0 DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Komisi Ekonomi PPI Dunia, PPI Brief No. 2 / 2020 Penulis: Putra Hutama, Denny Irawan, Chairul Adi, Hadi Prasojo, Perwira Yodanto Editor: Muhammad Putra Hutama
0
DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL
TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Komisi Ekonomi PPI Dunia, PPI Brief No. 2 / 2020
Penulis: Putra Hutama, Denny Irawan, Chairul Adi, Hadi Prasojo, Perwira Yodanto
Editor: Muhammad Putra Hutama
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dalam seri kajian ini, kami menyajikan gambaran umum tentang ketidakpastian global serta
dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Secara harfiah, ketidakpastian global (global
uncertainty) dapat dimaknai sebagai suatu kondisi yang serba tidak pasti (uncertain) yang
memiliki implikasi secara global. Uncertainty umumnya melibatkan elemen kejut (surprise)
yang tidak dapat diprediksi eksistensi maupun implikasinya. Beberapa contoh ketidakpastian
dalam 20 tahun terakhir seperti Perang Iraq, penyebaran Virus SARS, subprime mortgage,
Brexit, Perang dagang AS-Tiongkok, dan penyebaran Virus Korona (COVID-19).
Kajian ini terdiri dari lima tulisan pendek yang berfokus pada lima topik. Pada tiga tulisan
pertama, kami akan membahas dampak dari ketidakpastian global terhadap perekonomian
Indonesia, ketahanan fiskal, dan neraca perdagangan. Dua tulisan berikutnya akan membahas
kondisi daya beli dan penyerapan tenaga kerja serta ketahanan energi Indonesia. Secara umum,
Indonesia mendapatkan dampak negatif dari ketidakpastian global yaitu dapat dilihat dengan
melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan
serta apresiasi atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi resiko
ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia.
Pada tulisan pertama, kami menyajikan pola perkembangan ketidakpastian global serta
transmisinya terhadap perekonomian Indonesia. Secara umum, ketidakpastian ekonomi dan
geopolitik global cenderung memiliki tren peningkatan pada 2-3 tahun terakhir meskipun
kondisi geopolitik domestik Indonesia cenderung lebih stabil bila dibandingkan risiko
geopolitik global. Lebih lanjut, pergerakan nilai tukar Rupiah sangat ditentukan faktor-faktor
global seperti harga komoditas dan ketidakpastian ekonomi serta dinamika pasar modal
domestik lebih dipengaruhi faktor-faktor domestik dan tidak secara langsung dipengaruhi
faktor global.
Kedua, kami akan membahas dampak ketidakpastian global terhadap stabilitas fiskal seperti
defisit fiskal, kinerja perpajakan, utang pemerintah, dan implementasi program-program
strategis. Secara umum penerimaan pajak pada tahun 2019 mengalami penurunan pertumbuhan
dengan kata lain secara nominal defisit anggaran mengalami kenaikan.
2
Ketiga, kami akan meyajikan gambaran performa perdagangan Indonesia di era ketidakpastian
global. Secara umum, Indonesia menderita defisit neraca perdagangan akibat dampak dari
perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Langkah konkret yang bisa diambil oleh
pemerintah adalah menambah jangkauan ekspor Indonesia melalui diplomasi ekonomi. Lebih
lanjut, kami akan menyajikan perkembangan perundingan IEU-CEPA serta produk potensial
untuk ekspor ke Uni-Eropa.
Keempat, kami akan menyajikan gambaran daya beli masyarakat dan serapan tenaga kerja.
Secara umum pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 16 jilid paket kebijakan ekonomi
sebagai respon untuk mengurangi resiko ketidakpastian global.
Kelima, kami akan membahas volatilitas komoditas minyak bumi bagi perekonomian Indonesia.
Secara historis harga minyak global mengalami fluktuasi yang cukup ekstrem dengan berbagai
faktornya yang berdampak terhadap ketahanan energi dalam negeri karena Indonesia sangat
bergantung terhadap impor. Beberapa upaya yang perlu diambil oleh pemerintah diantaranya:
(i) Memenuhi target lifting
(ii) Peningkatan infrastruktur pengolahan dan penyimpanan
(iii) Hedging dengan kontrak berjangka;
(iv) Mekanisme stabilitas harga
(v) Konservasi dan diversifikasi energi.
3
Ketidakpastian Global dan Transmisinya terhadap
Perkonomian Indonesia
Denny Irawan
Pendahuluan
Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa siklus krisis yang normalnya terjadi setiap 1
dekade tidak terwujud pada tahun 2018 lalu. Banyak pula yang memprediksi bahwa akan terjadi
pergeseran ke tahun berikutnya, yaitu 2019, yang nyatanya juga tidak terjadi.
Beberapa analis telah memberikan argumennya untuk berusaha menjelaskan fenomena ini.
Salah satu argumen yang paling populer dan bernuansa skeptis adalah bahwa perekonomian
dunia tumbuh lebih lambat dari dekade-dekade sebelumnya. Dengan kata lain, gelembung
(bubble) perekonomian dunia belum cukup besar untuk pada akhirnya meletus. Sehingga bisa
jadi terhindarnya ekonomi dunia dari krisis di tahun 2018/2019 hanyalah sekedar fenomena
tertundanya letusan gelembung perekonomian global.
Argumen lainnya bernuansa lebih optimis. Pertumbuhan perekonomian dunia yang lebih
lambat dari dekade-dekade yang lalu memang terjadi, namun diyakini bahwa hal tersebut
karena para regulator dalam perekonomian (moneter, fiscal, dan lainnya) berhasil menerapkan
kebijakan yang lebih baik. Stabilitas menjadi fokus utama dan buah keberhasilannya adalah
perekonomian yang terbukti lebih tahan terhadap guncangan.
Perkembangan ketidakpastian global
Gambar 1 menampilkan pola perkembangan ketidakpastian global yang ditunjukkan oleh indeks
Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Indeks ini merupakan suatu
ukuran ketidakpatian kebijakan ekonomi global yang berbasis metode word scrapping terhadap
media-media massa berpengaruh di dunia. Indeks ini dikeluarkan secara bulanan. Apabila kita
lihat pada polanya, indeks ini menunjukan tren kenaikan selama beberapa tahun terakhir,
meskipun sangat berfluktuatif setiap bulannya. Satu hal yang disayangkan adalah GEPU untuk
tingkat nasional Indonesia tidak tersedia.
4
Sementara itu, Gambar 2 menampilkan indeks Geopolitical Risk (GPR) baik di tingkat global
(GPR_GLOB) maupun untuk nasional Indonesia (GPR_IND). Indeks ini diperbarui setiap
bulan dan bersumber dari Caldara dan Iacoviello (2019). Sama seperti GEPU, indeks GPR juga
didasarkan pada metode word scrapping berdasarkan media massa di masing-masing region
maupun global. Yang membedakan adalah GPR berfokus pada risiko-risiko geopolitik,
sedangkan GEPU berfokus pada ketidakpastian kebijakan ekonomi. Meskipun demikian, dapat
kita lihat terdapat pola yang menyerupai antara GEPU dan GPR_GLOB, dimana terdapat tren
kenaikan ketidakpastian secara global pada tahun- tahun terakhir. Hal menarik lainnya adalah
GPR tersedia untuk tingkat nasional Indonesia. Apabila kita lihat pada Gambar 2, tingkat
GPR_IND memiliki pola yang cenderung datar bila dibandingkan dengan GPR_GLOB,
sehingga secara umum terjadi divergensi tren. Secara intuitif, hal ini menunjukkan bahwa risiko
geopolitik domestik di Indonesia lebih stabil dibandingkan yang terjadi di tingkat global. Hal
ini dirasa wajar, mengingat berbagai eskalasi tensi geopolitik internasional seperti perseteruan
di Timur Tengah secara umum tidak memiliki dampak terhadap stabilitas domestik Indonesia.
Gambar 1. Global Economic Policy Uncertainty (GEPU)
Sumber: Davis (2016)
5
Gambar 2. Global and Indonesia Geopolitical Risk (GPR)
Sumber: Caldara dan Iacoviello (2019)
Sementara itu, terlihat bahwa pergerakan harga komoditas global mulai bergerak pulih setelah
sempat terjatuh dan mencapai titik terendahnya di tahun 2015. Hal ini dapat dilihat dari indeks
komoditas IMF sebagaimana dijabarkan oleh Gambar 3. Sebagaimana sudah diketahui secara
umum, perekonomian Indonesia sebagai net-importir BBM seringkali memiliki efek ganda
terhadap fluktuasi harga komoditas. Untuk beberapa komoditas unggulan seperti sawit dan
batubara, kenaikan positif harga komoditas secara umum akan berdampak positif. Sebaliknya,
Indonesia seringkali merasakan dampak negatif dari pola kenaikan harga komoditas karena ini
bermakna naiknya nilai impor BBM yang harus ditanggung Indonesia.
6
Gambar 3. IMF Commodity Index (COMM)
Sumber: IMF Commodity
Gambar 4 dan 5 masing-masing menjabarkan dua variabel makroekonomi, yaitu nilai tukar
USD terhadap Rupiah (EX_RATE) dan Indeks Harga Saham Gabungan (JKSE) milik Bursa
Efek Indonesia (BEI). Dalam satu tahun terakhir, Rupiah mulai mengalami penguatan terhadap
US Dollar. Sementara itu, IHSG juga secara bertahap mengalami penguatan, meskipun sempat
melemah dalam beberapa bulan terakhir.
Gambar 4. Nilai Tukar Rupiah terhadap USD (EX_RATE)
Sumber: Bank Indonesia
7
Gambar 5. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Sumber: Yahoo Finance
Transmisi ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia
Dalam studi ini, penulis mencoba melakukan pemodelan sederhana untuk melihat pola
transmisi shock global terhadap perekonomian Indonesia. Untuk tujuan ini, digunakan
pendekatan Vector Autoregressive (VAR)2. Pendekatan ini dikenal sangat baik untuk
melakukan analisis antara variabel makroekonomi, termasuk dalam pemodelan transmisi shock
makroekonomi. Terdapat beberapa hal utama yang membuat model VAR dinilai lebih baik
dibandingkan regresi linear standar untuk tujuan ini. Salah satu yang utama adalah
kemampuannya melakukan isolasi shock sehingga pemodelan terhindar dari permasalahan
reverse causality, yang sangat lumrah terjadi pada variabel-variabel makroekonomi.
Terdapat enam variabel yang diikutsertakan, yang terbagi kedalam kedua kelompok.
Kelompok pertama yaitu variabel ketidakpastian global. Dalam kelompok ini terdapat tiga
variabel. Pertama, Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Kedua,
Geopolitical Risk Global (GPR_GLOB) dari Caldara dan Iacoviello (2018). Ketiga, yaitu
indeks harga komoditas global (COMM) dari IMF. Sementara untuk tingkat domestik
Indonesia, terdapat tiga variabel, yaitu Geopolitical Risk Indonesia (GPR_IND), nilai tukar
Rupiah terhadap USD (EX_RATE), dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
8
Periode analisis mencakup dari Januari 2010 hingga Januari 2020, dengan frekuensi data
bulanan. Seluruh variabel ditransformasikan ke dalam logaritma. Analisis menggunakan lag 6
bulan. Serta, dilakukan dekomposisi pada error term hasil estimasi VAR menggunakan
Dekomposisi Cholesky. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi shock dari masing-masing variabel
terhadap variabel lainnya, sehingga menghindari analisis yang bersifat spurious. Dekomposisi
Cholesky yang diterapkan memiliki urutan sebagai berikut: 𝑓 = (𝐺𝐸𝑃𝑈 → 𝐺𝑃𝑅_𝐺𝐿𝑂𝐵 → 𝐶𝑂𝑀𝑀 →
𝐺𝑃𝑅_𝐼𝑁𝐷 → 𝐸𝑋_𝑅𝐴𝑇𝐸 → 𝐽𝐾𝑆𝐸). Variabel EX_RATE dalam analisis ini diposisikan dimana
kenaikan EX_RATE bermakna apresiasi Rupiah, untuk mempermudah analisis.
Hasil dari estimasi model VAR yang dilakukan disajikan dalam Gambar 6 dan Tabel 1. Pada
Gambar 6, ditampilkan respons dari masing-masing variabel domestic (GPR_IND, EX_RATE,
JKSE) terhadap shock keenam variabel dalam estimasi. Grafik respons ini dikenal sebagai
Impulse Response Function (IRF). Hasil estimasi IRF yang didapatkan menunjukkan error band
yang cukup besar. Hal ini membuat analisis berdasarkan IRF tersebut hanya bisa digunakan
sebagai suatu analisis yang bersifat indikatif semata. Hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa geopolitical risk Indonesia (GPR_IND) merespon secara positif terhadap shock
geopolitical risk global (GPR_GLOB).
2Sebagian analisis pada tulisan ini didasarkan pada pemodelan sederhana menggunakan Vector Autoregression
(VAR) standar. Penulis memastikan bahwa seluruh prosedur yang dilakukan telah memenuhi kaidah standar
estimasi VAR. Meskipun demikian, melihat dari hasil estimasi Impulse Response Function (IRF) dengan error band
yang cukup besar, maka hasil pemodelan ini hanya bisa digunakan sebagai suatu analisis indikatif. Analisis ini
merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan PPI Dunia secara resmi. Penulis
maupun PPI Dunia tidak bertanggungjawab atas kerugian-kerugian yang dapat timbul akibat pengambilan
keputusan yand didasarkan pada analisis ini.
9
Gambar 6. Response Variabel Lokal Terhadap Shock Global dan Lokal
Sumber: Estimasi Penulis
10
Sementara itu, nilai tukar (EX_RATE) tampak merespons secara positif (apresiasi) terhadap
shock GEPU dan COMM. Secara intuitif, hal ini menunjukkan ketidakpastian global direspon
secara positif dengan penguatan Rupiah. Sekilas, hal ini memberikan intuisi yang bertolak
belakang dengan pandangan umum bahwa ketidakpastian global akan berdampak buruk bagi
Indonesia. Meskipun demikian, bila kita melihat GPR_IND bergerak lebih stabil dari
GPR_GLOB, maka bisa diartikan bahwa Indonesia termasuk negara yang secara umum lebih
stabil bila dibandingkan dengan kondisi global. Sehingga wajar apabila terdapat peningkatan
ketidakpastian di level global justru bisa berdampak positif bagi beberapa indikator domestik.
Sementara itu, respon apresiatif EX_RATE terhadap peningkatan COMM bisa dimaknai
sebagai peningkatan kepercayaan terhadap performa ekspor Indonesia. Hal ini mengingat
bahwa sekitar 35% ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas.3
Terakhir, variabel JKSE tampak secara signifikan merespon positif apresiasi Rupiah
(EX_RATE). Hal ini dapat dikatakan sesuai ekspektasi. Pertama, apresiasi Rupiah dapat
dimaknai secara positif sebagai peningkatan kepercayaan terhadap performa perekonomian
domestik. Kedua, salah satu penyebab utama apresiasi Rupiah diantaranya adalah masuknya
arus uang asing ke pasar modal dalam negeri, sehingga tentu akan sangat wajar bila kenaikan
JKSE diiringi dengan penguatan Rupiah.
Tabel 1. Dekomposisi Varians Hasil Estimasi VAR (Dalam %)
Variabel
Dependen
Kontribusi Shock Masing-Masing Variabel
Total GEPU GPR_GLOB COMM GPR_IND EX_RATE JKSE
GPR_IND 6.72 11.23 4.97 65.54 5.55 5.98 100
EX_RATE 17.33 0.62 17.77 6.23 24.63 33.41 100
JKSE 3.09 4.36 8.08 13.40 12.51 58.56 100
Sumber: Estimasi Penulis
Fitur menarik lainnya dari estimasi VAR adalah dekomposisi varians (variance
decomposition), sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dekomposisi ini menjabarkan secara
proporsional dinamika suatu variabel sebagaimana dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya
dalam estimasi. Sebagai contoh, tampak bahwa pergerakan GPR_IND dijelaskan sebesar
65.54% oleh dirinya sendiri, 11.23% oleh GPR_GLOB, dan 6.72% oleh GEPU. Hal ini
11
menunjukkan bahwa selain oleh dirinya sendiri, GPR_IND bisa dijelaskan oleh GPR_GLOB
dan GEPU.
Untuk EX_RATE, tampak terdapat tiga faktor dominan yang menjelaskan pergerakannya di luar
dirinya sendiri, yaitu JKSE (33.41%), COMM (17.77%), dan GEPU (17.33%). Hal ini
memperkuat pemahaman umum bahwa nilai tukar Rupiah memang memiliki korelasi positif
terhadap pergerakan harga saham domestik, serta dipengaruhi faktor harga komoditas dan
ketidakpastian perekonomian global.
Terakhir, JKSE tampak cukup dominan dipengaruhi dua faktor domestik selain dirinya sendiri,
yaitu GPR_IND (13.40%) dan EX_RATE (12.51%). Sementara faktor-faktor global hanya
berkontribusi cukup kecil. Hal ini menunjukkan kondisi pasar modal domestik lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor- faktor domestik dan hanya dipengaruhi faktor-faktor global secara
tidak langsung.
Sebuah Kejutan di Awal Tahun 2020: Wabah Coronavirus (COVID-19)
Pada penghujung 2019, dunia masih befokus pada analisis seputar faktor-faktor ekonomi
sebagai sumber ketidakpastian global. Tidak ada yang menyangka bahwa akan terjadi suatu
disrupsi signifikan akibat kemunculan varian baru Coronavirus, yaiu COVID-19. Kalaupun ada
yang memprediksi faktor non-ekonomi sebagai sumber ketidakpastian, umumnya akan
mengarah pada faktor terkait perubahan iklim.
Berbeda dengan faktor-faktor ekonomi dan perubahan iklim yang keberadaannya sudah lebih
dulu diketahui dan pergerakannya dapat dipekirakan, pandemi COVID-19 masih menyisakan
banyak misteri. Banyak hal yang belum dipahami terhadap varian baru keluarga virus Korona
tersebut. Dari sudut pandang kemanusiaan, tentu tidak elok untuk memberikan suatu prioritas
tertentu atas menyebarnya suatu pandemi kesehatan baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa
kemunculan pandemi yang terjadi di perekonomian kedua terbesar dunia (Tiongkok) tentu
memunculkan kewaspadaan bagi banyak pihak. Hingga tanggal 22 Februari 2020, terhitung
sudah terdeteksi 78 ribu kasus di lebih dari 30 negara, dengan angka kematian menyentuh lebih
dari 2,300.4 Kabar baiknya adalah terdapat 21 ribu lebih pengidap yang telah dinyatakan
sembuh.
12
Secara ekonomi, dampaknya mulai terasa. Berbagai analisis telah memprediksi bahwa
kemunculan isu kesehatan global ini akan semakin mempercepat perlambatan perekonomian
global. Dampak paling dekat dan serius adalah menurunnya secara drastis berbagai kegiatan
ekonomi yang memerlukan mobilitas orang, seperti pariwisata dan penerbangan. Hal ini
mengingat banyak negara yang segera menerapkan larangan bepergian ke dan dari Tiongkok.
Dalam konteks Indonesia, tidak terdapat kasus positif Coronavirus sejauh ini. Hal ini tentu
memunculkan tanya dan kecurigaan. Pemerintah pun sudah berusaha membuka diri sebaik
mungkin untuk menghalau kecurigaan-kecurigaan tersebut. Terkait dengan transparansi ini,
pemerintah perlu diapresiasi. Meskipun demikian, fakta bahwa banyak persoalan terhadap
ketahanan kesehatan di dalam negeri tentu memerlukan perhatian dan usaha yang lebih serius.
Secara ekonomi, beberapa sektor di Indonesia mulai merasakan dampaknya. Pemerintah
berusaha tanggap dengan mempersiapkan berbagai insentif untuk menghalau dampak negatif
terhadap perekonomian terus meluas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa insentif
yang diberikan harus tepat sasaran. Sehingga dapat memberikan dampak yang efektif tanpa
meyisakan persoalan di jangka panjang. Disiplin fiskal pun perlu tetap dijaga, mengingat
prestasi jangka panjang yang telah diraih Kementerian Keuangan tidak elok jika harus runtuh
dalam sesaat. Akhir kata, semoga perlambatan yang terjadi dapat termitigasi dengan baik dan
optimisme pembangunan tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Caldara, D. and Iacoviello, M. (2018). Measuring Geopolitical Risk. International Finance
Discussion Paper, 2018(1222):1–66.
Davis, S. J. (2016). An Index of Global Economic Policy Uncertainty. NBER Working Paper,
(October):1– 12.
13
Global Uncertainty dan Dampaknya terhadap Ketahanan
Fiskal
Chairul Adi
Dampak Ketidakpastian Global terhadap perekonomian dan ketahanan fiskal
Ketidakpastian global berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Peningkatan macroeconomic uncertainty sejak kuartal terakhir 2018 berimbas pada
melambatnya pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama 2019 sebagaimana terlihat
pada grafik di bawah ini.
Grafik 1: Laju pertumbuhan PDB triwulanan year-on-year (diolah dari BPS)
Grafik selanjutnya menampilkan struktur PDB dan memberikan gambaran yang lebih detil
mengenai elemen mana yang paling terdampak. Dari grafik tersebut terlihat jelas bahwa kinerja
ekspor mengalami tekanan akibat ketidakpastian global. Pertumbuhan ekspor mulai melambat
pada kuartal keempat 2018. Bahkan, hampir sepanjang tahun 2019 pertumbuhannya negatif,
kecuali pada kuartal ketiga yang tumbuh tipis sebesar 0,1%. Jika dilihat lebih detil lagi, ekspor
migas mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan ekspor non-migas maupun jasa.
Sepanjang tahun 2019, ekspor migas Indonesia terus mengalami penyusutan, berturut-turut
sebesar -7,82% pada kuartal pertama, -31,95% pada kuartal kedua, -9,01% pada kuartal ketiga,
dan -21,50% pada kuartal terakhir.
14
Grafik 2: Laju pertumbuhan PDB berdasarkan penggunaan (diolah dari BPS)
Tingginya ketidakpastian global telah memicu sentimen proteksionisme di beberapa negara
yang berdampak pada menurunnya transaksi perdagangan internasional. Akibatnya,
permintaan global mengalami kontraksi sebagaimana tercermin dari indeks Global PMI
(Purchasing Managers’ Index) yang terus menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2019.
Melambatnya permintaan global berimbas pada tertekannya harga komoditas global. Harga
minyak mentah, misalnya, turun lebih dari 10% sepanjang tahun 2019 yang tentu saja
berdampak pada kinerja ekspor migas Indonesia. Perlambatan ekonomi juga membawa
dampak bagi kinerja fiskal pemerintah, khususnya penerimaan pajak.
Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan pada tahun 2019 hanya
tumbuh sebesar 1,7%, merupakan yang terendah setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Grafik 3: Kinerja penerimaan perpajakan (sumber: Kementerian Keuangan, diolah)
Jika dirinci lebih lanjut berdasarkan sektor sebagaimana tersaji pada Tabel 1, terlihat bahwa
sektor pertambangan mengalami kontraksi terbesar, yaitu 19% pada tahun 2019. Hal ini cukup
kontras dengan kondisi tahun 2018 yang justru mencatatkan pertumbuhan tertinggi, yaitu
mencapai 50,7%. Sektor lain yang juga mengalami penurunan adalah industri manufaktur yang
turun sebesar 1,8%. Sementara itu jika dilihat dari jenis pajaknya, PPh migas mengalami
penurunan sebesar 8,7%. Data tersebut mengonfirmasi penjelasan sebelumnya mengenai
dampak ketidakpastian global terhadap harga komoditas global, khususnya minyak dan gas.
Masih dari sisi jenis pajak, PPh Badan juga tercatat mengalami perlambatan, yaitu hanya
tumbuh sebesar 1,07% dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan dampak pelambatan
ekonomi global terhadap sektor produksi di dalam negeri.
Sektor Realisasi 2019 (Rp T) ∆% 2018-2019 ∆% 2017-2018
Industri pengolahan 365,39 (1,8) 10,9
Perdagangan 246,85 2,9 20,5
Jasa keuangan dan asuransi 175,98 7,7 11,5
Konstruksi dan real estat 89,65 3,3 6,0
Pertambangan 66,12 (19,0) 50,7
Transportasi dan
pergudangan
50,33 18,7 14,4
Tabel 1: Realisasi pajak tahun 2019 berdasarkan sektor (sumber: Kementerian Keuangan)
Melesetnya target penerimaan pajak berdampak pada melebarnya defisit fiskal tahun 2019 ke
level 2,2%, atau sekitar Rp353 triliun. Meskipun masih dalam batas aman (di bawah 3% dari
PDB), defisit anggaran mengalami kenaikan dari tahun lalu yang tercatat sebesar 1,82% atau
sekitar Rp269 triliun. Dengan kata lain, secara nominal defisit anggaran naik sekitar 31% dari
tahun lalu, atau setara Rp83,61 triliun. Dengan tingginya short fall penerimaan pajak,
konsekuensinya pemerintah harus menambah utang untuk menambal defisit anggaran. Selama
tahun 2019, pemerintah tercatat telah menerbitkan SBN sebanyak Rp903,36 triliun dan
pinjaman sebesar Rp74,22 triliun. Dengan demikian sampai dengan akhir tahun 2019 total
utang pemerintah mencapai Rp4.779,28 triliun, yang terdiri dari Rp4.014,81 triliun SBN dan
Rp763,79 triliun pinjaman. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah tersebut naik sekitar Rp317,5
triliun (7,12%). Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 29,8%.
Meski utang Indonesia terus bertambah, namun hal tersebut sepertinya tidak mempengaruhi
kemampuan Indonesia untuk menarik utang. Dengan rasio utang terhadap PDB yang masih di
kisaran 30%, kepercayaan investor terhadap kapasitas fiskal pemerintah diperkirakan masih
tetap terjaga. Sejak 2017 Indonesia juga telah memperoleh predikat investment grade (BBB)
dari seluruh lembaga pemeringkat global. Bahkan pada Januari 2020, JCRA, lembaga
pemeringkat dari Jepang, telah menaikkan peringkat sovereign credit Indonesia ke level BBB+.
Hal ini mengindikasikan turunnnya risiko kredit dan meningkatnya kapasitas pengelolaan
utang pemerintah.
Selain itu, ketidakpastian global telah mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan
kebijakan moneter yang ekspansif, di antaranya dengan menurunkan suku bunga acuan.
Akibatnya, modal mengalir ke negara-negara emerging market dengan suku bunga yang lebih
kompetitif, termasuk Indonesia. Masuknya likuiditas global berdampak pada menurunnya
tingkat imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN). Sebagai gambaran, yield untuk SUN
tenor 10 Rupiah tahun turun dari 7,997% pada akhir 2018 menjadi 7,047% pada akhir tahun
2019, atau turun sekitar 12%. Beberapa lelang SBN di awal tahun 2020 juga tercatat
membukukan penawaran beli (bid) yang cukup tinggi sehingga yield dapat lebih optimal. Tren
penurunan yield tentu saja berdampak positif bagi ruang gerak fiskal karena beban bunga utang
yang harus dibayar pemerintah akan menurun.
Data-data di atas menunjukkan bahwa pemerintah diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan
dalam menerbitkan SBN sepanjang tahun 2020. Namun yang perlu diwaspadai, tingginya
global uncertainty juga membuka peluang terjadinya sudden reversal atau penarikan modal
secara tiba-tiba. Terlebih, porsi investor non-residen di pasar keuangan Indonesia terbilang
cukup tinggi. Di pasar SBN, misalnya, porsi investor asing tercatat naik dari 37,71% pada tahun
2018 menjadi 38,60% pada tahun 2019. Sayangnya, pemicu terjadinya sudden reversal bisa dari
mana saja dan sukar untuk diprediksi, termasuk situasi geopolitik dunia yang tentu saja di luar
jangkauan pemerintah Indonesia. Mitigasi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan
memperkuat basis investor domestik sehingga dapat menjadi buffer untuk meminimalisir
dampak sudden reversal terhadap stabilitas pasar.
Secara teoritis, realisasi program-program pemerintah dapat terancam akibat menurunnya
kinerja penerimaan pajak. Namun, data menunjukkan bahwa realisasi belanja pemerintah
mampu tumbuh sebesar 3% dibanding tahun lalvu meskipun penerimaan pajak hanya tumbuh
sebesar 1,7%. Hal ini mengindikasikan stance pemerintah untuk tidak melakukan penghematan
belanja meskipun penerimaan pajak kurang menggembirakan. Hal ini dapat dipahami sebagai
upaya pemerintah mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan pelambatan
ekonomi global. Namun jika dilihat lebih detil pada tabel di bawah ini, terlihat bahwa
pertumbuhan cukup besar terjadi pada pos belanja bantuan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
fokus pemerintah adalah mempertahankan daya beli, khususnya bagi masyarakat menengah ke
bawah. Sebaliknya, belanja barang dan belanja modal justru mengalami penurunan.
Belanja Realisasi 2019 (Rp T) Capaian (%) Growth (%)
Belanja pegawai 375,84 98,50 8,35
Belanja barang 333,98 96,74 (3,88)
Belanja modal 180,92 95,55 (1,74)
Pembayaran bunga utang 275,54 99,88 6,82
Subsidi 201,83 89,98 (6,94)
Belanja hibah 6,47 333,53 325,67
Tabel 2: Realisasi belanja pemerintah pusat (sumber: Kementerian Keuangan)
Belanja bantuan sosial 113,08 110,80 34,11
Belanja lain-lain 11,25 9,87 (30,39)
TOTAL 1.498,91 91,71 3,00
Antisipasi pemerintah melalui APBN 2020
Meskipun ketidakpastian global diperkirakan masih terus berlanjut di tahun 2020, beberapa
pihak memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian global tidak seburuk tahun lalu. IMF
memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sebesar 3,3% tahun ini, lebih tinggi dari estimasi
pertumbuhan tahun 2019 yang hanya sebesar 2,9%. Untuk Indonesia sendiri, pertumbuhan
ekonomi diproyeksi sebesar 5,1-5,5% (Bank Indonesia), 5,1% (IMF dan World Bank), 5,2%
(ADB), dan 4,8% (INDEF). Dalam APBN 2020, pemerintah bahkan menargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Dibandingkan proyeksi dari institusi lainnya, outlook
pemerintah tersebut terbilang cukup optimistis.
Demikian halnya dengan postur APBN 2020 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Pemerintah optimis penerimaan perpajakan tahun ini dapat tumbuh sebesar 20,73% jika
dibandingkan realisasi tahun lalu, atau tumbuh sebesar 15,60% jika dibandingkan dengan
APBN 2019. Target tersebut terbilang sangat tinggi dan sepertinya akan sulit tercapai. Tahun
lalu, dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,02%, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,7%
(Grafik 4). Artinya, 1% pertumbuhan PDB berkontribusi pada kenaikan realisasi pajak sebesar
0,3%. Jika ditarik ke belakang, elastisitas pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan
terhadap pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 2,3. Jika mengacu pada angka ini dan dengan
asumsi PDB dapat tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2020, maka penerimaan perpajakan
diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 12,19% dari realisasi tahun lalu.
Demikian halnya dengan postur APBN 2020 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Pemerintah optimis penerimaan perpajakan tahun ini dapat tumbuh sebesar 20,73% jika
dibandingkan realisasi tahun lalu, atau tumbuh sebesar 15,60% jika dibandingkan dengan
APBN 2019. Target tersebut terbilang sangat tinggi dan sepertinya akan sulit tercapai. Tahun
lalu, dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,02%, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,7%
(Grafik 4). Artinya, 1% pertumbuhan PDB berkontribusi pada kenaikan realisasi pajak sebesar
0,3%. Jika ditarik ke belakang, elastisitas pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan
terhadap pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 2,3. Jika mengacu pada angka ini dan dengan
asumsi PDB dapat tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2020, maka penerimaan perpajakan
diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 12,19% dari realisasi tahun lalu.
Pos APBN 2020 (Rp T) Realisasi 2019 (RP T) Growth (%)
Pendapatan negara 2.233,2 1.957,2 14,10
Penerimaan perpajakan 1.865,7 1.545,3 20,73
Belanja negara 2.540,4 2.310,2 9,96
Belanja pemerintah pusat 1.683,5 1.498,9 12,32
Transfer ke daerah dan dana
desa
856,9 811,3 5,62
Defisit 307,2 353,0 (12,97)
Defisit (% terhadap PDB) 1,76% 2,20% (20,00)
Tabel 3: Postur APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
Grafik 4: Pertumbuhan penerimaan perpajakan dan pertumbuhan PDB (sumber:
Kementerian Keuangan, diolah)
Dari sisi belanja, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini, anggaran pendidikan dan
kesehatan mengalami kenaikan terbesar. Sementara itu, alokasi belanja perlindungan sosial
hanya tumbuh sekitar 1%. Angka ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang naik
sekitar 7%. Pertumbuhan anggaran infrastruktur mengalami akselerasi dibanding periode
sebelumnya yang tercatat hanya tumbuh sekitar 1,4%. Dari alokasi belanja tersebut, terlihat
bahwa pemerintah tahun ini fokus pada peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan kesehatan. Langkah ini cukup strategis dalam meningkatkan daya
saing Indonesia di masa mendatang. Namun, efeknya terhadap perekonomian umumnya
belum akan terlihat dalam jangka pendek. Kenaikan belanja infrastruktur diharapkan dapat
mendorong pergerakan ekonomi dalam jangka pendek meskipun dampak yang lebih besar
umumnya juga baru akan terlihat dalam jangka panjang.
Tabel 4: Alokasi belanja APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
Untuk membiayai APBN 2020, kebutuhan pembiayaan diperkirakan mencapai Rp741,83
triliun yang akan dipenuhi sebesar Rp690,51 triliun (93,1%) dari penerbitan SBN dan sebesar
Rp51,32 triliun (6,9%) dari pinjaman. Jumlah tersebut lebih rendah dari realisasi tahun 2019.
Namun melihat target penerimaan pajak tahun 2020 yang terlalu tinggi, jumlah kebutuhan
pembiayaan pemerintah diperkirakan akan membengkak. Dengan outlook peringkat kredit
Indonesia yang cukup positif, pemerintah sepertinya tidak akan kesulitan memenuhi kebutuhan
pembiayaan tersebut.
Catatan akhir
Meningkatnya global uncertainty dalam setahun terakhir telah berdampak pada melambatnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi fiskal, dampak ketidakpastian dan pelambatan
ekonomi global terlihat jelas pada kinerja penerimaan perpajakan, khususnya di sektor
pertambangan. Untuk menjaga pertumbuhan, pemerintah berusaha mendorong belanja
khususnya untuk mempertahankan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Konsekuensinya, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak utang. Dari sisi risiko,
peningkatan jumlah utang pemerintah sejauh ini masih dalam level aman. Namun, yang perlu
diperhatikan adalah potensi terjadinya sudden reversal yang dapat membahayakan stabilitas
pasar keuangan. Perlu upaya keras untuk menciptakan buffer melalui peningkatan kapasitas
dan pendalaman pasar domestik. Perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan dibayangi
ketidakpastian global selama tahun 2020. Meski demikian, pemerintah terlihat sangat
optimistis dengan menargetkan pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 20,73% dari
realisasi tahun 2019.
Belanja APBN APBN 2020 (Rp T) Outlook 2019 (RP T) Growth (%)
Pendidikan 508,1 478,4 6,21
Kesehatan 132,2 117,0 12,99
Perlindungan sosial 372,5 369,1 0,92
Infrastruktur 423,3 399,7 5,90
Dengan kondisi global yang masih tidak menentu, target tersebut kemungkinan besar tidak
akan tercapai. Dari sisi belanja, pemerintah perlu mempertahankan alokasi belanja meskipun
target penerimaan pajak diperkirakan tidak tercapai. Hal ini penting untuk mempertahankan
momentum pertumbuhan. Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa anggaran
dialokasikan untuk pos belanja yang produktif. Alokasi belanja dimaksud bukan hanya yang
berkontribusi pada penciptaan pertumbuhan dalam jangka panjang saja namun perlu
diperhatikan juga keseimbangan untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek serta
menjaga daya beli masyarakat. Langkah tersebut tentu saja akan memperlebar defisit anggaran
dan memaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak utang. Namun dengan melihat risiko utang
pemerintah saat ini, penambahan utang diperkirakan tidak akan mengganggu kesehatan
keuangan pemerintah. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggali potensi
sumber pembiayaan yang berasal dari investor domestik yang perlu diperhatikan adalah potensi
terjadinya sudden reversal yang dapat membahayakan stabilitas pasar keuangan. Perlu upaya
keras untuk menciptakan buffer melalui peningkatan kapasitas dan pendalaman pasar domestik.
Perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan dibayangi ketidakpastian global selama
tahun 2020. Meski demikian, pemerintah terlihat sangat optimistis dengan menargetkan
pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 20,73% dari realisasi tahun 2019. Dengan
kondisi global yang masih tidak menentu, target tersebut kemungkinan besar tidak akan
tercapai. Dari sisi belanja, pemerintah perlu mempertahankan alokasi belanja meskipun target
penerimaan pajak diperkirakan tidak tercapai. Hal ini penting untuk mempertahankan
momentum pertumbuhan. Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa anggaran
dialokasikan untuk pos belanja yang produktif. Alokasi belanja dimaksud bukan hanya yang
berkontribusi pada penciptaan pertumbuhan dalam jangka panjang saja namun perlu
diperhatikan juga keseimbangan untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek serta
menjaga daya beli masyarakat. Langkah tersebut tentu saja akan memperlebar defisit anggaran
dan memaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak utang. Namun dengan melihat risiko utang
pemerintah saat ini, penambahan utang diperkirakan tidak akan mengganggu kesehatan
keuangan pemerintah. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggali potensi
sumber pembiayaan yang berasal dari investor domestik.
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS 2020, accessed 1 February 2020, [www.bps.go.id].
2. Jurado, K, Ludvigson, SC & Ng, S 2015, ‘Measuring uncertainty’, The American
Economic Review, vol. 105, no. 3, pp. 1177-1216.
3. Kementerian Keuangan 2020, accessed 1 February 2020, [www.kemenkeu.go.id].
Tantangan dan Peluang Meningkatkan Neraca Perdagangan di
Era Ketidakpastian Global
M Putra Hutama
Pada bagian ini akan kami sajikan ulasan mengenai dampak ketidakpastian global terhadap
kondisi ekspor dan impor Indonesia. Secara umum, kami akan menjabarkan latar belakang
masalah perang dagang antara dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok serta
dampak terhadap performa ekspor dan impor Indonesia. Selain itu, pada bagian ini juga kami
akan menjelaskan proses negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economics
Partnership Agreement (IEU-CEPA) sebagai salah satu solusi Indonesia untuk menciptakan
pasar baru. Meskipun sampai saat ini belum ada persetujuan IEU-CEPA, Indonesia dan EU
telah melakukan 9 kali pertemuan untuk membahas poin-poin persetujuan. Kami akan
menjabarkan alasan mengapa perjanjian ini dirasa penting bagi Indonesia dan komoditas apa
saja yang akan menjadi unggulan agar dapat dinegosiasikan untuk penurunan tariff.
Ketidakpastian global akibat perang dagang
Beberapa tahun terakhir dunia sedang dihadapkan dengan ketidakpastian. Hal ini dipicu salah
satunya oleh perang dagang antara dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar saat ini yaitu
Tiongkok dan Amerika serikat. Perang dagang ini dimulai pada tahun 2017, saat Amerika
serikat (AS) menyatakan bahwa impor solar panel dan mesin cuci dapat membahayakan
industri dalam negeri AS lalu dilanjutkan dengan menaikan tarif impor untuk produk tersebut
ditahun 2018. Aksi balasan juga dilakukan oleh Tiongkok dengan menaikan tarif produk
sorgum dari Amerika Serikat sebesar 178,6% dengan alasan anti-dumping. Perang menaikan
tarif tidak berhenti hanya untuk kedua produk tersebut, hingga tahun 2019 kedua negara
menaikan tarif produk seperti baja, besi, buah, kacang, babi, kendaraan, pesawat terbang, kapal,
kedelai, dan lain lain (Bown & Kolb, 2020). Perang dagang yang dimulai oleh Amerika Serikat
diduga kuat merupakan langkah Amerika untuk memulihakan defisit neraca dagang sebesar
796 miliar USD yang hampir setengahnya merupakan defisit dagang dengan Tiongkok (WITS,
2020). Tujuan lainnya adalah AS berniat untuk meningkatkan pendapatan dari hak Cipta,
Paten, dan Merek Dagang yang selama ini diklaim tidak didapatkan sesuai dengan porsinya.
Aksi yang dilakukan oleh kedua negara adidaya ini memicu penurunan perdagangan global
serta memberikan dampak yang lebih buruk bagi negara “emerging” seperti Indonesia. Dapat
kita lihat pada grafik dibawah, meskipun penurunan nilai perdagangan dunia sudah dimulai
sejak tahun 2015, kami berpendapat bahwa penurunan sebesar 5,8% (2014-2017) merupakan
sumbangsih dari penurunan nilai perdagangan produk-produk “perang tarif” AS-Tiongkok.
Dampak dirasakan oleh Indonesia adalah pertumbuhan impor lebih besar dari ekspor sehingga
menyebabkan defisit neraca perdagangan sebesar USD8 miliar. Hal ini merupakan defisit untuk
pertama kalinya sejak 2014 bahkan lebih besar dari defisit yang Indonesia terima ditahun 2012.
Defisit tersebut diduga kuat merupakan dampak dari perang dagang AS-Tiongkok dikarenakan
menurut data BPS impor Indonesia naik dikarenakan impor non-gas.
Perang dagang berdampak buruk bagi negara diluar AS dan Tiongkok dikarenakan terdapatnya
oversupply produk perang tarif di pasar internasional, hal ini menyembabkan penurunan harga
produk tersebut yang cukup signifikan. Penurunan harga tersebut membuat barang impor dari
Tiongkok maupun AS menjadi lebih kompetitif di negara negara berkembang termasuk
Indonesia. Data yang kami peroleh dari Trademap menyatakan produk-produk impor seperti
Mesin (HS84), Mesin Listrik (HS85) serta Baja dan Besi (HS72) mengalami kenaikan rata rata
sebesar 36,41% 2017-2018. Selain itu, Ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan
dikarenakan harga dari barang substitusi produk ekspor Indonesia mengalami penurunan harga.
Grafik 1. Perdagangan International 2012-2018 (Sumber: Perhitungan penulis berasal dari
Trademap)
250 15
200 12
8 9 10
150 5
100 -2
0 -2
50 -4 -5
0
2013 2014 2015 2016 2017
-8 -10
2018 2012
Perdagangan Global- in Triliun $
Ekpor Indonesia- miliyar $
Impor Indonesia - miliyar $
Neraca perdagangan Indonesia - miliyar $
Meningkatkan Neraca Perdaganagan Melalui IEU-CEPA (Indonesia-
European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement)
Dengan adanya ketidakpastian global yang salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian
perjanjian multirateral dibawah World Trade Organization, langkah tepat yang harus diambil
oleh setiap negara termasuk Indonesia guna meningkatkan nilai ekspor adalah mencari partner
untuk melakukan perjanjian dagang baik bilateral atau regional. Saat ini Indonesia memiliki 17
perjanjian dagang yang sedang dinegosiasikan baik bilateral maupun regional7. Perjanjian yang
menarik untuk didiskusikan adalah perjanjian dengan negara Uni-Eropa. Uni-Eropa merupakan
pasar besar dengan GDP sebesar 18.678 Triliun USD dan populasi sebanyak 513 juta orang
(World Bank , 2020). Uni-Eropa merupakan gabungan dari 27 negara yaitu Austria, Belgia,
Bulgaria, Kroasia, Ciprus, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani,
Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal,
Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia yang memiliki pasar tunggal dan bebas
perpindahan barang. Selain itu, perjanjian ini juga menarik untuk dibahas karena komitmen
Uni-Eropa untuk pelarangan Produk Sawit pada tahun 2020 yang dimana Sawit merupakan
produk unggulan dari Indonesia. Data terakhir yang didapakan dari trademap menyatakan
terjadi penurunan impor sawit oleh Eropa sebesar 69,5% 2018-2019. Melalui perjanjian ini
diharapkan Indonesia akan membuka peluang ekspor produk sawit.
Vietnam telah menyepakati perjanjian dagang oleh Uni-Eropa sejak tahun 2012. Berikut kami
menyajikan perbandingan antara Indonesia dan Vietnam ekspor produk ke Eropa baik sebelum
perjanjian maupun sesudah perjanjian. Pada tahun 2011, ekspor dan market share produk
Indonesia di Eropa lebih besar dibandingkan dengan produk Vietnam. Pada tahun 2012, Ekspor
dan market share produk Vietnam lebih besar dibanding produk Indonesia. Perlu dicatat, pada
tahun 2012, Vietnam dan Uni-Eropa telah sepakat untuk menurunkan tarif dan non-tariff
barriers. Dampak perjanjian dagang tersebut dapat dilihat sangat signifikan karena ekspor dan
market share produk Vietnam terus meningkat. Berbanding terbalik dengan Indonesia dimana
terus mengalami penurunan ekspor serta market share. Hingga pada tahun 2018, persentase
perbedaan ekspor Indonesia ke eropa dengan Vietnam ke Eropa sebesar 241% dan persentase
perbedaan market share adalah sebesar 248%.
Grafik 2. Indonesia vs Vietnam (Sumber: Trademap, perhitungan penulis)
Pada tahun 2019, Indonesia dan Uni-Eropa telah melakukan 9 kali pertemuan untuk
merampungkan perjanjian dagang tersebut. Negosiasi pertama Uni-Eropa dan Indonesia
dilakukan pada 18 Juli 2016 di Brussel. Sekitar 80% perjanjian yang dinegosiasikan akan
rampung, jika tidak meleset dari perkiraan IEU-CEPA akan disetujui tahun 2020 ini. Indonesia
akan menjadi negara ke 6 di asia tenggara yang memiliki perjanjian dagang dengan Uni-Eropa
yang sebelumnya Uni-Eropa telah memiliki perjanjian dagang dengan Singapura (2010),
Malaysia (2010), Vietnam (2012), Thailand (2013), dan Filipina (2015) (European Union,
2020). Sejauh ini Indonesia telah mengekspor produk ke beberapa negara besar Eropa seperti
Spanyol, Jerman dan Belanda dengan 5 produk unggulan yaitu Minyak Hewan dan Tumbuhan
(HS15), Alas Kaki (HS64), Produk Kimia (HS38), Mesin Listrik(HS85), dan produk karet
(HS40).
Tabel 1. Revealed Comparative Advantage Produk Indonesia 2018 (Sumber: World Integrated
Trade Solution or WITS)
Dapat kita lihat pada tabel 1, berdasarkan hasil Revealed Comperative Advantage Indonesia ke
dunia memiliki keunggulan untuk mengekspor produk makanan olahan, alas kaki, bahan bakar,
hasil tambang, textile dan baju, plastik atau karet, sayuran, dan kayu (lebih dari 1,00). Terdapat
beberapa produk unggulan Indonesia ke dunia akan tetapi tidak menjadi produk unggulan
Indonesia di Uni-Eropa seperti Bahan Bakar, Hasil Tambang, dan Sayuran. Ada beberapa
kemungkinan alasan produk unggulan Indonesia tersebut tidak menjadi produk unggulan di
Eropa. Pertama, tarif yang ditetapkan oleh Uni- Eropa kemungkinan tinggi, sehingga produk
Indonesia tersebut menjadi mahal dan tidak kompetitif. Kedua, terdapat perbedaan standar yang
ditetapkan oleh Uni-Eropa sehingga produk terebut bisa masuk ke pasar Uni-Eropa. Indonesia
sebetulnya memiliki ruang untuk meningkatkan nilai ekspor khususnya melalui produk produk
unggulan ini. Kami menyarankan Indonesia untuk bernegosiasi dengan Uni-Eropa melalui
perjanjian IEU-CEPA agar menurunkan tarif serta mempermudah masuknya produk unggulan
tersebut (Non-Tariff Barriers).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (Damuri,
Atje, & Soedjito, 2017), potensi yang dapat Indonesia hasilkan dengan IEUCEPA adalah
meningkatnya ekspor produk Indonesia sebesar 5,4% per tahun jika skema penghapusan tarif
terlaksana untuk setiap produk. Skema kedua adalah jika Indonesia gagal menyetujui perjanjian
ini sekaligus Uni-Eropa menghapus kebijakan Generalized System of Preference (GSP) maka
Indonesia akan mengalami penurunan ekspor ke Uni-Eropa sebesar 8% pertahun. Hal ini
dikarenakan produk alas kaki, tekstil, dan baju mendapatkan fasilitas tarif GSP.
DAFTAR PUSTAKA
Bown, C. P., & Kolb, M. (2020, January 24). Trump’s Trade War Timeline: An Up-to-Date Guide.
Retrieved from Peterson Institute for International Economics:
https://www.piie.com/sites/default/files/documents/trump-trade-war-
timeline.pdf
Damuri, Y. R., Atje, R., & Soedjito, A. (2017). Study on the Impact of an EU-Indonesia CEPA.
Jakarta: Center for Strategic and International Studies.
European Union. (2020, January 17). EU-Indonesia CEPA Negotiations. Retrieved from
European Union External Actions:
https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters- homepage/53277/eu-indonesia-
cepa-negotiations_zh-hans
WITS. (2020). Retrieved from US Trade Summary.
World Bank . (2020). European Union . Retrieved from The World
Bank Data: https://data.worldbank.org/region/european-union
Volatilitas Komoditas Minyak Bumi bagi Perekonomian
Indonesia
Hadi Prasojo
Peran komoditas minyak bumi pada perekonomian
Komoditas energi memiliki peranan penting dalam perekonomian karena digunakan sebagai
faktor produksi oleh industri maupun konsumsi oleh individu / rumah tangga dalam berbagai
wujud. Salah satu dari komoditas energi tersebut adalah minyak bumi, yang produk turunan /
olahan hasil pengilangan (refinery)-nya digunakan dalam berbagai hal dalam kehidupan, mulai
dari bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan hingga produk petrokimia untuk industri.
Indonesia cukup bergantung dengan komoditas minyak bumi, dapat dilihat dari salah satu
indikator yang mewakili yaitu porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer (oil share of
primary energy). Pada 2018, Indonesia mengonsumsi minyak bumi sebesar 83,4 mtoe (juta ton
ekuivalen minyak) dari total 185,5 mtoe energi yang dikonsumsi (BP, 2019), sehingga porsi
minyak bumi dalam konsumsi energi primer sebesar 44.96%. Jika dibandingkan dengan total
dunia yang sebesar 33,62 % atau total Asia-Pasifik sebesar 28,32%, tentunya nilai tersebut
cukuplah besar. Perbandingan porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer dengan negara
lainnya ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer negara (%), 2018 (Sumber: BP, 2019;
diolah)
100%
90%
80%
70%
60%
Indonesia,
44.96% 40%
30%
20%
Total Asia Pacific,
28.32%
Total World,
33.62%
10%
0%
Uzb
ekis
tan
Ukr
aine
Trin
idad
& T
ob
ago
Icel
and
Chin
a
Rus
sian
Fed
erat
ion
Kaz
akh
stan
Sou
th A
fric
a
Esto
nia
No
rway
Turk
men
ista
n
Ban
glad
esh
Cze
ch R
epub
lic
Qat
ar
Slo
vaki
a
Bul
gari
a
Swed
en
Bel
aru
s
Tota
l Asi
a P
acif
ic
Pak
ista
n
Vie
tnam
Ind
ia
Om
an Ir
an
Ven
ezu
ela
Rom
ania
Pola
nd
Turk
ey
Cana
da
Aze
rbai
jan
Fran
ce
Tota
l W
orld
Alg
eria
Ger
man
y
Col
om
bia
Arg
enti
na
Finl
and
Aus
tral
ia
Mal
aysi
a
Hu
nga
ry
Swit
zerl
and
Slo
ven
ia
Aus
tria
New
Zea
land
No
rth
Mac
edo
nia
Egyp
t
Ital
y
US
Uni
ted
Kin
gdo
m
Jap
an
Un
ited
Ara
b E
mir
ates
Taiw
an
Cro
atia
Sou
th K
orea
Mex
ico
Port
ugal
Isra
el
Latv
ia
Indo
nesi
a
Chi
le
Bra
zil
Peru
Den
mar
k
Phili
ppin
es
Spai
n
Net
herl
ands
Irel
and
Thai
land
Kuw
ait
Bel
giu
m
Lith
uan
ia
Gre
ece
Sau
di A
rab
ia
Mor
occo
Sri
Lank
a
Ecua
dor
Ch
ina
Hon
g K
ong
SAR
Iraq
Luxe
mbo
urg
Sing
apor
e
Cypr
us
40,000
30,000
20,000
10,000
40,000
30,000
20,000
10,000
Dalam proses pemenuhannya, Indonesia telah menjadi negara net oil importer semenjak tahun
2004 mengingat kebutuhan konsumsi yang terus meningkat sementara tingkat produksi yang
menurun. Sehingga diperlukan impor untuk pemenuhan kebutuhan tersebut baik berupa
minyak mentah (crude oil) maupun minyak olahan. Terus mengingkatnya volume dan nilai
impor minyak mentah maupun olahan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Pada tahun 2018, Indonesia mengimpor minyak mentah senilai US$9,2 miliar dan minyak
olahan senilai US$17,6 miliar sedangkan ekspor minyak mentah senilai US$5,2 miliar dan
minyak olahan senilai US$1,6 miliar. Produk minyak mentah dan olahan inilah yang juga turut
menyumbangkan defisit neraca perdagangan Indonesia saat ini.
Gambar 2. Volume ekspor-impor minyak Indonesia (ribu ton), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
Gambar 3. Nilai ekspor-impor minyak Indonesia (juta US$), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
160
140
120
100
80
60
40
Besarnya volume impor minyak mentah maupun olahan membuat Indonesia sangatlah
bergantung dengan harga minyak mentah di tingkat global dalam penentuan nilainya.
Pentingnya harga minyak mentah global tersebut menjadikannya salah satu indikator dalam
asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Indonesia,
selain juga disertai indikator energi lainnya yaitu lifting (tingkat produksi) minyak dan gas
bumi. Di samping itu, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) sendiri
diformulasikan dalam peraturan Keputusan Menteri ESDM berdasarkan harga keekonomian
lapangan-lapangan yang ada di Indonesia juga menyesuaikan dengan harga tingkat global
(ESDM, 2020). Mempelajari bagaimana harga minyak mentah global terbentuk penting untuk
dilakukan.
Secara historis harga minyak mentah global dalam beberapa tahun ke belakang mengalami
banyak fluktuasi. Sebagai ilustrasi ditampilkan salah satu harga minyak mentah ringan dari
kawasan North Sea yang umum dijadikan acuan global yaitu Dated Brent pada Gambar 4
Gambar 4. Harga minyak mentah global acuan Dated Brent (US$/barrel), 2000-2019
(Sumber: IndexMundi, 2020)
Beberapa faktor yang membentuk fluktuasi dan volatilitas harga minyak global tersebut adalah
sebagai berikut:
▪ Layaknya produk lainnya, harga dibentuk oleh adanya mekanisme pasar (supply dan
demand) pun termasuk dengan komoditas energi lainnya. Contohnya adalah dengan
meningkatnya supply dari mulai berproduksinya shale oil AS dan oil sand Kanada pada Q3
2014 - Q1 2015 yang membuat jatuhnya harga minyak (Dated Brent) dari 97,34 US$/barrel
pada September 2014 menjadi 55,79 US$/barrel pada Maret 2015.
▪ Kejadian krisis contohnya krisis finansial global pada Q3 2008 yang membuat
jatuhnya harga minyak dari 99,06 US$/barrel pada September 2008 menjadi 41,58
US$/barrel pada Desember 2008.
▪ Beberapa negara yang memiliki tingkat produksi minyak tinggi berperan besar dalam
penentuan harga minyak. Contohnya adalah upaya negara-negara anggota OPEC
(Organization of the Petroleum Exporting Countries) memotong produksinya hingga 4,2
juta barrel/day pada Q1 2009 yang membuat kembali meningkatnya harga minyak dari
US$41,58/barrel pada Desember 2008 menjadi US$68,62/barrel pada juni 2009. Adapun
dikarenakan turunnya pengaruh OPEC, saat ini negara-negara OPEC berkoordinasi dengan
negara-negara non-OPEC membentuk forum OPEC+ dengan harapan yang sama untuk
menstabilkan harga minyak.
▪ Kondisi geopolitik global, contohnya adalah kasus terorisme 9/11 pada Q3 2001 yang
membuat jatuhnya harga minyak dari 25,54 US$/barrel pada September 2001 menjadi 18,6
US$/barrel pada Desember 2001.
Upaya mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global
Berdasarkan beberapa kajian (Bacon & Kojima, 2008; Kojima, 2009) dan opini penulis, upaya-
upaya mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global sekaligus menjawab
tantangan energy trilemma (ketahanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan lingkungan
termasuk perubahan iklim) yang juga dapat diterapkan bagi Indonesia didiskusikan sebagai
berikut:
▪ Memenuhi target lifting serta peningkatan infrastruktur pengolahan dan
penyimpanan. Mengingat besarnya nilai impor minyak tidak hanya pada minyak mentah
namun juga minyak yang telah diolah. Upaya-upaya pemenuhan target lifting minyak mentah
domestik dilakukan melalui pembaruan sistem kontrak untuk meningkatkan investasi,
eksplorasi baru untuk peningkatan penemuan cadangan, efisiensi produksi, hingga
pelaksanaan teknik-teknik produksi tersier (enhance oil recovery dll) pada lapangan tua.
Adapun upaya peningkatan produksi minyak olahan dilakukan melalui peningkatan
infrastruktur pengolahan berupa kilang-kilang. Juga dibutuhkan infrastruktur tangki timbun
(storage) untuk meningkatkan cadangan strategis / operasional.
▪ Hedging (lindung nilai) dan mekanisme stabilisasi harga. Hedging dengan melakukan
kontrak-kontrak pembelian / impor dengan harga yang telah ditentukan untuk jangka waktu
tertentu. Mekanisme stabilisasi harga termasuk pembagian risiko antara pemerintah dengan
melalui subsidi tanpa membebani kapasitas fiskal (maupun BUMN di bidang terkait) dan
masyarakat sebagai konsumen secara langsung. Subsidi dikhususkan ditargetkan pada jenis-
jenis energi tertentu. Juga dengan disertai kompensasi baik berupa bantuan tunai maupun
jaminan sosial yang ditargetkan kepada yang membutuhkan dalam rangka menanggulangi
dampak pada kenaikan harga di masyarakat sebagai konsumen akhir. Beberapa negara
membentuk lembaga Oil / Fuel Price Stabilization Fund untuk mendukung stabilisasi harga
ini.
▪ Konservasi dan diversifikasi energi. Konservasi energi dengan melakukan efisiensi dari
hulu hingga hilir penggunaan berbagai jenis energi. Diversifikasi energi dengan
mengoptimalisasi penggunaan potensi energi lokal setempat terutama energi baru terbarukan
diantaranya panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, dll. Pembahasan komoditas
energi memang tidaklah bisa untuk dibahas dengan satu jenis komoditas energi saja,
mengingat adanya kemungkinan substitusi maupun pencampuran jenis energi yang tentunya
tetap tidaklah mudah dengan membutuhkan penyesuaian teknologi. Pun tentunya juga
penting untuk mengelola resiko volatilitas komoditas-komoditas energi lainnya diantaranya
batu bara, gas bumi, bahan bakar nabati (BBN) / biofuel dari minyak kelapa sawit (CPO),
dll yang harganya juga mengalami fluktuasi. Upaya-upaya tersebut telah terus dilakukan oleh
pemerintah, namun tetap dibutuhkan kecepatan inovasi untuk menjawab kecepatan
tantangan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, R., & Kojima, M. 2008. Coping with Oil Price Volatility. ESMAP Special Report 005/08.
Washington, DC: World Bank.
https://esmap.org/sites/default/files/esmap-
files/8142008101202_coping_oil_price.pdf
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Nilai Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1004/nilai-ekspor-dan-impor-migas-juta-
us-1996- 2018.html
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Volume Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-
2018. https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1003/volume-ekspor-dan-
impor-migas-berat- bersih-ribu-ton-1996-2018.html
British Petroleum (BP). 2019. BP Statistical Review of World Energy 2019.
https://www.bp.com/en/global/corporate/energy-economics/statistical-review-
of-world- energy/downloads.html
IndexMundi. 2020. Crude Oil (petroleum): ‘Dated Brent’ Monthly Price (US$ per barrel)
2000-2019. https://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=crude-oil-
brent&months=240
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2019. Keputusan Menteri ESDM
Nomor 269 K/10/MEM/2019 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM
Nomor 138 K/12/MEM/2019 tentang Formula Harga Minyak Mentah Indonesia.
https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Kepmen%20269%20K%2010%20MEM%20
2019_Pe rubahan%20Formula%20ICP_salinan+stempel.pdf
Kojima, M. 2009. Government Response to Oil Price Volatility: Experience of 49
Developing Countries. Extractive Industries for Development Series #10.
Washington, DC: World Bank.
https://siteresources.worldbank.org/INTOGMC/Resources/10-govt_response-
hyperlinked.pdf
Efek Ketidakpastian Ekonomi Global Terhadap Serapan
Tenaga Kerja dan Daya Beli Masyarakat Indonesia
Perwira Yodanto
Rentetan peristiwa ekonomi dunia yang kurang menguntungkan atau yang akrab dikenal
dengan global economic uncertainty tentunya menimbulkan gejolak bagi perekonomian
Indonesia. Dalam kurun 5 tahun terakhir saja pemerintah Indonesia tercatat mengumumkan
belasan jilid paket kebijakan ekonomi untuk merespon imbasnya. Secara makro, raihan kinerja
ekonomi Indonesia tergolong masih bagus. Namun, fluktuasi fenomena ini masih berlanjut
sehingga Pemerintah dituntut waspada terhadap efek yang ditimbulkan di ranah
mikroekonomi. Efek dari gejolak ketidakpastian ini terhadap tingkat serapan tenaga kerja dan
daya beli masyarakat menjadi objek analisa dalam tulisan ini.
Global Economic Policy Uncertainty dan Respon Paket Kebijakan Ekonomi
Lebih dari satu dekade terakhir dunia mengalami global economic uncertainty. Peristiwa
ekonomi yang sangat mengemuka diantaranya adalah meletupnya Global Financial Crisis pada
2008, krisis ekonomi Yunani dan drama Brexit yang begitu menyibukkan Uni Eropa, sampai
tarik menarik dua polar magnet ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, selalu memasuki
babak baru dalam trade war. Sebagai partisipan G20, Indonesia tidak punya celah untuk tidak
terdampak oleh gelombang ini.
Tim Ekonomi Kabinet Kerja (2014-2019) telah mengumumkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi
(Bappenas 2019) untuk merespon global economic uncertainty. Selama impelementasi,
Indonesia menunjukkan ketahanan ekonomi makro dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi
yang cukup stabil, masih di atas 5% per tahunnya. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan negara berkembang lainnya yang berkisar di angka 4,4% (Bappenas 2020). Adapun laju
inflasi bisa ditekan di kisaran 3,2% sepanjang 2015-2019 dan pertumbuhan investasi rata-rata
sebesar 5,4% per tahun di periode yang sama. Dalam perspektif mikroekonomi, dua indikator
terakhir memberi harapan bahwa Indonesia dalam status survived.
Aspek Uncertainty pada Investasi dan Serapan Tenaga Kerja
Dengan 265 juta penduduk, APBN saat ini tentu tidak memadai untuk memenuhi beban
domestik yang besar. Hadirnya investasi memainkan peran signifikan untuk mendongkrak laju
perekonomian nasional. Namun, efek trade war terhadap iklim investasi menjadi perhatian
serius Presiden Joko Widodo. Paket kebijakan ekonomi dan peningkatan Ease of Doing
Business yang dinilai dapat memanjakan investor asing ternyata belum berhasil merayu capital
inflow dari 33 perusahaan yang hengkang dari China (CNN Indonesia 2019). Meski Presiden
kecewa dengan fakta tersebut (CNN Indonesia 2019), namun selama periode pertama
pemerintahannya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dilaporkan turun dari 6,18% (2015)
menjadi 5,28% (2019). Penurunan itu berwujud penciptaan 11 juta lapangan kerja akibat
ekspansi ekonomi domestik (Bappenas 2020).
Meski kuantitasnya 1 juta lebih tinggi dari target penciptaan lapangan kerja, prestasi tersebut
belum merefleksikan kualitas dari skill yang diterapkan dalam pekerjaan. Dengan terbatasnya
belanja modal untuk pembangunan infrastruktur, tentunya sektor swasta berperan penting
dalam penyerapan angkatan kerja terbuka. Sektor swasta yang paling tampak adalah decacorn
atau unicorn berbasis transportasi seperti ‘Go-Jek’ dan ‘Grab’ (Bloomberg 2019) yang
memobilisasi pencari kerja untuk bergabung sebagai mitra terlepas latar belakang pendidikan
dan kompetensinya. Data BPS juga menunjukkan bahwa per Februari 2019, sektor informal
menyumbang 57,27% lapangan pekerjaan baru dan selalu konsisten berkontribusi di kisaran
hampir 60% dalam beberapa waktu terakhir (CNBC Indonesia, 2019).
Elemen uncertainty lain yang perlu diwaspadai adalah aspek keberlanjutan (sustainability)
pekerja sektor informal di industri start-up dan disrupsi teknologi informasi. Selain
mengokohkan kesetiaan pelanggannya, decacorn sepeti ‘Go-Jek’ tentunya memilih strategi
bisnis yang akan membuat investor globalnya. bertahan karena orientasi investor di industri
financial technology/fintech bukan sebagai pengendali, melainkan murni bagi hasil (CNBC
Indonesia 2018).
Artinya, posisi mitra pengendara sangat rentan yang berujung pada tren income yang turun. Ke
depan, disrupsi teknologi berwujud otomatisasi, digitalisasi, dan Artificial Intelligence (AI)
juga diprediksi mengancam 51,8% atau 52,6 juta potensi pekerjaan di Indonesia (INFID 2019,
Bappenas 2020). Tentunya pemerintah harus menaruh perhatian besar pada peningkatan
kompetensi dan kapasitas baik pekerja di sektor formal terlebih lagi informal untuk mereduksi
risiko pekerjaan yang hilang.
Ancaman pada Optimisme Tingkat Daya Beli Masyarakat
Terlepas dari prestasi turunnya TPT, pemerintah perlu mewaspadai faktor uncertainty pada
daya beli masyarakat. Konsumsi domestik merupakan kekuatan ekonomi Indonesia mengingat
exposure ekonomi nasional pada perekonomian global yang relatif terbatas/ small open
economy (Kontan 2020). Di periode 2014-2019, konsumsi rumah tangga masih stabil di angka
5%, menyusul tingkat inflasi yang terjaga di kisaran 3%. Pemerintah berharap dalam 5 tahun
mendatang terjadi peningkatan konsumsi masyarakat rata-rata 5,6% per tahun (Bappenas
2020). Namun, proyeksi serapan tenaga kerja telah menunjukkan implikasinya pada tren
income individu. Artinya, optimisme pada tingkat konsumsi masyarakat ke depannya juga
masih terancam.
Pemerintah harus meracik formula yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
imbasnya tentu mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Selain faktor inflasi, beberapa hal
yang perlu dijaga kestabilannya antara lain ketersediaan komoditas pangan strategis, tata kelola
sistem logistik nasional dan konektivitas antarwilayah, serta subsidi (Bappenas 2020). Kenaikan
sejumlah tarif misalnya pada listrik, BBM, LPG 3 kg atau iuran BPJS, jelas berimbas sangat
besar pada daya beli masyarakat di level pendapatan rendah yang memiliki porsi 17,71%
konsumsi nasional (Kontan 2020). Kebijakan cash transfer (bansos) sebagai kompensasi bagi
mereka, harus memiliki sistem monitoring yang menjamin penyaluran tepat sasaran. Di kutub
lainnya, Pemerintah perlu mempertimbangkan fenomena penurunan konsumsi kelompok
penghasilan tinggi yang porsinya menguasai 45,36% konsumsi nasional (INDEF, 2019).
Faktor-faktor ini merupakan pencetus perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Pungkasnya, meskipun tidak secara langsung berdampak, global economic
Profil Penulis
Muhammad Putra Hutama adalah ketua Komisi Ekonomi PPI Dunia
2019/2020 dan mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest,
Hongaria jurusan International Economics and Business. Mempunyai
pengalaman sebagai asisten peneliti di PRISMA CEDS Unpad.
Denny Irawan adalah kepala Divisi Kajian Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan mahasiswa doktoral bidang Economics di The Australian National
University (ANU), Australia. Mempunyai pengalaman sebagai peneliti di
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Chairul Adi adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
pegawai Kementerian Keuangan RI yang tengah menjalani tugas belajar di
tingkat doktoral dalam bidang Political Economy di The University of
Sydney, Australia.
Perwira Yodanto adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan pegawai Kementerian Keuangan RI yang saat ini akan mendalami 2
spesialisasi (Policy Analysis dan Economic Policy) dalam program Master
of Public Policy di The Australian National University (ANU) Canberra,
Australia.
Hadi Prasojo adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest, Hongaria jurusan
Economic Analysis. Mempunyai pengalaman sebagai asisten peneliti di
Pusat Kebijakan Keenergian - Institut Teknologi Bandung (CREP-ITB).