Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : ADITYA ALAMSYAH N I M : 1110045100042 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
78
Embed
Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif
Maqasid Syariah
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
ADITYA ALAMSYAH
N I M : 1110045100042
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
ADITYA ALAMSYAH. NIM 1110045100042. SANKSI TINDAK PIDANA
PENGHINAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH.
Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, dan menjelaskan dan
menganalisa tentang Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah.
Kebebasan beragama di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen kedua pada Pasal 28E
ayat (1) dan (2). Akan tetapi terdapat pula pembatasan dalam konstitusi tersebut.
Warga negara yang tidak mentaati pembatasan tersebut, maka akan dikenakan
sanksi sesuai dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dan menggunakan teori Maqasid Syariah. Setelah diundangkannya Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penghinaan Agama, maka dalam KUHP tentang tindak pidana penghinaan agama.
Konsep Maqasid al-syari’ah merupakan konsep yang sangat penting dan tidak
luput dari perhatian para ulama dan pakar hukum Islam. Sebagian besar pakar
hukum menempatkan pembahasannya dalam Ushul Fiqh, ketika mereka
membahas tentang qiyas serta Maqasid Al-syariah telah menjadi pertimbangan
sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya
dilakukan pula oleh para sahabat. Oleh karenanya melalui tulisan ini, penulis
mencoba untuk menelaah secara mendalam permasalah kasus tindak pidana
penghinaan agama dengan pendekatan teori maqasid syariah.
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research). Studi
kepustakaan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang,
buku-buku majalah, artikel website, serta kasus yang berhubungan dengan tema
penelitian.
Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca,
memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Kata kunci : Sanksi Pidana, Penghinaan Agama, Maqasid Syariah
Pembimbing : Dr. Rumadi. M. Ag
بسم الله الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan
kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang
mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa
bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa
kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia
hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah
memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan
hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Nurul Irfan, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam terima
kasih banyak telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama
perkuliahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata I dengan sebaik-baiknya.
3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam
terima kasih banyak telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam
keperluan, dan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata I dengan sebaik-
baiknya.
4. Bapak Dr. Rumadi. M.Ag selaku Dosen Pembimbing terima kasih banyak telah
memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
5. Kepada kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan
serta do’a yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi strata I dengan penuh semangat, Ayahanda Chotib, dan Ibunda
Romlah, maafkan anakmu ini yang sungguh bergelimpangan dosa.
6. Terima kasih kepada Kakak saya terutama untuk, Andri Rahadiansyah, Apit Firmansyah,
Ade Darmawansyah, dan Adik saya yaitu: Aldi Alviansyah, Alvi Syahrin, Khoirul Amri
yang telah memberikan doa, dukungan moril dan materil, serta sebagai motivator dalam
menyelesaikan studi strata I saya.
7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan
pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.
8. Terima kasih kepada Mutiara Lukman Amd. Keb, SKM yang telah memberikan nasehat,
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sebagai motivator dalam menyelesaikan
Skripsi saya.
9. Terima kasih kepada Gerardin Ferrari S.Sy yang telah banyak berdiskusi dan
memberikan buku-buku referensi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya ini.
10. Teman-teman Seperjuanganku Program Studi Hukum Pidana Islam Angkatan 2010 yang
telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam
hidup, terutama Edi Irawan, Ade Dani Setiawan, Sena, Rodhi, Awal, Ayu, Dijah, Siska,
Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, Jakarta. 9
Siti Aminah Dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil Uu Penodaan Agama, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (Ilrc), 2011, h. 2.
20
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang,
Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,
penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa."
B. Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan Agama
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada sanksi yang
mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat rumusan pidana diakhiri
dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga
cara dalam perumusan sanksi, yaitu:
1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-
ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu
sanksi.
2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal
awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikiuti secara langsung
dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.
3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.10
10
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta : Alumni AHM-PTHM,
1986), h. 32.
21
Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap agama dan
kehidupan beragama dalam UU PNPS No 1/1965 dan KUHP di Indonesia menjadi satu
kesatuan. Sebagaimana telah diketahui, bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila
tidak ada sanksi yang mengaturnya. Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia
maupun dalam UU PNPS No 1/1965, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang
bersangkutan. Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal
rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana. Sanksi yang
diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama serta pelaku
aliran sesat adalah pidana penjara.
Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan
pasal 156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan sistematika KUHP,
pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang
ditujukan untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan
perlindungan terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu
karena adanya pelanggaran ketertiban umum.
22
Penempatan Pasal 156a sebagai bagian dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana terhadap ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut
(dalam UU No. 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi
ketenteraman orang-orang yang beragama.
Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai
pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu
ketenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya
apabila ketenteraman orang beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu,
maka orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar
seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana.
Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur
subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari
keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.
Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang menyebutkan bahwa
unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan
dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam
hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.11
11
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
1997), h. 193-194.
23
Tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama dapat mempunyai
pengertian yang sangat luas, yang dapat dimasukan di dalamnya adalah delik-delik
kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama, Namun di sini
akan membatasi Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP.
1. Pasal 175
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan
keagamaan yang bersifat umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang
diijinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling
lambat satu tahun empat bulan.
2. Pasal 176
Barang siapa dengan sengaja menggangu pertemuan keagamaan yang bersifat
umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang dijinkan atau upacara
penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidan denda paling
banyak seribu delapan ratus rupiah.
Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.12
Menurut M. Solehuddin sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi
dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap
orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan
terhadap perbuatan si pelaku.
12
M. Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 32
24
Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan,
misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sifatnya,
sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan
berhubungan dilanggarnya suatu norma oleh seseorang.
Mengenai aturan penghinaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara
sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi
penghinaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No
5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1)
“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
pernyataan keras untuk menghentikan perbuatannya itu didalam keputusan bersama
Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila
pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisai atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan
menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu
dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri dalam Negeri.
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun
penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota ataupun anggota pengurus
organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa
cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau
penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat
yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk
menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya.
25
Dalam pasal 3 disebutkan:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut
ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih
terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau
anggota pengurus organisasi yang bersangkungkatn dari aliran itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan
terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh
karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti
organisasi/perhimpunan, dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotannya,
maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih melakukan
pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang
menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Menginggat sifat dari tindak pidana dalam
pasalini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang
berbunyi: “Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dngan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang di anut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun
juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Saksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan
meyakinkan dan diputus oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun
26
penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah jumlah pidana tersebut pelaku penghinaan
agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau dapat diberikan hukuman minimum.
C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama
Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaaan atau
melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penghinaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia, diatur dalam pasal 156a KUHP yang rumusannya
sebagai berikut :13
Dipidana dengan pidana penjaraa selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.
Menurut paal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penghinaan agama adalah
sebagai berikut :14
a. Barang Siapa
b. Di muka umum
c. Menggeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap uatu
agama yang di anut di Indonesia
Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP adalah
sebagai berikut :15
1. Unsur Subjektif
a. Barang Siapa
Menurut Sudarto bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan orang dan
pada dasarnya yang melakukan tindak pidana adalah manusia. Rumusan tindak pidana
13
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92. 14
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92 15
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hukum UNDIP, 1990), Cet. Ke-1, h 50.
27
dalam undang-undang lazim di mulai dengan kata-kata “Barang siapa....., kata “barang
siapa” tidak diartikan lain lebih dari pada orang.16
b. Dengan Sengaja
Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan
batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan batin antara si pembuat
terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat (pertanggungjawaban pidana)
Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan dengan sengaja,
KUHP tidak memberikan definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan
dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelichting), yang mengartikan kesengajaan
(opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (wilian en wettens). Jadi dapat diartikan
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja mengehendaki perbuatan itu dan di samping itu
ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.17
Dalam hal seseorang
yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin
yang menunjukan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan
adalah sebagai berikut :18
1) Kesengajaan sebagai maksud
Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (Dolus directus). Corak kesengajaan
ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si
pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini
tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.
2) Kesengajan dengan sadar kepastian
16
Ibid 17
Sudarto, Ibid., h 19 18
Ibid., h 103
28
Dalam hal ini mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu :19
a. Akibat yang memang dituju si pembuat (merupakan tidak pidana tersendiri
atau tidak);
b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk
mencapai tujuan dalam nomor satu di atas.
3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Doluss Eventualis atau
Voorwaardelijk opzet)
Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku melakukan tindakan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia mungkin
mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain daripada
akibat yang timbulnya memang ia kehendaki.
Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak
membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat
semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat terhadap seperti itu si pelaku
dikatakan telah mempunyai suatu kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
Dengan kata lain, pada waktu si pelaku melakukan perbuatan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia telah
menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat yang memang ia
kehendaki.20
Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam pasal
156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai kesengajaan sebagai
maksud saja, namun diartikan pula sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian
dan sebagai kesengajaan dengan sadar kemungkinan, karena unsur “dengan
19
Ibid., h 104 20
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : CV. Armico, 1984), Cet. Ke-1 h. 301.
29
sengaja” itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan di depan
unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP.
Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, pelaku
harus dapat di buktikan :
a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaan atau melakukan
perbuatan ;
b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang telah
ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Jika kehendak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang dimaksudkan
di atas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan putusan bebas bagi
pelaku.
Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari segala
tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan sengaja atau opzet
oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP.21
2. Unsur-Unsur Objektif
a. Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang
dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “ Wet Boek van Strafrech”
cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu penghinaan dilakukan di muka
umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat terbuka untuk dikunjungi umum dan semua
orang dapat mendengarnya.22
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Lamintang bahwa dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan
21
P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara,
(Bandung:CV. Armico, 1986), h. 464. 22
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 71
30
tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa perasaan
yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik.23
b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat
dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan.24
c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang
ada di indonesia.
Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU No. 1 (Pnps)
Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong
Hu Cu.25
Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai perasaan atau
perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia, Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan dan agaknya
pembentuk undang-undang telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan
penafsiran dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang
sebagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.26
23
P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 464 24
Ibid., h. 465 25
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h.69 26
P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465
31
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian Sanksi Pidana
Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang
mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman
dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan
sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak
korban.
Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti
tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum.1
Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut
“straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.2
Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat
pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum.
Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas
cerita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.3
B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman)
Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu:
1. Hukuman Pokok
Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan
dapat juga dijatuhkan sendiri.4
1 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
h. 692 2 Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, 1990), h. 83
3 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I,
h. 436
32
Macam-macam hukuman pokok ialah:
a. Hukuman Mati
Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia.
Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP
Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip
dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan
berlakunya hukuman mati, yaitu:5
1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. “Makar
dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara”.
2) Pasal 124 (3) KUHP: Kejahatan terhadap keamanan Negara. “Pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun
dijatuhkan jika:
a) Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan
atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki
suatu alat penghubung gudang persediaan perang, atau kas perang
ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat ataupun bagian dari padanya.
b) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru hara pemberontakan
atau diserse dikalangan Angkatan Perang.
3) Pasal 340 KUHP: Pembunuhan berencana.
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan
4 Hartono Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), cet. Ke-I,
h 109-110 5 Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h .6
33
(moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
semantara selama-lamanya 20 tahun.
4) Pasal 365 (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan. “Diancam dengan pidana
mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama 20 tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah
satu hal yang diterangkan dalam nomor (10 dan (3).
5) Pasal 444 KUHP: Kejahatan terhadap pelayaran.
“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan pasal 438-441 mengakibatkan
seseorang yang dikapal diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka
nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta
melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
20 tahun.
6) dan 7) Pasal 479 (K) ayat 2 KUHP dan pasal 479 (0) ayat 2 KUHP:
Kejahatan penerbangan dan prasarana. “Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20
tahun”.
8) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999: Korupsi atau merugikan
Negara dalam keadaan tertentu. “Tindakan korupsi untuk memperkaya orang
lain atau orang lain diancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan
maksimal 20 tahun ditambah denda minimal 200 jutu atau maksimal satu
milyar”.
9) Pasal 80-82 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang: Memproduksi,
34
mengolah, menyediakan narkotika.
Pasal 80
1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. Memproduksi, mengolah, mengkonversi, perakit, atau menyediakan
narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
2) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 2. 000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
3) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atu pidana penjara paling
singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
Pasal 81
4) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a (membawa, mengirim, mengangkut narkotika
golongan I) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
35
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).
Pasal 82
1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual
beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milia
rupiah).
2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
didahului dengan pemufakatan jahat maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara seumur 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Undang Nomor 5 tahun 1997: Menyalahgunakan obat-obatan
psikotropika secara terorganisasi.
36
1) Barang siapa:
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4
ayat (2), atau
b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal12 ayat (3), atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan membawa psikotropika
golongan I.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling
lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda sebesar
Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
11) Perpu Nomor 1 tahun 2002 Jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 2003
tentang terorisme:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat misal, dengan cara
merampas atau menghilangkan nyawa harta benda orang lain atau
37
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.
Di dalam praktek terdapat peraturan-peraturan lain bagaimana hukuman
mati itu harus dilaksanakan, yaitu:30
a) Dilaksanakan di dalam penjara;
b) Dilaksanakan oleh penuntut umum dan hakim yang bersangkutan yang
mengadili si terhukum;
c) Didampingi seorang dokter yang memastikan bahwa si terhukum benar-benar
mati;
d) Dilaksanakan oleh seorang algojo yang merupakan seorang pejabat negeri;
e) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum hukuman mati dijalankan polisi
harus diberitahukan kepada ketua terhukum oleh ketua pengadilan negeri atau
yang diwakilkan dengan dibantu oleh panitera, atau jika ketua pengadilan
negeri tidak ada di tempat maka oleh jaksa;6
f) Sejak si terhukum diberi tahu tentang hari akan dijalankannya hukuman mati,
ia harus dijaga ketat;
g) Seorang terhukum mati harus diizinkan bertemu dengan guru keagamaan
atau pendeta;
h) Persiapan-persiapan untuk menjalankan hukuman mati harus
dilakukan tanpa diketahui atau dapat terlihat oleh si terhukum;
i) Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada hari minggu, hari raya
6 Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
tth), cet. Ke-I, h. 273
38
nasional atau keagamaan.7
b. Hukuman Penjara
Di Indonesia si terhukum selalu menjalani hukuman penjara bersama-sama
dengan terhukum lainnya, sehingga hal ini semakin memberatkan si terhukum orang
yang melakukan kejahatan yang bukan dikarenakan bakat-bakat jahatnya. Akan tetapi
oleh karena mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, atau penderitaan,
kemudian melakukan kejahatan setelah pada dirinya di hinggapi pikiran-pikiran yang
melemahkan.
Oleh karena itu timbulah anggapan bahwa penjara itu justru merupakan
“kursus kejahatan” bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat, akan
tetapi perbuatannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidup.
c. Hukuman Kurungan
Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara dengan
perbedaan sebagai berikut:
Pertama: Hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan
hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.
Kedua: Hukuman penjara maksimal 15 tahun yang apabila disertai masalah
masalah tertentu dapat dinaikan menjadi 20 tahun. Sedangkan maksimum hukuman
kurungan satu tahun yang hanya dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika
ada, masalah-masalah yang memberatkan.
Ketiga: Hukuman penjara pelaksanaannya dapat dilaksanakan disemua
tempat. Sedangkan hukuman kurungan hanya dapat dilaksanakan di dalam lingkungan
daerah dimana terhukum bertempat tinggal. Jika terhukum tidak mempunyai tempat
tinggak maka dihukum di dalam di daerah dimana ia berada.
7 Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Erasco, 1989), cet. Ke-
VI, h. 168
39
d. Hukuman Denda
Hukuman denda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap harta kekayaan
terhukum.
2. Hukuman Tambahan
Sesuai dengan namanya maka pidana ini tidak dapat dijatuhkan tersendiri. Jadi
selalu dijatuhkan bersama-sama pidana pokok.8
Macam-macam hukuman tambahan sebagai berikut:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Jenis hukuman tambahan ini disebut juga erestal, maksudnya hukuman
tambahan ini dijatuhkan terhadap kehormatan atau martabat seseorang.
Adapun hak-hak yang dapat dicabut ini meliputi lapangan hukum tata Negara
dan lapangan hukum perdata. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP (1) yaitu hak-hak
yang dapat dicabut itu adalah:
1) Hak untuk memangku jabatan tertentu;
2) Hak untuk bekerja dalam angkatan perang atau alat kekuasaan lainnya;
3) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau Daerah yang diatur menurut undang-undang;
4) Hak untuk menjadi penasihat atau wali terhadap orang yang bukan anaknya
sendiri;
5) Hak untuk melakukan kekuasaan sebagai orang tua wali terhadap
anaknya sendiri;
6) Hak untuk bekerja atau mata pencaharian tertentu. Adapun jangka
waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu
8 Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum, h. 109
40
tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 KUHP yaitu antara
satu tahun dan seumur hidup.
1) Seumur hidup
Jika hukuman pokok yang dijatuhkan itu adalah hukuman mati atau hukuman
seumur hidup.
2) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih.
Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman
kurungan.
b. Penyitaan terhadap barang-barang tertentu
Hukuman tambahan ini berupa perampasan atau pembinasaan terhadap
barang-barang tertentu. Adapun barang-barang yang dapat dirampas itu adalah barang
yang bersifat:
1. Milik terhukum sendiri, misalnya kepemilikan senjata api dengan tanpa izin;
2. Barang-barang yang diperoleh terhukum dari kejahatan;
3. Barang-barang yang dipergunakan oleh terhukum untuk melakukan kejahatan
dengan sengaja.
c. Pengumuman keputusan hakim
Jika hukuman tambahan ini yaitu mengumumkan keputusan hakim agar
umum mengetahui bahwa terhukum telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila dinyatakan dengan tegas
dalam perumusan suatu delik. Pengumuman ini dilakukan oleh penuntut umum.
Biasanya dilakukan melalui pers dengan biaya pengumuman menjadi tanggungan
terhukum.
41
C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif
Tindak pidana yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman
Hindia Belanda sampai sekarang merupakan sesuatu yang dibuat oleh orang yang
menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun
matinya seseorang.
Menurut Moljatno, perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya
bertentangan dengan cara atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu
perbuatan hukum atau melawan hukum.9 Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa
perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua
keadaan konkret. Pertama, adanya jaminan yang tertentu, dan yang kedua adanya
orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.10
Ada dua macam jenis hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP
yaitu:
a. Pidana Pokok, terdiri atas:
1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.
b. Pidana Tambahan, terdiri atas:
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman keputusan hakim.11
9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Aneka Cipta, 1993), h. 2
10 Ibid., h. 54
11 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979), edisi
kelima, h. 16
42
1) Pidana Mati
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
2) Pidana Penjara
Pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu atau sementara
ditentukan minimum dan maksimum lamanya penjara berjumlah 15
tahun atau 20 tahun untuk batas yang paling akhir.12
3) Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan seringan-ringannya yang umum adalah satu hari
dan hukuman seberatnya yang umum adalah 1 tahun dan waktu 1
tahun dapat ditambah paling lama sampai dengan 1 tahun 4 bulan.
4) Hukuman Denda
Hukum denda diancam sering kali sebagai alternatif dengan hukuman
kurang terhadap hampir semua pelanggar hukum dalam buku III
KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan hukuman denda diancam
sebagai alternative dengan hukuman penjara.
5) Pencabutan beberapa hak tertentu
Hukuman ini disebut dalam KUHP pasal 35-38 Pasal 35 (1) hak-hak
terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal
yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang.
Hukum Pidana (KUHP) antara lain:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. Hak memasuki angkatan bersenjata;
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996), cet. Ke-I, h. 173
43
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
e. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu Ayat (2) hakim tidak
berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
6) Perampasan barang tertentu Perampasan harus mengenai barang-
barang diatur dalam pasal 39-42 KUHP
7) Pengumuman keputusan hakim
Pidana ini pun hanya dapat dikenakan dalam hal yang ditentukan oleh
undang-undang.
Di dalam KUHP menentukan tindak pidana penistaan agama adalah
kejahatan yang menodai suatu agama yang tercantum dalam pasal 156 a KUHP,
yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
d. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.13
13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 173
44
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada
sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat
rumusan pidana diakhiri dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal
tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga cara dalam perumusan sanksi,
yaitu:
1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga
pada ayat ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung
diikuti dengan suatu sanksi.
2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada
pasal-pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa di
ikuti secara langsung dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.
3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.14
Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat dalam UUPNPS dan
KUHP di Indonesia menjadi satu kesatuan. Sebagaimana telah diketahui,
bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila tidak ada sanksi yang
mengaturnya.
Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia maupun dalam
UUPNS, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang bersangkutan.
Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal
rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana.
Sanksi yang diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan
kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat adalah pidana penjara. Tindak
pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan pasal
14
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alumni AHM-
PTHM, 1986), h. 32.
45
156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan
sistematika KUHP, pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang
kejahatan terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan
merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi
kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan terhadap
kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena
adanya pelanggaran ketertiban umum. Penempatan Pasal 156a sebagai bagian
dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap
ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut (dalam UU No.
1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi
ketenteraman orang-orang yang beragama.
Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan
konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila
pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman orang-orang beragama dan
membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya apabila ketenteraman orang
beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu, maka orang
yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan
46
agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik
pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur
objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan
atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.
Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang
menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan
unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan.15
perkembangan delik agama dari masa ke masa. Yang akan dibahas bukan
perkembangan delik agama dalam putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi), tetapi
perkembangan dalam arti perumusannya dalam RUU KUHP Pidana. Seperti diketahui,
penyusunan naskah RUU KUHP sudah dimulai sejak tahun 1977 hingga sekarang ini. Dalam
naskah RUU KUHP sekarang, delik agama telah mengalami perluasan sehingga perlu diatur
tersendiri dalam satu bab di bawah judul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama”, yang tercantum pada Bab VII (terdiri dari 8 dan 4 ayat).
Delik agama awalnya dalam masuk dalam KUHP, dan kemudian mempengaruhi
perumusan RUU KUHP Pidana. Yang terutama ingin dilindungi dalam konsep ”delik
terhadap agama” ini adalah kesucian agama itu sendiri. Bukan melindungi kebebasan
beragama para pemeluknya (individu).16
Sebab menurut para perancangnya, agama perlu
dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan
15
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 193-194. 16
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) h 2
47
menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya.
Penjelasan RUU KUHP mengenai Penghinaan Agama di yaitu17
:
Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan
yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
III.
Sedangkan perbuatan yang menghina keagungan Tuhan (Godslastering), dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama,
rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Begitu juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan seperti menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang bermuatan penghinaan atau
penodaan terhadap agama, juga akan dikenakan pidana. Lebih lanjut lihat pasal di kutip di
bawah ini:
Pasal 344
1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu
rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar
isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum
lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka
17
Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 84
48
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan „penghasutan untuk meniadakan
keyakinan terhadap agama‟, dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 354
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apupun dengan
maksud meniadakan keyakian terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana densa
paling banyak Kategori IV.
Berkaitan dengan „tindak pidana kehidupan beragama dan sarana ibadah‟,
RUU KUHP Pidana merumuskannya dalam pasal-pasal di kutip di bawah ini:
Pasal 346
1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum
membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau
pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk
menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 347
Setiap orang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah
atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori III.
Pasal 348
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau
membakar bangunan tempat ibadah atay benda yang dipakai untuk beribadah,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Ketegoti IV.18
18
Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 86
49
Terlihat dari pemaparan di atas, bahwa perancang RUU KUHP Pidana telah
merumuskan begitu banyak tindak pidana (delik) terhadap agama maupun tindak pidana
(delik) yang berhubungan dengan agama. Meskipun beberapa tindak pidana merupakan
perumusan ulang dari KUHP yang sekarang berlaku, tetapi formulasi yang dihasilkan oleh
perancang RUU masih tetap luas. Apalagi bahasa yang digunakan bersifat subjektif, jauh dari
prinsip “lex certa”. Akibatnya, setiap orang akan dengan mudah dituduh mengejek,
menghasut, menghina dan sebagainya --yang pada gilirannya dapat berbenturan dengan
jaminan konstitusi mengenai kebebasan berpikir dan berekspresi.
50
BAB IV
PANDANGAN MAQASID SYARIAH DALAM SANKSI PIDANA PENGHINAAN
AGAMA
A. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah
Secara Lughawi (bahasa), Maqāşid al-Syarī‟ah terdiri dari dua kata, yakni
Maqāşid dan Syarī‟ah. Maqāşid adalah bentuk jama‟ dari maqsuudu yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Syari‟ah berarti secara bahasa jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan. 1
Makna Maqāşid al-Syarī‟ah menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The holly Quran,
Syari‟ah adalah segala apa yang digunakan atau ditetapkan oleh Allah swt dalam agama
untuk pengaturan hidup hamba-hambaNya2. Akhmad al-Raisuni dalam Nazhariyat al-
Maqashid „Inda al-Syatibi, dari segi bahasa Maqāşid al- Syarī‟at berarti maksud atau
tujuan disyari‟atkan hukum Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya
adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.3 Kandungan
Maqāşid al-Syarī‟ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.4
Kemaslahatan itu, melalui analisis Maqāşid al-Syarī‟ah tidak hanya dilihat dalam arti
teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat
sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan
1Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep ke
pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 178-179 2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h
61 3 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h 123
4 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h
64
51
Tuhan terhadap manusia.5 Dengan demikian Maqāşid al-Syarī‟ah dapat dimaknai dengan
“ tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan syari‟at Islam”. Yang tiada lain selain
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan manusia itu sendiri, baik
di dunia maupun di akhirat.6
Dasar dari Maqasid Syariah adalah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-
Jatsiyah, ayat 18, yang berbunyi:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak Mengetahui”. (QS. Al-Jatsiyah, ayat 18)
Dalam QS. Al-Syuraa, ayat 13 juga di tegaskan:
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-
Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
(QS. Al-Syuraa, ayat 13)
5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari’ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h 65
6 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h 233
52
Maqasid Syariah adalah suatu konsep yang menekankan tujuan penetapan hukum
islam dalam upaya memelihara kemaslahatan hidup manusia, dengan tujuan
mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan diri dari bahaya. Ibnu al-Qayyim al-
jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M) mengatakan bahwa sesungguhnya prinsip-prinsip
dan dasar pendapatan hukum islam adalah demi kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Menurutnya, hukum islam itu semuanya adil, membawa rahmat, mengandung
maslahat dan membawa hikmah. Imam al-Ghazali (450-505 H) berpendapat, bahwa
maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari memperoleh manfaat dan menolak
mudharat. Ungkapan tersebut dikategorikan sebagai kaidah yang paling luas, ruang
lingkup dan cakupannya.7
Para ulama mengemukakan, bahwa ada tiga macam tujuan syarī‟ah atau tingkatan
Maqāşid yaitu :
1. Pertama, Maqāşid al-dharuriyat, Imam Juwayniy telah mengemukakan, yang
kemudian dikembangkan oleh Al-Ghozali dan asy-Syatibi untuk memelihara al-
Umurdh-dharuriyah dalam kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada kemaslahatan pada mereka. Yaitu
semua syariat yang tercakup dalam lima hal, al-kulliyyat alkhams.8
Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurdh-dharuriyah Yaitu :
a Hifz al-din (perlindungan terhadap agama) Untuk menegakkan agama. Islam
mewajibkan iman, terutama rukun iman yang enam dan mensyariatkan hukum-hukum
yang berkaitan dengan rukun Islam yang lima.
7 Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqasid Syariah menurut Imam Al-Syahibi, h. 61-62
8 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h XV
53
b Hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa) Untuk memelihara jiwa, Islam
memerintahkan makan dan minum, memakai pakaian dan bertempat tinggal sekedar
cukup untuk memelihara dari kebinasaan. Begitu pula Islam mensyariatkan hukum
qishash, diyat, dan kifarat bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan, dan
menyiksa tubuh. Kesemuanya adalah untuk menghindarkan kemudharatan yang
mengancam jiwa.
c Hifz al-„aql (perlindungan terhadap akal) Untuk memelihara akal, Islam
mengharamkan khamar dan segala Jenis makanan dan minum yang memabukan karena
merusak akal, serta memberikan hukuman kepada peminum khamar. Islam juga
Menjamin kreatifitas berfikir dan mengeluarkan pendapat
d Hifz al-mal (perlindungan terhadap harta benda) Untuk memelihara harta, Islam
mengharamkan mencuri, menipu, menjalankan dan memakan riba, merusak harta baik
milik sendiri maupun milik orang lain. Untuk memperoleh harta disyaratkan usahausaha
yang halal, seprti bertani, berdagang, mengelola industri, dan lain sebagainya.
e Hifz al-nasl wa al-„ird (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan)
Untuk memelihara kehormatan/keturunan, Islam mensyariatkan hukuman badan (had)
bagi orang yang berzina dan orang yang menuduh orang baik-baik berbuat zina. Untuk
memelihara keturunan, Islam mensyaratkan hukum perkawinan agar manusia
berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Islam juga melarang menghina
dan melecehkan orang lain di hadapan umum Islam menjamin kehormatan manusia
dengan memberikan perhatian yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk
memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Islam juga memberikan perlindungan
54
melalui pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu domba, memata-matai,
mengumpat, dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga
perlindunganperlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan
manusia.9
2. Kedua. Maqāşid al- hajiat Untuk memenuhi dalam kehidupan manusia untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Sesuatu yang
dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan
jika tidak ada akan akan terjadi ketidak sempurnaan.
Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurul-hajiat Yaitu :
Prinsip utama dalam mewujudkan hal-hal yang hajiyat ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban dan memudahkan manusia bermuamalat
dan tukar menukar manfaat.10
Dalam bidang ibadat, Islam memberikan rukhsah dan keringanan bila
menjalankan kewajiban. Misalnya di bolehkan seseorang tidak puasa pada bulan
ramadhan, karena ia sakit atau dalam perjalanan; diperbolehkan mengqasar sholat yang
empat rakaat bagi orang yang sedang dalam perjalanan; diperbolehkan tayamum bagi
orang yang tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya, dibolehkan shalat
sambil duduk bagi orang yang tidak sanggup melaksanakannya sambil berdiri, serta
diperbolehkannya mengeluarkan pendapat atas kejadian yang menimpanya demi
kebaikan semua orang dan lain sebagainya.
9 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h 131
10 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi usul al-syari’ah II, h 8-9
55
3. Ketiga. Maqāşid al- Tahsiniyat yaitu tindakan dan sifat yang harus dijahui oleh
akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh
kepribadian yang kuat.11
Hukum-hukum untuk mewujudkan Tahsiniyat yaitu :
Hal-hal yang tahsini bagi manusia pada hakikatnya kembali kepada prinsip
memperbaiki keadaan manusia menjadi sesuatu dengan muru‟ah (hakikat diri) dan akhlak
yang mulia.
Dalam bidang ibadat misalnya, disyariatkan berhias dan berpakaian bersih serta
bagus ketika pergi ke mesjid, menjalankan amalan-amalan sunat, bersedekah, yang
kesemuanya itu untuk membiasakan manusia dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik
B. Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan
Dilihat Dari Sejarah Munlculnya Teori Maqashid Al-Syari‟ah kebanyakan karya
yang membahasnya hanya terjebak pada kajian tokoh. Kalupun dilihat secara umum teori
Maqashid al-Syari‟ah hanya terhenti pada al-Syatibi sebagai tokoh terakhirnya. Karena
itulah perjalanan Maqashid al-Syari‟ah dari konsep nilai ke pendekatan tidak tergambar
secara utuh sebagai suatu perkembangan yang berkelanjutan, karena perkembanganya
sebagai pendekatan baru menjadi gambaran yang lebih jelas pasca al-Syatibi. Ahmad al-
Raysuni menyediakan data kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan
Maqashid al-Syari‟ah sampai pada massa pasca al-Syatibi, yakni sampai pada
kemunculan Tahir Ibn-Asyur.12
11
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h 95 12
Gamal al-Banna, Ushul al-Syari‟ah (Kairo: dar al-Fikr al-Islami, 2006 ) h. 22
56
Menurut Jaser Auda yang telah dikutip dalam Bukunya Ahmad Imam Mawardi,
ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-Syatibi dalam mereformasi maqashid al-
Syari‟ah. Pertama, Pergeseran Maqashid al-syari‟ah dari kepentingan yang tidak terbatasi
dengan jelas ke poin inti dasar hukum. Maqashid al-Syari‟ah yang pada masa-masa
sebelumnya dianggap sebagai bagian yang tidak jelas dan tidak dianggap sebagai sesuatu
yang fundamental dibantah oleh al-Syatibi dengan pernyataan bahwa justru Maqashid al-
syari‟ah merupakan landasan dasar Agama, hukum dan keimanan (ushul al-din, wa
qawa‟id al-syrai‟ah wa qulliyah al-millah) kedua, pergeseran dari kebijakan atau hikmah
di balik aturan hukum, menurutnya Maqashid al-Syari‟ah itu bersifat fundamental dan
universal (Kulliyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh yang Juziyah (parsial).
Pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional. Ketiga, pergeseran
dari Dhoniyyah ke Qothiyyah. Baginya proses induktif yang digunakan dalam aplikasi
Maqashid al-Syari‟ah adalah Valid dan bersifat Qath‟I (Pasti), sebuah kesimpulan yang
menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang menentang metode
induktif.
Dari pendapat ini jelas bahwa apa yang di sampaikan oleh al-syatibi dalam rangka
mulai menggeser Maqashid al-Syari‟ah dari konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi
sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis.13
Al-Raysuni menyimpulkan bahwa sepanjang perkembangan Ushul Fiqh,
maqashid al-syari‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh sentral, yaitu
Imam al-Haramain Abu al-Ma‟ali Abd Allah al- Juwayni, Abu Ishaq al-Syatibi, dan
Muhammad al-Thahir ibn Asyur.
13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep
ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 194.
57
Ketiga tokoh besar dalam pemikiran Maqashid al-Syari‟ah ini tentu juga tidak
meninggalalkan peran tokoh-toko yang lain seperti al-Ghozzali, al- Tuffi, al-Amidi dan
lani sebagainya. Yang mempertegas dan mengawali konsepsi maqashid al-Syari‟ah,
Namun ketiga tokoh tersebut menjadi tonggak penting dan era penting di mana Maqashid
al-Syari‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran makna.
Peta sejarah perkembangan Maqashid al-Syari‟ah yang dikemukakan oleh al-
Raysuni, yang menekankan kategorisasinya pada tokoh, Muhammad Husyn dalam
disertasinya memetakanya dengan kategorisasi perkembangan pemikiranya. Menurutnya
perkembangan Maqashid al-syari‟ah dapat dibagi menjadi tiga (3) era: era pertumbuhan
(Nash‟ah al-Fiqr al-Maqashidi) dari mulai tahun 320 H sampai dengan 403 H; dan era
kemunculan (Zuhur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai tahun 478 H sampai dengan tahun 771
H; dan era perkembangan (Tathawur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai dari tahun 771 H
sampai dengan tahun 790 H. Dan dari tahun 790 sesudah berakhirnya al-Syatibi
diteruskan dengan metode Maqashid al-Syariah Tahir ibn Asyur pada tahun 1379 H
sampai dengan sekarang.
Pasca Ibn Asyur hingga saat ini, Maqashid al-Syari‟ah menapaki jalan menuju
puncak kejayaan, dengan indikator utama dijadikanya Maqashid al-Syari‟ah sebagai
rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagian besar persoalan kontemporer,
terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan sosial, politik dan
ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global) dalam upaya
merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menjadi saksi
58
semakin meningkatnya perhatian ulama dunia dan cendikiawan muslim terhadap
Maqashid al-Syariah.14
C. Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah
Dalam pembahasan ini mungkinkah pelaku penghinaan agama dapat disamakan
hukumannya dengan orang yang murtad, karena adanya unsur kesengajaan (berniat)
melawan hukum Islam. Jika dilihat secara seksama, seandainya seseorang telah secara
nyata mengakui dari pernyataan-pernyataan, tulisan-tulisan, yang telah diedarkan
diberbagai media elektronik (khalayak ramai atau sembunyi-sembunyi) bahwa ia telah
menerima wahyu dari tuhan dan mengaku sebagai nabi atau mengakui dirinya adalah
jelmaan Jibril atau melanggar dasar akidah Islam, serta tidak mengakui hukum-hukum
syariat seperti akan kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya maka ia telah dianggap
menyelewengkan agama.
Karena unsur yang dianggap adalah unsur yang dapat membuat seseorang
dianggap telah murtad karena melakukannya, maka dengan demikian hukuman yang
berlaku adalah hukuman murtad. Para ulama berbeda pendapat, hukuman mati dalam
hukum Islam termasuk dalam hukuman hudud. Apa akibat dari kemurtadan itu?.
Bagaimana jika ia insyaf dan kembali masuk Islam?Amalnya tidak dihapus dan taubatnya
diterima Allah SWT (itu pendapat ulama mazhab Syafi‟i). Ulama mazhab Maliki dan
Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang murtad kemudian insyaf, maka amalan apa saja
yang pernah dilakukan batal, terhapus dan sia-sia. Abu Hanifah berpendapat bahwa
hukuman mati tidak diberlakukan bagi seorang murtad wanita, tetapi ia harus dipaksa
kembali kepada Islam, pendapat ini menyamakan dengan kafir harbi. Paksaan ini dengan
14 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep
ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 198-199.
59
cara menahan dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk
kembali ke agama Islam.15
Begitu juga Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Ali Mustofa Yakub
memfatwakan bahwa jika seseorang itu mau bertaubat maka berarti ia kembali kedalam
Islam, ttetapi jika ia tidak mau maka hukumannya murtad dan hukum bagi murtad adalah
hukuman mati.16
Sedangkan mazhab yang lain berbeda pendapat dengan imam Abu Hanifah,
mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki atau perempuan
yang murtad itu dihukum mati.17
Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa
memang tidak mengikat, statusnya sama dengan ijtihad individual, ia hanya mengikat
bagi yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada
dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum
pada umumnya.
Sedangkan persoalan eksekusi menurut Didin Hafiduddin, yang mengikuti sidang
komisi fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa . Misalnya mereka yang berstatus nurtad
dan sesat mau diapakan? Di usir atau di bubarkan?. Keputusan fatwa itu tidak
eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan. Peran-peran fatwa adalah memberikan
pendapat hukum, eksekusi ditangan pemerintah.18
Jika memang Al-Qur‟an bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku
penistaan agama, dan beberapa hadis yang digunakan sebagai dasar pidananya riddah
adalah shahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di
15
Alaudin Al-Kasani, Bad‟I As-Sana‟I fi tarbisy Syara‟I, jilid VII, h. 135 16
Ali Mustofa Yakub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 26 17
Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni „alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th), jilid 1, h.
74 18
Dawan Rahardjo, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus 2005, no. 38
60
Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nas al-Qur‟an dan
Hadisnya. Sebagai contoh Umar bin Khatab sahabat Nabi yang menjadi Khalifah Nabi
yang kedua pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas al-
Qur‟an dan Hadis telah menyebutkan secara jelas, diantaranya mengenai tanah rampasan
perang, dera bagi minuman keras, hukuman bagi pencuri.
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian hukum syara' terhadap larangan
lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperitah oleh Allah SWT, yaitu
menjauhi segala ancaman yang dapat merusak akidah kita sehinga menimbulkan
perpecahan antara umat Islam sendiri.19
Dari penjelasan diatas bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku
penghinaan agama itu pada dasarnya disamakan dengan hukuman murtad, hukumannya
adalah hukuman mati. Jadi sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penghinaan
agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang
murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak
mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau
menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).
Kejahatan atau tindak pidana dalam islam merupakan larangan-larangan syariat
yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fiqh telah mendefinisikan
jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan
ancaman hukuman hadd atau ta‟zir, sedangkan jinayah yaitu hasil perbuatan seseorang
yang dibataskan pada perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang merugikan jiwa dan harta
dll.
19
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.39
61
Larangan-larangan hukum artinya melakukan perbuatan hukum yang dilarang
atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan. Hukum dalam sitem hukum apapun
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak terkecuali hukum islam.
Tujuan hukum islam sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah
mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan hidup yang hakiki bagi manusia, baik secara
individual maupun sosial. Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan
pemahaman ulama‟ saat itu atas dasar nash yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun
hadits untuk mengatur kehidupan manusia.20
Prinsip ini menjadi rujukan dalam penetapan dan penerapan hukum islam dalam
menangani kasus aliran sesat dan penghinaan agama. Menurut Abdul Wahab Khallaf
dalam Ilmu Ushul al- Fiqh-nya menjelaskan bahwa produk hukum apa pun dalam islam
harus mempertimbangkan unsur maslahat yang tercakup dalam al-dharuriyat alkhamsah
yang terdiri dari hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-„aql (menjaga akal), hifdz al-din