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan”.
IV. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Karakteristiknya
Istilah “cuci uang” atau juga disebut dengan “pemutihan uang” adalah merupakan peralihan dari
bahasa imggris yaitu “money laundering” kedalam bahasa Indonesia sebagai suatu istilah yag pada
mulanya digunakan di America Serikat dalam khazanah kejahatan. Lalu mengapa uang harus dicuci? ,
tentu saja karena uang tersebut dalam keadaan “kotor”. Kotor dalam arti “uang haram” yang
Page 12
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 12
biasanya disebut dengan “dirty money” atau juga disebut “secret money”, yaitu uang yang dapat dari
berbagai bentuk kejahatan mulai dari blue collar crime hingga white collar crime.
UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).
2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang
Adapun metode proses pencucian itu meliputi tiga tahap, yaitu :
1. Placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan
lainnya. Negara-negara harus ada persyaratan pelaporan terhadap transaksi tunai yang besar.
2. Layering yaitu memisahkan dana (kekayaan) dari asalnya dan dilakukan untuk menyamarkan
apa yang sebenarnya dan membuat tidak jelas dalam melakukan penelusurannya.
3. Integration yang membutuhkan penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke
dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulkan kecurigaan asal mula perolehannya.
Pada mulanya, memang kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan narkotika atau
psikotropika, tetapi dalam perkembangannya diperluas hingga meliputi uang haram dari hasil
kejahatan terorganisasi yang lain.
3. Pertanggungjawaban pidana Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
Page 13
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017
Lex specialis derogat legi generali
Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 13
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta
Kekayaan yang sah.
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pelaku, dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003,
digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang
adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam
Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Istilah
transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal
pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai
ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum
pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh
kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau
pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.