-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem dan Pemodelan
2.1.1. Definisi dan Kategori
Sistem berasal dari bahasa Latin (systma) dan bahasa Yunani
( systma ) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau
elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran
informasi,
materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk
menggambarkan
suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model
matematika
seringkali bisa dibuat (Wikipedia, 2009a).
Sistem juga merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang
saling
berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki
item-item
penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan
suatu
kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi
yang saling
berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang
berperan
sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut
(Hidaka,
2005).
Kata sistem banyak sekali digunakan dalam keseharian, dalam
forum
diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak
hal, dan
pada berbagi bidang, sehingga maknanya menjadi beragam.
Dalam
pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan
benda
yang saling memiliki hubungan (Sufian et al. 2006).
Sebuah sistem umumnya memiliki karakteristik, yang yang
terdiri
dari : (1) struktur-yang dijabarkan oleh bagian dan komposisi;
(2) perilaku-
yang dijabarkan oleh input, proses ,output materi, energi
,informasi; (3)
interconnectivity (saling memiliki keterkaitan)-setiap bagian
dari sistem
memiiki fungsi dan hubungan struktural antara satu sama lain
(Forrester,
2002, Sliwa, 2006).
Universitas Sumatera Utara
-
Dooley (2002) mendefinisikan sistem sebagai sistem gugus
elemen
yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai satu
atau gugus
tujuan. Definisi lain dari sistem ialah merupakan jaringan
prosedur yang
saling berhubungan dan terorganisasi untuk melakukan kegiatan
atau untuk
menyelesaikan sasaran dan tujuan tertentu
Menurut sifatnya, sistem terbagi 2 yaitu : (1) sistem dinamis ;
(2)
sistem statis (Sitompul, 2002; Christina, 2004). Kategori
lainnya adalah
sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup hanya ada
dalam asumsi
dan kajian analisis. Berdasarkan jenis, ada sistem abstrak dan
sistem fisik.
Sistem dapat pula menjadi komponen, batasan, lingkungan,
interface, input,
proses, output, sasaran, dan tujuan (Sitompul, 2002; Christina,
2004). Batas
sistem adalah abstraksi dari batas yang menghimpun unsur dan
proses dari
sistem sebagai bagian terpisah lingkungan total. Unsur dalam
sistem
dipengaruhi oleh lingkungan, tapi sebaliknya komponen tidak
mempengaruhi lingkungan. Sebagai contoh dalam model tanaman,
faktor
lingkungan seperti radiasi matahari dan suhu mempengaruhi
fotosintesis,
tetapi keadaan sebaliknya tidak terjadi yaitu fotosintesis
mempengaruhi
faktor lingkungan. Ini tidak seluruhnya benar, karena tanaman
dapat
mempengaruhi iklim mikro dan mungkinfaktor iklim lain pada
tingkat yang
sangat kecil yang biasanya diabaikan dalam penerapan studi
sistem
(Sitompul 2002).
2.1.2. Pendekatan Sistem Dinamis
Sebuah sistem yang kompleks akan terdiri dari berbagai
komponen
dan lapisan subsistem, interkonektivitas yang nonlinier. Hal ini
akan
mempersulit proses pengenalan, pengelolaan serta prediksi yang
harus
dilakukan (Forrester 2002, Maxwell et al., 2002). Selain itu,
sistem yang
kompleks akan melibatkan orang, organisasi, masalah serta
kebijakan yang
mempengaruhi keutuhan dari suatu sistem. Karakter dan komponen
sistem
yang kompleks tersebut akan menyebabkan tingginya tingkat
ketidakpastian
dan perlu dilakukannya pendekatan sistem dinamis (Kossik et al.,
2004;
Universitas Sumatera Utara
-
Hall et al., 2004). Kesuksesan sebuah organisasi dalam
memecahkan
permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dinamis
akan
sangat bergantung pada kemampuan pelaksana dalam mengelola
kompleksitas yang saling berhubungan tersebut. Desain yang
efektif dan
efisien tidak bisa dicapai tanpa adanya pemahaman yang
komprehensif
terhadap seluruh komponen sistem (Marashi et al., 2005).
Permasalahan sistem yang dapat menggunakan pendekatan sistem
biasanya mencakup: (1) tingkat kerumitan (kompleks), (2)
probabilistik, (3)
dinamis-berubah terhadap waktu ; serta (4) mengandung minimal
satu
umpan balik (Wager et al., 2002; Tasrif, 2005). Solusi metode
berpikir
sistem diawali dengan pemetaan kognitif (memikirkan interaksi
antara unsur
dalam batas-batas tertentu) dan pemetaan kausal tentang aliran
informasi,
dilanjutkan simplifikasi kompleksitas untuk desain model
mental
(Muhammadi et al., 2001). Adapun tahapan melibatkan proses :
(1)
strukturisasi masalah; (2) proses desain hubungan sebab akibat
(causal loop)
yang dinamis; (4) penetapan skenario; (5) implementasi; serta
(6) evaluasi.
Meskipun demikian tidak semua tahapan harus diimplentasikan
dalam
pendekatan sistem dinamis, karena hal tersebut sangat tergantung
pada
kesiapan para eksekutor kebijakan (Maani & Cavana, 2000
dalam Christina,
2004).
Hal ini disebabkan karena dengan pendekatan sistem dinamis
para
eksekutor kebijakan dapat memvisualisasikan secara efektif : (1)
analisis
situasi : (2) analisis penyebab; (3) dan alternatif pemecahan
masalah. Pada
tahapan analisis situasi, pendekatan sistem dinamis akan
memberikan
gambaran tentang kondisi masa depan. Pada tahapan analisis
penyebab
hubungan siklus dapat ditingkatkan keakuratannya karena dapat
terjadi dari
berbagai arah. Pada tahapan akhir yaitu alternatif pemecahan
masalah,
pendekatan sistem dapat menganalisis dampak dari berbagai
alternatif
pemecahan masalah yang akan ditempuh sebelum
mengimplementasikannya ke dunia nyata (Hidaka, 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
Pendekatan sistem dinamis untuk menjawab berbagai
permasalahan
sebenarnya berada diantara soft modelling dan hard modelling.
Karena
disatu sisi pendekatan ini dapat saja menggunakan data
kuantitatif sebagai
pendekatan solusi tetapi disisi lain juga dapat memberikan nilai
lebih
dengan mengikut sertakan data kualitatif ke dalam sistem.
Perbedaan antara
soft modelling dan hard modelling disarikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Hard versus Soft Approaches Uraian Hard approach Soft
approach
Definisi Model Reprensentasi dari dunia nyata
Menelaah secara mendalam tentang dunia nyata
Definisi Masalah Jelas dan berdimensi Tunggal Ambigu dan
multidimensi
Pribadi dan Organisasi Tidak diikut sertakan Bagian dari
Model
Data Kuantitatif Kualitatif
Tujuan Penyelesaian masalah dan optimasi Proses pembelajaran
yang mendalam
Hasil Rekomendasi Berlanjut dengan pembelajaran kelompok Sumber
: Maani et al., 2000 dalam Christina, 2004.
Lebih lanjut Maani et al. (2000) dalam Christina (2004)
menjabarkan
tahapan serta langkah yang harus ditempuh dalam menerpakan
pendekatan
sistem dinamis. Pendekatan sistem dinamis akan melibatkan 5
tahapan
utama yang terdiri dari : (1) Strukturisasi permasalahan; (2)
Pemodelan
causal loop; (3) pemodelan dinamis; (4) penerapan skenario dan
pemodelan;
(5) penerapan dan pembelajaran organisasi. Meskipun demikian,
tentunya
tidak semua tahapan tersebut harus dilaksanakan., karena hal
tersebut akan
sangat bergantung kepada masalah yang akan diselesaikan serta
komitmen
dan kesiapan organisasi yang bersangkutan untuk melaksanakan
intervensi
dengan cara mengimplementasikan opsi-opsi terpilih. Uraian
lengkap
tentang tahapan dan langkah yang harus ditempuh dalam pendekatan
sistem
dinamis dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut.
Universitas Sumatera Utara
-
Tabel 2.2. Metodologi Sistem Dinamis Tahapan Langkah-langkah
1. Strukturisasi Masalah Indentifikasi masalah yang berkaitan
dengan pengelolaan sistem or issues of concern to management
2. Pemodelan Causal Loop Indentifikasi variabel utama
Mempersiapkan grafik yang memperlihatkan
gejala perlakukan terhadap waktu (mode referensi)
Mengembangkan diagram causal loop (diagram sebab akibat)
Analisis gejala sebab akibat terhadap waktu Identifikasi jalur
sistem Indentifikasi nilai tambah sistem Mengembangkan strategi
intervensi
3. Pemodelan dinamis Mengembangkan gambaran sistem secara
menyeluruh
Menentukan jenis variabel dan mengkonstruksi diagaram
stock-flow
Mengumpulkan informasi dan data secara detail
Mengembangka model simulasi Menentukan model seperti nilai awal,
selang
waktu simulasi, rentang waktu
4. Merencanakan Skenario dan Pemodelan
Merencanakan skenarion secara umum Indentifikasi faktor kunci
yang
mempengaruhi perubahan dan cata hal yang diragukan
Bangun skenario pembelajaran dan intervensi
Simulasi skenario dengan model Evaluasi masalah yang berkaitan
dengan
skenario dan strategi.
5. Penerapan dan organisasi pembelajaran
Menyiapkan laporan dan presentasi Mengkomunikasikan hasil dan
pilihan
intervensi kapada stakeholder Mengembangkan dunia kecil and
lab.
pembelajaraan berdasarkan model simulasi Gunakan lab.
Pembelajaran untuk menelaan
model mental dan memfasilitasi proses pembelajaran
Sumber : Maani et al. (2000) dalam Christina (2004)
Universitas Sumatera Utara
-
2.1.3. Struktur, Perilaku Sistem dan Causal Loop Diagram
Pendekatan sistem dinamis telah memungkinkan para praktisi
untuk
meningkatkan level pemahaman terhadap sistem. Hal lain yang
dapat
diperoleh oleh praktisi melalui pendekatan ini adalah kemampuan
untuk
menginterpretasikan model mental dari suatu sistem secara
visual, ringkas
serta mengkomunikasikan model mental tersebut kepada pihak lain
(CFSD,
2003).
Untuk dapat mencapai tahapan tersebut, setiap gejala fisik/non
fisik
yang terdapat pada sistem diserderhanakan menjadi struktur
dasar, yaitu
mekanisme kerja yang berkelanjutan dari : input, output, dan
feedback yang
berubah menurut waktu (dinamis). Perubahan tersebut akan
menghasilkan
unjuk kerja sistem yang teramati perilakunya. Mekanisme kerja
berkembang
dengan batasan tertentu serta adanya kontrol bias dari dalam :
umur atau
kerusakan atau dari luar sistem : intervensi dan hambatan
lingkungan
(Muhammadi et al., 2001).
Hal penting dalam struktur dinamis adalah menemukan
mekanisme
solusi yaitu bagaimana strategi, aksi dan kebijakan agar sistem
berfungsi
sesuai tujuan. Struktur sistem dinamis adalah sistem tertutup.
Pengaruh
lingkungan dimungkinkan dan perubahan eksternal dianggap
sebagai
variabel eksogen. Untuk memudahkan berpikir sistem, struktur
disederhanakan dalam causal loop diagram yang menggambarkan ciri
dari
sistem tertutup.
Ciri sistem tertutup di tunjukkan loop feedback (Muhammadi et
al.,
2001). Hubungan kausal (causal loop) atau hubungan sebab
akibat
merupakan titik fokus dari paradigma pendekatan sistem
dinamis.
Hubungan sebab akibat tersebut sebagian besar diperoleh dari :
korelasi,
analisis regresi, cluster analysis dan berbagai analisis
klasifikasi dari
komponen sistem (Roy et al., 2000)
Causal loop diagram adalah ekspresi hubungan kausal ke dalam
gambar tertentu. Unsur sebab dan akibat salah satu diantaranya
merujuk
keadaan terukur kualitatif (dirasakan) atau kuantitatif
(aktual). Proses (rate)
Universitas Sumatera Utara
-
atau informasi tentang keadaan sebagai sebab yang menghasilkan
keadaan
(level) atau pengaruh pada proses sebagai akibat atau sebaiknya.
Ini adalah
aturan logis sistem dinamis dalam memetakan causal loop diagram
seperti
yang diilustrasikan pada gambar 2.1 (School, 2000; Muhammadi et
al.,
2001).
Gambar 2.1. Causal Loop Diagram (Roy et al, 2000)
Causal loop diagram merupakan alat bantu untuk mempermudah
strukturisasi sistem. Strukturisasi rinci untuk simplikasi
kompleksitas sesuai
dengan maksud berpikir sistem. Simplikasi berkembang menjadi
pola-pola
struktur dinamis. Setiap sistem memiliki perbedaan pola perilaku
dinamis.
Pola-pola dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam membangun
struktur
dinamis yang lebih rinci atau untuk analisis (Roy et al., 2000;
Muhammadi
et al., 2001). Setelah unsur sebab dan akibat telah duduk maka
selanjutnya
(yang dihubungkan dengan panah sebab akibat) dapat diketahui
jenis akibat
yang ditimbulkan oleh sebab, yaitu searah-akibat, serta dapat
diketahui jenis
akibat yang ditimbulkan oleh sebab, yaitu searah atau berlawanan
arah. Jika
hubungan itu searah maka tanda panahnya positif (+); jika
berlawanan arah
maka tanda panahnya negatif (CFSD, 2003; Borshchev et al., 2004;
Ford et
al., 2005 ).
Proses penstrukturan selanjutnya adalah merangkai hubungan
kausal
itu menjadi sistem tertutup sehingga menghasilkan loops. Sifat
positif atau
negatif loops diketahui dengan melihat hasil seluruh proses
interaksi tanda
Universitas Sumatera Utara
-
panah dalam suatu loop; searah (disebut loop positif) atau
berlawanan arah
(disebut loop negatif). Loop positif berprilaku percepatan atau
perlambatan.
Loop negatif berperilaku menuju sasaran atas limit. Ada dua
jenis sasaran,
yaitu sasaran menuju eksplisit : lebih besar dari 0 dan sasaran
menuju
implisit : mendekati 0 (CFSD, 2003; Borshchev et al., 2004; Ford
et al.,
2005).
Hubungan kausal yang terjadi pada suatu sistem akan
dipengaruhi
oleh peubah dan paramater (Sitompul, 2002). Peubah keadaan
(state
variables) adalah kuantitas yang menggambarkan kondisi komponen
dalam
sistem yang dapat nyata seperti berat atau abstrak seperti
fase
perkembangan dan dapat berubah dengan waktu sebagaimana
sistem
berinteraksi dengan lingkungan. Peubah keadaan bersifat masukan
pada
model sistem seperti faktor lingkungan yang mempengaruhi
tingkah-laku
sistem, dan juga dikenal sebagai peubah penggerak (driving
variables). Jika
suatu sistem tidak mempunyai masukan, itu berarti tidak
dipengaruhi oleh
lingkungan dan diacu sebagai sistem tertutup (closed sistem).
Sistem
terbuka (open system) mempunyai satu atau lebih masukan yang
dapat
berubah dengan waktu.
Parameter adalah karakteristik dari unsur sistem atau peubah
laju
(rate variables) dari persamaan yang digunakan dalam model
sistem dan
biasanya bersifat tetap (konstan) selama masa simulasi.
Parameter dapat
dibuat sebagai masukan, sehingga kadang-kadang perbedaan
antara
masukan dan parameter tidak selalu jelas. Umumnya masukan
tergantung
langsung pada waktu, sementara parameter adalah relatif konstan
tergantung
pada keadaan sistem. Penggunaan diagram komponen dianjurkan
untuk
menghubungkan komponen, masukan, keluaran, dan batas sistem
dalam
sistem (Sitompul, 2002).
2.1.4. Model
Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang
menjelaskan
suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa
penyederhanaan
Universitas Sumatera Utara
-
atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket,
bentuk
prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau
rumusan
matematis (Caughlin , 2000; Bazkiaei et al. 2007; Wikipedia,
2009b).
Model beperanan penting dalam pengembangan teori karena
berfungsi
sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan
untuk
menggambarkan sistem. Hawking (dalam Sitompul 2002)
menjelaskan
bahwa :
a theory is just a model of the universe,......, and a set of
rules that relate quantitiesi n the model to observations ... A
theory is a good theory if it satisfies two requirements: It must
accurately describea large class of observations on the basis of a
model ....., and it must make definite predictions about the
results of future observations
Lebih lanjut Sitompul (2002) mengklasifikasikan model
kedalam
beberapa jenis yaitu :
1. Model Matematika Model matematika adalah model yang dicirikan
dengan persamaan
matematik yang terdiri dari peubah dan parameter.
2. Model Kontinu dan Diskret
Model kontinu yang dicirikan oleh peubah keadaan yang berubah
secara
perlahan dalam selang waktu yang relatif pendek dan tidak
terbatas pada
bilangan bulat (integer), sedangkan model diskret adalah model
dengan
peubah yang menggambarkan keadaan sistem dengan bilangan
bulat.
Model diskret biasanya membutuhkan informasi tentang waktu
yang
dibutuhkan.
Sebaliknya, model kontinu membutuhkan informasi mengenai
proses
seperti tingkat aliran bahan atau energi diantara komponen dan
diantara
komponen dengan lingkungan. Model diwakili oleh serangkaian
persamaan diferensial yang diturunkan dari struktur sistem dan
saling
berhubungan diantara komponennya.
Model sistem kontinu adalah suatu pendekatan yang berorientasi
pada
proses dalam penggambaran tingkah-laku suatu sistem. Proses
dapat
dibagi tiga bagian yaitu transport atau aliran (flow),
transformasi dan
Universitas Sumatera Utara
-
simpanan (storage atau stock). Proses ini digambarkan oleh dua
klas
peubah yang kadang-kadang disebut peubah ekstensif
(extensive
variables) dan peubah intensif (intensive variables). Peubah
ekstensif
dicirikan oleh aliran kuantitas seperti aliran massa, volume,
muatan
listrik, dan panas.
Peubah intensif, yang merupakan ukuran dari intensitas energi
atau
potensial, mengwakili tenaga penggerak peubah ekstensif
seperti
tekanan, suhu, voltase dan kecepatan (velocity). Identifikasi
peubah
ekstensif dan intensif serta komponen sistem perlu dilakukan
secara
cermat, dan diagram sistem dapat digunakan untuk menurunkan
persamaan atau model matematik dari sistem. Karena kesamaan
peubah
ekstensif dan intensif diantara sistem, metode yang sama
dapat
digunakan untuk membentuk model untuk masing-masing sistem,
dan
model matematik yang sama dari suatu sistem dapat digunakan
pada
sistem yang lain.
3. Model Empiris dan Mekanistik Model empiris diperoleh biasanya
dari pengalaman, seperti hasil
pengamatan, dan digunakan untuk menggambarkan suatu atau
sebagian
tingkah-laku sistem yang dipelajari.
Sementara, model mekanistik mencoba memberikan deskripsi
sistem
berdasarkan pemahaman akan tingkah-laku dari sistem tersebut
atau
mekanisme yang dipertimbangkan. Pada umumnya, orang yang
mengembangkan model empiris bekerja hanya pada satu tingkat
hirarki
organisasi sistem keseluruhan, dan menurunkan persamaan yang
menghubungkan satu komponen dengan komponen lain pada
tingkat
yang sama dalam sistem tersebut
Sebaliknya, model mekanistik dikembangkan untuk mencoba
menggambarkan tingkah-laku dari komponen sistem (attributes)
pada
tingkat hirarki yang berbeda seperti komponen pada tingkat i
dengan
komponen pada tingkat i-1. Kedua tingkatan tersebut dihubungkan
oleh
proses analisis dan resistensi yang diikuti dengan asumsi dan
hipotesis.
Universitas Sumatera Utara
-
Deskripsi tingkah laku pada tingkat i-1 dapat murni empiris
(berdasarkan pengalaman) dan tidak mengandung unsur yang
berada
pada tingkat hirarki yang lebih bawah (i-2), atau sebagian
empiris dan
sebagian lagi mekanistik.
Salah satu fakta yang harus diingat adalah bahwa model
mekanistik
jarang secara murni mekanistik dan lebih sering sebagian
didasarkan
atas model empiris. Kenyataan lain adalah bahwa model empiris
dapat
memberikan hasil yang lebih baik dari model mekanistik. Ini
terjadi
karena model empiris lebih mudah diturunkan dengan hanya
sedikit
kendala dibandingkan dengan model mekanistik.
4. Model Statis dan Dinamis Model statis adalah model yang tidak
melibatkan waktu sebagai peubah,
sehingga perubahan sistem dengan waktu tidak diketahui.
Karena
hampir tidak ada aspek yang tidak berubah dengan waktu
betapapun
kecil tingkat perubahannya, suatu model statis hanya
bersifat
aproksimasi. Sekalipun demikian aproksimasi yang sangat baik
dapat
diperoleh. arena sistem yang dipelajari cukup mendekati
keadaan
setimbang (equilibrium), atau skala waktu dalam sistem
sedemikian
pendek dibandingkan dengan waktu dari lingkungan.
Suatu sistem adalah dinamis apabila keadaannya berubah dengan
waktu
seperti pertumbuhan tanaman selama siklus hidupnya. Ini dapat
bersifat
kontinu apabila tabiat dan keadaannya berubah relatif perlahan,
atau
diskret apabila perubahannya terjadi cepat atau besar mis.
pergantian
penggunaan traktor.
Suatu model adalah dinamis jika itu mensimulasi perilaku sistem
yang
dinamis. Model dinamis dicirikan oleh waktu sebagai salah satu
faktor
penentu perubahan dari sistem yang sering dinyatakan dalam
persamaan
diferensial.
5. Model Deterministik dan Stokastik Model deterministik adalah
yang menghasilkan penaksiran kuantitas
defenitif seperti hasil tanaman yang tidak disertai dengan
informasi
Universitas Sumatera Utara
-
mengenai peluang. Ini dapat berlaku untuk kasus tertentu, tapi
kurang
memuaskan untuk kuantitas yang sangat bervariasi seperti curah
hujan.
Sebaliknya model stokastik mengandung unsur acak atau
distribusi
peluang, sehingga tidak hanya membuat penaksiran keluaran
yang
defenitif tapi juga disertai dengan deviasi (variance). Semakin
besar
ketidak-pastian akan tingkah-laku suatu sistem, semakin
penting
penerapan model stokastik.
Proses seperti kelahiran, migrasi, kematian, dan konversi
kimia
cenderung terjadi secara acak. Tingkah-laku sistem dapat
menjadi
deterministik apabila kuantitas besar dilibatkan, artinya
variasi yang
sangat kecil tidak begitu berarti dalam taksiran yang dihasilkan
model.
Kasus epidemiologi, dinamika populasi, pengendalian populasi
kadang-
kadang didekati dengan model stokastik.
6. Model deskriptif Model deskriptif membatasi tingkah-laku atau
perilaku suatu sistem
dalam suatu cara sederhana, dan mengandung sedikit, jika
ada,
mekanisme yang menyebabkan tingkah-laku tersebut. Pembentukan
dan
penggunaan model agak bersifat langsung dan sering terdiri dari
satu
atau lebih persamaan matematik.
7. Model Eksplanatori Model eksplanatori terdiri dari deskripsi
kuantitatif dari mekanisme dan
proses yang menyebabkan tingkah-laku suatu sistem. Deskripsi
ini
merupakan pernyataan eksplisit (tegas) dari teori ilmiah dan
hipotesis.
Untuk menciptakan suatu model eksplanatori, suatu sistem
dianalisis
dan proses serta mekanismenya dikuantifikasi secara terpisah.
Model
dibangun dengan mengintegrasikan keseluruhan deskripsi dari
sistem
tersebut.
Adapun tahapan yang harus dilalui dalam pengembangan model
terdiri atas : (1) definisi masalah; (2) konseptualisasi sistem;
(3) representasi
model; (4) evaluasi model; (5) analisis kebijakan dan
implementasi model
Universitas Sumatera Utara
-
yang logis dimulai dari bentuk sederhana dengan mendefiniskan
masalah
secara hati-hati dan analisis sensivitas untuk membantu
menentukan rincian
model. Selanjutnya ditambah variabel secara gradual sehingga
logis dan
representatif. Penyempurnaan struktural dan fungsional
mempertimbangkan
feasibility dan desirability (Sushil, 1993).
2.1.5. Validasi Model
Validasi adalah salah satu kriteria uji yang bertujuan untuk
mengetahui apakah suatu model dapat menirukan kondisi nyata
(Muhammadi et al., 2001; Burns, 2002; Christina, 2004).
Validasi
(output/kinerja model) dilakukan untuk mengetahui antara hasil
simulasi
dengan gejala atau proses yang diturunkan. Model yang baik
memiliki
kesalahan atau simpangan terhadap data statistik dan informasi
aktual yang
kecil. Ada 2 jenis validasi yang dapat dilakukan terhadap model
yaitu
(Muhammadi et al., 2001; Burns, 2002):
1. Validitas Struktur Ada dua jenis validitas struktur, yaitu
validitas konstruksi (konstruksi
model valid secara ilmiah) dan stabilitas struktur (keberlakuan
atau
robustness struktur dalam dimensi waktu). Uji validitas
struktur
bertujuan meyakinkan tingkat keserupaan struktur model
mendekati
struktur nyata. Ada dua teknik validasi konstruksi, yaitu dengan
teori
dan kritik teori. Validasi konstruksi dengan teori ditunjukkan
dengan
tingkat kesesuaian struktur model yang dirumuskan dengan
aturan
berpikir logis setiap teori keilmuan dengan objek penelitian,
artinya
setiap hubungan kausal umum atau rinci dalam model didukung
argumentasi yang sudah diturunkan dan didukung teori dan
konsep
relevan tidak dengan sendirinya valid.
Teori berubah dan berkembang sesuai dinamika sistem nyata
pada
waktu dan tempat tertentu. Metode berpikir sistem
menganjurkan
kreativitas dalam perumusan struktu model teoritis yang baik,
model
memakai teori relevan, mengikuti perkembangan teori bar, dan
Universitas Sumatera Utara
-
menerapkan teori yang cocok untuk menjelaskan objek tertentu di
suatu
trempat, dipakai bersyarat untuk menjelaskan keadaan di tempat
lain.
Untuk keyakinan sejauh mana struktur model teoritis yang
dirumuskan
dapat menjelaskan struktur sistem nyata,maka harus lulus uji
stabilitas
struktur model.
Uji ini bertujuan untuk melihat keberlakuan (robustnees) model
dalam
dimensi waktu. Hal ini dilakukan dengan menguji struktur
model
terhadap perlakuan kejutan agregasi unsur dan disagregasi
menghasilkan
kolapsnya perilaku/kinerja sistem atau tidak logis, maka berarti
ada
kesalahan/kekurangan dalam struktur model. Struktur
disempurnakan
atau diubah sama sekali mulai dari awal.
Pekerjaan validasi struktur memerlukan kesabaran dan ketekunan
karena
melakukan pengulangan berpikir sampai diperoleh struktur model
logis
dan objektif. Model kurang logis disebabkan oleh konstruksi
lemah
secara teoritis akibat terlalu menggunakan akal sehat parsial.
Model
kurang objektif umumnya jika konstruksi lemah kontekstual,
sebab
kurang kritis dan menggantungkan pada teori yang kurang
relevan.
Setelah diperoleh struktur model yang stabil yaitu logis dan
objektif,
terhadap validasi berikutnya adalah uji validitas kinerja/output
model.
2. Validitas Kinerja/Output Model Dalam metode berpikir sistem
validasi kinerja adalah pelengkap.
Tujuannya memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model
sesuai
denagan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat model
ilmiah.
Caranya adalah validasi kinerja model dengan data empiris
untuk
melihat sejauh mana perilaku output model sesuai dengan data
empirik.
Sebelumnya, aspek yang perlu diperhatikan yaitu konsistensi
unit
analisis, dimensi, dan data simulasi yang dihasilkan model.
Dalam model interaksi semua variabel saling bergantung.
Konsistensi
ukuran dalam interaksi antar variabel diperoleh dengan
menjembatani
perbedaan ukuran variabel dengan variabel penghubung (rasio
atau
fungsi tabel efek). Data yang dimasukkan ke dalam model hanya
data
Universitas Sumatera Utara
-
level awal dan variabel penghubung (tabel) dan konstanta. Data
simulasi
suatu variabel menjadi masukan bagi variabel lain, kemudian
menciptakan data simulasi untuk variabel tersebut.
Kesalahan input data awal akan membuat kesalahan kumulatif
pada
variabel lain yang berinteraksi sehingga ketelitian data awal
mutlak
diperhatikan. Meskipun demikian metode berpikir sistem lebih
menekankan pada persoalan apa, mengapa, dan bagaimana
persoalannya, tidak menekankan pada beberapa angka
ketelitian.
Prosedur uji konsistensi adalah: 1) mengeluarkan output
simulasi
khususnya nilai rujukan (reference mode atau variabel uatama)
lalu
dibandingkan dengan pola perilaku data empirik. Pertama,
komparasi
visual: jika visual pola output simulasi sudah mengikuti pola
data aktual
maka diuji statistik; 2) uji statistik untuk telaah deviasi
antar output
simulasi dibandingkan data aktual. Hal ini dapat dilakukan
dengan
menggunakan menggunakan salah satu metode seperti : (1) AME
(absolute mean error); (2) Kalman Filter (KF), dan (3) DW
(Durbin
Watson). Secara statistik batas deviasi antara output simulasi
data aktual
yang dapat diterima adalah 5% (untuk AVE, AME, dan
U-Theils).
tingkat kecocokan output simulasi dengan data aktual yang
dapat
diterima adalah 47,5-52,5 % (untuk KF-Kalman Filter) dan
pola
fluktuasi output simulasi terhadap data aktual dapat diterima
bila
dL
-
menjelaskan sensivitas parameter, variabel dan hubungan antar
variabel
dalam model. Hasil uji sensivitas dalam bentuk perubahan.
Perilaku dan/atau kinerja model untuk menganalisis efek
intervensi.
Intervensi berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia
nyata,
pilihan kebijakan yang mungkin, atau aksi yang layak. Efek aksi
terhadap
perubahan kinerja sistem diamati melalui perubahan nilai rujukan
bias
merupakan pola dan trend yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Uji
sensitivitas dilakukan untuk menemukan alternatif kebijakan:
akselerasi
kemungkinan pencapaian hasil positif yaitu sesuai dengan tujuan
riset atau
antisipasi kemungkinan dampak negatif yaitu agar kinerja
keseluruhan
unsur sistem tidak gagal/bablas (failure/overshoot). Ada dua
kategori uji
sensivitas, yaitu intervensi fungsional dan intervensi
struktural, yang
dapat dielaborasi sebagai berikut: (Breierova et al., 1996;
Muhammadi et
al., 2001)
1. Intervesi Fungsional adalah intervensi terhadap parameter
atau
kombinasi parameter tertentu di model dengan menggunakan
fasilitas
dalam perangkat lunak yang cocok atau mewakili perubahan
keputusan,
kejadian, dan keadaan tertentu. Fasilitas uji sensivitas
parameter input
(intervensi) penting menggunakan powersim, antara lain: sinus,
setengah
sinus, trend, ram, pulse, random, dan forecast. Penggunaan
fasilitas ini
sesuai dengan antisipasi perubahan parameter yang mungkin
terjadi
dalam dunia nyata. Selanjutnya dilakukan simulasi dan diamati
hasil dan
dampaknya pada keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Pola
dan
kecenderungan hasil dan dampak intervensi ini bersifat
non-linier dan
dinamis yang dinyatakan dalam presentase fungsi waktu.
2. Intervensi Struktural adalah mempengaruhi hubungan antar
unsur atau
struktur, dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang
membentuk dasar (archtype) model. Intervensi tidak radikal
apabila
pengujian tidak mengubah bentuk dasar (archtype) model.
Intervensi
radikal apabila penguji mengubah bentuk dasar model.
Selanjutnya
dilakukan simulasi dan diamati hasil dan dampaknya pada
keseluruhan
Universitas Sumatera Utara
-
kinerja unsur dalam sistem. Pola dan kecenderungan hasil dan
dampak
intervensi ini juga non-linier. Secara teoritis hasil dan dampak
intervensi
struktural lebih berarti dari pada fungsional.
2.1.7. Simulasi Model
Simulasi model dapat didefinisikan sebagai cara untuk
mengetahui
perubahan yang terjadi dimasa depan sebelum sebuah sistem
tersebut
diimplementasikan. Simulasi adalah proses eksekusi model
secara
(terpisah atau kontinu) yang berubah dari waktu ke waktu.
Simulasi model
cocok digunakan untuk menganalsisi permasalahan kompleks
serta
berkaitan dengan dinamika waktu (Borshchev et al., 2004).
Gambar 2.2. Penggunaan Simulasi Model (Borshchev et al.,
2004)
Gambar 2.2 menjelaskan bahwa dengan simulasi model maka: (1)
untuk mengatasi masalah The Problem didunia nyata seorang
praktisi
tidak perlu melakukan ekperimen untuk menemukan solusi yang
tepat bagi
masalah tersebut; (2) yang perlu dilakukan adalah membangun
model
dengan komponen-komponen yang dapat dideteksi perilakunya
sehingga
interaksi perilaku tiap komponen terlihat dan dianalisis; (3)
Hasil eksekusi
simulasi model dengan parameter dan peubah selanjutnya akan
dioptimasi
Universitas Sumatera Utara
-
prilakunya seiring dengan perubahan waktu; (4) simulasi model
yang
optimum dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang
ada.
Adapun tahapan simulasi yang harus dilakukan terdiri dari :
(1)
penyusunan konsep; (2) pembuatan model; (3) simulasi; (4)
validasi hasil
simulasi. Proses sistem akan ditirukan untuk dapat memahami
perilakunya.
Hal ini dapat dilakukan dengan dengan menentukan unsur-unsur
yang saling
berinteraksi, berhubungan, berketergantungan, dan bersatu dalam
aktivitas.
Unsur-unsur dan keterkaitannya digunakan untuk menyusun gagasan
atau
konsep yang selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk
uraian,
gambar atau rumus. Simulasi dapat dilakukan dengan model. Dalam
model
kuantitatif simulasi dengan cara memasukan data ke dalam
model.
Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku atau gejala
proses. Dalam
model kualitatif simulasi dengan cara menelusuri atau mengadakan
analisis
hubungan kausal antar unsur dengan memasukkan data atau
informasi untuk
mengetahui prilaku gejala atau proses (Muhammadi et al.,
2001).
2.2. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan
Sumber penghasil sampah di Indonesia sebagian besar berasal
dari
perumahan (70-75%) dan (25-30%) berasal dari non perumahan
(WBIO,
2003) Secara umum komposisi sampah terdiri dari jenis organik,
kertas,
plastik, gelas, logam dan lain-lain. Sampah di Indonesia
rata-rata masuk
dalam kategori sampah basah yang dengan kandungan organik cukup
tinggi
Sampah perkotaan (SP) didefinisikan sebagai sampah yang
dikumpulkan oleh pemerintahan kota (SF). SP terdiri dari sampah
yang
berasal dari rumah tangga, perkantoran, pasar, dan jalanan.
Sedangkan
Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan (SPSP) dapat didefinisikan
sebagai
suatu upaya pengelolaan yang meliputi proses pemisahan,
pengumpulan,
pemindahan pengangkutan dan pembuangan SP yang bertujuan
untuk
menjaga kesehatan masyarakat, meningkatkan keberlanjutan dan
kualitas
lingkungan, meningkatkan produktivitas ekonomi serta menambah
jumlah
angkatan kerja (Schbeler et al., 1996 ; EC, 2000 ; Dubois et
al., 2004)
Universitas Sumatera Utara
-
(70-80%) dan anorganiknya (20-30%) serta memiliki kadar air 60%,
berat
jenis rata-rata 250 kg/m3 serta nilai kalor (1.100-1.500)
k.cal/kg. Sampah
ini akan terdekomposisi menjadi bentuk padat, cair dan gas.
Proses dekomposisi di suatu TPA (landfill) akan berlangsung
sangat
lama sedikitnya selama 30 tahun (Thobanoglous, 1993). Kandungan
gas
landfill mencapai 50% dari berat sampah dan setengah dari gas
landfill
tersebut adalah gas metan yang potensial menyebabkan efek rumah
kaca.
Dibandingkan dengan karekteristik sampah dari negara lain
yang
lebih maju (Tabel 2.3) yang pada umumnya memiliki komposisi
sampah
organik yang lebih rendah, kadar air rendah dan nilai kalor
tinggi dimana
mereka telah melakukan berbagai penelitian pemanfaatan energi
sampah
sebagai sumber energi alternatif.
Sebagai contoh Jepang telah berhasil memanfaatkan energi
sampah
dari hasil pembakaran dengan incinerator menjadi energi listrik
dan energi
panas. Swedia juga merupakan negara yang memanfaatkan sampah
sebagai
sumber pasokan energi listrik (40 % pasokan listriknya diperoleh
dari energi
sampah).
Tabel 2.3. Timbulan & Komposisi Sampah Berbagai Negara
No Negara Timbulan (kg/cap) Organik
(%) Kertas
(%) Plastik
(%)
1 Thailand 0,65 46,0 20,0 21,0
2 Vietnam 0,70 55,0
3 Malaysia 0,76 48,0 30,0 9.8
4 Indonesia 0,60 60,0 2,0 2,0
5 Asia (rata2) 0,42 75,0 2,0 1,0
6 Eropa (rata2) 0,72 25.4 28,7 4.6
7 Japan 1,12 11.7 38,5 11,9
8 USA 1,97 12,0 43,0 5,0
Sumber : (Yeoh, 2006)
Dari berbagai literatur tentang yang terkait dengan SPSP
menjelaskan bahwa aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam
suatu SPSP
Universitas Sumatera Utara
-
(Schbeler et al., 1996 ; EPIC,2000 ; JICA, 2003 ; Stypka, 2004 ;
Nie et al.,
2004 ; Prawiradinata, 2004 ; EHC, 2005 ; EMTS, 2005) dapat
disarikan
menjadi :
2.2.1. Aspek Lingkungan
a. Lingkungan Lokal
Aspek lingkungan yang perlu diperhatikan dari SPSP dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian yang terdiri atas : (1)
lingkungan lokal dan
(2) lingkungan global.
1.
Jika SP perkotaan tidak ditata dengan suatu SPSP yang baik
maka
dapat menyebabkan gangguan seperti (JICA, 2003) :
Gangguan kesehatan misalnya:
Kumpulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat, dan lalat
ini
mendorong penularan infeksi
2.
Sampah tersebut dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan
tikus,
seperti pes, leptospirosis, salmonelosis, tikus endemic, demam
gigitan
tikus, dan beberapa infeksi arboviral. Pada kejadian pasca
banjir di
Jakarta tahun 2002, jumlah kasus leptospirosis tercatat
meningkat akibat
tertimbunnya sampah di beberapa wilayah di Jakarta.
3.
Penanganan sampah yang tidak baik dapat menyebabkan timbunan
sampah yang dapat menjadi sumber kebakaran dan bahaya
kesehatan
yang serius bagi anak-anak yang bermain di dekatnya,
4.
Dapat menutup saluran air sehingga meningkatkan
masalah-masalah
kesehatan yang berkaitan dengan banjir dan tanah-tanah yang
tergenang
air.
5.
Sebanyak 20% sampah yang dihasilkan dibuang ke badan air
secara
sembarangan dapat menyumbang sekitar 60% - 70% pencemaran
sungai.
Disebabkan hampir semua TPA di Indonesia tidak ada yang
tidak
beroperasi secara Open Dumping (Wibowo dan Djajawinata,
2004),
Universitas Sumatera Utara
-
akibatnya dapat terjadi : pencemaran tanah, air, dan udara;
kesehatan
masyarakat bahkan bencana yang dapat menimbulkan korban
jiwa.
Tabel 2.4. Perkiraan Timbulan Sampah (Gigagram) 2000-2007
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH, 2008) merealese
hasil perkiraan total sampah yang dihasilkan oleh seluruh
provinsi di
Indonesia. Total timbulan sampah dari seluruh provinsi di
Indonesia secara
lengkap disajikan pada Tabel 2.4. berikut.
Sumber (KNLH, 2008)
b. Lingkungan Global
No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 20071 NAD 1,10
1,11 1,11 1,12 1,13 1,13 1,14 1,14 2 Sumatera Utara 3,26 3,31 3,35
3,40 3,44 3,49 3,53 3,57 3 Sumatera Barat 1,19 1,20 1,21 1,22 1,22
1,23 1,24 1,25 4 Riau 1,39 1,45 1,51 1,58 1,64 1,71 1,78 1,86 5
Jambi 0,67 0,69 0,70 0,72 0,73 0,74 0,76 0,77 6 Sumatera Selatan
1,74 1,77 1,80 1,83 1,86 1,89 1,92 1,95 7 Bengkulu 0,41 0,42 0,43
0,43 0,44 0,45 0,46 0,47 8 Lampung 1,88 1,92 1,95 1,98 2,01 2,04
2,07 2,10 9 Bangka Belitung 0,25 0,26 0,26 0,26 0,27 0,27 0,28
0,28
10 DKI Jakarta 2,34 2,36 2,38 2,40 2,42 2,44 2,45 2,47 11 Jawa
Barat 10,00 10,19 10,37 10,56 10,75 10,94 11,13 11,32 12 Jawa
Tengah 8,74 8,78 8,82 8,86 8,89 8,93 8,96 8,99 13 DI Yogyakarta
0,87 0,88 0,89 0,90 0,91 0,92 0,93 0,94 14 Jawa Timur 9,73 9,78
9,82 9,87 9,91 9,95 9,99 10,04 15 Banten 2,27 2,33 2,40 2,47 2,54
2,61 2,68 2,75 16 Bali 0,88 0,90 0,91 0,92 0,93 0,95 0,96 0,97 17
NTB 1,12 1,14 1,16 1,18 1,20 1,22 1,24 1,26 18 NTT 1,07 1,09 1,10
1,12 1,14 1,16 1,17 1,19 19 Kalimantan Barat 1,12 1,15 1,17 1,19
1,21 1,23 1,25 1,27 20 Kalimantan Tengah 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58
0,60 0,62 0,63 21 Kalimantan Selatan 0,84 0,85 0,86 0,88 0,89 0,91
0,92 0,94 22 Kalimantan Timur 0,69 0,71 0,73 0,75 0,77 0,79 0,81
0,83 23 Sulawesi Utara 0,56 0,57 0,58 0,58 0,59 0,60 0,61 0,62 24
Sulawesi Tengah 0,61 0,62 0,63 0,65 0,66 0,67 0,69 0,70 25 Sulawesi
Selatan 2,25 2,28 2,31 2,33 2,36 2,38 2,41 2,44 26 Sulawesi
Tenggara 0,51 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58 0,60 0,61 27 Gorontalo 0,23
0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,25 0,25 28 Maluku 0,33 0,33 0,34 0,34
0,35 0,35 0,36 0,36 29 Maluku Utara 0,23 0,23 0,24 0,24 0,25 0,25
0,25 0,26 30 Papua 0,62 0,64 0,65 0,67 0,69 0,71 0,72 0,74
57,44 58,22 59,01 59,79 60,59 61,38 62,17 62,97 Indonesia
Setiap produk yang dikonsumsi oleh penduduk bumi yang
menghasilkan sampah perkotaan memberikan kontribusi terhadap
GRK
(USEPA,2002a). Berdasarkan life cycle assesment yang dilakukan
oleh
Universitas Sumatera Utara
-
USEPA diketahui bahwa setiap tahapan produksi untuk menghasilkan
suatu
produk yang dimulai dari : (1) Ekstraksi dan pemerosesan bahan
mentah; (2)
proses produksi; (3) transportasi dan distribusi; (4) konsumsi
dan (5)
pembuangan - akan berdampak terhadap GRK. Oleh sebab itu
manajemen
pengelolaan limbah yang baik akan berdampak terhadap
pengurangan
GRK.
Aktifitas produksi yang berdampak terhadap GRK diantaranya
(USEPA, 2002a; 2003; 2006) : (1) Konsumi bahan bakar fosil pada
setiap
tahapan proses produksi; (2) Emisi CO2 yang dihasilkan oleh
proses
produksi; (3) Gas CH4 yang diemisikan oleh TPA; (4) Penebangan
pohon.
Temuan USEPA tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata
sampah perkotaan turut memberikan kontribusi terhadap GRK.
Ironisnya
lagi Gas Methane (CH4) yang dihasilkan oleh sampah memiliki
kekuatan
hingga 21 kali lipat jika diekivalenkan dengan Gas CO2 (Gitonga,
2005;
USEPA, 2003; 2003a; 2006; ). Fenomena GRK (Gupta et al., 2007)
yang
saat ini telah menjadi perhatian dunia bermula dari lahirnya
Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi
kerangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dilaksanakan
di
Jepang pada tanggal 11 Desember 1997.
Konvensi ini melahirkan sebuah persetujuan internasional
mengenai
pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol
ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbondioksida
dan lima
gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan
emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang
telah
dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan.
Protokol
Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara
0,02C dan
0,28C pada tahun 2050.
KNLH (2008) juga merealease perkiraan emisi CH
4
pada seluruh
provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2007 seperti
yang
dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.
Universitas Sumatera Utara
-
Tabel 2.5. Perkiraan Emisi CH4
(Gigagram) tahun 2000 - 2007
Sumber : (KNLH, 2008)
Meskipun persetujuan
ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005, pada
tanggal 28 Juli 2004, negara Indonesia menerbitkan UU No 17
Tahun 2004
Tentang Pengesahan Protokol Kyoto (RI,2004) namun hingga tahun
2009
sudah 183 negara telah menandatangani dan meratifikasi protokol
(termasuk
Indonesia), bahkan Amerika Serikat yang bukan non-anggota
Protokol juga
telah ikut menandatangani UNFCCC (United Nation Framework
Convention on Climate Change). Emisi CH4 dari Indonesia
sendiri
diperkirakan mencapai 410 Gg pada 2007, lebih tinggi dari tahun
2006
yang berjumlah 405.69 Gg. Emisi CH4 yang dihasilkan dari
proses
pengomposan sampah diperkirakan mencapai 63 Gg pada tahun
2007
(KNLH,2008).
No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 20071 NAD 7,18
7,22 7,26 7,30 7,34 7,38 7,41 7,44 2 Sumatera Utara 21,27 21,57
21,87 22,16 22,46 22,75 23,03 23,31 3 Sumatera Barat 7,76 7,82 7,88
7,93 7,99 8,04 8,09 8,14 4 Riau 9,04 9,45 9,86 10,28 10,71 11,16
11,64 12,13 5 Jambi 4,40 4,49 4,58 4,67 4,76 4,85 4,95 5,04 6
Sumatera Selatan 11,35 11,54 11,75 11,95 12,14 12,34 12,55 12,75 7
Bengkulu 2,66 2,72 2,78 2,84 2,90 2,95 3,01 3,08 8 Lampung 12,30
12,50 12,71 12,91 13,12 13,32 13,52 13,72 9 Bangka Belitung 1,64
1,67 1,70 1,72 1,75 1,77 1,80 1,83
10 DKI Jakarta 15,28 15,40 15,52 15,65 15,78 15,89 16,00 16,10
11 Jawa Barat 65,27 66,47 67,68 68,90 70,13 71,37 72,62 73,89 12
Jawa Tengah 57,04 57,30 57,54 57,79 58,03 58,26 58,47 58,68 13 DI
Yogyakarta 5,70 5,76 5,82 5,87 5,94 5,99 6,05 6,11 14 Jawa Timur
63,52 63,81 64,10 64,38 64,67 64,95 65,21 65,49 15 Banten 14,80
15,22 15,66 16,10 16,54 17,01 17,49 17,97 16 Bali 5,76 5,84 5,92
6,01 6,09 6,17 6,25 6,33 17 NTB 7,32 7,45 7,58 7,70 7,83 7,96 8,08
8,21 18 NTT 6,98 7,10 7,21 7,32 7,43 7,54 7,65 7,75 19 Kalimantan
Barat 7,34 7,47 7,61 7,75 7,89 8,03 8,17 8,30 20 Kalimantan Tengah
3,39 3,49 3,59 3,70 3,80 3,91 4,01 4,12 21 Kalimantan Selatan 5,45
5,54 5,64 5,73 5,83 5,92 6,01 6,11 22 Kalimantan Timur 4,48 4,61
4,74 4,87 5,00 5,14 5,27 5,41 23 Sulawesi Utara 3,66 3,71 3,76 3,81
3,86 3,91 3,96 4,01 24 Sulawesi Tengah 3,98 4,06 4,14 4,22 4,31
4,39 4,48 4,56 25 Sulawesi Selatan 14,71 14,88 15,04 15,21 15,39
15,52 15,73 15,89 26 Sulawesi Tenggara 3,33 3,42 3,52 3,61 3,71
3,81 3,91 4,01 27 Gorontalo 1,52 1,54 1,55 1,57 1,58 1,59 1,61 1,62
28 Maluku 2,13 2,16 2,20 2,24 2,27 2,31 2,35 2,38 29 Maluku Utara
1,49 1,51 1,54 1,57 1,60 1,63 1,65 1,68 30 Papua 4,04 4,16 4,27
4,38 4,49 4,60 4,71 4,82
374,78 379,88 385,02 390,16 395,33 400,49 405,69 410,90
Indonesia
Universitas Sumatera Utara
-
2.2.2. Aspek Ekonomi
1.
Aspek ekonomi pengelolaan sampah perkotaaan sangat berkaitan
erat
dengan layanan jasa yang harus diberikan sebagai akibat dari
adanya
aktivitas ekonomi, efektivitas biaya sistem pengelolaan sampah
perkotaan,
dimensi makro-ekonomi dari penggunaan sumber daya dan konservasi
serta
pendapatan yang diperoleh dari layanan jasa yang diberikan
(Schubler et al.,
1996). Keterkaitan ini disebabkan karena :
2.
Jumlah timbulan sampah serta permintaan layanan pengelolaan
yang
terus meningkat serta bersinergi dengan meningkatnya
ekonomi.
3.
Rendahnya biaya pelayanan yang diberikan akan berdampak
kepada
menurunnya kualitas lingkungan.
Efektivitas SPSP sangat bergantung pada biaya siklus hidup
fasilitas dan
peralatan jangka panjang serta dampak ekonomi terhadap layanan
yang
diberikan. Oleh karenanya, evaluasi ekonomi merupakan masukan
yang
penting untuk perencanaan strategis dan investasi bagi SPSP.
1.
Lebih lanjut Schubler et al. (1996) mengelompokkan aspek
ekonomi
dari SPSP ke dalam beberapa item seperti yang dijabarkan sebagai
berikut:
Penganggaran dan sistem akuntansi biaya
2.
Penganggaran yang memadai, akuntansi biaya, serta evaluasi
keuangan
sangat penting bagi manajemen pengelolaan sampah perkotaan.
Di
banyak kota, ditemukan bahwa banyak pejabat yang bertanggung
jawab
tidak memiliki informasi yang akurat tentang biaya riil dari
pengelolaan
sampah yang dilaksanakan. Oleh karena itu dan analisis keuangan
harus
dilakukan untuk dapat meningkatkan akuntabilitas.
Mobilisasi sumber daya sebagai modal investasi
pilihan utama bagi pemerintah daerah untuk pembiayaan dalam
mengelola sampah perkotaan biasanya bersumber dari anggaran
lokal,
pinjaman dari perantara keuangan dan / atau pinjaman atau hibah
khusus
dari pemerintah pusat. Di beberapa negara, obligasi mungkin
bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pilihan lainnya
adalah
Universitas Sumatera Utara
-
melalui sektor swasta, yang semakin tertarik untuk mengelola
sampah
perkotaan. Di banyak negara, biasanya pemerintah pusat akan
terus
menjadi sumber dana utama untuk pengelolaan sampah
perkotaan.
3. Biaya operasional
4.
Ada tiga pilihan utama untuk yang bisa dilakukan untuk menutupi
biaya
operasional SPSP, diantaranya : retribusi, pajak daerah dan
transfer antar
pemerintah daerah. Langkah yang paling sering ditempuh untuk
menutupi biaya operasi adalah melalui retribusi. Pendapatan
retribusi ini
biasanya akan masuk ke kas Pemerintah Kota dan cenderung
digunakan
kembali untuk menutupi biaya operasional (bukan ditujukan
untuk
mengelola limbah). Hal ini tentunya akan melemahkan
akuntabilitas
lembaga pengelola sampah perkotaan.
Pengurangan biaya dan kontrol
mekanisme terbaik untuk mengurangi biaya operasional adalah
dengan
mengadopsi pola doing more with less . Biaya operasional
pengelolaan sampah perkotaan dapat direduksi melalui
partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan limbah padat lokal. Biasanya hal
ini
melibatkan sektor informal, dengan cara ini biaya operasional
layanan
dapat ditekan sekaligus dapat mengurangi volume limbah yang
dibuang
ke TPA.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan
sampah
perkotaan yang efisien dan efektif ditinjau dari aspek ekonomi,
sebenarnya
dapat dicapai dengan cara:
1. meningkatkan
2.
pengembangan dan produktivitas ekonomi melalui
ketetapan biaya dari jasa pengumpulan sampah yang efisien dan
sesuai
dengan kemampuan membayar para konsumen.
mewujudkan
3.
proses pengelolaan yang berwawasan lingkungan dari
produksi sampah yang dihasilkan.
memastikan efektivitas manajemen pengelolaan melalui dengan
cara
melakukan analisis biaya dan manfaat
Universitas Sumatera Utara
-
4. mendorong
aktivitas meminimalisasi sampah, konservasi materi, serta
melakukan efisiensi ekonomi dengan cara menerapkan prinsip
"siapa
membuang dia membayar".
Aspek teknis SPSP berkaitan erat dengan perencanaan,
pelaksanaan,
perawatan, pengumpulan, sistem transfer, pemulihan limbah,
pembuangan
akhir serta pengelolaan limbah berbahaya. Untuk
mengoptimalkan
performance SPSP maka hal yang perlu diperhatikan adalah :
2.2.3. Aspek Teknis
1. Secara teknis fasilitas dan peralatan harus dirancang sesuai
dengan
karakteristik operasi, kinerja, pemeliharaan sesuai dengan
persyaratan
yang telah ditentukan diharapkan persyaratan serta
mengimbangkan
biaya perawatan.
(Schublerr et
al., 1996)
2. Perhatian harus diberikan kepada pencegahan pemeliharaan,
perbaikan
dan ketersediaan suku cadang.
3. Rancangan fasilitas transfer dan peralatan harus sesuai
dengan
karakteristik lokal dan kapasitas TPA yang tersedia. Sistem
pengumpulan harus dirancang untuk dapat mengoptimalkan
partisipasi
masyarakat.
4. Sektor informal yang mendaur ulang sampah harus didukung
dengan
mendesain SPSP yang dapat meningkatkan produktivitas sektor
tersebut.
Keterlibatan pihak swasta untuk mengelola SP perkotaan juga
harus
dipertimbangkan.
5. Metode pembuangan akhir di negara-negara berkembang pada
umumnya menggunakan TPA. Untuk meminimalisasi dampak
lingkungan maka pemilihan TPA harus dilakukan secara seksama
serta
didesain untuk dapat beroperasi dengan baik.
6. Sumber bahan limbah berbahaya harus teridentifikasi,
terdaftar agar
dapat dikelola dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
-
Teknologi Pengelolaan sampah berkembang sejalan dengan
perkembangan jenis sampah yang akan dikelola. Beberapa cara
pengelolaan
akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah : (Naria, 1996;
PPS-IPB,
2003)
1. Penimbunan : Sampah yang telah dikumpulkan pada
penampungan
sementara diangkut kesuatu area tempat pembuangan sampah
akhir
(TPA), kemudian sampah tersebut ditimbun dan diratakan.
Penimbunan
sampah seperti ini menimbulkan bau busuk, tempat
berkembangnya
bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan terganggunya kualitas
air
tanah.
2. Pengomposan : Sampah-sampah organik diolah dengan cara
pengomposan. Ada beberapa keuntungan dari sistem pengomposan
antara lain : pupuk yang dihasilkan bersifat ekologis/tidak
merusak
lingkungan, masyarakat dapat membuat sendiri, serta tidak
memerlukan
peralatan dan instalasi yang mahal.
3. Pembakaran Sampah : Pembakaran sampah dapat dilakukan pada
tempat
pembuangan sampah sementara, atau pembakaran dilakukan
dengan
insenerator. Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah
hingga
90%, meskipun panas yang ditimbulkannya dapat digunakan
sebagai
sumber energi, namun penggunaannya dapat menimbulkan
pencemaran
udara tersendiri.
4. Penghancuran : Sampah yang telah dikumpulkan
dipotong-potong
menjadi ukuran kecil-kecil sehingga volumenya bertambah
kecil,
penghancuran yang demikian akan membantu proses pembusukan.
5. Pemanfaatan Ulang : Sampah-sampah yang telah dikumpulkan
dipilih
sesuai dengan bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik,
besi,
karton, aluminium dan dijual untuk dimanfaatkan kembali
6. Dumping : Pengelolaan sampah secara dumping dengan
menumpuk
sampah pada suatu area, pengelolaan yang demikian akan
menimbulkan
penurunan estetika lingkungan. Jenis dumping yang lain dan
sering
dilakukan masyarakat dalam mengelola sampah adalah dumping
in
Universitas Sumatera Utara
-
water dimana sampah dibuang ke dalam badan air misalnya sungai,
laut,
saluran air lainnya (Naria, 1996)
Untuk menanggulangi sampah perkotaan yang jumlah semakin
hari
semakin bertambah maka sistem pengolahan sampah yang harus
dilakukan
juga semakin kompleks. Oleh karenanya USEPA (2002a, 2003a,
2006)
membuat suatu hirarki pengelolaan sampah berwawasan lingkungan
yang
digambarkan dalam bentuk piramida (Gambar 2.3) .
Gambar 2.3. Piramida Pengelolaan Sampah
Dari piramida tersebut dapat diketahui bahwa untuk
mengelolah
sampah padat dimulai dari : Pengurangan dari sumber merupakan
level
tertinggi (A) yang diikuti oleh proses pemakaian kembali dan
daur ulang.
Setelah tahapan tersebut tidak lagi memadai untuk menangani
jumlah
timbulan sampah yang ada maka proses selanjutnya yang dapat
dilakukan
adalah proses Recovery Energy, sisa dari hasil proses ini baru
kemudian
dilakukan proses penimbunan (landfilling) atau pembakaran
Beberapa negara yang telah menggunakan teknologi pengelolaan
sampah dengan basis energi recovery diantaranya adalah
(Setyaningrum,
2006) :
1. Vietnam Pemanfaatan landfill gas di Vietnam masih terbatas
hanya pada proses
pengumpulannya saja tetapi belum dimanfaatkan sebagai energi
listrik.
Universitas Sumatera Utara
-
Setelah tahun 2002 Vietnam meratifikasi Kyoto Protocol,
studi
kelayakan untuk pemanfaatan gas landfill telah dilakukan untuk
Khanh
Son on Landfill (17 ha) di Da Nang City yang menampung
sampah
sebanyak 200.000 ton per tahun.
Tujuan dilakukannya pemanfaatan gas ini adalah menstabilkan
landfill
dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan
global
warming. Total emisi gas rumah kaca dalam 10 tahun adalah
ekivalen
dengan 409.000 ton CO2
2. Swedia
(dimulai tahun 2008). Teknik gas recovery
sistem meliputi pipa pengumpulan gas, gas scrubbers, gas
engine
generator dan fuel gas treatment facility.
Pemanfaatan gas di Swedia baik yang berasal dari biogas
(digester) atau
dari landfill sudah dilakukan sejak lama, bahkan di setiap
landfill.
Kondisi tersebut merupakan standar landfill yang harus dilakukan
oleh
setiap operator landfill sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
negara-
negara Eropa (Council Directive 1999/31/EC On The Landfill).
Dengan
komposisi organik yang relatif rendah (
-
station). Termasuk sebagian besar organik telah dipilah dan
dikirim ke
instalasi produksi kompos (ada 2 unit, kapasitas 200 dan 400
ton/hari).
Uraian tersebut secara transparan memberikan gambaran bahwa
dengan semakin bertambahnya jumlah timbulan sampah sebagai
akibat dari
bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya teknologi serta
diimplementasikannya protokol Kyoto, peran teknologi pengelolaan
sampah
sudah harus menjadi perhatian utama bagi para pengelola SP.
Terlebih lagi
bagi Indonesia (yang turut menandatangani protol Kyoto), dimana
hampir
100% pengelolaan sampah masih dilakukan secara opendumping
dan
sanitary landfill.
Dengan berlakunya UUPS yang disahkan pada tanggal 7 Mei
2008,
menyebabkan seluruh pemerintah kota/kabupaten harus bertindak
secara
tepat untuk dapat mengimplementasikan proses pengelolaan sampah
yang
berwawasan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 44
tentang
Ketentuan peralihan dinyatakan : (1) Pemerintah daerah harus
membuat
perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang
menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu)
tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini serta ; (2)
Pemerintah
daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang
menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima)
tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini (RI, 2008).
Kebijakan yang relatif sama dengan aturan yang tertuang pada
Pasal
44 dari UUPS telah dimulai oleh negara Uni Eropa sejak tahun
1999. Pada
tahun 1999 tersebut, negara Uni Eropa telah merancang aturan
terhadap
penanganan sampah yang secara spesifik terhadap lokasi TPA
(Landfill
Directive - 1999/31/EC of 26 April 1999). Arahan ini dimaksudkan
untuk
mencegah atau mengurangi efek samping dari lokasi penimbunan
limbah di
lingkungan, khususnya di permukaan air, tanah, tanah, udara dan
kesehatan
manusia.
Universitas Sumatera Utara
-
Pada tanggal 16 Juli 2001 arahan ini harus telah
diimplementasikankan dan diamandemenkan menjadi UU Eroupean
Council (EC) No 1882/2003 (EC,2009).
Dari berbagai studi yang dilakukan terkait dengan teknologi
pengolahan SP dapat disarikan beberapa kategori teknologi
pengelolaan
yang terdiri dari (RISE-AT, 2000; Mclanaghan 2002; SPL,
2002;
Gendebien et al., 2003; GET, 2003; Pacey et al., 2003; Dubois et
al., 2004;
Godley et al,. 2004; Grobbin, 2004; Ostrem, 2004; RBC, 2004;
Chair,
2005; Weidemeier, 2005; WES, 2005; Ylijoki et al., 2005; Cali et
al., 2007;
Clarissa, 2007; Mahar et al., 2008; GBB, 2008; Last, 2008) : (1)
Biological
yang terbagi atas 2 kategori: (a) Anaerobic Digestion dan (b)
Composting;
(2) Mechanical - Material Recover Facilities (MRF) ; (3) Thermal
yang
terbagi atas 2 katergori: (a) Advance Thermal Treatment ; (b)
Inceneration
serta (4) Hybrid-Bio Mechanical Treatment.
Untuk dapat memberikan gambaran secara komprehensif tentang
berbagai teknologi tersebut, maka kompilasi informasi dan
spesifikasi teknis
setiap alternatif teknologi tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut ini
(Mclanaghan,2002; Klein, 2002; Mnnich et al, 2006; Last,
2008,
Economopoulos,2009):
1. Biological ANAEROBIC DIGESTION
Anaerobik Digestion (AD), adalah teknologi yang memiliki proses
seperti proses pengomposan. Untuk mengelola limbah yang dapat
terurai, teknologi ini sangat bergantung pada proses alami biologis
(bantuan bakteri), tetapi dengan satu pengecualian yaitu tanpa
adanya oksigen. Proses ini menghasilkan biogas campuran seperti CH4
dan CO2, serta H2S, N2, NH4. Biogas ini dapat digunakan sebagai
bahan bakar minyak diesel. Proses AD memerlukan kondisi yang stabil
: (1) mesophilic (sekitar 35 C) atau (2) thermophilic (kelembaban
suhu sekitar 55 C) dengan kelembapan di atas 60%. Cairan
tersuspensi yang mengandung endapan juga dihasilkan dari proses
ini, yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pengolahan ini hanya
membutuhkan waktu yang singkat (1-2 minggu) .
KAPASITAS 5 - 100 kton per tahun
Universitas Sumatera Utara
-
BIAYA CAPEX :
10 Kton/thn = rata-rata: 3.85M Separate digestion (metode
kering)
20 Kton/thn =rata-rata: 5,00
31 Kton/thn = 4.5M Co-digestion (metode basah)
45 Kton/thn = 10,1M
OPEX/t :
rata-rata: 4,7/t Separate digestion (metode kering)
rata-rata: 12/t
4-9/t Co-digestion (metode basah)
KEUNTUNGAN KERUGIAN proses pengomposan di TPA
berlangsung cepat. (21 hari pencernaan, 21 hari penyimpanan
untuk metode kering-3 hari untuk metode basah)
menghasilkan sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas yang
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar
kendaraan dll.
proses tidak memerlukan input material dan energi.
hanya dapat memproses limbah biodegradable, sehingga dibutuhkan
peralatan pemisahan;
memerlukan lokasi tambahan untuk penggunaan biogas dan
penyimpanan kompos selama dua bulan sebelum dapat diaplikasikan
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber terpisah Dipisahkan
secara Mekanik
Sumber Sampah SP X Komersil X Industri X X Fraksi sampah
biogradable terpisah Kertas/karton (beberapa) Sampah dapur Sumber
terpisah Dipisahkan
secara Mekanik
Sampah dedaunan (beberapa) (beberapa) Tekstil X? X? Kayu X? X?
Fraksi sampah non biogradable terpisah
Metal X X Besi X X Non-Besi X X Kaca X X Plastik X X Lainnya X
X
Universitas Sumatera Utara
-
SUMBER DAYA TERBARUKAN: Nutrients (% berat)
100% akan menghasilkan kompos (N, K dan P.)
Sumber SP yang terpisah
Mendekati 100%
SP yang dipisahkan secara mekanik
Materials (% berat) Kompos : 80-85% Kompos : 50-60% Energi
(MJ/ton)
Biogas: 2,500 to 4,000 MJ/t (tergantung pada keringnya
keadaan)
Produksi gas dapat ditinggikan jika kertas/karton turut
dimasukkan ke sistem,
MASALAH KESEHATAH MASALAH LAIN kesehatan karyawan :
membutuhkan tindakan pencegahan di tempat bekerja;
lalat dan hama diminimalisir;
arus lalu lintas. kesadaran masyarakat yang kurang
terhadap teknologi ini dan selalu mengaitkannya dengan teknologi
pengomposan.
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD-LINGKUNGAN
AD menawarkan teknologi pengelolaan satu atap
Hasil pengolahan SP (hampir 100%) berguna bagi nutrisi tanah,
selain adanya energi listrik bersih dan panas.
CO2
biogenik hasil dari pembakaran biogas,menggantikan penggunaan
bahan bakar fosil dan berbasis karbon
Sisa produk akhir dari proses komposting anaerob yang dipisahkan
secara mekanis masih memerlukan area sebagai TPA.
Gambar 2.4. Material Balance : Anaerobic Digestion
1 Ton SO Sampah
Perkotaan (230 kg SO 770 kg kg
ANAEROBIC DIGESTION
Material RDF = setara 419,35 KWh
Kompos = 170 Kg (organik)
Energi Biogas setara = 5,04 KWh
POST TREATMENT
Air buangan = 205 kg
Universitas Sumatera Utara
-
COMPOSTING Pengomposan adalah suatu teknologi pengelolaan sampah
yang menggunakan proses degradasi aerobik yang dikontrol oleh
senyawa organik. Proses ini dapat mengurangi jumlah limbah
biodegradable di TPA. Dengan adanya proses ini, biomassa yang
hilang dapat dikembalikan serta memiliki nilai ekonomi
KAPASITAS 20-250 Kton/thn+
Ukuran kapasitas pengelolaan efektif
-
SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 1% N, 2-3% P,
3-5% K Materials ( % berat output) 60-80% Sumber terpisah (50-60
%
Penyaringan mixed SP.) Energi (MJ/ton sampah) Tidak dapat
dijadikan bahan bakar
MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN bio-aerosol yang dihasillkan
akan
mempengaruhi proses pemilihan lokasi.
kesehatan karyawan harus diperhatikan dan perlu tindakan
pencegahan
lalat dan hama harus diminimalisir diminimalisir dengan sistem
di-kapal (yaitu akses terbatas), meskipun hal ini tidak menjadi
masalah bagi limbah dedaunan
Ditemukan berbagai masalah seperti: bio-aerosol, debu, bau,
kebisingan dan arus lalu lintas.
Masyarakat lokal bisa saja menunjukkan retensi atas kegiatan
ini
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN
kompos dapat digunakan sebagai kondisioner tanah
penggunaan kompos mengurangi emisi gas rumah kaca dari
landfill
bio-aerosol yang dihasilkan harus harus memperhatikan tingkat
sensitivitas masyarakat disekitar lokasi
Adanya bau dan kebisingan Windrow memerlukan lahan luas
Gambar 2.5. Material Balance: Windrow Composting
Gambar 2.6. Material Balance: In-vessel Composting
1 Ton SO Sampah
Perkotaan IN VESSEL
COMPOSTING
Emisi CO2 (penguapan) : 250 Kg
Kompos = 550kg
Landfill 175 kg
Air Buangan 100 kg (resirkulasi
1 Ton SO Sampah
Perkotaan WINDROW
COMPOSTING
Emisi CO2 (penguapan) : 250 Kg
Kompos = 625 kg
Landfill 175 kg
Air Buangan
Universitas Sumatera Utara
-
2. Mechanical MATERIAL RECOVERY FACILITIES (MRF)
Fasilitas Daur Ulang Dua kategori utama : Bersih proses CMRFs
relatif bersih dan kering karena sumber sampah telah
dipisahkan dari sumbernya. Kotor proses DMRFs realatif kotor
karena input sampah yang bercampur
dari segala sumber. DMRFs perlu digabungkan dengan pengolahan
sekunder untuk mengolah sisa SP (seperti RDF, kompos, atau AD)
.
KAPASITAS CMRFs : 5 Kton/thn-50 Kton/thn; DMRFs : sampai 200
Kton/thn (menguntungkan dari sisi ekonomi skala jika
digabungkan dengan fasilitas terpusat) PEMBIAYAAN
CAPEX: dan 5M (150 Kton/thn.)
termasuk tanah Biaya keseluruhan dapat
ditekan jika ada bangunan yang dapat dimanfaatkan
OPEX/t CMRF 12-18/t
KEUNTUNGAN KERUGIAN DMRFs Penggunaan infrastruktur
yang ada koleksi SP; CMRFs
Recovery volume tinggi, kualitas yang lebih baik untuk
dijual.
Proses peningkatan fleksibilitas untuk memasok pasar berubah
dengan pulih recyclates kering;
DMRFs Potensi kontaminasi pada pengolahan
dengan kapasitas yang besar. Penggunaan DMRFs tidak
mendorong
masyarakat untuk melakukan pemilahan di sumber.
limbah sisa membutuhkan perawatan sekunder dan pengolahan (e.g.
kompos)
CMRFs akan meningkatkan biaya pengumpulan
sampah. Nilai ekonomi dari sampah daur ulang tidak
akan tercapai secara maksimal
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber
terpisah Penyaringan SP
Sumber Sampah SP X Komersil X Industri X X Sumber biodegradable
terpisah Kertas/karton X sampah dapur X X sampah dedaunan X X
Tekstil X
Universitas Sumatera Utara
-
Kayu X/ X Sumber non-biodegradable terpisah Metal X Besi X
Non-Besi X Kaca X/ X Plastik X Lainnya X X
SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients (% berat input) CMRF
0% DMRF
0% Materials (% berat input) 90-95%+
(kering)
-
3. Thermal ADVANCED THERMAL TREATMENT (ATT)
Pirolisis & Gasifikasi Gasifikasi dan pirolisis adalah jenis
proses pengelolaan dengan menggunakan teknologi panas tingkat
lanjut (ATT). Teknologi lebih diminati sebagai alternatif teknologi
mas-burn incineration (MBI) yang umum dilakukan.
PIROLISIS Ketiadaan proses endotermik dari suatu unsur oksidasi
(air atau oksigen) pada bahan dasar karbon menyebabkan terjadinya
proses pembusukan secara kimia. Pirolisis dikenal juga sebagai
destilasi destruktif, cracking, atau termolisi, proses ini
berlangsung pada suhu 400-800o
lambat (atau karbonisasi); C. Ada tiga sistem utama pirolisis
:
konvensional, dan cepat / kilat (vakum, fluidised-bed dan
gasifikasi). Pirolisis akan menghasilkan wujud gas, cair dan padat,
pada proporsi tertentu yang tergantung pada jenis proses yang
digunakan: faktor penentu utama yang mengendalikan suhu dan waktu
bukaan pada temperatur tersebut. Lama terkena suhu rendah
memaksimalkan produksi arang, sedangkan flash pirolisis (paparan
singkat
-
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Termo
select SWERF Compact
Power TOPs
Sumber Sampah
SP
Komersil
Industri
Sumber biodegradable terpisah
Kertas/karton
sampah dapur
sampah dedaunan
Tekstil
Kayu
Sumber non-biodegradable terpisah
Metal X
Besi X
Non-Besi X
Kaca X
Plastik
Lainnya
SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 0 % Materials
( % berat output) 5-20% Energy (MJ/ton sampah) 9.000-10.000
MJ/tonne
MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN: Tidak ada risiko kesehatan
signifikan yang diharapkan.
masalah utama berkaitan dengan dampak emisi udara (terutama
dioksin) terhadap kesehatan.
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN:
kedua teknologi dapat membantu menggantikan bahan baku dan fosil
- bahan bakar. Prolisis menyediakan bahan baku kimia, energi
recovery
gasifikasi dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dan
efisiensi termal lebih tinggi dari limbah pembakaran langsung.
memerlukan perawatan untuk memisahkan air dari bahan bakar cair
yang dihasilkan;
Pyrolysis
oksigen yang digunakan dalam proses
dan gasification syngas sendiri sekarang berisiko terhadap
kesehatan
Gasification
Universitas Sumatera Utara
-
Gambar 2.8. Material Balance Pyrolisis
Gambar 2.9. Material Balance Gasification
INCINERATION TECHNOLOGY
Insinerasi, pembakaran masa insinerasi (MBI), energi dari limbah
Proses pembakaran limbah telah dilakukan manusia sejak satu abad.
Proses ini sangat bergantung pada proses eksotermik dimana
kehadiran oksigen berbasis materi karbon akan membusuk,
meninggalkan residu abu. Insinerasi atau energi dari limbah sering
disingkat menjadi energy from waste (efw). Fluidised-bed Technology
Fluidised-bed technology merupakan alternatif pendekatan bagi
teknologi insinerasi dan terbukti baik untuk aplikasi pengolaah
non-SP (pengelolaan lumpur) Manfaat utama dari penerapan teknik ini
adalah terjadinya pengurangan emisi, penghematan biaya yang cukup
besar untuk biaya perawatan gas buang seperti yang tejadi atas MBI
serta tidak memerlukan pra-pengolahan limbah. Refuse Derived Fuel
Refuse Derived Fuel (RDF) adalah residu dari sisa pengolahan yang
biasanya berbentuk pelletized yang dihasilkan dari pengolahan BMT.
Pengolahan BMT tersebut menghilangkan sampah besi, kaca, pasir, dan
bahan lain yang tidak mudah terbakar. Materi ini dapat dijual
sebagai RDF.
1 Ton Sampah
Perkotaan GASIFIKASI with RDF Plant
Energi (oe) = ~781KWh
Material SDU Metal = 25,7Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg Abu
ke landfill = 245 kg
Energi (ie) =~ 135 KWh
1 Ton Sampah
Perkotaan PYROLYSIS
Emisi CO2 dan NOx
Synthetic (SynGas) = 380kg
Material Metal = 60 Kg Abu = 240 kg (materi batubata)
Air buangan = 220 kg
Universitas Sumatera Utara
-
KAPASITAS 26-600 Kton/thn PEMBIYAAN
CAPEX: Capacity Kton/thn
Capex Range (M)
Rata-rata Capex (M)
50 18-20 19 100 30-36 33 150 46-50 48 200 54-58 55 400 100 105
102 500 110 120 115
KEUNTUNGAN KERUGIAN:
state-of-the-art bagi pengolahan limbah, dan mendapat pengawasn
yang ketat dari EU;
penelitian menunjukkan bahwa meskipun proses daur ulang akan
mengurangi jumlah limbah pada pengelolaan akhir di TPA, nilai
kalori dari residu pada umumnya tetap tidak berubah.
Meniadakan proses daur ulang dianggap;
ROI (10-20 tahun) Energi yang dihasilkan
dari tidak memenuhi syarat untuk di kelompokkan sebagai energi
yang diterbarukan
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Sumber Sampah
SP
Komersil
Industri X/
Sumber biodegradable terpisah
Kertas/karton
sampah dapur
sampah dedaunan
Tekstil
Kayu
Sumber non-biodegradable terpisah
Metal X
Besi X
Non-Besi X
Kaca X
Plastik X
Lainnya
Universitas Sumatera Utara
-
SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 0 kg
Materials ( % berat output) 225 kg materi bhn konstruksi);
35-50 kg Ferrous; sd. 10 kg non Ferrous
Energi (MJ/ton sampah) 8,000-9,500MJ/t (550 KWh listrik dengan
22% efesiensi panas. 18,000MJ/t RDF
MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN Emisi yang dilepaskan harus
sesuai dengan
standar kontrol yang telah ditetapkan risiko kesehatan dari
sisa
logam berat, dioksin dan furan
diprotes oleh (Greenpeace) DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN DAMPAK
NEGATIF THD
LINGKUNGAN: Energi dari proses daur ulang bahan
sekunder dapat memaksimalkan proses pengelolaan.
MBI harus memiliki ukuran yang besar untuk dapat menampung sisa
input.
Gambar 2.10. Material Balance: Mass Burn Incineration
4. Hybrid
MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT (MBT) TECHNOLOGY Pabrikan :
Ecodeco (Italy); Herhof-Umwelttechnik GmbH (Germany),
KUM-technology dll Pengolahan limbah dengan cara Bio-mekanik (BMT)
adalah nama generik untuk berbagai proses gabungan dari beberapa
teknologi pengolah sampah akhir BMT umumnya terdiri dari 3 tahapan:
1) Pengeringan secara Biologi: setelah pengiriman ke pabrik lalu di
tutup
sepenuhnya, limbah dipotong-potong kemudian dikeringkan selama
12 hari Mikro-organisme mencerna sampah organik, Emisi udara
terbatas pada uap air ditambah sedikit CO2 biogenik. Atap harus
dipasang bio-filter guna mengendalikan bau.
2) Pemisahan bahan: berbagai jenis peralatan yang digunakan
untuk memisahkan besi dan logam non-Besi untuk daur ulang; kaca,
batu dan pasir.
1 Ton Sampah
Perkotaan MASS BURN INCENERATION
Energi (ie) = ~175 KWh
Energi (oe) = ~640 KWh
Material Metal =~ 37,5 kg
Flyash & Filter Cake = ~52,5 Kg Boiler Ash = ~ 9 Kg
Slag (Arang besi)= 255 Kg
Universitas Sumatera Utara
-
KAPASITAS 36-270 Kton/thn (ada pabrik sampai dengan 400
Kton/thn);
PEMBIAYAAN CAPEX:
Capacity Kton/thn
Rata-rata Capex (M)
50 7.6-10,5 60 9,5
85-100 11.0-16.0 120 18,85 200 20,0 220 29,5
KEUNTUNGAN: KERUGIAN: sebagai alternatif teknologi untuk
TPA. pembakaran sisa SP, mendatangkan
lebih banyak fleksibilitas bagi pihak berwenang setempat;
berpotensi sebagai bagian dari pendekatan SP terpadu,
efisiensi pabrik biasanya 30% (dibandingkan dengan massa-bakar
c.22% 10), hingga 50% + dalam siklus gabungan.
tidak ada pasar yang siap pakai untuk menggunakan RDF
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH X/ Sumber Sampah SP Komersil
Industri Sumber biodegradable terpisah Kertas/karton sampah dapur
sampah dedaunan Tekstil Kayu Sumber non-biodegradable terpisah
Metal X Besi X Non-Besi X Kaca X Plastik X Lainnya X
Universitas Sumatera Utara
-
MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN Bau lalu lintas;
pembakaran dengan RDF dapat dilihat sebagai "Insinerasi dengan
nama lain"
DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN:
DAMPAK NEGATIF THD LINGKUNGAN
produksi gas TPA dapat dikurangi secara signifikan (hingga 90%.)
produksi lindi di TPA juga sangat berkurang
Jika proses stabilisasi biologis dapat menghasilkan kompos, maka
dapat mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pertanian untuk
mau menggunakan kompos tersebut
Gambar 2.11. Material Balance MBT 2.2.4. Aspek Sosial
1.
Aspek sosial SPSP harus mencakup pola penanganan limbah
rumah
tangga dan sumber lainnya, pengelolaan sampah berbasis
masyarakat serta
memperhatikan kondisi sosial para pekerja yang menangani SP:
Timbulan sampah sangat ditentukan oleh sikap masyarakat serta
kondisi
sosial-ekonomi mereka. Peningkatan kesadaran masyarakat
terhadap
1 Ton Sampah
Perkotaan AN AEROB DIGESTION
MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT
AD - MBT
Energi (ie) = 54 KWh
Energi Biogas setara = 66 KWh GRK 0 001033 MTCE/KWh Material SDU
Metal = 25,7Kg Plastik = 157,3 Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg
Kertas = 164,7 Kg
Penguapan = 31,1 Kg
Kompos = 121 Kg (organik) Landfill = 314,1 kg Air buangan :
125,1 kg
Universitas Sumatera Utara
-
sampah yang dihasilkan dapat dilakukan melalui upaya kampanye
dan
pendidikan.
2.
3.
Pada daerah yang berpendapatan rendah, solusi terbaik untuk
mengatasi
masalah persampahan adalah dengan pola pengelolaan berbasis
masyarakat. Meskipun demikian, hubungan fungsional antara
kegiatan
berbasis masyarakat harus tetap dipertahankan.
4.
Meskipun sistem pengelolaan sampah telah tersedia,
partisipasi
masyarakat tetap memiliki peranan yang signifikan untuk
meningkatkan
efisiensi.
Para pekerja sampah, termasuk sektor informal yang biasanya
hidup
dengan kondisi yang tidak layak sangat mudah untuk terserang
penyakit.
Untuk itu diperlukan dukungan seperti jaminan sosial dan
lain
sebagainya.
Kondisi sosial masyarakat dalam mengelola sampah sangat
bergantung kepada regulasi yang diterapkan oleh pemangku
kebijakan.
Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap permasalahan
sampah
akan menambah beban pelaksana dalam mengelola sampah.
Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan
perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan. Gardner dan
Stern (1996
dalam Ho, 2002) menyoroti empat intervensi yang bisa untuk
menigkatkan
perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan yang terdiri dari
:(1)
intervensi kontrol moral dan agama; (2) intervensi pendidikan;
(3) hukum
dan (4) insentif pemerintah.
Masalah utama
yang harus dihadapi dalam pengelolaan SP terdapat pada tahap
pemisahan
limbah. Seharusnya limbah sampah terlebih dahulu harus
dipisahkan dengan
benar, baru selanjutnya dibuang dengan cara yang ramah
lingkungan.
Namun hingga saat ini, terutama di negara-negara berkembang hal
tersebut
sepertinya sulit ditemukan. Padahal semestinya masyarakat
sebagai
produsen limbah dapat maju kedepan untuk memecahkan masalah ini.
Hal
ini dapat dilakukan dengan memisahkan sampah berdasarkan
kategorinya.
Universitas Sumatera Utara
-
Lebih lanjut Gardner dan Stern (1996 dalam Ho, 2002) juga
berpendapat bahwa karena ada berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi
perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka solusi yang
baik
adalah dengan cara menggabungkan intervensi yang berbeda
secara
bersamaan karena akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih
baik
daripada hanya menggunakan satu intervensi saja.
2.2.5. Aspek Kelembagaan
1.
Aspek kelembagaan SPSP secara spesifik mencakup struktur
kelembagaan dan manajemen SPSP termasuk didalamnya adanya
aturan
tentang pengelolaan sampah perkotaan. Aspek kelembagaan ini
dapat
dielaborasi lebih lanjut dengan adanya :
2.
Distribusi fungsi, tanggung jawab serta kewenangan antara
kelembagaan
lokal, regional dan pemerintah pusat (desentralisasi).
3.
Struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang bertanggung
jawab
untuk SPSP, termasuk adanya koordinasi antara SPSP dengan
sektor
lainnya.
4.
Prosedur dan metode yang digunakan untuk perencanaan dan
pengelolaan
5.
Kapasitas lembaga yang bertanggung jawab atas SPSP termasuk
didalamnya kapabilatas para staf yang menjadi bagian dari
SPSP.
Keterlibatan sektor swasta, partisipasi masyarakat dan
kelompok
pengguna.
2.2.6. Aspek Kebijakan
1.
Aspek kebijakan dalam SPSP adalah segala aspek yang mencakup
perumusan tujuan , prioritas, penetapan peran, wilayah yuridis,
kerangka
hukum dan peraturan. Aspek kebijakan ini sangat berpengaruh
pada
keberlanjutan SPSP, oleh sebab itu perlu diperhatikan:
Tujuan serta prioritas yang berkaitan dengan pengawasan
lingkungan
serta pemerataan akses pelayanan. Kedua hal tersebut harus
jelas
Universitas Sumatera Utara
-
diartikulasikan untuk dapat memobilisasi dukungan masyarakat
serta
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
2.
3.
Untuk menjamin keberlanjutan SPSP, diperlukan definisi yang
jelas
tentang yurisdiksi dan peran pengelola SPSP. Rencana Strategis
yang
matang akan sangat membantu untuk menempatkan pengelola SPSP
serta pihak lain yang terkait.
Jumlah aturan perundang-undangan yang diterbitkan tidak banyak,
jelas,
tidak bertolak belakang serta dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam sebuah sistem, kebijakan merupakan tahapan akhir yang
ditempuh untuk dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Gary
Brewer
dan Peter DeLeon (1983) menggambarkan tahap pengambilan
keputusan
dalam kebijakan publik sebagai berikut:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini
dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang
diestimasi. Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis
ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus
dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan
dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan
direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan
tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai
pada keputusan tentang yang paling baik.
Penyusunan kebijakan adalah proses berkelanjutan, sebagai
sebuah
struktur yang memiliki siklus. Walt (1994) menyajikan empat
tahap proses
kebijakan: (1) Identifikasi masalah dan pengenalan isu ; (2)
Formulasi
kebijakan; (3) Implementasi kebijakan; (4) Evaluasi
kebijakan.
2.3. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Kota Medan
Untuk menjalankan SPSP, Pemerintah Kota Medan menunjuk Dinas
Kebersihan Kota Medan (DKKM) sebagai lembaga yang
bertanggung
jawab secara formal untuk mengelola sampah perkotaan di Kota
Medan.
Pengelolaan sampah kota Medan juga melibatkan SI yang dalam
keseharian
turut mereduksi sampah perkotaan melalui aktifitas perdagangan
SDU kota
Universitas Sumatera Utara
-
Medan. Adapun gambaran tentang kondisi SPSP kota Medan
berdasarkan
aspek pengelolaan SP yang dijabarkan sebagai berikut : (Rahman,
2004)
2.3.1. Aspek Lingkungan
SPSP kota Medan yang dilaksanakan oleh DKKM masih belum
ramah lingkungan, hal ini ditandai dengan tidak adanya
perlakukan terhadap
SP yang pada TPA
Sedangkan SP yang dapat diangkut kemudian didistribusikan ke
2
TPA yakni : (1) TPA Namo Bintang, berlokasi di Kelurahan Namo
Bintang
; Kecamatan Tuntungan dengan luas 17 Ha. TPA ini mampu menampung
60
% dari total sampah yang dapat diangkut, (2) TPA Terjun,
berlokasi di
Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 14 Ha
dan
kapasitas penampungan sebesar 40 % dari total timbulan sampah
domestik
kota Medan.
(Wibowo dan Djajawinata, 2004; Rahman, 2004). Selain
tingkat kemampuan daya angkut SP yang dilaksanakan oleh DKKM
masih
berkisar 69.8 % (Rahman, 2004) dari jumlah SP yang mencapai
1265
ton/hari. Hal ini menandakan bahwa masih ada sekitar 382 ton SP
setiap
harinya yang bertebaran diberbagai sudut kota Medan.
Berdasarkan karakteristiknya SP kota Medan memiliki rasio
perbandingan antara sampah organik dengan sampah anorganik
sebesar 2.21
: 1 (Zulfi, 2000). Untuk sampah anorganik yang memiliki nilai
ekonomis
dan menjadi bagian dari aktifitas SI terbagi kedalam 9 jenis
seperti yang
tertera pada Tabel 2.6 berikut.
Tabel 2.6. Jenis Sampah Anorganik Kota Medan No Jenis Sampah
Anorganik Ton/bulan 1 kertas 29.64
2 karton 34.77
3 besi tua 41.64
4 plastik 32.02
5 atom 28.39
6 kaca 19.64
Universitas Sumatera Utara
-
No Jenis Sampah Anorganik Ton/bulan 7 aluminium 26.65
8 kuningan 21.39
9 karung 20.27
Jumlah 234.14 Sumber : (Rahman, 2004)
Tabel 2.6 memperlihatkan bahwa SI mampu mengelola 234,14 ton
perbulan dari SP yang berjenis anorganik, jika dibandingkan
dengan jumlah
total SP kota Medan perhari maka sampah anorganik yang dikelola
ini
masih senilai 1/50.5 kali dari jumlah total SP kota Medan.
2.3.2. Aspek Ekonomi
Dari sisi pembiayaan operasional SPSP, DKKM memperoleh dana
dari Pemerintah Kota Medan (PKM). Selain itu juga PKM
memberikan
mandat kepada DKKM untuk mengumpulkan retribusi dari masyarakat
kota
Medan. Adapun teknis pengumpulan retribusi dapat dilihat pada
Gambar
2.12 berikut.
Gambar 2.12. Aliran Dana Retribusi Sampah (Rahman, 2004)
Dari Gambar 2.12 terlihat bahwa sebenarnya DKKM telah
memperoleh margin keuntungan sebesar 5% yang mereka peroleh dari
PKM
sebagai imbalan atas kegiatan pemungutan biaya retribusi yang
mereka
lakukan. Meskipun demikian ternyata nilai retribusi ini masih
kecil nilainya
dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD)
DKKM setiap tahunnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel
2.7.
Universitas Sumatera Utara
-
Tabel 2.7. Target dan Realisasi pemasukan dari Sampah &
Septictank Kota Medan
No Sumber Tahun Target (Rp) Realisasi (Rp) 1. Sampah 2002
2003 5.368.000.000,-
12.500.000.000,- 3.780.738.742,-
(70,43%) 11.033.664.083,-
(88,26%) 2. Septictank 2002
2003 132.000.000,- 198.000.000,-
195.055.000,- (147%) 270.900.000,- (136%)
Sumber: (DKKM, 2003)
Tabel 2.8. APBD Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun Anggaran
2002-2003
No Uraian Tahun Anggaran(Rp) Realisasi (Rp)
A.
Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja
Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan
sarana
2002
8.379.712.000,- 1.374.900.000,- 5.190.575.000,-
5.555.886.000,-
1.261.684.000,-
8.304.265.849,- 1.006.914.390,- 4.414.567.999,-
5.392.470.000,-
1.259.858.716,-
Total 21.762.757.000,- 20.378.076.954,-
B.
Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja
Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan
sarana
2003
11.971.356.000,- 2.100.000.000,- 6.737.544.000,-
11.831.900.000,-
1.275.000.000,-
11.880.045.561,- 1.905.331.381,- 6.438.857.301,-
11.686.249.280,-
1.272.200.000,-
Total 33.915.800.000,- 33.182.683.523,- Sumber: (DKKM, 2003)
Dari Tabel 2.7 dan 2.8 terlihat bahwa DKKM harus memberikan
tambahan biaya sebesar lebih kurang Rp 16.4 milyar untuk tahun
2002 dan
Rp. 21.8 milyar untuk tahun 2003. Kontradiksi dengan apa yang
dialami
DKKM, pengelolaan SP yang dilakukan oleh SI melalui kegiatan
daur ulang
Universitas Sumatera Utara
-
ternyata menghasilkan nilai ekonomi yang tidak dapat dipandang
dengan
sebelah mata. Dari aktivitas kegiatan ini, ternyata SI mampu
mentransformasikan sampah menjadi materi yang memiliki