Top Banner
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DISERTASI Disusun Guna Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum Oleh: ACHMAD IRWAN HAMZANI NIM 1101011500001 PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015
39

DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

Mar 28, 2019

Download

Documents

lydat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL

BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM

HUKUM PIDANA ISLAM

DISERTASI

Disusun Guna Memenuhi Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum

Oleh:

ACHMAD IRWAN HAMZANI

NIM 1101011500001

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

ii

LEMBAR PENGESAHAN

PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN

HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT

DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Oleh:

ACHMAD IRWAN HAMZANI

NIM 1101011500001

Semarang, 7 Agustus 2015

Telah Diujikan pada Ujian Terbuka

Tim Promotor

Promotor Co Promotor

Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum Dr. Rohidin, M.Ag

NIP 197002021994031001 NIK 924100103

Mengetahui,

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum

Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH, M.Hum

NIP 19620118198031002

Page 3: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Achmad Irwan Hamzani

NIM : 1101011500001

Alamat : Karangjati RT 02 RW 01 Wiradesa Pekalongan

Asal Instansi : Universitas Pancasakti

Dengan ini menyatakan:

1. Karya tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro

maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang

dan judul buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah

diperoleh karena karya ini, serta sanksi sesuai dengan norma yang berlaku di

perguruan tinggi ini.

Semarang, Juli 2015

Yang membuat pernyataan,

Achmad Irwan Hamzani

NIM 1101011500001

Page 4: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

iv

MOTTO

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan

Allah”, mereka menjawab: “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah

kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan

mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu

apapun, dan tidak mendapat petunjuk” . (Q.S. al-Baqarah: 170)

“Seringkali kebenaran bertentangan dengan kehendak mayoritas”.

(Achmad Irwan Hamzani)

Page 5: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

v

PERSEMBAHAN

Disertasi ini penulis persembahkan untuk:

1. Orang tua penulis

2. Isteri penulis

3. Putra-putri penulis

4. Mertua penulis

Page 6: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

vi

ABSTRAK

Bangsa Indonesia sejak merdeka mempunyai keinginan untuk memiliki

produk hukum pidana sendiri. Upaya pembentukan pun dilakukan dengan

menyusun RUU KUHP baru. Hukum pidana Islam penting diperhitungkan

sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional dengan mengkontribusikan

ketentuan qişâş-diyat. Pendekatan restorative justice juga perlu diatur dalam

hukum pidana nasional ke depan agar penyelesaian perkara pidana dapat

memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban atau ahli warisnya.

Problem penelitian ini adalah; 1) Posisi hukum pidana Islam dalam

pembangunan hukum pidana nasional. 2) Kontribusi ketentuan qişâş-diyat

terhadap pembangunan hukum pidana nasional. 3) Konstruksi pendekatan

restorative justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan

qişâş-diyat.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan paradigm

konstruktivisme. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis. Spesifikasinya

termasuk deskriptif-analitis. Data yang diperoleh adalah data primer dan sekunder.

Metode analisis yang digunakan adalah induksi-interpretasi konseptualisasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan; posisi hukum pidana Islam dalam

pembangunan hukum pidana nasional adalah sebagai sumber materiil bersama

sumber hukum. Hukum pidana Islam sebagai sumber materiil merupakan corak

yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan qişâş-diyat

dapat dikontribusikan ke dalam hukum pidana nasional untuk menyempurnakan

RUU KUHP. Rumusannya tidak harus persis, namun esensinya sama, yaitu

memberikan hak kepada korban atau ahli warisnya dalam menentukan sanksi

untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan sebagai bentuk perhatian dan

perlindungan kepada korban atau ahli warisnya. Pendekatan restorative justice

dapat diatur dalam hukum pidana nasional dengan berbasis ketentuan qişâş-diyat.

Konstruksinya melalui mekanisme di luar proses peradilan pidana tetapi masih

terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu atau kamar tersendiri. Perlu

dibentuk komisi atau lembaga pemaafan yang berfungsi mendamaikan dan

mengantisipasi komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati dilegitimasi

oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final sebagai jaminan agar

kesepakatan dilaksanakan dan ganti rugi dibayar oleh pelaku.

Hasil penelitian ini merekomendasikan; 1) Agar hukum pidana Islam

dijadikan sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional. 2)

Ketentuan qişâş-diyat ditransformasikan ke dalam RUU KUHP. 3) Pendekatan

restorative justice berbasis qişâş-diyat dapat dirumuskan dalam RUU KUHP,

dengan penyelesaian di luar proses melalui lembaga pemaafan yang masih

terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri.

Kata kunci: restorative justice, hukum pidana nasional, qişaş-diyat

Page 7: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

vii

ABSTRACT

Indonesian nation since independence have a desire to have their own

criminal laws. Efforts have been undertaken with the establishment of the Penal

Code Draft. Islamic criminal law are important taken into account as a source of

development of national criminal law by contributing qişâş-diyat provisions.

Restorative justice approach also needs to be regulated in national criminal law

forward to the completion of the criminal case can provide justice and protection

to the victims or their heirs.

This is a research problem; 1) The position of the Islamic criminal law in

the construction of national criminal law. 2) Contributions provisions of the qişâş-

diyat to the development of national criminal law. 3) Construction of restorative

justice approaches in the development of the national criminal law based

provisions of the qişâş-diyat.

This research includes qualitative research paradigm constructivism. The

approach is sociological. Specifications including descriptive-analytic. Materials

obtained are primary and secondary. The analytical method used is induction-

interpretation of conceptualization.

The results showed; the position of Islamic criminal law in the

construction of national criminal law is a source of legal source material together.

Islamic criminal law as a source of material is a style that emphasizes the aspects

of substance, not a formal legal. Qişâş-diyat provisions can be contributed to the

national criminal law to enhance the Penal Code Draft. Formulation does not have

to be exactly, but essentially the same, that gives the right to the victims or their

heirs in determining sanctions for criminal acts of murder and torture as a form of

attention and protection to the victims or their heirs. Restorative justice approach

can be regulated in national criminal law provisions based qişâş-diyat.

Construction through mechanisms outside the criminal justice process but still

integrated within the justice system as a separate room. Need to set up a

commission or agency that serves reconcile forgiveness and anticipate

commercialization of compensation. Peace agreed legitimized by court decisions

binding and final as a guarantee that the agreement is implemented and

compensation paid by the offender.

Results of this study recommends; 1) In order for the Islamic criminal law

as source material in the construction of national criminal law. 2) The provisions

of the Qişâş-diyat transformed into the Criminal Code draft. 3) The restorative

justice approach based qişâş-diyat can be formulated in the Penal Code Draft, with

settlement outside through a process of forgiveness is still integrated institutions

in the justice system as a separate room.

Keywords: restorative justice, national criminal law, qişâş-diyat

Page 8: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

viii

RINGKASAN

Pendahuluan

Sejak merdeka, bangsa Indonesia mempunyai keinginan untuk memiliki

produk hukum pidana sendiri mengganti hukum peninggalan Belanda. Berbagai

kegiatan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskan

pembentukan hukum nasional sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun

lembaga pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang telah

mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional ke depan. Pemerintah

Indonesia juga telah berupaya membuat hukum pidana nasional produk sendiri

dengan menyusun Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (RUU KUHP) yang hingga sekarang belum final dan terus dilakukan

perbaikan.

Pembangunan sistem hukum tidak bisa lepas dari politik hukum. Arah

politik hukum di Indonesia dalam pembangunan hukum cakupannya

menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat. Rencana

pembangunan materi hukum termuat di dalam Program Legislasi Nasional yang

disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.

Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam penting untuk

diperhitungkan sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional. Secara

faktual hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living law) dalam

masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke Nusantara. Hukum pidana Islam

dapat diserap sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana

nasional meskipun tidak semuanya. Untuk ketentuan tindak pidana pembunuhan

dan pelukaan atau penganiayaan dapat diserap delik maupun sanksinya. Sanksi

ganti kerugian (diyat) yang di dalamnya ada proses perdamaian lebih sesuai

kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal

pemaaf, mengedepankan kekeluargaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan

sengketa. Banyak kasus hukum khususnya yang dalam KUHP disebut sebagai

kelalaian sehingga menyebabkan nyawa orang lain hilang, dapat diselesaikan

secara kekeluargaan dengan mengganti kerugian. Penyelesaian tindak pidana

menghilangkan nyawa orang lain dengan cara perdamaian mirip dengan ketentuan

qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum

pidana Islam sedikit banyak telah membentuk kesadaran hukum masyarakat.

Sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini hanya berorientasi

pada pelaku, sehingga jika diterapkan untuk tindak pidana terhadap nyawa orang

lain, tidak memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Seiring

berkembangnya wacana global tentang perlunya pendekatan restorative justice,

maka pendekatan tersebut perlu diatur dalam RUU KUHP. Pendekatan restorative

justice memberikan perhatian dan perlindungan terhadap korban atau keluarganya.

Pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan mengganti

kerugian, korban atau keluarganya memaafkan serta menerima ganti kerugian, dan

hubungan ke dapan dapat dipulihkan. Hal ini juga ada kemiripan dengan

ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Pidana qişâş (setimpal) dan

diyat (ganti rugi) menjadi hak korban atau ahli warisnya, sehingga dapat

memberikan amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah

pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali.

Page 9: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

ix

Ketentuan qişâş-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan pada korban,

dan penyelesaiannya melalui perdamaian (şulh).

Permasalahan dalam disertasi ini adalah: 1) Bagaimanakah posisi hukum

pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional? 2) Bagaimanakah

kontribusi ketentuan qişâş-diyat terhadap pembangunan hukum pidana nasional?

3) Bagaimanakan konstruksi pendekatan restorative justice dalam pembangunan

hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.

Tiga permasalahan tersebut memiliki lingkup pembahasan dan analisis yang

saling terkait secara hirarkhis.

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang secara fundamental

bergantung dari pengamatan pada manusia. Paradigma yang digunakan adalah

konstruktivisme yang operasionalnya menggunakan cara pandang relativisme dan

realitas dilihat sebagai konstruksi sosial. Pendekatan yang digunakan adalah

sosiologis sehingga penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian hukum

sosiologis. Spesifikasinya termasuk deskriptif-analitis yaitu untuk membuat

pencandraan tentang siatuasi atau kejadian yang disajikan secara naratif. Data

dalam penelitian dikelompokkan sebagai data primer (yang diperoleh dari

pengamatan dan wawancara) dan sekunder (yang diperoleh melalui penelaahan

bahan-bahan pustaka). Metode analisis yang digunakan adalah induksi-

interpretasi-konseptualisasi yaitu dengan melakukan penyusunan, pengkategorian

dalam tema, validasi, rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.

Pembangunan Hukum Pidana Nasional melalui Formulasi Restorative Justice

Berbasis pada Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam

Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan

perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut

pengertian ini pembangunan semakna dengan pembaharuan. Sedangkan hukum

pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat

peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap

pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Hukum pidana

nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi

negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (UUD NRI 1945) yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum

pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang saat ini berlaku.

Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi.

Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan

upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai dengan harapan dan cita-cita

kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi

landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia.

Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional) Talcott Parsons dan

pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi

pembangunan hukum serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.

Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan

elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation),

melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan memelihara norma-norma

(Laten Pattern Maintenance) atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan

Page 10: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

x

Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-fungsi sistem

sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem

ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung

jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural (agama dan sekolah)

bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub

sistem sosial (termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial. Parsons

menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih

besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of

the game).

Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons

tersebut. Hukum menurut Bredemeier dapat digunakan sebagai pengintegrasi

sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma

yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam

masyarakat yang bersangkutan. Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum

pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan

norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang

merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan

budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti

terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru

yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut hukum

Pancasila yang di dalamnya mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari

agama.

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan

khususnya postulat moral kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap

usaha pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam

pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan pada filsafat Pancasila,

dalam pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila termasuk

keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari

hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum

agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum-

hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana

nasional.

Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah

satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat

dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis. Hukum pidana

Islam membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh

dilakukan (terlarang) dan yang harus dilakukan, ancaman pidananya, dan

pertanggungjawabannya. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana

menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara

peninjauannya. Dilihat dari segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana

dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam pidana had

(jarimah hudud), tindak pidana yang diancam pidana qişâş-diyat (jarimah qişâş-

diyat) dan tindak pidana yang diancam pidana ta’zir (jarimah ta’zir). Ditinjau

berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana

masyarakat (jaraim al-jama’ah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad),

tindak pidana biasa (jaraim ‘adiyah) dan tindak pidana politik (jaraim siyasah).

Page 11: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xi

Hukum pidana dan sistem peradilan pidana saat ini tidak memberikan

perhatian dan keadilan kepada korban, karena pusat perhatiannya pada pelaku.

Orientasi pemidanaan sudah saatnya digantikan menjadi keadilan untuk semua,

bukan hanya untuk pelaku kejahatan, tetapi juga korban. Perlu

mempertimbangkan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan perkara

pidana ke depan. Restorative justice merupakan paradigma yang kembali

diwacanakan untuk digunakan dalam penanganan perkara pidana yang bertujuan

mencapai keadilan untuk semua. Dengan restorative justice keadilah lebih

berpeluang dapat diperoleh oleh semua pihak khususnya korban yang biasanya

tersisihkan dalam sistem peradilan pidana saat ini.

Restorative justice merupakan mekanisme hukum yang bertujuan untuk

mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh

kejahatan, dan untuk mencegah kejahatan lanjutan sebagai balas dendam.

Prosesnya dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban,

reparasi, konferensi pelaku-korban atau keluarganya serta tokoh masyarakat, dan

usaha dari pelaku untuk peduli dampak dari perbuatannya. Prinsip dasar

restorative justice adalah: 1) Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban,

2) Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, 3)

Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman, 4) Ada upaya

untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan, 5) Pelaku pelanggar

harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan, 6)

Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan korban dengan pelaku.

Tindak pidana (jarimah) qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam

merupakan tindak pidana yang diancam pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti

rugi), untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan (pelukaan).

Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli warisnya. Korban atau ahli

warisnya dapat membatalkan pidana tersebut dengan memberikan amnesti

(pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti

dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali. Apabila pemaafan

tersebut tanpa diyat, pemerintah masih berhak menjatuhkan pidana ta’zir kepada

pelaku. Tindak pidana qişâş-diyat bersifat perseorangandan dan lebih banyak

menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada menyentuh kehidupan

masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban.

Ketentuan qişâş-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan

terhadap korban, dan penyelesaiannya melalui perdamaian. Tidak berlebihan

apabila disimpulkan bahwa penyelesaian tindak pidana qişâş-diyat menggunakan

pendekatan restorative justice. Esensi dari pidana qişâş-diyat ialah memberi hak

kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan

kadar yang seimbang setelah melalui proses şulh. Korban atau ahli warisnya

sangat dianjurkan memberikan maaf terhadap pelaku sebagai kebaikan, pelaku

memberikan ganti kerugian, dan hubungan ke depan menjadi pulih.

Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan

Hukum Pidana Nasional

Secara normatif menurut hukum pidana di Indonesia, perkara pidana hanya

dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (litigasi) yang diistilahkan dengan in

court system (sistem peradilan pidana). Namun banyak tindak pidana khususnya

Page 12: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xii

yang di dalam KUHP Pasal 359 disebut sebagai kelalaian sehingga menyebabkan

orang lain hilang, dapat diselesaikan melalui musyawarah untuk berdamai.

Penyelesaiannya dengan melibatkan pelaku, keluarga korban, dan pihak ketiga

sebagai mediator baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, perangkat

desa/kelurahan, dan aparat kepolisian.

Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat menjadi fakta, yaitu

kasus; 1) Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang

meninggal dunia di Demak. 2) Kasus tabrakan dua sepeda motor yang

mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Semarang. 3) Kasus mobil

Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda

motor meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara

kekeluargaan dengan berdamai dan pemberian ganti kerugian. Penyelesaian

perkara tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui musyawarah

mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini

menunjukkan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum

yang hidup (the living law).

Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada

zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda.

Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang

pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh

Salomon Keyzer (1823-1868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van

den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut

seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku

baginya. Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam

keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complexu.

Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu

memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum

Islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai

hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2) Sebagai ekspresi

nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara. Hukum Islam dari sisi

pelaksanaannya dapat digolongkan tiga macam; 1) Dapat dilaksanakan oleh

individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti hukum-hukum di bidang

peribadatan ritual. 2) Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara

dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti hukum keluarga. 3) Tidak

mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum

pidana.

Hukum pidana Islam sangat penting untuk diperhitungkan dalam

pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di

Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana

Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan

sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum

keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat

menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang

belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa

diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah

memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan.

Page 13: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xiii

Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum

pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya,

atau untuk bagian tertentu keduanya. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa,

dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi (diyat) untuk tindak

pidana terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima masyarakat Indonesia

dibanding pidana penjara. Secara metodologis hukum pidana Islam sebagai

sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada aspek

subtansi, bukan legal formalnya.

Namun demikian, posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil,

akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah

apabila posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan

sumber-sumber lain, hukum pidana tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana

Islam. Posisi ini tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang menghendaki

hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada

keterikatan teologis bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan

problem eksternalnya adalah memungkinkan adanya anggapan akan menjadikan

hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara

hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana akademik di kalangan

pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit

pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam,

dan ada pula yang memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga

harus disesuaikan dengan hukum adat.

Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap

Pembangunan Hukum Pidana Nasional

Pedoman pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah bersifat syar’i,

perseorangan dan bersifat umum. Sanksi bersifat syar’i yaitu bersandarkan kepada

sumber-sumber hukum Islam, al-Qur’an, hadits, hasil ijtihad (termasuk undang-

undang yang dikeluarkan pihak berwenang). Hukum pidana Islam menentukan

pidana qişâş (setimpal), diyat (ganti rugi) terhadap tindak pidana pembunuhan dan

pelukaan. Penentuan pidana qişâş-diyat merupakan hak korban atau ahli warisnya

yang kadar jumlahnya tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal, namun

dengan prinsip kebaikan (bi al-ma’ruf). Korban atau ahli warisnya dapat

membatalkan pidana tersebut dengan memaafkan (afwun) pelaku. Apabila

memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), atau tanpa

diyat sama sekali. Namun hakim masih mempunyai hak untuk menjatuhkan

pidana ta’zir, bukan pidana qişâş ataupun diyat dengan mempertimbangkan

dampak sosial jika korban dibebaskan dari qişâş maupun diyat.

Pidana qişâş-diyat mengandung unsur perlindungan hukum terhadap

korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku tindak pidana akan dikenai pidana mati,

tetapi disepakati terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku dimaafkan

oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş, sebagai gantinya harus membayar

diyat (ganti rugi), yang diberikan pada keluarga korban. Diyat yang harus

dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila sekarang harga unta tiap

ekornya Rp 15.000.000,00 denda yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00.

Seandainya yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak, maka

dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat membiayai kehidupan keluarga

Page 14: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xiv

korban termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam

kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau 20 tahun penjara. Tentu

saja keluarga korban akan kecewa karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang

lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara psikologis, dendam

keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun.

Penjatuhan pidana qişâş-diyat lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari

pidana qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas

kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara). Esensi diyat

adalah sebagai social security (perlindungan social) bagi keluarga korban.

Sedangkan esensi melalui perdamaian (şulh) adalah untuk menghilangkan dendam

dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş-diyat sejalan dengan kesadaran

hukum masyarakat yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam

menyelesaikan perkara.

Meskipun setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi masyarakat,

namun terkadang tidak sampai mengancam sistem dasarnya secara langsung.

Tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan/pelukaan tidak mempengaruhi

keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat berbahaya bagi

keselamatan perseorangan. Setiap orang tidak takut terhadap pembunuhan atau

pelukaan orang lain karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan hanya

didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi.

RUU KUHP mencantumkan pedoman pemidanaan, hak korban dan

keluarganya, tentang pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim.

Adanya pidana pembayaran ganti rugi merupakan terobosan baru dalam

perkembangan hukum pidana di Indonesia. Secara victimologis, pembayaran ganti

rugi kepada korban atau ahli warisnya sangat penting dan bermanfaat sebagai

wujud tanggung jawab pelaku. Hanya saja, makna viktimologis tersebut tidak

optimal karena penempatannya sebagai pidana tambahan. Sebab, pidana tambahan

hanya dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang telah dijatuhkan terlebih

dahulu dan sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Ketentuan qişâş-diyat

dalam hukum pidana Islam dapat ditransformasikan ke dalam RUU KUHP untuk

memberikan perlindungan dan perhatian kepada korban secara lebih optimal, dan

dalam rangka memenuhi tujuan pemidanaan agar memberikan manfaat dan

maslahat. Beberapa pasal dalam RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan,

pedoman pemidanaan, hak korban, pembayaran ganti kerugian, pengampunan

oleh hakim, termasuk ketentuan pidananya, dapat disempurkan dengan kontribusi

ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.

Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum

Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam

Restorative justice telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai

filosofi pemidanaan baru yang sifatnya berbeda dari pidana konvensional yang

menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai

pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang.

Pendekatan restorative justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama

antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu tindak pidana

untuk mencapai win-win solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima

tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang disebut ”Congress on Crime

Page 15: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xv

Prevention and The Treatment of Offenders”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12-19

April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan mengadakan

pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi

komprehensif termasuk restorative justice.

Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan pendekatan yang mirip

restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa

dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai core philosopy

bangsa Indonesia, restorative justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila

menyebutkan “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ini dapat menjadi panduan dalam menentukan

sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam

mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai

mufakat diliputi semangat kebersamaan sehingga jika dibreakdown menjadi kata

kunci dalam restorative justice.

Menurut perkembangan hukum Barat modern, termasuk di Indonesia, yang

berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku

tindak pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk

menentukan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, banyak menimbulkan

masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak diganti.

Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan

hilangnya nyawa orang lain, pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa

melibatkan korban atau keluarganya tidak akan memberikan keadilan kepada

korban atau keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan

dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan

menurut korban. Fokus perhatian pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar

pelaku menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di

masyarakat setelah menjalani hukuman, dan sedapat mungkin dipidana seringan-

ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan

terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian.

Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali. Harus dilihat apa yang

menjadi penyebab terjadinya tindak pidana. Proses penyelesainnya harus dengan

cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan

jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang

berhubungan dengan tindak pidana secara bersama-sama mencari alternatif

pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh

masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku

untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh).

Evaluasi untuk mendesain kembali model pemidanaan agar lebih efektif

dan memberikan keadilan untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana

yang ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku tindak pidana saja,

sedangkan perlindungan terhadap korban atau keluarganya tidak menjadi

perhatian. Diperlukan rumusan agar pendekatan restotarive justice ke depan dapat

dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model penyelesaian perkara pidana

dengan mengakomodir ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Qişâş-

diyat berorientasi pada perlindungan korban (victim oriented) dan masyarakat.

Pemaafan/pengampunan sangat dianjurkan daripada pelaksanaan qişâş, dan

pemaafan baru akan terjadi setelah adanya şulh dengan kebersihan hati kedua

Page 16: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xvi

belah pihak. Şulh mengandung dimensi pemberdayaan diri oleh para pihak

melalui upaya dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan

dapat mengalami proses pemulihan.

Salah satu instrumen restorative justice adalah mediasi penal, yaitu

mediasi antara korban dan pelaku tindak pidana. Potensi penerapan mediasi penal

ke depan sudah termuat dalam RUU KUHP seperti disebutkan dalam Buku I Bab

IV Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … penyelesaian di luar

proses …. Ketentuan tersebut perlu dipertegas dan diperjelas untuk jenis tindak

pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mengikat para pihak dan

aparat penegak hukum. Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”, maka

mediasi penal ke depan menjadi terlembagakan. Idealnya landasan hukum

pelembagaan mediasi penal masuk ke dalam KUHP dan KUHAP karena sebagai

induk hukum pidana nasional.

Mediasi penal ke depan dapat menjadi alternatif baru dalam penyelesaian

perkara pidana dengan merumuskan pendekatan restorative justice berbasis qişâş-

diyat. Hal ini juga dalam rangka menguruangi beban peradilan pidana yang

selama ini terlalu berlebihan (over criminalization). Konstruksi pendekatan

restorative justice dalam hukum pidana nasional ke depan dengan berbasis

kententuan qişâş-diyat adalah melalui mekanisme di luar proses peradilan pidana

tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri.

Peran mediator sangat menentukan, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga

pemaafan. Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai

ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma’ruf (kebaikan) dan menghindari

komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati selanjutnya dilegitimasi

oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final. Fungsi putusan pengadilan

adalah untuk memastikan agar kesepakatan dilaksanakan dan ganti rugi dibayar

oleh pelaku. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara

dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada kedua belah pihak.

Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)

Hukum pidana Islam adalah sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum

pidana nasional. Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil merupakan

corak hukum Islam yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya.

Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem

internal dan eksternal. Problem internalnya akan sulit diterima oleh kalangan umat

Islam yang menghendaki hukum pidana Islam diterapkan secara formal. Problem

eksternalnya dimungkinkan adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana

Islam sebagai hukum positif, dan tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak

mengetahui eksistensi hukum pidana Islam dan memandangnya sebagai subsistem

dari hukum adat sehingga harus sesuai dengan hukum adat. 2) Ketentuan qişâş-

diyat dapat dikontribusikan untuk menyermpurnakan RUU KUHP. Rumusannya

tidak harus persis, namun esensinya sama, yaitu memberi hak kepada keluarga

korban untuk ikut menentukan hukuman, memberikan perhatian dan perlindungan

kepada korban atau keluargannya. 3) Pendekatan restorative justice perlu

diterapkan agar orientasi pemidanaan tidak hanya memperhatikan pelaku tindak

pidana saja, melainkan juga korban atau ahli warisnya. Rumusannya berbasis

Page 17: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xvii

ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, karena memiliki komitmen kuat

dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada korban atau ahli warisnya

dan tetap melibatkan peran negara. Diperlukan payung hukum agar pendekatan

restotarive justice dapat diterapkan, yaitu diatur dalam KUHP baru.

Konstruksinya melalui lembaga pemaafan yang mekanisme di luar proses

peradilan pidana tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu

atau kamar tersendiri. Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian dapat

tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma’ruf (kebaikan)

dan menghindari komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati

dilegitimasi oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final. Fungsi putusan

pengadilan adalah untuk memastikan agar kesepakatan dilaksanakan dan ganti

rugi dibayar oleh pelaku.

Page 18: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xviii

SUMMARY

Introduction

Since independence, the Indonesian people have a desire to have their own

criminal laws. Various scientific activities of local and national scale in order to

formulate the formation of national law is often done both by government and

higher education institutions. Legal experts have suggested that much of the

national criminal laws of the profile of the future. Indonesian government has also

attempted to create their own national criminal law products with Penal Code

Draft, which until now was not final and continues to be improved.

Development of the legal system can not be separated from politics law.

Political direction in the development of law in Indonesia simplify the legal scope

on the list of planned legal matter to be made. Development plans legal materials

contained in the National Legislation Program prepared by the Parliament and the

Government.

Islamic criminal law is important to be taken into account as a source of

development of national criminal law. Factually, Islamic law has been a law of

life (the living law) in Indonesian society since the entry of Islam into the

archipelago. Islamic criminal law can be absorbed as a source of material in the

construction of national criminal law although not all of them. To the provisions

of the criminal act of murder and wounding or abuse can be absorbed offenses and

sanctions. Diyat sanctions in which there is a peace process is more appropriate

legal consciousness of the people of Indonesia. Moreover, Indonesia is known

forgiving society, family and these meetings are put forward in resolving the

dispute. Many legal cases especially those in the Criminal Code referred to as

negligence causing another person's life is lost, it can be resolved amicably to

indemnify. The completion of the criminal act of killing another person in a

manner similar to the provisions of the Qişâş-diyat in Islamic criminal law. This

indicates that Islamic criminal law has established more or less legal awareness.

Criminal system prevailing in Indonesia at this time is only oriented

towards the perpetrator, so that when applied to a criminal act against another

person's life, do not give justice to the victims or their families. As the

development of global discourse on the need for restorative justice approach, the

approach needs to be rugulated in the draft Criminal Code. Restorative justice

approach to provide care and protection to the victims or their families. The

offender can be held accountable for his actions and indemnify the victims or their

families to forgive and receive compensation, and exposure to dapan can be

restored. It is also a similarity with the provisions of the Qişâş-diyat in Islamic

criminal law. Criminal qişâş (in kind) and diyat (compensation) to the right of

victims or their heirs, so as to provide amnesty (forgiveness) to the perpetrators.

When forgiving, Qişâş crime fell off, replaced by diyat (compensation), even

without diyat altogether.Provisions of qişâş-diyat oriented attention and protection

to the victims, and settlement through peace (Şulh).

The problem in this dissertation are: 1) How is the position of Islamic

criminal law in the construction of national criminal law? 2) What is the

contribution of the provisions of the Qişâş-diyat to the development of national

criminal law? 3) how is the construction of restorative justice approaches in the

Page 19: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xix

development of the national criminal law provisions of the qişâş-diyat based in

Islamic criminal law. The three problems have the scope of the discussion and

analysis of interrelated be hierarchical.

This study includes qualitative research that fundamentally relies on

observations in humans. The paradigm used is constructivism operations using the

perspective of relativism and the reality seen as a social construction. Approaches

is that this study included within the scope of the law of sociological research.

Specifications including descriptive-analytic is to create a depiction of siatuasi or

events that are presented in a narrative. Materials research in the study were

classified as primary (obtained from observations and interviews) and secondary

(obtained through a review of library materials). The analytical method used is

induction-interpretation-conceptualization is to do the preparation, categorizing

the theme, validation, reconstruction and qualitative inductive analysis.

Development of the National Criminal Law With Through Restorative

Justice Formulation Based on Qişâş-Diyat provisions in the Islamic Criminal

Law Simply implies development effort in the improvement of the conditions

unfavorable towards the better. According to this construction to convey the same

sense of renewal. While national criminal law is a national legal system part that

contains the regulations contain mandatory and prohibition on violators were

threatened with punishment in the form of punishment of the body. National

criminal law is a law that is based on the foundation of ideology and constitution

of the country, namely Pancasila and the Constitution of the Republic of

Indonesia 1945 (Constitution 1945) which applies nationwide. Development of

criminal law is a process of updating the positive law that currently applies. The

process is still in progress are packed through legislation.

Having a criminal law alone product for Indonesia was an attempt to show

national identity in accordance with the expectations and aspirations of

independence. The goal is to protect all the people of Indonesia based on

Pancasila. This is a general policy lines which form the basis and political purpose

of law in Indonesia.

Imperative-functional theory by Talcott Parsons and development by other

thinkers can explain the urgency of the development of law and its purpose is to

protect the whole Indonesian nation. Parsons theorized that society includes a

broad system and elements fill four basic functions, namely adaptation

(Adaptation), continuing the goal (Goal), integration (Integration) and maintain

norms (Latent Pattern Maintenance) or AGIL approach. AGIL theory developed

by Parsons is nomoteknis in considering the functions of the social system. Each

function is associated with a sub-system. Sub economic system aims to adapt; Sub

political system responsible for defining the final destination; sub-system of

cultural (religious school) in charge of defining and maintaining norms and

values; social sub-systems (including the law) served as social integration.

Parsons put the law as one of the sub-systems within the larger social system. Law

refers to the rules as rules together (rule of the game).

Harry C. Bredemeier develop the theory postulated by Parsons. Bredemeier

according to the law can be used as a social integrator in society. Harmony

Page 20: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xx

between citizens with the norms that govern it creates a harmony in relationships

within the community. Becomes illogical if the criminal law in force in Indonesia

is a law that is not in accordance with the norms or values espoused Indonesian

nation. The current Criminal Code is not in accordance with the values and culture

that embraced the Indonesian nation. If this continues to happen clash forced

mean in social relations. Required new law adopted in accordance with the value

of the Indonesian people who can be called Pancasila law in which to

accommodate the laws derived from religion.

Pancasila as the basic philosophy of the Indonesian people need to be

implemented especially moral postulates of the sentence "Almighty God" in any

development of national legislation. Similarly, in the construction of national

criminal law based on the philosophy of Pancasila, the manifestations must be

inspired values of Pancasila including balance values Almighty God that can be

extracted from the religious laws. Needs to be carried out excavations on the

values of religious law is the law of life in Indonesian society. The laws of

religion can be used as a source in the development of national criminal law.

Islamic law as part of the teachings of Islam, and as one of the three legal

systems applicable in Indonesia, in addition to the customary law and Western

law, have a position of strategic importance. Islamic criminal law talks about

human actions that should not be done (forbidden) and that should be done,

criminal threats, and accountability. Acts that included crimes under Islamic

criminal law can be different classifications and how the review. In terms of the

severity of the threat of criminal, criminal offenses can be classified into three,

namely offenses punishable had (jarimah hudud), an offense which carries a

punishment of qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) and criminal offenses are

punishable ta'zir (jarimah ta'zir). Judging by the special character of crime,

criminal offenses can be divided into public (jaraim al-Jama'ah), individual

criminal acts (jaraim al-afrad), ordinary crime (jaraim 'adiyah) and political

crimes (jaraim siyasah).

Criminal law and the criminal justice system is not currently paying

attention to the victims, because the center of attention on the perpetrators.

Orientation criminal prosecution be considered for replacement be justice for all,

not just for offenders but also victims. Need to consider restorative justice

approach in solving criminal cases forward. Restorative justice is a paradigm that

re-discourse to be used in the handling of criminal cases aimed at achieving

justice for all. With restorative justice's justice is more likely to be obtained by all

parties, especially victims who are usually marginalized in the criminal justice

system now.

Restorative justice is a legal mechanism that aims to restore well-being of

victims, offenders and communities damaged by the crime, and to prevent further

crimes as revenge. The process can be carried out by way of mediation between

the offender and the victim, reparations, conference offender-victim or her family

as well as community leaders, and the efforts of the offender to care about the

impact of his actions. Basic principles of restorative justice are: 1) prioritize the

support and healing of victims, 2) offenders are responsible for what they do, 3)

Dialogue between the victim with the offender to reach an understanding, 4)

There is an attempt to put it correctly losses incurred, 5 ) Actors offenders should

Page 21: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxi

be aware of how to avoid future crimes, 6) Society helped to integrate the victims

with the perpetrators.

Crime (jarimah) qişâş-diyat in Islamic criminal law is a criminal offense that

is punishable qişâş (in kind) and diyat (compensation), for criminal acts against

life and persecution (wounding). Determination of the rights of criminal victims

or their heirs. Victims or their heirs may cancel the criminal by giving amnesty

(forgiveness) to the perpetrators. When forgiving, Qişâş crime fell off, replaced by

diyat (compensation), even without diyat altogether. If forgiveness is without

diyat, the government is still entitled to convict ta'zir to the perpetrators. Qişâş-

diyat criminal acts are perseorangandan and more touching than the victim's life

and physical touch people's lives, so that the determination of the criminal

becomes the victim rights.

Provisions of the qişâş-diyat oriented care and protection of victims, and

settlement through peace. Not excessive if a criminal offense is concluded that the

settlement of qişâş-diyat using restorative justice approach. The essence of Qişâş-

diyat is entitles the aggrieved person to reply to that is detrimental to a balanced

level after going through the process of Şulh. Victims or their heirs highly

recommended giving forgiveness to the offender as a favor, the perpetrator

provide compensation, and the relationship forward into recovery.

The Position of Islamic Criminal Law as Source Material in the Development

of the National Criminal Law

Normatively according to the Indonesian criminal law, criminal cases can

only be solved through the courts (litigation) is termed in court system (criminal

justice system). However, many criminal acts, especially that in the Criminal

Code Article 359 is referred to as negligence causing other people missing, may

be resolved through negotiation for peace. The solution involves the offender, the

victim's family, and the third party as a mediator either from community leaders,

religious leaders, village leaders, and the police.

Three cases were made the object of this study could be the fact, that is the

case; 1) Collision of two motorcycles which resulted in no casualties who died in

Demak. 2) The case of a collision of two motorcycles which resulted in no

casualties who died in Semarang. 3) The case of the Suzuki car hit a motorcycle

Cary resulting motorcyclists died, in Pekalongan. These three cases are settled

amicably with the reconciled and the provision of compensation. Settlement of

criminal cases eliminates the lives of others through consultation similar to qişâş-

diyat provisions in the criminal law of Islam. This suggests that Islamic criminal

law has more or less become living law (the living law).

Islamic criminal law had been applied formally in the archipelago at the

time of Islamic kingdoms, and finally annulled by the Dutch colonists.

Throughout the 19th century among legal experts Indies Indonesia's growing

opinion that apply Islamic law as proposed by Salomon Keyzer (1823 to 1868)

and corroborated by Christian Willem Lodewijk van den Berg (1845-1927).

According to Berg, the legal follow one's religious affiliations. If you have

converted to Islam, Islam law which apply to him. Indonesian Muslims have been

doing the reception of Islamic law in the whole field as a single unit or receptio in

complexu.

Page 22: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxii

Throughout the history of law in Indonesia, Islamic law has always affirm

its existence as written and unwritten laws. Islamic law in the construction of

national law has two functions; 1) As the positive law applies only to Muslims

only. 2) As an expression of the values that will apply to all citizens. Islamic law

can be classified in terms of the implementation of three kinds; 1) Can be

implemented by individuals directly without the help of the State, such as the laws

in the field of ritual worship. 2) Its implementation requires assistance of state

power within the framework of administrative or services, such as family law. 3)

There may be implemented if there is no interference from the state, such as

criminal law.

Islamic criminal law is very important to be taken into account in the

development of national criminal law as a source. Because the criminal law in

Indonesia adheres to unification, which is only one law, then the position of

Islamic criminal law as a source of material or material that is juxtaposed with the

source or other materials. Unlike the civil law, especially family law legal

pluralism, Islam in the field of civil law can be a formal source. Source material

law is a source of law which do not yet have a specific shape or still a material

that can not be applied. While the formal legal source is the source of law which

has had a particular shape that can be directly applied.

As source material, provisions exist in the Islamic criminal law can be

absorbed though not all, can the offense, criminal, or to a particular part of both.

For criminal acts of killing, can be absorbed by the offense and the criminal.

Criminal compensation (diyat) for criminal acts against life and persecution, more

accepted by the community Indonesia than imprisonment. Methodologically

Islamic criminal law as source material, is a style of Islamic law that emphasizes

the aspects of substance, not a formal legal.

However, the position of Islamic criminal law as a source of material, will

meet internal and external problems. Internal problem is that if the position of

Islamic criminal law as a source of material in conjunction with other sources, the

criminal law is no longer an Islamic criminal law. This position would be difficult

to be accepted by Muslims who want Islam as a source of criminal law and

applied formiil total. There is no theological attachment for people to be subject to

the law. While the problem is external allows the presumption will make Islamic

criminal law as a positive law, and the problem of the struggle between Islamic

law, customary law, and the law of the West in academic discourse among legal

experts, as well as in the history of the struggle of existence. Not a bit of view of

legal experts who do not know the existence of Islamic criminal law, and some

saw it as a subsystem of customary law and should be adapted to customary law.

Contribution Provision of the Qişâş-Diyat in Islamic Criminal Law of the

National Criminal Law Development Sentencing guidelines in Islamic criminal law is to be syar'i, individual and

general nature. Sanctions are syar'i is relying to the sources of Islamic law, the al-

Qur’an, hadith, ijtihad results (including laws issued by the authorities). Islamic

criminal law determines the punishment of qişâş (in kind), diyat (compensation)

for the crime of murder and wounding. Determination of criminal qişâş-diyat is

the right of victims or their heirs who do not have the number of levels of

Page 23: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxiii

minimum or maximum limit, but the principle of goodness (bi al-ma'ruf). Victims

or their heirs may cancel the criminal to forgive (afwun) actors. When forgiving,

Qişâş crime fell off, replaced by diyat (compensation), or without diyat altogether.

But the judge still has the power to impose criminal ta'zir, not criminal qişâş or

diyat taking into account the social impact if the victim was released from the

qişâş and diyat.

Criminal qişâş-diyat contain elements of legal protection for victims,

offenders, and the community. The offender will be subject to the death penalty,

but agreed beforehand by the victim's family. If the offender forgiven by the

family of the victim, the perpetrator free of qişâş, instead of having to pay diyat

(compensation), which is given to the families of the victims. Diyat to be paid

perpetrators of some 100 camels. If the current price of each tail camel

Rp15,000,000.00 fine to be paid Rp 1,500,000,000.00. Suppose that killed leaving

a wife and four children, then the money Rp 1,500,000,000.00 will be able to

finance the cost of the lives of the victims' families, including their children's

education. If the case can be compared to the use of the Criminal Code, the

offender shall be punished 15 or 20 years in prison. Of course, the victim's family

will be disappointed because they never talk. Even more miserable again, he loses

the right to live on. Psychologically, revenge families of the victims also will not

disappear with the imprisonment of 15 years.

Criminal punishment of qişâş-diyat more humane and fairer. The essence of

criminal Qişâş is entitles the aggrieved person to reply to that is detrimental to a

balanced level (equivalent). Diyat essence is as social security (social protection)

to the families of the victims. While the essence through peace (sulh) is to

eliminate hatred and potential next victim. Qişâş-diyat provisions in line with the

legal awareness of society that emphasizes consensus in resolving the case.

Although every criminal act can touch people's existence, but sometimes not

until essentially directly threaten the system. Criminal offenses against life and

persecution / wounding did not affect the security and peace of the community

although it is very dangerous for the safety of individuals. Everyone is not afraid

of killing or wounding another person knowing that the killing or wounding only

driven by personal motives such as personal grudges.

The Penal Code Draf include sentencing guidelines, the rights of victims

and their families, on payment of compensation, and forgiveness by the judge.

Their criminal compensation payment is a new breakthrough in the development

of criminal law in Indonesia. In victimologis, payment of compensation to the

victims or their heirs is very important and useful as a form of responsibility of

the offender. However, the meaning of viktimologis is not optimal because its

placement as an additional penalty. Therefore, additional criminal only meant to

supplement the basic criminal who has dropped in advance and is highly

dependent on the consideration of judges. Qişâş-diyat provisions in the criminal

law of Islam can be transformed into the Penal Code Draf to provide protection

and attention to victims more optimally, and in order to meet the objectives of

sentencing in order to provide the benefits and interests. Several articles in the

Penal Code Draft purpose of punishment, sentencing guidelines, victims' rights,

payment of compensation, forgiveness by the judge, including criminal

Page 24: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxiv

provisions, can disempurkan with the provisions of the Qişâş-diyat contribution in

Islamic criminal law.

Construction Restorative Justice Approaches in Development of National

Criminal Law Based Provisions of Qişâş-Diyat on Islamic Criminal Law

Restorative justice has become a global discourse and is seen as a new

sentencing philosophy that are different from conventional criminal who put the

perpetrator against the state. Crime is not just seen as a violation of state laws, but

the offense against the person. Restorative justice approach principle to build a

joint participation between the perpetrator, the victim, and the community in

solving a crime to achieve win-win solutions and their implications for the future.

Every five years the United Nations congress called "Congress on Crime

Prevention and the Treatment of Offenders". 12th UN Congress in Brazil, 12 to 19

April 2010, recommended to evaluate and conduct of criminal justice policy

reform with the development of a comprehensive strategy including restorative

justice.

Indonesian society is also already familiar with similar restorative justice

approach in resolving the criminal case of killing with deliberation. Even in the

Pancasila as the core philosophy that the Indonesian nation, restorative justice can

also be parsed. 4th principle of Pancasila mention "Populist Led By Wisdom

Wisdom in the Consultative / Representative". This principle can be a guide in

determining an option by way of deliberation and mengutamakannya in making

decisions for the common good. Deliberations to reach a consensus suffused spirit

of togetherness that if developed into a key word in restorative justice.

According to the development of modern Western law, including in

Indonesia, which is entitled to carry out the process of criminalization is a

country, therefore the perpetrators of criminal acts against the state. Because the

victim was not involved in determining the sentence imposed on the offender,

causing many problems for victims or their families because of the losses suffered

not replaced. For the crime of taking the life of others or which cause loss of life

of others, wounding or torture, without legal proceedings involving the victims or

their families will not give justice to the victims or their families. Justice intended

created merely justice and according to the size of the ruler, which of course is not

the same as justice by victims. Focus attention on efforts to punishment only how

to be good actors, actors to be a useful back in the community after serving their

sentences, and wherever possible convicted lenient. Meanwhile, the victims or

their families are harmed and disturbed the harmony did not get attention.

Models such punishment needs to be reassessed. To be seen what the cause

of the crime. The process of its solution must be a way to involve all the people

associated with criminal acts. This process will be far more effective and more

accepted by society as those associated with criminal acts jointly seek alternative

solutions. Models like this in Indonesia has been known and practiced by the

people, namely consensus, which in Islamic criminal law applies to the crime of

qişâş-diyat through peace (Şulh).

Evaluation to redesign the model to make it more effective sentencing and

give justice to all parties need to be done. The existing criminal law, only oriented

to the rehabilitation of perpetrators of criminal acts alone, while the protection of

Page 25: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxv

the victim or his family is not a concern. Formulation required in order to

approach the next restotarive justice can be formulated in the Penal Code Draf as

a model to accommodate the completion of criminal cases qişâş-diyat provisions

in the criminal law of Islam. Qişâş-oriented diyat protection of victims (victim

oriented) and the community. Forgiveness / remission is highly recommended

rather than the implementation of qişâş, and forgiveness will occur after the Şulh

with probity both sides. Şulh containing the dimensions of self-empowerment by

the parties through the efforts of dialogue, negotiation, and reconciliation so that

the dimensions of the relationship can experience the recovery process.

One of the instruments of restorative justice are penal mediation, the

mediation between the victim and the offender. Potential future application of

penal mediation already contained in the Draft Bill as mentioned in Book I

Chapter IV Article 153 that the prosecution authority void if ... settlement out of

the process .... These provisions need to be reinforced and clarified to what type of

criminal offense and outside processes such as what, so binding on the parties and

law enforcement officials. By clarifying the "settlement out of the process", then

the next penal mediation be institutionalized. Ideally cornerstone of the

institutionalization of mediation penal law into the Penal Code and Penal

Procedure Code because as the holding of national criminal law.

Penal mediation could be an alternative to a new front in the completion of

the criminal case by formulating a restorative justice approach based qişâş-diyat.

It is also within the framework of the criminal justice menguruangi loads that have

too much (over-criminalization). Construction restorative justice approach in

national criminal law provisions based forward with qişâş-diyat is through

mechanisms outside the criminal justice process but still integrated within the

justice system separate room. The mediator's role is crucial, so it is necessary to

establish a commission or agency forgiveness. Forgiveness institutions function so

that peace can be achieved and value of compensation agreed with the principle of

bi al-ma'ruf (goodness) and avoid the commercialization of compensation. Peace

agreed further legitimized by court decisions binding and final. The function of

the court ruling is to ensure that the agreement is implemented and compensation

paid by the offender. The legitimacy of the court as well as a form of state

responsibility in providing care and protection to both parties.

Epilog Based on the above discussion can be summarized as follows: 1) Islamic

criminal law is a source of material in the construction of national criminal law.

The position of the Islamic criminal law as a source of material was also a feature

of Islamic law which emphasizes aspects of substance, not a formal legal. The

position of the Islamic criminal law as a source of material, will meet internal and

external problems. Internal problems will be difficult to be accepted by the

Muslims who want Islamic criminal law applied formally. External problems will

make possible the notion of Islamic criminal law as a positive law, and not least

the views of legal experts who do not know the existence of Islamic criminal law

and sees it as a subsystem of customary law and should be in accordance with

customary law. 2) The provisions of the qişâş-diyat can contribute to enhance the

Penal Code Draft. Formulation does not have to be exactly, but essentially the

Page 26: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxvi

same, namely to give rights to the family of the victim to participate in

determining the penalty, giving attention and protection to the victims or their

families. 3) Restorative justice approach should be applied to not only pay

attention to the orientation of criminal perpetrators of criminal acts, but also the

victims or their heirs. Based formulation provisions of the qişâş-diyat in Islamic

criminal law, as it has a strong commitment in providing care and protection to the

victims or their heirs and still involve the role of the state. Necessary legal

framework for restorative justice approach can be applied, needs to be rugulated

in the draft Criminal Code. Construction through the mechanism of forgiveness

agencies outside the criminal justice process but still integrated within the justice

system as a door or a separate room. Forgiveness institutions function so that

peace can be achieved and value of compensation agreed with the principle of

goodness and avoid ommercialization of compensation. Peace agreed legitimized

by court decisions binding and final. The function of the court ruling is to ensure

that the agreement is implemented and compensation paid by the offender.

Page 27: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxvii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadiran Allah Swt. penulis panjatkan, shalawat dan salam

penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Atas pertolongan Yang

Maha Menolong-lah penulisan disertasi ini dapat selesai dengan berbagai

kesulitan dan rintangan tentunya.

Pemilihan tema disertasi ini terdorong untuk ikut memberikan sumbangan

konsep profil hukum pidana nasional ke depan dengan mengkontribusikan hukum

pidana Islam. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qişâş-diyat

secara filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan manfaat dan kepastian

keadilan sebagaimana tujuan utama dalam hukum pidana. Menurut hukum yang

berlaku di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah

penguasa, korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak dillibatkan, dalam

pelaksanaan pidana banyak menimbulkan masalah bagi korban, misalnya korban

merasa tidak mendapat perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian

yang diderita korban tidak tergantikan. Untuk tindak pidana menghilangkan

nyawa orang lain/penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau

keluarganya tentu tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau

keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan

menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut

korban. Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali. Sebab untuk

tindak pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa

memperhatikan korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak

dapat dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan

cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model

seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu

musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak

pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh) dan mirip dengan pendekatan

restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk diterapkan dalam

menyelesaikan perkara pidana.

Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak akan selesai tanpa

adanya bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.

Page 28: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxviii

Oleh karena ini, dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa BPPS

kepada penulis.

2. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian

Keuangan RI yang telah memberikan beasiswa disertasi kepada penulis.

3. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah memberikan

rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan Beasiswa BPPS.

4. Rektor Universitas Diponegoro, Direktur Program Pascasarjana Universitas

Dipoengoro, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

5. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr.

Fx. Adji Samekto, SH, M.Hum, dan segenap pengelola yang yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi dan

memberikan layanan akademik dan administrasi dengan baik.

6. Rektor Universitas Pancasakti, Prof. Dr. Wahyono, SH, M.Hum, dan mantan

Rektor, Prof. Dr. Tri Jaka Kartana, M.Si, yang telah memberikan tugas

belajar kepada penulis.

7. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Nuridin, SH, MH, dan

mantan Dekan, Dr. Hamidah Abdurrachman, SH, M.Hum, dan Mukhidin,

SH, MH, yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis.

8. Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum, dan Dr. Rokhidin, M.Ag, selaku Promotor dan

Co Promotor yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan

arahan, masukan dan koreksi dalam penulisan disertasi ini.

9. Tim Penguji Disertasi yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk

penyempurnaan disertasi ini.

10. Semua dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang

telah memberikan ilmunya dan pencerahan kepada penulis.

11. Para imforman yang tidak dapat disebutkan satu persatu

12. Semua pihak yang ikut membantu khususnya Dr. Ahwan Fanani, M.Ag,

selaku praktisi mediasi, yang berkenan meluangkan waktunya untuk

Page 29: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxix

berdiskusi terkait dengan tema restorative justice dan pemaafan dalam hukum

pidana Islam juga meminjamkan kitab-kitab “langka” untuk dicopi sebagai

bahan penulisan disertasi, M. Abdul Kholiq, SH, MH, yang telah berkenan

meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan pada penulis,

dan juga rekan-rekan yang telah membantu memberikan informasi yang

dibutuhkan dalam disertasi ini.

13. Keluarga; isteri penulis, Nur Khasanah, dan putra-putri; Haidar M. Nijad,

Nabila A. Manahil, yang selalu menjadi penyemangat, dan juga kedua orang

tua dan mertua yang selalu memberikan dorongan doa pada penulis.

Semoga bantuan yang diberikan dapat menjadi amal shaleh

danmendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt., dengan iringan doa

jazakumullah ahsanal jaza wa jazakumullah khairan katsira.

Penulis menyadari, disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan dan saran untuk

perbaikan disertasi ini menjadi karya yang lebih baik lagi. Namun demikian, penulis

juga berharap agar disertasi ini dapat memberi manfaat.

Semarang, Juli 2015

Penulis,

Achmad Irwan Hamzani

Page 30: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxx

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii

HALAMAN MOTTO .................................................................................. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. v

HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. vi

HALAMAN ABSTRACT ............................................................................ vii

HALAMAN RINGKASAN ........................................................................ viii

HALAMAN SUMMARY ........................................................................... xvii

HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... xxvi

HALAMAN DAFTAR ISI ......................................................................... xxix

HALAMAN GLOSSARY ............................................................................. xxxiv

HALAMAN DAFTAR SINGKATAN ....................................................... xxxvi

HALAMAN DAFTAR TABEL ................................................................. xxxvii

HALAMAN DAFTAR RAGAAN ............................................................. xxxviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Fokus Studi dan Permasalahan ........................................ 14

1. Fokus Studi ................................................................... 14

2. Permasalahan ................................................................ 15

C. Kerangka Pemikiran ........................................................... 16

D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian ....................................... 19

1. Tujuan Penelitian .......................................................... 19

2. Kontribusi Penelitian .................................................... 20

E. Proses Penelitian .............................................................. 21

1. Titik Pandang (Stand Point) Penelitian ...................... 21

2. Paradigma Penelitian ................................................. 22

3. Pendekatan Penelitian ................................................ 24

4. Metode Penelitian ....................................................... 25

Page 31: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxi

F. Orisinilitas Penelitian .......................................................... 32

G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan .............. 41

BAB II PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL

MELALUI FORMULASI PENDEKATAN RESTORATIVE

JUSTICE BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT

DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pembangunan Hukum Pidana Nasional ............................ 43

1. Pengertian Pembangunan Hukum Pidana Nasional ..... 43

2. Tujuan Pembangunan Hukum Pidana Nasional

sebagai Implementasi Tujuan Nasional ..................... 57

3. Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Pidana

Nasional .................................................................... 66

4. Sumber dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional 70

B. Pancasila sebagai Kaidah Penuntun dalam Pembangunan

Hukum Pidana Nasional ................................................... 80

1. Pengertian Pancasila ................................................... 80

2. Fungsi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan

Bernegara ..................................................................... 84

3. Cita Hukum Pancasila ................................................... 99

4. Pancasila sebagai Kaidah Penuntun Pembangunan

Hukum Pidana Nasional ............................................ 103

C. Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Pembangunan

Hukum Pidana Nasional ................................................... 110

1. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia ......................... 110

2. Hukum Pidana Islam ................................................... 122

D. Restorative Justice sebagai Model dalam Penyelesaian

Perkara Pidana ................................................................... 131

1. Pengertian Restorative Justice ...................................... 131

2. Sejarah Restorative Justice ........................................ 136

3. Relevansi Penerapan Restorative Justice dalam

Penyelesaian Perkara Pidana ...................................... 140

Page 32: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxii

E. Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam dan

Relevansinya dengan Restorative Justice ......................... 145

1. Pengertian Qişâş-Diyat ............................................. 145

2. Macam Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Pidananya 156

3. Restorative Justice dalam Qişâş-Diyat ..................... 166

BAB III POSISI HUKUM PIDANA ISLAM SEBAGAI SUMBER

MATERIIL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA

NASIONAL

A. Deskripsi Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Nyawa

melalui Musyawarah di Masyarakat dan Relevansinya

dengan Ketentuan dalam Hukum Pidana Islam ................ 174

1. Praktek Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara

Pidana terhadap Nyawa melalui Musyawarah ........... 174

2. Eksistensi Hukum Pidana Islam di Indonesia ............ 188

B. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil

dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional .................. 195

1. Urgensi Pembangunan Materi Hukum Pidana

Nasional yang Sesuai dengan Hukum yang Hidup di

Masyarakat ............................................................... 195

2. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil

dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional ......... 207

C. Problematika Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber

Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional .. . 218

1. Problem Internal ....................................................... 218

2. Problem Eksternal ..................................................... 223

BAB IV KONTRIBUSI KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM

HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBANGUNAN

HUKUM PIDANA NASIONAL

A. Beberapa Ketentuan dalam Rancangan Undang-undang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai Potensi

Page 33: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxiii

Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana

Islam ................................................................................... 241

1. Perkembangan Pemikiran tentang Sanksi Pidana ....... 241

2. Kaidah Dasar Sanksi Pidana Qişâş-Diyat dalam

Hukum Pidana Islam ................................................... 247

3. Beberapa Ketentuan dalam Rancangan Undang-

undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai

Prospek Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam

Hukum Pidana Islam ................................................... 265

B. Relevansi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana

Islam dengan Praktek Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Musyawarah di Masyarakat .................................. 276

C. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana

Islam ke Dalam Rancangan Undang-undang Kitab

Undang-undang Hukum Pidana ........................................ 285

BAB V KONSTRUKSI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA

NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT

DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Relevansi Pendekatan Restorative Justice dalam

Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Hukum

Pidana Nasional ke Depan ................................................ 316

1. Wacana Global Restorative Justice sebagai

Pendekatan dalam Penyelesaian Perkara Pidana ......... 316

2. Restorative Justice dalam Tradisi Masyarakat

Indonesia .................................................................... 320

3. Relevansi Restorative Justice sebagai Pendekatan

Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Hukum

Pidana Nasional ke Depan ......................................... 329

B. Dari Qişâş-Diyat ke Pendekatan Restorative Justice

dalam Sitem Hukum Pidana Nasional ke Depan ............. 344

Page 34: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxiv

1. Perdamaian sebagai Inti dari Restorative Justice ....... 344

2. Dari Qişâş-Diyat ke Pendekatan Restorative Justice 349

C. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam

Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis

Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam ........ 359

1. Konstruksi melalui Pelembagaan Mediasi Penal ....... 359

2. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam

Sistem Hukum Pidana Nasional ke Depan Berbasis

Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam ... 373

BAB VI PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................... 387

B. Implikasi Studi ................................................................. 390

C. Rekomendasi .................................................................... 392

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 35: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxv

GLOSSARY

Afwun : pengampunan dari korban atau ahli warisnya agar

pelaku terhindar dari pidana qişâş atau diyat

Dawafi syakhsiyah : tindak pidana yang bersifat perseorangan

Diyat : ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku

kepada korban atau ahli warisnya

Diyat mughalladhah : diyat yang harus ditanggung sendiri oleh

terpidana (restitusi)

Diyat mukhaffafah : diyat yang dapat dibantu oleh keluarga dan

bahkan negara (kompensasi), dan pembayarannya

diangsur

Doubble movement : tarikan ganda, yaitu memahami al-Qur’ân

berangkat dari situasi sekarang ke masa al-Qur’ân

diturunkan, dan kembali ke masa kini

Fiqh : pemahaman tentang hukum yang berasal dari

syari’at Islam

Fiqh jinayah : pemahaman tentang hukum pidana yang berasal

dari syari’at Islam, yang dapat diterjemahkan

hukum pidana Islam

Fuqaha : jama’ dari faqh; para ahli fiqh

Had : sanksi pidana yang sudah ditentukan jenis dan

batasannya

Hukum pidana Islam : terjemahan dari fiqh jinayah, hukum pidana yang

bersumber dari syari’at Islam

Hukum pidana nasional : hukum pidana yang berlaku secara nasional di

Indonesia

Idea moral al-Qur’an : semangat cita-cita yang dikehendaki al-Qur’an

Ijtihad : penalaran seorang pakar dalam pengembangan

hukum Islam

Jarimah : tindakan yang melanggar larangan syara’ atau

tidak melakukan perintah syara’ yang diancam

dengan pidana

Jarimah hudud : tindak pidana yang diancam pidana had

Jarimah qişâş-diyat : tindak pidana yang diancam pidana qişâş atau

diyat.

Jarimah ta’zir : tindak pidana yang diancam pidana ta’zir

Jinayah : sinonim dari jarimah

Kaidah : acuan dalam menetapkan suatu persoalan

Kifarat : tebusan akibat tindakan kesalahan atau

pelanggaran dengan menjalankan amalan tertentu

sebagai sarana taubat.

Maşlahat : teori dalam hukum Islam bahwa prinsip

diadakannya hukum adalah untuk memberikan

maslahat terhadap individu dan masyarakat

secara seimbang

Pluralisme hukum : pemahaman bahwa sistem hukum beragam

Page 36: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxvi

Politik hukum : kebijakan politik di bidang hukum

Qişâş : sanksi pidana yang setara dengan akibat tindak

pidana untuk tindak pidana pembunuhan dan

pelukaan

Receptie in complexu : teori bahwa hukum yang berlaku bagi suatu

masyarakat adalah hukum dari agama yang

dianutnya, bagi orang Islam berlaku penuh

hukum Islam walaupun pelaksanannya terdapat

penyimpangan-penyimpangan. Teori ini

dirumuskan oleh Van der Berg

Receptie : teori bahwa hukum Islam bukanlah hukum

apabila belum diterima oleh adat dan menjadi

hukum adat. Teori ini dirumuskan oleh Christian

Snock Hurgronje

Receptie exit : teori bahwa hukum Islam adalah hukum yang

mandiri dan lepas dari pengaruh hukum lainnya

termasuk adat. Teori ini dirumukan oleh Hazarin

sebagai bantahan terhadap teori receptie

Receptie a contrario : teori bahwa hukum Islam berlaku sesuai

kehendak umat Islam, dan hukum adat berlaku

apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Teori ini dirumuskan oleh Sajuti Thalib sebagai

bantahan terhadap teori receptie

Restorative justice : model pendekatan penyelesaian perkara pidana

dengan mempertemukan pelaku, korban atau

keluarganya, dibantu pihak ketiga untuk

mencapai kesapakatan pelaku bertanggung jawab

atas perbuatannya dengan memberikan ganti rugi

kepada korban atau keluarganya

Şulh : perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara

Ta’zir : sanksi pidana yang belum ditentukan jenisnya

dan menjadi kewenangan pemerintah untuk

mengaturnya

The living law : hukum yang telah lama hidup di masyarakat dan

membentuk kesadaran hukum masyarakat

Unifikasi hukum : hanya satu hukum yang berlaku dan mengikat

bagi seluruh warga

Page 37: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxvii

DAFTAR SINGKATAN

ABA : American Bar Association

AGIL : Adaptation, Goal, Integration, Laten Pattern Maintenance

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

FCGC : Family Community Group Conferencing

FGC : Family Group Conference

GBHN : Garis-Garis Besar Haluan Negara

HAM : Hak Asasi Manusia

HIR : Herziene Inlandsch Reglement

KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

NGO : Non Government Organisation

NRI : Negara Republik Indonesia

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PP : Peraturan Pemerintah

Proglegnas : Program Legislasi Nasional

Prolegda : Program Legislasi Daerah

RI : Republik Indonesia

RUU : Rancangan Undang-Undang

Saw. : Şalalahu ‘Alaihi Wasalam

SKB : Surat Keputusan Bersama

Swt. : Subhanahu Wata’ala

UN : United Nations

UUD : Undang-Undang Dasar

VOC : Victim Offender Conferencing

VOM : Victim-Offender Mediation

VORP : Victim Offender Reconciliation Program

WvS : Wetboek van Strafrecht

WvSNI : Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie

Page 38: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Penelitian Terkait .................................................................... 33

Tabel 2 Perkembangan Orientasi dalam Teori Pemidanaan ................. 143

Tabel 3 Kadar Diyat yang Harus Dibayarkan ...................................... 154

Tabel 4 Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Sanksi Pidananya ................. 264

Tabel 5 Mekanisme Şulh dan Restorative Justice .............................. 358

Tabel 6 Manfaat Mediasi dalam Perkara Pidana ................................. 368

Page 39: DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL …eprints.undip.ac.id/50153/1/1101011500001_-_Achmad_Irwan_Hamzani... · yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan

xxxix

DAFTAR RAGAAN

Halaman

Ragaan 1 Formulasi Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum

Pidana Nasional Berbasis Kontribusi Qişâş-Diyat dalam

Hukum Pidana Islam ................................................................ 16

Ragaan 2 Analisis Data ........................................................................... 31

Ragaan 3 Tujuan Nasional ...................................................................... 59

Ragaan 4 Kondisi Hukum Islam di Indonesia Saat Ini ........................... 121

Ragaan 5 Proses Musyawarah dalam Menyelesaikan Perkara Pidana di

Masyarakat .............................................................................. 187

Ragaan 6 Proses untuk Menentukan Pidana Qişâş-Diyat oleh Korban

atau Keluarganya terhadap Pelaku .......................................... 264

Ragaan 7 Mekanisme Restorative Justice ............................................. 348

Ragaan 8 Elemen Rekonsiliasi ............................................................... 356

Ragaan 9 Konstruksi Restorative Justice Berbasis Qişâş-Diyat ............. 385