Page 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS DATA
Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian filologis dan
kajian isi. Kajian filologis menjelaskan permasalahan secara filologis yang
terdapat dalam suatu naskah. Kajian isi memjelaskan tentang isi dari naskah
tersebut, hal-hal apa saja yang terdapat dalam suatu naskah diungkapkan dalam
kajian isi. Pada penelitian ini kajian-kajian tersebut dijelaskan secara mendetail,
sebagai berikut:
A. Kajian Filologis
Kajian filologis pada penelitian ini membahas tentang permasalahan yang
terdapat pada naskah SKJW secara filologis, yang berupa kesalahan penulisan,
atau beberapa varian penulisan. Kajian filologis cara kerjanya berdasarkan cara
kerja filologis secara benar, sehingga dapat diperoleh suatu suntingan teks atau
naskah yang bersih dari kesalahan dan benar mendekati aslinya. Kajian filologis
tersebut meliputi: deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan
teks dan aparat kritik, dan sinopsis.
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah yaitu membuat uraian atau gambaran keadaan naskah
dalam wujud fisik maupun isi naskah yang diuraikan secara terperinci dengan
tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya.
Deskripsi mengenai naskah SKJW antara lain sebagai berikut:
Page 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
a. Judul Naskah
Sêrat Kajat Jati Wisesa. Judul tersebut tertulis pada awal penulisan teks.
Judul pada cover luar naskah tertulis Kajat Jati. Judul pada cover dalam
tertulis Sêrat Kajat Jati. Tetapi penulis memilih judul yang tertulis Sêrat
Kajat Jati Wisesa, karena nama judul tersebut sering ditemukan dalam
teks, di bawah ini terdapat kutipan perbedaan nama judul, sebagai
berikut:
(a)
(b) (c)
Gambar 34.Nama judul yang berbeda. (a) nama judul yang terdapat
pada cover depan, letaknya di samping sampul luar; (b) nama judul
yang terletak pada cover dalam tertulis “punika sêrat kajat jati”; (c)
nama judul yang terletak pada awal penulisan teks, dan menjadi judul
utama karena banyak ditulis pada teks, tetulis “punika sêrat kajat jati
wisesa”.
b. Nomor Naskah
Nomor naskah SKJW menurut katalog lokal di Perpustakaan Rêksa
Pustaka, Mangkunegaran yaitu O. 23 dan pada katalog Nancy K. Florida
Jilid II nomor MN 312 O.23, sedangkan menurut Giradet tertulis 21430
(O. 23).
c. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah SKJW tersimpan di Perpustakaan Rêkso Pustaka Pura
Mangkunegaran.
Page 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
d. Asal Naskah
Naskah berasal dari Pura Mangkunegaran, Surakarta
e. Keadaan Naskah
Keadaan naskah baik, kertas baik, tulisan mudah dibaca, huruf
renggang. Tetapi terdapat kertas yang sudah rusak dan sobek sehingga
terdapat beberapa kata dan kalimat yang tidak bisa dibaca. Halaman
masih utuh, dan bentuk teks masih bagus. Pada cover luar masih bagus
terbuat dari kertas yang dilapisi kayu agak tebal terdapat lubang-lubang
kecil karena rengat, tetapi secara keseluruhan masih bagus, berikut
kutipannya:
(a) (b) (c)
Gambar 35. (a) halaman yang utuh, (b) cover luar naskah, (c)
halaman sobek dan agak sulit dibaca.
f. Ukuran Naskah
panjang : 34cm
lebar : 21 cm
g. Ukuran teks :
panjang : 25 cm
lebar : 15,2 cm
h. Margin :
Page 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
1) Lembaran depan (recto):
margin atas : 3,5 cm
margin bawah : 5,5 cm
margin kanan : 3,8 cm
margin kiri : 2 cm
2) Lembaran belakang (verso):
margin atas : 3,5 cm
margin bawah : 5,5 cm
margin kanan : 3,8 cm
margin kiri : 2 cm
i. Tebal Naskah
Tebal naskah 2,5 cm, jumlah halaman adalah 215 halaman, terdapat
halaman rusak pada halaman 11-12 karena sobek. Halaman kosong tidak
ada, halaman yang ditulisi sejumlah 215 halaman.
Gambar 36. Naskah SKJW hlm11-12, yang dilingkari
merupakan salah satu sisi sobek dan menyebabkan kata
menjadi hilang.
Page 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
j. Jumlah baris setiap halaman
Jumlah baris setiap halaman terdapat 18 baris, kecuali halaman 215
hanya terdapat 15 baris.
k. Huruf / aksara
Huruf yang digunakan adalah aksara Jawa carik, tulisan berukuran
sedang, rapi, tebal tipis dari tulisan sangat jelas. Jarak antar huruf
renggang sehingga mudah dibaca. Tinta menggunakan tinta hitam agak
kecoklatan.
l. Cara penulisan
Naskah SKJW ditulis dengan cara bolak-balik (recto verso) pada
halaman depan dan belakang. Naskah ditulis dengan huruf yang sedang,
renggang, jelas, dan mudah dibaca. Tekanan penulisan tinta sangat jelas
antara tebal tipis dari tulisan. Penomoran pada teks ditulis di atas pada
tengah-tengah dengan menggunakan pensil dan angka Arab. Penulisan
halaman dimulai dari halaman 1-215.
Gambar 37. Penomoran halaman naskah yang ditulis ditengah-tengah
disisi atas dengan menggunakan pensil dan ditulis agak kecil.
Page 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Gambar 38. Halaman yang recto verso (bolak-balik).
Gambar 39. Penggunaan tanda baca yang terdapat dalam teks.
Tanda baca yang digunakan semacam “adêg-adêg” dan “pada lungsi”,
seperti yang terdapat pada lingkaran. Pada penulisan yang lain terdapat
tanda baca yang kurang sesuai dengan awal penulisan prosa atau alinea,
seperti contoh di bawah ini :
Gambar 40. Terdapat penanda bait di tengah-tengah teks yang berfungsi
sama seperti adêg-adêg sebagai mengawali suatu alinea.
Page 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Terjadi variasi antara penulisan tanda baca adêg-adêg, seperti contoh di
samping ini:
Gambar 41. Gaya penulisan tanda adêg-adêg yang bervariasi.
Terdapat penanda pupuh yang hanya sebagian saja, dan letaknya di awal
penulisan teks.
Gambar 42. Terdapat penanda pupuh di awal penulisan teks.
Terdapat beberapa symbol organ tubuh yang menyimbolkan tentang
keberadaan 4 nafsu, seperti gambar di bawah ini:
Gambar 43. Gambaran beberapa organ tubuh, seperti lambang hati,
emperu, dan maras yang menyimbolkan sifat-sifat dan letak dari 4 nafsu
manusia.
Page 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
m. Bahan naskah
Kertas yang digunakan adalah kertas HVS polos. Kertas tebal, tetapi
sudah berwarna usang kecoklatan. Hal tersebut dikarenakan usia naskah
yang sudah lama.
n. Bahasa naskah
Bahasa yang digunakan bahasa Jawa dengan ragam krama madya.
o. Umur naskah
Umur naskah SKJW yaitu tertulis dalam kolofon yang terdapat pada
halaman terakhir (hlm 215) pada 2 baris dari bawah, sebagai baerikut:
Gambar 44. Kolofon naskah, tertulis “paripurnaning panitra tanggal
kaping: 22 Dulkangidah, warsa Alip, angka: 1819”.Terjemahan „selesai
menulis tanggal 22 Dulka‟idah, tahun Alip, 1819, atau pada tanggal 10 Juli
1890 masehi.
Diperkirakan umur naskah 124 tahun (1890-2014).
p. Identitas pengarang atau penyalin
Naskah SKJW ditemukan penyalin naskah terdapat pada akhir penulisan
naskah yaitu Kyai Ageng Mukhamad Sirullah yang berasal dari
Kedhungkol sebelah selatan Kedung Panganten.
Mênggah sasêbutan samantên punika ing atasipun kawruh pipingitan
sarta dèrèng wontên ingkang pêjah wangsulan mbabarakên dados kula
amung nyumanggakakên, katarimah botênipun wontên sariranipun
piyambak, amin.
Kula Kyai Agêng Mukhamad Sirullah ing Kêdhungkol, sakidul Kêdhung
Pangantèn. (naskah SKJW hal 215)
Dari hal tersebut telah jelas bahwa Kyai Ageng Mukhamad Sirullah
merupakan penyalin dari naskah SKJW.
q. Asal-usul naskah
Asal-usul naskah tidak timukan dalam naskah SKJW.
Page 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
r. Fungsi Sosial
Fungsi social naskah SKJW adalah sebagai piwulang atau ajaran kepada
manusia tentang suatu perilaku yang bertujuan untuk mendekatkan diri
kapeda Tuhan melalui sikap moral religi.
s. Ikhtisar Naskah
Naskah SKJW merupakan naskah yang berisi tentang pengajaran moral
religi yang diterapkan dalam 4 hawa nafsu (amarah, luamah, supiyah,
mutmainah), pengandalian hawa nafsu, beserta suatu perilaku kehidupan
spiritual menuju ke makripat atau menuju ke jalan yang benar atau
sempurna.
2. Transliterasi
Sêrat Kajat jati Wisesa adalah sêrat yang ditulis dengan aksara Jawa,
sehingga transliterasi sangat diperlukankarena untuk penyuntingan teks.
Transiterasi adalah pengalihan huruf ke huruf dari satu abjad ke abjad
yang lain, (Edward Djamaris, 1991:19). Transliterasi yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu dari aksara Jawa ke huruf Latin. Penulis dalam
menyajikan hasil transliterasi dengan sebaik-baiknya dan selengkap-
lengkapnya, karena supaya lebih mudah dipahami dan dibaca. Pada naskah
SKJW hasil transliterasi dapat ditinjau pada suntingan teks.
3. Kritik Teks
Kritik teks adalah pengkajian, pertimbangan, perbandingan, dan penentuan
teks yang asli atau teks yang autoritatif atau teks yang paling unggul kualitasnya,
serta pembersihan teks dari segala kesalahan. Usaha tersebut dilakukan karena
untuk merekonstruksi teks. Pada kritik teks seorang filolog dituntut untuk
Page 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
mempunyai alasan kuat serta didukung refrensi, misalnya kamus bahasa Jawa atau
EYD bahasa Jawa dalam menentukan bacaan yang benar, agar tidak terjadi
ketidaktepatan yang dapat membingungkan pembaca. Seorang filolog harus dapat
memberi serta mempunyai alasan ilmiah yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan secara filologis. Keseluruhan pertanggunggjawaban dan
kesalahan secara filologis ditulis pada aparat kritik. Pada penelitian ini, suntingan
teks dan aparat kritik sudah melalui tahap kritik teks.
Sebelum ditampilkan kesalahan tulis, maka, diperlukan pengertian jenis
kesalahan yang dapat dipakai dalam kritik teks, kesalahan yang terdapat dalam
naskah SKJW antara lain sebagai berikut :
a. Lacuna: merupakan bagian yang terlewati, baik suku kata, lata, kelompok
kata, atau kalimat.
b. Corrupt: mereupakan bagian naskah yang tidak bisa dibaca atau tidak bisa
dipakai dan diketahui artinya, hal tersebut disebabkan karena kertas rusak,
sobek, sehingga mengakibatkan tidak bisa dibaca.
c. Hipercorect : perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
d. Adisi: bagian yang kelebihan atau penambahan baik suku kata, kata,
kelompok kata atau kalimat.
Pengelompokan kesalahan dan ketidakkonsistenan naskah SKJW disusun
dalam bentuk tabel. Jadi untuk mempermudah memahami maka dibuat singkatan
sebagai berikut:
No. : menunjukkan nomor urut
Hlm. :menunjukkan halaman teks.
* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik
Page 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
@ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat.
# : edisi teks berdasarkan konteks sastra.
… : bagian kata yang hilang karena kertas sobek.
Edisi : bacaan yang telah dibetulkan.
Tabel 1. Varian Lacuna
a. Lacuna suku kata
No. Hlm. Teks SKJW Edisi
1 10 Won Wontên *@
2 14 Won Wontên*
3 110 La… Lajêng *
b. Lacuna huruf
No. Hlm. Teks SKJW Edisi
1 12 Waji Wajib *@
2 26 Pagraita Panggraita *
3 36 Salêbêti Salêbêting *
4 52 Ali Ahli @
5 71 Insa Insya *
6 108 Agadhahi Anggadhahi *@
7 112 Mêdalakê Mêdalakên *
Tabel 2. Corrupt
No. Hlm. Teks SKJW Edisi
1 11 a… Ananing
2 11 Ko…tingsun Kodratingsun
3 11 …won Kemawon
4 11 Sau… Saupami
5 11 ...dhe Badhe
6 12 a…tana Angèngêtana
7 12 Sa…n Sampun
Page 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Pada tabel khuhus corrupt terdapat kata-kata yang hilang dan sudah
diedisikan karena hal tersebut menurut acuan dari transliterasi naskah yang
dilakukan oleh pegawai Perpustakaan Reksa Pustaka, Mangkunegaran. Karena
pada saat dilakukan transliterasi naskah tersebut belum mengalami kerusakan atau
sobek.
Tabel 3. Varian Hipercorect
No. Hlm. Teks SKJW Edisi
1 1 Khajat Kajat *@
2 1 Dzating Dating *
3 7 Dad Dat *@
4 4 Angrebdakakên Angêbdakakên*@
5 14 sumantên Samantên *@
6 35 Tususipun Tumusipun *@
7 37 Sinêbun Sinêbut *
8 43 Masut Masup *
9 65 Tekat Tekad *@
10 69 Rotên Botên *
11 73 Eklas Ikhlas *@
12 84 Sawujut Sawujud *@
13 92 akir Akhir *
14 110 Jasat Jasad *@
Tabel 4. Varian Adisi
No. Hlm. Teks SKJW Edisi
1 5 Angmintirêna Amintirêna *@
2 27 Burahmani Rahmani *@
3 127-128 Têgêsipunsipun Têgêsipun @
4. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks yang dipandang asli atau
mendekati aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang
terdapat dalam naskah yang dikritisi. Pada naskah SKJW terdapat beberapa
kesalahan yang ditemukan yaitu berupa lakuna, corrupt, hipercorect, dan adisi.
Page 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian
naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks.
Segala kesalahan bacaan yang ditampilkan dalam aparat kritik merupakan kata-
kata atau bacaan salah yang terdapat di dalam naskah. Jadi, untuk mendapatkan
suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi, tahapan yang
disajikanadalahsuntingan teks disertai dengan kritik teks dan aparat kritik secara
bersamaan. Adapun kata-kata, kalimat atau baris yang dianggap keliru diberi
nomor kritik teks. Sedangkan pembetulannya yang merupakan aparat kritik
langsung diletakkan di bawah teks yaitu berupa catatan kaki (foot note).
Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode edisi kritis atau
disebut juga metode standar (biasa). Dalam metode edisi kritis penyunting
mengidentifikasi bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan
menawarkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut yaitu (1) apabila penyunting
merasa bahwa ada kesalahan dalam menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika
terdapat teks yang salah, penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks
tersebut dengan tanda yang jelas yang mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli
akan ditandai dan didaftar sebagai naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan
suatu bentuk terbuka bagi pemikiran pembaca yang mempunyai pendapat atas
pembetulan bacaan tersebut.
Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman makna transliterasi
naskah SKJW maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis nama
Tuhan, nama raja, nama orang, nama tempat, panggilan untuk
seorang raja, nama bulan, hari dan tahun. Sedangkan kata atau
Page 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
kelompok kata yang lain ditulis dengan huruf kecil atau biasa,
meskipun dalam SKJW dijumpai beberapa kasus penulisan kata
yang tidak wajar, misalnya penggunaan aksara murda di tengah
kata (ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan).
b. Sastra laku ditransliterasikan dengan mengubah konsonan penutup
pada kata berikutnya, misal:
dumunung nging dumununging
gêssang gêsang
wujudanning wujudaning
contoh sastra laku
c. Angka Arab 1,2,3,...
dst yang berada dalam teks adalah nomor kritik
teks pada kata yang terdapat kesalahan.
d. Angka Arab [1,2,3...dst] adalah menunjukkan pergantian
lembar halaman teks.
e. Tanda diakritik (e) dibaca “e” seperti pada kata “kapratelakakên”
f. Tanda diakritik (ê) dibaca “ê” seperti pada kata “sêrat”
g. Tanda diakritik (è) dibaca “è” seperti pada kata “syèh”
Berikut ini adalah suntingan teks beserta aparat kritik dari naskah SKJW:
Sêrat Kajat Jati Wisesa
Page 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Punika Sêrat Kajat Jati kabêkta saking panatanipun Êmpu Kajat, sarêng manjing
Islam lajêng kalantur nama Sèh Khajat1Jati.
[1]
Punika Sêrat Kajat Jati Wisesa, kacariyos kala jaman Nagari ing
Pajajaran. Wontên satunggal tiyang nama êmpu Khajat saking bantêring laku
alêlana dumugi ngapurug. Lajêng manjing Islamipun nama Sèh Khajat Jati
Wisesa. Kawarti kala samantên anggènipun puruhita amung satunggal dhatêng
Molana Kajali ing Nagari Rum, sarêng dipunwêjang kajatèning kaanan jati,
lajêng sagêd anata agami Islam, bêbasanipun amung saking ngantêpi têmêning
tekadipun dados pinaringan Ilham dening Pangeran. Têgêsipun angsal
wawêngan kaananing ngilmi makripat.
Mênggah ingkang kacariyosakên ing nginggil punika, inggih ugi nukil
saking kitab Tasawub.Tumrapipun andunungakên wêwêjanganipun sakaliring
pangawasa ingkang mêdal saking kajat satuhunipun. Punapadene pitêdahaning
sadaya kaniyataning manungsa satunggal-tunggal sami kapratelakakên kados ing
ngandhap punika :
[2]
1. Ingkang rumiyin, sinêbut kajat budiman. Têgêsipun anêdahakên
sajatining kaniyatan punika asalipun saking wahyaning Imam.
Manawi kaparsudi kadayanipun dados winastan imam maksum.
Liripun ingkang kadunungan eling tanalali. Kawontênaning imam
sadaya punika inggih sami asal saking budi sanubari, mila sinêbut
budi sanubari satuhunipun pambêkan ingkang tulus. Lumayaning
watak sêmantên wau inggih kawimbuhan saking catur berawan.
Têgêsipun karkating nêpsu kawan prakawis :
1. Nêpsu luamah : anggènipun sasandhan kaliyan budi punika,
muhung anêdahakên parasadya, wahyanipun têmah anuwuhakên
pikajênging jasat.
2. Asasandhan kaliyan nêpsu amarah : wahyanipun dadosakên
andugèkakên sakaniyatanipun, mila witing manungsa sagêd
kadugèn kajatipun inggih saking makatên ing têturutanipun.
[3]3. Asasandhan kaliyan wahananing nêpsu supiyah, wahyanipun
andadosakên kabantêraning budi, mila witing agêsang
kadunungan budi lêpas utawi bantêr punika katarik saking
karkating nêpsu supiyah, têgêsipun ingkang andadosakên khajat
kanyatan wau inggih saking wantêring kanêpson. Asalipun saking
cahya maya-maya.
4. Anggènipun jasat kasandhangan budi panarima punika, saking
asasandhan kaliyan wahananing nepsu mutmainah. Têgêsipun
sumèlèhing budi wau kasirêp saking dhahganing nêpsu
mutmainah. Mila kawontênanipun ing agêsang punika
kasandhangan budi dibya. Inggih saking ngriku kawotênanipun.
Mênggah ing sajatosipun ananing nêpsu kawan prakawis wahananipun
amimbuhi kajating budi, mila budi ing manungsa punika botên satunggal
kêmawon,yakti tundha-tumundha angandharakên Kajat Sajati.
1kajat *@ (setiap penulisan khajat membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke
belakang)
Page 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
[4]
2. Ingkang kaping kalih : sinêbut maha budi. Têgêsi2 budi punika
dzating3
nêpsu kawan prakawis. Tandhanipun manawi sakaliring
sêdya ingkang botên sasandhan lawan nêpsu kawan bab wau dèrèng
kenging sinêbut mahabudiman sapanunggilanipun. Mila budi dados
dating nêpsu jalaran sagêd angrebdakakên4 sakajating manah kita
sadaya.
Mila ing mangke kaèsthi dening Êmpu Kajat Jati Wisesa, kados ing
ngandhap punika:
Kados manawi badhe nyatakakên pangawasaning budi, sagêdipun têrus
ingkang dados kajat kita satunggal-tunggal makatên:
Ing sabên sampun dumugi wanci sirêp tiyang, anamtokakên manungsa
punika sami kadunungan êmpaning budi, awit manawi sampun sirêp ing swara
ramening sarwa kapirêngan. Ing ngriku lajêng cukul tuwin nganam-anam budi
kita warni-warni, punapa barang ingkang dados pangèsthining budi [5] tanpa
kêndhat, inggih puika nandhakakên ngrêbdaning nêpsu kawan prakawis wau.
Saengga kita gadhah kaniyatan bangsaning wahyu, tuwin sasamining pikajêng
ingkang sakintên kenging ginayuh, patrapaipun anyirêpa amarah supiyah
mutmainah. Muhung angmintirêna5 kaananing budi lawan nêpsu luamah kita,
pakartinipun apêtêngan majêng mangetan lajêng majêng mangilèn dhêkukul
ngrangkul dhêngkul, sarwi matrapakên ngilmi Kajat Jati Wisesa.
“usali sunatan niyat ingsun anêtêpakekaananing wawênangingsun kang
saka budi dating luamah ingsun, kalakon saka jatingsun, dadi saka
wisesaningsun. Anane anu, iku katarik saka luamahingsun, kalabon saka
jatingsun, dadi saka wisesaningsun, anane anu, iku katarik luamahingsun,
dadining anu, saka budining anu.Sarwi mêgêng napas angusap jaja kaping
tiga.Lajêng tapakur”.Têgêsipun, tobat dhatêng dat kita pribadi kang
langgêng.Adat lajêng wontên prantandhaning khajat kita satmata.
[6] Manawi katarimah, kita tinêkan wawarnèn kados ing pangayam-ayam
salamènipun, kadugèn panêdya kita ing sapêpenginan kita wau, kanyataan
wontên sangajênging tapakur kanthi swara: andugèni samukawising kajat kita
wau sadaya. Nanging botên kenging kita angawasakên warnènipun.Amung
piyambakipun kêdah miyarsa ingkang kapirêng saking karna kiwa, kapitêdah
kabuling pangèsthi, dene makatên punika ing sajatosipun pangandikaning dat kita
pribadi, badhe andadosakên kajat kaananing pangawasa. Kados ing ngandhap
punika swaranipun dad6: “Ingsun anuksma marang anane ing kaananingsun,
nyatakake kalawan kudratingsun, ing ngriku kita amung lajêng uluk salam
salêbêting kabatinan sajati.”
[7]
3. Ingkang kaping tiga, winastan amarah kiyah. Têgêsipun anandha
wawênanging budi kita malih, saengga kita gadhah kajat dhatêng bangasaning
jasat, liripun badhe ngungalakên kamulyaning badan.Punika angèna wiwaraning
2têgêsipun *
3dating @*
4 angrêbdakakên*@
5amintirêna *@
6dat @* (setiap penulisan dzat,dad membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke
belakang)
Page 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
warana, têgêsipun angulapa patraping kajat mikaning badan. Inggih ugi kêdah
ing wanci lingsir dalu, madhêp mangilèn keblatipun lajêng balik majêng
mangetan, botên kenging pêjah dilah, amung wontên ing undhukan kemawon.
Patrapipun anutupana rai, sarwi mangagêm busana sarwa wulung utawi sarwa
gadhung. Lajêng amatêka ngilmi wawangsitan, nanging manawi ginuron botên
kenging dipunsêrat, anggêr sampun apal kemawon inggih lajêng kabêsmi, kados
makatên wawêjanganipun, mawi siyam sadintên sadalu. Dene wêdharing ngilmi
kados ing ngandhap punika :
“ ya ataku pirhu,” kaping sakawan.
[8]”ya kabiru, ya mutangal, kaping 100.
Dene wawêjanganing ngilminipun sang êmpu Khajat Jati Wisesa, punika
makatên:
Sajatine ora ana apa-apa duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-
wiji, kang ana dhingin iku ingsun, lan satuhune kaananing nêpsu amarah iku
wahyaning karkatingsun. Karkatingsun iya siriyah ing dad, dadi
saciptaningsun.Teka sakajatingsun, ana sasêdyaningsun. Iya ingsun sajati ing
Pangeran Kang Maha Suci sajati, kawasa andadèkake kajatingsun salawase.Saka
ing kudratingsun satuhune.
Mênggah pakartinipun wawêjangan ingkang kasêbut nginggil punika,
kawasanipun sagêd angungalakên para sêdya miwah para anggayuh wêkasaning
badan. Têgêsipun manawi kita badhe sumêdya kinèdhêp para ing sasami,
linuluta-[9]n ing dasih, kongas sagung kadibyan kita wontên ing alam donya,
punika ing sabên sirêp tiyang kawatêka. Lampahipun ing sabên dintên
dhaharipun amung sapisan ing wanci sêrap surya, miwah siram kaping kalih
sadintên. Bangun rahina, kaliyan angajêngakên dhahar wau jam 5.
Mênggah pakartinipun êmpu Kajat Jati Wisesa samantên punika, anjawi
kabuling sarira, adat awèt ênèm. Tuwin awèt wajanipun, miwah rema arang
wanên. Makatên malih ngilminipun êmpu Kajat Jati Wisesa makatên wau
saupami wontên ingkang nglampahi sarta têmên, mangka dumugining don,
ingkang sampun kanyatan, kuburanipun botên kenging kaungkulan ibêring paksi,
tuwin gadhah walat. Mila manawi wontên wartos ingkang makatên punika inggih
angagêm ngilmi wawêjanganipun êmpu Kajat Jati Wisesa.
[10]
4. Ingkang kaping sakawan winastan supiyarahmi.
Inggih punika anêdahakên kawasaning nêpsu supiyah ingkang tumrap
dhatêng jasating manungsa.Liripun, tiyang ingkang kadunungan
pangawasa sagêda damêl kabuling sarira, rahayuning laksita, punika
saking wahyaning supiyah. Têgêsipun saupami won7 tiyang ingkang
nyandhang sasakit utawi katrapan coba, ingkang istingangkahipun
pêjah, wasana botên, kadosta: tiyang dhawah saking kalapa amènèk
galugu tuwin kagalundhung jurang.
Punapa malih tiyang kasandhangan ing sasakit sangêt,
sapanunggilanipun ingkang makatên wau, mangka sanêd waluyajati nirmala.
Inggih punika katitika dalèrènging tingal, manawi tajêm yakti ngagêm
ngilminipun êmpu Kajat Jati Wisesa, manawi pandirangan, punika amung saking
7wontên *@
Page 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dèrèng takdiripun kemawon. Mênggah patrapipun ngilmi supiyarahmi wau, ka-
[11]dos ing ngandhap punika wawêjanganipun.
“sajatine ingsun dating Pangeran Kang Agung, Kang langgêng ora kêna owah
gingsir, lawan sajatine ingsun pasêbutaning supiyarahmi. Têgêse jasatingsun
kang saka wahananing cahyaningsun kang kuning, kaanane ing lêlakoningsun
ana ing alam akadiyat, alam wakidayat, alam wahdat, alam insan, alam
insankamil, sapanunggilane alam kabèh iku iya saka kawasaningsun sautuhe.”
Ananingsun iya a...8 supiyarahmi, karana ing ko…tingsun
9 nunggal lawan
ananing wawayanganingsun. Sadaya wau amung kaapalakên...won10
, manawi
sampun apal, sau... 11
..dhe12
kangge amung nyêbuta makatên :
“ sirulah datulah supiyarahmi, mêgêng napas anggêdrung siti kaping tiga.”
Inggih punika ingkang sinêbut aji-aji pangampangan,[12]ananging dede
panggolonganing ngilmi karang. Mênggah ingkang tumrap ing nginggil punika
ugi mêdal saking kawasaning dat mutlak ajali abadi. Babaranipun ing sipat kita
satuhunipun, sarta, mawi lampah sajêgipun gêsang nyirik ngingsêp, têgêsipun
bangsaning angambung punika kasingkirana. Dene manawi sampun ngantos sare
sadèrèngipun bêdhug, utawi botên pêrlu sare siyang, dhahar amung sapisan
sakwarêgipun, punapa dene kedah a...tana13
kawontênaning ingkang waji...14
Liripun angèngêti wajib punika sa...n15
sok mimisuh, siya-nganiaya dhatêng liyan,
tuwin sampun kêndhat siram sabên sore, samantên punika kaèngêtan
yêkti………… (wontên sakawan larik ingkang botên sagêd kawaos)………..
[13]
Tapsiri têgêsipun anata cipta sajati, panduking imami, têgêsipun
patraping kaelingan. Mênggah kalih pêrkawis punika sajatosipun inggih sami
mêdal saking kaananing dzat sajati, wahyanipun dhatêng wiwara sanggya.
Liripun, anelakakên purbaning nêpsu mutmainah, mila kawan pasêbutan punika
kayêktosaning kaanan inggih sami saking purbaning dat kang kadim ajali abadi
sadaya.
Manawi tumprap pangawasaning badan jasmani, sarta tandhaning roh
ilapi, tinêmbungkakên trining rarangga, têgêsipun manawi pinusus salah
satunggal, kêdah mêpêt ingkang tigang bab, gilir gumantos pakartinipun. Amung
satunggal ingkang botên sagêd tumut purbaning dad kang wisesa, dipunwastani
dat kadariyah, têgêsipun amung mêdal saking kajat ingkang langgêng, inggih
punikia wiwara jatining pangeran, mêmpaning budi sanubari, wau sami
asasandhan saking lobaning nêpsu mutmainah.
[14]
Mila ingkang sampun putus ing saniskaraning tanajul tarki, sayêkti sagêd
kabul mujijating jasat kita, ananging manawi jaman ing Dêmak, sapariki botên
won... 16
ingkang ngangge patrap sumantên17
wau, jalaran pancèn angsal kalih-
8ananing
9 kodratingsun
10kemawon
11saupami
12 badhe
13angèngêtana
14wajib *@
15sampun
16wontên *
Page 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
kalihipun rahsamaya. Têgêsipun mujijat samantên wau, manawi botên sagêd
ngirip pakartining jim, saèstu dèrèng kantênan katandha kawasanipun. Ananging
manawi pasah penggêgêting budi, malah taksih kathah wawênangipun jaman
sapunika.
Mênggah ingkang kagancarakên cariyos ing nginggil punika wantahipun
makatên :
Ingkang tinêmbungakên ngilmi rahsamaya punika panganggènipun para
jawata sapiturutipun, mila kathah ingkang sagêd ngambah gêgana tanpa êlar.
Manawi jaman sapunika sanadyan botên sagêd mabur, anggêr pasah pamêsuning
ngatokit, yakti angungguli ingkang sagêd mabur wau.[15] Wondene ngilmining
kêkalih pisan wau, kapratèlakakên kados ing ngandhap punika.
Ingkang rumiyin yogi sami angawuningana kaananing ngilmi rahsa maya.
Mênggah tapabratanipun nêm prakawis sami kaèsthi kalayan mêsthi,
1. Botên kenging dhahar manawi dèrèng karaos lupa sakaliring badan
sakojur wau.
2. Botên kenging katarajang garawang angga.Têgêsipun angagêngakên
hawaning jasat.
3. Botên kenging katrapan sawa ganda.Têgêsipun mambêt gandaning mayit
utawi sakaliring ambêt ingkang botên prayogi. Mila kapatuh badan
dinupanan.
4. Botên kenging kasandhangan ucap ngaping kalih, inggih punika goroh ing
ucap lair batinipun, punapadene cidra ngubaya
5. Ingkang kaping gangsal, botên kenging kadunungan manah muthalit
ambakiwit.
6. [16]Ingkang kaping nênêm, sadaya kaniyatanipun kêdah kapêntogakên
ing pandon. Têgêsipun ingkang sinêdya manawi dèrèng kalêksanan
anamtokakên pati raga. Ingkang makatên punika trêkadhang milalu sirna
yèn lêpata. Inggih punika amung nandhakakên saking mantêping
tekadipun. Sasampuning kasubrataning jasat ingkang sumanten wau
kawimbuhan asaling asli. Têgêsipun dhasar trahing jim punika manawi
sagêd angambah jumantara. Sayêkti kalêpatan ing apatrapipun, sinêbut
mingkarkating mujijatil kubra.
Manawi waêjanganing ngilminipun iggih punika nêm prakawis ingkang
dados panutanipun:
1. Ingkang rumiyin panutaning wawêjanganipun Sang Hyang Endra, kados
ing ngandhap punika patraping amêjang ngilminipun:
[17]“O ilahèng hong mangarca nama taya, yang yang ning jawata yoga
ning ulun, kamurêp kamidhêp”. Tabiyatipun manawi pêjah wangkenipun
kapêndhêm pucuking wukir.
2. Panutan saking Sang Hyang Sambo, makatên:
“Hong ilahèng hong mangarca nama taya, srih srih ya nama saha,
kamurêp kamidhêp”. Tabiyatipun umat Sambo sadaya manawi pêjah
wangkènipun kasètrakakên wana.
3. Ingkang kaping tiga, panutanipun Sang Hyang Brahma, wawêjanganing
ngilmi makatên:
17
samantên @* (setiap penulisan “sumantên”cara membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke belakang)
Page 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
“Yang yang ning jawata yoganing ulun, gunung agung kaananing
kalanggêganingsun. Hong ya nama saha”. Tabiyatipun umat Brahma wau
manawi pêjah layonipun kabêsmi.
4. Panutan Sang Hyang Wisnu makatên:
“Yang yang ning jawata yoganingsun, sajatine kabèh iki titahingsun.
[18]Tata-tataning agami Wisnu punika sadaya umatipun manawi pêjah,
wangkenipun kalarung ing Narmada.
5. Tabiyatipun Sang Hyang Bayu, wawêjanganing ngilmi kados ing
ngandhap punika:
“O ilahèng hong hong magarca nama taya, yang yang ning jawata
yoganing ulun, kamurêp kamidhêm”. Tabiyatipun umat Bayu punika
manawi pêjah, wangkènipun binuwang wana.
6. Ingkang kaping nênêm, agami wawêjangaipun Sang Hyang Kala makatên:
“O ilahêng hong hong mangarca nma taya,bojrèng bojrèng bumi bêlah,
kasapta bantala kamurêp kamidhêp, o yang yang ning jawatèng ulun
ingsun”. Dene tabiyatipun para umat Kala manawi pêjah wangke
minangka brakasakan.
[19]Mênggah sadaya ingkang sami kapratelakakên wawêjanganipun wau,
manawi têgêsipun ingih nunggil misah kemawon kaliyan raosing ngilmi makripat
sajati. Awit têmbung “Yang” punika Pangeran. Jawata yoganing ulun punika
inggih sami kaliyan anitahake Adam. Hong Ilahèng punika sami kaliyan “Ya
Huallah”, ya nama saha punika sami kaliyan Kawula Gusti. Gunung Lawu sap
pitu punika inggih jagad sap pitu. Kamurêp kamidhêp punika saengga roh ilapi
bakaling manungsa, dados têmbung kamurêp kamidhêp wau sidhêm pramanêm,
utawi kèdhêp lêrêp sagung dumadi sêsining alam kabèh. Bojrèng bumi bêlah
punika têgêsipun angratoni bumi langit, utawi panjênênganing dad sajati
anglimputi ing kaanan iki kabèh. Mila sampun nga-[20]ntos lintu ing panampi.
Mênggah pangartinipun sadaya wau têka botên wontên bedaning raos
sadaya, malah-malah manawi patitis ing ukara, ing sakaliring têmbung tuwin
pêpingitaning rahsa, punapadene parabotipun saèstu tata têmbunging para
jawata, mila Kangjêng Susuhunan Ing Kalijaga sagêda ngungkuli para wali
jalaran sampun maksud rahsaning ngilmi kalih prakawis wau, miwah dhasar asal
saking ibu rama dêlês trahing jawata. Liripun ibu putra Nata Majapahit. Rama
darah Japara, dados sami talitining jawata, dene pamanjinging Islam anuting
jaman marêngi wahyaning masa kala. Mila sinêbut Waliyullah gaib, awit pancèn
dhasar sampeka sakaliring rahsa sajati.
Tamat panitiking kasu-[21]nyataning atunggal. Waspada êmpaning cipta
sasmitaning guru Islam. Sambada kabudayaning budi, trus kaliyan talitinipun
piyambak. Wantuning têmên tinêtêpan saratipun têmah kasunyatan sagung
pakarti tuhu.
Wondene kawontênanipun pangawasa ingkang asal saking Islam kaliyan
wahyaning pagawasa ingkang asal saking para jawata. Ing mangke Karsa Dalêm
Kangjêng Susuhunan Ing Kalijaga wau rèhning sampun botên kewran
sawawadining ngilmi makripat sakalih-kalihipun punika dados lajêng kapêndhêt
raosipun ingkang parlu kemawon. Mila kala samantên dumugi sapunika lajêng
botên sagêd agambah jumantara, ananging manawi kalêrêsan pakartinipun
malah ngungkuli ingkang sami sagêd mabur.
Page 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
[22]karana kaananing rahsa sampun sami kaemotakên kikiyasaning
ngilmi satuggal-tunggal dados karingkês saparlunipun. Pinasthi kêkêthinganing
pangèsthi, ingkang kadamêl garan saking ancuripun kitab Lohkilmahpul.
Têgêsipun lajêng karingkêsakên malih rahsaning ngilmi, amêntogakên kalawan
wisesaning Pageran Kang Maha Suci. Mênggah tata-tataning ngilmi kasêbut ing
ngandhap punika namanipun:
1. Dipunwastani ngilmi Rahmani.
Têgêsipun kawruh ingkang trusing kajatèning budi, awit wahyaning
ngatrap ingkang samantên wau amung supados linastantunakên ing
paguron pangawasan sapanunggilanipun. Ingkang mawi amusus purba
wisesaning jasat, tuwin wawênanging dad kang èlok
2. [23] Dipunwastani ngilmi Tapsir.
Têgêsipun panataning cipta ingkang nyata, utawi tinêtêpan êmpanipun.
3. Ingkang kaping tiga, winastan wawêjangan mutmainah.
Têgêsipun pamatraping budi kang eling tuwin pamatrap kasantosaning
sêdya, ingkang mêdal saking awênanging Pangeran.
4. Ingkang kaping sakawan, winastan wêjangan kajat mikaning dad sajati,
inggih punika panêkungan ingkang kaping kalih.
5. Sinêbut wawêjangan wêwangsitan. Inggih punika kangge para padukunan
sadaya, anêdahakên sakaliring babatangan. Têgêsipun bangsaning pêthèk
sapanunggilanipun.
6. Ingkang kaping nênêm, winastan Imam Santosa, sasandhaning pranawa
pitung pasêbut:
1. [24]Santosaning panyana, inggih punika panduluning Imam
ingkang sakalangkung langgêng. Têgêsipun manthênging cipta
maya. Manawi tinêtêpakên sarta mêmpaning panggraita.
Tumanjanipun dados anganakakên cipta ingkang sarèh. Mila
sakaliring pangraita punika manawi sagêd matrapakên sayêkti
botên lêpat panawangipun. Mila ingkang makatên punika
lajêng sinêbut wruh sadurunging winarah, awit kalêpasaning
budi, dinadèkakên dening dad sajati. Inggih punika dating
pramana, kawimbuhan dating pranawa.
2. Ingkang kaping kalih sinêbut santosaning wara. Têgêsipun
pikuwataning watana, ingkang mêdal saking panggagasing
cipta wara, têtêp tinêtêpan kaliyan wahananing mamadirasa,
tumuwuh dhatêng khayu daim, ing ngriku manawi botên
kabawuring nêpsu, adad angrêbdakakên kawasaning Imam
kaliyan wi-[25]waraning pangangka, wêkasan sarêng
tumuwuh lajêng dipunwastani trus sakaliring panyana, inggih
punika kalantur têmbung lajêng sinêbut sagêd kawasa mêdal
saking siriyah, dados ing nalika makatên lajêng winastan
wahyu wara. Têgêsipun sagêd ing wruh sadèrènging winarah
saking kawasaning khayu cau, dadosipun mila agêsang sadaya
mawi kadunungan sumêrêp saking manah.
3. Ingkang kaping tiga, dipunwastani sanstosaning khajat. Kajat
wau asal saking karkat tuwin samukawising gagasan sadaya.
Mila patraping ingkang umijil saking pangwasaning kajat
punika, makatên malih titikan samantên wau, sami saking
Page 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
tanajuling tarkining pribadi. Wahyanipun dhatêng manik,
kaananipun sagêda ningali kaliyan waskitha.
4. Ingkang kaping sakawan, santosaning mawaya. Têgêsipun
kawasaning roh, kapurba ing rahsa. [26] Sasandhanipun
kaliyan siriyah, wahyanipun dhatêng akal. Mila agêsang
ingkang makatên wau asring kadunungan akal ingkang
andadosakên paedah, kadosta: sugih kasagêdan, sugih
pangrati, sugih budi, sugih wêwadi, sadaya wau saking
makatên ing sakawitipun.
5. Ingkang kaping gangsal, santosa wahmantra. Têgêsipun têtêp
têmêning puji, panjrahing kajat saking pagraita18
tama, mila
sakaliring kajat wau manawi sagêd tulus sayêkti kawasa
andadosakên ing saniskaraning budi rahsaya. Têgêsipun budi
ingkang mintêr. Mênggah sasêbutan ingkang sami
kapratelakakên ing nginggil wau, anggêr botên kaloban
hawaning nêpsu kawan prakawis, yêkti kawasa angrêbdakakên
sabda yu.
6. [27] Ingkang kaping nêm, santosaning tuskara. Têgêsipun
pamuntuning rahsa sajati, tumrap dhatêng kawasaning Imam.
Asasandhan lawan panataning cipta maya. Wahananipun
lajêng angrêbdakakên niyat ingkang minding kabuling budi
sanubari. Kacariyos ingkang sampun mêmpan pamatrapipun
lajêng sinêbut burahmani19
. Têgêsipun kêsêt-kêsiting kaanan
awal-akiripun botên kewran ingkang dados kabuling
atmayana. Mila ingkang sagêd kathah pangartinipun wau
saupami badhe sumêrêp ing apurug. Sayêkti sagêd sanadyan
êlêt samudra, wana, gunung-gunung, saèstu botên mawi wang-
wang. Sakêdhèping netra sagêd dumugi, sinêbutakên sagêd
mabur tanpa êlar, sagêd mêsat tan akesah,inggih punika
kawasaning nur anyamadi budi, dados sagêd anarik pakarti
sami sakala dumugi. Mênggah wawênanging gaib samantên
pumika kathah [28]kasunyatanipun. Mênggah sadaya ingkang
kasêbut wawênang makatên wau ingkang sagêd mintêr
tataning pangarti têrusing pambudi kayatul mahsir. Têgêsipun
sadaya budi kêdah binudi satuhunipun, utamanipun mawi tapa
brata sawatawisipun, sarta èngêting Imam.
7. Ingkang kaping pitu, santosaning surasa. Têgêsipun rahsa
luwih, inggih punika kautamaning rasa mala jati, saking
wawantahipun têmbung makatên wau, anêdahakên
pangawasaning jasat tumraping wadi, madi, mani, kadasta :
agêsang kasinungan awas utawi wawadah. Têgêsipun
wawadah punika amêngku kaluhuran sadaya ingkang
kapratelakakên makatên punika muhung ing kaananing
agêsang kita ing akiripun sampun ngantos kabêntusing
apidirin. Têgêsipun kadunungan antêp têtêping kabu-[29]l
18
panggraita * 19
rahmani *@
Page 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Imam, têgêsipun cukuling budi prèmati, liripiun amung
ngèngêtana ingkang dados wajibing agêsangipun ing khajat
kita.
Awit satuhuning kajat punika nigang prakawis, sami dumunung wontên
ing salêbêting betal makmur. Salêbêting betal mukharam, ing betal mukhadas.
Tigang bab punika tamtu katrapan khajat ing sajatinipun, kados ing ngandhap
punika:
1. Dipun wastani maginêng
Têgêsipun pangênêsing angên-angên, inggih punika pakumpulaning
wahya kaliyan dat, mila manawi kabantêrên pamêtêging pranawa
andadosakên sakit pening. Liripun mumêt mawi sumêntug ing manah,
anumusi dhataêng netra kêmah kalintuning pandêlêng. Têgêsipun
pating baliyar.
2. Winastan mahani
Têgêsipun dad kalimputan hawaning nêpsu kawan prakawis
wahyanipun dados asring kasandhangan sakit mumêt.
3. Sinêbut pangglah jati
Têgêsipun dat kalingan wahyaning pramana, wahananing khayu
dados nuwuha-[30]kên sasakit ngêlu, awit kajat tigang prakawis
salêbêting betal makmur wau botên kalimputan jinêm, mila manawi
dipunèngêti yakti jinêm kita tuwuh piyambak dados sinêbut awas
sakaliring katingalan ing pramana.
Manawi kajat ingkang mêdal saking pambukaning tata maligi ing dalêm
betal mukaram, kados ing ngandhap punika :
1. Sinêbut kajatullah
Têgêsipun osiking Pangeran, manawi kadamêl sidhêm pramanêm sayêkti
tumrap budi kita wruh tanpa warana, manawi kalingan weyaning graita
têmah dados sasakit maras. Têgêsipun sumêlangan.
2. Winastan kajat marmati
Têgêsipun budi ingkang botên santosa punika têtela kalingkap limputing
budi sanubari. Wahyanipun katrapana manah bodho busuk.
3. Khajat babuli
Têgêsipun wawênganing budi sanubari punika watêkipun sêgêr
kuwarasan.
[31] Manawi khajat ingkang tumrap salêbêting tata malige ing dalêm
betal mukadan, inggih tigang prakawis :
1. Dipunwastani kajat parjini
Têgêsipun krêjêting asmara, manawi mani kita katrapan hardening nêpsu
wahyanipun lajêng kadunungan karêm angèsthi.
2. Winastan Kajatirahi
Têgêsipun karkating roh kaliyan rahsa sami dados pasêbutan.
Wahyanipun dipunwasani roh ilapi, mila kanyataan wahananing
asmaragama, têmah sagêd anuwuhakên dadosing manungsa.
3. Ingkang kaping tiga, sinêbut rahsamana.
Têgêsipun roh botên kawimbuhan wahananing khajat, mila wahyaning
asmara botên sagêd kèndêl ing kadosanipun, dados ura, ngamungakên
wêdaling mani tanpa dadi, mila manawi kaweyan kajatipun cêpak
kawoworan sasakit, awit tanpa pakèndêlan lampahing rahsa jati.
Page 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
[32] Mênggah ingkang sampun kapratelakakên tigang prakawis punika
wau, sajatosipun amung minangka pitêdahan kaananipun satunggal-tunggal.
Liripun andunungakên parabot sapanunggilanipun. Ingkang pancèn umijil saking
sakaliring badan sakojuripun. Ananging manawi kasil saking kitab tasawup mawi
kawijangakên nama miwah wujudipun. Inggih punika susulan saking Kangjêng
Sultan Iskandardikarnèni ing Mesir, sampun sarujuk kaliyan para Pandhita
ingkang ahli dhatêng pakartining ngilmi makripat, sami tinêtêpakên satisèn-
isèning jasat sadaya, sarta kinumpulakên kaliyan rahsasning Kitab Injil, Kitab
Torèt, Kitab Jabur.
Mila makatên rekadayaning pakartinipun awit saking sangêt
pamarsudinipun Kangjêng Sultan Iskandar wau amung sumê-[33]rêpa satisèn-
isèning badan. Ingkang sami amamarai sagêd èbah mosiking manungsa, saking
karsanipun wau manawi sampun têrang lajêng badhe binudi kasunyataning
manungsa sagêd punapa-punapa, katiti kados ing ngandhap punika :
- Betal makmur, têgêsipun pasewakaning dat ingkang dumunung ing
sirah ing Adampitraullah.
- Betal mukharam, têgêsipun ananing dat jumênêng jajaning Adam
amung tigang prakawis.
- Betal mukhadas, têgêsipun pasewakan dat dumunung paringsilaning
Adam, mila sirah kaliyan ngandhap sami kawan prakawis awit
anêdahakên kaananing nêpsu punika dumunung sirah utawi
paringsilan.
De-[34]ne kawujudaning istha gambar makatên wau têgêsipun ing
sajatining dat punika muhung wontên tigang prakawis, kados ngandhap punika :
1. Jantung, sasandhan kaliyan ati, mila sagêd anyoroti dhatêng sirah.
2. Ati, sasandhan kaliyan ampêru, mila sagêd anyoroti dhatêng
paringsilan
3. Ampêru, asasandhan kaliyan rahsa, mila ssagêd anglimputi sakaliring
nêpsu kawan prakawis, dunungipun makatên:
Mênggah tumusing ampêru punika dhatêng roh lajêng sinêbut nama nêpsu
mutmainah. Manawi sumusih manikêm, lajêng sinêbut nêpsu supiyah. Manawi
dhatêng rahsa, lajêng sinêbut nama nêpsu amarah. Manawi botên tumus dhatêng
pundi-pundi uruhing ampêru dados sinêbut nama nêpsu luamah. Mila sajatosing
nêpsu kawan prakawi-[35]s punika asal saking ampêru. Manawi sipating dat
punika muhung satunggal wontên ing jinêm, sagêdipun dados dumunung sirah
tuwin paringsilan punika amung nyoroti kemawon, ugi botên beda kaliyan
lampahing ampêru wau.
Mênggah katrangipun dat anggènipun sumorot dhatêng sirah punika
katarik saking hawaning manah, kados ing ngandhap pêpèranganipun wau.
Sajatinipun manah punika sab sakawan. Ingkang satilap sinêbut ati
pramati, inggih ati pangasih lajêng ati moradi. Têgêsipun gagantilaning utêg,
mila sinêbut nama nêpsu mutmainah. Lajêng sasab malih nama ati juwari,
tususipun20
dhatêng wadi, mila sinêbut nêpsu supiyah. Manawi dhatêng pramana
sinêbut ati kumbaya, têgê-[36]sipun pangagênging manah, mila sinêbut nêpsu
amarah, luamah, sapanunggilanipun punika sami kapurba saking kawasaning dat
20
tumusipun @*
Page 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
sajati. Ingkang têtêp wontên salêbêting betal mukharam, mila sampun ngantos
kalintu ing panampinipun.
Ing ngandhap punika pratelaning cacah paraboting manungsa, kapèrang
dados sadasa pangkat, makatên angkanipun:
1. Salêbêting sirah dipunwastani utêg. Inggih punika ingkang anggêsani
sakaliring rahsa sajati.
2. Winastan pranawa, inggih pramana, ingkang anggêsangi salêbêti21
netra
sadaya.
3. Prawara. Têgêsipun angin ajêg, inggih punika kaananing napas tan napas,
nupus apasa saminipun
4. Piyaraswa, têgêsipun tarik ing swara, inggih punika amirêngakên saking
karna.
5. [37] Wot siratalmustakim. Têgêsipun ilat, inggih punika kaananing pangucap
sadaya. Ingkang dados lalantaran bêgya cilaning agêsang ing salamèn-
lamènipun.
6. Sinêbut dhahganing nêpsu. Têgêsipun gagantilaning hawa, kaananipun ing
sêntil kita.
7. Rahsa mulyana, têgêsipun ulêkaning roh sajati, tumusipun dhatêng
jajantung.
8. Rahsa murni. Têgêsipun antaraning roh ingkang tumuruh dhatêng bayu
balung sungsum sapanunggilanipun.
9. Sinêbun22
rahsa waka, têgêsipun roh hawani. Ingkang numusi dhatêng
babalung, utawi panggêsanaganing rema, wulu, kuku, sapanunggilanipun.
10. Dipunbasakakên manirahi, têgêsipun rahsa sumimpên. Inggih punika
kaananing roh badhe wiwiji sayêkti.
[38] Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya saking pamuji
kula dhatêng para ingkang karsa kamarsudi ngilmi makripat punika. Mugi
sampun ngantos kalintu ing panampi. Saking kajatèning dat sadaya wau
têmênipun botên kalih titiga. Kaananing dat amung satunggal dunungipun wontên
ing jêjantung kemawon.
Makatên malih sanadyan panggêsanganing sakalir ingkang nama
parabot inggih botên liya saking jajantung tuwuhipun. Mila mugi sagêda sami
amanggihakên gêgathukanipun satunggal-tunggal wau.
Manawi katèmpèlakên kaliyan rahsaning kitab bayan mawi kapêcah
malih, yèn sajatosipun ênggèn bêbundhêlaning lampah sadaya wau kalih
prakawis:
1. Saking jantung
2. Saking manah
Ananging kawontênanipun manah tumut pagolonganing gêsang wau,
amung kapirid saking dudugi prayoginipun rèhning sadaya pasêbutan winastan
manah ingkang nuwuhakên
[39]Ananing botên lêpat ugi tètès sarta mèmpêr, punapadene sadaya
kitab-kitab, tuwin sadaya riwayat, punapadene ingkang linampahakên para guru-
guru ugi punika dununging dat sajati, ananging sasêbutan ingkang samantên
punika, dat wau inggih jantung.
21
salêbêting * 22
sinêbut *
Page 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Awit saking wisikan ingkang sapisan inggih jantung ingkang tinata
rumiyin. Kaananing manah punika amung antara, utawi wahana têgêsipun inggih
sandhaning jantung. Rèhning ênggènipun jantung kaliyan manah amung jajar
kemawon, dados sami pasêbutanipun. Jalaran upami surya lawan sorotipun,
sayêkti botên kenging yèn kabedakêna, kados ingkang kasêbut ing ngajêng
sadaya.
[40]Ing ngandhap punika tatandhanipun Khajat Kiyam. Têgêsipun
rêringkêsaning siriyah, sadaya wau inggih ugêr-ugêr saking Kitab Lokilmahpul.
Liripun papasthèning apngal, têgêsing papasthèn apngal punika wawatês tuwin
tamtuning lalampahaing agêsang. Ingkang sampun dados gagarisaning
Pangeran. Mila agêsang sadaya wau binasakakên darmadi, têgêsipun
lalampahanipun manungsa wau awon sae pancèn amung darmi kemawon, lêrês
lêpating patrap êmpan papanipun botên gadhah wawênang. Atas mungging
Pangeran piyambak ingkang kagungan Wisesa, mila sinêbut Kajat Jati Wisesa.
Satuhunipun kajating dat satuhu ingkang Amisesani sakaliring dumadi,
dene kaanan Lokilmahpul punika dipunwantahakên. Têgêsipun kalairakên
isbatipun saking panatanipun êmpu [41] Khajat ing Pajajaran kados ing
ngandhap punika :
Ingkang rumiyin tata lairing Lohkil mahpul punika ros-rosan. Liripun
anêdahakên gêgêlitaning manungsa punika sabadan sakojur jawi ing lêbêt
cacahipun sèwu siji, inggih sami nggadhahi wawatês gêsangipun piyambak-
piyambak. Ananging botên kapratelakakên satunggal-tunggal, amung kadamêl
têpa pitêdahanipun sawatawis, kados makatên upamènipun :
1. Kirim, inggih punika têkukan dariji ingkang pucuk.
2. Kharam, inggih punika têkukan dariji têngah.
3. Kurur, têkukan watês èpèk-èpèk.
4. Ukur, têkukan pungkasaning èpèk-èpèk wau.
5. Ugêl-ugêl,
6. Sikut,
7. Pundhak bau,
8. Pundhak têpak,
9. Pundhakan gêndhi,
10. Pundhak singkap.
Sadaya punika kêlitan ingkang sago-[42]longaning buja. Têgêsipun ros-
rosaning bau sapangandhap punika sadasa ros.
Ingkang kaping kalih, gêgêlitaning suku ugi sadasa ros malih,
namanipun sami mirip sadaya. Ingkang kaping tiga, jangga dumugi sirah inggih
sadasa kêrêt. Gêmbung salêbêting jaja dumugi cêthik, 10. Gêgêlitan ing lêbêt
badan ugi sami nyadasa, jangkêpipun sèwu kêrêt.
Mênggah pratelanipun sakojur wau, mila sami kadunungan wawatêsan,
awit anggadhahi pangawasa tuwin pêjah gêsang piyambak, makatên malih sami
wontên malekatipun, sarta tumut amimbuhi solah bawaning agêsang kita. Mila
sadaya wau wajib ingkang sagêd anguningani êmpanipun satuggal-tunggal,
inggih punika ingkang kaangge wawaton paugêraning. [43]Lalampahipun kitab
Lohkilmahpul wau. Manawi ing têmbe dumugining sakit ngantos pêjah, patrap
pitêdahanipun makatên :
1. Mila sipat punika kasandhangan sasakit, ingkang dados jalaranipun
sapisan pêjah ing gêgêlitan ingkang angka satunggal masup dhatêng
Page 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
angka kalih, tumusing raos aras-arasên utawi lêsu prungsang
sasaminipun.
Larating angka kalih dumugi angka tiga, masup dhatêng gilitan angka
sakawan, punika gadhah raos kêmba, tuwin kêju garinggingên pating
karêjot kaku, ing ngriku witing anêdha sakalir botên karaos eca.
Angka sakawan dumugi gangsal, masut23
dhatêng angka kanênêm. Ing
ngriku kenging sinêbut sakit sangêt. Mangka manawi angka nênêm wau
kirang prayitna, tuwin weya usadanipun sayêkti badhe pêjah jasa kita.
[44] Manawi angka nênêm wau sampun katarik kajat kita ingkang angka
pitu, têtêp pêjah têgêsipun botên kenging tinututan ing piranti.
Dene angka pitu wau manawi sampun mangsuk dhatêng angka wolu,
dipunwastani kêdri, têgêsipun kaku. Angka wolu masup dhatêng angka kasanga
pilip namanipun inggih punika lêmês malih wujuding jasat, manawi masup
dhatêng angka kasadasa wrêda namanipun, têgêsipun kasèp utawi ngabuh-abuhi.
Ingkang makatên punika sirêg tandêh namanipun, têgêsipun wêkasan sajati,
sampun botên wontên punapa-punapa, inggih sinêbut mahatmana, têgêsipun
pêsating nyawa sampun dumunung watêng sipat malih, mila lajêng winastan
alam Insan kamil, têgêsipun anganyarakên jamanipun dados sampun jumênêng
Adamapit ratulah.
[45] Ing ngandhap punika amratèlakakên dunungipun gêgêlitan ingkang
mêdal saking kitab Lokil mahpul. Têgêsipun papasthèning agêsang, ingkang
wantah kababarakên kaananing kori sèwu siji, kados ingkang kasêbut ing
nginggil wau sadaya. Mila naming karingkês dados sadasa pakarti, jalaran
amêndhêt gampilipun kemawon. Rèhning nunggil suraos tuwin lampahipun.
Ing mangke karingkês malih dening Sèh Khajat Jati Wisesa wau,
mênggah paugêraning agêsang punika inggih amung satunggal kadosa ingkang
kasêbut ing derah tigang buwêng. Ingkang sami winastan ati punika amung
antaraning jajantung kemawon, ewadene ingkang mastani makatên punika ugi
sampun kathah èmpêripun. Dene pasêbutan makatên punika inggih sami kapêtha
dalah sorahipun, kado-[46]s ing ngandhap punika isthanipun:
1. (gambar jantung)Parluning parabot ing lêbêt punika jantung, sab-sabipun
utawi papangkataning nama inggih kados buwêng ingkang tinrapa ing
sêrat maklumat jati, awit dat dumugi jasat.
2. (gambar ati) Sinêbut ati pangasih, parlunipun amung kadamêl nyirêp
arda.
3. (gambar ati) Ati sajati, patrap utawi pasêbutanipun botên beda kados
nginggil punika.
4. (gambar ampêru) Ampêru punika kaananing pambêkan, witing mosik
kaliyan jajantung, mila winastan ampêru.
5. (gambar maras) Maras, inggih punika dumunung sangandhaping iga,
sarta minangka wiwaraning napas, anpas, tan napas, nupus inggih punika
ênggèning was ku-[47]watir., kagètan, sumêlangan sami ing ngriku
panggenanipun.
Mila manawi Kitab Injil utawi Kitab Torèt, Kitab Jabur, wawatoning
pancadriya punika inggih gangsal prakawis pusêripun, têgêsipun pusêr ingkang
anyukulakên sakaliring cipta rasa, sami saking ngriku wêkdalipun, dene jantung
23
masup *
Page 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
kaliyan manah mila dipunangge sami pasêbutaning papangkata, margi ilap-
ilapanipun sami, sarta sarêng wêdaling samukawis.
Dene ampêru pakartinipun anampèni wahyaning ati pangasih. Sakawan
bab punika manawi sampun gumêlêng dados satunggal lajêng tumuwuh dhatêng
hawaning nupus, anpas, tan napas, napas, dene ingkang minangka
kawiwaranipun maras punika. Mila sami-sami parabot ampang piyambak.
Jalaran kaangge margi sèwu punika witipun kirang tuwajuh sakalir-[48]ing cipta
rasa. Mênggah dêdalan sèwu ingkang dumunung ing maras punika, ingkang
nama margi agêng sadasa pangkat. Têgêsipun satunggal-tunggaling margi
nyatus, dados satus kaping sadasa. Sadaya wau sami kalêbêt nama sadasa
gêrbanipun kados ing ngandhap punika.
1. Dipunwastani mak, inggih punika kêkênthênganing bayu ingkang
gubêt dhatêng tamtu sumêntug dhatêng sirah, lajêng nuwuhakên
sasakit bêngêng. Têgêsipun cumêkot ing sirah lajêng pilêg nanging
botên mêdal.
2. Winastan armab, têgêsipun lubèr, wahyanipun anyarambahi anggota
kita wahyanipun dhatêng sakaliring ros-rosan. Mila tiyang katrapan
uwas-sumêlang punika, tamtu kasandhangan sasakit lubèr. Têgêsipun
gumêtêr badan sa-[49]kojur. Trêkadhang lajêng naratap andon.
3. Dipunwastani danik, têgêsipun têtêg, wahyanipun dhatêng ing
garonggongan. Mila titiyang kadunungan manah jêrih punika,
anamtokakên kadunungan sasakit têtêg. Têgêsipun jêrih punika yèn
katêksakakên tamtu saênggèn-ênggèn wontên kêtêgipun, trekadhang
garinggingên.
4. Winastan supyy, têgêsipun lêluhuripun tiyang kadunungan rangu-
rangu wau kaprabawa tigang bab ing nginggil wahyanipun dhatêng
balung sungsum, mila kapêthuk ing bêbaya punika tamtu larut
kêkuwatanipun, trêkadhang malah lajêng dhèngkèlên.
5. Dipunwastani atmadi, têgêsipun nyawa sajati, tuwuhipun dhatêng
jinêm, inggih punika tiyang jêrih kanthi prayitna, wahyanipun lajêng
anarima, mila tiyang jêrih batin punika [50] tamtu kathah sumèlèhing
manah, kadosta titiyang botên rêmên niningali, tuwin lumuh
kêkêrêngan botên rêna raramèn, sapanunggilanipun sukasungkawa
botên lajêng. Sadaya wau sinêbut atmadi, awit sasandhanganing
nyawa,dados amung mamrih rahayu, ananging manawi kirang
wiradatipun têmah kasidhêm, têgêsipun tulus kabuntêl manahipun,
trêkadhang asring kasandhangan sakit kêjêr, têgêsipun gêndhêng
tanpa graita.
6. Sinêbut mur‟at, têgêsipun punika dêdalaning pangati-ati, ingkang
tumuwuh dhatêng pranawa, wahyanipun dhatêng pramana, têgêsipun
tajêm. Mênggah tiyang jêrih ingkang sakalangkung jêrih punika malah
dados kêndêl, awit mawi prayitna tuwin satmaka dados sagêd anarik
wahyaning kaèngêtan, inggih punika jêrih rahayu sangkan paran.
7. [51] Winastan karnikin, têgêsipun gumêlaring warana, wahyanipun
dhatêng solah bawa, liripun tiyang jêrih botên dhadhani jêrihipun
tamtu kadunungan girasing solah bawa, awit kadamêl ngalingi uwas-
sumêlang manah botên purun ngakên, wêkasan asring kasandhangan
sasakit gingsir, trêkadhang edan.
Page 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
8. Dipun wastani hupyi, têgêsipun sumèlèh, inggih punika margi parêk
lawan ampêru, asasandhan sakaliring wahana tantra, têgêsipun
wawayanganing jantung. Wawayangan manah, dados kathah
kaengêtaning cipta maya, wahyanipun dhatêng kêtêg ingkang
lumampah tan pêgat. Mila sinêbut têtêg punika santosa, ananging
manawi kasandhangan wadi têmah ngrêbda, liripun tiyang ingkang
kadunungan santosa wau manawi sakit bucik dagingipun lajêng
nuwuhakên kêsaring cipta da-[52]dos kaoncatan santosaning budi,
tandhanipun ing pundi ênggènig sasakit bucik wau tamtu katrapan
gêtêr trusing cipta. Inggih punika tiyang ingkang gadhah pangraos
mêneg-mêneg, wasana malah kêrêp kasandhangan. Mila turning
tiyang gadhah sasakit kocak ingkang thukul-thukuling mêmala punika
kasirikta, awit tumurun ali24
warisipun ing wingking tamtu makatên
sasakitipun, mila tumrap ing budi kêdah dipunpèngêti. Awit prakawis
bangasning tatu botên mawi milih dum luhur tuwin taliti sudra,
têgêsipun singa kasandhangan sasakit mala wiwitan punika botên
kenging mawi uwas-sumêlang. Bok manawi dados lalantaraning
sasakit barah wau, witipun saking kirang rêsikan utawi kirang kikrik
ingkang kaambah.
9. [53] Ingkang kaping sanga, dipunwastani jirimi, têgêsipun ebahing
maras, punika inggih sinêbut dados margayana, liripun dêdalaning
samukawis. Awit adamêl ebah tuwin rungkating paraboting lêbêt
satunggal-tunggalipun, manawi Kangjêng Nabi Nuh dalah para
sahabatipun, makatên punika winastan trumadi. Têgêspun wutah ing
madi tuturuh ing mani dhatêng wadi, katarik ebah ing rahsa roh
sapanunggilanipun. Mila tiyang ingkang karêm anggagas-gagas
punika tamtu kasandhangan sasakit umor, mungkug-mungkug, utawi
saanglimputi sakaliring lampah, dados angêdalakên kumyusing riwe,
awit wahyanipun saking tambyu. Têgêsipun poking jangga, mila botên
prayogi tiyang sugih gagasan êmar-êmar, [54] ing panggalih punika,
lair batinipun yakti badhe kasandhangan usruhuru, têgêsipun adamêl
gograg sakaliring panggraita sasampunipun, ingkang dumunung ing
batin, manawi ingkang tumrap tata lairipun winastan ura-ura,
têgêsipun gègèring lalampahan, ingkang tumrap ananging alam
donya.
10. Ingkang kaping sadasa, sinêbut marmin, têmbung jawinipun
dipunwastani marsandi, têgêsipun was-was, wahyaning karna netra,
liripun uwas sumêlang saking pamirêng punika awon sae, awit
manawi pancèn sampun gadhah lambaran ngilmi botên sagêd tumanja
pojaran makatên wau, manawi ingkang dèrèng kadunungan dunung
kajatènipun sayêkti anuwuhakên win-winin. Têgêsipun binglêng-
ngênglêng. Wêkasan sinêbut tiyang ewah dating Imamipun.
[55] Mênggah ingkang kasêbut sadasa prakawis punika prayogi
kaèngêtana, karana Sèh Kajat Jati Wisesa punika, saking lêbêging pambudi tuwin
sampun anyatakakên sakaliring paraboting manungsa jawi lêbêt, lair batining
rahsa, sunat parluning ngilmi pancèn sampun rinaosakên sadaya. Têgêsipun
24
ahli @
Page 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
êmpu Kajat Jati Wisesa punika amung asung pepèngêt dhatêng para ingkang
asmi kaparêng amarsudi dayaning ngilmi makripat, makatên malih êmpu Kajat
Jati wau amitêdahakên sakathahing margi rahayu, supados botên kasaluru
sangkan paranipun, sumêrêp papanjing suruping pati, tur angicalakên sêmang-
sêmang, miwah uwas sumêlanging galih, sagêdipun tulus, mulus alus terus
anêtêpana ingkang sangang prakawis, [56] wawantahaning kajat kados ing
ngandhap punika:
1. Ingkang rumiyin kita kadunungan netra, têgêsipun kinèn waspada
sakaliring pandulu, liripun aningali saniskaraning lalampahaning alam
donya punika sampun ngantos kirang awas. Têgêsipun awas wau
sumêrêp lair batin jawi lêbêt, dados sagêd nêrusi paningaling dat sajati,
sampun anon botên andon, liripun dulu punika kêdah dumunung dados
botên sinêbut ina.
2. Ingkang kaping kalih karna utawi talingan, têgêsipun pêpeling utawi
ênggèning kaèngêtan tinêtêpana pamiyarsaning dat punika kêdah
anglèng. Têgêsipun bolong têrus, inggih punika têtêrusaning dat, têtela
botên kenging amirêngakên ingkang botên dumugi kajatèning Pangeran.
Liripun sada-[57]ya wiraos sapanunggilanipun anggêr mawa swara, yakti
kêdah kasunyatan, dados nêtêpi ing agêsang.
3. Ingkang kaping tiga grana, wajib kaangge ngingsêp. Têgêsipun sarwa
suganda wau badhe punika kaananing rahsa sajati, sasandhanipun
kaliyan karna, liripun anunggil wiwara, liripun talingan grana punika
margi satunggal, mila boten kenging kadunugan dudu, têgêsipun sampun
ngantos katrapana ambu kang amis bacin sasamanipun, miwah sampun
mirêngakên ujar sora saru, awit damêl suruting cipta pangarasa.
4. Ingkang kaping sakawan, lesan. Têgêsipun lalandhêsan utawi wawaton,
inggih punika pangucaping lathi sagêda maton, tuwin patitis wêkdaling
pangandika, dados terus pangandikaning dat. [58] Sampun ngantos
kasêbut ancik wot ogal-agil, dene ingkang makatên punika tandha dede
pangandikaning Pangeran, mangka manawi kapirid saking wawaton
sarenagtipun Kangjêng Nabi Musa makatên.
Sajatine manusa iku unusan.
Sajatine uwong iku sêla, iya awing uwung, laire ora ana catur goroh, pra
loro ora tatêlu, kang ingaran manungsa wau tajalining Pangeran Kang
Amaha Suci, Manawa ora nyata yakti ora wruh ing Pangeran, goroh
marang uripe, êmpane kêna ingaran cidra dadining alam donya.
Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika wau sadaya, mugi
kaèngêtana sampun ngantos makatên. Rèhning urip punika ngèsthi
rahayu.
5. [59]Ingkang kaping gangsal, apngal. Têgêsipun solah bawa, wahyanipun
saking pajalêran, katumusan wahananing mani. Liripun asalaing
manungsa anggadhahi bêsus ing solah bawa punika, katarik saking
karkating mani, ananipun dados paringsilan. Têgêsipun hardening
pajalêran punika saking kajating asmaragama, tumrap pamêncuring wiji
sajati, mila ingkang sampun mangêrtos kajatèning ngilmi makripat punika
botên kewran anggalih satuhuning dumadi. Botên wang-wang
wawadosing pambudi sajatinipun.
Page 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
6. Ingkang kaping nênêm Asma, têgêsipun jênêng. Liripun pasêbutaning
tiyang wontên ing alam donya wau angèngêtana namanipun. Mila nama
wau inggih namaning Pangeran, dados sinêbut jumênêng, [60] mila ing
agêsang punika manawi botên makatên inggih botên jumênêng
gêsangipun.
7. Ingkang kaping pitu, winastan sarwadi, têmbung Arab mahpani,
têgêsipun patraping agêsang punika kêdah sumêrêp papan doning
dudunung. Liripun pêpêntogan. Inggih punika wêkasaning cipta.
Pungkasaning budi, tuwin panggraita, kados ingkang sami kapratèlakakên
ing sêrat riwayat jati. Wawantahanipun sang Sèh Kajat Jati Wisesa
makatên.
Kasunyataning agêsang punika dumunung wontên ing budi prêmati,
liripun manawi kinadarakên gêsang sarta taksih dangu dumunung
kaananing alam donya nyumêrêpana lampahing alaming agêsangipun.
8. [61] Ingkang kaping wolu, sipat. Têgêsipun wujud, inggih punika
kaananing Pangeran, hawarana sipating manungsa, liripun ing kaananing
alam donya punika sampun ngantos pangling dhatêng sipating
agêsangipun ing agêsangipun, inggih saksak amujudakên kawasaning
Pangeran kang amaha suci sajati. Têgêsipun ing agêsang kita wontên
kaananing alam donya punika, wajib ingkang sumêrêp wawadining
agêsang. Mila salêbêting Kitab Hidayatilkakaik, sampun nyêbutakên, sing
sapa wruh wujude, iya wruh sipating Pangeran. Mila pasêbutan makatên
punika sampun dados wajibing agêsang. Manawi botên makatêna yakti
sinêbut kapir, miwah kupur. Mila wajib amatitisakên sakaliring pasêbutan
ing nginggil wau sadaya, [62] manawi têmên awas ing pamawas yakti tan
uwas, sarta botên beda dununging alam awal miwah akiripun, inggih
akerat inggih alam donya, mila sinêbut têtêp-tinêtêpan, liripun sami
panjing-pinanjingan.
9. Ingkang kaping sanga, mila dipunwastani nawa, wantahing têmbung
amêndhêt saking hawa. Inggih punika suwung, utawi lèng, rong, song
pikajêngipun suwung punika ingkang sagêd nyirnakakên sakaliring kajat.
Lèng punika sagêd ingkang têrus manthênging kajat jati, têgêsing rong
ingkang sagêd gadhugakên samukawis cipta rasa sapanunggilanipun.
Manawi têmbung Jawi sinêbut hawani, têgêsipun ingkang sagêd ambirat
karkating roh, dados tiyang ingkang asring gadhah lampah wadat punika
sampun nama hawani, awit sagêd anyirêp kaja-[63]t kita saking kaanan
awalipun. Ingkang makatên wau tandha têmên angantêpi tokiting tekat
sajati, manawi riwayating para nabi sadaya punika anêtêpakên
kasunyataning agêsangipun, dene nyirêp sakalir-kaliring karkat, inggih
punika nandhakakên smaoun sumèlèh, utawi sampun kadunungan manah
satunggal. Awit botên susah kamlaratan botên bingah kasêmbadan,
muhung amuntu trusing ciptamaya.
Mênggah pasêbutan ing nginggil wau sadaya, sampun botên pisan-pisan
malèsèta ing kajat jati wisesa, ananging manawi kapirid saking sarengating alam
donya taksih kababarakên wantah ing pasêbutan. Winastan pasang yogyapara,
têgêsipun sambung rarapêtaning ukara mantra, kados pitung prakawis ingkang
kapratelakakên ngandhap punika:
Page 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
1. [64] Ingkang rumiyin winastan isradi, têgêsipun dhudha, zasradi punika
rondha,saupami gadhah lampah wadat punika botên dumunung
santosaning tekat, wadatipun botên dados. Awit kaewokakên saking
gothangipun. Nadyan sampun suci tekating ambirat sahawat, yakti taksih
kenging lalar batangan. Têgêsipun saking tanpa sisiyan.
2. Ingkang kaping kalih, winastan nirwahyana, têgêsipun sanadyan tiyang
taksih jêjodhon ning sakaliring asmara. Anggêr taksih kawistara
pambirating rahsa, sayêkti botên dados wadatipun. Jalaran samukawis
lampah, manawi taksih ngatawisi batal pangèsthinipun. Inggih punika
pagolonganing ngo-[65]glèng tataki, têtela botên anêtêpi kasunyataning
khajat jati, jalaran êmpan papaning tiyang ngatawisakên kasutapanipun
punika, saking kaoling kitab malah angsal dudukaning pangeran. Liring
ngados tigang prakawis:
1) Dados saking tekat25
kirang mantêp, asmu angupados
pangalêmbaning sasami-sami.
2) Dosa dhatêng roh. Awit ngampêt padataning jêjodhon, ingkang
makatên punika cêpak kagodha banhsaning sanggama.
3) Dosa dhatêng dat sajati, inggih punika kalêpatan saking Pangeran,
awit cidra katêmênaning khajat kirang santosa. Mila kêdah dhamis
pakartining kajat pangarti, sampun ngantos katarècèt sabarang cipta
kita.
3. Ingkang kaping tiga, winastan sanggama. [66] Têgêsipun sahwat, mila
makatên, liripun babaraning kajat wantah , kados duk para wali sami
anglampahi wadat punika sajatosipiun boten wadat sajêgipun gêsang,
inggih amung kawatês saking awis dugi mèt prayogi, wawatonipun saking
èngêt, inggih kados riwayat dalêm Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan
ing Kartasura, sokur sagêd adamêl wawatêsan.
Inggih ing sajatosipun ingkang kasêbut nginggil punika, têmênipun
sampun manjing rahsaning kikiyasan sing sapa anglakoni bisa wadat
sajêge urip iku Manawa tan kawisesa, langka bisa angampah sanggama
sajège. Têgêsipun manawi botên pagas sipating pajalêran, saèstu botên
sagêd kanyataan. Mangka wontên ingkang [67] tekat Khajat Jati Wisesa
tinrapakên, punika botên dados margining pêjahipun. Ananging pakarti
samantên wau langka kalêksananing tekad, yakti muhung kadamêl
pasêbutan kemawon. Mila sumangga panggaliyan.
4. Ingkang kaping sakawan sinêbut Apngali. Têgêsipun anêdahakên
ênggèning wadat ingkang sampun sagêd ambirat sakaliring solah bawa
kita, kadosta sampun lumuh parameyan salêbêtin sarêmi punika manawi
têrus inggih manjing wadatipun, dene wantahing kajat makatên :
Botên gimir mulat sêrênging ukara, botên kagiwang mawang
wawangunaning suwargi, botên keguh girugah ing sanggama, botên
kasaliring liliringi nitya, mangka tiyang jalêr punika godha rancananing
cipta wau, muhung saking tan kawawa wikan dhèmês luwêsing tênaga,
mamanising wiwara, [68] sêdhêp sasmitaning priya, momor sambu
25
tekad @* (setiap penulisan kata “tekat” membacanya sesuai yang telah diedisi berlaku sampai belakang)
Page 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kasunyataning ngacipta. Mamrih icaling sênênipun kantun watoning
kasênêngan. Trêkadhang malah mijilakên pangrêbdaning wêlas asih.
Mênggah wawantahanipun têmbung momor sambu kasunyataning cipta,
mamrih icaling sênênipun punika katarik tandang tanduk trapsilanipun
dhatêng kakung, anunggili karsa tur sambada panatanipun. Têgêsipun
tiyang jalêr susah bela sungkawa, saciptaning kakung sagêd anuju
mangsa kala, pangulapipun mawi anoraga.
Mênggah pasêbutan ing nginggil punika, sintên ingkang kawawa
nahêni, cêpak-cêpak wijiling sih tresna, yakti kadadak risaking sisinom
tinata wau. Mila wêkdaling gara godhanipun tiyang jalêr ingkang
sumadya nglampahi wadat punika warni-watni, inggih amung bangsa
wawênanging pawèstri.
5. [69] Ingkang kaping gangsal winastan baruwah wadini, têgêsipun tiyang
jalêr punika manawi sampun sagêd nyabili tekading pawèstri punika
kenging sinêbut wadat. Mênggah wawantahanipun makatên :
Awit kala jaman mintaraga dumugi sapariki, tiyang jalêr badhe nêtêpi
kajat jatinipun lumuh dhatêng pawèstri, malah cêpak godhanipun tamtu
bangsa èstri, mangka garagodhaning èstri wau manawi sampun ngêtog
katekadanipun sampun rotên26
ajrih pêjah, botên ngêdhap kalingkaping
wawadi, mila sinêbut baruwah wawantahipun ambruk angêbroki kadamêl
risaking cipta. Bawur pakarti kang yukti, manawi wontên garagodha
ingkang makatên punika saèstu tundha bemaling pangèsthi, kados pundi
mênggah katrapan reka makatên punika, cêpak kita katalanjuk ingadudu.
Têgêsipun kasasar saking kajat kita [70] ingkang sajati, witing cipta ura
tan lyan saking tênaga.
6. Ingkang kaping nênêm, dipunwastani bemani, têgêsipun pamurunging
rahsa punika saking patrap ingkang botên kanyanan. Liripun tiyang têtêp
wadatipun wau manawi sampun sagêd sambada ing budi gangsal
prakawis :
1.) Manawi sagêd angilangakên panggagas. Liripun tiyang kadhatêngan
pawèstri ingkang dèrèng kapanggih botên magêpokan kulit daging.
Wah lamban, pasang nitya sandaning warna, nyaplaki kaliyan adat
kasênênganing galih. Ing ngriku langka manawi botên lajêng
nuwuhakên panggagasing galih kaliru, inggih punika manawi sampun
wêning pangalêm manamipun ingkang dhatêng mariku purugipun,
sayêkti manjing wadat sajati. Nanging cêpak tuwuh wiyaga.
2.) Manawi sampun sagêd ambirat sipat mantar. Têgêsing wujud busana
dalah pakarti [71] kadosta : mangangge prasaja tur sarwa aji.
Busananing mantra, têgêsipun sumbaganing pawèstri ingkang mêsthi,
kadosta tatasik rêmbêt-rêmbêt, anggantèn ngindhakakên cahyanipun
ukel agantung ati. Manawi sampun sagêd bahèkakên inggih manjing
wadatipun, cêpak korut tamanipun sanalika.
3.) Manawi sampun sagêd anglirwakakên pasunganing bebedhang.
Miwah panyuwuning para rêmênan, nanging ingkang taksih
nêdhênging karsa sakaron punika sampun kenging tinêtêpakên
26
botên @
Page 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
wadatipun. Nanging ingkang mupakat lajêng botên etang nyambut
aninikêli yèna darbe pribadi.
4.) Manawi sampun sagêd eklas dhatêng katresnanaing wadon sawêg
binantalan asta, utawi gadhah cipta sêngit, nanging sadèrèngipun
salulut, ingkang sagêd birat pakarti makatên wau Insa27
Allah kenging
dipunwastani sampurna pambirating sanggama, têtêping wadat-
[72]ipun. Ingkang makatên punika titimbangananing sadhèrèk tunggil
guru botên kenging alan-inglanan inggih kados makatên upaminipun,
mangka ingkang cêpak anuwuhakên lilingkap. Têgêsipun lali
kamulaning pangèsthi, lena witing panalangsa.
5.) Manawi sampun sagêd wêning rohipun punika kenging sinêbut
manjing wadatipun. Têgêsing wêning roh punika, sampun tawa, inggih
punika tiyang sampun lumuh nuwuhakên wiji. Mangka sipating kutu-
kutu wong alangatag punika mnawi taksih gêsang sayêkti botên
wontên suwungipun. ajawi saking sandhang sasakit sayêkti pajêg
kemawon. Ewadene manawi tiyang èstri sayêkti kasandhangan luwas,
awit saking sabên wulan sukêr sarêng rahsa sampun mapan lajêng
botên mêdalakên.
7. [73] ingkang kaping pitu dipunwastani wuryaning swami. Têgêsipun
tiysang manjing wadatidpun punika, manawi sagêd eklas28
panggêraning
garwa widaning siyang ratri. Liripun manawi sampun sagêd ambirat
sambating sasakit, panggêrusing langip, saèstu kenging tinêtêpakên
wadatipun, mangka kalih bab punika wantahipun dados sangang prakawis
kados makatên jarwanipun:
1.) Aningali pucating garwa nandhang susah sangêt
2.) Aningali gêrusing garwa sambat kaluwèn.
3.) Amirêngakên sasambating garwa nandhang sakit.
Tigang prakawis punika arang kawawa ing galih.
4.) Aningali kacuwaning garwa koncating putra
5.) Angraosakên prihatining garwa kecalan kasênênganipun ganjaran
saking kakung, sanadyan sagêd anglintoni sayêkti taksih cuwa,
mangka patrap ingkang makatên wau botên kenging yèn tumrapa
dhatêng lampahipun, [74] dados ingkang makatên wau wadati war
namanipun. Têgêsipun sanadyan wadat nanging botên dados, margi
taksih mandhêg tumolih.
6.) Angraosakaên pêcating garwa, manawi taksih gadhah uwas sarta
wêlas, inggih dèrèng manjing wadatipun.
7.) Aningali solah bawaning garwa duk angupados pagaotan punika
manawi taksih grantês inggih dèrèng manjing wadatipun.
8.) Angraosakaên rubêt rêntênging garwa, têgêsipun tksih uwas sumêlang
dhatêng lalampahaning garwa yèn kangèlan, inggih punika botên
dados wadatipun.
9.) Manawi taksih kagiwang dhatêng sêbuting garwa inggih botên dados
wadatipun.
27
insya * 28
ikhlas *@
Page 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Mênggah sadaya pasêbutan ing nginggil punika saèstunipun sami dede
dununging [75]ngalampah wadat, taksih salêbêting surpazaki, têgêsipun
mandhêg tumolih ing ngriku lajêng kadunungan kaliyan tèmpèling kajat jati
wisesa, botên paja-paja tumèmpèla, sarta tumrapa. Mangka manawi kajat jati
wisesa punika sajatosipun saking sampun matêng pamanggihipun dhatêng
bangsaning ngilmi makripat, utawi saampun botên kasamaran, mila
dipunpatrapakên sakathahing lalampahaning wadat wau, amung kaangge têpa
tuladha, tuwin amung nêdahakên dhatêng katekataning manungsa ingkang taksih
kirang maksudipun.punapadene sanadyan lêrês lêpat kêdah rinaras
pakantukipun, manawi nampika kang awon, milih ingkang sae kemawon, yakti
kenging sinêbut sagara anampik sarah, makatên punika badhe sinêbu-[76]t
janma asmarah. Têgêsipun prasasat awak-awak ing tawa, utawi bawaning nêpsu,
saèstunipun tansah angkara murka ingkang kawistara, inggih sajatosipun adon-
adon ing têmbung makatên punika taksih wahananing budi. Awit budi punika
manawi kababar dados gangsal pasêbutan ing ngandhap punika :
1. Ngakal. Inggih punika sajatosipun wahananing budi.
2. Budi sajatosipun wahananing sir.
3. Sir, sajatosipun wahananing cipta.
4. Cipta sajatosipun wahananing rahsa. Mila wontên pasêbutan sêdya.
Niyat karkat, karêjêt, sadaya wau wahyaning rahsa ingkang
ngosikakên.
5. Kaza, mila khajat jati wisesa kaangge pupungkasan, sajatosipun dzat
sajati punika manawi badhe mosik sapisan winastan khaza. Mosik
kaping kalih nama khajat, mosik kaping tiga nama kha-[77]jat jati
wisesa. Inggih punika witipun lajêng sagêd anggadahi nama budi.
Ngakal, sir sapanunggilanipun wau.
Mila ingkang sampun pasah dhatêng kajatosaning khajat jati wisesa,
saksat sumêrêp ing sadèrènging winarah, karana sakaliring rahsa sagêd rumasa,
sakathing pangrasa sampun rumatos. Têgêsipun saniyat ingkang dados cipta
tuwin wahyaning osik kita inggih osiking Pangeran Kang Amaha Suci sajati,
dumunung gêsang kita punika sampun wantah sipating Pangeran. Sadaya
karkating panêdya kita punika sampun dados karsaning Pangeran, pangandika
kita saklimah inggih Pangandikaning Pangeran, mila manawi dhasar pinêsu
wawantahaning kajat jati punika botên malèsèt amastani saebah osiking jagat
raya sapanunggilanipun. Wondene dudununganing Khajat jati wisesa wau
ingkang sampun sami dipunlampahi lawan kasunyatanipun para wali-wali sadaya
kados ing ngandhap punika:
[78]Mênggah papangkatanipun ugi saking kawan prakawis ing
patrapipun :
1. Botên liya saking sorahing maruta manda. Têgêsipun sarèh ing napas,
inggih punika manawi titi-patitis angèn lampahing ngambêktan sarta
botên kawoworan sambu, saèstu têtêp panataning napas ingkang mêdal
kaliyan malêbêt, dados botên kasamaran dhatêng ruwedaning napas
ingkang pacèn adamêl bancanananing lalampahaing napas wau, kita
sagêd anyilah-anyilahakên yakti kita lajêng sagêd nguningani wêdaling
Page 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
napas kita piyambak ingkang èstu badhe aminangkani sakajat kita jati kita
pribadi, awit wiwaraning dat badhe anêdahakên sajati sir kita saking
napas ingkang sarèh tata, wantahipun saking tabêri, ngênêp karsa sarwi
mantêp ing sidhêm pramanêming budi sanubari. [79] Manawi bangsa
ngalim inggih punika ingkang sinêbut salat da‟im, manawi bangsa tiyasa
dipunwastani tobat ingkang tan amawi pêdhot.
2. Ingkang kaping kalih andhah-andhahaning kajat jati wisesa punika
dipunwastani anpas. Têgêsipun wiwaraning dat anggènipun badhe
nêtêpakên pangawasanipun. Mila ingkang sampun mêmpan pratikêl
tatarikaning anpas wau saupami badhe nêtêpakên sakaliring osik, saèêstu
botên angaping kalih pakarti. Liripun inggih tiyang ingkang kawasa
saosikipun sagêd caplak punika inggih saking tabêri ngrêrêmakên budi
nyarèhakên napas wau lajêng kapêtêg sawatawis. Têgêsipun sanalika
cipta kita ngriku mawi ambirata saniskara, ingkang mêlêng satunggal
gaganthênganing pamanthêng wau, saèstu badhe amijilakên khajat jati
ning Pangeran kang agungg, inggih punika manêkung sanalika ing
palungguhan kemawon sagêd, [80] mila dados manawi sampun
mangartos sawawadosipun, manêkung punika nadyan salêbêting
paamuwan inggih sagêd kanyatahan kajatipun ,dados ing agêsang wau
pancèn kinawasakakên sêdyanipun sawanci-wanci, amung saking botên
ginalih tulènipun, tuwin botên kapatitisakên kemawon, mangka sorah ing
Kitab Insan kamil inggih ugi sampun sami angêblakakên sadaya, sarta
botên mawi susumpêtan, dados kawontênanipun sami kirang pamanggih
punika amung saking kalingan manahipun piyambak kirang pinusus,
têgêsipun saengga kadamêl piyambak.
3. Ingkang kaping tiga, dipunwastani tan napas. Têgêsipun panyirêp, inggih
punika panyirêping sakalir, liripun tiyang asring sumingkir ing asêpi
mêmpên ngawingit, amung badhe [81] ngampah hawa
sapanunggilanipun, ingkang makatên punika inggih katarik saking khajat
jati wisesa, anggènipun badhe numusi sakawasaning dating agung kang
maha Wisesa, mila manawi ingkang sampun sagêd angrêtosan.
Lalampahaning osik samantên wau amung darmi kemawon. Ing
sajatosipun karsaning Pangeran arsa nuwuhakên wawênaning palal.
Têgêsipun ganjaran, mila asring wontên tiyang amamanggih raja donya
sapanunggilanipun ingkang kalayan elok, sarta botên wontên ingkang
anglokakên kecalan. Ingggih punika sajatosipun gadhahanipun piyambak,
têrang saking palalullah ananging lalampahan makatên wau saking
dèrèng sagêd anggathuk-gathukakên lidinipun kemawon. Mangka manawi
dipunêmatakên prakawi-[82]s makatên punika inggih saênggèn-ênggèn
sampun dados pangawasanipun piyambak, mila para wali ingkang matêng
pakartiniun wau saengga sagêd adamêl donya, liripun inggih amung
saking sabda kemawon, saèstu ingkang mamanggih makatên wau saking
botên rumaos kemawon manawi sakêdhèping netra katarimah kajating
dad, dados pangraosipun amanggih, mangka lalampahaning pangawasa,
sasandhaning cipta katarima, panglêburaning ngadosa
sapanunggilaninipun wau, manawi dèrèng kulina tuwin dèrèng nate
ngraosakên amung kados tiyang supêna kemawon, dene manawi ingkang
Page 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
sampun mangartos inggih botên kewran wahyaning pangawasa ingkang
makatên punika, jalaran sampun sumêrêp ing sawawadosipun.
4. [83] Ingkang kaping sakawan wahyaning kajat jati wisesa, ingkang badhe
andadosakaên jagat punika dzat aningali sesining awang uwung,
wahyanipun saking manon. Dados jatining wisesa botên kalingan punapa-
punapa. Inggih punika wantahipun nupus. Têgêsipun pamêpês, têgêsipun
tiyang ingkang sagêd amêpês hawaning cipta maya wau, saengga sampun
kenging binasakakên mati sajroning urip, urip salêbêting pati. Liripun
inggih tiyang nyirêp hawaning gêsang punika saengga sampun pangawasa
dat, mila manawi dipunêmatakên , sadaya lalampahan salêbêting jagat
agêng punika, pundi ingkang dinulupêlênging cipta saèstu sumêrêp
kemawon, saupami wontên bêbaya, sagêd bengkasa palênggahan botên
mawi puna-[84]pa-punapa, têgêsipun tutulung tur mikuwati, ingkang
tinulungan inggih rumaos sarta kaltingal sawujut29
têmah sangêt
panarimahipun.
Mênggah ingkang sampun kanyatahan marsudi êmapaning kajat jati wisesa,
ing kina amung Sèh Armiya, inggih punika Umarya, mila lalampahanipun
sakalangkung èlok, kadosta:
Anyablèk wêntis lajêng sagêd mêsat kados kilat, sarta udani angudèni
sakaliring jagad raya botên amindho kardi, mila umarmaya lajêng manjing
rijalullah gaib, inggih saking sampun botên kewran wawadosing ngilmi
sapanunggilanipun. Ingkang maksut dhatêng kajat jati wisesa wau malih,
Kangjêng Nabi Kilir, Kangjêng Sinuhun ing Kali Jaga, manawi jaman kadewatan
Arya Bratasena.
[85]Wondene ingkang dados katalêring kajat jati wisesa punika amung saking
kawasa pinawasa. Têgêsipun wawênang ingkang ngawêning, inggih punika
tiyang sumêrêp wiwitan wêkasanipun, mila wawêlinging ngilmi wau
anguninganan purwa madya piyambak, sakaliring purwa awite saka ha, witing
madya saka antara, witing wasana saka santosa, pêncaring urip têlung prakara
saka anane kauripan.
Mênggah babaripun saking tanajularki kawantahakên wontên akasara kalih
dasa kados makatên jarwanipun satunggal-tunggal :
1. Ingkang rumiyin uriping sipat wau mawi dipun isbatakên aksara ha, na,
ca, ra, ka : têgêsipun anane urip iku saka sakalir-kaliring panca [86]
maya, inggih punika cahya gangsal mawi kawijangakên makatên:
1.) Ha, punika amung pitêdahaning têmbung ingsun, ingkang makatên
punika kawontênaning napas wau asal saking rahsa sajati, rahsa
sajati punika wahananing dat, inggih punika lairing kajat jati wisesa.
2.) Na, punika ugi dudununganing ukara manawi amung pitêdah wahana
kemawon, liripun sami saking kaananing rahsaning dat sadaya,
têgêsipun amung dudunungakên makatên:
Saobah osiking napas iku uga saka wisesaning khajat jati wisesa,
tandhane nganggo malêbu utawa mêtu.
29
sawujud *@
Page 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
3.) Ca, punika pangartining asma, têgêsipun anêdahakên asmaning
Pangeran punika inggih dumunung wontên napasing sipat, [87]
liripun ugi taksih sami kapurba saking khajat jati, inggih têturasan
saking kawasaning Pangeran kang Agung sadaya.
4.) Ra, punika akal, inggih budi, têgêsipun amung nêdahakên manwi budi
wau wahyaning sir. Sir punika wiwaraning kajat jati wisesa, dados
wantahipun anêdahakên sakaliring cipta rasa budi sir wau taksih dede
dununging kajat jati, sarta dèrèng paja-paja, têgêsipun sadaya wau
amung minangka gêlaraning dat kang agung.
5.) Ka, punika kaanan, têgêsipun sastra gangsal iji wau anelakakên
manawi katitipan purbaning kajat jati wisesa, inggih saèstu punika
badhe narambahi dhatêng sanès-sanèsing pagêlaraning dat wau.
2. [88]Ingkang kaping kalihipun andunungakên isbataning anpas, inggih
mawi kapatrapan wujuding aksara gangsal iji:
1.) Da, inggih punika wahananing dat wau dumunung wontên ing anpas.
2.) Ta, inggih punika pikajênging anpas, anggènipun ngakên dados
sasandhaning atma, margi kapurba saking kajat jati.
3.) Sa, punika langgêng, utawi satunggal, ing sajatosipun kaananing kajat
jat wisesa wau inggih nunggil kemawon kaliyan anpas. Ananging
dèrèng tinarbuka ing kasunyatanipun, amung saengga taksih kêkêran,
amung sambung rapêting kêdhap kilap sampun manggèn ing
kaananipun, mila aksara: sa, punika lajêng kaagêm pasêbutaning
pangeran kang asipat esa, têgêsipun sipat satunggal,[89] tuwin asipat
elok.
4.) Wa, punika margi tuwin palawanganing kajat jati wisesa, saupami
wontên ungup-ungupaning dat, inggih sampun parêk lawan paraboting
anpas wau.
5.) La, punika wahananing lalampahan sadaya, têgêsipun amung
nêdahakên sakaliring cipta maya. Manawi tanpa brata, sayêkti badhe
kagiwang wawasaning kaanan ing satuhunipun, dados wantahing
têmbung sadaya kajating manungsa ingkang kalawan badhe
anêrusakên wau inggih kêdah mawi sarana tapabrata sawatawis.
Parlunipun amung sagêda tuwajuh ing sakaliring para panêdya, awit
êmpaning tapabrata punika amung nêtêpakên ing katêmênanipun
nêtêpi santosaning Imam.
3. [90]Wontên malih bab kaping tiga punika winastan tan napas, inggih
punika ugi wiwara janma. Têgêsipun dêdalanaing rahsa, ananging ugi
dipunisbatakên dhatêng aksara gangsal malih:
1.) Pa, ibggih punika pangartining patrap. Têgêsipun inggih ingkang
sagêd matrapakên sakaliring lalampahan, awit ing agêsang punika
amung matrap, mila sakajat kita sagêd nyata.
2.) Dha, inggih punika garbaning tan napas, sami kalêmpakakên wontên
ing ngriku dunungipun, ingkang winastan ing nginggil punika, inggih
kêdah linaksanan ingkang dados kajat kita wau, sayêkti sae.
3.) Ja, têgês saha pikajêngipun aksara punika mawi anggadhahi
dudunungan dhatêng tajrining tan napas. Liripun a-[91]nêdahakên
mêngah ingkang sinêbut tuwin pikajênging aksara punika têmênipun
amaedahi dene sumêrêp dhatêng kawajibaning kajat jati wisesa.
Page 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Têgêsipun uninga saniskaraning wiwara. Wantahipun aksara wau,
inggih jêtmika, tuwin jinêm.
4.) Ya, têgêsipun wawayangan, inggih punika sorot utawi wawayanganing
dat ingkang nyoroti dhatêng wiwara sadaya wau, amung wantahipun
aksara ya punika, nur: ugi wahya ingkang andadosakên, mila
sanadyan wahana manawi nur punika parlu kangge ing aptraping tan
napas sadaya, awit badhe mimbuhi mayaning kajat jati wisesa.
5.) Nya, têgêsipun jagad, kawontênanipun aksara nya, wau pikajêngipun
sanyaruri, inggih punika wantahing wawêjangan sadaya, [92] ingkang
mungal awang-uwung, tuwin ora apa-apa, nanging manawi
tinrapakên ing wawantahanipun inggih amung kaisbatakên aksara nya
wau, pikajêngipun jagad, liripun inggih jagad cilik jagad gêdhe,
punika kajatèning kajat jati wisesa.
4. Ingkang kaping sakawanipun nupus. Têgêsipun pamênês. Mênggah
isbatipun ugi mawi aksara gangsal malih :
1.) Ma, pikajêngipun pramana, inggih punika ingkang kaangge
wiwaraning kajat jati wisesa, têgêsipun panggènaning dat badhe
aningali sesining kaanan alam awal akir30
, purbanipun inggih saking
paningal kita, liripun dat asasandhan kaliyan pranawa ning pramana
punika lajêng sinêbut kajat jati wisesa, awit panggenanipun awas ing
pandulu kawimbuhan waskithaning [93] budi. Dados anggènipun
lajêng gadhah pasêbutan kajat jati wisesa punika saking sampun
kanyataan ing wawênangipun, sarta sakaliring pangawasaning dat
sampun katandha ing sipat kita sadaya.
ingkang kaping sakawan isbataning kajat jati wisesa, salêbêting
nupus, mawi aksara gangsal malih :
1. Aksara ma, têgêsipun andunungakên wahananing kajat jati wau
wontên ing nupus. Liripun ingkang sampun manah satunggal, awit
nupus wau anggadhahi pikajêng pamênês, tuwin panarimah, inggih
puika ingkang sampun botên manah punapa-punapa.
2. Aksara ba, têgêsipun gêlarananing parabot ingkang sampun botên
mawi lulungidan. Mila ba punika arabipun aksara be, anggadhahi
têgês wurung, tumrapipun dhatêng nupus inggih ingkang sagêd
ambirat sakaliring solah bawa sasamini-[94]pun dados
wahananing aksara be wau ingkang wurung. Liripun sêpên
saniskaraning cipta. Wantahipun inggih ingkang sampun sagêda
ngênêp samukawis, mila wahyaning kajat jati wisesa dumunung
wontên saantaraning jinêm, kanyatahanipun mawi sidhêm
pramanêm. Wondene anggènipun aksara ba kaliyan aksara ga,
kagarba ing têmbung dados satunggal awit nunggil pikajêng dalah
têgêsipun, punapa dene dudununganipun muhung awak-awak
satunggal, liripun amung ngringkês pasêbutan.
3. Aksara tha, inggih punika anggadhahi têgês kakalih:
1.) Èngêt,
2.) Awasing budi sanubari.
30
akhir *
Page 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Ananging manawi kapirid saking raosipun inggih amung dados
sapasêbutan, awit sami purbaning dat sadaya, inggih tutumusan
kawaskithaning kajat jati wisesa, wantahipun ugi dhatêng nupu-
[95]s. Liripun makatên, pamêpêsaning budi sapanunggilanipun
punika saking kawasaning dat, wênangipun anuwuhakên kajat jati.
Dados ingkang sagêd mêpês samukawis punika manawi dhasar
saèstu pamanthênging cipta yakti sinêbut kajat jati wisesa.
Têgêsipun ingkang awas tanpa uwas, waskitha tanpa angas, wruh
tanpa warana, sadaya wau sampun kagarba dening khajat jati kita
kang satuhunipun.
Ingkang kaping sakawan, isbataning nupus. Ing wêkasaning kajat jati
punika kawangun ing aksara nga, têgêsipun panitikan, utawi panêcêk,
mila wantahing ukara aksara wau kaangge cêcakan, pikajêngipun
cêcêg, utawi têngêran, inggih punika wawantahaning lohkil mahpul,
têgêsipun cirri-cirining agêsang sampun tinêngran ing Kitab
Lohkilmahpul, punika babaraning [96] lalampahanipun ing agêsang
punika sadaya.
Ananging wontênanipun mawi katèmpèlakên dhatêng aksara wau, inggih
amung kapirid rèhning kajat jati punika pamanggihipun tiyang bangsa jawi,
dados amung mamrih pituruting ukara kemawon, ananging samantên punika ugi
kagalia kajatosaning kajat jati wisesa wau saèstunipun inggih tumrap wontên ing
aksara kalih dasa punika, sumangga.
Mênggah panitikipun manawi badhe uninga kaananing kajat jati wisesa,
saking aksara ingkang botên kenging pêjah, liripun aksara botên pêjah punika
ingkang tanpa pasangan , punika tandha langgêng. Wondene pipindhaning sastra
satunggal tunggal wau sami kababarakên sadaya, ingkang tanpa pasangan inggih
punika pasêbutaning kha-[97]jat jati wisesa, kadosa ing ngandhap punika:
Mênggah aksara kalih dasa ing nginggil punika yakti mawi pasangan
sadaya, têgêsipun ingkang mawi pasangan wau tandha kenging pêjah, manawi
ingkang botên mawi pasangan punika tandha langgêng. Inggih punika
pasêbutaning kajat jati wisesa dumunung kawan aksara : ,
kawontênanipun ga mawi agêng, punika dede pasangan, amung winastan
yogya para, têgêsipun amèt pamrayogi, dene manawi dêlêsipun punika inggih
amung satunggal. Wondene pikajêngipun pasêbutan kawan prakawis punika
Page 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
makatên: : têgêsi-[98]pun raga yang, inggih punika badan
suksma, pikajêngipun ugi wujuding dat kang kadim ajali abadi, punapadene
sipating Pangeran Kang Amaha Suci sajati, mila aksara kalih dasa wau ingkang
dipunsêbut kêkêra, inggih amung sakawan punika tandhaning asma, dene botên
mawi papasangan, amung wantah sawujudipun piyambak. Punika nanadhakakên
botên kenging pêjah, mila pangeran kang amaha suci sajati wau langgêng botên
kênging ewah gingsir, botên kenging lara pati, têgêsipun aksara ingkang sami
sami mawi pasangan wau pasêbutaning sipat, mila tinrapakên papasanganipun,
amung kaangge ngibarat kemawon, awit sipat wau jasat, dados wujuding jasat
punika ingkang kenging pêjah, tumraping papasangan wau anêlakakên sakaliring
sipat punika taksih kenging pancabaya, awit manawi botên makatên, badhe botên
sinêbut nama kawula. Dados wantahi-[99]ipun ingkang winastan kajat jati wisesa
wau sipating gusti, sanèsipun punika taksih kaewoakên kawula, papasangan
punika lalampahaning agêsang anggènipun sami dumunung wontên kaanan ing
alam donya, beda kaliyan kajat jati wisesa, saèstu sampun langgêng ing awal
akhiripun sarta sampun botên angraosakên uwas sumêlang, botên susah kaluwèn,
botên bingah kasêmbadan awit sarira tunggal. Dene pangartinipun ingkang
sajati, witing kajat ingkang sawantahipun punika, inggih sidhêm pramanêm,
inggih santosaning tekad, inggih panthênging tokit, inggih cipta kang sapisan,
sadaya wau kêdah pinarsudia salêbêting agêsang kita wontên ing [100] kaanan
kita pribadi, dumadining kajat jati wisesanipun piyambak. Supados sagêd
jumênêng lawan kasunyatanipun botên wontên ingkang dados sasarugan ing
lalampahanipun ing kaanan agêsang kita. Têgêsipun salêbêting alam awal punika
sadaya ingkang dados wahyaning kajat, kêdah ginêgêta kajatèning atunggal,
liripun makatên:
Kadosta wungu sare,sadèrèngipun sêgu sapanunggilanipun, punika
wijiling kajat jati wisesa anyarêngi byaring paningal, bolonging pamiyarsa,
wênganing tutuk, tarowonging grana, sadèrèngipun wiwara catur mênga kita
kêdah ingkang èngêt. Têgêsipun sadaya wiwara dèrèng mênga kajat kita sampun
wungu, ing ngriku punapa wijiling karkat sapisan, inggih punika pangandikaning
Pangeran Kang Amaha Suci sajati. Yê-[101]kti botên wontên osik dora, botên
wontên cipta kasilip, botên wontên sêdya cidra. Sakaliripun ingkang dados karkat
saèstu têmên tumus tur miyatani, awit ingkang makatên wau pangandikaning
pangeran piyambak. Mangka samantên wau amung sawêg unguping kajat
sapisan. Liripun wiwitan saiba manawi pinarsudi malih dumugi ning madya
wasana, têgêsipun sawanci-wanci kaananing kajat jati wisesa dipunjalimêti
kajatènipun saèstu inggih lajêng padhang tarawangan, botên mawi kalingan
punapa-punapa malih.
[102]Mênggah ingkang dados lampahipun amung sapele, upami badhe
dhahar manawi dèrèng ngêlèh sangêt inggih botên dhahar, taksih kêdah
dipunsarantosakên, sarta dipunsabili sawatawis supados rapih.
Makatên malih sanadyan ngêlak, arip sapanunggilanipun bangsaning
tatêdhan, sanadyan bangsaning hawa, miwah bangsaning angkara murka
sasaminipun manawi sagêd angampah prayogi sinayutana supados sagêd
katarimah ing pangèsthining galih, sarta sagêd tinarbuka ing ngilminipun, sagêd
Page 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
kawêngan sakajat kita ingkang sajatinipun, mila ingkang sampun ngartos
sakaliring lalampahan ingkang sawantah wau amung botên wontên ngrika-
ngriku. Inggih amung tunggil kajatèning alam samangke, dados paedahipun
salêbêting agêsang kita punika waskithaa ing saniskara, kanyatahan sakaliring
solah bawa kita wontên ing alam donya punika, dados anêtêpi saking
wawêjangipun sarta kenging winastan uripe pangawak suksma. [103] Solahe
lingga bathara, ucape dat kang kadim ajali abadi, pangrungune kayu,
pangingsêpe tobat kita ing pangeran pandulune manik. Têgêsipun sadaya
sesining jagad raya, sampun kawêngku wontên salêbêting pranawa kita, gumêlar
antaraning pramana sajati, dados anêtêpi têmbung amurba amisesa ing alam
kabèh, têgêsipun jagad cilik jagad gêdhe wus kawêngku ing urip kita salawase.
Mênggah pradikanipun pakartining pangarti makatên punika manawi
sampun kadriya èstu sampun botên susah salat, anêtêpi gangsal waktu, awit
panalangsa kita, tobat maring pangeran sampun sami kawêngku sadaya, dados
sakaliring lalampahan awon sae dumunung wontên cipta maya kita pribadi,
sampu-[104]n uwas sumêlanging galih, inggih punika babarananing kajat jati
wisesa.
Mênggah pratikêlipun tiyang ingkang badhe marsudi kasunyataning
pangawasanipun piyambak punika, inggih tabêriya lênggah piyakmbak, kadosta:
tapakur panggenan ingkang sêpi, utaminipun wontên pucaking wukir, madyaning
wana wasa, anurut ilining banawi, botênioun makatên sanadyan amung wontên
salêbêting pakaranganipun piyambak inggih botên wontên bedanipun, makatên
malih sanadyan amung salêbêting pasareyan anggêr piyambakan inggih kenging,
kaanggea sinaon anganam-anam panggalih kaliyan nata sapamanggihipun
manawi pancèn rêmên dhasar tumêmên, Insya Allah wontên osik sajati.
[105] Ing nagndhap punika anêdahakên dununging isbat ingkang mawi
tinata salêbêting aksara kalih dasa dalah têgêsipun makatên :
: têgêsipun kalpaprana, inggih punika awak-awakaning dat,
wahananing kajat.
: mahaprana, têgêsipun wahananing manah agêng, inggih punika
pambêkan.
: dantya, têgêsipun pêthak, inggih punika wahananing nêpsu
mutmainah.
: talawya, têgêspun ukêling swara.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
Page 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
: kalpaprana, awak-awakaning dat.
: pasang yogyapara, têgêsipun amèt pamrayoginipun.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
: kalpaprana, awak-awakaning dat.
: pasang yogya para, têgêsipun pamrayogining pamatawis kemawon.
[106] : dantya, têgêsipun pêthak.
: kalpaprana, awak-awakaning dat.
: dantya, têgêsipun pêthak.
: kalpaprana, awak-awakan.
ta : talawya, ukêl-ukêling swara.
ta : mahaprana,têgêsipun manah agêng.
: dantya, têgêsipun pêthak.
: kalpaprana, awak-awakan.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
Sa : mahaprana, manah agêng.
Sa : pasuti, têgêspun suci.
: kalpaprana, têgêsipun awak.
: talawya, ukêl-ukêling swara.
Page 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
: dantya, têgêsipun pêthak.
: kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat, inggih punika khayu,
liripun uriping jasat sadaya wau minangkawahananing dat.
[107] : talawya, têgêsipun ukêling swara.
: pasang yogyapara, têgêsipun pamrayogi.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
: kalpaprana, awak-awakaning dat.
: dantya, têgêsipun pêthak.
: kalpaprana, awak-awakaning dat.
: kalpaprana, têgêsipun awak-awakan.
: mahaprana, têgsipun manah agêng.
: dantya, têgsipun pêthak.
: kalpaprana, awak-awakan.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
: kalpaprana, awak-awakan.
: mahaprana, têgêsipun manah agêng.
: mahaprana, awak-awakan.
Page 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
: pasang yogyapara, pamrayogi.
: kalpaprana, awak-awakan.
: talawya, ukêl-ukêlan.
: brita, têgêsipun ruruwêtaning budi.
[108] : kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat sajati.
: pasang yogyapara, têgêsipun pamrayogi kemawon.
: kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat mutlak kang kadim ajali
abadi, dumunung ing sipat kita pribadi.
Mênggah pangartosipun sadaa wau, sanèsipun punika
taksih sinêbut awak-awakan sadaya, têgêsipun sipat punika taksih wahananing
dat, dados agadhahi31
lalampahan ingkang taksih kenging ewah gingsir. Taksih
kenging panca baya, têgêsipun gangsal sasandhingan ingkang amurugakên
ruwedaning jasad satunggal-tunggal.
Wontên malih wahananing kajat jati wise-[109]sa, mawi kaisbatakên
sapta swara, têgêsipun aksara pipitu kados ing ngandhap punika pangartinipun
sapta swara wau.
Ingkang rumiyin, , manawi arabipun Alip, ingkang makatên punika
anggadhahi têgês kakalih :
1. Ingsun
2. Imam
Liripun ing kajat jati wisesa punika asmaning Pangeran Kang Agung,
dados ing sajatosipun inggih muhung ingsun dat kang langgêng ora kêna ing
owah gingsir.
Ingkang kaping kalih , manawi arabipun „khe‟, ingkang makatên punika
amung têgês satunggal kita, liripun ingkang sinêbut kajat jati wisesa punika
31
anggadhahi *@
Page 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
inggih dumunung ing kita, têgêsipun sipat, liring sipat wau kawula, watahipun ing
têmbing muhung kawula lawan Gusti.
Ingkang kaping tiga, , arabipun aksara jèr, ingkang makatên punika
mawi têgês tigang prakawis :
1. iki, isbat, irat.
2. Imam
3. Istijrat
Liripun ugi botên parlu kagalia sadaya, awit garbaning ukara amung tumrap
dhatêng têmbung iki.
Ingkang kaping sakawan, , têgêsipun suwung. [110] Inggih punika
kaananing ora ana apa-apa, ananging samantên punika ugi taksih têmbung
kikiyasan kemawon, wantahipun inggih muhung kita pribadi, utawi pangeran
kang amaha suci, mila manawi aksara arab angsal saking wawu, pikajêngipun
wahana, liripun anêdahahkên hawaning kajat jati wisesa, sasandhanipun saking
nêpsu.
Ingkang kaping gangsal aksara , têgêsipun urip, inggih punika
kaananing khayu, mila kayu dipunbasakakên urip, jalaran angosikakên sakaliring
dat sadaya. Ananging mosik inggih saking khajat jati wisesa, ingkang makatên
punika ugi anartani sakaliring prabot ing jasat32
sapanunggilanipun, wantahing
têmbung malih makatên: ananging khayu sagêd anggêsangi sakaliring kajat, awit
kababar saking dat, dat amosikakên kajat, mila khayu la33
[111] sagêd adamêl
kaelokaning sapat, têgêsipun sagêd lèmbèyan, utawi
lumampah,sapaninggilaninpun ing solah bawa wau kasêbut apngal, inggih
punika kawisesa saking kawasaning khajat sajati.
Ingkang kaping nênêm aksara , têgêsipun rêrêm, inggih punika
wahyaning khajat jati wisesa puika saking jinêm, mila sakaliring solah bawa
mawi rèrèh utawi harda, dene rèrèh ing kajat wau dhatêng jinêm, hardening kajat
puika manawi dhatêng nêpsu, lajêng sumarambah ing badan sakojur, ing ngriku
witing sipat mawi anuwuhakên kanêpson, utawi kalintu ning panampi
sapanunggilanipun, dados babaring khajat asring adamêl risaking jasad
sasaminipun, manawi kasirêp saking nêpsu kawan prakawis ugi rêrêm, ananging
adamêl raos ingkang botên prayogi, têgêsipun lajêng nuwuhakên sasa-[112]kit
kudrat wiradat, kadosta : kasandhangan sakit kudrat punika ingkang tanpa
sabab, wiradat punika sasakit ingkang mawi sabab, têgêsipun sasakit makatên
32
jasad * 33
lajêng @
Page 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
wau amung anandhakakên pêpêting kajat jati kapêtêg ing nêpsu, nêpsu kasirêp
ing hawa, hawa kalimputan ing budi, dadosipun mêdalakê34
sasakit warni-warni.
Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya, mugi sampun
ngantos kalintu tampi, dene kanyataanipun makatên :
1. Manawi wontên tiyang anandhang sasakit kasandhang, têgêsipun sakit
mêmala tanpa karana, sarta andon. Inggih punika witing tiyang karêm
angampêt budi, dados lajêng cukul mêmala tanpa karana, manawi
ingkang dèrèng pangartosi sami dipunwastani sasakit kenging alat
utawi sisiku, trêkadhang amastani kenging lêmah sangar, inggih
punika amung kapirid saking dudugi kema-[113]won. Katranganipun
inggih kados ingkang kapratelakakên ing nginggil sadaya wau, mila
wawalêring para wali manawi tiyang ahli budi punika botên kenging
anyidhêm osik, bêbasan sae prayogi tinata kalayan mupakat.
2. Ingkang kaping kalih, manawi wontên tiyang anandhang sasakit
marongkol, kadosta abuh tanpa karana, uci-uci, turbon, wudun,
sapanunggilanipun ingkang botên mawi karana punapa-punapa
punika witipun tiyang asring kadunungan manah ngarah apa, nanging
llirang têrus pangluluhing galih, mila makatên sasandhanganipun,
dados kenging sinêbut carobo pikir. Kala para wali dipunipat-ipati
sangêt, bêbasan bêgya cilaka karkating manah ingkang awon utawi
sae prayogi kawêdalakên sampun sok angarah apa.
3. [114] Ingkang kaping tiga, manawi wontên tiyang anandhang sasakit
èncok, utawi kenging tuju têluh taragnyana, tuwin kalanglangan,
ingkang saengga ngingsêtakên kaananaing dat, ingkang makatên wau
tiyang ingkang asring nyidhêm pangarti, nyumpêt pakarti, ngênêp
para cidra, wantahing kabatinan asring garêndhèl wingking sadaya
kajatipun, dados ingkang makatên punika saksat ambirat
wawênanging kajat jati wisesa. Têgêsipun dora tuwin maibên
kawasaning Pangeran Kang Maha Gung. Mangka tiyang ingkang dora
sapanunggilanipun ingkang kados makatên wau manawi pancèn têmên
pamatraping kasunyatan, prayogi kasinggahan, awit inggih bok
manawi jasad kita wontên ing alam donya kasandhangan sasakit
ingkang makatên wau, tinêmbungakên ama amêmala, [115] anjarak
rêkasaning budidayaning alam dunya, tur marêkakên sakaliring
sikara, têgêsipun katrapan cidraning sasami-sami.
Sae nurut riwayat pèpèngêtaning para wali wolung prakawis margining
rahayuning jasad punika sami kalaksanan.
1. Lêgawaning panggalih tanpa balung êri, têgêsipun sarwa mêmês
dhèmês ing pangandika,karya sukaning liyan, lêgawa sabarang rèh
tan rinasa.
2. Rilaning saniskara, ingkang botên amijèni pancabayaning sarira.
3. Têmên sakaliring kauripan, têgêsipun botên cidra botên dora ing lair
batinipun linampahan.
34
mêdalakên *@
Page 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
4. Prasaja, têgêsipun balaka awon sae saru sikuning lalampahan
sadintênipun.
5. Waspada, têgêsipun kêdah sêrêp-sinêrêpan barang pakartining
apawong mitra.
6. [116] surasa, têgêsipun ingkang sanyata kabudayaning ngilmi
makripat sapanunggilanipun botên amindho kardi, utawi wawantahan.
Têgêsipun bangkit bodho botên dipunalingi, sarta sagêd amèt rasa-
rumasaning sasami-sami, botên anulayani pikajêngan.
7. Suci rasa, têgêsipun rêsik ing apatrap lair batining agêsangipun,
kadosta : tabêri siram jamas, rêrêsik sarira punika suci ing lair.
Sucining batin kadosta mingkuh pagunêman bangsaning dursila, selak
kalèpètan barang kang tan atêrang. Têgêsipun botên ajêng kasinungan
amal silip sapanunggilanipun.
8. Siwaya, têgêsipun uninga ing wayah, liripun waspada dhatêng
wawatêsan tuwin antawis sing aparlu, kadosta : botên kasupèn
antaraning wanci, botên anglirwakakên saparlunipun punika tandha
eling dhatêng pangeran.
[117] Ingkang kaping pitu amangsuli jangkêping sapta swara, mila
isbating kajat jati wisesa mawi tinatrapan aksara , têgêsipun laksita,
wantahipun lêng. Liripun anêdahakên kaananing dat kang sajati, wisesa punika
dumunung wontên ing manikêm, têgêsipun rarawatan ingkang parimpên,
pupunton ingkang rapêt dhamis, mênggah pangartinipun makatên.
Sajatine kaanan kajat jati wisesa iku dumunung ingkang parimpên, iya iku
manikêm, iya jinêm, saantaraning jinêm iku wau kawujudaningsun, iya ingsun
kang sajatining kajat amurba amisesa sakaliring uriping jasad iki kabèh.
Dene wantahipun inggih angên-angên, mila singa badhe nyatakakên
kawasaning kajat jati kita pribadi wau inggih tabêria gumpulakên panggarita
wontên ing asamun, [118] anurut kados pangandikanipun Kangjêng Nabi Kilir
makatên :
Satuhune sing sapa tabêri marang ingasêpi, iya tinakdir bakal bisa
kanggonan ing ilmu sajati, sing sapa tabêri marang asamun, bakal kanyataan ing
sapangèsthine, ananging samono iku iya anggêr pêpak panggraitane sangkêp
sakaliring pangrêti, yakti tumêka sabarang karêpe. Sanadyan karêm ing asêpi,
Manawa sêpên ing panggraita têmah katèmpèlan pakarti kang tan yukti, manawa
suwung panggraitane cupêt budine, mangka sêdya akarêm mangiwa, bok
Manawa malah kasaluru ing ngujur dudu, utawa trêkadhang kandhêg kampiran
marang pakartining dhadêmit, budi tanpa paedah ênggone mangiwa ngupaya
ênggon ngasêpi. Mung arsa katitipan pakartining brakarsakan.
Mênggah wasitanipun kangjêng Nabi Kilir ing nging-[119]gil punika
inggih amung sawantahipun kemawon, dene ingkang sinêbut dadosing ngasêpi
punika pitung prakawis sami kanggea :
Page 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
1. Salêbêting tabêri anèng ngasêpi, inggih ingkang sagêda nata saliring
panggraita, sampun ngantos kasamburan budi sanès-sanèsipun, dados
kêdah ingkang sagêd mêlêng satunggal barang rèh kita wau.
2. Salêbêting kita akarêm asamun, inggih ingkang sagêd suci têrus lair
batinipun, dados têbih ing godha rancana sapanunggilanipun.
3. Salêbêting kita tabêri ing ngasêpi, inggih ingkang sagêd ambirat
saniskara, cipta, rasa, gandaswara, têgsipun angampêta nêpsu hawa,
amêpêta sakaliring hawa sasaminipun.
4. Salêbêting kita karêm ing asamun, inggih ingkang sagêd mêpakakên
barang rèhing agêsangipun supados botên mandhêg tumolih dhatêng
kawajibaning agêsangipun.
5. [120] Ingkang kaping gangsal, salêbêting karêm asamun, kêdah
ingkang tumêmên pangèsthining galih, kêdah mêlêng saliring rèh kang
mamrih rahayu, têgêsipun ing nalika punika kita tafakur ing pangeran
wau sampun ngantos kagungan panggagas ingkang botên prayogi,
kadosta: uwas sumêlang mênèk-mênèk ana anu, punika kasinggahana,
ewa dene inggih mawi katimbanga saciptaning panggalih kita pribadi
salêrêsanipun. Liring titimbangan punika makatên: “saupami jêrih
utawi sumêlangan, tipisan antèn, ingkang makatên punika
prayoginipun pirantosi piyambak, awit tiyang jêrih punika pancèn
sampun takdêring Allah. Dados saupami badhe ngayati ingkang
mamrih tulusing budi, inggih sae wontên salêbêting gêdhongipun
piyambak kemawon, anggêr tanpa rowang sayêktisagêda nata pang-
[121]graitanipun, ewa dene manawi dumunung salêbêting griya
mangka taksih gadhah uwas sumêlang dumèh pêtêng tanpa rowang.
Tiyang ingkang kadunungan manah makatên punika têtela sampun
botên kenging rinêmbag prakawis kasunyataning ngilmi makripat.
Manawi cariyosing kitab Jabur, tiyang jêrih ingkang mawi uwas
sumêlangan punika botên gadhah ati pangasih, ingkang nutupi
sanginggiling manah utawi jantung amung maras lajêng kabuntêl ing
gajih.
6. Ingkang kaping nênêm, ing salêbêting tapakur ing ngasêpi, kita
angêmpakêna kaananing tekat ingkang santosda, Imam ingkang eling,
sasampuning makatên lajêng angulihêna kaananing nêpsu kita
satunggal-tunggal, supados botên ambêbawur tuwin ambarung sinang
ingkang dados osiking budi sajati, [122] kados ing ngandhap punika
patrapipun.
“kajat ingsun sajati, kang wus ingsun kumpulake lawan kaananing
dat, kayu, sir, budi, karkat, sapanunggalane osikingsun wus dadi
sawiji sinêbut kajat jati wisesaningsun.”
Kang dhingin nêpsu luamah amamarah saliring hawa, nêpsu amarah
anuntuni sakèhing angkara, nêpsu supiyah anjalari wijining murka,
nêpsu mutmainah ingkang mimbuhi dhahganing saniskara, kayata,
eling malah lai, katara malah bawur, mulane ing mengko kita padha
ingsun birat sawatara, karana ingsun arsa mêpakake kajatèning
akalingsun satuhune. Ing ngriku pambirating nêpsu kia wau inggih
kados isthaning amanêkung. Sasampuning makatên, adat ingkang
Page 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
sampun kalampahan lajêng pêpak pasang graita kita ingkang pancèn
adamêl prayogi.
7. [123] Ingkang kaping pitu, salêbêting kita tapakur ing asêpi, lajêng
amêpakêna salakiring panca baya gangsal prakawis makatên : kadang
papat kalmia pancêr. Kang padha dumunung ana sajroning guwa
garbaningsun kang angumpul lawan wahyaning cahya irêng abang
kuning putih amancawarna, ing mêngko kajatingsun kang sajati, bakal
amisesani ing kaanan kita kabèh, supaya kita ora ambêbawur kajat
kita salawase. Manawi sampun kawatêg makatên wau , adat lajêng
mêdal piyambak-piyambak saking pramana, kados isthaning sumingkir
ngatêbih. ingkang mêlêng kados rekadayaning amanêkung. Manawi
sampun sagêd wèning, adat ingkang sampun kalampahan kita sagêd,
apapanggiyan kaliyan atma kita pribadi sawujud. [124]Ingkang
makatên wau dede prtikêlipun tiyang araga suksma. Amung saking
tarèkahtokiting tekat, santosaning imam, dados sagêd tumuwuh
piyambak ingkang dipunwastani sajatining kajat kang smpurna,
kawujudipun ugi kados apapanggiyan kaliyan atma kita pribadi, mila
kang ssajatosipun margi ning kawêngan utawi lalataranaing
katarimah ngilminipun wau warni-warni tuwin saênggèn-ênggèn.
Punapadene pancèn sami tumuwuh saking badan kita pribadi ingkang
minagka wiwaratama, têgêsipun dêdalan ingkang utami punika ing
saèstunipun botên mawi antawis, kawasa dalah wisesaning dad
ingkang sajati punika muhung wontên ing cipta kita.
Mênggah ingkang sampun sami kapratelakakên ing nginggil wau sadaya,
poma ingkang sagêd angèngêti kados pangandikanipun Kangjêng Su-
[125]suhunan ing Benang, kados makatên :
Kabèh para sakabatingsun, gêdhe cilik tuwa anom, lanang wadon padha
ngawikanana sajati ing kajating kaisbatake ing sapta swara mau têgêse
anyantosakake tekad kang agungg. Dene ananing sapta swara iku iya
pangucaping kabatinan kita pribadi, babare kaya kang wus padha kasêbut ing
dhuwur mau, amung kumpuling ukara mankene:
: têgêse aku utawa ingsun; : iki utawa yakti; : iya sarta têmên; :
têgêse ora, utawa awang-awung; : têgêse urip; : lire jinêm; : têgêse
langgêng utawa sanyata.
Garbane ing têmbung pasang yogya mangkene:
“Ingsun iki kang têmên ora kasamaran ing saniskara, sarta urip ing
kaanan ingsun kang sidhêm pramanêm, kang langgêng ora kêna ing owah
gingsir,iya ingsun sajatining dad mutlak kang kadim ajali abadi, lawan
kajatingsun”.
[126]Mênggah ingkang dados pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing
Benang samantên wau ing sajatosipun inggih amung mantahakên ing kaananing
Page 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
kajat jati wisesaning ngatunggal. Liripun amung mêdharakên gumêlaring tekad
sajati, mila sarêng ing alami-lami saking kathahipun sagêd tuwin para amarsudi
ngilmi, malah wawêdharan ingkang makatên wau lajêng sami kapingit malih.
Jalaran manut jaman, utawi kapatrapakên saking êmpan papanipun. Sarêng
dumuginipun jaman nagari akhiripun ing Dêmak, awalipun nagari ing Pajang.
Ing wêkdal ngriku makmun, sarta mupakat para luhur sapangandhap dumugi trah
ing sudra, mèh kenging dipunpralambangi: “Bêbasahan kasêlak kampuhe
bêdhah, têgêsipun agêng alit sêpuh anèm ingkang dipunparsudi amung
bangsaning ngilmi gaib, têgês saha pikajêngipun angêtok pangawasa, ambabar
wisesa liripun inggih sami ngungasakên ngilminipun piya-[127]mbak-piyambak,
angoglèng kawasanipun. Kadosta :
Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, kala samantên taksih mudha, dados
pakarêmanipun anyabdaakên sakaliring dinulu têmah santun wawarnèn, amung
mamrih kongasing akathah ginunggung kawasa, nanging wantuning tiyang badhe
dados inggih lajêng botên dangu lampah makatên wau kagalih tanpa paedah,
amung sataun lajêng èngêt kajatosaning agêsang, beda kaliyan ingkang pancèn
batal pangèsthinipun sadaya pakarti dudu punika malah andarung, kadosta :
Lampahanipun Arya Jipang sagêd ngêmat tuwin anggêndam sami
sanalika dhatêng sagêd angapêsakên dadamêl, botên pasah tapak palu ning
pandhhe, tinêmbungakên cêthèt kemawon sadaya karsanipun kalêksanan, kêdhèp
kemawon sagêd nyumpêt sanjata. Lampah makatên wau botên mawi dipunangêti
yèn kawula punika angawula, têgêsipunsi-[128]pun35
ing agêsang wontên ing
kaanan alam donya punika sadaya kenging apes, sanadyan sampun sumêrêp
kasunyataning kajat jati wisesa sarta sampun mangartos tokiding atekad,
ananging manawi tilar dudugi prayogi weya ing kaprayitnan. Saèstunipun botên
sinêbut jinêm sarta kenging dipunwastani botên rêmit pasimpênanipun,
trêkadhang malah kenging winastan ngujub riya, têgêsipun angêngkoki miwah
kibir kasudibyaning ngilminipun, mangka sasêbutan ngujub riya wau dipunkêkêra
ingkang parimpên, awit badhe anuwuhakên kura maniar, têgêsipun
angawontênakên apês, mila Arya Panangsang ing Jipang sarêng angsal mêngsah
waskitha pamawasipun lajêng apês, awit mawi dipunêngèn kêdhap kilaping
apatrap, êmpan papaning ngayuda, ing ngriku kenging sinêbut mênga
papasthèning Arya Jipang saèstunipun lajêng tumêkèng pati.
[129]Ingkang kaprtelakakên apês jayaning dumadi ing nginggil wau
punika kaèngêtan, sanadyan anuting jaman keluning ngakathah manawi botên
kanthi awas eling yakti badhe kalintu panampinipun, wondene kawontênanipun
pangawasaning ngilmi unika sajatosipun saking wisesaning badan kita pribadi,
tuwin mêdal saking ing burbaning tekad wahyaning kajat ingkang sajati. Liripun
inggih têmên ananging kalangkungan, babaring kasaktèn, tuwuh ing aji jaya
kawijayan punika saking gaibing ngilmi kasunyatan sadaya, ananging manawi
botên kanthi awas eling têmah badhe tumrap dhatêng saktining ngakarang,
têgêsipun bangsa susulapan sapanunggilanipun, mangka manawi kaluwiyan
ingkang sajati punika kêdah ajêg kasubrataningsun, sarta botên beda
35
têgêsipun @
Page 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
pamêntoging karsa inggih kados patraping rarancutan, têgêsipun mawi pinusus
saking asaling dad satunggal-tunggal.
1. [130]Ingkang rumiyin winastan dat sayuka.
Têgêsipun kajat ingkang sampun kumpul kaliyan bangsanipun, kadosta
: khayu, nur, sir, rahsa, sasaminipun. Ingkang makatên punika
santosanipun kêdah kadunungan manah saranta, têgêsipun sarèh sarta
anarima, manawi têmên pangèsthinipun yakti tulus rahayu
salamènipun, kadugèn sasêdyaning panggalih, dene lampahipun
amung mêthak ing dalêm pitung dintên pitung dalu, kawiwitan sabên
ing dintên wêdalanipun piyambak, ing ngriku adat ingkang sampun
kalampahan asring kadunungan laksananing sarira, têgêsipun kalis
ing panca baya dene pupujinipun inggih kados ingkang kasêbut
pangandikanipun kangjêng Susuhunan Ing Benang nginggil wau.
2. Ingkang kaping kalih sinêbut dat mutlak kang khadim ajali abadi.
Têgêsipun kaananing [131]dad kang sajati, inggih asmaning
Pangeran Kang Agung, Kang Langgêng. Liripun dat ingkang anglela
piyambak punika dèrèng wontên ing wahananipun, mila ingkang
makatên wau kêdah kadunungan manah ingkang suci, têgêsipun rêsik,
manawi dhasar tumêmên pangèsthinipun yakti anuwuhakên
pangawasa ingkang nyata, têtêp kababar kasudibyaning badan
salamènipun, awit saksat wantah karsaning Pangeran kang Amaha
Suci, wahyaning kaja jati wisesa tanpa warana. Ananging botên
kenging ngujub riya sarta kêdah mawi tarakbrata ing dalêm pitung
dintên pitung dalu pati gêni, wiwit ing dintên wêdalanipun piyambak,
dene ingkang dados pupudyaning batos inggih kados pangandikanipun
Kangjêng Susuhunan ing Benang, nunggil pasêbutaning kajat jati
wisesa wau.
3. Ingkang kaping tiga sinêbut dat nakis bandi.
[132]Têgêsipun dat ingkangg sampun kanyatan wahyaning kajat jati
wisesa, liripun ingkang sampun kawiyos pangandikaning Pangeran
Kang Maha Suci, dumunung wontên salêbêting betal makmur, mila
kêdah kadunungan manah jatmika, ing ngriku manawi dhasar têmên-
têmên pangèsthining batos têrus kaliyan kajating imam, sayêkti wontên
kanyataaninh sarira, ingkang badhe pratandhaning kadugèn sabarang
karsa, kalêksan kajatipun, kasêmbadan sêsyanipun mila wontên
bêbasan saking kaoling para sayid, tuwin wiraosaning para santri,
singa ingkang sagêd anglêksanani wahyaning nakisbandi wau, sami
sanalika sagêd uninga badhe swarganipun piyambak. Mênggah
cariyos samantên punika amung kadamêl pakandêling tekad kemawon,
saèstunipun inggih amung saking lampah ingkang acanthi tama têmên.
Ing sabên dintên wêdalanipun ing dalêm pi-[133]tung dintên pitung
dalu, sagêda ambirat saniskara, cipta, rasa ganda, swara. Têgêsipun
ingkang sagêd amêjahakên raga, sampun ngantos anggalih punapa-
punapa, kalayan tapakur ing Pangeran, inggih kados pasêbutan
pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing Benang nginggil wau
punika. Manawi kasêbut sumêrêp swarganipun piyambak dora, amung
yèn kaèsthi tapakuripun têmên, angsal bêgya tanpa karana. Têgêsipun
Page 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
sapanuwunipun sagêd kadugèn, sasêdyanipun tinêka, bêbasan
sanadyan kang ora sinêdya uga ana.
4. Ingkang kaping sakawan, winastan dating kajat.
Têgêsipun satuhuning panêdya utawi têmên pangandikaning Pageran
Kang Amaha Suci sajati, tumuwuh wontên salêbêting tata malige ing
dalêm betal mukharam, inggih punika kayêktosanipun ing jasad wau
kawasa tuwin wênang adamêll abang ijo ning jagad raya sadaya, mila
ing-[134]kang sampun matêng tapakuripun saebah osiking alam botên
kasamaran, tuwin waspada amastani lalampahan miwah pikajêngipun
liyan. Trêkadhang wontên ingkang sagêd amêdharakên babaring
lalampahan, têbih cêlakaning tiyang satunggal-tunggalipun sayêkti
uninga, ananging patrap ingkang samantên wau arang ingkang sagêd
anglampahi, punapadene kathah ingkang pancên botên tahan. Jalaran
ing atasipun jaman rêja, badhe ngijèni, têgêsipun manawi badhe
nglêksanani tuwin dhasar sinêdya punika botên limrah ing akathah
lampahipun gangsal prakawis kêdah dipunangge kalayan nyata :
1.) Botên kenging sahwat kaliyan pawèstri .
2.) Botên kenging dhahar manggèn, kêdah wontên radinan kaliyan
wuda.
3.) Botên kenging reresik sarira, kadosta: adus, jungkatan
sapanunggila-[135]nipun botên kenging, miwah maha wicara,
têgêsipun anjarag pangandika sawêdal-wêdalipun.
Mênggah patrap ingkang makatên wau kados botên wontên ingkang
badhe sumêdya nglêksanani, awit kabatang sanès panêdyanipun,
mangka lampah ingkang makatên wau manawi kirang sanrosa tuwin
tumêmênipun, sayêkti badhe kalintu panampi, cêak-cêpak santun
ingkang manjiingi, dados tulus edan salaminipun. Mila sakaliring
lampah prayogi mawi dudugi prayogi, snadyan badhea katarimah
ngilmunipun kados pundi kasidaning sêdya, manawi kapirid saking
pangandikaanipun Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, lampah
makatên wau manawi kirang tahanipun ing panggalih, kenging kalintu
lampah nyato, têgêsipun anut satêbiyating sato kewan, enunggil
wontên ing wana, lamènpun ing dalêm 100; satus dintên, nanging
inggih kêdah mantêp panggalihipun.
5. [136]Ingkang kaping gangsal dipunwastani dat tarkiyah.
Têgêsipun daining kajat jati wisesa sampun mudalèh wontên
pambbukaning tata malige ing dalaêm betal mukadas. Liripun
anuwuhakên sakathahing karkat ingkang dumunung piarêp, têgêsipun
niyat kita ingkang kêncêng, tandhanipun tigng prakawis wau
pikajêngipun manah punik botên kajat ingkang tumuwuh wontên betal
mukaram,saupami botên sagêd dumugi, saèstu kathah pangonggo-
onggoning galih. Mila kajat jati wisesa tigang dunungan wau kêdah
awas sarta èngêt, sokur sagêd nyirêp saparlunipun sadaya, liring
panyirêp tigang prakawis punika makatên:
1.) Pambukaning tata malige ing dalêm betal makmur punika
têgêsipun wahyaning kajat jati wisesa ingkang saking sirah,
êmpanipun sami dhatêng pandulu, pamiyarsa, pangganda, pami-
Page 54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
[137]sa. Kawan bab wau manawi sagêd nyirêp inggih badhe
nêtêpi êmpaning kajat jati wisesaning ngatunggal. Têgêsipun kita
sampun kenging sinêbut jumênêng lawan tarkinipun, mila sadaya
ingkang kasêbut pangandikanipun Kangjêng Susuhunan Benang
wau, kaèngêtana satunggal-tunggaling ngaparlu.
2.) Panyirêp ing dalêm betal mukharam, wahyyanipun sadaya punika
sagêd ambirat , kadosta: cipta, sir, rasa, rumasa,
sapanunggilanipun, ingkang pancèn bangsaning kajat jati wisesa.
Ing ngriku mangka kita sagêd anyirêp kalayan mantêp, sayêkti
kenging sinêbut sagêd jumênêng lawan pribadinipun.
3.) Anyirêp sakaliring tata malige ing dalêm betal mukhadas, kadosta:
sêngsêm, kapencut, kumênyut, sumêdhot, bangsaning tatarikanipun
sanggama punika, sami kasirêp sadaya, mangka kita sagêd ambi-
[137]rat sakathahing pasêbutan tigang prakaeis wau, yakti sagêd
jumênêng ing kaanan sajati, têtêp lawan wisesanipun tumrap
katêmênaning ngatokit, têtela santosaning tekad, ing ngriku gêsang
kita wontên ing kaanan alam donya sampun botên mawi angaping
kalih damêl., punapadene kita botên gadhah sêmang-sêmang
dhatêng manjinging suruping pati, awit sakaliring lalampahan
ingkang tumrap dhatêng jasad sampun kawêngku sadaya, dados
kita sampun botên gadhah rasa-rumasa yèn badhea akhir, botên
ngarosakên yèn awal. Têgêsipun awal airing alam sampun botên
rumaos, mila pakarti samantên punika sami kaèngêtana kados
pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing Benang tuwin
pralambangipun Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga kasêbut ing
ngajêng wau.
6. Ingkang kaping nênêm, sinêbut dat abadi.
Têgêsipun kajat ingkang sampun gumêlar ing awal akiripun, inggih
punika wahananing kakhekat36
kita satuhunipun. Mila angirup
sakaliring pangawasa ingkang kalawan nyata, punika botên sarak
aking punpa-punapa, amung kapurba wontên wisesaning kajat kita
pribadi, tègêsipun manungsa punika sampun têtela urusaning sarwa
dumadi, êlasing agêsang ingkang sampun sami gumêlar wontên
kaanan ing alam donya, sayêktinipun inggih botên kewran asal-
usuling kasunyatan, mila lampah ing agêsan punika manawi anêtêpi
hakekatipun kados botên angaping kalih damêl, dene pakarti ing
kasunyatan makatên, saupami sawêg dhahar mangka katrajang ing
pitik iwèn sapanunggilanipun punapa malih lajêng sami tumut nêdha,
ing ngriku kita bo-[140]tên kenging anggusah, inggih kakèndêlakên
kemawon, awit salêbêting kita dhahar wau anglampahi hakekat,
têgêsipun angêningakên cipta maya, ambirat saniskara, saupami
gusah mamrih sumingkiring gara godha badhe batal kajat kita
ingkang sajati., taksih kenging sinêbut sarengat, makatên malih
lampahing kakekat ingkang sawantahipun wau makatên, saupami kita
sawêg lênggah mangka griyaning tangga, tuwin griyanipun piyambak
katarajang ing latu agêng sarta pangamuking tiyang kataliwêng. Ing
36
hakekat*@
Page 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
ngriku kita botên wajib suminggaha ing panca baya, ewadena manawi
dipunaruh-aruhi titiyang ingkang sami sumêrêp punika kita amung
nunduki pangandika iya. Ingkang makatên wau têgêsipun amung
ngêtog ing tekat, tokiting kasantosan, mangka ti-[141]nêtêpan saliring
panca baya botên mingkuh, ing ngriku tandha kabul mujijating kajat
jati wisesa, mênggah saèstunipun ingkang makatên punika botên
pisan-pisan wontên bebaya ingnkang tumama, kala ing kina
tinêmbungakên kalising sanjata wa, têgêsipun lêpat saliring tuju têluh
taragnya, tuwin sumingkah kang para cidra, dipunbasakakên
sapandêlêng têbihipun, mila wontên sasêbutan makatên, sing sapa
pasah tapakur ing Pangeran ora ana ala tumama marang bêcik, dene
wujuding kajat tapakur wau, inggih angucapakên saka witing
wawêjangan sapisan, lajêng kasambêtan kados pangandikanipun
Kangjêng Susuhunan ing Benang, patraping tapakur ugi saengga
mudya samadi, ngêningakên ing pancadriya.
7. Ingkang kaping pitu dipunwinastani dat kapiriyah.
Têgêsipun kajtèning kajat ingkang umijil saking pêlênging budi
sanubari, inggih punika tekading imam ingkang wêning. Wahyaning
tokit amêntok pranawa, [142]têgêsipun panduluning budi punika
manawi wêning imamipun sayêkti sinêbut kajat jati wisesa, mila
ingkang sampun matêng kikiyamanipun satuhu botên kasamaran
saliring roh, awit panduluning budi sanubari, wau manawi sampun
kêncêng imaming kajat dados satunggal wontên ing pranawa,
wawantahipun makatên:
Sajatine paningaling Pangeran iku budi panduluning budi imam,
paningaling imam pranawa, wahyaning pranawa kawêngku
wawênanging kajay jati wisesa. Mila waskitha, têgêsipun ing sanadyan
wuta netranipun, pramananing kajat sayêkti botên tumut picak.
Sandyan praman ina pranawaning budi botên jêmpo. Sanadyan pêpêt
pranawanipun kawaskithaning imam botên dhipêt, awit kaananing
budi tuwin imam sampun kawêngku wisesaning Pangeran, inngih
purbaning kajat ja-[143]ti wisesa wau, mila sampun uwas sumêlang
malih karana ananing awal akir sampun tanpa antara, têgêsipun
manawi pancèn kinadarakên badhe angsal wawêngan tuwin pinasthi
katarimah ngilminipun, saèstu sampun botên susah anggarêsah
sakaliring lalampahan, têgêsipun sadaya ingkang kaajèêngakên sagêd
miyatani, tur botên mawi amindho kardi, dados ing kajatèning
kunupiyah punika sampun sami kasarira ing sipat kita sadaya, liring
kunupiyah inggih lair baitn, abot ènthèng padhang pêtêng. Eca lawan
rêkasa punika sampun botên katrap ing agêsang kita satuhunipun,
dadosing alam pati, dumadining jaman kauripan punika botên wontên
papangkatipun, têgêsipun urip punika tanpa pati, awal airing jaman
kita muhung langgêng kemawon, miwah wêwèntèhan kaananipun
ingkang sajati.
[144]Mênggah ingkang kasêbut ing bab kaping pitu punika yogi kagaliha
kalayan alon-alon, awit pêpeliongipun para wali, amratelakakên kajatèning
agêsang, têgêsipun manawio dèrèng sagêd nokidakên ing tekad, tuwin manawi
Page 56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
dèrèng sampun sumèlèh panggalihipun, bab kaping pitu wau kasingkura
pangartinipun rumiyin, liripun sapun kapêlêng panataning imam budi sanubari,
ingkang sampun satunggal lawan kajatèning kajat jati wisesa. Awit manawi
sampun manggih saparlunipun saksat lingga suksma, têgêsipun sajatining
Pangeran Kang Maha Suci sampun kawêngku lair batinipun, dados badhe
anuhoni kaananing atunggal, mênggah wantahipun ing nginggil punika makatên:
Uriping jasad kanag sajatidumunung ing awal, punika botên paja-paja
timbanga saka-[145]lir-kaliring lalampahan, têmah badhe kêmba tuwin bosên
kaananing alam donya, cêpak kadêrênging akiripun, têgêsipun ingkang sampun
mangartos saring lajêng sumêdya dadak kaanan jatinning ngatunggal, mangka
pati-pati binudi wau amung sagêda tulus rahayu langgêng ing kajatipun wontên
alamipun.
Manawi wawalêripun Kangjêng Nabi Kilir makatên:
Mungguh sajatining ngilmu iku muhung ana ing urip, sajatining urip iku
saka ing kajat, têgêse kaanan kajat jati wisesa iku kêna uga kababarake jatene,
ananging muhung kang nêm prakara, manawi dudununganing pitung prakara
mau yèn during darbe yuswa 65 taun, during wajib pinarsudi satuhune, dêstun
kaebarana bae kaya pasêbutaning kitab sansul anbiya sangan prakara kabèh.
[146]Dene ingkang sinêbut kebaran sangang prakawis sarah ing kitab
sansul anbiya punika satunggal-tunggalipun kebaran kados ing nagndhap punika:
1. Ingkang rumiyin dudunuganing wisesa salêbêting baya murtani, têgêsipun
kalêpasaning manah ingkang sagêd anrus kaliyan budi ning imam,
kadosta kita sagêd kawasa andadosakên sakaliring cipta pribadi,
kaisbatakên kados pangawasanipun Kangjêng Susuhunan ing Muryapada
punika ingkang kalampahakên patraping ngilmi kebaran makatên:
Sajatine ingsun andadekake kaananing kudratingsung, kayata
sipating cahya kang amanca marna, iku asal saka pramananingsun, ing
mêngko ingsun wujudake sipat kadi warnaningsun, inggih punika
wawêjanganing ngilmi kabara sapisan, lampahipun pitung dintên botên
dhahar sare sarta bo-[147]tên kenging wisuh. Manawi katarimah sarta
tumêmên pamatrapipun, ing sabên wontên damêl saèstu sagêd
anganakakên wujud tunggil warni kita gangsal, manawi kirang tumêmên
patrapipun sami sakala malah dados ruwedaning sarira, têgêsipun
anggung damêl gara godha ing agêsang kita, jalarzan kirang mantêp
sarta santosa, mênggah pambiratipun makatên,
Ingsun ambalèkake asaling cahya kang amanca warna, karana saka
cidraning kajatingsun, kakang kawah adhi ari-ari, mamêrti gêtih pusêr
kang angulihake kaanane kang sajati, sarwimêgêng napas anggêdrug siti
kaping tiga.
2. Ngilmi kabaran ingkang kaping kalih angkatan, dipunwastani rokhiyah.
Têgêsipun angêtog budi mêdalakên pangawasaning roh ingkang asal
saking wahananing pranawa sajati, paewdahipun amung kadamêl nandha
badan, kados patraping makdum sarpin, [148]wawêdharanipun kados ing
ngandhap punika:
Page 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Sajatine wawayanganingsun kang suci asal saka roh jasmnai,
wahyaning kawujudan saka pranawaningsun pribadi, dadi padha sanalika
saka ing kudratingsun, ing ngriku manawi kapanthêng, saèstu jaja kita
wontên gatraning sipat janma pêthak wujudipun, adu arêpan prênahipun,
têgêsipun adu arêpan sami gathuk adu dhadha, nanging amung sajabang
bayi agêngipun. Inggih punika sajatosipun roh ilapi, sagêdipun wujud
janma, awit saking mêlêng pamanthênging pranawa, samantên punika
paedahipun amung kangge panêngraning badan manwi wontên damêl,
saupami praboting wawayangan wau cèwèt ing ngayuda tiwas, manawi
wêtah inggih badhê jaya, dene lampahipun patigêni tigang dintên tigang
dalu wungu.
3. [149]Ngilmi kebaran ingkang kaping tigang angkatan dipunwastani
pambukaning siriyah. Inggih punik amujudakên sakaliring sir, têgêsaipun
angêtog wisesa, mêdalakên pangawasa wahananing sir wau sagêd
amujudakên sipating kala rudra rupa, ingkang makatên wau, kala ing kina
dipunwastani aji candha berawa, ngilminipun kasêbut kados ing
ngandhap punika:
Sirullah, datullah, asihing jasatulah, marawayang kajatèning sipat
wujud, wujude padha lawan dadine, mara kita tumêkan.
Manawi kala jaman kadewatan makatên:
Yang yang ning jawata kajatèningsun, bojrèng bumi bêlah, bantala
ngaton marang kaananingsun.
Mênggah lampahipun kalih pisan wau sami: ing sabên ari Jumungah sare
latar, lèmèk ron pisang, bantal banon, sadalu ngriku bisu, sarta botên
dhahar punapa-punapa.
4. [150]Ngilmi kebaran ingkang sakawan angkatan dipunwsatani
pambukaning rahsa sajati. Pamatrapipun sagêd uninga wujuding bangsa
lêlêmbat, dalah wicaranipun siluman sapanunggilanipun sagêd
mangaryos. Mênggah paedahipun kalih-kalih, manawi talitining alit
kaangge pêthèk, manawi trahing aluhur, kaangge patakènan barang
karsanipun, ananging sadaya wau manawi katarimah lajêng sinêbut
tiyang kasurupan, sarta bangasaning prewangan. Amung trahing
ngaluhur ingkang ngulinakakên makatên punika, mèh sakêdhik
paedahipun, awit bangsaning priyantun wau manawi ngantos sugih guyu
garênêngan tanpa rowang, punika cêpak dipunwastani kagingsir, kang
mangka wontên salêbêting pasamuwan, kados punapa cidraning
agêsangipun, ewadena manawi pancèn sinatosan ing panggalih
sayêktinipun ma-[151]lah lankgukg prayogi sangêt. Manawi kala jaman
kdewatan dipunwastani kadang adewa, têgêsipun sadaya sêdyanipun
sagêd kalêksanan, inggih saking pitêdah ing rowang wau.
Mênggah ingkang kasêbut ngilmi kebaran kawan angkartan ing nginggil
punika sajatosipun langka yèn manungsa sagêd sumitra lawan bangsaning jim,
wondene ananing pasêbutan wau amung kaangge ngibating têmbung kemawon,
manawi sajatosipun ingkang dados rowang punika inggih sami kadang kita
pribadi, jalaran pancèn sampun limrah singawonga kemawon manawi sangêt
pamêsuning budi dhasar linaksanan kalayan têmên mantêp santosa, sayêkti
Page 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
kadang kita sakawan sami sumêdya tutulung ing duhkita. Mênggah patrapipun
tatarikan ugi kados ingkang kasêbut panyambating papat kalmia pancêr, dene
ngilminipun ma-[152]wi lampah sawatawis kados ing ngandhap punika:
1.) Botên kenging kêkêlut sinjang. Têgêsipun têtêbah pasareyan ambèn
sasaminipun kêdah kêlut sêpêt utawi duk, sapanunggilanipun ingkang
nama kêlut punika botên wontên ngawarilipun, sadaya wau inggih anggêr
dede bangsaning sinjang, mênggah kêlut sinjang punika watêkipun asring
kapêtêngan manah.
2.) Botên kenging ambucal uwuh katumpangakên uing sappu, watêkipun
larang anak.
3.) Botên kenging gêgêni kajêng galar, watêkipun kacuwan tuwin kapêjahan
anak agêng. Sadaya wawalêr ing nginggil punika atasipun sami
anglampahi, sanadyan amung sapele nanging kathah mupangatipun,dados
wajib kaèngêtan salamènipun. Anjawi saking punika lampahipun majêng
dhahar bibar dhahar tanpa wisuh, watêkipun dhatêng budi padhang.
5. [153]Ngilmi kebaran ingkang kaping gangsal angkatan, dipunwastani
pambukaning atmayana.
Têgêsipun uruh-uruhing nur ingkang wujud toya, manawi kalimputan
purbaning kajat jati wisesa, sayêkti sagêd asipat warna, katron sabên
kinajatakên, dene warnining ngriklu inggih botên beda lawan kawujudan
kita punika, mila manawi ingkang sakêdhik panampinipun malah adamêl
uwas, awit kakintên panêngraning pati kados ingkang kasêbut ing sêrat
Munasiat jati, makatên malih manawi kirang santosaning panggalaih
têmah adamêl kasaluruning cipta. Dene yèn sagêd tampi sinêbut araga
sukma, ananging sajatosipun sanès sadaya, kayêktosipun saking uruh ing
nur, kalimputan wisesaning kajat sajati. Amung paedahipun manawi nuju
sakit sangêt kenging jinalukan usada ingkang tamtu waluyanipun.
[154]Mênggah panitikanipun ing ngilmi kebaran kaping gangsal
angkatan wau, rèhning badhe adamêl kalintuning gali, ing mangke kêdah
dipunwêjarakên wiwijanganipun satunggal-tunggaling panêngran. Manawi
ingkang dipunwastani warnaning sipat sami punika mawi tatêngêr kados makatên
:
Warna tunggal sawujud kita ingkang sagêda dados panêngraning
ngatunggal, punika mawa cahya gumilang tanpa wawayangan, sarta sabên
kawistara tamtu anarik cahya kang amanca warni, sarêng wujud kita ingkang
tumrap dhatêng pakartining ngilmi kebaran ingkang kaping gangsal punika,
wujudipun amung margêgêg kados sawantahing janma kemawon. Dene ingkang
kapratelakakên makatên punika sajatosipun inggih ignkang dipunwastnai tênung,
punika saking sosoroganing ngilmi kebaran ingkang kpaing gangsal.
6. [155]Ngilmi kebaran ingkang kaping nênêm angkatan, dipunwastani
nganasirahmi.
Têgêsipun ambabar pangawasa ingkang saking asal nganasir kawan
prakawis, ananging sajatosipun panganggitipun Kangjêng Sultan
Sayidina Ngali, kala kacêpit ing prang wontên Nagari Juldah, ing ngriku
Sultan Ngali lajêng matrapakên ngilmi makatên:
Page 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Sajatine ananging sipat wujud iku saka kawasaningsun, gumêlaring
kauripan iki saka apngalingsun, anane kabèh iki saka Asmaningsun,
lêrêpe sagung ruharaning jagad iki saka wisesaningsun, dadining
kanyataan saka nganasiringsun, wujudingsun saka bumi, napasingsun
saka angin, karkatingsun saka agni, uripingsun saka banyu, iya iku
roh, dadi kabèh kang ngasipat urip iku saka rahsaningsun, rêp rêp
sirêp tanpa arêp, saka ing kudratingsun.
[156]Kala samantên Kangjêng Sultan Sayidina Ngali sami sanalika
wontên kabuling mujijat, dumadakan lajêng angsal wawêngan
gaibing Pangeran ingkang Maha Kawasa, anuwuhakên swara kadi
gêrah sasr, têgêsipun kados galudhug ambal-ambalan. Inggih punika
lajêng kalokèng rat pramudita, Sayidina Ngali sagêd pêtak, sarêng
ing alami-lami wantuning kawruh wau yakti kêdah mupakat, babaring
saking mupakat sayêkti wajib bunudi, dados pambudining titiyang
warni-warni, wontên ingkang kadamêl patraping aji panglamporan.
Wontên ingkang lajêng tinrap aji panglêrêpan, sawênèh lajêng
dipunwastani aji bala srewu, wantuning titiyang dhasar pinarsudi
kasunyatanipun sayêkti sagêd kemawon anggêlarakên ingkang dados
pangawasaning ngilmi makripat wau. Ananging sadaya punika
kalêbêt wawênaging kaja-[157]t jati wisesa, mila sampun kalintu ing
panampi pasêbutan ing nginggil punika wau sadaya, dados sagêd
anèblègakên raosipun ingkang satuhu.
7. Ngilmi kebaran ingkang kaping pitu dipunwastani pambukaning iradat.
Têgêsipun samukawis ingkang dipunlampahi ing kaanan alam donya
ppunika, sarta tataning pangarti ingkang tumrap ing jasad sadaya,
ananging inggih ugi taksih pagolonganing kajat lair. Mênggah
dudunganipun ngilmi kebaran ing nginggil punika makatên:
Saupami nuju satunggal dintên kita anandhang papêtêng ing
panggalih, tuwin kalimput ing panggalih, tuwin kalimput ing budi
sawatawis, agêngipun anêmahi sungkawa dahat, enggal kita natrapaêna
sarananing jasad, manawi wungu sare, mapan sare, èpèk-èpèk kita kalih
kagosok-gosokakên kaping tiga, lajêng kausapakên ing bathuk kaping
tiga, sarwi matrapakên pudta makatên: pranawaningsun ambirat
ruwedhaning budi, pramananing [158] kajatingsun, anampurnakêna
papêtênging ati, kaanaingsun datingsun, kang maha suci asirnakake
sungkawaningsun , saka kudrtaingsun.
Mênggah subratanipun patrap ingkang samantên wau botên mawi,
ewadene manawi dipunniyati tarakbrata, ingkang mêdal saking ekhlasing
panggalih, jalaran saking sangêtipun susah tuwin lalining kaèngêtan, kados kala
Kangjêng Nabi Ayub. Punika amung dhahar sapisan ing wanci surup surya
kemawon, sanèsipun ing wanci sêrap inggih saksat siyam salamènipun, ananging
lampah ingkang samantên wau, sanadyan botên anêtêpi ngilmi kebaran, saupami
kadamêl mamatuh sakalangkung prayogi, malah anuhoni kados riwayatipun
Kangjêng Nabi Adam ingkang sampun kadhawuhakên dhatêng Jêng Nabbi Sis,
kados makatê-[159]n pangandikanipun ing riwayat jatining agêsang.
Jèbèng . lamun kita angèsthi tulusing kauripan, sarta turun-tumurun bisa
ambabarake tanah Jawa, kang dadi lakune muhung angawikanana purwa lawan
Page 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
wêkasane. Têgêse purwa awal, wantahing awal awiting antara wijiling baskara
kita, aja kongsi anyèlèhake pakartining kajat sajati, lire yèn during suruping
surya during kêna asèlèhake budi, ngenakake pakarti. Dene surya wis katon
sumurup kêna kita angaso budi, andandani badan, midêngêna kang mamrih
widadaning lakon kita bakal liya dina manèh , lire mamangan samubarang
rêrêsik sarira, anamtokêna sabên surup bae. Wasana panampinipun Kangjêng
Nabi Sis punika kakintên sabên lumereging srêngenge dhaharipun [160] mangka
mangsa lereging surya punika tamtu pêndhak taun, dados sabên taun sawêg
dhahar, inggih punika wantuning anak ajrih ing bapa, dados pamituhuning
pamanggih malah mindhak saking wawêlingan, makatên malih tiyang sêpuh
lajêng kathah wêlasipun, ing ngriku wiwitipun wontên wontên donga tulak bilahi,
wêkasan salamêt, donga kabula panjang umur. Sadèrèngipun pupuji makatên
wau donga kakalih punika botên wontên, mila sami-sami putra wayahing Adam
punika sanadyan lajêng bêsat tekadipun ananging kakintêning rama, dados
inggih sami lêstantun sasêdyanipun, kapara ing kawibawaning kamulyan, mèh
angasorakên kaluhuranipun Kangjêng Nabi Adam, sarta sakaliring para sêdya
jalu èstri sami kanyatahan sadaya, miwah kadugèn tur dumugi la-
[161]lampahanipun, miwah gumêlaring ngaguna sagêd anjêmbarakên jajahan.
Dene anggènipun sinêbut pangiwa punika awit wawansitaning rama, têgêsipun
panèn rinilan angadamakên piyambak sinabdan angêngkoki, liripun angakên
wawakiling pangeran, lairipun kakiwakakên ing batin têlênging panggalih. Mila
pralambangipun sarêng dumugi papangkataning para kawulaning ratu, liwa
punika kadamêl pangajêng. Têngên punika kaangge sor-soran, dados wantahipun
inggil kiwa kaliyan têngên, kados makatên purwaning cariyos ing kina.
8. Ngilmi kebaran ingkang kaping wolung angkatan dipuneastani
pambukaning kikayati.
Têgêsipun wawêdharaning êmpan papan, tuwin patrap tumraping pati
urip. Sarta ananing bêgya cilakaning jasad sadaya, [162]kadosta:
ingkang tinêbungakên mapan papan punika sarengating imam ingkang
andadosakkên batal karaming lalampahan ing agêsang, upami cara
anêrak cara punika karam, makatên malih nadyan kalabêtan karam
anggêr angêngkoki karamipun punika dados kalal, liripun makatên: cara
anêrak cara wau saengga pamanthênging panduka kita mangidul, wasana
dados mangalèr, punika ing atasing kajat jati wisesa botên kenging, têmah
dados karamipun, dene karam angêngkoki punika makatên: kadosta niyat
awon nanging èngêt dhatêng ing kasaenan, têmah dados kalalipun, awit
katêmbungakên budyarja,têgêsipun budi rahayu, inggih punika tiyang
sumêrêp dhatêng pangeranipun. Dene patrap tumraping pati urip punika
kadosta badhe nganci-[163]k ing jaman sakaratil maot taksih gadhah
kaèngêtan panataning agêsang, punika kenging sinêbut ngalimun ashari,
têgêsipun badhe manggih ganjaran padhanging budi, dene tumraping pati
wau saupami tiyang pêjah sarta sampun linuruban, mangka pajalêranipun
tangi, punika sinêbut mukti ajali, têgêsipun anandhakakên manawitaksih
dèrèng dumugi ing kajatènipun. Ing ngriku manawi kukumipun winastan
sêndhêt, tuwin tinarka taksih mandhêg tumolih, ananging sajatosipun
ingkang makatên punika malah utamining pati, awit nêdahakên bilih
badhe ramatullah, mila ingkang sampun mangartos lajêng kacucupa, yakti
Page 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
taksih mêdal kamanipun, inggih punika kajat jati wisesa anggènipun
nêtêpi wawênangipun, mila ingkang sudi nucup wau insya Allah lajêng
pinaringan ilham sa-[164]kajatipun, utawi antuk wahyuning Pangeran
Kang Agung. Dene ingkang dipunbasakakên kaananing bêgya cilaka
punika makatên:
Kadosta: bêgja ingkang kenging dipungayuh kaliyan dhawahing
cilaka ingkang botên kanyanan, ingkang makatên wau, ing sajatosipun
inggih mêdal saking budi kita ingkang pancèn oslah, têgêsipun nyimpang
ingalêrês, ananing samantên punika inggih sintên tiyangipun ingkang
badhe uninga kêclaping budi dumadining lêrês lêpat.
Mila salêbêting kita taksih kinadarakên wontên ing kaanan alam donys,
sampun sok angumbar sanggup dhatêng pawèstri, inggih punika tungtunanipun
tiyang kacukulan budi tan abad, awit dunungipun dados kalih pasêbutan:
1. Salêbêtipun dèrèng kalêksanan ingkang dados kasagahanipun punika
taksih adamêl gumatung-[165]ing panggalih, saupami ngantos lami
tuwin botên sagêd andugèni, yakti angingsêtakên wiwaraning kajat
jati wisesa, ing ngriku karsaning pangeran anuwuhakên sangsara,
ngrangsang-ngrangsang tuna, gayuh-gayuh luput, pêpêtêng imam
badhe mijèni pakarti ingkang botên lêrês dados sangsaya wimbuh ing
dosanipun, inggih punika ingkang sinêbut cilaka tan wruh margining
snagsara.
2. Ingkang kaping kalih, saupami sagêd nglêksanani kasagahanipun kita
lajêng anuruti pikajêng ingkang lamgkung saking marwat, wusananing
cipta kaliyan budi sanubari kasirêp dening hawa, mangka hawaning
sanggama punika tigang prakawis ingkang parlu kemawon .
1.) Hawaning karsa
2.) Hawaning nêpsu
3.) Hawaning ngushar.
Inggih punika karkating rahsa kaliyan roh, kumpul dados satunggal
anglimpu-[166]ti wiwara tama, inggih punika wahyaning kajat jati wisesa
ingkang dhatêng budi, utawi dhatêng manah, lajêng tumuruh dhatêng karkat,
inggih punika manawi kirang santosa badhe amewahakên harsini yuta, têgêsipun
toya ijêm ingkang dumunung ampêru, wasana dados lumubèr sakalairing parabot
kita ing lêbêt, têmah sangsaya mêpêti ing wiwara udaya, liripun makatên:
Lampahing êrah sêndhêt, lampahing toya bayu sêrêt, lampahing sungsum
kêkêt, lampahing napas sêrêt, sami badhe anuwuhakên sasakit sadaya, inggih
punika laladaning kiyamating jasad, utawi malekat kiraman ambabar
prabawanipun, mila ing lalampahan makatên punika ingkang sampun
kalampahan manawi kirang èngêt kasandhangan sakit barah.
9. [167]Ngilmi kebaran ingkang kaping sangang angkatan, dipunwastani
pambukaning kadarniyah. Têgêsipun sakathahing para sêdya kita ing laor
batinipun, sarta ingkang andunungakên tuturutaning lalampahan ing
salêrêsipun, ananging pasêbutan sangan prakawis wau, sajatosipu amung
mêndhêt saking riwayatipun ibu Hawa, nalika paring cipta sasmita
Page 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dhatêng Kangjêng Nabi Sakil, kala badhe kaangkatakên dados Ratu ing
umat Mêsir, mawi kawisik dening Ibu Hawa makatên :
Roh Sakil angawruhana kang dadi kaduryataning dumadi iku saka
panambat. Têgêse sapa nyêbut kita ing sabêndinane mangkana:
sangkaning lara sapanunggalane iku Allah kang angganjar, awite
kita dosa, ingkang dèn basakake Allah iku bapa, ananging waluya
saka biyung.
Marma yèn kita sandhang lêlara anyambata biyung, awit biyung
minangka dhukun upama-[168]ne lara gêdhe bangêt lan amung sawatara bae,
yakti bisa nirmala waluya jati, awit pp#ring sagung mêmala kang asal saka bapa,
iku biyung kang kang mêsthi bisa ambirat, dene ananing sot, utawa basa kang
saru-saru iku asal saka biyung, pêpêre saka bapa kang anampurnakake, marmane
kita kang eling aja wani marang bapa biyung. Sayid Sakil amituhu lajêng
mangkat ing ngriku awitipun wontên tiyang sapariki manawi nandhang sasakit
tamtu nyêbut atho biyung, manawi sansara tamtu nyêbut Allah nyuwun ngapuram
têmah kalantur dumugi sapunika.
Mênggah wawangsitane ngilmi kebaran ingkang sangang angkatan
punika wau amung dudunungan para pangèsthi ing lair batin punika makatên:
1. Ingkang rumiyin kadariyah batin, inggih pupuntoning panggalih ingkang
sangêt. Sayêkti anggadhai rumaos ingkang garantês, jalaran pa-
[169]ngèsthi samantên punika wawênganing sir dumunung wotên ati
pangasih, mila mawi kadunungan kumêsar, awit saking karkat kirang
jêmbar papaning panggraita, ananging tamtu mêlêng ingkang dipun
anjas, ing ngriku saupami sagêd kasêmadan kaliyan tekadipun mêsthi
trusing cipta sagêd anumusi pangangkah kita, tandhanuipun manawi
tiyang kasakitan manahipun mangka sagêd mêlêng anêdha wawalês,
punika ingkang sampun kanyatan inggih lajêng kalêksanan, têgêsipun
ingkang damêl sakiting manah wau, dumadakaqn kawalêsan
dipunsakitakên ing liyan. Ingkang makatên wau amung saking sangêt
kumitir ing batos, dados anuwuhakên wawênanging kajat jati wisesa, mila
kaèngêtan sampun sok anyakitakên manah ing tiyang tanpa karana, sikara
tanpa dosa, dados mindhak sinêbut damêl siasating sasami-sami. Ingkang
makatên punika manawi tiyang ngilmi [170] botên kenging kaangge
lalampahanipun.
2. Ingkang kaping kalih, kadariyah lair punika têgêsipun kukum. Ananging
wontêninpun pranatan makatên wau amung sarêng dumugi Kangjêng
Nabi Musa kemawon sapariki lêstantun, kadosta:
Tiyang amêjahi tiyang, punika hukumipun inggih pinêjahan
gêntos, ananging saking wawênanging parentah nagari. Dados
sinêbut wawalêsan kemawon. Ngiwat gêntoskaiwat, nyolong
gêntos cinolong, sarta mawi dipun gancungi paukuman
samurwatipun, kapirit saking kandêl tipasing prakawis, sarêng
dumugi Kangjêng Sultan Nabi Dawud pêpêring paukuman
sawatawis, awit mawi kaparik sasakawitipun wontên prakawis
wau, dene yèn sampun yakti inggih katêtêpakên ing sadasanipun,
tinêksa saking paukumaning nagari.
Page 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Ananging kêdah mê-[171]dal saking pangawasaning ratu, têgêsipun
pangadilan taksih wontên ing ngastaning Kangjêng Nabi Dawud piyambak.
Tumindakipun samantên punika kintên amung 5 taun, dumugi nêm taun, lajêng
santun pranatan, amung kakêngèn ing kukum molah kemawon. Têgêsipun
Kangjêng Nabi Dawud sarêng sampun wiwit anyandhak raosing ngilmi makripat,
sadaya pranataning nagari lajêng kabêbahakên ing mapatih tuwin para ingkang
angawasaning paparentahan, nanging wantuning botên tinimbangan karsaning
ratu saèstunipun inggih lajêng gêndho.
Amangsuli pamanggihipun Kngjêng Nabi Dawud wau, sarêng mêntas
ambabar panganggitipun Kitab Jabur lajêng kagungan panggalih ingkang
sumèlèh. Liripun ing salêbêting Kitab Jabur wontên raos ingkang kapanggih
pipingilaning ngilmi makripat, kathaipun amung nêm prakawis kados-[172]a ing
ngandhap punika jarwaning pasêbutanipun.
1. Dipunwastani kudrat kapiyat, têgêsipun sajatining dat ingkang anyamadi
dhatêng sipat, kadosta: panêtêsing osik ambabar prabawa wawantahan
punika upamenipun amastani sagêd nêtês sapangucap. Pancèn wujud sato
kapêndhêm, sarêng sinabdan pitik iwèn punang sato sirna têtêp
katindhihan sabda têmah nyata pitik iwèn ingkang katingalan wau.
2. Dipunwastani kapiyaturmi, têgêsipun pikantuk ing dat ingkang ambabar
wisesaning kajat jati, têmah sagêd angewahakên dunung saluguipun,
kadosta: upami lêt sagantên wukir, sagêd ambatang panggenaning paned,
punapadene sagêd amêndhêt barang sirna mancuk sawujud, punika
kapinêlêng sangêt pangudining panmggalihipun Kangjêng Nabi Dawud
wau.
3. Dipunwastani kapiyat marmah, têgêsipun bangsa-[173]ning anyorog
wawênang ingkang saking kawasaning badan sakalir. Ananging saengga
taksih golonganing taklek, utawi kakaranganipun ing ngilmi gêndam.
4. Dipunwastani kapiyatul arsi, têgêsipun paedah ingkang bangsa kaèlèkan.
5. Winastan kapiyatyi, têgêsipun paedah ingkang tumrap dhtaêng sasandhan
tiyan jasad.
6. Dipunbasakakên kapiyat maemi, têgêsipun patrap ingkang amaedahi
dhatêng badan sakulawarga, inggih punika tatarikan ingkang dhatêng
sadhèrèk ingkang lair sarêng sadintên saking margaina, tuwin ingkang
botên mêdal saking margaina, inggih punika amèt waênanging mamêti,
sapanunggilanipun, ananging sadaya wau botên susah kapratelakkên
satunggal-tunggaling aptrap, awit mèh nunggil misah kemawon kaliyan
ingkang sampun sami kasêbut ing ngajêng-ngajêng sadaya.
[174]Ing mangke amratelakakên babarakaning dat mutlak kang kadim ajali
abadi, paedahipun anguningani ingkang dados jalaraning sipat mawi
kasandhangan lêpasing budi, tuwin sagêd sumêrêp pakarti ning anandhang
sasakit, kados ing ngandhap punika papangkatanipun satunggal-tunggal.
1. Ingkang rumiyin dat kaliyan khayu, punika wiwara satunggal
dipunwastani bayu wara, têgêsipun margi toya marta, ingkang maradini
dhatêng sakathahing dat. Ananganing asaling toya saking dat kang
langgêng. Pusêripun wontên khayu, dados ingkang anggêsangi paraboting
Page 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
jasad wau amung khayu, mila kayu sinêbut urip. Jalaran panguripaning
sagung paraboting sipat, manawi kasungsanging toya udrasa lajêng
kandadosakên sa-[175]sakit ingkang dhatêng sirah, inggih punika manwi
kirang sêsêrêpan lajêng dipunwastani encok, sanadyan saênggèn-ênggèn
dununging sasakit èncok wau sayêkti amung anut sakèndêling toya udrasa
wau, upami sawêg dumugi ing têpak, ingkang katrapan èncok inggih
têpak, upami sawêg dumugi ing suku inggih sakit suku.
2. Ingkang kaping kalih nur, gagandhènganipun kaliyan sir, dadosipun
wiwara satunggal, mila sir lajêng sahgêd anuwuhakên kalêpasaning budi
jalaran saking prabaning nur, têgêsipun kados rotan prabawaning cahya
wau dados sagêd anggadhahi cipta, graita sapanunggilanipun ingkang
bangsa cahya, magka sungsang balik lampahipun yakti andadosakên
awrat kaku ring sarira, dene têgêsi-[176]pun awrat awit angèndêlakên
lampah ing êrah, sumarambahaipun amung dhatêng sungsum kemawon,
mila sarira kita mnawi raos saengga kaku, inggih saking botên sagêd
mêdalakên karingêt, wusananipun cêpak lajêng dados jalaraning sasakit
tosan, mila ingkang makatên wau kêdah awas sarta priyatna ing
pangartinipun, kêdah patitis ing pamatrapipun, liripun inggih sanadtyan
sampun sagêd amêngku awal akhiring alam, sayêktinipun botên kenging
anilar padataning sarengat, têgêsipun manawi kita kataman antaraning
sasakit ingkang makatên wau, inggih nyinggah asadhe dhaharan ingkang
kêcut, sarta ingkang lêgi, sarta ingusadanana punapa datanipun.
Anêtêpan kados sarengatipun Kangjêng Nabi Muhammad Rasulullah,
dados asgêd arang sasakit makatên wau.
3. [177]Ingkang kaping tiga, gagandhènganipun raha punika kaliyan roh,
awit sami asaling toya sadaya, ananging ugi kalimputan tirta marta
ingkang saking kayu punika, mila ingkang mangartio patraping
lalampahaning toya tigang prakawis punika, asring sagêd amastani badhe
dumadining roh wau, awit ing sajatosipun agêsang punika sanadyan
sawêg karkate mawon yakti sumêrêp manawi roh badhe dados, mila
panitikaning roh ingkang badhe dados punika makatên kaèngêtan.
1.) Roh sadèrèngipun dhumawah ingkang tamtu mawa ganda minging
saengga sêkar mayang, roh rahsa khayu, sampun dados satunggal,
dados mawi mratandhani susondarum,inggih punika roh ilapi sampun
mapan wontên wiwara tama, badhe tumurun dhatêng johar a-
[178]wal ing kaananipun, dados tinmbungakên ing alam insane kamil
malih.
Mênggah pasêbutan ing nginggil punika sadaya, pema ingkang sagêd
kaèngêtan papangkataning roh ilapi sapanunggilanipun, têgêsipun manawi kita
badhe kagungan karsa dhatêng garwa, mawi kawiwitan duduhun, liripun liripun
amucuki tênaga amrih tinimbangan kajat kita wau, manawi sampun kawistara
carêming panggalih dados satunggal, ing ngriku kita ananggapana bau kering
manwi wontên antaraning ganda ngambar kadi sêkar mayang. Enggal kita
amatrapakên kasunyataning sagama, ingkang sampun lalampahan saking
pangandikaning para wqali, sagêd anuwuhakên wiji sajati tur kenging
ginadhang-gadhang saking karsa kita satuhuipun, sanadyan jalêr tuwin èstri
sayêkti dados prayogi.
Page 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
4. [179]Ingkang kaping kaping sakawan anêdahakên dununging budi
kaliyan akal, mila kaèngêtan wahananing kayu punika manawi kasirêp
saking purbaning nur, punika sinêbut akal, manawi nur kaliyan kayu
kasregan hawaning nêpsu dados lajêng sinêbut budi, manawi kawimbuhan
karkating cipta maya, dados lajêng winastan budi sanubari, utawi ati
sanubari.
Mênggah tumuwuhing budi ingkang makatên punika saking katuju ing wantu,
têgêsipun kasênbadan ing saniskara, dhasar karsa dhatêng tataning ngilmi
kasunyata, sayêkti siyang dalu mintir pamnaggihipun, bêbasan sawêg sare
anggêr sarèh sarekadayaning budi saèstu sagêd anata-nata piyambak. Inggih
punika ingkang dipunwastani pêpaking imam, santosaning budi dadining
pangarti, sadaya wau ugi saking pangayam-ayaming malih.
5. [180]Ingkang kaping gangsal, anêdahakên dununging pasêbutan ingkang
nama badan kaliyan jasad, sanadyan satunggal garbaning nama,
ananging wontên pêperanganipun piyambak-piyambak, kados makatên
jarwanipun.
1.) Badan, têgêsipun sipat mujud janggêrênging manungsa punika.
2.) Mila sinêbut jasad, têgêsipun wawêngkon utawi kurungan, aanging
ugi nama badan sadaya, manawi tinrapakên saking ngilminipun
makatên ingkang sinêbut jasad punika badan ing lêbêt, têgêsipun sipat
ingkang taksih tumut tatarikan kaliyan dat sapanunggilanipun, malah
taksih kalêbêt papangkataning dat sadaya wau, sarêng badan amung
sawantahing kawujudipun punika. Mila manawi kala ing kinadupugi
sapunika, ananging badan ka-[181]unungan tan sana, tuwin
kasudibyan kanuraga gan sapuninggilanipun bangsa sakti
amandraguna, punika saking kalimputan pangawasaning jasad,
manawi badan botên kadunungan wawênang, awit botên sagêd tarik-
tinarik tuwin katuruhan wisesaning dat sapanunggilanmipun, yakti
angamungakên margêgêgipun kemawon.
Mênggah wawantahipun ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya,
kawan prakawis, kados ing ngandhap punika.
1. Daging bayu ingkang parêg tuwin anèmpèl babalung utawi sasêla-sêla
gêgêlitaning balung utawi ros, punika taksih kalêbêt jasad sadaya.
2. Daging bayu ingkang mawa kothot tuwin uwat-uwating daging ingkang
mimbuhi kuwat sarosaning bayu inggih taksih nama [182] kêncêng, utawi
koyor, kisi, kothot sapanunggilanipun punika inggih jasad sadaya.
3. Manawi ingkang sinêbut badan, sayêkti katawis ilap-ilaping daging.
Warnènipun inggih beda kaliyan jasad, radi wontên kandêlipun jasad
sawatawis, dene papangakatanipun amung kalih sob, abrit kaliyan abrit
asmu biru.
4. Kulit, utawi kulit ayam, inggih punika ingkang sinêbut wacucal,
pakartinipun amung kanagge lalapising daging tipis galih ilap punika,
sadaya inggih nama anteroning daging badan wau botên gadhah
kakiyatan, anggènipun gadhah kêncêng wau amung katarik saking
kêkêring wacucaling badan wau, mila ingkang sami katrapan sasakit
Page 66
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
bangsaning rah sapanunggilanpun pu-[183]nika inggih amung dumunung
ing badan, mila manawi badhe nandha pipilahaning jasad kaliyan ban
inggih saking wêdaling êrah kados makatên warnanipun:
- Kulit rankêp kalih, manawi pêcah êrahipun pêthak kados toya lêri.
- Manawi êrah ing daging badan ingkang jawi, punika abrit manterah
asmu jambon.
- Êrah ing badan daging wêkasan, punika warninipun abrit sêpuh asmu
cêmêng, sarta mawa ganda arum.
- Manawi daging ing jasad, ingkang nomêr satunggal punika abrit ênèm
asmu jêne
- Manawi daging ing jasad ingkang wêkasan punika jêna asmu pêthak,
dangu-dangu malah dados toya wêning, sarta mawa sugandarum,
inggih punika nandhakaên taksih tumut saulahing dat kang sajatining
atunggal.
Mila ebahipun amung kumêdut utawi kêkêtêg kemawon, inggih punika
nandhakakên manawi taksih dados warananing dat sajati, sarta botên kenging
papasang sarasa lamènipun dene manawi badhe katrapan sasakit tumuluh ing
êrah taksih malik margi ingkang lêrês, mila manawi tiyang jalêr nandhang
sasakit anbi, punika êrahipun mêdal saking jubur.
Manawi tiyang èstri katamtokakên sabên wulan nandhang sasakit jasad,
medaling êrah dhatêng pawêstran, inggih punika ingkang dipunwasatani tarab,
manawi mampêt yakti kasêsêp hawaning roh kang badhe dumadi wau mêpêti
margi, dados wawrat, manawi botên kapêpêtan roh lajêng sinêbut busung.
Mangka nyimpang saking kalih pasêbutan punika lajêng winastan luwal sing
gêtih.
[185]Anjawi saking pasêbutan ing nginggil sadaya wau, ing mangke
wontên malih gagayutaning nama sumêsêl ingkang kados ing nginggil punika
sadaya, pratelanipun amung pitung prakawis, makatên jarwanipun:
1. Wontên dadagingan dunungipun anyêla pepedaning tarik jilan
maripat, punika dipunwastani dammar salêh. Têgêsipun padhanging
panyipta, dumunung wontên cêptianing tingangal, inggih punika
pakèndêlaning cipta ingkang dhatêng panduluning manungsa, tumrap
ing liyan.
2. Wontên daging sumêsêl cêpitaning utêg utawi uwang sasaminipun,
punika winastan murta, têgêsipun andhêg-andhêging uruh ingkang
saking utêg wau, daging kalih pangkat punika êrahipun biru asmu
jêna, inggih punika sajatosipun panggenaning sasakit ingkang
manjing sirah tuwin tarinjilan netra.
3. [186]Amratelakakên daging tumrap gêgêlitaning jangka, utawi
uwang, punika winastan as-asmah, têgêsipun daging pangangsa,
inggih punika ingkang anarik dhatêng kukuwataning para têdha, mila
ing malik nadhang sasakit sinêbut pancingên, utawi panggêl, dene
wujuding êrah cêmêng pating paringkêl.
4. Ingkang kaping sakawan, wontên daging dumunung tênggak
sanginggiling jaja. Punika winastan asta harah, têgêsipun katarik ing
Page 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
ampêru, ingkang asring mêpêti napas, sapanunggilanipun, sarta
ingkang amijèni us-us, têgêsipun pamuntaping buwaya tuwin
pangraping cacing sasaminipun, mila wujuding êrah abrit asmu ijêm.
5. [187]Ingkang kaping gangsal, wontên daging manjing sêlaning
parabot ing lêbêt sapanunggilanipun, inggih punika winastan
tarjuman, têgêsipun panggenaning sasakit ingkang dumungung ing
jaja tuwin ing jantung. Sapanunggilanipun.
6. Ingkang kaping nênêm, wontên malih daging sumêsêl sêlaning
puyuhan, utawi tumèmpèl ing usus sapanunggilanipu, punika winastan
barmut, têgêsipun daging rarambaning bangsa gêgrêmêtan.
7. Ingkang kaping pitu, amratelakakên daging tumêmpêl ing oyot, liring
oyot wau gagathukaning ros, punika dipunwastani barmandan.
Têgêsipun margining sasakit ingkang sinêbut dhêngên sasaminipun,
utawi tatalêring sêpuh anèm, antaraning umur manjing cêlakipun,
sadaya katitik sa-[188]king gêgêlitaning daging ingkang barung
kaliyan otot agêng ing oyot wau. Manawi anuju nandhang sasakit
mawi gadhah raoos kêmêng kêju, sapanunguuilanipun , punika adat
ingkang sampun kalampahan malah panjang umuripun, manawi
gadhah raos kêdêr angacêcêng tuwin gumringging, punika anêdahkên
cêlakumuripun.
Ananging samantên punika amung kairib saking sarengatipun, sanadyan
bataling babatangan inggih saking madarti usadanipun, sarta prayitna nalar
ingkang dados sagêd sasakit wau kasinggahana, karana ingkang kasêbutan ing
ngilminipun ukur makatên punika amung dumunung ewah gingsiring kawula.
Dados kajatèning têmbung cêlak panjang wau amung tatarikan saking mahaning
cipta maya rasa ruwedha kita pribadi, dene manawi têrangi-[189]pun babar
pisan katata kados wiwiridaning betal mukhadam. Têgêsipun witing ngilmi
makripat dalah parabotipun satunggal-tunggal, kala wawêjanganipun para Nabi
kados makatên jarwanipun:
Wujuding
satunggal-
tunggal
Namanipun dalah gancaring sêbutan
Winastan langgêng, tuwin sangkan paraning tanajul akir,
têgêsipun ing kaanan sajati.
Inggih punika wujuding betal mukadam, têgêsipun
padhokaning pêjah gêsang utawi wawatoning samukawis
ingkang dados baboning kasunyatan.
Winastan alip muptalanaglimunwakit, dumunung sêla-
sêlaning antara ing alam awal akir.
Winastan pajar sidik, akaliyan nukat gaib, wujudipun abrit
buwêng jêne.
Sinêbut gunung tursina, inggih punika inung.
Page 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
[190]Inggih punika sajatining utusan.
Winastan daim, utawi ingkang sinêbut malekat sakawan.
Winastan nur Mukamad, têgêsipun cahya.
Tajali ing dat mutlak kang kadim ajali abadi.
Sinêbut puputran gadhing.
Nama wahyu jali.
Nganasir kawan prakawis, nunggil kaananing malekat
sadaya, warni cêmêng, abrit, jêne, pêthak.
Sipating nêpsu kawan prakawis.
Inggih punika ingkang sinêbut cahya abra marakata,
kajatènipun asal sarta pakumpulaning nêpsu kawan
prakawis mawa dahana.
Inggih punika ingkang binasakakên cahya maya-maya
kang ebati.
Isthanipun pasêbutan lawang sela matangkêp, utawi wot
siratal mustakim
[191]Isthaning pasêbutan ingkang binasakakên masjidil
karam, utawi watu gumantung tanpa cathèl wantahipun
jantung.
Inggih punika ingkang dipunwastani aksara awisan, utawi
kêkêran sajati.
Ingkang makatên punika winastan was uwas, têgêsipun
amujudakên sipating maras ingkang dumunung ngadhap
ina.
Inggih punika ingkang sinêbut wujuding rokhani.
Punika ingkang winastan sanubari, têgêsipun pajêg utawi
tulus.
Ingkang sinêbut lintang johar.
Punika ingkang sinêbut sagara rante.
Ingkang sinêbut sajatining rahsa.
Inggih punika ingkang winastan sulbi.
Ingkang binasakakên sagara layaran, utawi paparanging
ngapanung.
Page 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Winastan asaling nêpsu luamah warnanipun cêmêng
watakipun adamêl pêpêtênging manah budi
sapanunggilanipun.
Sinêbut nêpsu amarah wujudipun abrit abra marakata,
watêkipun anggadhahi angkara hawa murka.
Dipun sêbut nêpsu supiyah warnanipun jêne watêkipun
anuntuni pakarti kang tan yukti, pêpenginan sasaminipun.
Winastan asaling nêpsu mutmainah warnanipun pêthak,
watêkipun amamarang barang rèh kang tan prayogi.
Mênggah ingkang kawujudakên warni makatên punika
winastan cakra panggilingan. Inggih punika awal akhir,
sarta anêdahakên panjing suruping pati, têgêsipun
lungane lawan tumêkaning kaanan dunya lawan
akeratipun.
[193]Mênggah pasêbutan utawi kawujudakên ingkang makatên punika
kula sadarmi nurun sungging rèhning kawontênanipun ingkang makatên punika
saking akalipun para guru Rusul asal saking santri ingkang sampun angakên
lêpas saha punjul ing ngilminipun, dados kula pakèwêd manawi angewahana
pakarti ingkang samantên wau, ing atasipun kawula sayêkti botên wajib
amiyagah sakaliring pangawikan sasamining manungsa, dêstun amung atur
pemut sawatawis, inggih bok manawi têmên sarta gathuk ing panggalih kula
sakalangkung jumurung rèhning sampun mupakat sarta sampun sami kang
gedening kuru gunging guru dhusun sakathahing santri rusul ingkang kajijiman
tuwin kawiridakên dhatêng para mudira. Botên langkung saking atur pamrayogi
kula inggih amung kaagêma pêpak-pêpak ing kawruh kemawon. [194] Ing
atasipun pangawikan mangka pancèn dhasar sampun mupakat. Mila inggih
amung nyumanggakakên anggêr botên angingsêtakên kasunyataning kajat jati
wisesanipun piyambak, têgêsipun amanggih ingkang sam,pun kapanggih
kajatènipun, sakur manawi sami sagêd anggathukakên, bok manawi badhe
anambahi padhanging cipta maya. Dados angindhakaên padhang dhatêng
pangawikan dununging kajatèning agêsang. Amung manawi dèrèng sagêd
amimbuhakên kemawon luhung kalêbêtêna ing batin kita, supados botên
anyanyaruk lêbu, têgêsipun malah amêmêtêng ing panggalihipun piyambak-
piyambak, makatên malih mila kyai Mukamad sirullah dèrèng sagêd
anjarwakakên saking badhe nusuhakê-[195]n panunggilanipun ingkang makatên
punika. Jalaran inggih pancèn taksih kathah panunggilanipun, malah katata
kados isthaning titiyang wuda, lajêng kacirèn prênah-prênahipun satunggal-
tunggal, ugi kados ingkang sampun kadhapur-dhapur ing ngajêng wau,
ingnngriku saupami kapratelakakên sadaya, saèstu badhe wontên tuwuhing
ngapanca kara, têgêsipun tênêrêngan rêbat unggul rêbat putus, utawi rêbat
patitisding pangarti nyata, ananging ugi sampun katandha ing jaman mangkya
sabên babayi sawêg sagêd nêdha dolas raraosanipun ingih ngilmi mangsa
susualakah.
Page 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Mila aturipun kyai Mukamad sirullah, sadaya ingkang marsudi kawruh
punika, sampun anilar kaprayitnan. [196] angatos-ataos ing wiraos saparluning
kawruh ingkang satuhunipun. Liring prayitna wau ingkang sagêd prênah êmpan
papaning pangandika, supados botên kasaluru ing kawruh nyata.
Mênggah atur pêpèngêt kula dhatêng para amarsudi ngilmi ingkang
klalêbêt asmanurakim. Têgêsipun ingkang sampun kathah pangartining kajat
sajati wau, punika anêtêan kados pangandikanipun Kangjêng Nabvi Mukhamad
gangsal prakawis makatên jarwanipun.
Mungguh sajatine sing sapa sumêdya minding kawidadaning badan, iya
iku saksat angwruhi marang wawênange dhewe.
1. Kang dhingin wawênang ingkang wiwitan iku dèn arani wakis maniyah,
têgêse anuwèkake sarengat ing dalêm sauripe, Manawa tinêmênan ing
pangèsthi ing budi sanubari, amêsthi antuk pangapuraning Pange-
[197]ran têlung prakara: 1.) sêgêr kuwarasan, 2.) padhang atine. 3.)
sampurna karêpe.
2. Ingkang kaping pindho, wawênanging jasad, dèn arani akyansabitah,
iyaiku sajatine anu lenake pngandika kang sanyata, sing sapa angawikani
kaananing kajat jati wisesa amêsthi antuk pari mirmaning Pangeran
kanga gung, tinata ing dalêm kabatinaning sapatang prakara: 1.) pari
mirma batin iku saciptane tumêka, 2.) sasêdyane hasa, 3.) sakajate nyata,
4.) sanadyan kang ora sinêdya iya uga ana, sarta amimbuhi berawak,
têgêse santosaning balung otot, kukuwatan ingkang anyamadi marang
badan kita sauripe.
3. Kang kaping têlu wawênanging budi iku dèn arani akal miniyah, têgêse
pamusus ing dalêm batin iku dèn arani [198]kudam asalaman, têgêse
sanyata ing kabatinane, mangkono manèh Manawa pancèn angantêpi
marang pakarti yukti mau, sanadyan tumêka ning kaana sajati ing
atunggal, kita antuk panarima patang prakara, têgêse katarima ing pati.
1.) Kang dhingin sampurnaning bantala murka, têgêse sanadyan
kapêndhêm ing lêmah bisa prênah marang bumi kang mulya.
2.) Kaping pindho, sampurnaning maruta manda, têgêse sanadyan anèng
karamtullah Kang amaha suci aparing sisilir ing samirana, ora ana
barat bancananing kaanan kita.
3.) Kaping têlu, sampurnaning agni, têgêse ora darbe rasa kang panas
sumuk.
4.) Ingkang kaping pat sampurnaning tirta kurusa, têgêse ora katuruhan
banyu êmbês-êmbêsing kiwa têngêning kaluwat.
5.) [199]ingkang kaping lima andunungake wawênanging sir lawan nur,
têgêse sing sapa bisa ajêg panggraitane, sêmu sumèh polatane,
padhang sumilak sagung nitya, tanpa angêdhap ing saniskara, iku dèn
arani usalimnah, têgêse kababar bêrkating Pangeran limang prakara:
Page 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
1. Babaran parêging sandhang pangan, 2. Babaran parêging wahyu,
babaran parêg ing karijêkèn, babaran binuka ing ngilmune, 5.
Babaran bakal dadai gugununganing sasama, kang limang prakara
kabèh mau kalêbu ganjaraning jasad. Awit saka bisa nuju wahyaning
wahyu kang sanyata. Têmah tinêtêpake ing kauripane. Ing kono lakune
mung tobata marang date dhewe.
Karana asaaling wawêngan sarta tutumusasning katarima iku saka dat
kita sajati.
[200]Mungguh êmpan-papaning atobat binarung laku iku têlung prakara,
mangkene jarwane:
1. Tobata marang kang wajib anganakake, kayata, sajroning ngaurip
ingkang wêdi sarta mituhu rèh parentah ing bapa biyung kaki nini,
karanane bisa anampurnakake jasad kita yèn katrapan pêpêtêng.
2. Kaping pindho, laku kang utama, lire kayata ptarap ing kauripan
anane lawan lalakone, iku bisa atimbang marang kauripane kang
ajêg.
3. Kang kaping têlu, dèn arani pan nalangsa kita marang uripe, têgêe
nalika misih kinadarake ana ing kaanan alam donya, kita dèn tabêri
amatrapake barang rèhning kauripane, têgêse sasajroning ngaurip
arja kalabêtan panggawe dudu, dadi widada awal akhire.
[201]ingkang kaping lima, dumunungaanning wawênang asal saka
wisesaning dat lawan kayu, iku tumrap ing manungsa kang katarima, dèn arani
antuk ganjaraning Pangeran ing dalêm samakiskarim, têgêse êmpan papaning
kauripan ing salawase, lire sing sapa anuhoni kasantosaning tekad, prasasat
anêmênake kajate kang sajati, sing sapa amardi kajatening dat lawan khayu
saksat angèsthi kasunyatan kang sampurna, utamane nganggo dèn lawani atêtèki
sawatara anggêr ajêg, ing kono mungging Pangeran bakale ora angilangake
lalabêting pakarti satuhune.
Mungguh lakuning lalawnan brata iku amung patang prakara, kang
dhingin kaya lakuning bumi, têgêse dèn bisa ngênêp sakajate. Kaping pindho
lakuning angin, têgêse dèn bisa [202] mintir pangartine, kaya angin-angin
upamane. Kang kaping têlu, kaya lakuning agni, têgêse sajroning kauripan kita
kita dèn bisa sambada lair batine, anggêr ora aminta kang dadi hawaning agni
mau, têgêse gêni iku mung sambadane kang dèn pirit, lawan sajatine sanadyan
panas adhêm ing tibane, iya iku laku kang dèn arani sabênêre ing kahuripan kita.
Kang kaping pate, yèn dhasar wus kawistara kang dadilakuning ngaurip
salawase, ana ing alam donya, iya dèn bisa angirib lakuning banyu, têgêse mili,
ing kono upama katêtêpan lawas antêpaning katêmênan kita. Ing salawase iya iku
dèn arani arsa armah, têgêse banyu kang tumus amartani marang kajat kita ing
Page 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
salawase, iya iku kêna sinêbut masjudi, têgêse saksa-[203]t angêngkoki
kaananing kajat jati wisesa, satuhuning ngatunggal.
Mungguh patrtap patang prakara iku yèn dhasar nyata kang dadi
pangèsthine, sayêkti tinêtêpake ganjaraning Pangeran uga patang prakara
mangkene jarwane :
1. Kang dhingin, manungsa anulad lakuning bumi iku mungging
Pangeran amêngakake wiwara sasanga, ingkang dadi dêdalaning
swarga.
2. Ingkang kaping pindho, manungsa anêtêpi kaya lakuning angin iku,
mungging Pangeran amênagkake wiwara tama, têgêe dêdalan kang
bêcik bakaling lawang swarga.
3. Ingkang kaping têlu, ,manungsa anulat lakuning agni iku, mungging
Pangeran anginêpake wiwaraning narata, ngingis margining swarga.
4. Ingkang kaping pat, manungsa anulat lakuning angin iku, yèn dhasar
mantêp têmên, ing [204] kono mungging Pangeran ambuka wiwara
sangan prakara uga dêdalane swarga sangang bab, kantrhi
angudanakake kharamatullah kang amaha suci sajati, anêtêpake
sakajate, angaksama sadosane.
Marmane kaanan ing alam donya iku kita aywa katilapan apa kang dadi
êmpan papaning abênêr, aja nglirwakake kasunyataning atata, aja weya
pangayam-ayaming kajat jati wisesaning kaanan kita salawase. Manawa wis bisa
angandhang kokondhanganing dumadi, dadi sinêbut gaibin arli, têgêse eloking
kauripanm punjuling kasunyatan, têtêping katêmênan, tekading kajatèning tokit,
iya iku wus angancik laladaning darusalam. Lire wus ginolong lalakoning gaibin,
utawa rohul kudus, têgêse kalêbu [205] purbaning rijalullah gaib, têtêpakên
warana kang agung. Kagolongake lulungidaning Lokihmahpul.
Mênggah pangandikanipun Kanjêng Nabi Mukhamad Rusulullah ingkang
kasêbut ing nginggil punika sadaya, mugi sagêda anampèni ing saparlupun, awit
ing atasing tiyang sampun katitik punika sayêkti patitis, têgêsipun manawi dhasar
têmên-têmên pamanthênging cipta kados botên ada-ada malih. Liripun ing
agêsang wau dipuntêmbungakên gêsang samukawis, dados punapa pakarti tuwin
pangarti inggih sagêda sami gêsang. Mangkamawi warahing Kitab Ngisa,
kasêbut sangang prakawis gêsanging manungsa punika, tinamtu katêtêpan
satunggal-tunggal kados ing ngandhap punika pratelanipun ing ibaratipun:
1. Ingkang rumiyin dipunwastani gêsanging karna, têgêsipun pangrungu,
gêsanging karni, pangrungu tampining talingan saking kiwa têngên,
punika sampun kalih pangkat, lir-[206]ipun ingkang sinêbut
gêsanging karna wau makatên, pangrungu saru kuping têngên,
pangrungu sae talingan kiwa, punika sagêda angumpulakên dados
Page 73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
satunggal kasèlèhakên dhatêng paningal. Ingkang sae pramana,
ingkang awon pranawa, sumarambah dhatêng dat ing dalêm betal
makmur. Pamatrapipun makatên:
“uriping pangrunguningsun kawêngku dening dat, amratandhani
marang panduluningsun, punika patraping panyirêp karna”.
2. Ingkang kaping kalih anêdahakên patrap uriping paningal, netra
têngên pakarti anon bangsaning saru siku dinulu, netra kiwa
anampèni patrap paningal ingkang sae, ing ngriku sagêda angracut
kumpulipun dados satunggal, kasèlèhakên dhatêng grana, makatên
pamatrapipun :
“sajatine wus tan ana katon apa-apa, kabèh-kabèh uriping netra
tumurun maring grananingsun, atkupirhu kaping 3”.
3. [207]Ingkang kaping tiga, andunungakên gêsanging grana, punika
inggih etang kalih malih, dados sawêg tigang angkatan amung sampun
kalêbêt nênêm, jalaran sami rankêp. Dene gêsanging grana punika
saking pangingsêp, têgêsipun panggandaning lèng grana ingkang
têngên kaangge nari patraping sarwa suganda, atampèn dhatêng lèng
ing grana ingkang kiwa, lajêng ngalêmpak dhatêng darusan, inggih
punika wawêngkanganlêgoking grana ngandhap, ingkang katêrah
nama alip ngalimun wakit. Ing ngriku kita anandukêna makatên :
“ing sajatine alip ngalimun wakit iku kanthaning asmanipun, Allahu
Akbar kaping 3”.
4. Ingkang kaping sakawan, dipunwastani gêsanging lesan, inggih
punika pratikêling pangandika ingkang andadosakên saru siku tuwin
lêrês lêpat, mangko sadaya ingkang kasêbut ing nginggil wau dèrèng
sagêd anandukakên maegining ngalêrês, inggih punika botên kenging
sinêbut gêsanging [208] lesan, tandhanipun taksih asring kawijil ing
pangandika saru, mila manawi sagêd angèsthia kajatèning
ngatunggal, têgêsipun salêbêting amancat kaananing akhirat, punika
mêpêta ujar kapalajar, têtêpa pangandika khayu, têgêsipun jatmika,
kanthi matrapêna makatên : “sajatine uriping pangucapingsun wus
salawase, samengko ingsun sèlèhake marang jubur, awit sakaliring
uruh padha lumèrèk ing warana tantra, lajêng nêbut Allahu Akbar
kaping 3”.
5. Ingkang kaping gangsal, andunungakên gêsanging jubur,
pamatrapipun makatên: “Juburiyamah maratani ing kijabullah,
sajatine wus ora ana apa-apa, amung kari ururiyah, sirnane saka
kawasaning tekadingsun, lajêng matrap, an ngama kaping sanga,
dhikir kaping 3, yauk kaping 100.
6. [209] Ingkang kaping nênêm, dumunungan gêsanging Dakar, inggih
punika pajalêran têgêsipun amatrapakên lalampahan ingkang badhe
dipunlaksanani wontên ing kaanan jati, kados makatên patrapipun :
Page 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
“Ing sajatine wus turut asaling kauripaningsun, kang dhingin sèlèh
ing karna marang netra, sèlèh ing netra marang grana, sèlèh ing
grana marang lesan, sèlèh ing lesan marang jubur, sèlèh ing jubur
marang paringsilan,iya marang palanangan.
Wawênanging wiwara kanga gun padha ingsung racut dadi sawiji
dumunung ana manikêm, banjur maring jinêm, banjur maring rahsa. Ing kono
karkating kajat jati wisesa wus anglimputi marang dat kang amaha suci. Ing
sajatine kumpul dadi sawiji, wus mancat kaduryataning kasampurnaningsun, ya
ata mya ngalim kaping tiga. Manawi sampun sagêd turut ma-[210]katên, lajêng
amatrapêna ngilminipun ingkang kangge ing wawêjangan sakawit, têlasing
pamatrap lajêng amumujia : “akyan mukariyah kaping 100”. Dene puji akyan
mukariyah punika makatên: “ya huka, ya huakbar”.
Ing mangke Kyai Agêng Mukhamad sirullah angaturi wawaton
sakawitipun tiyang maguru punika kêdah mawi saksi sakawan, sanadyan tiyang
alit ugi sami kemawon papangkatanipun, manawi awit paguron sapisan, kala
Kangjêng Nabi Adam, manawi badhe mardi murid, sinaksèn malekat sakawan :
1. Jabrail
2. Minkangil
3. Ijrail
4. Ngisrafil
Lajêng amupakatatên dhatêng sasma. Têgêsipun kadang papat, mila sadhèrèk
ingkang sarêng mêdal sami katingal, jalaran kala jamanipu-[211]n Kangjêng
Nabi Adam malekat, tuwin sadhèrèk ingkang lair sarêng sadintên taksih sami
sagêda ngatingal, saksi wolung iji kalêbêt malekat sakawan.
Wawaton paguron duk Kangjêng Nabi Nuh, saksènipun manawi mêjang,
sadasa,
1. Nabi Raples,
2. Nabi Sangip
3. Sayid Markam
4. Sayid Ngunuk
5. Sarip Maskar
6. Sèh Abdul Lakis
7. Sayid Karbah
8. Sayid Marsidik
9. Sayid Makum
10. Sèh Balhum
Sami mupakati ing wawêjanganipun.
Page 75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Wawaton kala Kangjêng Nabi Ibrahim Kalilullah saksinipun manawi
mêjang amung kakalih,
1. Sayidina Iskam
2. Sèh Julmahrib
Kakalih wau kaangge lalahan, têgêsipun wawaton tataringan, lêrês lêpating
pamêjang wau.
[212]Wawaton paguronipun Kangjêng Nabi Musa, mawi saksi para
pandhita, 12 :
1. Pandhita Markam
2. Pandhita Rais
3. Pandhita Nujèn
4. Pandhita Ngusman
5. Pandhita Jamhur
6. Pandhita Wakis
7. Pandhita Tasbèh
8. Pandhita Yusman
9. Pandhita Ngumur
10. Pandhita Kijab
11. Pandhita Yukul
12. Pandhita Asmara
Kalih wêlas iji wau sami kaange wawatoning para murid, sarta sagung
patahenan, miwah saliring pamulangan, sampun kawêngku Pandhita kalih wêlas
punika.
[213]Watoning pamêjangipun Kangjêng Nabi Ngisa, saksènipun kalih
dasa iji :
1. Sèh Mustapa,
2. Sayid Askar,
3. Banesar,
4. Sayid Mustar,
5. Sarip Askut,
6. Sarip Panil,
7. Sayid Amum,
8. Siti Ngamin,
9. Siti Ngajim,
10. Sèh Nujèm,
11. Sarip Ngaji,
12. Sèh Ngajidil Kubra,
13. Sarikus Wajèn,
Page 76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
14. Sèh Mustapa,
15. Siti Suwèni,
16. Sayid Harun,
17. [214] sèh Kudrat,
18. Siti Kiswani,
19. Siti Marsim,
20. Bagendha Ismanap.
Manawi wawatonipun ing Kangjêng Nabi Mukhamad, manawi mêjang
saksinipun wolung iji, winastan saraseyan :
1. Kangjêng Sultan Sayidina Abubakar,
2. Kangjêng Sultan Sayidina Ngusman,
3. Kangjêng Sultan Sayidina Ngumar,
4. Kangjêng Sultan Sayidina Ali.
Saksi pangulu sakawan :
1. Imam Sapingi,
2. Imam Kanapi,
3. Imam Maliki,
4. Imam Kambali.
Sadaya wau sarengatipun Kangjêng Nabi Mukhamad Rasulullah.
[215] Kajawi saking punika, sadaya para paguron ingkang botên sumêrêp
wawatoning sarengat samantên wau, inggih wallohu aklam, kula botên sagêd
ananggung lêrês lêpating pamêjangipun.
Mênggah sasêbutan samantên punika ing atasipun kawruh pipingitan
sarta dèrèng wontên ingkang pêjah wangsulan mbabarakên dados kula amung
nyumanggakakên, katarimah botênipun wontên sariranipun piyambak, amin.
Kula Kyai Agêng Mukhamad Sirullah ing Kêdhungkol, sakidul Kêdhung
Pangantèn.
Paripurnaning panitra tanggal kaping 22 Dukangidah, warsa Alip, angka
1819.
5. Sinopsis
Page 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Penyajian sinopsis pada naskah SKJW memepunyai tujuan yaitu supaya
pembaca lebih mudah membaca dan memahami isi dari naskah SKJW, sebagai
berikut :
Serat Kajat Jati Wisesa ditulis pada masa Kerajaan Pajajaran,
menceritakan tentang Empu Kajat yang senang mengembara, kemudian masuk
agama Islam dan terkenal dengan nama Syah Kajat Jari Wisesa. Beliau berguru
kepada Molana Kajali dari Negara Rum.Ajarannya tentang agama Islam, karena
ketekunannya mempelajari agama Islam, dia mendapat ilham dari Tuhan yaitu
ilmu makrifat. Sumbernya dari Kitab Tasawuf, isinya memberi petunjuk mengenai
ajaran tentang segala niat yang berasal dari diri manusia, seperti di bawah ini:
(halaman 1)
Bab nafsu manusia
1. Kajat budiman
Artinya merupakan petunjuk, niat yang berasal dari imam maksum,
kemudian keberadaan imam tadi berasal dari budi. Budi sanubari tersebut
didasari dari 4 nafsu, sebagai berikut:
1.) Nafsu luamah, menunjukkan pada kehendak jasatnya.
2.) Nafsu amarah, berdasarkan pada niat dari suatu kehendak yang belum
bisa terlaksana sehingga menimbulkan gejolak amarah.
3.) Nafsu supiyah, merupakan nafsu yang berasal dari besarnya keinginan
yang harus terlaksana.
4.) Nafsu mutmainah, berasal dari budi penerima, suatu keadaan hati yang
sudah tenang, dalam segala hal.
Page 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
2. Mahabudi
Artinya bahwa sebagai pokok atau inti dari 4 nafsu tersebut, maksudnya
adalah nafsu harus bisa dikendalikan, saling menyatu, sehingga bisa
mencapai mahabudi.
Jadi untuk mengendalikan hawa nafsu dan budi luamah dengan cara pada
saat malam hari dengan bertafakur kepada Tuhan, menghadap timur, barat
dan duduk memegang lutut, dengan niat yang sungguh-sungguh, untuk
memperoleh petunjuk dari Tuhan, sehingga apa yang kita kehendaki bisa
tercapai.
3. Amarah kiyah
Maksudnya bahwa suatu kehendak yang memberikan kebahagiaan pada
jasad, dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan pada sepertiga malam
hari, dan berpuasa sehari semalam, dengan amalan sebagai berikut: “ya
ataku firhu 4x, ya kabiru ya muta‟al 100x”.
Untuk mengetahui nasehat dari Empu kajat Jati Wisesa sebagai berikut:
“sesungguhnya tidak ada apa-apa kecuali diri pribadi sejati manusia yang
sudah menyatu dengan Tuhan, maka akan sesuai dengan kehendak dari
Tuhan”.
4. Supiyarahmi
Maksudnya nafsu supiyah yang menguasai badan manusia, kemudian
apabila seseorang sudah mempunyai kuasa bisa melaksanakan apa yang
dikehendaki. Semua itu berasal dari Tuhan yang tidak boleh merasa
dirinya sudah melebihi Tuhan.
Page 79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tafsiri merupakan kehendak jiwa yang sejati untuk selalu mengingat
kapada Tuhan. Apabila seseorang yang tidak tulus dengan niatnya maka
tidak bisa terlaksana kehendaknya
(halaman 1-13)
Bab ilmu rahsamaya
Ilmu rahsamaya maerupakan ilmu tentang “rahsa” yang banyak dipakai
oleh para Dewa, tetapi pada jaman sekarang jarang digunakan, kecuali seseorang
tersebut melakukan suatu perilaku yang diterapkan sebagai berikut:
1. Tidak boleh makan sebalum lapar,
2. Tidak boleh melampiaskan nafsu secara sembarangan
3. Tidak boleh mencium bangkai hewan dan manusia,
4. Tidak boleh berkata dusta lahir dan batinnya,
5. Tidak boleh kikir,
6. Apabila belum terlakasana tindakan tersebut, maka hilang ilmunya.
Berikut penerapan panutan ilmu rahsamaya dari para Dewa, anatara lain:
1. Dewa Endra, apabila umatanya meninggal mayatnya dikubur di atas
gunung.
2. Dewa Sambo, apabila meninggal, mayat umatnya diletakkan di hutan.
3. Dewa Brahma, apabila umatnya meninggal, mayatnya dibakar.
4. Dewa Wisnu, apabila umatnya meninggal di hanyutkan di sungai.
5. Dewa Bayu, apabila umatnya meninggal dibuang di hutan.
6. Dewa Kala, apabila umatnya meninggal dimakan oleh jin.
Makna dari beberapa penerapan Dewa tersebut berbeda dengan makna secara
ilmu makrifat. Makna secara makrifat dibedakan dari kata per kata yaitu: kata
Page 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
“yang” adalah Tuhan; “Jawata yoganing ulun” merupakan makhluk ciptaan;
“Hong Ilaheng” merupakan Ya huallah; “Ya nama saha” merupakan hamba
Tuhan; “gunung lawu sap pitu” yaitu langit sap tujuh; dari beberapa kata tersebut
dapat dismpulkan bahwa Tuhan merupakan menguasai bumi, langit dan seisinya.
(halaman 14-20)
Mulai peradaban Islam, menurut Sunan Kalijaga bisa melebihi para wali
yang lain, karena sudah memiliki ilmu yang sempurna dan disebut sebagai
Waliyullah gaib, serta berasal dari keturanan Raja, yaitu bapak darim Jepara dan
ibu dari Majapahit. (halaman 21-22)
Pada Kitab Lohkilmahpul terdapat beberapa ilmu sebagai berikut:
1. Ilmu rahmani, yaitu suatu pengetahuan yang berasal dari hati sanubari
menunjukkan perilaku yang baik.
2. Ilmu tafsir, yaitu penataan kehendak secara nyata, sesuai dengan
keadaanya.
3. Tentang nasehat mutmainah yang artinya hati yang selalu ingat untuk
menerima Kuasa dari Tuhan..
4. Kajatmikaning dat sajati, artinya berserah diri kepada Tuhan.
5. Disebut wawangsitan, yaitu sering dipakai oleh para dukun ramal.
6. Imam santosa, yaitu, anatara lain:
a. Santosaning panyana adalah cerdas dalam pemikiran, seolah-olah
mengetahui sebelum kejadian.
b. Santosaning wara yaitu pengetahuan yang berasal dari mata hati.
c. Santosaning kajat adalah pemikiran yang berasal dari niat yang bisa
terlihat dengan jelas.
Page 81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
d. Santosaning mawaya maksudnya adalah kemampuan roh yang bisa
menuntun pada akal sehingga dapat bermanfaat.
e. Santosa wah mantra yaitu keteguhan hati yang mendorong pemikiran
yang baik.
f. Santosaning tuskara artinya menuntun rahsa sejati .
g. Santosaning surasa yaitu keutamaan rahsa sejati.
(halaman 22-29)
Yang dsebut kajat sejati yaitu terdapat pada betal makmur, betal
mukharam, betal mukhadan, ketiga bab tersebut merupakan kandungan dari kajat
yang sesungguhnya, seperti di bawah ini:
1. Betal makmur, artinya adalah datangnya dzat yang ter;etak di kepala,
dalam Adam pitraullah. Jenis nya ada tiga macam yaitu, magening,
mahani, pangglah jati.
2. Betal mukharam, artinya adalah adanya dzat yang terdapat dalam dada.
Jenisnya ada 3 macam, yaitu jantung, hati dan empedu.
3. Betal mukhadas adalah suatu dzat yang terdapat dalam kelamin.
Dari ketiga hal tersebut yang bisa menunjukkan adanya 4 nafsu berasal dari
kepala dan kelamin yang berpusat pada jantung, hati dan empedu. Apabila dzat
dari empedu menuju ke roh menimbulkan nafsu mutmainah, apabila dzat empedu
menuju ke hasrat menimbulkan nafsu supiyah, apabila dzat dari empedu menuju
ke rahsa menimbulkan nafsu amarah, kemudian dzat empedu hanya berhenti ke
empedu menimbulkan nafsu luamah. Dari beberapa hal tersebut yang digunakan
sebagai pengendali kehidupan manusia adalah hati dan jantung.
(halaman 29-34)
Page 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Hati mempunyai 4 lapisan yang terdapat pada tubuh manusia:
- Hati pramati, pangasih
- Hati moradi.
Maksudnya ketiga lapisan tersebut merupakan sebagai pengendali pikiran
yang dapat menimbulkan nafsu mutmainah.
- Hati juwari, maksudnya lapisan hati yang letaknya hanya terletak pada hal
yang bersifat rahasia, maka disebut sebagai nafsu supiyah.
- Hati kumbaya, maksudnya karena besarnya kehendak hati yang
menyebabkan munculnya nafsu amarah dan luamah.
(halaman 35-36)
Ada beberapa hal yang merupakan sebagai kelengkapan manusia, antara lain:
1. Pada kepala terdapat otak yang bisa mengendalikan pikiran, hati dan
perilaku.
2. Pranawa atau pramana, artinya mata
3. Prawara, artinya hembusan nafas.
4. Piyaraswa, merupakan getaran suara yang terdengar melalui telinga,
5. Wot siratal mustakim, merupakan alat pengucap atau lidah dan
menyebabkan baik bauruknya tingkah laku.
6. Dahganinng nafsu, yaitu merupakan pusatnya hawa nafsu.
7. Rahsa mulyana, yaitu putaran roh sejati yang menuju ke jantung.
8. Rahsa murni, artinya roh yang menuju ke darah, tulang belakang dan
sebagainya.
9. Rahsa waka, maksudnya adalah roh hawani yaitu roh yang menuju ke
tulang, rambut, kuku dan sebagainya.
Page 83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
10. Manirahi, artinya adalah suatu dzat yang tersimpan di suatu tempat yang
merupakan menjadi bakal dari terjadinya janin.
(halaman 34-47)
Pada naskah disebutkan pula bagian anggota tubuh yang secara mutlak
dimiliki oleh manusia, antara lain :
1. Mata, artinya sebagai alat penglihat serta digunakan untuk melihat yang
baik dan sesuai dengan budi, jangan digunakan untuk melihat suatu
kejelekan yang tidak diperbolahkan.
2. Telinga, artinya mengingat, maksudnya bahwa manusia itu tidak hanya
mendengarkan suara dari prang lain melainkan harus bisa mendengarkan
suara dari dzat abadi dan selain mendengarkan juga harus dapat meresapi
suara dalam hati.
3. Hidung, merupakan tampat dari rahsa sejati yang berhubungan dengan
telinga karena mempunyai satu saluran yang sama sahengga sifatnya juga
hampir sama dengan telinga. Tidak boleh mencium hal-hal yang tidak baik
dan mendengarkan tentang hal yang buruk atau bicara kurang sopan.
4. Mulut, yang menjadi dasar dalam hidup adalah lidah sebagai alat pengucap
yang tidsak boleh sembarangan bicara, karena sekali salah dalam bicara
maka akan didengar oleh Tuhan dan dengan kuasa Tuhan akan dilaknat
dan hidupnya juga akan sengsara. Oleh karena itu dalam bicara harus hati-
hati-hati dalam berbicara supaya bisa hidup nyaman, selamat dunia
akhirat.
Page 84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
5. Apngal atau perilaku, berasala dari perilaku seorang laki-laki yang berasal
dari mani dan dari anugrah Tuhan menjadi tempat untuk proses penghasil
sperma yang dapat untuk proses pembuahan ketika berhubungan.
6. Nama, maksudnya bahwa manusia itu harus bisa mengingat namanya
karena nama tersebut merupakan nama Tuhan yang artinya berdiri maka
manusia diharapkan bisa berdiri untuk menjalankan kehidupan.
7. Sarwadi, maksudnya bahwa manusia itu menjadi pusatnya budi yang bisa
menciptakan suatu karya dari pemikirannya, yang berasal dari hati
sanubari.
8. Sifat maksudnya adalah wujud yaitu keberadaan Tuhan maksudnya
bahwa manusia itu tidak boleh bersikap sombong karena keberadaan
seisi alam dunia ini adal semua ciptaan dari Tuhan Yang Maha Suci,
dan manusia wajib untuk mensyukurinya.
9. Nawa maksudnya kehendak yang tidak memikirka apa-apa
(halaman 47-64)
Kajat jati wisesa yang dilaksanakan oleh wali-wali :
1. Sorahing maruta manda, artinya nafas yang teratur.
2. Anpas, adalah sesuatu yang dikehendaki bisa terlaksana.
3. Tan napas adalah menghalangi pandangan mata atau menutup tabir.
4. Wahyaning kajat jati wisesa maksudnya adalah orang yang bisa
mengendalikan nafsu cipta maya.
(halaman 78-83)
Keempat hal tersebut diisyaratkan pada huruf aksara Jawa:
1. , merupakan adanya kehidupan dari panca maya.
Page 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Ha maknanya: adanya kehidupan berasal dari rahsa sejati, na maknanya
menunjukkan rahsanya dzat, ca maknanya menunjukkan asma Tuhan, ra
maknanya menunjukkan akal dan budi, ka menunjukkan suatu keadaan.
Semua itu menunjukkan Dzat Yang Maha Agung.
2. Menunjukkan isbatnya anpas yang diisbatkan dalam bentuk huruf aksara
Jawa .
Da artinya keterangan dzat terletak pada anpas. Ta artinya kehendak anpas.
Sa maknanya kekal / abadi Tuhan bersifat Esa. Wa maknanya jalan atau
pintu kajat jati wisesa. La keterangan suatu tindakan yang harus
dilaksanakan.
3. Tan napas merupakan jalannya rahsa, dapat diisbatkan dengan huruf
aksara Jawa , sebagai berikut maknanya:
Pa maknanya bisa menerapkan suatu tindakan yang bis menjadi keyataan.
Dha maksudya “garbaning tan napas” suatu kehendak yang harus
dilaksanakan dengan baik.Ja maksudnya menunjukkan ketenangan dalam
batin. Ya merupakan gambaran dari dzat atau nur.Nya maknanya
menunjukkan mikrokosmos dan makrokosmos.
4. Nupus menunjukkan suatu keadaan yang sudah mencapai ketenangan pada
jiwa. Dapat diisbatkan sebagai berikut: .
Ma maknanya pramana adalah keadaan dzat yang digunakan untuk melihat
alam dunia. Ga dan Ba maknanya menjadi satu yaitu pada bahasa Arab
“Be” artinya gagal. Tha maknanya ingat dan kuatnya mata hati. Nga
maknanya sebagai pertanda sesuatu yang sudah dianugrahkan, sehingga
bisa mengetahui sesuatu tanpa diajarkan. (halaman 86-96)
Menurut para wali ada 8 hal jalan keselamatan badan:
1. Hati yang ikhlas
2. Menerima apa adanya atau istiqomah
3. Berperilaku yang baik
4. Berperilaku yang jujur
Page 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
5. Waspada
6. Sopan santun
7. Dapat menjaga dan membersihkan diri secara lahir dan batin
8. Siwaya, maksudnya adalah bisa membagi dan menggunakan waktu secara
benar dan tepat untuk ingat kepada Tuhan. (halaman 97-117)
Kajat jati wisesa sebenarnya dapat didigambarkan dengan 7 swara atau 7
aksara swara, seperti di bawah ini :
- (A), maksudnya adalah keesaan Tuhan.
- (E), maksudnya kebenaran
- (I), maknanya sungguh-sungguh
- (O), artinya adalah kosong atau tidak ada apa-apa
- (U), artinya hidup
- (rê), maknanya yaitu ketenangn dalam hati
- (lê), artinya abadi.
(halaman 118-125)
Menurut beberapa hal tersebut kajat jati wisesa terletak pada jiwa yang sudah
mencapai ketenangan hati dan pikiran. Terdapat ajaran dari Nabi Kidzir yang
mengajarkan bahwa apabila ingin mendapat suatu ilmu yang sejati harus bisa
prihatin untuk mencapai ketenengan dalam hati dan cerdas pemikirannya serta
bisa mewujudkan apa yang diharapkan, tetapi apabila mengalami pikiran yang
kosong maka akan mudah dirasuki oleh makhluk gaib. Menurut pendapat
Kangjeng Susuhunan Bonang berpendapat bahwa untuk mendapatkan ilmu yang
sejati dilakaukan dengan cara menguatkan tekad dari hati sanubari, yang
Page 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
digambarkan melalui 7 suara atau 7 aksara Jawa yang telah disebutkan diatas..
Menurut ajaran dari Sunan Kalijaga berpendapat bahwa apabila ingin memperoleh
suatu ilmu yang sejati harus mempunyai kekuatan batin yang bisa menyebabkan
badan menjadi kuat dari segala senjata.
(halaman 126-130)
Dari beberapa hal di atas sesungguhnya berasal dari kuasa dan kehendak
Tuhan Yang Maha Esa, seperti :
1. Dzat sayuka artinya beberapa kajat yang sudah terkumpul menjadi satu,
antara lain khayu, nur sir, rahsa. Sehingga bisa selamat selama-lamanya.
2. Dzat mutlak yang Kadim ajali abadi maknanya adanya dzat yang sejati
yaitu keagungan Tuhan Yang Maha Kekal.
3. Dzat nakis bandi maksudnya dzat yang nyata dari firman Tuhan yang
terdapat pada betal makmur.
4. Adanya suatu kajat yaitu dzat yang sebanarnya turun dari Tuhan, dan
tercentum pada betal mukharam.
5. Dzat tarkiyah maknanya suatu niat yang sungguh-sungguh.
6. Dzat abadi maknanya kajat yang sudah tersurat dari awal sampai akhir
yang terwujud dalam hakikat kajat.
7. Dzat kapiriyah artinya munculnya kajat yang sejati berasal dari hati
sanubari yang terdalam dan berfikiran jernih.
(halaman 130-145)
Sesungguhnya kebenaran ilmu terletak pada kehidupan, kebenaran kehidupoan
terlatak pada kajat, artinya bahwa adanya kajat jati wisesa itu bisa dijelaskan
dengan 9 hal dari cuplikan Kitab Syamsul Ambya, sebagai berikut:
Page 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
1. Cuplikan tentang wisesa dalam baya mortani, maksudnya hati yang
menuju ke budi dan imam.
2. Cuplikan tentang rokhiyah maknanya gambaran pribadi yang suci berasal
dari roh jasmani.
3. Cuplikan tentang pembuka jalan siriyah artinya mewujudkan segala yang
bersifat rahasia (sir).
4. Cuplikan mengenai pembukanya rahsa sejati, maknanya bisa mengetahui
wujud para jin dan bisa berbicara dengan makhluk gaib tersebut.
5. Cuplikan mengenai pembukanya atmayana maksudnya pancaran sinar dari
air bisa meliputi kajat jati wisesa.
6. Cuplikan tentang nganasirahmi maknanya menjelaskan kekuasaan dari 4
hal, antara lain : 4 unsur dalam bumi yaitu tanah, air, udara api.
7. Cuplikan tentang pembukanya iradat artinya adalah sesuatu yang
dijalankan di dunia ini.
8. Cuplikan tentang kikayati artinya adalah menjelaskan tentang waktu dan
tempat mati hidupnya manusia sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
9. Cuplikan mengenai kadarniyah maksudnya bahwa semua niat dari lahir
dan batin yang menunjukkan tindakan yang sebenarnya.
Tandanya ilmu dari cuplikan Kitab tersebut terletak pada kesungguhan lahir dan
batin. (halaman 146-171)
Menurut pendapat Nabi Daud terdalam Kitab Zabur terdapat ilmu tentang
makrifat, sebagai berikut:
1. Kudrat kapiyat adalah dzat yang sebenarnya yang mempengaruhi sifat
kewibawaan.
Page 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
2. Kapiyaturmi adalah perolehan suatu dzat yang menjelaskan wisesanya
kajat jati, sehingga menimbulkan bisa digunakan untuk mengambil barang
yang hilang.
3. Kapiyat marmah artinya adalah berkaitan tentang ilmu hipnotis.
4. Kapyatul arsi maknanya adalah manfaat dari kejelekan.
5. Kapiyat yi artinya manfaat untuk badan.
6. Kapiyat maemi maknanya adalah tindakan yang bermanfaat kepada
sekeluarga.
(halaman 171-188)
Berawalnya ilmu makrifat dan kelengkapannya merupakan beberapa dari
ajaran para Nabi, antara lain :
Wujudnya satu-
persatu
Nama dan penjelasnanya
Yang disebut kekal dan sebagai awal dari kodrat sampai
akhir pada keadaan yang sebenarnya.
Yaitu perwujudan dari betal mukadam, artinya menjadikan
hidup dan mati sebagai pedoman dari kenyataaan.
Disebut alip muptalangalimun wakit, terletak antara dunia
dan akhirat.
Disebut pajar sidik, dan nukat gaib, wujudnya merah hati
agak kuning.
Disebut sebagai gunung tursina, yaitu yang mengeluarkan
cahaya.
Page 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Yaitu sebenar-benarnya utusan dari Tuhan.
Disebut sebagai daim, yaitu empat malaikat.
Disebut Nur Muhamad, artinya cahaya.
Tajali pada dat mutlak yang merupakan awal permulaan.
Disebut sebagai puputran gadhing.
Namanya wahyu jali.
Terdiri dari 4 hal yang berasal dari keadaan malaikat
semua dengan warna hitam, merah, kuning dan putih. Hal
tersebut menunjukkan 4 nafsu manusia.
Disebut sebagai cahaya abramara hata, yaitu kajatnya
berasal dari nafsu 4 hal dari api.
Disebut sebagai cahaya maya-maya yang tak tertandingi.
Namanya disebut pintu pada akhirat, atau wot siratal
mustakim
Namanya disebut sebagai masjidil haram, atau semua
terletak pada jantung.
Yaitu yang disebut aksara awisan, atau maksud yang
sesungguhnya.
Demikian yang disebut sebagai khawatir, artinya
mewujudkan sifat dari khawatir yaitu kecewa.
Demikian yang disebut sebagai wujudnya rokhani.
Yang disebut sebagai sanubari, artinya tulus.
Yang disebut sebagai cahaya berkedip-kedip.
Yang disebut rantai samudra.
Yang disebut rahsa yang sesungguhnya.
Yang disebut sebagai sulbi.
Yag disebut sebagai layaran samudra.
Page 91
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Disebut sebagai asal dari nafsu luamah warnannya hitam
wataknya membuat hati menjadi gelap.
Disebut sebagai nafsu amarah wujudnya merah hati,
sifatnya mempunyai watak angkara murka.
Disebut nafsu supiyah warnanya kuning sifatnya menuntun
perilaku yang kurang baik dan mempunyai hasrat
keinginan.
Disebut sebagai nafsu mutmainah warnanya putih,
menunjukkan sifat yang paling baik budinya.
Yang demikian disebut sebagai cakra panggilingan atau
roda yang berputar, merupakan perwujudan awal akhirnya
kehidupan yang ada di dunia dan akhirat.
(halaman 189-196)
Berikut merupakan ajaran tauladan tentang tobat yang sesungguhnya, perilaku
yang mulia dari Kangjeng Nabi Muhamad Rosulullah SAW, antara laian :
1. Wakis maniyah menjalakan sare‟at selama hidupnya, apabila bersungguh-
sungguh mendapatkan ampunan dari Tuhan dengan keadaan sehat, hati
yang khusuk, sehingga kehendaknya dapat terlaksana.
2. Akyansabitah adalah menunjukkan perkataan sebenarnya dari lahir dan
batinnya yang berasal dari Tuhan, apa yang dikehendaki terjadi, yang
diniatkan nyata.
3. Akal miniyah artinya adalah hati yang selalu mengingat Tuhan,
mendapatkan kebenaran dalam hatinya.
(halaman 197-202)
Dari beberapa hal tersebut apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh dan
hati yang khusyuk, maka pada saat meninggal akan mendapatkan karohmah dan
perlindungan dari Tuhan, selain itu juga jasad dan rohnya diterima disisi Tuhan.
Misalnya : bantala murka : apabila dikubur jasadnya diterima dalam bumi;
Page 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
maruta manda : di dalam kubur mendapatkan kenikmatan kubur; sempurnanya
agni tidak mendapatkan siksa kubur dan tidak merasa panas; sempurnanya
tirtokurusa: di dalam kubur tidak ada air yang membasahinya; usalimnah:
mendapatkan ridho dari Tuhan untuk menuju jalan surga. Serat Kajat jati
wisaesa telah selesai ditulis pada tanggal 22 Dzulka‟idah tahun Alip 1819 atau
10 Juli 1890 M. (halaman 203-215)
B. Kajian Isi
Serat Kajat Jati Wisesa adalah suatu naskah yang ditulis pada masa Kerajaan
Pajajaran. Serat tersebut menceritakan tentang Empu Kajat Jati yang melakukan
pengembaraan, kemudian beliau masuk agama Islam dan terkenal dengan nama
Syeh Kajat Jati Wisesa. Beliau sangat tekun dan mendalami agama yang
dipelajari, beliau berguru pada Molana Kajali yang berasal dari Negara Rum.
Beliau belajar mengenai ilmu tentang tasawuf. Karena ketakunan dan keteguhan
hatinya beliau mendapat ilham dari Tuhan dan dapat menguasai ilmu tentang
makrifat. Serat Kajat jati wisesa berisi tentang ajaran-ajaran mengenai kehendak
dan nafsu pada manusia. Ajaran-ajarannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Penjelasan nafsu manusia dan pengendalian hawa nafsu.
Nafsu manusia pada naskah dijelaskan secara rinci dan dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:
- Nafsu luamah yaitu suatu kehendak yang mementingkan kebutuhan
badan, seperti terdapat pada :
Page 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
“Nêpsu luamah : anggènipun sasandhan kaliyan budi
punika, muhung anêdahakên parasadya, wahyanipun
têmah anuwuhakên pikajênging jasat.” (sumber naskah
SKJW hlm 2)
Terjemahan :
Nafsu luamah yaitu yang berhubungan budi itu, hanya
menunjukkan pada kehendak, pada akhirnya
menimbulkan keinginan badan.
- Nafsu amarah yaitu niat atau kehendak yang terlaksana karena munculnya
niat dari dalam dirinya, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Asasandhan kaliyan nêpsu amarah : wahyanipun
dadosakên andugèkakên sakaniyatanipun, mila witing
manungsa sagêd kadugèn kajatipun inggih saking
makatên ing têturutanipun”. (Sumber: Naskah SKJW
hlm 2)
Terjemahan
Berkaitan dengan nafsu amarah yaitu yang menjadikan
tercapainya niat, oleh karena itu awal mula keinginan
manusia dapat tercapai dari kehendak dari dirinya.
- Nafsu supiyah yaitu nafsu yang berasal dari besarnya keinginan memenuhi
jasad yang hendaknya harus dilaksanakan, hal tersebut dapat dilihat pada:
“Asasandhan kaliyan wahananing nêpsu supiyah,
wahyanipun andadosakên kabantêraning budi, mila
witing agêsang kadunungan budi lêpas utawi banter
punika katarik saking karkating nêpsu supiyah,
têgêsipun ingkang andadosakên khajat kanyatan wau
inggih saking wantêring kanêpson. Asalipun saking
cahya maya-maya”. (sumber: Naskah SKJW hlm 3)
Terjemahan :
Berkaitan dengan nafsu supiyah, menjadikan budi yang
terlalu menggebu, oleh karena itu awal manusia memilki
hasrat yang kuat itu karena berasal dari nafsu supiyah,
artinya menjadikan kehendak berasal dari kekuatan nafsu
dari cahaya yang samar-samar.
Page 94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
- Nafsu mutmainah yaitu nafsu yang berasal dari budi penerima yang
menunjukkan keadaan hati yang sudah tenang dalam batinnya, seperti
terdapat pada :
Anggènipun jasat kasandhangan budi panarima
punika, saking asasandhan kaliyan wahananing nepsu
mutmainah. Têgêsipun sumèlèhing budi wau kasirêp
saking dhahganing nêpsu mutmainah. Mila
kawontênanipun ing agêsang punika kasandhangan
budi dibya. Inggih saking ngriku kawotênanipun.
(sumber: Naskah SKJW hlm 3)
Terjemahan :
Karena pada jasat terdapat hati yang iklhas, itu karena ada
kaitannya dengannafsu mutmainah. Artinya budi yang
sudah bisa menerima dengan ikhlas karena dikendalikan
oleh nafsu mutmainah, maka keberadaan nafsu manusia
terdapat pada budi yang baik yang berasal dari nafsu
mutmainah.
Pada nafsu tersebut tidak semena-mena manusia harus selalu berada pada
keberadaan nafsu 4 hal tersebut. Manusia diharapkan harus mampu
mengendalikan nafsu tersebut supaya bisa mencapai budi atau suatu niat yang
sempurna. Pada manusia yang sanggup mengendalikan 3 nafsu yang
menyebabkan berubahnya jasad maka akan mencapai suatu tingkatan nafsu yang
paling sempurna yaitu nafsu mutmainah.
Cara pengendalian nafsu tersebut dengan cara bertafakur atau
mendekatkan diri terhadap Tuhan. Adapun nafsu yang harus dikendalikan yaitu
nafsu luamah, amarah, dan supiyah, seperti yang terdapat pada :
“Inggih ugi kêdah ing wanci lingsir dalu, madhêp
mangilèn keblatipun lajêng balik majêng mangetan,
botên kenging pêjah dilah, amung wontên ing undhukan
kemawon. kados makatên wawêjanganipun, mawi siyam
sadintên sadalu. Dene wêdharing ngilmi kados ing
ngandhap punika :
Page 95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
“ ya ataku pirhu,” kaping sakawan.
”ya kabiru, ya mutangal, kaping 100”.
(sumber naskah SKJW hlm 7-8)
Terjemahan
Pada waktu tengah malam menghadap ke barat arah
kiblat, kemudian menghadap ke timur, tidak boleh mati
lampunya hanya pada tempat tertentu saja, kemudian
berikut ajarannya, dengan puasa sehari semalam, berikut
amalan ilmunya seperti di bawah ini:
“ya ataku firhu 4x, ya kabiru ya muta‟al 100x”.
2. Penerapan mantra dari Dewa Hindu tentang ilmu rahsamaya
Pada naskah SKJW terdapat penarapan mantra Dewa-dewa Hindu
yang menjelaskan tentang penguburan mayat sesuai dengan Dewa yang di
sembah. Penarapan yang berupa mantra tersebut dimaknai secara Ilmu makrifat,
tetapi sangat berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. Makna dari mantra
tersebut disamakan dengan nama-nama Tuhan dan makhluk, seperti di bawah
ini:
Kata “Yang” pada doa “yang yang bathara…” merupakan arti dari Tuhan.
Kata “jawata yoganing ulun” berarti makhluk ciptaan. Kata “Hong Ilahèng”
mempunyai makna Ya Huallah. Kata “Ya nama saha” yaitu hamba Tuhan. Kata
“Gunung lawu sap pitu” maknanya sama dengan langit sap tujuh. Kata “bojreng
bumi belah” maksudnya adalah yang menguasai bumi dan langit.
Mantra yang maknanya sudah dijaelaskan di atas, intinya dapat ditarik
kesimpulan bahwa semua itu atas kehendak Tuhan dan Tuhan yang mempunyai
kuasa untuk menguasai seluruh alam semesta. Mantra tersebut dapat dilihat pada:
“Mênggah sadaya ingkang sami kapratelakakên
wawêjanganipun wau, manawi têgêsipun ingih nunggil
misah kemawon kaliyan raosing ngilmi makripat sajati.
Awit têmbung “Yang” punika Pangeran. Jawata
yoganing ulun punika inggih sami kaliyan anitahake
Page 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Adam. Hong Ilahèng punika sami kaliyan “Ya
Huallah”…. (sumber naskah SKJW hlm 19)
Terjemahan :
Dari semua ajaran yang sudah dijelaskan tadi, apabila
artinya berselisih dengan rasa ilmu makrifat sejati, maka
kata “Yang” merupakan Tuhan, Jawata yoganing ulun
merupakan sama dengan menciptakan Adam atau
berwujud manusia, Hong Ilaheng merupakan Ya
Huallah, dan seterusnya…
3. Penjelasan tentang Rahsaning Ngilmi
Rahsaning ngilmi atau ilmu tentang rahsa tersebut dijelaskan berdasarkan
ajaran dari Sunan Kalijaga melalui Kitab Lohkilmahpul.Kitab tersebut
merupakan kitab yang digunakan sebagai salah satu pedoman untuk
mempelajari tentang kemakrifatan sejati.Pada Kitab Lohkilmahpul banyak
sekali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan rahsa yang sesungguhnya.,
dintaranya sebagai berikut:
- Ilmu tentang Rahmani adalah suatu pengetahuan yang berasal dari hati
ynag menjadikan perilaku menjadi baik.
- Ilmu tafsir adalah pernyataan suatu kehendak secata nyata yang sesuai
dengan keadaan, bisa juga dapat diartikan bahwa menanggapi kehendak
mengenai sesuatu hal dalam kenyataan.
- Nasehat nutmainah artinya bahwa suatu kehendak hati yang sudah bisa
terkendali untuk menerima kuasa dari Tuhan dan selalu mengingat Tuhan.
- Kajatmikaning dat sajati artinya bahwa senantiasa berserah diri kepada
Tuhan.
- Ilmu wawangsitan maksudnya suatu ulmu yang gunaya sering digunakan
oleh para peramal dan spiritual.
- Imam santosa.
Page 97
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Pada ilmu santosa terdapat berbagai macam kesntosaan dalam jiwa raga
manusia, sebagai berikut:
- Sentosanya panyana adalah seseorang yang cerdas dan nisa mengetahui
sesuatu sebelum diberi tahu.
- Sentosanya kajat maksudnya bahwa kehendak berasal dari niat yang
sesungguhnya.
- Sentosanya mawaya adalah roh yang dapat menyebabkan perilaku baik
dari suatu pemikiran.
- Sentosanya wah mantra adalah keteguhan hati mendorong perilaku yang
baik.
- Sentosa tuskara adalah penuntun rahsa.
- Sentosanya surasa adalah keutamaan dari rahsa sesungguhnya.
Dari beberapa hal tersebut ajaran dari Kitab Lohkilmahpul merupakan suatu
ajaran yang intinya banyak mengajarkan tentang proses rahsa dan keutamaan
dari rahsa itu sendiri, seperti dapat dilihat pada :
“….Ingkang kaping tiga, winastan wawêjangan
mutmainah. Têgêsipun pamatraping budi kang eling tuwin
pamatrap kasantosaning sêdya, ingkang mêdal saking
awênanging Pangeran. Ingkang kaping sakawan,
winastan wêjangan kajatmikaning dad sajati, inggih
punika panêkungan ingkang kaping kalih….. (sumber
naskah SKJW hlm 23)
Terjemahan
Yang ketiga disebut mutmainah artinya budi yang selalu
ingat dan disertai kekuatan keinginan yang diridhoi oleh
kuasa Tuhan. Yang keempat disebut ajaran kajatmikaning
dat sajati yaitu bertapa yang kedua….
4. Terdapat ajaran 3 betal yang berkaitan dengan nafsu
manusia dan tubuh manusia
Page 98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Pada penerapan Kajat Jati Wisesa, terdapat kandungan dari kajat
jati yang sesungguhnya, kandungan kajat tersebut berupa betal makmur,
betal mukharam, dan betal mukhadas. Penjelasan betal tersebut merupakan
suatu dzat yang datang dari Tuhan atau bisa diktakan merupakan anugrah
dai Tuhan Yang Maha Kuasa. Betal-betal tersebut mempunyai kaitan yang
erat dengan anggota badan dan nafsu yang terdapat dalam manusia.
Berikut penjelasannya:
- Betal makmur: datangnya dzta yang terletak pada kepala
- Betal mukharam : datangnya dzat terdapat pada dada ( jantung, hati dan
empedu)
- Betal mukhadas : datangnya dzat terletak dalam kelamin.
Dari letaknya betal tersebut yang bisa menyebabkan atau yang
menjadi bersandarnya 4 nafsu manusia terdapat pada kepala dan kelamin,
tetapi semua yang menjadi utama adalah terletak pada jantung, hati dan
empedu.
Sumber dzat-dzat tersebut berasal dari Tuhan. Apabila suatu dzat
yang berasal dari empedu menuju ke bagian roh maka menimbulkan nafsu
mutmainah kemudian datangnya dzat berasal dari empedu menuju ke
hasrat menimbulkan nafsu supiyah, apabila dzat berasal dari empedu
menuju ke rahsa menimbulkan nafsu amarah, datangya dzat dari empedu
dan tidak bergerak kemana-mana atau hanya berhenti ke empedu saja
menimbulkan nafsu luamah. Jadi kesemua hal tesebut sumber utama
penyabab nafsu anusia terletak pada empedu dan hati, tetapi hati disini
digunakan atau berfungsi sebagai pengendali dari 4 nafsu hal tesebut.
Page 99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Fungsi hati disini sama dengan fungsi jantung yang sama-sama bertugas
mengandalikan hawa nafsu tersebut, dapat dilihat pada :
“têgêsipun ing sajatining dat punika muhung wontên
tigang prakawis, kados ngandhap punika :
1. Jantung, sasandhan kaliyan ati, mila sagêd anyoroti
dhatêng sirah.
2. Ati, sasandhan kaliyan ampêru, mila sagêd anyoroti
dhatêng paringsilan
3. Ampêru, asasandhan kaliyan rahsa, mila sagêd
anglimputi sakaliring nêpsu kawan prakawis”
(Sumber : naskah SKJWhlm 34)
Terjemahan
Arti dari Dzat yang sejati terdapat pada 3 hal, seperti di
bawah ini:
1. Jantung berhubungan dengan hati, maka bisa
mencerahkan roman wajah.
2. Hati berhubungan dengan empedu , maka dapat
memberikan kekuatan pada alat kelamin laki-laki.
3. Empedu berhubungan dengan rahsa maka bisa
menimbulkan nafsu 4 macam.
“Mênggah tumusing ampêru punika dhatêng roh lajêng
sinêbut nama nêpsu mutmainah. Manawi sumusih manikêm,
lajêng sinêbut nêpsu supiyah. Manawi dhatêng rahsa,
lajêng sinêbut nama nêpsu amarah. Manawi botên tumus
dhatêng pundi-pundi uruhing ampêru dados sinêbut nama
nêpsu luamah”. (Sumber naskah SKJW hlm 34)
Terjemahan
Adapun menyatunya empedu dengan roh kemudian disebut
nafsu mutmainah, apabila empedu menyatu “manikêm” lalu
disebut nafsu supiyah, apabila menyatu rahsa disebut nafsu
amarah, apabila empedu tidak menyatu dengan apapun
disebut nafsu luamah.
Selain anggota badan tesebut pada naskah dijelaskan yang masih berkaitan
dengan hati, empedu dan jantung.
Di bawah ini merupakan beberapa penjelasan mengenai bagian-bagian
tubuh manusia yang sebagai salah satu tempatnya dzat dari Tuhan, antara lain:
1. Pada kepala tedapat otak fungsinya sebagai pengandali anggota badan dan
perilaku.
Page 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
2. Pranawa atau pramana yaitu mata
3. Prawara yaitu nafas
4. Piyawarswa adalah suara yang bisa didengar pada telinga
5. Wot siratal mustakim adalah lidah
6. Dahganing nafsu yaitu pusatnya hawa nafsu
7. Rahsa mulyana yaitu putaran roh yang menuju ke jantung
8. Rahsa murni adalah roh yang menuju ke aliran darah dan sumsum tulang
belakang
9. Rahsa waka adalah roh hawani yang menuju ke rambut, kuku, tulang
10. Manirahi adalah dzat yang tersimpan di tempat yang rahasia dan akan
menjadi bakal dari janin.
Bagian-bagian tersebut menunjukkan adanya suatu dzat yang berupa roh yang
menempati beberapa anggota tubuh manusia, seperti dapat dilihat pada :
“Ing ngandhap punika pratelaning cacah paraboting
manungsa: 1. Salêbêting sirah dipunwastani utêg. Inggih punika
ingkang anggêsangi sakaliring rahsa sajati.
2. Winastan pranawa, inggih pramana, ingkang
anggêsangi salêbêting netra sadaya.
3. Prawara. Têgêsipun angin ajêg, inggih punika
kaananing napas tan napas, nupus apasa saminipun
4. Piyaraswa, têgêsipun tarik ing swara, inggih punika
amirêngakên saking karna”. (sumber naskah SKJW
hlm 36)
Terjemahan
Di bawah ini keterangan urutan anggota badan manusia:
1. Bagian dalam kepala disebut otak yang bertugas
mengendalikan seluruh rahsa sejati
2. Disebut pranawa yaitu pramana yang bertugas
mengendalikan penglihatan
3. Prawara yaitu angin yang berhembus tetap adalah
merupakan nafas manusia, seperti nafas, tan nafas,
nufus apasa dan seterusnya.
Page 101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
4. Piyaraswa yaitu getaran suara yang terdengar oleh
telinga.
5. Penjelasan Isbat dari aksara Jawa
Aksara Jawa merupakan hal yang terpenting juga pada naskah ini, karena
menurut naskah dalam kehidupan dapat dilambangkan dengan aksara
Jawa. Sebelum menjelaskan tentang penjelasan lambang terebut, maka
perlu diketahui pengertian tentang isbat. Isbat menurut Kamus Bausastra
artinya adalah “ibarat”, maksudnya adalah suatu kata atau kalimat yang
mengandung perumpaan tentang sesuatu yang mempunyai makna secara
mendalam. Penjabaran aksara Jawa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kajat jati yang dilaksnakan oleh para wali yaitu rahsa panca maya, anpas,
tan napas, dan nupus. Semua hal tersebut apabila diisbatkan ke dalam
aksara Jawa sebagai berikut:
1. , merupakan adanya kehidupan dari panca maya.
Ha maknanya: adanya kehidupan berasal dari rahsa sejati, na maknanya
menunjukkan rahsanya dzat, ca maknanya menunjukkan asma Tuhan, ra
maknanya menunjukkan akal dan budi, ka menunjukkan suatu keadaan.
Semua itu menunjukkan Dzat Yang Maha Agung. Hal tersebut dapat
dilihat pada :
“…Ingkang rumiyin uriping sipat wau mawi dipun
isbatakên aksara ha, na, ca, ra, ka : têgêsipun anane urip
iku saka sakalir-kaliring panca maya, inggih punika cahya
gangsal mawi kawijangakên makatên:
Ha, punika amung pitêdahaning têmbung ingsun, ingkang
makatên punika kawontênaning napas wau asal saking
rahsa sajati, rahsa sajati punika wahananing dat, inggih
punika lairing kajat jati wisesa…” (sumber naskah SKJW
hlm 85-86)
Page 102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Terjemahan
…Yang pertama hidupnya sifat tadi diibaratkan dalam
akasara Jawa ha, na, ca, ra, ka: artinya adanya hidup itu
dari bermacam-macam, yaitu 5 cahaya yang terdapat
sebagai berikut:
Ha, yaitu menyatakan kata “ingsun/aku” yang demikian itu
adanya nafas yang berasal dari rahsa sejati, rahsa sejati
tersebut adanya dzat munculnya dari kajat jati wisesa…
2. Menunjukkan isbatnya anpas yang diisbatkan dalam bentuk huruf aksara
Jawa .
Da artinya keterangan dzat terletak pada anpas. Ta artinya kehendak anpas.
Sa maknanya kekal / abadi Tuhan bersifat Esa. Wa maknanya jalan atau
pintu kajat jati wisesa. La keterangan suatu tindakan yang harus
dilaksanakan.
“Ingkang kaping kalihipun andunungakên isbataning
anpas, inggih mawi kapatrapan wujuding aksara gangsal
iji da, ta, sa, wa, la: Da, inggih punika wahananing dat
wau dumunung wontên ing anpas…(sumber naskah SKJW
hlm 87-88)
Terjemahan:
“yang kedua menunjukkan ibarat anpas yaitu yang
terdapat pada 5 aksara, da, ta, sa, wa, la: Da, yaitu adanya
dzat yang terletak pada anpas…”
3. Tan napas merupakan jalannya rahsa, dapat diisbatkan dengan huruf
aksara Jawa , sebagai berikut maknanya:
Pa maknanya bisa menerapkan suatu tindakan yang bis menjadi keyataan.
Dha maksudya “garbaning tan napas” suatu kehendak yang harus
dilaksanakan dengan baik.Ja maksudnya menunjukkan ketenangan dalam
batin. Ya merupakan gambaran dari dzat atau nur. Nya maknanya
menunjukkan mikrokosmos dan makrokosmos.
“Wontên malih bab kaping tiga punika winastan tan
napas, inggih punika ugi wiwara janma. Têgêsipun
dêdalaning rahsa…
Page 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Pa, inggih punika pangartining patrap. Têgêsipun inggih
ingkang sagêd matrapakên sakaliring
lalampahan,…”(sumber naskah SKJW hlm 90)
Terjemahan
Ada lagi bab yang ketiga yaitu disebut tan napas, yaitu
juga pintu gerbang manusia, artinya jalannya menuju
rahsa…
Pa, yaitu tentang tindakan, yaitu yang bisa menerapakan
beberapa perilaku…
4. Nupus menunjukkan suatu keadaan yang sudah mencapai ketenangan pada
jiwa. Dapat diisbatkan sebagai berikut: .
Ma maknanya pramana adalah keadaan dzat yang digunakan untuk melihat
alam dunia.Ga dan Ba maknanya menjadi satu yaitu pada bahasa Arab
“Be” artinya gagal.Tha maknanya ingat dan kuatnya mata hati. Nga
maknanya sebagai pertanda sesuatu yang sudah dianugrahkan, sehingga
bisa mengetahui sesuatu tanpa diajarkan.
Ingkang kaping sakawanipun nupus Ma, pikajêngipun pramana, inggih punika ingkang
kaangge wiwaraning kajat jati wisesa, têgêsipun
panggènaning dat badhe aningali sesining kaanan alam
awal akir (sumber naskah SKJW hlm92)
Terjemahan
Yang ke empat yaitu nupus
Ma, maksudnya pramana, yaitu pintu pembuka kajat jati
wisesa artinya tempat dzat yang akan melihat seisi alam
dunia dan akhirat.
Sebenarnya dari perumpamaan aksara Jawa terebut apabila mendapat
pasangan dari aksara tesebut maka berarti mati, dan apabila huruf tersebut tidak
bersama pasangan maka berarti abadi, kemudian yang menjadi pokok dari ajaran
Kajat jati wisaesa terlatak pada 4 huruf aksara Jawa yaitu (ra) (ga) (ya)
(nga), maksudnya “raga yanga” yang diartikan bahwa badan sukma atau dzat,
Page 104
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
menurut ajaran tesebut bahwa “raga yang” merupakan perwujudan dari Dzat
yang Maha Kekal yaitu Tuhan, seperti dapat terlihat pada:
“Wondene pikajêngipun pasêbutan kawan prakawis punika
makatên: : têgêsi-[98]pun raga yang, inggih
punika badan suksma, pikajêngipun ugi wujuding dat kang
kadim ajali abadi, punapadene sipating Pangeran Kang
Amaha Suci sajati, mila aksara kalih dasa wau ingkang
dipunsêbut kêkêra, inggih amung sakawan punika
tandhaning asma, dene botên mawi papasangan, amung
wantah sawujudipun piyambak.” (sumber naskah SKJW
hlm 97-98)
Terjemahan
Adapun penyebutan empat hal tersebut yaitu, ra, ga, ya,
nga: artinya “raga yang” yaitu badan suksma menunjukkan
wujud dari sifat Dzat Yang Maha kekal Abadi, seperti sifat
dari Tuhan Yang Msaha Suci, maka aksara 20 tadi disebut
sebagai penguat saja, yaitu hanya 4 aksara tersebut yang
merupakan tanda dari nama Tuhan, jika tidak menggunakan
pasangan, hanya menjelaskan wujudnya saja.”
Manusia telah dianugrahkan oleh Tuhan dengan diberikan sifat-sifat yang
sudah ada sejak lahir yaitu amarah, luamah, sufiyah, dan mutmainah. Sifat
tersebut diberikan tidak semata-mata utuk mendominasi pada diri manusia
tersebut. Tetapi sifat-sifat tersebut harus dikendalikan, sehingga dapat membentuk
suatu karakter yang menjadi baik dan bisa bertawadhuk serta lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan.