PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klaten ). PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : MAHANANI NURIASIH E0004027 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
81
Embed
PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DALAM …/Penerapan...menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Penerapan Sanksi Pidana Oleh Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Pencurian Dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA
( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klaten ).
PENULISAN HUKUM
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
ratih, utami, rina, ais, ucik, intan, yani, febby, anik, tika, galuh atas doa
dan dukungannya.
14. Segenap angkatan 2004 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, atas kerjasama, dukungan dan semangatnya.
15. Segenap pihak yang telah memberikan doa, semangat dan bantuan hingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
kemajuan di masa mendatang. Terima kasih.
Surakarta, 1 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………...
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………...
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………...............
iii
iv
v
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… viii
ABSTRAK……………………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
A. Latar belakang…………………………………………………………... 1
B. Perumusan masalah……………………………………………………... 4
C. Tujuan Penelitian…..…………………………………………………… 4
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………… 5
E. Metode Penelitian………………………………………………..…….. 6
F. Sistematika Skripsi…………………………………………………….... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...... 13
A. Kerangka teori…………………………………………………………… 13
1.Pengaturan Tindak Pidana Aduan Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana………………………………………..………………….
13
2.Penegakkan Hukum Piadana Untuk Menanggulangi Kejahatan ....…….
3. Kedudukan Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana.................................
23
34
B. Kerangka Pemikiran……………………………………………………... 40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………….. 42
A. Hasil Penelitian........................................................................................ 42
1. Deskripsi kasus……………………………………………………….
2. Pertimbangan Hakim …………………………………………………
42
56
B. Pembahasan…………………………………………..........................…
1. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam
memutus tindak pidana pencurian dalam keluarga ...........................
63
63
2. Kendala Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus tindak
pidana pencurian dalam keluarga ...................................................... 65
BAB IV PENUTUP……………….…………………………………………… 67
A. Simpulan……………………………………………………………... 67
B. Saran…………………………………………………………………. 67
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
MAHANANI NURIASIH. 2009. PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klaten ). Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan pidana Pasal 367 ayat (2) dan kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus tindak pidana pencurian dalam keluarga.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer penelitian diperoleh dengan wawancara secara bebas (free interview) kepada narasumber. Sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder adalah dengan cara studi dokumen atau studi kepustakaan yaitu mengkaji substansi/ isi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan obyek penelitian. Dalam menganalisa penelitian ini, digunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan.
Hasil penelitian ini mengungkapkan tentang pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana pencurian dalam keluarga dan kendala-kendala yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga. Dalam Putusan Nomer 128/Pid.B/2007/PN.Klt dan Putusan Nomer 135/Pid.B/2007/PN.Klt.Penjatuhan pidana antara yang satu dengan yang lain berbeda tergantung dari kasus (bersifat kasuistis).
Dari kesimpulan tersebut penulis menyarankan dalam penjatuhan pidana banyak sekali pertimbangan terlebih mengenai faktor non yuridis, maka hakim harus bisa memahami keadaan-keadaan yang ada pada diri terdakwa dan juga memehami hukum yang berlaku dalam suatu daerah tertentu, karena tugas hakim bukan hanya memutus dan megadili perkara tetapi juga harus bisa menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Agar penegak hukum khususnya hakim perlu senantiasa meningkatkan kualitas analisis dan mengembangkan kemampuannya di bidang hukum agar dapat memberikan putusan yang tepat sehingga dapat menciptakan keadilan bagi korban dan terdakwa yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum khususnya hakim dan institusinya yaitu pengadilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machstaat). Hal ini berarti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum
demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pernyataan yang
menyebutkan Indonesia merupakan negara hukum dapat ditemukan dalam
penjelasan UUD 1945 yaitu dalam sistem pemerintahan negara pada butir I
dan II. Pada butir I menyebutkan negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Sedangkan
butir II menyebutkan pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Namun
pada kenyataan yang sekarang terjadi eksistensi hukum itu sendiri sering
dipertanyakan, padahal pada hakikatnya eksistensi hukum diperlukan untuk
mencegah timbulnya bahaya yang mampu meresahkan masyarakat sehingga
setiap anggota masyarakat dapat merasa aman dan tenteram karena
memperoleh perlindungan hukum dari para aparat hukum.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi saat ini, tingkat
permasalahan sosial dan kriminalitas juga semakin meningkat dan hal ini tentu
juga telah menuntut agar hukum berkembang dan berubah mengikuti
perkembangan. Perkembangan teknologi misalnya telah mempermudah
masyarakat memperoleh informasi lebih cepat, akurat dan detail. Banyak
kemudahan dan hal positif dari perkembangan teknologi, akan tetapi dampak
negatif yang dihasilkan juga tak kalah besar. Di antara dampak negatif dari
perkembangan teknologi saat ini dan di antaranya adalah timbulnya tindak
pidana dikarenakan pengaruh dari media baik media elektronik dan media
masa. Terbukti dengan banyaknya tindak pidana yang terjadi, pelaku
melakukan tindak pidana terinspirasi dari acara yang disiarkan televisi, orang
mencuri juga terdorong oleh acara ditelevisi.
Dari sekian banyak tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
keluarganya sendiri sangatlah banyak tetapi yang terungkap hanyalah
beberapa persen saja karena menurut masyarakat ini adalah aib keluarga
sehingga banyak yang diselesaikan secara kekeluargaan tidak sampai
diperkarakan. Tindak pidana pencurian dalam keluarga dari tahun ketahun
mengalami peningkatan, ini menunjukkan adanya peningkatan terhadap tindak
pidana pencurian dalam keluarga. Sesuai dengan data yang didapat oleh
peneliti dari Pengadilan Negeri Klaten menyatakan tahun 2006 mengadili satu
kasus pencurian dalam keluarga sedangkan pada tahun 2007 mengadili dua
kasus pencurian dalam keluarga. Tindak pidana pencurian dalam keluarga
merupakan tindak pidana aduan relatif, tindak pidana aduan relatif adalah
tindak pidana yang pada dasarnya bukan berupa tindak pidana aduan
melainkan hanya dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja tindak pidana itu
menjadi tindak pidana aduan.
Untuk menciptakan suasana aman dan tenteram dalam masyarakat, kaidah
hukum yang berlaku umum tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan
dengan tegas atau dengan kata lain harus ada penegakan hukum. Berbicara
mengenai penegakan hukum, salah satu aparat penegak hukum yang
mempunyai beban dalam melaksanakan setiap upaya penegakan hukum serta
ikut melaksanakan pembinaan ketertiban hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan hukum pidana adalah hakim. Karena hakim inilah yang
akan memutus di sidang pengadilan terhadap seorang tersangka atau terdakwa,
apakah tersangka melakukan suatu tindak pidana dengan dijatuhi suatu pidana
ataupun dibebaskan dari segala tuntutan hukum karena ternyata dirinya tidak
terdapat cukup bukti telah melakukan suatu tindak pidana.
Hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan untuk
menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Sesuai dengan penjelasan dari UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machstaat) yang berarti bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum. Kebebasan hakim atau kebebasan peradilan merupakan syarat
mutlak bagi adanya negara hukum kalau tidak ada kebebasan hakim atau
kebebasan peradilan, kita tidak dapat menyebut suatu negara sebagai negara
hukum, berarti negara tersebut masih diragukan adanya supremasi hukum
yang dilaksanakan.
Selanjutnya mengenai kebebasan hakim dapat dilihat didalam penjelasan
Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan juga di dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang”.
Berhubung dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan tentang posisi
hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak di sini
haruslah diartikan tidak secara harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya
hakim harus memihak kepada yang benar. Hakim tidak memihak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepat
perumusan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5
ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.”
Hakim tidak memihak berarti juga hakim tidak menjalankan perintah dari
pemerintah. Bahkan jika harus demikian menurut hukum, hakim dapat
memutus menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian.
Walaupun hakim itu diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun ia tegak
berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak terpengaruhi oleh pemerintah.
Berhubung dengan kedudukannya yang istimewa itu ia perlu mendapat
jaminan yang cukup.
Namun demikian, adanya kebebasan hakim tidak berarti hakim dapat
berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim harus mempertanggung-jawabkan
keputusannya seperti ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penegakan hukum dan keadilan, putusan
hakim tidak boleh bertentangan dengan pancasila. Menurut ketentuan-
ketentuan tersebut mencerminkan bahwa walaupun seorang hakim diberi
kebebasan dalam menjalankan tugasnya, tetapi masih dibatasi oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul:
PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA.
(Studi Kasus di Pengadilan Klaten).
B. Rumusan Masalah
Guna memberikan arah dan panduan yang mengerucut mengenai
bahasan yang di kaji dalam suatu penelitian, perumusan masalah sebagai
sebuah konsepsi permasalahan yang akan dicari jawabannya perlu ditentukan
terlebih dahulu. Adapun permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Klaten
dalam memutus tindak pidana pencurian dalam keluarga?
2. Apakah kendala Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus tidak
pidana pencurian dalam keluarga?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan
Negeri Klaten dalam memeriksa dan memutus tindak pidana pencurian
dalam keluarga.
b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi hakim Pengadilan Negeri
Klaten dalam memutus tindak pidana pencurian dalam keluarga.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan pengetahuan dan
wawasan mengenai penerapan hukum pidana dalam memutus tindak
pidana pencurian dalam keluarga.
b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis
peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat, dan kegunaan
yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan
sehubungan dengan penelitian ini adalah, sabagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum umumnya,
hukum pidana khususnya.
b. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama
menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih
lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis, dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten sendiri (Soerjono Soekanto, 1986:42).
Agar data suatu penelitian yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan
secara ilmiah perlu adanya ketepatan dalam memilih metode penelitian supaya
sesuai dan mengenai pada masalah yang menjadi obyek penelitian. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis (socio legal
research), yaitu suatu penelitian yang berusaha mengidenfikasikan hukum
sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel
bebas/sebab (independent variabel) yang menimbulkan pengaruh dan
akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial (Amiruddin dan Zainal
Asikin, 2004:133).
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data yang
seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986:10). Jadi dari pengertian tersebut
penulis berusaha untuk mendeskripsikan tentang penerapan sanksi pidana
oleh hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencurian dalam
keluarga di Pengadilan Negeri Klaten.
2. Sifat Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan sifat penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau
untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat (Amiruddin, 2005:25).
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dengan judul “Penerapan sanksi pidana oleh hakim dalam
memutus perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga di Pengadilan
negeri Klaten” ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Pengadilan
Negeri Klas I B Klaten yang beralamatkan Jl. Raya Klaten-Solo KM. 2
Klaten. Pengambilan lokasi ini dengan mempertimbangkan karena
mudahnya transportasi ketempat penelitian sehingga mempermudah untuk
mendapatkan data.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum bersifat kualitatif, yaitu
pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-
data yang dinyatakan responden secara lisan atau tulisan, dan juga
perilakunya yang nyata, diteliti, dipelajari sebagai suatu yang utuh.
Dengan menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan
kualifikasinya bersifat teoritis yang dioleh dan ditarik kesimpulannya
dengan metode berfikir induktif. Penyajian secara induktif adalah metode
penyajian yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
5. Populasi dan sampel
Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri
atau karakter yang sama (Soerjono Soekanto, 1986:172). Yang dimaksud
populasi dalam penelitian ini adalah semua Hakim di Pengadilan Negeri
Klaten yang terkait dengan penerapan sanksi pidana dalam perkara
pencurian dalam keluarga.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, peneliti menggunakan metode
sampel, karena metode sampel dapat mewakili populasi yang diteliti
tersebut. Di dalam penelitian hukum ini, cara yang digunakan dalam
pengambilan sample yaitu teknik non random sampling/non probability
sampling, artinya tidak semua unsur dalam populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel atau berarti sampling
dimana elemen sampel tidak secara acak, tidak objektif tetapi secara
subjektif. Dalam non random sampling ini, memakai metode purposive
sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat
tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-
ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Amiruddin
dan Zainal Asikin, 2004: 106).
Dalam penelitian hukum ini, sampel yang diambil adalah Hakim yang
memutus perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga di Pengadilan
Negeri Klaten yakni Bapak Kunmulyoso, SH.
6. Jenis data
Lazimnya dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang pertama disebut
data primer atau data dasar (Primary data data basic data), dan data yang
kedua dinamakan data sekunder (secondary data). Data primer diperoleh
dari sumber pertama, yaitu warga masyarakat melalui penelitian. Data
sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku-buku harian, dan
seterusnya (Soerjono Soekanto, 1986:12).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data atau fakta-fakta yang diperoleh langsung
melalui penelitian dilapangan termasuk keterangan dari responden
yang berhubungan dengan obyek penelitian.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti jurnal hukum, buku hukum,
Peraturan perundang-undangan.
7. Sumber Data Penelitian
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian dapat diperoleh.
Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
sumber data sekunder. Sumber data sekunder dalam penelitian hukum ini
mencakup:
a. Sumber Data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang terkait langsung
dengan masalahan yang diteliti. Dalam hal ini yang menjadi sumber
data primer adalah Bapak Kunmulyoso, SH Hakim di Pengadilan
Negeri Klaten.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang secara tidak
langsung memberikan keterangan dan bersifat melengkapi sumber data
primer. Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah
dokumen, dan sumber-sumber lain yang mendukung penelitian.
8. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan
penelitian. Alat pengumpulan data (instrumen) menetukan kualitas data,
dan kuantitas data menentukan kualitas penelitian, karena itu alat
pengumpulan data harus mendapat penggarapan yang cermat. Agar data
penelitian memiliki kualitas yang cukup tinggi, alat pengumpulan datanya
harus dapat mengukur yang hendak diukur, dan harus dapat memberikan
kesesuaian hasil pada pengulangan pengukuran (Amiruddin, 2006:65).
Dalam rangka mendapatkan data yang tepat, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data, sebagai berikut:
a. Studi Lapangan
Studi lapangan yaitu dengan melakukan wawancara dengan Hakim
Pengadilan Negeri Klaten. Wawancara adalah situasi peran antara
pribadi bertatap muka, ketika seseorang yakni pewawancara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada
seorang responden (Amiruddin, 2006: 82).
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku serta
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan yang diteliti.Adapun pustaka yang menjadi acuan, antara
lain : buku-buku literatur, surat kabar, daftar/label, kamus, peraturan
perundang-undangan, maupun dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini.
9. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Maleong, 2002 : 103). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, yaitu ”suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yakni apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono Soekanto, 1984 : 250).
Dalam menganalisa data secara kualitatif, penelitian ini menggunakan
model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu
”data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data-data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan yang benar mendukung penyusunan laporan penelitian” (HB. Sutopo, 2002 : 35).
Berikut ilustrasi bagan dari tahap analisa data :
Komponen tahapan dalam model analisis interaktif dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengumpulan Data adalah proses dimana penulis mencari data
dan mencatat semua data yang masuk.
b. Reduksi Data adalah kegiatan mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang
muncul dari catatan, penyederhanaan pengabstrakan dan
transformasi data kasar dari pengumpulan data/ catatan-catatan
di lapangan.
c. Penyajian Data adalah sekumpulan informasi yang
memungkinkan kesimpulan dan pengambilan tindakan yang
dapat berupa data kasar seperti jenis matrik, skema, gambar,
tabel dan sebagainya.
Ketiga komponen tersebut (proses analisis interaktif) dimulai pada
waktu pengumpulan data penelitian, peneliti selalu membuat reduksi data
dan sajian data. Dan setelah pengumpulan data selesai tahap selanjutnya
peneliti mulai melakukan usaha menarik simpulan dengan menverifikasi
berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data. Aktivitas yang dilakukan
dengan siklus antara komponen-komponen tersebut akan didapatkan data
yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan masalah yang diteliti.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Kesimpulan/ Verivikasi
Data Reduksi
Gambar 1. Skema Analisa Data
F. Sistematika Skripsi
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum
maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan berisi tentang latar belakang kenapa mengambil
masalah pencurian dalam keluarga, perumusan masalah berisi
tentang masalah yang dibahas dalam penelitian ini, tujuan
penelitian adalah berisi tujuan obyektif dan tujuan subyektif,
manfaat penelitian berisi manfaat teoritis dan manfaat praktis,
metode penelitian berisi jenis penelitian, sifat penelitian, lokasi
penelitian, pendekatan penelitian, populasi dan sampel, jenis data,
sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa
data dan sistematika penulisan hukum berisi isi keseluruhan skripsi
BAB II : Tinjauan Pustaka berisi kerangka teori yang melandasi penelitian
serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat
dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: pertama mengenai
Pengaturan tindak pidana aduan dalam KUHP berisi pengertian
pidana dan teori pemidanaan. Kedua mengenai penegakan hukum
pidana untuk menanggulangi kejahatan berisi penegakan hukum
pidana, penegakan hukum melaui proses acara pidana, sanksi
pidana untuk menanggulangi tindak pidana, tindak pidana
pencurian. Ketiga berisi kedudukan hakim dalam sistem peradilan
pidana berisi pengertian hakim, tugas hakim, kewajiban hakim,
kebebasan hakim.
BAB III : Hasil penelitian dan pembahasan berisi tentang pertimbangan
Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus tindak pidana
pencurian dalam keluarga, kendala apa saja yang dihadapi oleh
Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus tindak pidana
pencurian dalam keluarga atau pun data lain dari penelitian
dilapangan. Dan pembahasan yang murni dari pendapat penulis.
BAB IV : Penutup adalah bab akhir berisi tentang kesimpulan serta saran dari
hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
1. Pengaturan Tindak Pidana Aduan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana
Hukum pidana terdiri dari Ius Poenale dan Ius Puniendi, Ius Poenale
adalah obyek dari hukum pidana. Menurut Mezger, hukum pidana adalah
aturan yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Pada dasarnya hukum
pidana terdiri dari 2 hal, yaitu:
1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Perbuatan memenuhi syarat tertentu adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana.
Perbuatan tertentu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang
dilarang dan orang yang melanggar larangan.
2. Pidana
Pidana adalah penderitaan yang dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pengertian hukum pidana diatas dapat disebut Ius Poenale. Sedangkan
Ius Puniendi diartikan sebagai:
1. Hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu
2. Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang (Rofikah dan Sabar Slamet, 2000:2).
Dalam melaksanakan Ius Puniendi harus berdasarkan Ius Poenale.
Negara mempunyai hak untuk mengancam atas suatu perbuatan dengan
pidana dapat berbentuk Undang-undang dapat berbentuk Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Pidana mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Pidana merupakan suatu pengenaan pemderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. pidana diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
KUHP merupakan pengaturan hukum pidana materiil umum yang
dikodifikasikan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Ada
beberapa azas dalam berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut
tempat yaitu :
1. Azas Teritorial
Azas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP, yaitu bahwa aturan
pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan suatu tindak pidana diwilayah Indonesia. Semua orang
yang ada di Indonesia baik warga negara Indonesia (WNI) dan warga
negara asing (WNA) yang melakukan perbuatan pidana. Berlakunya
azas teritorial diperluas Pasal 3 KUHP bahwa peraturan pidana
Indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang berada di luar
negeri yang melakukan perbuatan pidana di atas perahu Indonesia.
2. Azas Personal/ Nasional aktif
Dalam azas Personal/ Nasional aktif peraturan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana
diluar negeri. Azas personal/ nasional aktif diatur dalam Pasal 5
KUHP.
Ayat (1) Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi warganegara yang di luar wilayah Indonesia melakukan:
Ke1 : salah satu kejahatan dalam bab I dan II buku kedua dan Pasal
160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
Ke2 : salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan dalam perundang-
undangan perbuatan diancam pidana.
Pasal 6 KUHP memberi batasan jika perbuatan pidana yang dilakukan
di negara asing tidak diancam pidana mati oleh aturan hukum pidana
negara tersebut, maka hakim yang mengadili di Indonesia tidak boleh
menjatuhkan pidana mati.
3. Azas perlindungan (azas nasional pasif)
Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana
yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan
oleh warga negara Indonesia atau bukan, yang dilakukan diluar
Indonesia.
4. Azas universal
Peraturan-peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap
tindak pidana baik dilakukan didalam negeri maupun diluar negeri dan
juga baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau warga negara
asing. Tindak pidana tersebut adalah Pasal 4 sub 2 KUHP dan Pasal 4
sub 4 KUHP mengenai perampokan dilaut (pembajakan).
Pengaduan (klacht) adalah sesuatu pernyataan tegas(lisan atau
tertulis atau dituliskan) dariseseorang yang berhak (mengadu) yang
disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik
(Kepolisian RI).tentang telah diperbuatnya sesuatu tindak pidana (in
casu kajahatan aduan) oleh seseorang dengan disertai permintaan agar
dilakukan pemeriksaaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan
kepengadilan yang berwenang.
Mengenai dua unsur esensial pengaduan yaitu:
a. Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh
seseorang, dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk
dilakukan penuntutan pidana kesidang pengadilan.
Pembentuk undang-undang (KUHP) menetapkan pengaduan
sebagai syarat untuk dapat dituntut pidana terhadap pembuat tindak
pidana aduan. Dalam hal tindak pidana aduan pentingnya bagi yang
berhak mengadu atau yang kepentingan hukumnya dilanggar apabila
perkara itu dituntut pidana adalah lebih besar daripada pentingnya bagi
negara apabila perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam tindak
pidana aduan, terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan,
yaitu disatu pihak perlunya hukum ditegakkan, artinya penting bagi
negara untuk dilakukan penuntutan dan dilain pihak bagi korban ada
kepentingan agar perkara tindak pidana aduan untuk tidak dilakukan
penuntutan seperti perbuatannya ada hubungan keluarga atau
kepentingan hukum yang dilanggar adalah bersifat pribadi (misalnya
zina dan penghinaan). Dalam hal ini kepentingan korban untuk tidak
dilakukan penuntutan pidana lebih diutamakan daripada kepentingan
negara dalam hal menegakkan hukum. Sehingga peranan korban
menjadi sangat dominan dalam hal negara untuk melakukan
penuntutan pidana.
Dalam hal pengaduan, orang yang berhak mengajukan pengaduan
adalah korban, namun dalam Pasal 72 ayat (1) KUHP apabila korban
tindak pidana:
1. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umur sebelum 16 tahun
(enam belas tahun) dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan
kedewasaan walaupun umurnya belum 16 tahun,
2. Korban berada dibawah pengampuan selain karena sifat boros,
maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam
perkara perdata. Wakilnya dalam perkara perdata dalam hal
kebelum dewasaan adalah walinya yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tidak ada maka ibu yang menjadi wali, jika
ayah ibu tiada siapa yang menurut hukum yang berlaku bagi anak
itumenurut cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bisa
pamanya, kakak dan lain orang yang menurut hukum menjadi wali
dari anak itu.
Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam
Pasal 72 ayat (1) KUHP, atau wakilnya itu sendiri adalah si
pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak
Hanya karena adanya unsur-unsur tertentu saja, syarat pengaduan
untuk melakukan penuntutan itu diperlukan. Sedangkan dalam keadaan
biasa artinya tanpa adanya unsur tertentu, syarat pengaduan tidak
diperlukan untuk melakukan penuntutan. Salah satunya, pencurian
dalam segala bentuk (Pasal 362-365KUHP) pada dasarnya bukan
tindak pidana aduan, akan tetapi dengan adanya unsur dalam kalangan
keluarga atau tindak pidana itu dilakukan dalam kalangan keluarga,
maka menjadi tindak pidana aduan (relatif).
Menurut Modderman, ada alasan khusus, mengapa dijadikannya kejahatan-kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
1). Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang sangat erat dan dalam sidang pengadilan.
2). Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam condominium (Utrecht dalam Adami Chazawi, 2002: 205).
Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice
system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Karena keputusan
di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas baik
yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat
secara luas. Dalam pemidanaan ada dua teori yakni:
1. Teori absolut (pembalasan)
Teori absolut adalah pidana dijatuhkan semata-mata kerena
orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan.
2. Teori relatif (tujuan)
Teori relatif adalah memidana bukan untuk memuaskan
tuntutan absolut dari pengadilan. Pembalasan tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan
masyarakat. Menurut teori ini tujuan penjatuhan pidana bukan
karena orang berbuat kejahatan tetapi supaya orang jangan
melakukan kejahatan.
3. Teori gabungan
Teori gabungan adalah pidana dijatuhkan sebagai sarana untuk
pembalasan, prevensi dan untuk memperbaiki penjahat.
Pemidanaan berbertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi mengayomi
masyarakat, koreksi terhadap terpidana dan menjadikannya orang yang
baik dan berguna serta mampu hidup bermasyarakat, menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan
keseimbangan dan rasa damai dalam masyarakat, membebaskan rasa
bersalah pada terpidana.
Dalam setiap pemidanaan harus benar-benar dipertimbangkan di
antara tujuan pemidanaan tersebut yang mempunyai relevansi dan
kepentingan terbesar dalam kasus terkait dan harus dipertimbangkan
oleh pengadilan, dengan konsekwensi dijatuhkan jenis pidana yang
berbeda.
Jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri
dari:
1. Pidana pokok.
a. Mati
b. Penjara
c. Kurungan
d. Denda
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman keputusan hakim.
Pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP juga berlaku bagi semua
tindak pidana yang diatur diluar KUHP.
2. Penegakan Hukum Pidana untuk Menanggulangi Kejahatan
Penggunaan upaya hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial
termasuk dalam kebijakan penegakan hukum, tujuannya adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya sehingga kebijakan
penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial. KUHAP
adalah hukum pidana formil memuat aturan-aturan pemerintah untuk
mengenakan pidana kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana melalui alat perlengkapan negara seperti, Polisi, Jaksa, dan Hakim
sebagai penegak hukum.
Menurut Bassiouni, tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan sosial tersebut adalah:
1. Pemeliharaan tertib masyarakat, 2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan kerugian atau bahaya-
bahaya yang tak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain, 3. Memsyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum, 4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 166).
Tujuan objektif fungsi penegakan hukum dari pendekatan tata tertib
sosial, yaitu:
a. Penegakan Hukum dalam Proses Acara Pidana
Penegakan hukum dalam proses acara pidana yaitu penegakan
hukum menggunakan sarana penal (Hukum Pidana) melalui alat
pemerintahan seperti Polisi, Jaksa, Hakim untuk menegakkan hukum
seadil-adilnya untuk membuat jera pelaku tindak pidana dengan
menjatuhkan suatu pidana sesuai dengan KUHP. Penegakan hukum
dalam proses acara pidana meliputi sebagai berikut:
1). Penyelidikan-penyidikan
Penyelidikan menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak
nya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia. Fungsi dan wewenang penyelidik menurut Pasal 5 ayat (1)
KUHAP yaitu:
a) Fungsi dan wewenang berdasar hukum
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana
(2) Mencari keterangan dan barang bukti
(3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksatanda pengenal diri
(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab
b) Kewenangan berdasar perintah penyidik
(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, menggeledahan
dan penyitaan
(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat
(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang
(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
Penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah seraikan
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Menurut Pasal 6 ayat (1) KUHAP
Penyidik adalah :
a) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
b) Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
Wewenang dari Penyidik menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana
b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka
d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi
h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara
i) Mengadakan penghentian penyidikan
j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
2) Penangkapan-penahanan
Pengertian penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 17 KUHAP perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
Cara penangkapan menurut Pasal 18 ayat (1) KUHAP adalah
pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian
Negara RI dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dibersangkakan serta tempat ia
diperiksa.
Pengertian penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik
atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Janis penahanan menurut Pasal 22 KUHAP antara lain:
a) Penahanan rumah tahanan negara (Rutan)
Tempat tahanan tersangka atau terdakwa yang masih dalam proses
penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan.
b) Penahanan Rumah
Penahanan dilakukan dirumah, tempat tinggal tersangka atau
terdakwa dan diawasi oleh pejabat yang melakukan tindakan
penahanan rumah.
b) Penahanan Kota
Pelaksanaan penahanan kota dilakukan dikota tempat tinggal
tersangka atau terdakwa.
3) Persidangan pengadilan
Proses pemeriksaan pengadilan, sebagai berikut:
(1) Pembacaan surat dakwaan.
(2) Mengajukan eksepsi.
(3) Tanggapan eksepsi.
(4) Pemeriksaan saksi, terdakwa dan pengajuan alat bukti.
(5) Tuntutan.
(6) Replik dan duplik.
(7) Putusan akhir.
Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP yaitu
bahwa Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, bahwa putusan sedapat
mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan
permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan
sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua
cara:
(a) Putusan diambil dengan suara terbanyak.
(b) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh
putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.
Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan
pengadilan, tergantungan dari hasil mufakat musyawarah
hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (Yahya Harahap,
2002:347).
1. Putusan Bebas
Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari
segala tuntutan hukum (Vrijspraak). Bebas dari segala
tuntutan hukum sehingga terdakwa bebas dari pemidanaan.
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yaitu “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatannya
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Van Bemellen berpendapat, bahwa putusan bebas
dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan
mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa yang
didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini
yang melakukan (Andi Hamzah, 2002: 282).
2. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan
menurut Pasal 191 ayat ( 2 ) KUHAP, yaitu ” Jika
Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum. Yakni putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria :
a) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti.
b) Perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana maka
terdakwa lepas dari segala tuntutanhukum.
3. Putusan Pemidanaan atau penjatuhan pidana
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1)
KUHAP, yaitu ” Jika Pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana”. Ada berbagai status yang dapat diperintahkan
pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan
putusan pidana yaitu :
a) Jika terdakwa tidak ditahan, menurut Pasal 193 ayat (2)
huruf a KUHAP mempunyai 2 alternatif yakni :
a. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status
tidak ditahan.
b. Pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa
ditahan.
b) Jika terdakwa berada dalam status tahanan, menurut
Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP pengadilan dapat
memilih salah satu alternatif, yakni:
a. Memerintah terdakwa tetap berada dalam tahanan
b. Memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan
4) Pemidanaan.
Setelah pemeriksaan pengadilan dan terdakwa terbukti melakukan
kejahatan yang didakwakan maka akan diputus oleh hakim dikenai
putusan pemidanaan sesuai dengan pasal yang bersangkutan dengan
tindak pidana yang didakwakan. Dan putusan pemidanaan itu dapat
berupa sanksi ini dapat terkena pada nyawa,badan atau harta
seseorang.
b. Efek Preventif dalam Tindak Pidana Pencurian
Efek Preventif ini yaitu penegakan hukum diharapkan mencegah
orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. Misalnya,
penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan
tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa
masyarakat melalui pendidikan moral agama. Tujuan efek preventif
adalah memperbaiki kondisi sosial tertentu. Hukum pidana sebagai
sarana untuk menanggulangi kejahatan. Penggunaan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di
Indonesia.
H.L. Packer membicarakan masalah pidana dengan semua
keterbatasanya antara lain:
(1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan.
(2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia,
untuk menghadapi kejahatan
(3) Sanksi pidana merupakan penjaminan yang utama atau terbaik bila
digunakan secara cermat dan secara manusiawi, dan merupakan
ancaman apabila digunakan secara sembarang dan paksa (Muladi
dan Barda Nawawi, 1998: 155-156).
Pencurian menurut hukum pidana ialah perbuatan mengambil suatu
barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaan orang lain disertai
maksud untuk memiliki dan dilakukan dengan melawan hukum.
Sedangkan perumusan perbuatan pencurian ada dalam Pasal 362
KUHP adalah
”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secra
melawan hukum, diancam kerena pencurian dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
Unsur-unsur dalam pencurian adalah:
a) Adanya perbuatan mengambil
Yang dimaksud mengambil yaitu memindahkan barang
dari tempatnya semula atau barang tersebut berada dalam
kekuasan orang yang melakukan atau barang tersebut sudah
berada diluar kekuasaan pemiliknya.
b) Sesuatu barang
Dalam pengertian suatu barang dalam KUHP disini adalah
termasuk barang non ekonomis seperti, karcis kereta api (HR
28 April 1930), sepucuk surat keterangan dokter (HR 27
November 1939)
c) Seluruh atau sebagiannya barang adalah milik orang lain
d) Maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
Yang dimaksud dimiliki dengan cara melawan hukum
yaitu perbutan untuk memiliki suatu barang milik orang lain
dengan tanpa persetujuan, kehendak ataupun sepengetahuan
dari orang yang nyata-nyata sebagai pemilik yang sah. Menurut
KUHP, untuk pencurian maksud dimiliki harus berbarengan
dengan kejadian pengambilan (HR 5 Januari 1903).
Disyaratkan adanya maksud untuk secara melawan hukum
menguasai barang yang diambilnya seolah-olah sebagai
miliknya sendiri (HR 25 Juli 1930).
Berikut ini adalah isi dari Pasal 362 sampai 367 KUHP tentang
pencurian:
1. Pasal 362 KUHP
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam
puluh rupiah.
2. Pasal 363 KUHP
Ayat (1): Diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun
disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut:
1. Pencurian ternak.
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang.
3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki
oleh yang berhak.
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
5. Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan
merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai
anak kunci palsu, perintah palsu atau jabatan palsu.
Ayat (2): Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai
dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun
3. Pasal 364 KUHP
Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363
butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363
butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang
dicuri tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
4. Pasal 365 KUHP
Ayat (1): diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang
dicuri.
Ayat (2): diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun:
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan
umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan
2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
3. Jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu, atau pakaian jabatan palsu.
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat
Ayat (3): Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Ayat (4): Diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal
yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3.
5. Pasal 366 KUHP
Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 362, Pasal 363,dan Pasal 365 dapat
dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 nomor 1-4.
6. Pasal 367 KUHP
Pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 ayat 1, dan 2
yakni sebagai berikut :
Ayat (1) menyebutkan bahwa : Jika pembuat atau pembantu dari
salah satu kejahatan ini adalah suami ( istri ) dari orang yang
terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah
harta kekeyaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak
mungkin diadakan tuntutan pidana.
Ayat (2) menyebutkan bahwa : Jika dia adalah suami (istri) yang
terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika
dia adalah keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus
maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu
hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang
terkena kejahatan.
3. Kedudukan Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP Hakim adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan atas asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Pasal 1 butir 9 KUHAP.
Wewenang utama hakim adalah mengadili yang meliputi kegiatan-
kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana pedoman
pokoknya adalah KUHAP yang dilandasi oleh asas kebebasan, kejujuran,
dan tidak memihak. Wewenang hakim berpedoman pada KUHAP adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan penahanan
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
dengan menetapkan berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat
(3) jo Pasal 26 KUHAP).
2. Pengalihan jenis pemidanaan
Penyidik atau Penuntut Umum atau hakim berwenang mengalihkan
jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain (Pasal 23
ayat (1) jo Pasal 22 KUHAP).
Tugas penting yang harus dilakukan oleh hakim adalah:
1. Sebagai tugas pokok yakni menerima, memeriksa dam mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
2. Sebagai tugas yuridis yakni memberi keterangan, pertimbangan dan
nasehat-nassehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara
lainnya apabila diminta.
3. Sebagai tugas akademik/ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim
wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari
tertuduh.
Kewajiban hakim antara lain adalah sebagai berikut:
1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 28 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib pula
memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat
(2) UU nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokad, atau panitera ( Pasal 29
ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokad
(Pasal 29 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara (Pasal 29 ayat (5) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman).
Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya
hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 UU
nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdassarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”.
Bebasnya hakim dari keterikatan pihak-pihak yang berperkara. Dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara baik perdata maupun pidana harus
atas obyektifitas tanpa memihak kepada salah satu pihak dan tidak boleh
membeda-bedakan orang. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 25 UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutanatau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”.
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut
terletak diatas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” diantara aparat
penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan
undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan sistem terpadu
merupakan fungsi gabungan dari aparat penegak hukum antara lain Polisi,
Jaksa-Penuntut Umum, Hakim, Penjara yang mempunyai tugas masing-
masing sebagai berikut:
Polisi Republik Indonesia menduduki posisi sebagai aparat penegak
hukum sesuai perannya berupa kekuasaan umum menangani kriminal di
seluruh wilayah Indonesia. Dalam malaksanakan wewenangnya polri
berperan sebagai kontrol kriminal dalam bentuk:
1) Investigasi
2) Penangkapan
3) Penahanan
4) Penggeledahan
5) Penyitaan.
Jaksa menurut Pasal 1 butir 6a adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut
Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut Umum sendiri adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a jo.
Pasal 13 KUHAP).
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomer 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuasaan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Sedangka penuntut umum menurut Pasal
1 angka 2 adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim.
Penuntut Umum mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu.
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
d. Membuat surat dakwaan
e. Melimpahkan perkara ke Pengadilan
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. Malakukan penuntutan
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-
undang ini
j. Melaksanakan penetapan Hakim.
Hakim dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting karena
tugas hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Hakim adalah tonggak bagi keadilan
baik bagi terdakwa dan korban.
Petugas pelaksana pidana (penjara) sendiri berfungsi memperbaiki
terpidana dengan cara rehabilitasi pelaku pidana agar bisa kembali
menjalani kehidupan normal dan produktif (Yahya Harahap,2002:90).
Hubungan antara aparat penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana sangatlah berkaitan dimana antara polisi sebagai kontrol
kriminal, jaksa sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadila yang sudah berkekuatan hukum tetap , hakim adalah yang
mengadili suatu perkara sehingga adanya suatu keadilan dan penjara
adalah memperbaiki tinggkah laku terpidana agar bisa kembali kepada
masyarakat. Sehingga masing-masing aparat hukum mempunyai
hubungan yang saling berkaitan dan jika salah satu tidak ada maka
aparat hukum yang lain tidak dapat menjalankan tugasnya.
2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran digambarkan lewat bagan sebagai berikut:
Meningkatnya tindak kejahatan dalam masyarakat dirasa semakin
meresahkan. Hal ini bahkan bisa terjadi di dalam keluarga. Kejahatan dalam
keluarga hanya dapat diproses ke Pengadilan apabila aduan dari yang pihak
korban atau pihak yang dirugikan. Setelah adanya aduan dari pihak korban
tindak pidana pencurian dalam keluarga baru bisa dilakukan penuntutan dan
Tindak pidana pencurian dalam
keluarga
KUHP
Penegakan hukum
Sistem Peradilan Pidana
JaksaPolisi
Putusan
Hakim
pemeriksaan yang merupakan rangkaian dari penegakan hukum.yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam sisitem peradilan pidana aparat
penegak hukum yang berperan antara lain, Polisi yang mempunyai tugas