HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 1/43
BAB I PENDAHULUANLatar Belakang
Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup
bermakna, baik di Indonesia maupun di dunia. Prevalensi penyakit
batu diperkirakan sebesar 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada
perempuan dewasa.1
Prevalensi batu ginjal di Amerika bervariasi2
tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Empat
dari lima pasien adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah
dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu ginjal di
Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari
rumah sakit di seluruh Indonesia adalah sebesar 37.636 kasus baru,
dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan jumlah
pasien yang dirawat adalah sebesar sebesar 378 orang.3
19.018 orang, dengan jumlah kematian adalah
Beban ekonomi akibat batu saluran kemih sangat besar. Pada tahun
2000, biaya total untuk pengobatan urolitiasis di Amerika Serikat
diperkirakan 2,1 milyar dolar, yang meliputi 971 juta dolar untuk
pasien rawat inap, 607 juta dolar untuk pasien rawat jalan dan
kunjungan praktik dokter, serta 490 juta dolar untuk pelayanan
gawat darurat. Angka-angka tersebut menggambarkan kenaikan sebesar
50% dari biaya pengobatan urolitiasis sebesar 1,34 milyar dolar
pada tahun 1994. Di Indonesia belum ada data mengenai beban biaya
kesehatan untuk batu saluran kemih. Dalam memilih pendekatan terapi
optimal untuk pasien urolitiasis, berbagai faktor harus
dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran,
jumlah, komposisi dan lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat
obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction,
divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya
infeksi, obesitas, deformitas habitus tubuh, koagulopati,
anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal ginjal).4 1
Kemajuan dalam bidang endourologi telah secara drastis mengubah
tatalaksana pasien dengan batu simtomatik yang membutuhkan operasi
terbuka untuk pengangkatan batu. Perkembangan terapi invasif
minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic intrarenal surgery
(RIRS), percutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan
extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) telah memicu
kontroversi mengenai teknik mana yang paling efektif. ESWL
merupakan terapi non invasif yang menggunakan gelombang kejut
berintensitas tinggi. Gelombang ini dibangkitkan di luar tubuh
pasien lalu ditembakkan ke batu ginjal atau ureter. Sejak ESWL
diperkenalkan pada tahun 1980-an, teknologi dalam bidang
litotripsi
gelombang kejut telah sangat berkembang. Kemajuan dalam
teknologi ESWL dipusatkan ke arah peningkatan peralatan pencitraan
(imaging), pengembangan sumber energi ESWL,
pengembangan suatu alat yang dapat berfungsi sebagai
litotriptor
dan meja tindakan
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 2/43
endourologi, serta usaha untuk mengurangi tekanan gelombang
kejut sehingga mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan
memungkinkan prosedur ESWL tanpa
mengunakan anestesi.
Permasalahan
Penggunaan ESWL sudah sangat luas, namun sampai saat ini di
Indonesia belum ada keseragaman dalam hal indikasi ESWL; ini
menyangkut jenis, ukuran dan lokasi batu yang bagaimana yang
memberikan hasil terbaik dengan terapi ESWL. Masih banyak pula
kontroversi lainnya seputar penggunaan ESWL, antara lain
efektivitas dan cost-effectiveness ESWL
dibandingkan modalitas terapi invasif minimal lain (URS dan
PNL); bilamana ESWL perlu dikombinasi dengan modalitas terapi lain;
pemberian antibiotik profilaksis untuk ESWL; serta tak kalah
pentingnya kemajuan dalam teknologi mesin ESWL sendiri, yang
menuntut pertimbangan yang rasional dalam memilih mesin yang paling
sesuai untuk suatu institusi.
Tujuan
Tujuan Umum Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi
dalam menetapkan kebijakan mengenai penggunaan ESWL untuk batu
saluran kemih di Indonesia.
Tujuan Khusus Melakukan penapisan teknologi ESWL, yang meliputi
penetapan indikasi, prosedur, dan teknologi mesin ESWL berdasarkan
bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih.
Rekomendasi HTA bertujuan untuk memberikan masukan bagi para
pengambil kebijakan, baik di lingkungan Departemen Kesehatan, Rumah
Sakit, Instistusi Pendidikan, Badan Penelitian, maupun institusi
terkait lainnya. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk
menggantikan pertimbangan klinis. Keputusan definitif dalam
penanganan pasien bergantung pada kasus pasien, kondisi lokal,
pilihan pasien dan pertimbangan klinis dari tim kesehatan yang
terlibat.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 3/43
BAB II METODOLOGI PENILAIAN
II.1. Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui
kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, British Medical
Journal, The Journal of Urology, British Journal of Urology
International, Urology dalam 15 tahun terakhir (1990-2005).
Informasi juga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang
disusun oleh American Urological Association (AUA) dan European
Association of Urology (EAU).
Kata kunci yang digunakan adalah ESWL, Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy, ureteral stone, renal stone, kidney stone, staghorn
stone, ESWL + cost effectiveness.
II.2. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence
based medicine, ditentukan hierarchy of evidence dan derajat
rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi
diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US
Agency for Health Care Policy and Research. Hierarchy of evidence:
Ia. Ib. IIa. IIb. IIIa. IIIb. IV. Meta-analysis of randomised
controlled trials. Minimal satu randomised controlled trials.
Minimal penelitian non-randomised controlled trials. Cohort dan
Case control studies Cross-sectional studies Case series dan case
report Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi : A. B. C. Evidence yang termasuk dalam
level Ia dan Ib. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan IIb.
Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 4/43
II.3. Pengumpulan Data Lokal
Data lokal diperoleh dari jumlah pasien yang menjalani ESWL di
RSCM selama 1 tahun terakhir, daftar tarif ESWL di RSCM serta RS
pemerintah dan swasta lain.
II.4. Ruang Lingkup
Kajian ESWL ini dibatasi pada kontroversi seputar ESWL yang
meliputi indikasi, kontraindikasi, komplikasi, pemberian antibiotik
profilaksis, prosedur tambahan pra ESWL, kompetensi profesi pelaku,
pemilihan jenis mesin ESWL serta analisis biaya.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 5/43
BAB III BATU SALURAN KEMIH
III.1 Anatomi Saluran Kemih
Pembagian ureter secara anatomi perlu diketahui karena berkaitan
dengan tatalaksana batu ureter. Ureter dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu ureter atas, mulai dari ureteropelvic junction sampai ke tepi
atas os ileum, ureter tengah yaitu mulai dari tepi atas os ileum
sampai ke tepi atas sacroileal joint dan ureter bawah, mulai dari
tepi atas sacroileal joint sampai ke orifisium ureter. Pembagian
ureter menjadi tiga bagian ini terutama berkaitan dengan pendekatan
bedah untuk mengangkat batu.1
Saat ini, operasi terbuka untuk mengangkat batu ureter sudah
jarang dilakukan, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan
saat ini telah digantikan oleh terapi-terapi baru yang non invasif
maupun invasif minimal, seperti extracorporeal shockwave
lithotripsy (ESWL), ureterorenoskopi dan percutaneus
nephrolithotomy. Sebagai konsekuensinya, ureter saat ini dibagi
hanya menjadi dua bagian, yaitu ureter proksimal atau ureter atas
(gabungan dari ureter atas dan tengah berdasarkan pembagian
sebelumnya) dan ureter distal atau ureter bawah. Batas dari ureter
proksimal dan ureter distal adalah titik potong saat ureter
menyilang arteri iliaka dan menyempit, sehingga menciptakan
hambatan bagi ureteroskop. Pedoman dari American Urological
Association (AUA) dan European Urological Asociation (EUA)
menggunakan pembagian ureter yang terbaru.5,6 5
III.2 Komposisi Batu Saluran Kemih
Komposisi dari batu ureter bervariasi, Pada umumnya batu
terbentuk dari garam kalsium seperti kalsium oksalat monohidrat,
kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat. Tipe lain yang kurang
sering didapat yaitu batu asam urat dan batu struvit, sedangkan
yang jarang didapat adalah batu sistin.5
Beberapa material batu sulit dihancurkan oleh metode apa pun,
misalnya batu kalsium oksalat monohidrat, yang keras dan padat.
Apabila batu tersebut terletak di distal, maka ekstraksi
menggunakan ureteroskopi dengan keranjang atau forseps akan lebih
efektif daripada fragmentasi. Sebaliknya, batu kalsium oksalat
dihidrat akan dengan mudah dipecah dan biasanya merupakan kandidat
yang baik untuk ESWL atau litotripsi intrakorporal.5
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 6/43
III.3 Diagnosis Batu Saluran Kemih
Klinis Pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri
pinggang, muntah dan demam, serta mungkin mempunyai riwayat
penyakit batu. Diagnosis klinis haruslah ditunjang oleh pemeriksaan
pencitraan yang sesuai. Hal ini akan membantu memutuskan apakah
cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan terapi lain.6
Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada
pasien yang dicurigai mempunyai batu. Hampir semua batu saluran
kemih (98%) merupakan batu radioopak. Pada kasus ini, diagnosis
ditegakkan melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto
abdomen dari ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG
atau excretory pyelography (Intravenous Pyelography, IVP).
Excretory pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
alergi media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan
metformin, dan myelomatosis.6 6
Pemeriksaan radiologi khusus yang dapat dilakukan meliputi :
Retrograde atau antegrade pyelography Spiral (helical) unenhanced
computed tomography (CT) Scintigraphy
CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan terbaik
untuk diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya mencapai 100%
dan spesifisitas 98%. CT Scan tanpa kontras tersedia luas di
negara-negara maju dan juga dapat memberikan informasi mengenai
abnormalitas di luar saluran kemih. IVP memiliki sensitivitas 64%
dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu cukup lama
dan harus dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan alergi
terhadap kontras.7
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin
meliputi: sedimen urin / tes dipstik untuk mengetahui sel
eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin. Untuk mengetahui
fungsi ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam,
sebaiknya diperiksa C-reactive protein, hitung leukosit sel B, dan
kultur urin. Pada keadaan muntah, sebaiknya diperiksa natrium dan
kalium darah. Untuk mencari faktor risiko metabolik, sebaiknya
diperiksa kadar kalsium dan asam urat darah. Panduan pemeriksaan
laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana
Urolitiasis dari European Association of Urology.6
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 7/43
III.4 Macam Modalitas Terapi
Terapi untuk pasien dengan batu ureter dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategori secara garis besar :5
1. Observasi (juga disebut expectant management dan watchful
waiting) 2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 3.
Percutaneus Nephrolithotomy (PNL) 4. Ureterorenoskopi (URS) 5.
Pembedahan terbuka (merujuk kepada setiap tindakan yang memerlukan
paparan bedah terbuka terhadap ureter dan pengangkatan batu).
Berikut ini akan djelaskan secara singkat satu per satu dari
modalitas terapi di atas.
III.4.1. Manajemen Observasi Seperti telah disebutkan
sebelumnya, mayoritas batu ureter cukup kecil sehingga dapat lewat
spontan tanpa menimbulkan keluhan/gejala klinis yang berarti. Untuk
batubatu seperti ini, observasi merupakan pilihan terapi yang
terbaik. Pasien diinstruksikan untuk meningkatkan asupan cairan
sedikitnya 3 liter/hari, yang bertujuan untuk mempertahankan
produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus membatasi asupan
oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani. Obat obatan
yang digunakan untuk mengatasi kolik sementara sebelum batu lewat
mencakup analgesik narkotik dan obat anti inflamasi non steroid.5,6
8
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak
intervensi, ukuran dan lokasi batu merupakan faktor utama. Batu
dengan lebar 5 mm di ureter proksimal memiliki kemungkinan 70-80%
untuk mengalami pengeluaran spontan dan kemungkinan ini akan lebih
besar apabila batu tersebut terletak di ureter distal.5
Namun, ukuran mungkin pula bukan merupakan faktor terpenting
jika pasien mengalami nyeri yang tak tertahankan. Dalam kasus ini,
terapi yang terbaik adalah intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran
batu. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka ginjal berisiko
mengalami pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu
dilakukan terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.5
Faktor lain adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang
ekstrim, pasien dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa
obstruksi dapat diobservasi selama satu tahun atau lebih sebelum
akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif.
Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal soliter,
dan ginjal transplantasi tidak dapat bertahan terhadap obstruksi
ringan sekalipun.5
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 8/43
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien
dengan batu ureter unilateral simtomatik, yang direkrut saat datang
ke unit gawat darurat dengan keluhan kolik ureter. Kriteria batu
yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam ureter dan
diameter 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien adalah fungsi ginjal
yang baik (dengan renografi), nyeri terkontrol dengan analgesia
oral dan tidak ada tanda sepsis urologik. Posisi batu dikonfirmasi
menggunakan urografi kontras. Renogram dengan radioisotop MAG3
dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1
bulan setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah
kehilangan fungsi ( 5%) ipsilateral, infeksi, nyeri atau kombinasi
dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang direkrut (18 batu
ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24 sepertiga bawah),
terapi konservatif dilakukan pada 18 pasien, namun pada perjalanan,
4 pasien memerlukan intervensi dikarenakan keluhan nyeri. Pasien
lain memerlukan intervensi segera karena nyeri (8 pasien),
penurunan fungsi ginjal (15), dan penurunan fungsi ginjal disertai
infeksi (13). Hasilnya, tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa
intervensi. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa manajemen
konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman, dengan
syarat dilakukan renografi radioisotop untuk mengidentifikasi
ginjal yang memerlukan intervensi.9
Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih
terapi. Misalnya, bila pasien sering melakukan perjalanan jauh atau
menghabiskan banyak waktu di negara asing, terapi aktif dapat
dipertimbangkan bahkan untuk batu asimtomatik.5
III.4.2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) telah menjadi
metode yang paling sering digunakan dalam tatalaksana aktif batu
ureter. ESWL didasarkan pada prinsip bahwa gelombang kejut
bertekanan tinggi akan melepaskan energi ketika melewati area-area
yang memiliki kepadatan akustik berbeda. Gelombang kejut yang
dibangkitkan di luar tubuh dapat difokuskan ke sebuah batu
menggunakan berbagai teknik geometrik. Gelombang kejut melewati
tubuh dan melepaskan energinya saat melewati sebuah batu. Tujuan
dari metode ini adalah untuk memecah batu menjadi partikel-partikel
yang cukup kecil sehingga dapat melewati ureter tanpa menimbulkan
nyeri yang berarti.5,10
III.4.3. Ureterorenoskopi (URS) Penemuan ureteroskopi pada tahun
1980-an telah mengubah secara dramatis manajemen batu saluran
kemih. Ureteroskopi rigid digunakan bersama dengan litotripsi
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 9/43
ultrasonik, litotripsi
elektrohidrolik, litotripsi laser
dan
litotripsi pneumatik
agar
memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat
dilakukan dengan ekstraksi keranjang di bawah pengamatan langsung
dengan fluoroskopi. Perkembangan dalam bidang serat optik dan
sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu ureteroskop semirigid
yang lebih kecil. (6,9 sampai 8,5 F). Penemuan
miniskop semirigid dan ureteroskop fleksibel membuat kita dapat
mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih
aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini
adalah sempitnya saluran untuk bekerja.5
Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi
batu dan pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.
III.4.4. Percutaneus Nephrolithotomy (PNL)
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan dan
pengangkatan batu. Untuk mencapai akses perkutan, urolog atau
radiolog memasang kabel penuntun fleksibel berukuran kecil di bawah
kontrol fluoroskopi melalui pinggang pasien ke dalam ginjal lalu
turun ke ureter. Jika akses sudah diperoleh, saluran dilebarkan
sampai ukuran 30 F dan dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau
ureteroskop rigid / fleksibel dimasukkan melalui selongsong. Dengan
tuntunan fluoroskopi dan endokamera, batu diangkat secara utuh atau
setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorporal. PNL
memiliki keuntungan sebagai berikut : (1) Jika batu dapat dilihat,
hampir dipastikan batu tersebut dapat dihancurkan. (2) Dengan alat
fleksibel, ureter dapat dilihat secara langsung sehingga fragmen
kecil dapat diidentifikasi dan diangkat. (3) Proses cepat, dengan
hasil yang dapat diketahui saat itu juga. Perawatan di rumah sakit
biasanya 3 sampai 5 hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas
ringan setelah 1 sampai 2 minggu. Angka transfusi PNL sekitar 26%.
Angka perawatan kembali, yaitu angka dimana instrumen harus
dimasukkan kembali untuk mengangkat batu yang tersisa bervariasi
dari 10% sampai 40-50%. Angka bebas batu adalah 75-90%. Komplikasi
yang dapat terjadi meliputi perdarahan, infeksi, dan fistula
arteri-vena.5
III.4.5. Pembedahan Terbuka
Berbagai variasi operasi spesifik dapat dilakukan untuk
mengangkat batu ureter. Bergantung pada anatomi dan lokasi batu,
ureterolitotomi dapat dilakukan melalui insisi samping, dorsal atau
anterior. Saat ini, ureterolitotomi sudah jarang dilakukan,
kecuali
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 10/43
pada kasus dimana batu berukuran besar atau pasien memiliki
kelainan anatomi ginjal atau ureter. Perawatan di rumah sakit
berkisar antara 2 sampai 7 hari. Disabilitas pasca operasi berkisar
antara 4 sampai 6 minggu.5
III.4.6. Stenting
Stenting bukanlah pilihan utama, namun memegang peranan penting
sebagai terapi tambahan pada hampir semua tatalaksana batu ureter.
Misalnya, pasien dengan sepsis dan obstruksi membutuhkan drainase
internal (menggunakan Double J stent) atau drainase eksternal
(menggunakan nefrostomi perkutan).5
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 11/43
BAB IV EXTRACORPOREAL SHOCKWAVE LITHOTRIPSY
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur
dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen fragmen
kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Fragmen kecil ini
kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi non-invasif ini
membuat pasien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun
endoskopi.
IV.1. Teknologi Mesin ESWL Dornier HM3 (Human Model 3) adalah
prototip mesin ESWL pertama yang dirancang oleh Christian Chaussy
dari Jerman, dan menjadi standar pembanding untuk mesin-mesin baru.
Mesin ini menggunakan generator gelombang kejut spark-gap. Pasien
dan dan generator ditempatkan pada sebuah bak air, sehingga
gelombang kejut dengan mudah melalui air serta jaringan dan terarah
pada batu. Lokalisasi dilakukan menggunakan fluoroskopi biplanar.
Dalam perkembangannya, dilakukan modifikasi untuk mengurangi
penggunaan anestesi, lokalisasi batu lebih akurat, dan meningkatkan
efektivitas. Bak air yang digunakan oleh Dornier HM3 digantikan
oleh generator kecil dan kasur air. Dengan desain baru ini, pasien
dapat diterapi dalam berbagai posisi yang membantu lokalisasi dan
maksimalisasi efek. Generator elektromagnetik merupakan generator
yang banyak digunakan saat ini. Alat ini memiliki zona fokus lebih
kecil dari Dornier HM3 dan lebih sedikit menggunakan anestesi. Pada
mesin generasi baru juga dijumpai kombinasi ultrasonik dan
fluoroskopi.4
Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1)
sumber energi (generator gelombang kejut), (2) focusing system, (3)
pencitraan atau unit lokalisasi, dan (4) mekanisme coupling.4
IV.1.1. Generator gelombang kejut Semua generator gelombang
kejut didasari oleh prinsip geometri elips. Gelombang kejut dibuat
pada titik fokus pertama dari ellipsoid (F1 dalam separuh elips)
dan dikirim ke titik fokus kedua (F2) pada pasien. Zona fokus
adalah daerah pada F2 dimana gelombang kejut terkonsentrasi.
Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang
kejut, yaitu elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi
elektromagnetik. Energi elektrohidrolik. Teknik ini paling sering
digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus
listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap
yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian ini
menghasilkan
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 12/43
gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan
gelombang energi bertekanan tinggi. Energi pizoelektrik. Pada
teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo
dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini menyebabkan
vibrasi atau perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan
gelombang kejut. Energi elektromagnetik. Aliran listrik di alirkan
ke koil elektromagnet pada silinder berisi air. Lapangan magnetik
menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga
menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang menghasilkan
gelombang kejut.10
IV.1.2. Focusing system Semua litotriptor gelombang kejut
memiliki sebuah focusing system yang mengkonsentrasikan dan
mengarahkan energi gelombang kejut ke batu, yaitu pada F2, sehingga
batu hancur menjadi fragmen. Sistem elektrohidrolik menggunakan
prinsip dari elips untuk mengarahkan energi yang di buat dari
elektroda spark-gap. Pada sistem pizoelektrik, kristal diatur pada
lempeng hemisfer, sehingga energi yang dihasilkan diarahkan pada
satu titik pusat. Sistem elektromagnetik menggunakan lensa akustik
atau reflektor silindris untuk memfokuskan gelombang.10
IV.1.3. Sistem lokalisasi Pencitraan dikerjakan untuk
melokalisasi batu dan mengarahkan gelombang kejut pada batu. Selama
terapi, pencitraan tetap dilakukan dengan tujuan untuk membantu
meyakinkan gelombang kejut ditembakkan pada arah yang tepat.
Terdapat dua metode yang digunakan untuk melokalisasi batu, yaitu
fluoroskopi dan ultrasound. Fluoroskopi memiliki keuntungan yaitu
dapat mengidentifikasi batu renal dan ureter dan dapat membantu
menghitung perpindahan fragmen. Kerugian fluoroskopi adalah
penggunaan radiasi ion dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan
batu radiolusen atau radioopak minimal. Penggunaan kontras
intravena selama terapi bermanfaat untuk melokalisasi batu dengan
fluoroskopi. Teknik visualisasi yang lain juga menggunakan kateter
ureter yang ditempatkan sebelumnya sehingga kontras dapat langsung
dimasukkan ke dalam ureter dan pelvis ginjal kapan pun. Jika
menggunakan double-J stent, kontras dapat dimasukkan ke kandung
kemih dengan kateter, kemudian kontras mengalami refluks ke ginjal
sehingga dapat divisualisasi. Ultrasound dapat memvisualisasikan
kedua batu radioopak dan radiolusen tanpa kontras intravena seperti
pada fluoroskopi. Ultrasound juga dapat langsung memonitor
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 13/43
proses litotripsi. Meskipun memiliki keuntungan tidak ada
paparan radiasi, batu ureter seringkali sulit dilokalisasi dengan
sonografi.10
IV.1.4. Mekanisme coupling Sistem coupling dibutuhkan untuk
menyalurkan energi yang dihasilkan oleh generator dan gelombang
tekanan pada permukaan kulit, yang kemudian akan menembus jaringan
tubuh untuk mencapai batu. Dahulu hal ini dilakukan dengan
menempatkan pasien pada bak mandi besar (Dornier HM3, generasi
ke-1). Saat ini, mesin generasi ke-2 dan ke-3 menggunakan kolam
kecil berisi air atau bantal berisi air dilapisi membran silikon
untuk mencegah kontak udara dengan kulit pasien.10
IV.2. Pedoman Penggunaan ESWL
Kajian ini bertujuan untuk menyusun suatu pedoman penggunaan
ESWL, yang meliputi indikasi, kontraindikasi, prosedur tambahan pra
ESWL, perkembangan teknologi mesin beserta perbandingan klinis
efektivitas berbagai jenis mesin, dan analisis biaya. American
Urological Asociation (AUA) dan European Association of Urology
(EAU)
telah mengeluarkan pedoman tatalaksana batu saluran kemih.
Pedoman tersebut juga merupakan referensi dalam menyusun
rekomendasi ini.
IV.2.1. Indikasi ESWL
A. Penggunaan ESWL untuk Batu Ureter Berdasarkan pedoman dari
AUA, ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter distal maupun
proksimal, namun tidak untuk batu ureter tengah. Sedangkan pedoman
dari EAU lebih rinci menguraikan bahwa ESWL in situ merupakan
pilihan pertama terapi untuk batu radioopak, batu infeksi dan batu
sistin semua ukuran di ureter proksimal; batu radioopak, urat, batu
infeksi dan sistin semua ukuran di ureter tengah; serta batu
radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter
distal, ureter tengah. Terdapat kontroversi dalam hal terapi mana
yang terbaik untuk batu ureter, terutama batu ureter distal, apakah
ESWL atau URS.5,6
B. Penggunaan ESWL untuk Batu Ginjal
Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan
batu maksimal (dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan
morbiditas minimal. Dalam memilih
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 14/43
pendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu
faktor batu, anatomi ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut
akan diuraikan sebagai berikut.4
Tabel 1 . Faktor-faktor yang mempengaruhi tatalaksana batu
ginjal Batu Ukuran Jumlah Komposisi Lokasi Primer/Residif Anatomi
ginjal Obstruksi/stasis Hidronefrosis Obstruksi ureteropelvic
junction Divertikel kaliks Ginjal tapal kuda dan anomali ektopik
Anatomi kutub bawah ginjal
Pasien (klinis) Infeksi Obesitas Deformitas habitus tubuh
Koagulopati Anak-anak Orangtua Hipertensi Gagal ginjal
Batu berukuran diameter 2cm paling baik diterapi dengan teknik
endoskopi.11
El-Anany melakukan uji klinis terhadap 30
pasien dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser
holmium melalui ureteroskop. Keberhasilan didefinisikan sebagai
fragmentasi total mencapai 3cm, terapi membutuhkan 135 (75-160)
menit dan sukses pada tiga pasien. Semakin kecil beban batu,
semakin besar kesuksesan dan semakin sedikit waktu yang dibutuhkan.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa terapi12
batu
ginjal
menggunakan
ureteropieloskopik merupakan terapi invasif minimal dibandingkan
PNL dan operasi terbuka, aman serta efektif untuk batu pelvis
besar.
IV.2.2. Kontradindikasi ESWL A. Kontraindikasi Absolut Kontra
indikasi absolut adalah : infeksi saluran kemih akut, gangguan
perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi
batu distal.10
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 15/43
Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol
dari data sekunder terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu
ginjal yang menjalani terapi ESWL (Dornier HM3). Dari jumlah
tersebut, enam wanita sedang mengalami kehamilan bulan pertama saat
menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien pernah melahirkan bayi
cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up terhitung sejak sesi
terakhir ESWL adalah 32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang
kejut yang diberikan adalah 2850 (800-6300), sedangkan rata-rata
ukuran batu adalah 12 (5-18) mm. Keenam wanita tersebut melahirkan
bayi tanpa malformasi ataupun anomali kromosom. Studi ini
menyimpulkan bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu
ginjal tampaknya aman pada wanita hamil. Namun, jumlah pasien yang
lebih besar dengan studi prospektif dibutuhkan untuk menilai efek
jangka panjang; studi ini tidak menyarankan litotripsi sebagai
terapi batu ginjal untuk wanita hamil.13
Frankenschmidt melaporkan kasus seorang wanita 28 tahun, hamil
25 minggu dengan nyeri pinggang kanan. Ultrasound menunjukkan
dilatasi sistem pengumpul ginjal kiri dan ureter proksimal,
terdapat batu berukuran 16x5 mm di ureter proksimal. Upaya
mendorong batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami
serangan kolik
berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena
itu dianjurlkan nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien
dijelaskan mengenai risiko perdarahan, infeksi, pergeseran tube dan
oklusi serta kemungkinan diversi ureter, sehingga pasien meminta
dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang cukup (11
cm) antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL
pizoelektrik dengan penuntun ultrasound. Batu berhasil dihancurkan
dan fragmen keluar spontan tanpa kolik. Untuk menghindari
steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3 minggu.14
B. Kontraindikasi Relatif Kontra indikasi relatif untuk terapi
ESWL adalah :10
Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan
mengerti prosedur. Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak
memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1
dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada pasien seperti ini
sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu Pasien
dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau
malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami
kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain
itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran
fragmen yang dihasilkan oleh ESWL Masalah paru dan jantung yang
sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 16/43
Pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan
perhatian dan pertimbangan khusus. Pasien dengan riwayat
hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom
perirenal pasca terapi. Pasien dengan gangguan gastrointestinal,
karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang
terjadi.
Pasien harus menghentikan terapi antikoagulan, seperti coumarin,
sehingga cukup waktu untuk faktor pembekuan kembali normal. Produk
aspirin dan anti inflamasi non- steroid dihentikan 7-10 hari
sebelum terapi untuk menormalkan fungsi platelet.6,10
IV.2.3. Prosedur ESWL
Bila seseorang telah ditentukan memenuhi indikasi ESWL dan
memberikan informed consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra
ESWL sebagai berikut: Laboratorium Pemeriksaan laboratorium berikut
dilakukan sebelum terapi untuk memastikan bahwa pasien tidak
menderita infeksi saluran kemih ataupun gangguan perdarahan : -
Fungsi ginjal : kreatinin serum - Analisis urin, kultur urin -
Hitung darah lengkap, prothrombin time (PT) dan activated parsial
thromboplastin time (APTT) Pencitraan - pielografi intravena -
ultrasonografi ginjal - CT scan non kontras Pemeriksaan lain - EKG
pada pasien berusia > 50 tahun6,10
IV.2.4. Peranan Terapi Farmakologik
Beberapa studi melaporkan efektivitas dari terapi farmakologik
(antagonis kalsium dan kortikosteroid) dalam memfasilitasi ekspulsi
batu ureter. Pada sebuah uji acak terkontrol tersamar ganda dengan
plasebo, nifedipin (kalsium antagonis) digunakan bersama dengan
kortikosteroid (metilprednislon) untuk membantu pengeluaran spontan
batu ureter.5
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 17/43
Porpiglia et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap
80 pasien dengan yang menjalani ESWL. Pasien dibagi secara random
ke dalam dua kelompok : 40 pasien mendapat terapi adjuvan dengan
terapi medis oral (nifedipin dan deflazacort); 40 pasien lainnya
sebagai kelompok kontrol. Hasilnya, ekspulsi komplit terjadi pada
30 (75%)
pasien dari kelompok pertama dan 20 (50%) pasien dari kelompok
kontrol. Diperoleh perbedaan signifikan dalam hal angka bebas batu
(p=0,02). Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa nifedipin dan
deflazacort yang diberikan setelah ESWL dapat meningkatkan
keberhasilan terapi.15
IV.2.5. Komplikasi Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin
terjadi akibat terapi ESWL. Komplikasi Ginjal10
Hematoma perinefrik, subkapsular dan intranefrik, yang dapat
mengakibatkan nyeri hebat, ileus dan syok/hipotensi. Hematuria. Ini
terjadi pada sebagian besar pasien dan hilang dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Kadang-kadang terjadi banyak bekuan darah
sehingga memerlukan pencitraan segera untuk mencari sumber
retroperitoneal dan atau renal. Sepsis. Hal ini jarang terjadi bila
urin preoperatif steril. Steinstrasse. Jika asimtomatik dan tidak
menimbulkan obstruksi, pasien dimonitor dengan pencitraan berkala.
Jika terjadi obstruksi, infeksi, gejala klinis, maka sebaiknya
dilakukan nefrostomi perkutaneus atau ureteroskopi dengan stenting.
Hipertensi. Hal ini jarang terjadi, kemungkinan akan lebih besar
bila terbentuk hematom perinefrik yang besar. Elves melakukan uji
klinis acak terkontrol mengenai efek ESWL terhadap tekanan arah.
Sebanyak 228 pasien dengan batu kaliks kecil (2 cm) atau untuk
mengurangi nyeri. EQ tidak dapat membedakan antara prosedur adjuvan
atau kuratif pasca ESWL, dimana data ini diperlukan untuk
mengeksklusi pasien yang mencapai bebas batu oleh ureteroskopi,
nefrolitomi perkutan atau bahkan operasi terbuka. Oleh karena itu,
diajukan EQmod sebagai berikut, yang memperhitungkan prosedur
tambahan baik pra maupun pasca ESWL :
%pasien bebas batu - %prosedur tambahan kuratif EQmod =
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------100%
+ %ESWL ulang + %prosedur tambahan pra ESWL + %prosedur tamb pasca
ESWL
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 20/43
Karena angka bebas batu sangat menentukan dalam penghitungan
rumus EQ, rerata jangka waktu observasi harus disebutkan (misalnya,
EQ3bln). Pada studi yang dilakukan oleh Rassweiler, angka bebas
batu masih meningkat melebihi jangka waktu 12 bulan. Di RSCM,
terdapat kesulitan dalam menghitung EQ, dikarenakan data rekam
medis yang tidak lengkap dan pasien kontrol berpindah-pindah.
IV.3.4. Standard Aktual ESWL Tidak diragukan bahwa Dornier HM3
telah menjadi standard yang cukup tinggi dalam penentuan
efektivitas klinis ESWL, dimana hal tersebut tidak dapat dicapai
oleh mesin generasi kedua. Namun pada saat ini, perkembangan
teknologi dan klinis ESWL telah berubah drastis : Jumlah prosedur
pra ESWL meningkat secara bermakna dari 0-10% menjadi 2030%
sehingga mengurangi morbiditas pasca ESWL ESWL dilakukan di bawah
anestesi minor atau bahkan tanpa anestesi Biaya ESWL sangat
terjangkau, membutuhkan lebih sedikit ruangan dan pemeliharaan alat
yang lebih baik.
Perubahan-perubahan tersebut memiliki dampak penting pada
pemilihan litotriptor. Efficacy Quotient seperti yang diperkenalkan
oleh Clayman tidak dapat diterapkan. Yang lebih tepat adalah EQ
modifikasi yang memasukkan jumlah prosedur pra ESWL dan membedakan
antara prosedur tambahan pasca ESWL yang bersifat adjuvan dan
kuratif. Hal yang menarik adalah bahwa EQ modifikasi dengan jelas
menyatakan bahwa efektivitas mesin generasi ketiga sama sekali
tidak berbeda dari Dornier HM3 (tabel 2), bahkan memiliki kelebihan
karena cukup dilakukan analgesia intravena dan prosedur tambahan
dapat dilakukan di atas meja yang sama.19
Bierkens juga melakukan studi perbandingan multisenter terhadap
17 pusat ESWL yang menggunakan Siemen Lithostar, Dornier HM4, Wolf
Piezolith 2300, Direx Tripter X-1 dan Breakstone Lithotriptor.
Studi ini merupakan studi prospektif, tanpa kontrol dan tidak acak,
dan menghitung efficacy quotient untuk setiap mesin menggunakan
rumus dari Clayman. Hasilnya, angka kesuksesan terapi dengan mesin
generasi kedua masih di bawah mesin generasi pertama, Dornier HM3.
Kelima mesin generasi kedua tersebut memiliki perbedaan dalam jenis
batu, yang berkaitan dengan teknik pencitraan, penggunaan anestesi,
prosedur tambahan dan hospitalisasi, tetapi angka kesuksesan antara
kelima mesin tersebut adalah sama. Kesimpulan dari studi ini adalah
bahwa mesin ESWL generasi kedua kurang efektif dibandingkan
generasi pertama.19
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 21/43
Tabel 2. Perbandingan antara Berbagai Generasi Litotriptor
menggunakan Efficacy Quotient (EQ1) dan Efficacy Quotient
modifikasi (EQ2)19Litotriptor 1st Generation Dornier HM3 USA Study
Stuttgart 2nd Generation Dornier HM3+ Piezolith 2000 3rd Generation
Lithostar Puls Modulith SL 20 Actual Lithotriptor Dornier Litho S
Siemens Multiline 30 34 9 9 13 25 2 8 8 6 2 2 87 78 0,71 0,56 0,70
0,55 37 34 9 6 27 28 33 31 9 7 6 3 85 84 0,63 0,62 0,49 0,50 31 23
15 17 16 45 22 15 5 14 1 3 75 72 0,61 0,45 0,52 0,40 13 17 14 13 16
14 10 8 14 5 3 66 73 0,53 0,57 0,51 0,52 Batu ureter Batu (%)
>2cm (%) ESWL ulang (%) Prosedur tambahan (%) Pre Post Kuratif
Angka bebas batu (%) Efficacy Quotient EQ1 EQ2
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 22/43
BAB V HASIL DAN DISKUSI
Masih banyak ditemui kontroversi mengenai indikasi ESWL untuk
jenis dan lokasi batu tertentu, pengulangan ESWL pasca ESWL primer,
tatalaksana efek steinstrasse pasca ESWL, pemberian antibiotik
profilaksis, pemilihan mesin ESWL serta kompetensi untuk melakukan
ESWL. Hal-hal tersebut membutuhkan pengkajian dan diskusi lebih
lanjut. Akan dibahas satu per satu berikut ini.
V.1. Batu Ginjal
V.1.1. Batu Staghorn Batu staghorn didefinisikan sebagai batu
bercabang yang menempati sistem pengumpul ginjal. Tatalaksana
optimal untuk batu ini perlu mempertimbangkan tiga faktor utama :
Beban batu keseluruhan Lokasi beban batu (kaliks mana dan berapa
banyak kaliks yang terlibat) Anatomi sistem pengumpul (misalnya,
adakah dilatasi sistem pengumpul) Berikut ini adalah kriteria dalam
pemilihan terapi untuk batu staghorn :20
Tabel 3. Kriteria pemilihan terapi untuk batu staghorn Kriteria
Beban batu Distribusi batu Sistem pengumpul ginjal Radioopasitas
Komposisi kimiawi ESWL Minor Perifer Sempit Cukup Tidak ada
sistin
PCNL Mayor Sentral Dilatasi Kurang -
Kombinasi Mayor sentral+perifer sempit/dilatasi Cukup -
Operasi Terbuka Operasi terbuka merupakan pilihan terapi yang
potensial utuk batu staghorn, karena dapat membersihkan sebagian
besar batu melalui sekali prosedur dan menghasilkan angka bebas
batu yang sebanding. Oleh karena itu, beberapa penulis masih
menganjurkan operasi terbuka untuk batu staghorn komplit. Namun,
kerugian dari operasi ini adalah berkurangnya fungsi ginjal setelah
pembedahan yang ekstensif seperti pielolitotomi intersegmental
anatrofik, yang terjadi pada 30-50% pasien. Angka residu batu
setelah operasi terbuka adalah 15%, dengan rekurensi 30% setelah 6
tahun dan risiko infeksi saluran kemih 40%. Berdasarkan hal
tersebut, Rassweiler membatasi
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 23/43
indikasi operasi terbuka hanya untuk pasien dengan beban batu
masif yang tidak dapat dicapai secara endoskopik atau dengan
beberapa kali tindakan ESWL, atau bila dibutuhkan operasi
rekonstruktif tambahan (misalnya kaliko-ureterostomi,
pieloplasti).20
Pedoman dari AUA Pedoman AUA untuk batu staghorn menyatakan
bahwa standar terapi untuk batu staghorn struvite yang baru
terdiagnosis adalah intervensi aktif. Pasien harus diinformasikan
mengenai keempat modalitas intervensi aktif yaitu : operasi
terbuka, percutaneus nephrolithotomy (PNL), ESWL serta kombinasi
PNL dan ESWL beserta segenap keuntungan dan kerugian dari pilihan
terapi tersebut.11
Monoterapi ESWL atau Kombinasi ESWL+PNL ? Meretyk, dkk melakukan
uji klinis prospektif acak untuk membandingkan hasil antara
monoterapi ESWL dengan kombinasi ESWL+PNL untuk batu staghorn
komplit. Studi ini melibatkan 50 unit ginjal: 27 ginjal diterapi
dengan monoterapi ESWL (grup 1) dan 23 (grup 2) diterapi dengan
kombinasi PNL (inisial) + ESWL. Kedua grup ini dibandingkan dalam
hal ukuran batu, derajat dilatasi sistem pengumpul, kultur urin
saat presentasi, jumlah sesi terapi, dosis narkotik, episode kolik
renal, komplikasi septik, prosedur tambahan yang tidak
direncanakan, lama perawatan rumah sakit, durasi terapi total dan
angka bebas batu setelah 6 bulan. Hasilnya, angka bebas batu secara
signifikan lebih besar pada grup 2 daripada grup 1 (74 versus 22%,
p=0,0005). Angka komplikasi lebih besar pada grup 1, yaitu 15
komplikasi septik pada 10 pasien dibandingkan dengan hanya 2
episode pada grup 2 (p=0,007). Lama terapi keseluruhan secara
signifikan lebih pendek pada grup 2 ( 1 versus 6 bulan, p=0,0006).
Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal jumlah prosedur yang
dilakukan dengan anestesi atau lama hari perawatan antara kedua
grup. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kombinasi PNL dan
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
(Level of evidence IIa) ESWL harus21
batu staghorn.
Batu Staghorn pada Anak Terapi batu staghorn pada anak-anak
merupakan tantangan. Al-Busaidy melakukan studi klinis terhadap 42
anak ( 9 bulan sampai 12 tahun) dengan batu staghorn (33 parsial
dan 9 komplit) menggunakan Piezolith 2501. Kelompok awal
sebanyak 19 pasien menjalani ESWL tanpa stenting profilaksis,
sedangkan pada kelompok lainnya (23 pasien) dilakukan pemasangan
double J stent sebelum sesi ESWL pertama. Parameter yang dinilai
adalah umur rata-rata pasien, ukuran batu, jumlah
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 24/43
gelombang kejut, jumlah sesi ESWL, lama perawatan, angka bebas
batu dan komplikasi mayor. Hasilnya, sebanyak 33 anak (79%)
mengalami bebas batu setelah 3 bulan. Kedua grup sebanding dalam
hal umur, ukuran batu, jumlah gelombang kejur dan sesi ESWL serta
angka bebas batu. Komplikasi mayor terjadi pada 21% kelompok tanpa
stent, dan tidak terjadi sama sekali pada kelompok yang distent
(p=0,035). Tujuh prosedur tambahan pasca ESWL dibutuhkan pada
kelompok tanpa stent. Perawatan rumah sakit lebih lama pada
kelompok tanpa stent dibandingkan kelompok stent (p=0,022). Pada
follow-up setelah 9 102 bulan (rata-rata 47) terjadi rekurensi pada
2 anak, yang kemudian diterapi dengan ESWL. Kesimpulan studi ini
adalah monoterapi ESWL merupakan modalitas yang efisien dan aman
utuk terapi batu staghorn anak-anak. Pasien yang distent mengalami
komplikasi lebih sedikit dan masa perawatan lebih singkat.
Dianjurkan untuk melakukan stenting profilaksis sebelum terapi ESWL
pada anak-anak dengan batu staghorn. (Level of evidence IIa)22
V.1.2. Batu Ginjal Kutub Bawah (Lower Calyx)
Batu kutub bawah dikenal memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dan menunjukkan angka bebas batu yang rendah dengan ESWL.
Beberapa faktor berkaitan dengan anatomi ginjal telah dilaporkan
berpengaruh terhadap angka bersihan batu kutub bawah. Sumino
melakukan studi dengan tujuan menentukan faktor-faktor prediktor
bersihan batu kutub bawah untuk membantu mengambil keputusan dalam
terapi ESWL untuk batu kutub bawah. Studi dilakukan terhadap 63
pasien dengan batu kutub bawah tunggal unilateral berkuran 2 cm.
Dilakukan urografi ekskretori untuk menentukan sudut
infundibulopelvic bawah, tinggi caliceal pelvic dan panjang serta
diameter infundibulum kutub bawah, rasio panjang terhadap diameter
infundibulum bawah dan jumlah kaliks minor kutub bawah. Angka bebas
batu dinilai dengan sinar X. Hasilnya, angka bersihan batu 54%.
Dengan menggunakan analisis univariat terhadap tinggi caliceal
pelvic,
panjang, rasio panjang terhadap diameter, dan diameter
infundibulum bawah, serta jumlah kaliks minor, didapatkan perbedaan
dalam hal angka bebas batu dan angka residual. Namun menggunakan
analisis multivariat logistik didapatkan bahwa rasio penjang
terhadap diameter infundibulum bawah, diameter dan jumlah kaliks
minor
merupakan faktor prediktor independen untuk keberhasilan
bersihan batu. Ke-13 pasien yang memiliki 3 faktor anatomi positif
(rasio panjang terhadap diameter infundibulum bawah 4mm dan sebuah
kaliks minor tunggal) mencapai angka bersihan batu 84,6%. Pada
pasien dengan hanya 1 atau 2 faktor positif, angka bersihan batu
masih lebih besar dari 60%.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 25/43
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kesuksesan ESWL sangat
dipengaruhi oleh anatomi kutub bawah ginjal. Jika seorang pasien
dengan batu kutub bawah memiliki sedikitnya satu dari faktor-faktor
positif yang telah disebutkan sebelumnya. ESWL dapat dianjurkan
sebagai terapi lini pertama dengan kemungkinan keberhasilan >
60%. Pilihan terapi lain harus dipertimbangkan pada mereka yang
tidak memiliki satu pun faktor positif. (Level of evidence IIIa)
Lingeman melakukan evaluasi terhadap perbandingan hasil PNL dan
ESWL dalam tatalaksana batu ginjal kutub bawah, melalui 32 pasien
yang menjalani PNL dan meta analisis terhadap 13 studi tentang ESWL
dan 3 studi tentang tentang PNL. Angka bebas batu secara
keseluruhan pada ESWL sebesar 60%, sedangkan pada PNL sebesar 90%
(p 20 mm, angka bebas batu untuk SWL sebesar 33% dibandingkan 94%
untuk PNL (p