BAGIAN ILMU ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN BANDUNG 2010 BAB I PENDAHULUAN Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka. (5) Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia dapat terjadi pada pasien, hal ini juga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar. Hal-hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi yang kurang. (9) Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAGIAN ILMU ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan
dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani
prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka
parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk
menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan
pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran
anastomosis luka.(5)
Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara
metabolik dan fisiologi yang dapat membahayakan status gizi. Gejala
pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia dapat terjadi pada
pasien, hal ini juga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi
kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi
faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar. Hal-hal ini menjadi masalah
yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi yang kurang. (9)
Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari
perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal
mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan gizi yang tidak
memadai, stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi.
Banyak pasien tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan
nutrisi suportif yang khusus. Seperti pada pasien dengan kehilangan usus
total atau hampir total yang mungkin disebabkan infark atau reseksi
multipel, pasien malnutrisi dengan penyakit inflamasi mukosa usus kronis
yang mempengaruhi penyerapan, atau pasien dengan fistula yang
menghalangi pencernaan nutrisi secara oral, dan lain sebagainya. (5),(6)
Kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi dan integritas dari
pembuatan anastomosis baru menyebabkan terjadinya kelaparan, sehingga
pemberian nutrisi menggunakan cairan intravena sampai terjadinya kentut.
Namun, sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemberian makanan
enteral secepatnya pasca operasi ialah efektif dan dapat ditoleransi dengan
baik. Pemberian makanan secara enteral juga berhubungan dengan manfaat
klinis tertentu seperti menurunnya insiden komplikasi infeksi pascaoperasi
dan peningkatan respon penyembuhan luka. Namun penelitian lebih lanjut
masih diperlukan untuk menentukan hubungan antara nutrisi enteral dengan
terjadinya modulasi fungsi usus.(6)
Pasien dengan kekurangan gizi pra operasi memiliki risiko yang jauh
lebih tinggi terjadinya komplikasi pasca operasi dan kematian daripada
pasien yang memiliki gizi baik sebelum operasi. Status gizi buruk dapat
membahayakan fungsi sistem organ, termasuk jantung, paru-paru, ginjal,
dan saluran gastrointestinal (GIT). Fungsi kekebalan tubuh dan kekuatan otot
juga dapat berpengaruh, pasien seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya
komplikasi infeksi dan biasanya memerlukan untuk reintubasi pascaoperasi.
Penyembuhan luka yang tertunda, seperti tertundanya kemajuan dalam
mobilitas pasien, sehingga dapat memperpanjang pemulihan pasien operasi.
Semua faktor ini dapat berkontribusi terjadinya lamanya perawatan di rumah
sakit, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Seperti yang
dijelaskan oleh Meguid dan Laviano, setiap dokter bedah secara intuitif
mengetahui bahwa operasi pada pasien dengan kurang gizi dapat menjadi
menyedihkan (rueful) dan mahal. (8),(9)
Bahkan pasien dengan gizi yang cukup saja dapat mengalami hasil
yang kurang baik jika gizi pasca operasi tertunda secara signifikan.
Kurangnya gizi untuk 10-14 hari, khususnya selama periode meningkatnya
kebutuhan (demand) metabolik dengan pemulihan pasca operasi, dapat
mengakibatkan komplikasi dan tingkat kematian yang lebih buruk daripada
mereka yang menerima nutrisi suportif. Sejalan dengan ini, pedoman yang
disediakan oleh American Society for Parenteral dan Nutrisi Enteral (ASPEN)
merekomendasikan bahwa nutrisi suportif diberikan pada pasien tidak
mampu mengambil nutrisi oral yang cukup selama 7-14 hari. organisasi
medis lainnya juga telah membuat rekomendasi yang sama.(9)
Dasar dari nutrisi suportif merupakan pemberian nutrisi pada pasien
yang tidak dapat melakukan intake secara per oral. Nutrisi suportif diberikan
baik secara intravena menggunakan kateter vena dengan infus formula yang
mengandung makronutrisi dan mikronutrisi maupun secara enteral
menggunakan tube yang ditempatkan pada perut atau usus halus seperti
pada pascaoperasi bypass atonia gaster atau ileus usus halus dalam periode
praoperatif maupun postoperatif. Meskipun tekhnik pemberian makanan
intragastik telah diketahui selama ratusan tahun, namun nutrisi parenteral
terbilang relatif baru, memiliki dasar tekhnik yang tinggi, dan maju pesat
sejak tahun 1970-an. Tujuan dari nutrisi suportif ialah untuk mencegah
perburukan status nutrisi, untuk memperbaiki keadaan klinis, dan sebagai
terapi adjuntive, yang mungkin terjadi pada pasien malnutrisi. (5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Soekirman, status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang
atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi
dari ukuran-ukuran gizi tertentu. (7)
Menurut I Dewa Nyoman S, status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi
dalam bentuk variabel tetentu.(2)
Status gizi merupakan suatu rangkaian interval dari pasien dengan
nutrisi yang baik sampai pasien kakexia. Pasien malnutrisi yang parah akan
mudah menjadikan terjadinya luka terbuka, infeksi, kebocoran anastomosis
luka, dan komplikasi lainnya. Beberapa tekhnik dari pengukuran status gizi
dapat mengestimasi status pasien dari spektrum gizi ini.(5)
Kebanyakan penderita yang akan dibedah tidak membutuhkan
perhatian khusus untuk masalah gizi. Pada umumnya, mereka dapat
berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan penyakit dan
pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita datang dalam
keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita
penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik, dan trauma berat. (8)
2.2 Pengukuran Status Gizi
Pengukuran gizi telah dijelaskan secara komprehensif untuk
menentukan status gizi menggunakan pendekatan riwayat medis, nutrisi,
dan pengobatan; pemeriksaan fisik, pengukuran antropometrik,
laboratorium, dan pertimbangan ahli. Pengukuran gizi pasien secara
komprehensif meliputi evaluasi riwayat pasien dari pola makan, pantangan
makan, perubahan berat badan, dan pengaruh lain yang mempengaruhi
intake atau absorpsi nutrisi. Pengukuran tubuh untuk komposisi tubuh,
status cairan, dan tanda juga gejala defisiensi nutrisi, tes biokmia, seperti
albumin, prealbumin, dan transferin. Analisis komposisi tubuh, kekuatan
genggaman, dan hipersensitifitas kulit yang tertunda. Meskipun begitu,
banyak dari pemeriksaan ini (seperti albumin dan kekuatan genggaman)
tidak praktis digunakan pasca operasi. (10)
Tekhnik skrining yang paling efektif meliputi riwayat dan pemeriksaan
fisik yang adekuat dengan identifikasi penurunan berat badan yang tidak
disengaja. Korelasi yang kuat muncul antara buruknya tingkat protein dan
komplikasi pascaoperasi setelah operasi gastrointestinal. Penurunan berat
badan yang tidak disengaja lebih dari 10 % dalam 6 bulan terakhir atau lebih
dari 20 % dan adanya kebutuhan metabolik yang meningkat
mengindikasikan adanya resiko gangguan gizi. 2 (dua) perhitungan yang
biasa digunakan ialah: (5)
Gejala lainnya seperti nyeri perut, diare kronis, anoreksia, atau letargi
biasanya menyertai perubahan klinis ini dalam berat badan. Pengukuran
antropometri dengan berat dan tinggi badan sudah cukup adekuat.
Ketebalan kulit untuk menentukan massa lemak, pengumpulan urin untuk
menilai indeks kreatinin-tinggi badan, dan tekhnik spesifik lainnya tidak lagi
digunakan secara umum. Pengukuran dari status immunologis dengan
hitung limfosit perifer total atau transformasi limfosit tidak spesifik untuk
defisiensi gizi dan dapat juga ditemukan pada keadaan lain seperti infeksi
yang parah. (5)
2.2.1 Wawancara Pasien, Keluarga, Atau Perawat Pasien
Setelah memeriksa rekam medis pasien, wawancara singkat dengan
keluarga dekat pasien mengenai riwayat diet pasien akan sangat berharga.
Sebagai contoh, kecenderungan kehilangan berat badan yang tidak
disengaja harus lebih dahulu dicatat, contohnya pada pasien yang obes,
merupakan petunjuk yang penting intake nutrisi yang tidak optimal dalam
waktu yang lama. Dalam kasus lain, pasien yang kurus yang kelihatan
malnutrisi namun memang memiliki berat badan kurang dalam waktu yang
lama. Praktisi kesehatan juga perlu menanyakan pantangan dalam diet,
dengan mengetahui makanan yang dipantangnya maka akan dapat
mengarah ke arah defisiensi beberapa nutrisi. (11)
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat berguna dalam mengkonfirmasi kecurigaan
adanya defisiensi gizi. Praktisi kesehatan harus melihat tanda dari
kehilangan otot dan lemak, penyembuhan luka yang lama, buruknya
integritas kulit, dan tanda lainnya dari defisiensi gizi sebagai data yang
objektif dalam menentukan adanya malnutrisi. (11)
2.2.3 Proses Penyakit
Proses penyakit juga harus dipertimbangkan ketika
mempertimbangkan pilihan nutrisi suportif untuk pasien-pasien tertentu.
Nutrisi suportif baik secara parenteral maupun enteral dapat membuat
terjadinya risiko komplikasi yang dapat melebihi nilai manfaatnya pada
beberapa pasien. Klinisi harus mengevaluasi beberapa faktor, termasuk
keinginan pasien dan prognosis, tingkat keparahan penyakit, waktu durasi
yang diantisipasi ketika nutrisi tidak dapat diberikan per oral, risiko yang
dapat ditimbulkan dari akses nutrisi suportif dan infus, dan dampak potensial
jika tidak diberikan nutrisi. (12)
2.2.4 Malnutrisi
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya
penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Namun, malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi
hasil operasi. Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita
bedah terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua
faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang
mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan
ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan
hipotrofi otot.(8),(9)
Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini
dapat berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung,
atau secara intravena.(8)
Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada
penderita diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang
kurang mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk
penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet
khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi
kronik yang mampu makan secara normal. (8)
Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan
obstruksi esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti
pada patah tulang rahang. (8)
Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau
terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang
mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna
bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan
sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini
disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus
pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus,
gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan
usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus
khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau
parenteral. (8)
2.3 Perubahan Pada Pasien Bedah
2.3.1 Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah
Telah dibuktikan bahwa permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4
(empat) kali pada periode segera pascaoperasi, dan normalnya berlangsung
selama 5 hari. Akhir-akhir ini kurangnya nutrisi berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari villus. Penemuan ini
mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan menjaga
barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus
mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk mengeluarkan
bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab dalam
systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel.
Meskipun, terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi
antara rusaknya fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan
gastrointestinal bagian atas.(6)
2.3.2 Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah
Tubuh memproduksi respon khas terhadap luka karena trauma,
operasi elektif, atau inflamasi. Semakin ringan cedera, responnya akan
semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan semakin besar luka yang
didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah khususnya
jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan tingkat
metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin
proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah
disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid
sebagaimana meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya
permeabilitas. Pemulihan pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil
diuresis cairan ini pada hari ketiga dan keempat pascaoperasi sejalan
dengan menurunnya respon endokrin. Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh
supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh pankreas (efek sentral) dan
inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam responnya terhadap
kadar sirkulasi insulin (efek perifer). (5),(6)
Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi
garam dan air yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi
glukosa hepar yaitu untuk menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi
dari asam amino untuk glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi
fibroblas, dan regulasi imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein,
khususnya pretein otot. Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan