Presentasi Kasus DBD Daniel Aditya (406112007)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan kuasa-Nya yang dilimpahkan kepada saya, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus yang berjudul Demam
Berdarah Dengue. Tugas presentasi kasus ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSPI Prof. Dr. Sulianti
Saroso serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan
bagi para pembacanya.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
dr. Sri Sulastri, Sp.A, sebagai pembimbing
dr. Rismali Agus, Sp.A
dr. Dewi Murniati, Sp.A
Dr. dr. I Made Setiawan, Sp.A
dr. Dyani Kusumowardhani, Sp.A
dr. Ernie Setyawati, Sp.A
Saya menyadari bahwa tugas presentasi kasus ini jauh dari
sempurna dan untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang
membangun sehingga tugas case ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya, saya ucapkan
terima kasih.
Jakarta, 17 Juni 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...........................................................................................................1
DAFTAR
ISI...........................................................................................................................2
LATAR
BELAKANG...........................................................................................................3
I. DATA
IDENTITAS.....................................................................................................4
II.
ANAMNESA.................................................................................................................5
III. PEMERIKSAAN
FISIS.............................................................................................10
IV. PEMERIKSAAN
PENUNJANG.............................................................................13
V.
RINGKASAN.............................................................................................................17
VI.
DIAGNOSA................................................................................................................20
VII.
PENATALAKSANAAN...........................................................................................20
VIII.
PROGNOSIS..............................................................................................................21
IX. RIWAYAT RAWAT
INAP......................................................................................21
X. RESUME SAAT PASIEN
PULANG......................................................................22
TINJAUAN
PUSTAKA.....................................................................................................24
PEMBAHASAN
KASUS....................................................................................................51
KESIMPULAN....................................................................................................................61
LAMPIRAN.........................................................................................................................62
DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................................72
LATAR BELAKANG
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan kasus yang sering ditemui
pada praktek dokter umum maupun di unit gawat darurat. Infeksi
virus dengue memiliki beberapa manifestasi dari asimtomatik hingga
kasus yang berat seperti syok yang dapat berakibat fatal. Indonesia
merupakan salah satu negara endemis DBD dengan angka pelaporan
kasus paling tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia
Tenggara. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi
DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan
jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit
ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).
Seperti penyakit tropik infeksi lainnya, penyakit DBD
dipengaruhi oleh faktor host (manusia), agent (virus dengue), dan
lingkungan. Keterkaitan antara hal-hal ini sangat kompleks sehingga
DBD sangat sulit diberantas walaupun kasus DBD telah ada sejak abad
ke-18 dan pemerintah Indonesia telah mengusahakan pengendalian
vektor nyamuk.
Pasien DBD yang datang ke unit gawat darurat bervariasi dari
infeksi ringan hingga berat disertai tanda-tanda perdarahan spontan
masif dan syok. Diagnosis harus ditetapkan secara cepat dan
pentalaksanaan pada keadaan ini tentu harus dilakukan sesegera
mungkin. Hingga saat ini penatalaksanaan DBD belum ada yang
spesifik dan hanya dilakukan teapi suportif yaitu dengan
penggantian cairan. Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
OF. PROF Kasus DBD Daniel Aditya
(406112007)__________________________________________________________________________
I. DATA IDENTITAS
I.1. IDENTITAS MAHASISWA
Nama Lengkap: Daniel Aditya
NIM: 406112007
Periode: 13 Mei 2013 20 Juli 2013
Pembimbing: dr. Sri Sulastri, Sp.A
Topik: Demam Berdarah Dengue
I.2.IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Dimas Putranta
No. Rekam Medis: 30.85.34
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur: 11 tahun 10 bulan
Agama: Islam
Alamat: Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Pendidikan : SD kelas IV
I.3. IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah: Tn. Vicky Widia Dewata
Umur: 33 tahun
Pekerjaan: Pegawai Swasta
Penghasilan: Tidak diketahui
Alamat: Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Agama: Islam
Bangsa/ Suku: Jawa
Nama Ibu: Ny. Nurdianah
Umur: 37 tahun
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl Angkasa I / MNA No. 32, Kemayoran, Jakarta
Agama : Islam
Bangsa/ Suku: Jawa
Hubungan dengan orang tua : anak kandung.
II. ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit: 9 Mei 2013, pukul 23:00 WIB
Tanggal pemeriksaan: 16 Mei 2013, pukul 14.00 WIB
Diambil dari: Autoanamnesis dan
Alloanamnesis ( Ibu dan Kakek pasien)
Keluhan Utama: Bercak - bercak kemerahan sejak 2 hari yang
lalu
Keluhan Tambahan: Tampak melepuh pada pergelangan tangan kiri,
luka bekas tusukan jarum suntik sejak 3 hari lalu
II.1.RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluh tampak bercak bercak berwarna kemerahan sejak 2
hari yang lalu. Bercak kemerahan tersebut dirasa pasien semakin
hari semakin jelas dan tidak hilang ketika kulit diregangkan. Tidak
gatal, tidak ada nyeri dan tidak terasa panas. Tampak jelas pada
daerah kulit di kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
serta beberapa bagian tubuh pasien lainnya. Bercak-bercak kemerahan
itu muncul pada hari ke-7 pasca demam.
Kakek pasien mengatakan bahwa tampak adanya lepuhan yang
dikelilingi kulit berwarna ungu kemerahan pada pergelangan tangan
kiri pasien sejak beberapa hari yang lalu (kakek pasien lupa
persisnya kapan). Terasa nyeri dan terasa panas. Saat ini kulit
yang melepuh tersebut sedikit membaik daripada hari sebelumnya dan
telah diolesi obat kemudian dibungkus oleh kasa perban.
Terlihat pula luka bekas tusukan jarum suntik di bagian lipat
siku kanan dan kiri, pergelangan tangan kiri sejak 3 hari lalu.
Luka berwarna ungu kemerahan. Terasa agak nyeri saat siku ditekuk,
sedikit bengkak dan panas pada daerah sekitar luka tersebut. Pasien
mengaku bahwa luka bekas suntikan tersebut semakin hari semakin
membaik.
Pasien datang ke RSPI SS (9/5/13) dengan keluhan penurunan
kesadaran, disertai kaku pada leher bagian belakang. Penurunan
kesadaran sejak kamis (9/5/13) pagi dan sempat dirawat di RS Mitra
Kemayoran sebelum dirujuk ke RSPI. Pasien tidak sadarkan diri
kurang lebih selama 3 hari selama di RS hingga sabtu (11/5/13)
malam, disertai dengan perasaan gelisah. Pada sabtu malam, pasien
berangsur-angsur mulai sadar dengan kondisi yang masih tampak
lemah. Kesadarannya terus bertambah baik hingga saat ini pasien
telah pulih kesadarannya. Pasien juga sempat kejang ketika berada
di RS Mitra Kemayoran, kejang kaku pada kedua lengan dan tungkai,
selama 10 menit, pada saat sebelum kejang dan setelah kejang pasien
tetap tidak sadarkan diri. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Saat pasien kejang di RS Mitra Kemayoran, pasien sudah mendapatkan
obat anti kejang dan penurun panas yang diberikan melalui
duburnya.
Sebelum dibawa ke RS, pasien panas tinggi mendadak sejak 7 Mei
2013 siang (2 hari SMRS, saat ini sudah hari ke-10). Panas
sepanjang hari, berkurang setelah minum obat penurun panas namun
beberapa saat panas kembali tinggi. Panas mereda pada 10 Mei 2013
sore atau sekitar 3 hari setelahnya. Pada saat awal panas tersebut
disertai dengan nyeri kepala, daerah belakang mata, leher dan
pundak. Nyeri pada daerah ulu hati. Ada mual dan muntah, muntah
pada 2 hari pertama panas, 3 x/hari, jumlah 1 gelas air mineral
setiap kali muntah, dengan ampas, isi makanan yang dimakan, dan
tidak menyemprot. Badan terasa lemas dan nafsu makan menurun sejak
pasien mulai panas. Ketika berada di RS keluhan muntah dan nyeri
belakang mata, leher, pundak sudah tidak ada, namun pasien masih
merasa panas, pusing, mual, dan nyeri daerah ulu hati. Saat ini
keluhan tersebut sudah tidak ada, hanya nafsu makan masih sedikit
berkurang.
Riwayat BAK dan BAB saat di rumah baik, jumlah sesuai dengan
pemasukan dari minum dan makan pasien. Namun pada saat hari ke-2
panas, jumlah urin yang dikeluarkan mulai berkurang, kira-kira
sebanyak 2 - 3 gelas air mineral per hari dengan jumlah minum 2
botol air mineral sedang. Semakin hari selama perawatan di RS
jumlah urin yang dikeluarkan semakin sedikit, dengan jumlah
rata-rata 3/4 kantung urin. BAK mulai banyak kembali pada hari
Selasa (14/5/13). BAB mencret pada hari jumat (10/5/13) dengan
frekuensi 3-4x/hari, jumlah sekitar gelas air mineral setiap kali
mencret, cair, warna jernih sedikit kekuningan, disertai ampas
sedikit, tanpa lendir. Mencret berwarna kuning kehitaman pada hari
Minggu (12/5/13), mencret sebanyak 3x, jumlah gelas air mineral
dengan konsistensi mulai agak kental, tanpa lendir. Mencret selama
4 hari hingga senin malam dengan jumlah dan frekuensi semakin hari
semakin berkurang. Mencret kadang disertai rasa nyeri di bagian
perut bawah. Saat ini BAK dan BAB pasien telah normal kembali.
Riwayat pemasangan selang makan dan kateter urin selama beberapa
hari berada di rumah sakit. Menurut kakek pasien pemasangan
dilakukan pada hari jumat siang pada saat kesadaran pasien masih
belum pulih total. Tampak adanya keluar cairan berwarna merah
kecokelatan kadang disertai darah warna merah segar melalui selang
makan pada jumat (panas hari ke-3), dengan jumlah kira-kira 1
sendok makan per hari, semakin hari jumlah darah yang keluar
semakin bertambah hingga mencapai 3 sendok makan per hari. Pada
kateter juga tampak adanya urin disertai darah berwarna merah tua,
jumlah kira-kira 2 sendok makan per kantung urin. Urin berwarna
kuning kecokelatan, sedikit pekat, keruh dengan jumlah urine
rata-rata per hari kurang dari 1 kantung urin ( 3/4 nya). Kakek
pasien mengatakan telah mendapatkan penjelasan dari perawat bahwa
ada perdarahan di saluran pencernaan dan urin, maka kakek pasien
menyetujui untuk dibawa ke ICU pada keesokan harinya (minggu,
12/3/13). Selama di ICU pasien sempat diberikan transfusi
trombosit. Dan sekitar 4 jam pasien berada di ICU, perdarahan di
lambung dan urin berhenti. Setelah keluar dari ICU selang untuk
makan dan kateter sudah tidak terpasang lagi. Saat selang makan
dilepas, pasien mulai diberi susu formula diselingi makan bubur tim
dengan frekuensi 5-6 x/hari. Sekarang nafsu makan pasien telah
membaik. Mimisan, gusi berdarah, perdarahan kulit lainnya
disangkal.
Menurut ibu pasien, di lingkungan keluarga, tetangga dan teman
pasien tidak ada yang menderita sakit demam berdarah dengue seperti
yang dialami anaknya. Riwayat bepergian ke Pulau Seribu, Indonesia
bagian timur dalam 1 bulan terakhir disangkal. Ibu pasien mengaku
baru pertama kali anaknya terdiagnosa DBD.
Riwayat pengobatan yang didapat selama di rumah sakit antara
lain Parasetamol (3 x sehari), Thyamicin forte (3 x 2 sendok teh
sehari), Lacto B, Zinkid, Puyer 3 x sehari, dan antibiotik, serta
anti kejang (namun kakek pasien lupa nama obatnya).
II.2.RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit dan belum pernah
menderita penyakit DBD sebelumnya. Riwayat kejang, asma, alergi
makanan, alergi obat dan penyakit paru disangkal.
II.3.RIWAYAT KELUARGA
Ayah pasien bernama Tn. Vicky Widia Dewata berusia 33 tahun,
bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu pasien bernama Ny. Nurdianah
berusia 37 tahun, dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.
II.4.DATA PERUMAHAN
Pasien tinggal pada keadaan rumah yang cukup baik untuk
menampung seluruh anggota keluarga, keadaan rumah bersih dan
pencahayaan cukup. Tempat penampungan air tertutup baik. Lingkungan
sekitar rumah pasien bersih dan tertata rapi.
II.5.RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Kehamilan
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter, tidak
mengalami gangguan atau kelainan selama proses kehamilan.
Kelahiran
Tempat kelahiran: Rumah Sakit
Penolong persalinan: Dokter
Cara persalinan: Spontan
Masa gestasi: Cukup bulan
Keadaan bayi
Berat badan lahir: Sekitar 3500 gram
Panjang badan lahir: Tidak tahu
Lingkar kepala: Tidak tahu
Langsung menangis: Iya
Nilai APGAR: Tidak tahu
Kelainan bawaan: Tidak ada
II.6.RIWAYAT IMUNISASI DASAR
Pasien mendapat imunisasi lengkap:
BCG: (+)
DPT: (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya secara
tepat
Hepatitis B: (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya
secara tepat
Polio: (+), ibu pasien lupa berapa kali dan waktunya secara
tepat
Campak: (+)
II.7.RIWAYAT PERTUMBUHAN
Menurut ibu pasien pertumbuhan anaknya cukup baik, berat badan
dan tinggi badan bertambah seiring bertambahnya usia. Tidak ada
gangguan selama periode perumbuhan pasien hingga saat ini.
II.8.RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama: tidak tahu
Gangguan perkembangan mental dan emosi: tidak ada
Psikomotor:
Tengkurap: tidak tahu
Duduk: tidak tahu
Berdiri: usia 12 bulan
Berjalan: tidak tahu
Berbicara: tidak tahu
Membaca dan menulis: saat TK ( 5 tahun)
II.9.RIWAYAT MAKANAN
Pasien mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga usia 2 tahun, dengan
ASI eksklusif selama 6 bulan pertama. Kemudian secara bertahap
pasien mengkonsumsi biskuit, bubur susu, nasi tim dan makanan untuk
dewasa dalam porsi yang cukup hingga saat ini. Ketika pasien
berusia lebih dari 1 tahun, pasien mengkonsumsi bervariasi jenis
makanan. Setiap hari pasien makan nasi dengan frekuensi 3/hari,
porsi cukup. Dengan sumber protein yang dimakan biasanya berasal
dari daging dan telur, kadang disertai dengan tahu, tempe serta
sayur-sayuran. Susu sapi bubuk dan cair hampir setiap hari
dikonsumsi oleh pasien.
Umur (bln)
ASI
Buah/Biskuit
Bubur Susu
Nasi Tim
0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12
III. PEMERIKSAAN FISIS
Dilakukan pada hari: Kamis, 16 Mei 2013 (pukul 14.00)
III.1.PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 120/70 mmHg, pada lengan kanan
Nadi: 96 x/menit, pada arteri radialis, teraba kuat dan
teratur
Pernafasan: 22 x/menit, tipe abdominal-thorakal
Suhu: 36,7 oC, pada axila kanan
Berat badan: 50 kg (saat pasien pertama masuk R.S.)
Tinggi badan: Tidak dilakukan pengukuran
Keadaan gizi: Kesan baik
III.2.PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala: Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan,
rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit
kepala tidak ada kelainan, ubun- ubun besar sudah menutup
Mata: Kelopak mata tidak ada kelainan, konjungtiva tidak anemis
dan tidak hiperemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+
Telinga: Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak terlihat
sekret, tidak terlihat serumen, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak
ada nyeri tarik aurikuler, KGB pre, retro dan infraauriculer tidak
teraba membesar
Hidung: Bentuk normal, sekret (-), tidak ada septum deviasi ,
pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorok: Faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang tidak
hiperemis
Mulut: Mukosa bibir basah, tidak tampak perioral sianosis, lidah
tidak kotor
Leher: Trakea di tengah, kelenjar thyroid tidak teraba membesar,
kelenjar getah bening submandibular, supra-infraclavicular tidak
teraba membesar
Dinding toraks : Ukuran normal, tidak ada retraksi otot
supraclavicula, intercostalis dan subcostalis, rash konvalesen (+)
pada daerah infraclavicula
Paru:
Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas
Palpasi: Stem fremitus kanan kiri, depan belakang sama kuat
Perkusi: Sonor, batas paru hepar ICS VI garis midclavicularis
dextra
Auskultasi: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi: Tidak tampak pulsasi ictus cordis di ICS V garis
midclavicularis sinistra
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V garis
midclavicularis sinistra, 2 cm ke arah medial
Perkusi: Redup, batas jantung kanan ICS IV garis parasternal
dextra, batas jantung kiri ICS IV garis midclavicularis sinistra,
batas pinggang jantung ICS II garis parasternal sinistra
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II murni, tidak ada murmur,
tidak ada gallop
Abdomen:
Inspeksi: Datar
Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran,
ballotemen (-), tidak ada nyeri tekan epigastrium
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+), normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema,
rash konvalesen pada extremitas atas proximal dan distal,
extremitas bawah bagian proximal
Tulang belakang: Bentuk normal, tidak skoliosis, tidak lordosis,
tidak kifosis
Kulit: Rash konvalesen berupa bercak-bercak kemerahan, berbatas
tegas, tidak nyeri, tidak terasa panas dan tidak hilang saat kulit
diregangkan tersebar pada kedua lengan atas dan bawah, kedua
tungkai atas, sedikit pada daerah sekitar infraclavicula
Hematoma pada lipat siku kanan dan kiri, serta pergelangan
tangan kiri bagian ekstensor. Warna ungu kemerahan, diameter 3 - 4
cm, nyeri saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan panas pada daerah
sekitar luka
Bullae dengan ukuran 1 x 1,5 cm, berisi cairan warna putih
jernih, nyeri dan terasa panas pada daerah pergelangan tangan kiri
bagian ekstensor
III.3.PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Rangsang Meningeal: (-)
Refleks Fisiologis:
Biceps: tidak dilakukan pemeriksaan
Triceps: +/+, normal
Patela: +/+, normal
Tendo Achilles: +/+, normal
Refleks Patologis: (-)
Parese: (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (16 Mei 2013)
Hematologi
Hasil
Nilai normal
Leukosit
5,5
4,5 13,5 ribu/L
Eritrosit
4,17
4,4 5,9 juta/L
Hb
10,9
11 15 g/dL
Ht
32
40 52 %
Trombosit
114
156 408 ribu/L
MCV
77
69 93 fL
MCH
26
22 34 pq
MCHC
34
32 36 g/dL
LED
8 (14/5/13)
0 10 mm
Tabel Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit (14 Mei 2013)
Hitung Jenis
Hasil
Nilai Normal
Basofil
0
0 1 %
Eosinofil
1
1 5 %
Batang
1
3 6 %
Segmen
62
25 - 60 %
Limfosit
34
25 50 %
Monosit
2
1 6 %
Tabel Pemeriksaan Urine Lengkap (13 Mei 2013)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Satuan
Urinalisa
Berat jenis
1,025
1,003 - 1,035
pH
6,5
4,5 8,0
Lekosit esterase
++
Negatif
/L
Nitrit
-
Negatif
Albumin
-
Negatif
mg/dL
Glukosa
-
Negatif
mg/dL
Keton
+
Negatif
mg/dL
Urobilinogen
+
1
mg/dL
Bilirubin
-
Negatif
mg/dL
Darah
++++
Negatif
/L
Sedimen Mikroskopis
Eritrosit
60
< 3
/L
Lekosit
12
< 10
/L
Silinder
-
0 1
/LP
Epitel
+
Bakteri
+
Kristal
-
Makroskopis
Warna
Kuning
Kejernihan
Keruh
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Faal Hati dan Faal Ginjal (13 Mei
2013)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Satuan
Faal Hati
SGOT
108
0,00 47,00
U/L
SGPT
35
0,00 39,00
U/L
Gamma GT
136
0,00 17,00
U/L
Alkaline Fosfatase
82
0,00 720,00
U/L
Bilirubin total
1,62
0,00 1,00
mg/dL
Bilirubin direk
1,36
< 0,2
mg/dL
Bilirubin indirek
0,26
g/dL
Protein total
4,37
6,00 8,00
g/dL
Albumin
2,46
3,00 5,00
g/dL
Globulin
1,91
1,8 4
mg/dL
Faal Ginjal
Ureum / BUN
23
< 48
mg/dL
Creatinin
0,45
0,00 1,00
mg/dL
Glukosa Sewaktu
85
60,00 100,00
mg/dL
Tabel Pemeriksaan Kimia Darah dan Elektrolit (14 Mei 2013)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Satuan
PH
7,435
7,35 -7,45
PCO2
29,9
33 44
mmHg
PO2
100,5
71 104
mmHg
HCO3
19,7
22 29
mmol/L
Total CO2
20,6
21 27
mmol/L
BE
-3,3
(-2) (+3)
mmol/L
SaO2
97,9
94 98
%
Natrium
143
135 145
mmol/L
Kalium
3,37
3,5 5,0
mmol/L
Chlorida
102
94 - 111
mmol/L
Pemeriksaan Laboratorium Serologi (12 Mei 2013)
DHF / Dengue IgG: (+) Positif
DHF / Dengue IgM: (-) Negatif
Pemeriksaan Laboratorim (10 Mei 2013)
NS1: (-)
Leptospira IgM: (-)
Leptospira IgG: (-)
CRP: (+), titer 18,76
Hasil Roentgen Thorax dan CT Scan (10 Mei 2013): dalam batas
normal, tidak ditemukan kelainan seperti efusi pleura maupun
perdarahan intrakranial.
V. RINGKASAN
Dari Anamnesa
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 11 tahun 10 bulan
secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 16 Mei 2013
pukul 14.00, dengan keluhan saat ini berupa:
Pasien mengeluh tampak bercak bercak berwarna kemerahan sejak 2
hari yang lalu. Bercak kemerahan tersebut dirasa pasien semakin
hari semakin jelas dan tidak hilang ketika kulit diregangkan. Tidak
gatal, tidak ada nyeri dan tidak terasa panas. Tampak jelas pada
daerah kulit di kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas,
serta beberapa bagian tubuh pasien lainnya. Bercak-bercak kemerahan
itu muncul pada hari ke-7 pasca demam.
Tampak adanya lepuhan yang dikelilingi kulit berwarna ungu
kemerahan pada pergelangan tangan kiri pasien sejak beberapa hari
yang lalu (kakek pasien lupa persisnya kapan). Terasa nyeri dan
terasa panas. Saat ini kulit yang melepuh tersebut sedikit membaik
daripada hari sebelumnya dan telah diolesi obat kemudian dibungkus
oleh kasa perban.
Luka bekas tusukan jarum suntik di bagian lipat siku kanan dan
kiri, pergelangan tangan kiri sejak 3 hari lalu. Luka berwarna ungu
kemerahan. Terasa agak nyeri saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan
panas pada daerah sekitar luka tersebut. Pasien mengaku bahwa luka
bekas suntikan tersebut semakin hari semakin membaik.
Sebelum muncul bercak-bercak merah, pasien memiliki riwayat
panas tinggi selama 3 hari disertai nyeri kepala, daerah belakang
mata, leher dan pundak, serta nyeri ulu hati. Nafsu makan menurun.
Terjadi penurunan kesadaran pada hari ke-2 panas dengan perasaan
gelisah, kaku pada leher bagian belakang serta kejang. Penurunan
kesadaran selama 3 hari. Kejang selama 10 menit, kejang kaku pada
kedua lengan dan tungkai, pada saat sebelum dan setelah kejang
pasien tetap tidak sadarkan diri. Riwayat kejang sebelumnya
disangkal.
Riwayat pemasangan selang makan dan kateter urin selama beberapa
hari di rumah sakit. Pada selang makan tampak adanya cairan
berwarna merah coklat kadang disertai darah warna merah segar saat
panas hari ke-3, dengan jumlah kira-kira 1 hingga 3 sendok makan
per hari. Kateter tampak urin disertai darah merah segar, jumlah
kira-kira 2 sendok makan per kantung urin. Urin warna kuning
kecokelatan, sedikit pekat, keruh dengan jumlah rata-rata per hari
kurang dari 1 kantung urin ( 3/4 nya). Perdarahan tersebut
berlangsung selama 3 hari hingga pasien memerlukan perawatan di
ICU. Mimisan, gusi berdarah dan perdarahan kulit lainnya
disangkal.
BAB mencret pada hari Jumat (10/5/13) dengan frekuensi
3-4x/hari, jumlah sekitar gelas air mineral setiap kali mencret,
cair, warna jernih sedikit kekuningan, disertai ampas sedikit,
tanpa lendir. Mencret berwarna kuning kehitaman pada hari Minggu
(12/5/13), mencret sebanyak 3x, jumlah gelas air mineral dengan
konsistensi mulai agak kental, tanpa lendir. Mencret selama 4 hari
hingga Senin malam. Mencret kadang disertai rasa nyeri di bagian
perut bawah.
Pada saat hari ke-2 panas, jumlah urin yang dikeluarkan mulai
berkurang, kira-kira sebanyak 2 - 3 gelas air mineral per hari
dengan jumlah minum 2 botol air mineral sedang. Semakin hari selama
perawatan di RS jumlah urin yang dikeluarkan semakin sedikit,
dengan jumlah rata-rata 3/4 kantung urin. BAK mulai banyak kembali
pada hari Selasa. Saat ini BAB dan BAK telah normal.
Di lingkungan keluarga, tetangga dan teman pasien tidak ada yang
menderita sakit demam berdarah dengue. Riwayat bepergian ke Pulau
Seribu, Indonesia bagian timur dalam 1 bulan terakhir disangkal.
Ibu pasien mengaku baru pertama kali anaknya terdiagnosa DBD.
Riwayat pengobatan yang didapat selama di rumah sakit antara
lain Parasetamol (3 x sehari), Thyamicin forte (3 x 2 sendok teh
sehari), Lacto B, Zinkid, Puyer 3 x sehari, dan antibiotik, serta
anti kejang (namun kakek pasien lupa nama obatnya).
Pada pemeriksaan fisis ditemukan:
Keadaan umum: Tampak sakit ringan, compos mentis
Tekanan darah: 120/70 mmHg, pada lengan kanan
Nadi: 96 x/menit, pada arteri radialis, teraba kuat dan
teratur
Pernafasan: 22 x/menit, tipe abdominal-thorakal
Suhu: 36,7 oC, pada axila kanan
Kepala:
Mata: CA -/-, SI -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+
Telinga: serumen -/-
Hidung: sekret -/-
Mulut: mukosa mulut dan lidah basah, faring tidak hiperemis,
lidah tidak kotor, tidak tampak sianosis
Leher: KGB tidak teraba pembesaran
Thorax: rash konvalesen pada dinding thorax superior, cor dan
pulmo: dbN
Abdomen: Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran,
tidak ada nyeri tekan, timpani, bising usus (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema,
rash konvalesen pada extremitas atas proximal dan distal,
extremitas bawah bagian proximal
Kulit: Rash konvalesen berupa bercak-bercak kemerahan, berbatas
tegas, tidak nyeri, tidak terasa panas dan tidak hilang saat kulit
diregangkan tersebar pada kedua lengan atas dan bawah, kedua
tungkai atas, sedikit pada daerah sekitar infraclavicula. Hematoma
pada lipat siku kanan dan kiri, serta pergelangan tangan kiri
bagian ekstensor. Warna ungu kemerahan, diameter 3 - 4 cm, nyeri
saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan panas pada daerah sekitar
luka. Bullae dengan ukuran 1 x 1,5 cm, berisi cairan warna putih
jernih, nyeri dan terasa panas pada daerah pergelangan tangan kiri
bagian ekstensor.
Pemeriksaan neurologis: Rangsang meningeal (-), refleks
fisiologis (+), refleks patologis (-)
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan:
Leukosit: 5.500 /mm3
Hb: 10,9 g/dL
Ht: 32 % (nilai tertinggi: 45 %)
Trombosit: 114.000 / L (nilai terendah: 10.000 / L)
LED: 8
CRP: (+), titer 18,76 (10 Mei 2013)
NS1: (-), tanggal 10 Mei 2013 (panas hari ke-3)
Dengue IgM: (-), tanggal 12 Mei 2013 (panas hari ke-5)
Dengue IgG : (+), tanggal 12 Mei 2013 (panas hari ke-5)
VI. DIAGNOSA
Diagnosa: Dengue Haemorragik Fever Grade III Fase Konvalesen
Phlebitis mekanik
Diagnosa Banding: Phlebitis kimiawi
VII. PENATALAKSANAAN
NON-FARMAKOLOGI
Memberitahukan cara mengompres dan mengoleskan obat salep kulit
pada area lesi secara benar dan teratur
Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan
DBD dengan 3M; yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang
dapat menampung air
Menganjurkan agar pasien memakai repellent untuk mencegah
gigitan nyamuk, khususnya saat berada di lingkungan sekolah
FARMAKOLOGI
Phlebitis : Kompres air hangat
Trombophop gel
Gentamicin salep (dioleskan 3x sehari)
Metcovazin salep (dioleskan pada bullae 1x kemudian ditutup kasa
dan perban, diamkan selama 3 hari)
VIII. PROGNOSIS
Dengue Haemorragik Fever Grade III Fase Konvalesen
Ad vitam : ad bonam
Ad function: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
Phlebitis Mekanik
Ad vitam : ad bonam
Ad function: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
IX. RIWAYAT RAWAT INAP
Jumat, 17 Mei 2013; pukul 08.00 (rawat hari ke-8)
S: Masih tampak bercak bercak kemerahan, tidak nyeri dan tidak
terasa panas. Bercak kemerahan telah tampak sedikit berkurang dari
sehari sebelumnya. Luka bekas tusukan jarum suntik masih sama dari
hari sebelumnya, masih belum ada perbaikan. Lepuhan di pergelangan
tangan kiri masih nampak. Nafsu makan dan minum baik. BAB dan BAK
normal.
O: KU : Tampak sakit ringan
KS : Compos mentis
TD: 120/75 mmHgNadi: 94 x/menit
RR: 24 x/menitSuhu: 36 oC
Mata: CA -/-, SI -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+
Mulut: mukosa mulut dan lidah basah, faring tidak hiperemis,
lidah tidak kotor, tidak tampak sianosis
Thorax: rash konvalesen pada dinding thorax superior, cor dan
pulmo: dbN
Abdomen: Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran,
tidak ada nyeri tekan, timpani, bising usus (+) normal
Extremitas: rash konvalesen pada extremitas atas proximal dan
distal, extremitas bawah bagian proximal
Kulit: Rash konvalesen berupa bercak-bercak kemerahan, berbatas
tegas, tidak nyeri, tidak terasa panas dan tidak hilang saat kulit
diregangkan tersebar pada kedua lengan atas dan bawah, kedua
tungkai atas, sedikit pada daerah sekitar infraclavicula. Hematoma
pada lipat siku kanan dan kiri, serta pergelangan tangan kiri
bagian ekstensor. Warna ungu kemerahan, diameter 3 - 4 cm, nyeri
saat siku ditekuk, sedikit bengkak dan panas pada daerah sekitar
luka. Bullae dengan ukuran 1 x 1,5 cm, berisi cairan warna putih
jernih, nyeri dan terasa panas pada daerah pergelangan tangan kiri
bagian ekstensor
A: Dengue Haemorragik Fever Grade III Fase Konvalesen
Phlebitis Mekanik
P: Kompres dengan menggunakan air hangat
Trombophop gel
Gentamicin salep
Metcovazin salep
Boleh pulang
X. RESUME SAAT PASIEN PULANG
Nama: Dimas Putranta
Usia: 11 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal MRS: 9 Mei 2013
Tanggal keluar: 17 Mei 2013
Diagnosa akhir: DHF grade III, Ensefalopati dengue, Perdarahan
saluran cerna, Perdarahan saluran kencing, Hypoalbuminemia,
Hypokalemia, Phlebitis.
Operasi: Pemasangan CVP di ICU
RINGKASAN RIWAYAT & PENEMUAN FISIS PENTING
Riwayat: Panas tinggi mendadak 3 hari, nyeri kepala, belakang
bola mata, nyeri daerah ulu hati, mual, muntah, nafsu makan
menurun. Penurunan kesadaran, gelisah, kejang selama 10 menit.
Cairan NGT warna merah kecokelatan kadang disertai darah merah
segar 1 -3 sendok makan per hari. Kateter keluar darah warna merah
tua 2 sendok makan.
Pemeriksaan fisis: Kesadaran: delirium, TD: 92/78 mmHg, Nadi:
139 x/menit,
RR: 29 x/menit, Suhu: 39 oC. Lingkar perut: 90 cm.
Abdomen: Distensi abdomen, nyeri tekan epigastrium
Kulit: Rash konvalesen pada keempat ekstremitas, hematoma lipat
siku kanan dan kiri, serta pergelangan tangan kiri, bullae di
pergelangan tangan kiri
Hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi dan konsultasi yang
penting:
Dengue IgG (+)
Trombositopenia: 11.000 /L
Hemokonsentrasi (+); Ht: 45%
Albumin: 2,46 g/dL
Kalium : 2,67 mmol/L
Keadaan saat pulang: perbaikan.
Pengobatan saat keluar R.S.: Tromboprop gel, Gentamicin
salep.
RIWAYAT PENGOBATAN SELAMA DI R.S.
R.S. MITRA KEMAYORAN: Stesolid supp 10 mg sebanyak 1x, Stesolid
injeksi 2,5 mg sebanyak 3x, Kalmetasone injeksi 5 mg sebanyak 1x
dan Proris supp 125 mg sebanyak 1x.
R.S.P.I. SULIANTI SAROSO: Cairan yang dipakai berupa cairan
kristaloid (RL, RA, Asering, KaEn 3B) dan koloid (WIDAHES),
Parasetamol (3 x 500 mg), Taxegram (2 x 1 g IV), Luminal (75 mg IM
2 x 45 mg PO), Kloramfenikol (4 x 500 mg), Thyamicin forte (3 x II
cth), Kalmetason (3 x 1 ampul), Lacto B (3 x 1 sachet), Zinkid (1 x
1 tab), Puyer 3 x 1 (Cefixime, B Complex dan CTM).
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan
(mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam
berdarah dengue sampai demam berdarah dengue disertai syok (DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan
sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di
rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas
permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.1
EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagik fever di Asia Tenggara pertama kali
digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus
epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini
dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain
di Asia Tenggara, di antaranya di Hanoi (1958), Malaysia
(1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan
Calcuta (1963) dengan virus dengue tipe 2 dan chikungunya berhasil
diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali
dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis
baru diperoleh pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di
luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung,
disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974
epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan NTB. Pada tahun 1993
DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini
DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun
1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan
jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah
Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,65 (1983), dan
mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000
penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat
ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan daerah Karibia.1
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur
penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue,
prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak
laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal
dari golongan anak berumur < 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah
selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di
Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun
secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai
Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.1
ETIOLOGI
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai
genus Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari
infeksi salah satu jenis serotipe tidak memberikan perlindungan
yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe
yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi klinis yang
berat.1
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti (biasanya menghisap darah manusia pada siang
dan sore hari). Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa
spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.
Virus dengue merupakan virus RNA, berbentuk batang, mempunyai
ukuran 40 nm, termolabil dan stabil pada suhu 70 C. Virus dengue
disusun oleh protein struktural dan protein non struktural. Protein
struktural terdiri dari protein C (Capsid), protein M (membrane)
dan protein E (envelope). Protein C akan melindungi materi genetik
virus dengue. Protein M akan melindungi protein C dan materi
genetik virus dengue. Protein E terletak di membran virus dengue.
Untuk kelangsungan hidup virus dengue memerlukan protein non
struktural yaitu terdiri dari protein NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A,
NS4B dan NS5.
PATOFISIOLOGI
VOLUME PLASMA
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled
human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes
selama perjalanan penyakit mulai dari pemulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi
secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan
bahwa syokterjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra
vaskular (ruang interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler
yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya
berat badan, ditemukan cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikardium yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan
terdapatnya edema.1
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada
masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok
terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan
drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yamg bersifat destruktif atau akibat radang,
sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit
pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan endotel vaskular
yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu
juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau
dibuat keadaan trombositopenia.1
TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah
tombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai
normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga
akibatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan
dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi
dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan
darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.1
SISTEM KOAGULASI DAN FIBRINOLISIS
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa
tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor
pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor
koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III.
Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor
VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi
sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis.
Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan
aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen.1
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DBD
stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2)
Disseminated intravascular coagualation (DIC) secara potensial
dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran
DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi
apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka
syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan
DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok
irreversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) Perdarahan kulit
pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti
trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar
oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak
dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4)
Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan
berkurang.1
SISTEM KOMPLEMEN
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan
kadar C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai
syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum
komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan
perkiraan bahwa pada dengue aktivasi komplemen terjadi baik melalui
jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop
mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan
oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang
menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anfilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma,
syok dan perdarahan. Di samping itu komplemen juga merangsang
monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor
(TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1). 1
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalan urin
24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating
immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3)
adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.1
RESPON LEUKOSIT
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan.
Suvatte dan Longsaman menyebutkan sebagai transformed lymphocytes.
Dilaporkan juga pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai
transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal
ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan
infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma
biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah
tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak
pada hari demam keenam. Selanjutnya dibutikan pula bahwa sampai
hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua
sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan
perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok.
Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off
point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu
dignosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue. Dari
penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran
antara limfosit B dan limfosit T. Definisi LPB ialah limfosit
dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya ukuran lebih besar atau
sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi
halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih.
Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulatoval atau
berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam
inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula
azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk
dan tidak bertambah biru.1
PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran
mendapat model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk
menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis and the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua
dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai
5 tahun.1
The Immunological Enchancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari IgG
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam
monosit, yaitu enchancing-antibody dan neutralizing antibodi. Pada
saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) Kelompok
monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi
secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity.
Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan
akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari
pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe berbeda
cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis
ialah meningkatnya reaksi imunologis (The immunological
enchancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:
a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit
dan sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus
dengue primer.
b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi
maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai
reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel
fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.
d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan
dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.
e) Sel monosit yang telah teraktifasi akan mengadakan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat
dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengativasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme
efektor.1
Aktifasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen
virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ).
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan
infeksi pertama), limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue,
monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa
keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama
dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotipe / galur serotipe
virus dengue yang paling virulen.1
MANIFESTASI KLINIS
DEMAM DENGUE (DENGUE FEVER)
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari).
Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti
nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa
menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tingg,
nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). Rua timbul
pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit
ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka.1
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan
mendadak disertai peningkatan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di
belakang bola mata, punggung, otot, sendi, dan disertai rasa
menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu
yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian
selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada setiap pasien
sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.1
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra
pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia,
keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan
disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluanya banyak
keringat. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77%
kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign, sangat
patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat
diagnosis banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai.
Rush pada tahun1789 melaporkan pasien demam dengue dengan
perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain yang
dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau
kelahiran bayi berat badan lahir rendah, mungkin sekali akibat
perdarahan uterus.1
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama
periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia,
disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode
puncak penyakit dan masa konvalesen. Eosinofil menurun atau
menghilang pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis
neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat selama periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1
minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkitis
atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan
neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis
sensorium yang bersifat sementara, meningismus, dan ensefalopati.
Diagnosis banding mencakup infeksi virus (termasuk chikungunya),
bakteri dan parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakan
diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil,
terutama pada kasus-kasus sporadis.1
DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali,
dan kegagaan peredaran darah (circulatory failure). Fenomena
patofisiologi utama yang menetukan derajat penyakit dan membedakan
DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis
hemoragik.
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif,
memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekie
halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali
ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan
dapat etrjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi
jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat
lebuh jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak
dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva
kadang-kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan
eritema pada telapak tangan atau telapak kaki.1
SINDROMA SYOK DENGUE
Pada SSD, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan
umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini
dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.
Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran
darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi
menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara
cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di
daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa
nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang
jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal
yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk.1
Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai dengan nadi
lembut, cepat, kecil sampai tidak teraba. Tekanan nadi menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila
terlambat pasien akan mengalami syok berat (profound syok), tekanan
darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana
syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis
metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan
prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk
kasus syok berat) segera terjadi masa penyembuhan yang cepat.
Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan membaik merupakan
petunjuk prognosis baik.1
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit 100.000 /L ditemukan antara hari
sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat
ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil
laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,
hiponatremia, kadar transaminase serum dan ure nitrogen darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah
leukosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat
sementara.1
DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium.1
Klinis:
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan
salah satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati (tanpa disertai ikterus). Kewaspadaan perlu
ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba kemudian selama
perawatan membesar dan / atau pada saat masuk rumah sakit hati
sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal,
hal ini merupakan tanda terjadinya syok.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan
nadi menurun ( 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80
mmHg) didertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium:
1. Trombositopenia ( 100.000 / L)
2. Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai
hematokrit 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis
membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD
dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan
serologis, dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat:1
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet positif.
Derajat II: Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit
dan/atau perdarahan lain.
Derajat III: Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lembut, tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV: Syok berat, nadi tidak terba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
Demam
DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang
tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang,
sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua
kasus. Lama demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan
mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan
keadaan anak yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada
kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan
pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi perdarahan di
kulit menjadi nyata.1
Manifestasi perdarahan
Uji torniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan
dapat dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif
pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis DBD, uji troniquet,
merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DBD
apabila dilakukan pada penderita demam lebih dari 2 hari tanpa
sebab yang jelas. Uji torniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan
ketentuan WHO. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu
menetapkan tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara
sistolik dan diastolik pada alat ukur yang dipasang pada lengan di
atas siku, tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah
dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekie di
bagian volar lengan bawah. Uji dinyatakan positif apabila pada 1
inci persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekie (WHO,
1975). Pada DBD, uji torniquet pada umumnya memberikan hasil
positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau
positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi
setelah syok ditanggulangi, pada umumnya akan didapatkan hasil
positif, bahkan posit kuat.1
Pembesaran hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan
penyakit dan pembesaran hati ini tidak sesuai dengan beratnya
penyakit; nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus.
Hati pada anak umur 4 tahun dan / atau lebih dengan gizi baik
biasanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila
semula hati tidak teraba membesar kemudian selama perawatan
membesar dan / atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah teraba
dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini
merupakan tanda terjadinya syok.1
Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri atas:1
1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki,
tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan
oleh sirkulasi yang insufisiensi yang menyebabkan peninggian
aktivitas simpatikus secara refleks.
2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, soopor dan koma. Hal ini
disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi
menjadi cepat dan lembut sampai tida dapat diraba oleh karena
kolaps sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang.
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis.
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung
beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini
terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari
sakit ke 3-7. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat
sebelum syok timbul. Syok yang terjadi selama periode demam,
biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana syok harus
dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien dapat masuk
dalam syok berat (profound syok), tekanan darah tidak dapat terukur
dan nadi tidak dapat diraba. Lama syok singkat; pasien dapat
meninggal dalam waktu 12-24 jam atau menyembuh.1
Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita
DSS. Ditemukannya gejala ini pada kasus DSS merupakan tanda bahaya
oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan gastrointestinal.
Terjadinya kejang dengan hiperpireksia disertai penurunan kesadaran
pada beberapa kasus seringkali mengelabui sehingga ditegakkan
diagnosis kemungkinan ensefalitis.1
PERJALANAN PENYAKIT
Setelah masa inkubasi berkisar 315 hari (rata-rata 58 hari),
penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan
recovery (penyembuhan).
Gambar perjalanan penyakit DBD 2
Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang
suhu tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat
penurun panas. Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan
diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga
mengeluhkan nyeri tenggorokan atau mata merah (injeksi
konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya
secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif
pada fase ini meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam
juga tidak dapat dijadikan parameter untuk membedakan antara kasus
dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena itu, memperhatikan
tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat
penting untuk mengenali progresi ke arah fase kritis. Warning signs
meliputi:
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan,
perdarahan mukosa, pembesaran hati > 2 cm
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat
muncul pada hari-hari pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada
hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada
wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis,
melena) juga dapat terjadi walau lebih jarang. Bentuk perdarahan
yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan adanya
peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2%
kasus DBD mempunyai hasil positif.
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari
demam. Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm
di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus.
Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan
progresif leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah
dengue.
Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam
mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka
hal ini harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam
mulai turun hingga dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada
hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan
keadaan ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode
kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya terjadi
selama 24-48 jam.
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang
cepat merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma
dapat bervariasi. Temuan efusi pleura dan asites secara klinis
bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
Derajat peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan
kebocoran plasma.
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka
kritis akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning
signs. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak
teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami
hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis
metabolik, dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini
menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat
menurun pada keadaan syok hebat.
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat
dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat
berkembang menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan
demam sehingga pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.
Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis,
reabsorpsi gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72
jam. Keadaan umum pasien membaik, nafsu makan kembali, gejala
gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan
diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih
yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus
generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga
sering ditemukan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih
rendah karena efek dilusi yang disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah
leukosit biasanya akan meningkat segera setelah demam turun, namun
trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian cairan pada fase ini
perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan edema
paru atau gagal jantung kongestif.
DIAGNOSA BANDING
Demam pada fase akut mencakup infeksi bakteri dan virus yang
luas. Pada hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili
dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam.
Pada hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar,
apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan
pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami
dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis; dalam hal ini
trombositopenia dan hemokonsentrasi disamping penilaian gejala
klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.1
ENSEFALOPATI DENGUE
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang
disertai gejala ensefalopati ditemukan dari berbagai negara di Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. Kecuali kejang, gejala ensefalopati
lain tidak / jarang menyertai DBD. Dari beberapa contoh kasus
ensefalopati dengue yang dilaporkan, ternyata kadangkala para
dokter sangat terpukau oleh kelainan neurologis sehingga apabila
tidak waspada, diagnosis DBD / DSS tidak terpikirkan. Data itu juga
memberikan suatu keyakinan bahwa pada DBD perlu dipikirkan
diagnosis banding dengan ensefalitis virus lain. Contoh kasus
ensefalopati dengue memperlihatkan bervariasinya gejala klinis
pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh WHO tidak
selalu dijumpai. Tingginya persentase ensefalopati dengue pada umur
1-4 tahun (yaitu pada golongan umur tersering terjadinya kejang
demam pertama kali) memerlukan peningkatan kewaspadaan. Oleh karena
itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan (1) pada setiap kasus
demam disertai kejang dan pasien dengan diagnosis ensefaltis perlu
dicari kemungkinan adanya menifestasi perdarahan dan (2) sekiranya
pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap kemungkinan
DSS.1
TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat
jalan sedangkan DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk
dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat
yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid
dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian.
Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien
yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu
singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD / DSS terletak pada keterampilan dokter untuk dapat
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok dengan baik).1 Kortikosteroid tidak
memperpendek lama sakit atau memperbaiki prognosis anak dengan DBD
/ DSS.3
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase
demam pasien dianjurkan tirah baring, selama masih demam, obat
antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk
menurunkan suhu menjadi < 39oC, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal / salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi)
karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah,
sirop, susu, selain air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan
selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan monitor suhu, trombosit serta
kadar hematokrit sampai normal kembali. Pada pasien DD, saat suhu
turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian
semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh
karena kemungkinan kita sulit membedakan DD dengan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada
DD akan terjadi penyembuhan, sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi
pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau
pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar
hitam, atau terdapat perdarahan kulit atau mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat atau kulit
dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus
segera dibawa ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami
komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi
diobservasi. Pada saat kita menjumpai pasien tersangka infeksi
dengue, maka bagan 1 dapat dipergunakan.1
Demam berdarah dengue
Ketentuan umum
Perbedaan patofisiologi utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit
lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gamabaran
klinik DBD/DSS sangat khas, yaitu demam tinggi mendadak, diatesis
hemoragik, heptomegali dan kegagalan sirkulasi. Keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase
kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defevescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan
melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari meningkatnya kadar hematokrit dan
penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada
sakit hari ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/L
atau < 1-2 trombosit / LPB ( rata-rata hitung pada 10 LPB)
terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian
cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan
garam isotonik atau ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan
dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan
intravena dapat diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada
kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit < 50.000/L. Secara umum pasien DBD
derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas.1
Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk
mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh
karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik
kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39oC dengan
dosis 10-15 mg/kgBB/kali atau dapat disederhanakan seperti tertera
pada tabel 2. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai
akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum ASI, tetap harus diberikan di samping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, di samping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat
terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase
demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif.1
Penggantian volume plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi
pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok)
maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walau demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2
atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesn dalam 24-48 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah
volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.1
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus
muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum secara per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi
sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl
0,9%. Bila terdapat asidosis, dari jumlah cairan total dikeluarkan
dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium
bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa ditambah
natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20%
atau lebih, maka komposisi cairan yang diperlukan harus sama dengan
plasma. Volume dan komposisi yang diperlukan sesuai seperti cairan
untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan
rumatan ditambah defisit 6% (5-8%) seperti tertera pada tabel
ini.1
Tabel kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan
5-8%)
Berat waktu masuk (kg)
Jumlah cairan ml/kg berat badan per hari
< 7
220
7 11
165
12 18
132
> 18
88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung
dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan cairan
plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada
anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal
untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungkan dari tabel berikut.1
Tabel kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg)
Jumlah cairan (ml)
10
100 per kg BB
10 20
1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
> 20
1500 + 50 x kg (di atas 20kg)
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan
adalah 1500 + (50 x 20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan
diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada
saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan
dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari
pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa
penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
perembesan plasma berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan
akibat udem paru. Demikian pula pada saat fase konvalesens terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan
distres pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan.1
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai
tanda-tanda syok yaitu gelisah, letagi/lemah, ekstremitas dingin,
bibir sianosi, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar
hematokrit atau hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun
telah diberi cairan intravena. 1
Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah larutan
ringer laktat (RL) atau dexstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL), ringer asetat (RA) atau dexstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dexstrosa dalam larutan garam faali.
Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.1
Sindroma syok dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam.1
Penggantian volume plasma segera
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kriastaloid 20
ml/kgBB dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30
menit). Apabila syok belum dapat teratasi dan/atau keadaan klinis
memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti
dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan
jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Setelah tejadi perbaikan, segera cairan
ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB.
Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid
syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah
terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah
segar. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan
darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam), tetapi apabila terjadi
perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan
klinis dan kadar hematokrit.1
Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, dan kemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam .
Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS berat, untuk
mengetahui kebutuhan cairan.1
Cairan intravena dapat diberikan apabila hematokrit telah turun,
sekitar 40%. Jumlah urin 12 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan
tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
eksravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia,
dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai
tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.1
Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/DSS, maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memicu terjadinya DIC sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan
plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis
dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak
akan terjadi sehingga heparin tidak diperlukan.1
Sedatif
Pada pasien gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenagkan
pasien. Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat
hepatotoksik. Kloral hidrat diberikan per oral atau per rektal
dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram). Keadaan
gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang
baik akan menghilang setelah pemberian cairan yang adekuat.1
Pemberian oksigen
Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi
makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.1
Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan
pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan
(prolonged syock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan intern apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan
tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk
menaikkan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau
suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan
perdarahan masif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu
protrombin, dan fibrinogen degradation products (FDP) harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat
ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.1
Kelainan ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang
diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah
diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.1
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dieveluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah nadi, tekanan darah, respirasi
dan tempeatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapar teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap
4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus
mempunyai formulir pemantauan jenis cairan, jumlah, dan tetesan,
untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi,
jumlah serta frekuensi diuresis.1
KRITERIA MEMULANGKAN PASIEN
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis,
hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah
trombosit > 50.000/L dan cenderung meningkat, serta tidak
dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis).1
ENSEFALOPATI DENGUE
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis,
maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang
tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi.
Larutan laktat ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
0,9% : Glukosa 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan
kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi
hati, maka diberikan vitamin K IV 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula
darah diusahakan > 60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan
intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan
diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas
dengan pemberian oksigen yang adekuat. Pada DBD ensefalopati mudah
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat
diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Transfusi darah
segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila
diperlukan transfusi tukar, pada masa penyembuhan dapat diberikan
asam amino rantai pendek.1
PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi
viremia yang diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya
berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan disusul segera
oleh pembentukkan IgG. Pada kira-kira hari kelima infeksi
terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus
(neutralizing antibody / NT). Titer antibodi NT akan naik dengan
cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu lama, biasanya
seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul antibodi
yangmempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah angsa
(haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi HI itu
naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara
perlahan-lahan, tetapi lebih cepat daripada NT. Antibodi yang
terakhir, yaitu antibodi yang mengikat komplemen (complement fixing
antibody = CF), timbul pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi
itu naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum dalam waktu
1-2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2
tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue
ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi
virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer
antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan
serologi yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua
cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil
pada waktu demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesen,
1-4 minggu dalam perjalanan penyakit.1
UJI SEROLOGI HI
Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan sampel serum atau
mempergunakan kertas saring filter paper disc. Hasil yang diperoleh
dari penggunaan kertas saring cukup baik, apabila cara pengisian
dilakukan secara benar. Pada pemeriksaan serologi tes HI, serum
diencerkan mejadi kelipatan 2x, dimulai dengan pengenceran 1:10,
1:20, 1:40, dan seterusnya.1
Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas kriteria WHO,
sebagai berikut:1
1. Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu
apabila serum diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari
1:20 dan titer akan naik 4x atau lebih pada masa konvalesen, tetapi
tidak akan melebihi 1:1280.
2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue
infection) ditandai oleh titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada
masa akut, sedangkan pada masa konvalesen titer bernilai sama atau
lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah
apabila titer antibodi akut sama atau lebih besar daripada 1:20 dan
ti