Top Banner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 32 BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis menjelaskan permasalahan secara filologis yang terdapat dalam suatu naskah. Kajian isi memjelaskan tentang isi dari naskah tersebut, hal-hal apa saja yang terdapat dalam suatu naskah diungkapkan dalam kajian isi. Pada penelitian ini kajian-kajian tersebut dijelaskan secara mendetail, sebagai berikut: A. Kajian Filologis Kajian filologis pada penelitian ini membahas tentang permasalahan yang terdapat pada naskah SKJW secara filologis, yang berupa kesalahan penulisan, atau beberapa varian penulisan. Kajian filologis cara kerjanya berdasarkan cara kerja filologis secara benar, sehingga dapat diperoleh suatu suntingan teks atau naskah yang bersih dari kesalahan dan benar mendekati aslinya. Kajian filologis tersebut meliputi: deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, dan sinopsis. 1. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah yaitu membuat uraian atau gambaran keadaan naskah dalam wujud fisik maupun isi naskah yang diuraikan secara terperinci dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Deskripsi mengenai naskah SKJW antara lain sebagai berikut:
104

BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

Jan 16, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

BAB IV

PEMBAHASAN

ANALISIS DATA

Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian filologis dan

kajian isi. Kajian filologis menjelaskan permasalahan secara filologis yang

terdapat dalam suatu naskah. Kajian isi memjelaskan tentang isi dari naskah

tersebut, hal-hal apa saja yang terdapat dalam suatu naskah diungkapkan dalam

kajian isi. Pada penelitian ini kajian-kajian tersebut dijelaskan secara mendetail,

sebagai berikut:

A. Kajian Filologis

Kajian filologis pada penelitian ini membahas tentang permasalahan yang

terdapat pada naskah SKJW secara filologis, yang berupa kesalahan penulisan,

atau beberapa varian penulisan. Kajian filologis cara kerjanya berdasarkan cara

kerja filologis secara benar, sehingga dapat diperoleh suatu suntingan teks atau

naskah yang bersih dari kesalahan dan benar mendekati aslinya. Kajian filologis

tersebut meliputi: deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan

teks dan aparat kritik, dan sinopsis.

1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah yaitu membuat uraian atau gambaran keadaan naskah

dalam wujud fisik maupun isi naskah yang diuraikan secara terperinci dengan

tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya.

Deskripsi mengenai naskah SKJW antara lain sebagai berikut:

Page 2: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

a. Judul Naskah

Sêrat Kajat Jati Wisesa. Judul tersebut tertulis pada awal penulisan teks.

Judul pada cover luar naskah tertulis Kajat Jati. Judul pada cover dalam

tertulis Sêrat Kajat Jati. Tetapi penulis memilih judul yang tertulis Sêrat

Kajat Jati Wisesa, karena nama judul tersebut sering ditemukan dalam

teks, di bawah ini terdapat kutipan perbedaan nama judul, sebagai

berikut:

(a)

(b) (c)

Gambar 34.Nama judul yang berbeda. (a) nama judul yang terdapat

pada cover depan, letaknya di samping sampul luar; (b) nama judul

yang terletak pada cover dalam tertulis “punika sêrat kajat jati”; (c)

nama judul yang terletak pada awal penulisan teks, dan menjadi judul

utama karena banyak ditulis pada teks, tetulis “punika sêrat kajat jati

wisesa”.

b. Nomor Naskah

Nomor naskah SKJW menurut katalog lokal di Perpustakaan Rêksa

Pustaka, Mangkunegaran yaitu O. 23 dan pada katalog Nancy K. Florida

Jilid II nomor MN 312 O.23, sedangkan menurut Giradet tertulis 21430

(O. 23).

c. Tempat Penyimpanan Naskah

Naskah SKJW tersimpan di Perpustakaan Rêkso Pustaka Pura

Mangkunegaran.

Page 3: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

d. Asal Naskah

Naskah berasal dari Pura Mangkunegaran, Surakarta

e. Keadaan Naskah

Keadaan naskah baik, kertas baik, tulisan mudah dibaca, huruf

renggang. Tetapi terdapat kertas yang sudah rusak dan sobek sehingga

terdapat beberapa kata dan kalimat yang tidak bisa dibaca. Halaman

masih utuh, dan bentuk teks masih bagus. Pada cover luar masih bagus

terbuat dari kertas yang dilapisi kayu agak tebal terdapat lubang-lubang

kecil karena rengat, tetapi secara keseluruhan masih bagus, berikut

kutipannya:

(a) (b) (c)

Gambar 35. (a) halaman yang utuh, (b) cover luar naskah, (c)

halaman sobek dan agak sulit dibaca.

f. Ukuran Naskah

panjang : 34cm

lebar : 21 cm

g. Ukuran teks :

panjang : 25 cm

lebar : 15,2 cm

h. Margin :

Page 4: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

1) Lembaran depan (recto):

margin atas : 3,5 cm

margin bawah : 5,5 cm

margin kanan : 3,8 cm

margin kiri : 2 cm

2) Lembaran belakang (verso):

margin atas : 3,5 cm

margin bawah : 5,5 cm

margin kanan : 3,8 cm

margin kiri : 2 cm

i. Tebal Naskah

Tebal naskah 2,5 cm, jumlah halaman adalah 215 halaman, terdapat

halaman rusak pada halaman 11-12 karena sobek. Halaman kosong tidak

ada, halaman yang ditulisi sejumlah 215 halaman.

Gambar 36. Naskah SKJW hlm11-12, yang dilingkari

merupakan salah satu sisi sobek dan menyebabkan kata

menjadi hilang.

Page 5: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

j. Jumlah baris setiap halaman

Jumlah baris setiap halaman terdapat 18 baris, kecuali halaman 215

hanya terdapat 15 baris.

k. Huruf / aksara

Huruf yang digunakan adalah aksara Jawa carik, tulisan berukuran

sedang, rapi, tebal tipis dari tulisan sangat jelas. Jarak antar huruf

renggang sehingga mudah dibaca. Tinta menggunakan tinta hitam agak

kecoklatan.

l. Cara penulisan

Naskah SKJW ditulis dengan cara bolak-balik (recto verso) pada

halaman depan dan belakang. Naskah ditulis dengan huruf yang sedang,

renggang, jelas, dan mudah dibaca. Tekanan penulisan tinta sangat jelas

antara tebal tipis dari tulisan. Penomoran pada teks ditulis di atas pada

tengah-tengah dengan menggunakan pensil dan angka Arab. Penulisan

halaman dimulai dari halaman 1-215.

Gambar 37. Penomoran halaman naskah yang ditulis ditengah-tengah

disisi atas dengan menggunakan pensil dan ditulis agak kecil.

Page 6: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Gambar 38. Halaman yang recto verso (bolak-balik).

Gambar 39. Penggunaan tanda baca yang terdapat dalam teks.

Tanda baca yang digunakan semacam “adêg-adêg” dan “pada lungsi”,

seperti yang terdapat pada lingkaran. Pada penulisan yang lain terdapat

tanda baca yang kurang sesuai dengan awal penulisan prosa atau alinea,

seperti contoh di bawah ini :

Gambar 40. Terdapat penanda bait di tengah-tengah teks yang berfungsi

sama seperti adêg-adêg sebagai mengawali suatu alinea.

Page 7: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Terjadi variasi antara penulisan tanda baca adêg-adêg, seperti contoh di

samping ini:

Gambar 41. Gaya penulisan tanda adêg-adêg yang bervariasi.

Terdapat penanda pupuh yang hanya sebagian saja, dan letaknya di awal

penulisan teks.

Gambar 42. Terdapat penanda pupuh di awal penulisan teks.

Terdapat beberapa symbol organ tubuh yang menyimbolkan tentang

keberadaan 4 nafsu, seperti gambar di bawah ini:

Gambar 43. Gambaran beberapa organ tubuh, seperti lambang hati,

emperu, dan maras yang menyimbolkan sifat-sifat dan letak dari 4 nafsu

manusia.

Page 8: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

m. Bahan naskah

Kertas yang digunakan adalah kertas HVS polos. Kertas tebal, tetapi

sudah berwarna usang kecoklatan. Hal tersebut dikarenakan usia naskah

yang sudah lama.

n. Bahasa naskah

Bahasa yang digunakan bahasa Jawa dengan ragam krama madya.

o. Umur naskah

Umur naskah SKJW yaitu tertulis dalam kolofon yang terdapat pada

halaman terakhir (hlm 215) pada 2 baris dari bawah, sebagai baerikut:

Gambar 44. Kolofon naskah, tertulis “paripurnaning panitra tanggal

kaping: 22 Dulkangidah, warsa Alip, angka: 1819”.Terjemahan „selesai

menulis tanggal 22 Dulka‟idah, tahun Alip, 1819, atau pada tanggal 10 Juli

1890 masehi.

Diperkirakan umur naskah 124 tahun (1890-2014).

p. Identitas pengarang atau penyalin

Naskah SKJW ditemukan penyalin naskah terdapat pada akhir penulisan

naskah yaitu Kyai Ageng Mukhamad Sirullah yang berasal dari

Kedhungkol sebelah selatan Kedung Panganten.

Mênggah sasêbutan samantên punika ing atasipun kawruh pipingitan

sarta dèrèng wontên ingkang pêjah wangsulan mbabarakên dados kula

amung nyumanggakakên, katarimah botênipun wontên sariranipun

piyambak, amin.

Kula Kyai Agêng Mukhamad Sirullah ing Kêdhungkol, sakidul Kêdhung

Pangantèn. (naskah SKJW hal 215)

Dari hal tersebut telah jelas bahwa Kyai Ageng Mukhamad Sirullah

merupakan penyalin dari naskah SKJW.

q. Asal-usul naskah

Asal-usul naskah tidak timukan dalam naskah SKJW.

Page 9: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

r. Fungsi Sosial

Fungsi social naskah SKJW adalah sebagai piwulang atau ajaran kepada

manusia tentang suatu perilaku yang bertujuan untuk mendekatkan diri

kapeda Tuhan melalui sikap moral religi.

s. Ikhtisar Naskah

Naskah SKJW merupakan naskah yang berisi tentang pengajaran moral

religi yang diterapkan dalam 4 hawa nafsu (amarah, luamah, supiyah,

mutmainah), pengandalian hawa nafsu, beserta suatu perilaku kehidupan

spiritual menuju ke makripat atau menuju ke jalan yang benar atau

sempurna.

2. Transliterasi

Sêrat Kajat jati Wisesa adalah sêrat yang ditulis dengan aksara Jawa,

sehingga transliterasi sangat diperlukankarena untuk penyuntingan teks.

Transiterasi adalah pengalihan huruf ke huruf dari satu abjad ke abjad

yang lain, (Edward Djamaris, 1991:19). Transliterasi yang dilakukan pada

penelitian ini yaitu dari aksara Jawa ke huruf Latin. Penulis dalam

menyajikan hasil transliterasi dengan sebaik-baiknya dan selengkap-

lengkapnya, karena supaya lebih mudah dipahami dan dibaca. Pada naskah

SKJW hasil transliterasi dapat ditinjau pada suntingan teks.

3. Kritik Teks

Kritik teks adalah pengkajian, pertimbangan, perbandingan, dan penentuan

teks yang asli atau teks yang autoritatif atau teks yang paling unggul kualitasnya,

serta pembersihan teks dari segala kesalahan. Usaha tersebut dilakukan karena

untuk merekonstruksi teks. Pada kritik teks seorang filolog dituntut untuk

Page 10: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

mempunyai alasan kuat serta didukung refrensi, misalnya kamus bahasa Jawa atau

EYD bahasa Jawa dalam menentukan bacaan yang benar, agar tidak terjadi

ketidaktepatan yang dapat membingungkan pembaca. Seorang filolog harus dapat

memberi serta mempunyai alasan ilmiah yang kuat dan dapat

dipertanggungjawabkan secara filologis. Keseluruhan pertanggunggjawaban dan

kesalahan secara filologis ditulis pada aparat kritik. Pada penelitian ini, suntingan

teks dan aparat kritik sudah melalui tahap kritik teks.

Sebelum ditampilkan kesalahan tulis, maka, diperlukan pengertian jenis

kesalahan yang dapat dipakai dalam kritik teks, kesalahan yang terdapat dalam

naskah SKJW antara lain sebagai berikut :

a. Lacuna: merupakan bagian yang terlewati, baik suku kata, lata, kelompok

kata, atau kalimat.

b. Corrupt: mereupakan bagian naskah yang tidak bisa dibaca atau tidak bisa

dipakai dan diketahui artinya, hal tersebut disebabkan karena kertas rusak,

sobek, sehingga mengakibatkan tidak bisa dibaca.

c. Hipercorect : perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

d. Adisi: bagian yang kelebihan atau penambahan baik suku kata, kata,

kelompok kata atau kalimat.

Pengelompokan kesalahan dan ketidakkonsistenan naskah SKJW disusun

dalam bentuk tabel. Jadi untuk mempermudah memahami maka dibuat singkatan

sebagai berikut:

No. : menunjukkan nomor urut

Hlm. :menunjukkan halaman teks.

* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik

Page 11: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

@ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat.

# : edisi teks berdasarkan konteks sastra.

… : bagian kata yang hilang karena kertas sobek.

Edisi : bacaan yang telah dibetulkan.

Tabel 1. Varian Lacuna

a. Lacuna suku kata

No. Hlm. Teks SKJW Edisi

1 10 Won Wontên *@

2 14 Won Wontên*

3 110 La… Lajêng *

b. Lacuna huruf

No. Hlm. Teks SKJW Edisi

1 12 Waji Wajib *@

2 26 Pagraita Panggraita *

3 36 Salêbêti Salêbêting *

4 52 Ali Ahli @

5 71 Insa Insya *

6 108 Agadhahi Anggadhahi *@

7 112 Mêdalakê Mêdalakên *

Tabel 2. Corrupt

No. Hlm. Teks SKJW Edisi

1 11 a… Ananing

2 11 Ko…tingsun Kodratingsun

3 11 …won Kemawon

4 11 Sau… Saupami

5 11 ...dhe Badhe

6 12 a…tana Angèngêtana

7 12 Sa…n Sampun

Page 12: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Pada tabel khuhus corrupt terdapat kata-kata yang hilang dan sudah

diedisikan karena hal tersebut menurut acuan dari transliterasi naskah yang

dilakukan oleh pegawai Perpustakaan Reksa Pustaka, Mangkunegaran. Karena

pada saat dilakukan transliterasi naskah tersebut belum mengalami kerusakan atau

sobek.

Tabel 3. Varian Hipercorect

No. Hlm. Teks SKJW Edisi

1 1 Khajat Kajat *@

2 1 Dzating Dating *

3 7 Dad Dat *@

4 4 Angrebdakakên Angêbdakakên*@

5 14 sumantên Samantên *@

6 35 Tususipun Tumusipun *@

7 37 Sinêbun Sinêbut *

8 43 Masut Masup *

9 65 Tekat Tekad *@

10 69 Rotên Botên *

11 73 Eklas Ikhlas *@

12 84 Sawujut Sawujud *@

13 92 akir Akhir *

14 110 Jasat Jasad *@

Tabel 4. Varian Adisi

No. Hlm. Teks SKJW Edisi

1 5 Angmintirêna Amintirêna *@

2 27 Burahmani Rahmani *@

3 127-128 Têgêsipunsipun Têgêsipun @

4. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Suntingan teks adalah menyajikan teks yang dipandang asli atau

mendekati aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang

terdapat dalam naskah yang dikritisi. Pada naskah SKJW terdapat beberapa

kesalahan yang ditemukan yaitu berupa lakuna, corrupt, hipercorect, dan adisi.

Page 13: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian

naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks.

Segala kesalahan bacaan yang ditampilkan dalam aparat kritik merupakan kata-

kata atau bacaan salah yang terdapat di dalam naskah. Jadi, untuk mendapatkan

suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi, tahapan yang

disajikanadalahsuntingan teks disertai dengan kritik teks dan aparat kritik secara

bersamaan. Adapun kata-kata, kalimat atau baris yang dianggap keliru diberi

nomor kritik teks. Sedangkan pembetulannya yang merupakan aparat kritik

langsung diletakkan di bawah teks yaitu berupa catatan kaki (foot note).

Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode edisi kritis atau

disebut juga metode standar (biasa). Dalam metode edisi kritis penyunting

mengidentifikasi bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan

menawarkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut yaitu (1) apabila penyunting

merasa bahwa ada kesalahan dalam menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika

terdapat teks yang salah, penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks

tersebut dengan tanda yang jelas yang mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli

akan ditandai dan didaftar sebagai naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan

suatu bentuk terbuka bagi pemikiran pembaca yang mempunyai pendapat atas

pembetulan bacaan tersebut.

Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman makna transliterasi

naskah SKJW maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis nama

Tuhan, nama raja, nama orang, nama tempat, panggilan untuk

seorang raja, nama bulan, hari dan tahun. Sedangkan kata atau

Page 14: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

kelompok kata yang lain ditulis dengan huruf kecil atau biasa,

meskipun dalam SKJW dijumpai beberapa kasus penulisan kata

yang tidak wajar, misalnya penggunaan aksara murda di tengah

kata (ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan).

b. Sastra laku ditransliterasikan dengan mengubah konsonan penutup

pada kata berikutnya, misal:

dumunung nging dumununging

gêssang gêsang

wujudanning wujudaning

contoh sastra laku

c. Angka Arab 1,2,3,...

dst yang berada dalam teks adalah nomor kritik

teks pada kata yang terdapat kesalahan.

d. Angka Arab [1,2,3...dst] adalah menunjukkan pergantian

lembar halaman teks.

e. Tanda diakritik (e) dibaca “e” seperti pada kata “kapratelakakên”

f. Tanda diakritik (ê) dibaca “ê” seperti pada kata “sêrat”

g. Tanda diakritik (è) dibaca “è” seperti pada kata “syèh”

Berikut ini adalah suntingan teks beserta aparat kritik dari naskah SKJW:

Sêrat Kajat Jati Wisesa

Page 15: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

Punika Sêrat Kajat Jati kabêkta saking panatanipun Êmpu Kajat, sarêng manjing

Islam lajêng kalantur nama Sèh Khajat1Jati.

[1]

Punika Sêrat Kajat Jati Wisesa, kacariyos kala jaman Nagari ing

Pajajaran. Wontên satunggal tiyang nama êmpu Khajat saking bantêring laku

alêlana dumugi ngapurug. Lajêng manjing Islamipun nama Sèh Khajat Jati

Wisesa. Kawarti kala samantên anggènipun puruhita amung satunggal dhatêng

Molana Kajali ing Nagari Rum, sarêng dipunwêjang kajatèning kaanan jati,

lajêng sagêd anata agami Islam, bêbasanipun amung saking ngantêpi têmêning

tekadipun dados pinaringan Ilham dening Pangeran. Têgêsipun angsal

wawêngan kaananing ngilmi makripat.

Mênggah ingkang kacariyosakên ing nginggil punika, inggih ugi nukil

saking kitab Tasawub.Tumrapipun andunungakên wêwêjanganipun sakaliring

pangawasa ingkang mêdal saking kajat satuhunipun. Punapadene pitêdahaning

sadaya kaniyataning manungsa satunggal-tunggal sami kapratelakakên kados ing

ngandhap punika :

[2]

1. Ingkang rumiyin, sinêbut kajat budiman. Têgêsipun anêdahakên

sajatining kaniyatan punika asalipun saking wahyaning Imam.

Manawi kaparsudi kadayanipun dados winastan imam maksum.

Liripun ingkang kadunungan eling tanalali. Kawontênaning imam

sadaya punika inggih sami asal saking budi sanubari, mila sinêbut

budi sanubari satuhunipun pambêkan ingkang tulus. Lumayaning

watak sêmantên wau inggih kawimbuhan saking catur berawan.

Têgêsipun karkating nêpsu kawan prakawis :

1. Nêpsu luamah : anggènipun sasandhan kaliyan budi punika,

muhung anêdahakên parasadya, wahyanipun têmah anuwuhakên

pikajênging jasat.

2. Asasandhan kaliyan nêpsu amarah : wahyanipun dadosakên

andugèkakên sakaniyatanipun, mila witing manungsa sagêd

kadugèn kajatipun inggih saking makatên ing têturutanipun.

[3]3. Asasandhan kaliyan wahananing nêpsu supiyah, wahyanipun

andadosakên kabantêraning budi, mila witing agêsang

kadunungan budi lêpas utawi bantêr punika katarik saking

karkating nêpsu supiyah, têgêsipun ingkang andadosakên khajat

kanyatan wau inggih saking wantêring kanêpson. Asalipun saking

cahya maya-maya.

4. Anggènipun jasat kasandhangan budi panarima punika, saking

asasandhan kaliyan wahananing nepsu mutmainah. Têgêsipun

sumèlèhing budi wau kasirêp saking dhahganing nêpsu

mutmainah. Mila kawontênanipun ing agêsang punika

kasandhangan budi dibya. Inggih saking ngriku kawotênanipun.

Mênggah ing sajatosipun ananing nêpsu kawan prakawis wahananipun

amimbuhi kajating budi, mila budi ing manungsa punika botên satunggal

kêmawon,yakti tundha-tumundha angandharakên Kajat Sajati.

1kajat *@ (setiap penulisan khajat membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke

belakang)

Page 16: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

[4]

2. Ingkang kaping kalih : sinêbut maha budi. Têgêsi2 budi punika

dzating3

nêpsu kawan prakawis. Tandhanipun manawi sakaliring

sêdya ingkang botên sasandhan lawan nêpsu kawan bab wau dèrèng

kenging sinêbut mahabudiman sapanunggilanipun. Mila budi dados

dating nêpsu jalaran sagêd angrebdakakên4 sakajating manah kita

sadaya.

Mila ing mangke kaèsthi dening Êmpu Kajat Jati Wisesa, kados ing

ngandhap punika:

Kados manawi badhe nyatakakên pangawasaning budi, sagêdipun têrus

ingkang dados kajat kita satunggal-tunggal makatên:

Ing sabên sampun dumugi wanci sirêp tiyang, anamtokakên manungsa

punika sami kadunungan êmpaning budi, awit manawi sampun sirêp ing swara

ramening sarwa kapirêngan. Ing ngriku lajêng cukul tuwin nganam-anam budi

kita warni-warni, punapa barang ingkang dados pangèsthining budi [5] tanpa

kêndhat, inggih puika nandhakakên ngrêbdaning nêpsu kawan prakawis wau.

Saengga kita gadhah kaniyatan bangsaning wahyu, tuwin sasamining pikajêng

ingkang sakintên kenging ginayuh, patrapaipun anyirêpa amarah supiyah

mutmainah. Muhung angmintirêna5 kaananing budi lawan nêpsu luamah kita,

pakartinipun apêtêngan majêng mangetan lajêng majêng mangilèn dhêkukul

ngrangkul dhêngkul, sarwi matrapakên ngilmi Kajat Jati Wisesa.

“usali sunatan niyat ingsun anêtêpakekaananing wawênangingsun kang

saka budi dating luamah ingsun, kalakon saka jatingsun, dadi saka

wisesaningsun. Anane anu, iku katarik saka luamahingsun, kalabon saka

jatingsun, dadi saka wisesaningsun, anane anu, iku katarik luamahingsun,

dadining anu, saka budining anu.Sarwi mêgêng napas angusap jaja kaping

tiga.Lajêng tapakur”.Têgêsipun, tobat dhatêng dat kita pribadi kang

langgêng.Adat lajêng wontên prantandhaning khajat kita satmata.

[6] Manawi katarimah, kita tinêkan wawarnèn kados ing pangayam-ayam

salamènipun, kadugèn panêdya kita ing sapêpenginan kita wau, kanyataan

wontên sangajênging tapakur kanthi swara: andugèni samukawising kajat kita

wau sadaya. Nanging botên kenging kita angawasakên warnènipun.Amung

piyambakipun kêdah miyarsa ingkang kapirêng saking karna kiwa, kapitêdah

kabuling pangèsthi, dene makatên punika ing sajatosipun pangandikaning dat kita

pribadi, badhe andadosakên kajat kaananing pangawasa. Kados ing ngandhap

punika swaranipun dad6: “Ingsun anuksma marang anane ing kaananingsun,

nyatakake kalawan kudratingsun, ing ngriku kita amung lajêng uluk salam

salêbêting kabatinan sajati.”

[7]

3. Ingkang kaping tiga, winastan amarah kiyah. Têgêsipun anandha

wawênanging budi kita malih, saengga kita gadhah kajat dhatêng bangasaning

jasat, liripun badhe ngungalakên kamulyaning badan.Punika angèna wiwaraning

2têgêsipun *

3dating @*

4 angrêbdakakên*@

5amintirêna *@

6dat @* (setiap penulisan dzat,dad membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke

belakang)

Page 17: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

warana, têgêsipun angulapa patraping kajat mikaning badan. Inggih ugi kêdah

ing wanci lingsir dalu, madhêp mangilèn keblatipun lajêng balik majêng

mangetan, botên kenging pêjah dilah, amung wontên ing undhukan kemawon.

Patrapipun anutupana rai, sarwi mangagêm busana sarwa wulung utawi sarwa

gadhung. Lajêng amatêka ngilmi wawangsitan, nanging manawi ginuron botên

kenging dipunsêrat, anggêr sampun apal kemawon inggih lajêng kabêsmi, kados

makatên wawêjanganipun, mawi siyam sadintên sadalu. Dene wêdharing ngilmi

kados ing ngandhap punika :

“ ya ataku pirhu,” kaping sakawan.

[8]”ya kabiru, ya mutangal, kaping 100.

Dene wawêjanganing ngilminipun sang êmpu Khajat Jati Wisesa, punika

makatên:

Sajatine ora ana apa-apa duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-

wiji, kang ana dhingin iku ingsun, lan satuhune kaananing nêpsu amarah iku

wahyaning karkatingsun. Karkatingsun iya siriyah ing dad, dadi

saciptaningsun.Teka sakajatingsun, ana sasêdyaningsun. Iya ingsun sajati ing

Pangeran Kang Maha Suci sajati, kawasa andadèkake kajatingsun salawase.Saka

ing kudratingsun satuhune.

Mênggah pakartinipun wawêjangan ingkang kasêbut nginggil punika,

kawasanipun sagêd angungalakên para sêdya miwah para anggayuh wêkasaning

badan. Têgêsipun manawi kita badhe sumêdya kinèdhêp para ing sasami,

linuluta-[9]n ing dasih, kongas sagung kadibyan kita wontên ing alam donya,

punika ing sabên sirêp tiyang kawatêka. Lampahipun ing sabên dintên

dhaharipun amung sapisan ing wanci sêrap surya, miwah siram kaping kalih

sadintên. Bangun rahina, kaliyan angajêngakên dhahar wau jam 5.

Mênggah pakartinipun êmpu Kajat Jati Wisesa samantên punika, anjawi

kabuling sarira, adat awèt ênèm. Tuwin awèt wajanipun, miwah rema arang

wanên. Makatên malih ngilminipun êmpu Kajat Jati Wisesa makatên wau

saupami wontên ingkang nglampahi sarta têmên, mangka dumugining don,

ingkang sampun kanyatan, kuburanipun botên kenging kaungkulan ibêring paksi,

tuwin gadhah walat. Mila manawi wontên wartos ingkang makatên punika inggih

angagêm ngilmi wawêjanganipun êmpu Kajat Jati Wisesa.

[10]

4. Ingkang kaping sakawan winastan supiyarahmi.

Inggih punika anêdahakên kawasaning nêpsu supiyah ingkang tumrap

dhatêng jasating manungsa.Liripun, tiyang ingkang kadunungan

pangawasa sagêda damêl kabuling sarira, rahayuning laksita, punika

saking wahyaning supiyah. Têgêsipun saupami won7 tiyang ingkang

nyandhang sasakit utawi katrapan coba, ingkang istingangkahipun

pêjah, wasana botên, kadosta: tiyang dhawah saking kalapa amènèk

galugu tuwin kagalundhung jurang.

Punapa malih tiyang kasandhangan ing sasakit sangêt,

sapanunggilanipun ingkang makatên wau, mangka sanêd waluyajati nirmala.

Inggih punika katitika dalèrènging tingal, manawi tajêm yakti ngagêm

ngilminipun êmpu Kajat Jati Wisesa, manawi pandirangan, punika amung saking

7wontên *@

Page 18: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

dèrèng takdiripun kemawon. Mênggah patrapipun ngilmi supiyarahmi wau, ka-

[11]dos ing ngandhap punika wawêjanganipun.

“sajatine ingsun dating Pangeran Kang Agung, Kang langgêng ora kêna owah

gingsir, lawan sajatine ingsun pasêbutaning supiyarahmi. Têgêse jasatingsun

kang saka wahananing cahyaningsun kang kuning, kaanane ing lêlakoningsun

ana ing alam akadiyat, alam wakidayat, alam wahdat, alam insan, alam

insankamil, sapanunggilane alam kabèh iku iya saka kawasaningsun sautuhe.”

Ananingsun iya a...8 supiyarahmi, karana ing ko…tingsun

9 nunggal lawan

ananing wawayanganingsun. Sadaya wau amung kaapalakên...won10

, manawi

sampun apal, sau... 11

..dhe12

kangge amung nyêbuta makatên :

“ sirulah datulah supiyarahmi, mêgêng napas anggêdrung siti kaping tiga.”

Inggih punika ingkang sinêbut aji-aji pangampangan,[12]ananging dede

panggolonganing ngilmi karang. Mênggah ingkang tumrap ing nginggil punika

ugi mêdal saking kawasaning dat mutlak ajali abadi. Babaranipun ing sipat kita

satuhunipun, sarta, mawi lampah sajêgipun gêsang nyirik ngingsêp, têgêsipun

bangsaning angambung punika kasingkirana. Dene manawi sampun ngantos sare

sadèrèngipun bêdhug, utawi botên pêrlu sare siyang, dhahar amung sapisan

sakwarêgipun, punapa dene kedah a...tana13

kawontênaning ingkang waji...14

Liripun angèngêti wajib punika sa...n15

sok mimisuh, siya-nganiaya dhatêng liyan,

tuwin sampun kêndhat siram sabên sore, samantên punika kaèngêtan

yêkti………… (wontên sakawan larik ingkang botên sagêd kawaos)………..

[13]

Tapsiri têgêsipun anata cipta sajati, panduking imami, têgêsipun

patraping kaelingan. Mênggah kalih pêrkawis punika sajatosipun inggih sami

mêdal saking kaananing dzat sajati, wahyanipun dhatêng wiwara sanggya.

Liripun, anelakakên purbaning nêpsu mutmainah, mila kawan pasêbutan punika

kayêktosaning kaanan inggih sami saking purbaning dat kang kadim ajali abadi

sadaya.

Manawi tumprap pangawasaning badan jasmani, sarta tandhaning roh

ilapi, tinêmbungkakên trining rarangga, têgêsipun manawi pinusus salah

satunggal, kêdah mêpêt ingkang tigang bab, gilir gumantos pakartinipun. Amung

satunggal ingkang botên sagêd tumut purbaning dad kang wisesa, dipunwastani

dat kadariyah, têgêsipun amung mêdal saking kajat ingkang langgêng, inggih

punikia wiwara jatining pangeran, mêmpaning budi sanubari, wau sami

asasandhan saking lobaning nêpsu mutmainah.

[14]

Mila ingkang sampun putus ing saniskaraning tanajul tarki, sayêkti sagêd

kabul mujijating jasat kita, ananging manawi jaman ing Dêmak, sapariki botên

won... 16

ingkang ngangge patrap sumantên17

wau, jalaran pancèn angsal kalih-

8ananing

9 kodratingsun

10kemawon

11saupami

12 badhe

13angèngêtana

14wajib *@

15sampun

16wontên *

Page 19: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

kalihipun rahsamaya. Têgêsipun mujijat samantên wau, manawi botên sagêd

ngirip pakartining jim, saèstu dèrèng kantênan katandha kawasanipun. Ananging

manawi pasah penggêgêting budi, malah taksih kathah wawênangipun jaman

sapunika.

Mênggah ingkang kagancarakên cariyos ing nginggil punika wantahipun

makatên :

Ingkang tinêmbungakên ngilmi rahsamaya punika panganggènipun para

jawata sapiturutipun, mila kathah ingkang sagêd ngambah gêgana tanpa êlar.

Manawi jaman sapunika sanadyan botên sagêd mabur, anggêr pasah pamêsuning

ngatokit, yakti angungguli ingkang sagêd mabur wau.[15] Wondene ngilmining

kêkalih pisan wau, kapratèlakakên kados ing ngandhap punika.

Ingkang rumiyin yogi sami angawuningana kaananing ngilmi rahsa maya.

Mênggah tapabratanipun nêm prakawis sami kaèsthi kalayan mêsthi,

1. Botên kenging dhahar manawi dèrèng karaos lupa sakaliring badan

sakojur wau.

2. Botên kenging katarajang garawang angga.Têgêsipun angagêngakên

hawaning jasat.

3. Botên kenging katrapan sawa ganda.Têgêsipun mambêt gandaning mayit

utawi sakaliring ambêt ingkang botên prayogi. Mila kapatuh badan

dinupanan.

4. Botên kenging kasandhangan ucap ngaping kalih, inggih punika goroh ing

ucap lair batinipun, punapadene cidra ngubaya

5. Ingkang kaping gangsal, botên kenging kadunungan manah muthalit

ambakiwit.

6. [16]Ingkang kaping nênêm, sadaya kaniyatanipun kêdah kapêntogakên

ing pandon. Têgêsipun ingkang sinêdya manawi dèrèng kalêksanan

anamtokakên pati raga. Ingkang makatên punika trêkadhang milalu sirna

yèn lêpata. Inggih punika amung nandhakakên saking mantêping

tekadipun. Sasampuning kasubrataning jasat ingkang sumanten wau

kawimbuhan asaling asli. Têgêsipun dhasar trahing jim punika manawi

sagêd angambah jumantara. Sayêkti kalêpatan ing apatrapipun, sinêbut

mingkarkating mujijatil kubra.

Manawi waêjanganing ngilminipun iggih punika nêm prakawis ingkang

dados panutanipun:

1. Ingkang rumiyin panutaning wawêjanganipun Sang Hyang Endra, kados

ing ngandhap punika patraping amêjang ngilminipun:

[17]“O ilahèng hong mangarca nama taya, yang yang ning jawata yoga

ning ulun, kamurêp kamidhêp”. Tabiyatipun manawi pêjah wangkenipun

kapêndhêm pucuking wukir.

2. Panutan saking Sang Hyang Sambo, makatên:

“Hong ilahèng hong mangarca nama taya, srih srih ya nama saha,

kamurêp kamidhêp”. Tabiyatipun umat Sambo sadaya manawi pêjah

wangkènipun kasètrakakên wana.

3. Ingkang kaping tiga, panutanipun Sang Hyang Brahma, wawêjanganing

ngilmi makatên:

17

samantên @* (setiap penulisan “sumantên”cara membaca sesuai yang dibetulkan dan berlaku sampai ke belakang)

Page 20: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

“Yang yang ning jawata yoganing ulun, gunung agung kaananing

kalanggêganingsun. Hong ya nama saha”. Tabiyatipun umat Brahma wau

manawi pêjah layonipun kabêsmi.

4. Panutan Sang Hyang Wisnu makatên:

“Yang yang ning jawata yoganingsun, sajatine kabèh iki titahingsun.

[18]Tata-tataning agami Wisnu punika sadaya umatipun manawi pêjah,

wangkenipun kalarung ing Narmada.

5. Tabiyatipun Sang Hyang Bayu, wawêjanganing ngilmi kados ing

ngandhap punika:

“O ilahèng hong hong magarca nama taya, yang yang ning jawata

yoganing ulun, kamurêp kamidhêm”. Tabiyatipun umat Bayu punika

manawi pêjah, wangkènipun binuwang wana.

6. Ingkang kaping nênêm, agami wawêjangaipun Sang Hyang Kala makatên:

“O ilahêng hong hong mangarca nma taya,bojrèng bojrèng bumi bêlah,

kasapta bantala kamurêp kamidhêp, o yang yang ning jawatèng ulun

ingsun”. Dene tabiyatipun para umat Kala manawi pêjah wangke

minangka brakasakan.

[19]Mênggah sadaya ingkang sami kapratelakakên wawêjanganipun wau,

manawi têgêsipun ingih nunggil misah kemawon kaliyan raosing ngilmi makripat

sajati. Awit têmbung “Yang” punika Pangeran. Jawata yoganing ulun punika

inggih sami kaliyan anitahake Adam. Hong Ilahèng punika sami kaliyan “Ya

Huallah”, ya nama saha punika sami kaliyan Kawula Gusti. Gunung Lawu sap

pitu punika inggih jagad sap pitu. Kamurêp kamidhêp punika saengga roh ilapi

bakaling manungsa, dados têmbung kamurêp kamidhêp wau sidhêm pramanêm,

utawi kèdhêp lêrêp sagung dumadi sêsining alam kabèh. Bojrèng bumi bêlah

punika têgêsipun angratoni bumi langit, utawi panjênênganing dad sajati

anglimputi ing kaanan iki kabèh. Mila sampun nga-[20]ntos lintu ing panampi.

Mênggah pangartinipun sadaya wau têka botên wontên bedaning raos

sadaya, malah-malah manawi patitis ing ukara, ing sakaliring têmbung tuwin

pêpingitaning rahsa, punapadene parabotipun saèstu tata têmbunging para

jawata, mila Kangjêng Susuhunan Ing Kalijaga sagêda ngungkuli para wali

jalaran sampun maksud rahsaning ngilmi kalih prakawis wau, miwah dhasar asal

saking ibu rama dêlês trahing jawata. Liripun ibu putra Nata Majapahit. Rama

darah Japara, dados sami talitining jawata, dene pamanjinging Islam anuting

jaman marêngi wahyaning masa kala. Mila sinêbut Waliyullah gaib, awit pancèn

dhasar sampeka sakaliring rahsa sajati.

Tamat panitiking kasu-[21]nyataning atunggal. Waspada êmpaning cipta

sasmitaning guru Islam. Sambada kabudayaning budi, trus kaliyan talitinipun

piyambak. Wantuning têmên tinêtêpan saratipun têmah kasunyatan sagung

pakarti tuhu.

Wondene kawontênanipun pangawasa ingkang asal saking Islam kaliyan

wahyaning pagawasa ingkang asal saking para jawata. Ing mangke Karsa Dalêm

Kangjêng Susuhunan Ing Kalijaga wau rèhning sampun botên kewran

sawawadining ngilmi makripat sakalih-kalihipun punika dados lajêng kapêndhêt

raosipun ingkang parlu kemawon. Mila kala samantên dumugi sapunika lajêng

botên sagêd agambah jumantara, ananging manawi kalêrêsan pakartinipun

malah ngungkuli ingkang sami sagêd mabur.

Page 21: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

[22]karana kaananing rahsa sampun sami kaemotakên kikiyasaning

ngilmi satuggal-tunggal dados karingkês saparlunipun. Pinasthi kêkêthinganing

pangèsthi, ingkang kadamêl garan saking ancuripun kitab Lohkilmahpul.

Têgêsipun lajêng karingkêsakên malih rahsaning ngilmi, amêntogakên kalawan

wisesaning Pageran Kang Maha Suci. Mênggah tata-tataning ngilmi kasêbut ing

ngandhap punika namanipun:

1. Dipunwastani ngilmi Rahmani.

Têgêsipun kawruh ingkang trusing kajatèning budi, awit wahyaning

ngatrap ingkang samantên wau amung supados linastantunakên ing

paguron pangawasan sapanunggilanipun. Ingkang mawi amusus purba

wisesaning jasat, tuwin wawênanging dad kang èlok

2. [23] Dipunwastani ngilmi Tapsir.

Têgêsipun panataning cipta ingkang nyata, utawi tinêtêpan êmpanipun.

3. Ingkang kaping tiga, winastan wawêjangan mutmainah.

Têgêsipun pamatraping budi kang eling tuwin pamatrap kasantosaning

sêdya, ingkang mêdal saking awênanging Pangeran.

4. Ingkang kaping sakawan, winastan wêjangan kajat mikaning dad sajati,

inggih punika panêkungan ingkang kaping kalih.

5. Sinêbut wawêjangan wêwangsitan. Inggih punika kangge para padukunan

sadaya, anêdahakên sakaliring babatangan. Têgêsipun bangsaning pêthèk

sapanunggilanipun.

6. Ingkang kaping nênêm, winastan Imam Santosa, sasandhaning pranawa

pitung pasêbut:

1. [24]Santosaning panyana, inggih punika panduluning Imam

ingkang sakalangkung langgêng. Têgêsipun manthênging cipta

maya. Manawi tinêtêpakên sarta mêmpaning panggraita.

Tumanjanipun dados anganakakên cipta ingkang sarèh. Mila

sakaliring pangraita punika manawi sagêd matrapakên sayêkti

botên lêpat panawangipun. Mila ingkang makatên punika

lajêng sinêbut wruh sadurunging winarah, awit kalêpasaning

budi, dinadèkakên dening dad sajati. Inggih punika dating

pramana, kawimbuhan dating pranawa.

2. Ingkang kaping kalih sinêbut santosaning wara. Têgêsipun

pikuwataning watana, ingkang mêdal saking panggagasing

cipta wara, têtêp tinêtêpan kaliyan wahananing mamadirasa,

tumuwuh dhatêng khayu daim, ing ngriku manawi botên

kabawuring nêpsu, adad angrêbdakakên kawasaning Imam

kaliyan wi-[25]waraning pangangka, wêkasan sarêng

tumuwuh lajêng dipunwastani trus sakaliring panyana, inggih

punika kalantur têmbung lajêng sinêbut sagêd kawasa mêdal

saking siriyah, dados ing nalika makatên lajêng winastan

wahyu wara. Têgêsipun sagêd ing wruh sadèrènging winarah

saking kawasaning khayu cau, dadosipun mila agêsang sadaya

mawi kadunungan sumêrêp saking manah.

3. Ingkang kaping tiga, dipunwastani sanstosaning khajat. Kajat

wau asal saking karkat tuwin samukawising gagasan sadaya.

Mila patraping ingkang umijil saking pangwasaning kajat

punika, makatên malih titikan samantên wau, sami saking

Page 22: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

tanajuling tarkining pribadi. Wahyanipun dhatêng manik,

kaananipun sagêda ningali kaliyan waskitha.

4. Ingkang kaping sakawan, santosaning mawaya. Têgêsipun

kawasaning roh, kapurba ing rahsa. [26] Sasandhanipun

kaliyan siriyah, wahyanipun dhatêng akal. Mila agêsang

ingkang makatên wau asring kadunungan akal ingkang

andadosakên paedah, kadosta: sugih kasagêdan, sugih

pangrati, sugih budi, sugih wêwadi, sadaya wau saking

makatên ing sakawitipun.

5. Ingkang kaping gangsal, santosa wahmantra. Têgêsipun têtêp

têmêning puji, panjrahing kajat saking pagraita18

tama, mila

sakaliring kajat wau manawi sagêd tulus sayêkti kawasa

andadosakên ing saniskaraning budi rahsaya. Têgêsipun budi

ingkang mintêr. Mênggah sasêbutan ingkang sami

kapratelakakên ing nginggil wau, anggêr botên kaloban

hawaning nêpsu kawan prakawis, yêkti kawasa angrêbdakakên

sabda yu.

6. [27] Ingkang kaping nêm, santosaning tuskara. Têgêsipun

pamuntuning rahsa sajati, tumrap dhatêng kawasaning Imam.

Asasandhan lawan panataning cipta maya. Wahananipun

lajêng angrêbdakakên niyat ingkang minding kabuling budi

sanubari. Kacariyos ingkang sampun mêmpan pamatrapipun

lajêng sinêbut burahmani19

. Têgêsipun kêsêt-kêsiting kaanan

awal-akiripun botên kewran ingkang dados kabuling

atmayana. Mila ingkang sagêd kathah pangartinipun wau

saupami badhe sumêrêp ing apurug. Sayêkti sagêd sanadyan

êlêt samudra, wana, gunung-gunung, saèstu botên mawi wang-

wang. Sakêdhèping netra sagêd dumugi, sinêbutakên sagêd

mabur tanpa êlar, sagêd mêsat tan akesah,inggih punika

kawasaning nur anyamadi budi, dados sagêd anarik pakarti

sami sakala dumugi. Mênggah wawênanging gaib samantên

pumika kathah [28]kasunyatanipun. Mênggah sadaya ingkang

kasêbut wawênang makatên wau ingkang sagêd mintêr

tataning pangarti têrusing pambudi kayatul mahsir. Têgêsipun

sadaya budi kêdah binudi satuhunipun, utamanipun mawi tapa

brata sawatawisipun, sarta èngêting Imam.

7. Ingkang kaping pitu, santosaning surasa. Têgêsipun rahsa

luwih, inggih punika kautamaning rasa mala jati, saking

wawantahipun têmbung makatên wau, anêdahakên

pangawasaning jasat tumraping wadi, madi, mani, kadasta :

agêsang kasinungan awas utawi wawadah. Têgêsipun

wawadah punika amêngku kaluhuran sadaya ingkang

kapratelakakên makatên punika muhung ing kaananing

agêsang kita ing akiripun sampun ngantos kabêntusing

apidirin. Têgêsipun kadunungan antêp têtêping kabu-[29]l

18

panggraita * 19

rahmani *@

Page 23: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Imam, têgêsipun cukuling budi prèmati, liripiun amung

ngèngêtana ingkang dados wajibing agêsangipun ing khajat

kita.

Awit satuhuning kajat punika nigang prakawis, sami dumunung wontên

ing salêbêting betal makmur. Salêbêting betal mukharam, ing betal mukhadas.

Tigang bab punika tamtu katrapan khajat ing sajatinipun, kados ing ngandhap

punika:

1. Dipun wastani maginêng

Têgêsipun pangênêsing angên-angên, inggih punika pakumpulaning

wahya kaliyan dat, mila manawi kabantêrên pamêtêging pranawa

andadosakên sakit pening. Liripun mumêt mawi sumêntug ing manah,

anumusi dhataêng netra kêmah kalintuning pandêlêng. Têgêsipun

pating baliyar.

2. Winastan mahani

Têgêsipun dad kalimputan hawaning nêpsu kawan prakawis

wahyanipun dados asring kasandhangan sakit mumêt.

3. Sinêbut pangglah jati

Têgêsipun dat kalingan wahyaning pramana, wahananing khayu

dados nuwuha-[30]kên sasakit ngêlu, awit kajat tigang prakawis

salêbêting betal makmur wau botên kalimputan jinêm, mila manawi

dipunèngêti yakti jinêm kita tuwuh piyambak dados sinêbut awas

sakaliring katingalan ing pramana.

Manawi kajat ingkang mêdal saking pambukaning tata maligi ing dalêm

betal mukaram, kados ing ngandhap punika :

1. Sinêbut kajatullah

Têgêsipun osiking Pangeran, manawi kadamêl sidhêm pramanêm sayêkti

tumrap budi kita wruh tanpa warana, manawi kalingan weyaning graita

têmah dados sasakit maras. Têgêsipun sumêlangan.

2. Winastan kajat marmati

Têgêsipun budi ingkang botên santosa punika têtela kalingkap limputing

budi sanubari. Wahyanipun katrapana manah bodho busuk.

3. Khajat babuli

Têgêsipun wawênganing budi sanubari punika watêkipun sêgêr

kuwarasan.

[31] Manawi khajat ingkang tumrap salêbêting tata malige ing dalêm

betal mukadan, inggih tigang prakawis :

1. Dipunwastani kajat parjini

Têgêsipun krêjêting asmara, manawi mani kita katrapan hardening nêpsu

wahyanipun lajêng kadunungan karêm angèsthi.

2. Winastan Kajatirahi

Têgêsipun karkating roh kaliyan rahsa sami dados pasêbutan.

Wahyanipun dipunwasani roh ilapi, mila kanyataan wahananing

asmaragama, têmah sagêd anuwuhakên dadosing manungsa.

3. Ingkang kaping tiga, sinêbut rahsamana.

Têgêsipun roh botên kawimbuhan wahananing khajat, mila wahyaning

asmara botên sagêd kèndêl ing kadosanipun, dados ura, ngamungakên

wêdaling mani tanpa dadi, mila manawi kaweyan kajatipun cêpak

kawoworan sasakit, awit tanpa pakèndêlan lampahing rahsa jati.

Page 24: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

[32] Mênggah ingkang sampun kapratelakakên tigang prakawis punika

wau, sajatosipun amung minangka pitêdahan kaananipun satunggal-tunggal.

Liripun andunungakên parabot sapanunggilanipun. Ingkang pancèn umijil saking

sakaliring badan sakojuripun. Ananging manawi kasil saking kitab tasawup mawi

kawijangakên nama miwah wujudipun. Inggih punika susulan saking Kangjêng

Sultan Iskandardikarnèni ing Mesir, sampun sarujuk kaliyan para Pandhita

ingkang ahli dhatêng pakartining ngilmi makripat, sami tinêtêpakên satisèn-

isèning jasat sadaya, sarta kinumpulakên kaliyan rahsasning Kitab Injil, Kitab

Torèt, Kitab Jabur.

Mila makatên rekadayaning pakartinipun awit saking sangêt

pamarsudinipun Kangjêng Sultan Iskandar wau amung sumê-[33]rêpa satisèn-

isèning badan. Ingkang sami amamarai sagêd èbah mosiking manungsa, saking

karsanipun wau manawi sampun têrang lajêng badhe binudi kasunyataning

manungsa sagêd punapa-punapa, katiti kados ing ngandhap punika :

- Betal makmur, têgêsipun pasewakaning dat ingkang dumunung ing

sirah ing Adampitraullah.

- Betal mukharam, têgêsipun ananing dat jumênêng jajaning Adam

amung tigang prakawis.

- Betal mukhadas, têgêsipun pasewakan dat dumunung paringsilaning

Adam, mila sirah kaliyan ngandhap sami kawan prakawis awit

anêdahakên kaananing nêpsu punika dumunung sirah utawi

paringsilan.

De-[34]ne kawujudaning istha gambar makatên wau têgêsipun ing

sajatining dat punika muhung wontên tigang prakawis, kados ngandhap punika :

1. Jantung, sasandhan kaliyan ati, mila sagêd anyoroti dhatêng sirah.

2. Ati, sasandhan kaliyan ampêru, mila sagêd anyoroti dhatêng

paringsilan

3. Ampêru, asasandhan kaliyan rahsa, mila ssagêd anglimputi sakaliring

nêpsu kawan prakawis, dunungipun makatên:

Mênggah tumusing ampêru punika dhatêng roh lajêng sinêbut nama nêpsu

mutmainah. Manawi sumusih manikêm, lajêng sinêbut nêpsu supiyah. Manawi

dhatêng rahsa, lajêng sinêbut nama nêpsu amarah. Manawi botên tumus dhatêng

pundi-pundi uruhing ampêru dados sinêbut nama nêpsu luamah. Mila sajatosing

nêpsu kawan prakawi-[35]s punika asal saking ampêru. Manawi sipating dat

punika muhung satunggal wontên ing jinêm, sagêdipun dados dumunung sirah

tuwin paringsilan punika amung nyoroti kemawon, ugi botên beda kaliyan

lampahing ampêru wau.

Mênggah katrangipun dat anggènipun sumorot dhatêng sirah punika

katarik saking hawaning manah, kados ing ngandhap pêpèranganipun wau.

Sajatinipun manah punika sab sakawan. Ingkang satilap sinêbut ati

pramati, inggih ati pangasih lajêng ati moradi. Têgêsipun gagantilaning utêg,

mila sinêbut nama nêpsu mutmainah. Lajêng sasab malih nama ati juwari,

tususipun20

dhatêng wadi, mila sinêbut nêpsu supiyah. Manawi dhatêng pramana

sinêbut ati kumbaya, têgê-[36]sipun pangagênging manah, mila sinêbut nêpsu

amarah, luamah, sapanunggilanipun punika sami kapurba saking kawasaning dat

20

tumusipun @*

Page 25: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

sajati. Ingkang têtêp wontên salêbêting betal mukharam, mila sampun ngantos

kalintu ing panampinipun.

Ing ngandhap punika pratelaning cacah paraboting manungsa, kapèrang

dados sadasa pangkat, makatên angkanipun:

1. Salêbêting sirah dipunwastani utêg. Inggih punika ingkang anggêsani

sakaliring rahsa sajati.

2. Winastan pranawa, inggih pramana, ingkang anggêsangi salêbêti21

netra

sadaya.

3. Prawara. Têgêsipun angin ajêg, inggih punika kaananing napas tan napas,

nupus apasa saminipun

4. Piyaraswa, têgêsipun tarik ing swara, inggih punika amirêngakên saking

karna.

5. [37] Wot siratalmustakim. Têgêsipun ilat, inggih punika kaananing pangucap

sadaya. Ingkang dados lalantaran bêgya cilaning agêsang ing salamèn-

lamènipun.

6. Sinêbut dhahganing nêpsu. Têgêsipun gagantilaning hawa, kaananipun ing

sêntil kita.

7. Rahsa mulyana, têgêsipun ulêkaning roh sajati, tumusipun dhatêng

jajantung.

8. Rahsa murni. Têgêsipun antaraning roh ingkang tumuruh dhatêng bayu

balung sungsum sapanunggilanipun.

9. Sinêbun22

rahsa waka, têgêsipun roh hawani. Ingkang numusi dhatêng

babalung, utawi panggêsanaganing rema, wulu, kuku, sapanunggilanipun.

10. Dipunbasakakên manirahi, têgêsipun rahsa sumimpên. Inggih punika

kaananing roh badhe wiwiji sayêkti.

[38] Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya saking pamuji

kula dhatêng para ingkang karsa kamarsudi ngilmi makripat punika. Mugi

sampun ngantos kalintu ing panampi. Saking kajatèning dat sadaya wau

têmênipun botên kalih titiga. Kaananing dat amung satunggal dunungipun wontên

ing jêjantung kemawon.

Makatên malih sanadyan panggêsanganing sakalir ingkang nama

parabot inggih botên liya saking jajantung tuwuhipun. Mila mugi sagêda sami

amanggihakên gêgathukanipun satunggal-tunggal wau.

Manawi katèmpèlakên kaliyan rahsaning kitab bayan mawi kapêcah

malih, yèn sajatosipun ênggèn bêbundhêlaning lampah sadaya wau kalih

prakawis:

1. Saking jantung

2. Saking manah

Ananging kawontênanipun manah tumut pagolonganing gêsang wau,

amung kapirid saking dudugi prayoginipun rèhning sadaya pasêbutan winastan

manah ingkang nuwuhakên

[39]Ananing botên lêpat ugi tètès sarta mèmpêr, punapadene sadaya

kitab-kitab, tuwin sadaya riwayat, punapadene ingkang linampahakên para guru-

guru ugi punika dununging dat sajati, ananging sasêbutan ingkang samantên

punika, dat wau inggih jantung.

21

salêbêting * 22

sinêbut *

Page 26: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Awit saking wisikan ingkang sapisan inggih jantung ingkang tinata

rumiyin. Kaananing manah punika amung antara, utawi wahana têgêsipun inggih

sandhaning jantung. Rèhning ênggènipun jantung kaliyan manah amung jajar

kemawon, dados sami pasêbutanipun. Jalaran upami surya lawan sorotipun,

sayêkti botên kenging yèn kabedakêna, kados ingkang kasêbut ing ngajêng

sadaya.

[40]Ing ngandhap punika tatandhanipun Khajat Kiyam. Têgêsipun

rêringkêsaning siriyah, sadaya wau inggih ugêr-ugêr saking Kitab Lokilmahpul.

Liripun papasthèning apngal, têgêsing papasthèn apngal punika wawatês tuwin

tamtuning lalampahaing agêsang. Ingkang sampun dados gagarisaning

Pangeran. Mila agêsang sadaya wau binasakakên darmadi, têgêsipun

lalampahanipun manungsa wau awon sae pancèn amung darmi kemawon, lêrês

lêpating patrap êmpan papanipun botên gadhah wawênang. Atas mungging

Pangeran piyambak ingkang kagungan Wisesa, mila sinêbut Kajat Jati Wisesa.

Satuhunipun kajating dat satuhu ingkang Amisesani sakaliring dumadi,

dene kaanan Lokilmahpul punika dipunwantahakên. Têgêsipun kalairakên

isbatipun saking panatanipun êmpu [41] Khajat ing Pajajaran kados ing

ngandhap punika :

Ingkang rumiyin tata lairing Lohkil mahpul punika ros-rosan. Liripun

anêdahakên gêgêlitaning manungsa punika sabadan sakojur jawi ing lêbêt

cacahipun sèwu siji, inggih sami nggadhahi wawatês gêsangipun piyambak-

piyambak. Ananging botên kapratelakakên satunggal-tunggal, amung kadamêl

têpa pitêdahanipun sawatawis, kados makatên upamènipun :

1. Kirim, inggih punika têkukan dariji ingkang pucuk.

2. Kharam, inggih punika têkukan dariji têngah.

3. Kurur, têkukan watês èpèk-èpèk.

4. Ukur, têkukan pungkasaning èpèk-èpèk wau.

5. Ugêl-ugêl,

6. Sikut,

7. Pundhak bau,

8. Pundhak têpak,

9. Pundhakan gêndhi,

10. Pundhak singkap.

Sadaya punika kêlitan ingkang sago-[42]longaning buja. Têgêsipun ros-

rosaning bau sapangandhap punika sadasa ros.

Ingkang kaping kalih, gêgêlitaning suku ugi sadasa ros malih,

namanipun sami mirip sadaya. Ingkang kaping tiga, jangga dumugi sirah inggih

sadasa kêrêt. Gêmbung salêbêting jaja dumugi cêthik, 10. Gêgêlitan ing lêbêt

badan ugi sami nyadasa, jangkêpipun sèwu kêrêt.

Mênggah pratelanipun sakojur wau, mila sami kadunungan wawatêsan,

awit anggadhahi pangawasa tuwin pêjah gêsang piyambak, makatên malih sami

wontên malekatipun, sarta tumut amimbuhi solah bawaning agêsang kita. Mila

sadaya wau wajib ingkang sagêd anguningani êmpanipun satuggal-tunggal,

inggih punika ingkang kaangge wawaton paugêraning. [43]Lalampahipun kitab

Lohkilmahpul wau. Manawi ing têmbe dumugining sakit ngantos pêjah, patrap

pitêdahanipun makatên :

1. Mila sipat punika kasandhangan sasakit, ingkang dados jalaranipun

sapisan pêjah ing gêgêlitan ingkang angka satunggal masup dhatêng

Page 27: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

angka kalih, tumusing raos aras-arasên utawi lêsu prungsang

sasaminipun.

Larating angka kalih dumugi angka tiga, masup dhatêng gilitan angka

sakawan, punika gadhah raos kêmba, tuwin kêju garinggingên pating

karêjot kaku, ing ngriku witing anêdha sakalir botên karaos eca.

Angka sakawan dumugi gangsal, masut23

dhatêng angka kanênêm. Ing

ngriku kenging sinêbut sakit sangêt. Mangka manawi angka nênêm wau

kirang prayitna, tuwin weya usadanipun sayêkti badhe pêjah jasa kita.

[44] Manawi angka nênêm wau sampun katarik kajat kita ingkang angka

pitu, têtêp pêjah têgêsipun botên kenging tinututan ing piranti.

Dene angka pitu wau manawi sampun mangsuk dhatêng angka wolu,

dipunwastani kêdri, têgêsipun kaku. Angka wolu masup dhatêng angka kasanga

pilip namanipun inggih punika lêmês malih wujuding jasat, manawi masup

dhatêng angka kasadasa wrêda namanipun, têgêsipun kasèp utawi ngabuh-abuhi.

Ingkang makatên punika sirêg tandêh namanipun, têgêsipun wêkasan sajati,

sampun botên wontên punapa-punapa, inggih sinêbut mahatmana, têgêsipun

pêsating nyawa sampun dumunung watêng sipat malih, mila lajêng winastan

alam Insan kamil, têgêsipun anganyarakên jamanipun dados sampun jumênêng

Adamapit ratulah.

[45] Ing ngandhap punika amratèlakakên dunungipun gêgêlitan ingkang

mêdal saking kitab Lokil mahpul. Têgêsipun papasthèning agêsang, ingkang

wantah kababarakên kaananing kori sèwu siji, kados ingkang kasêbut ing

nginggil wau sadaya. Mila naming karingkês dados sadasa pakarti, jalaran

amêndhêt gampilipun kemawon. Rèhning nunggil suraos tuwin lampahipun.

Ing mangke karingkês malih dening Sèh Khajat Jati Wisesa wau,

mênggah paugêraning agêsang punika inggih amung satunggal kadosa ingkang

kasêbut ing derah tigang buwêng. Ingkang sami winastan ati punika amung

antaraning jajantung kemawon, ewadene ingkang mastani makatên punika ugi

sampun kathah èmpêripun. Dene pasêbutan makatên punika inggih sami kapêtha

dalah sorahipun, kado-[46]s ing ngandhap punika isthanipun:

1. (gambar jantung)Parluning parabot ing lêbêt punika jantung, sab-sabipun

utawi papangkataning nama inggih kados buwêng ingkang tinrapa ing

sêrat maklumat jati, awit dat dumugi jasat.

2. (gambar ati) Sinêbut ati pangasih, parlunipun amung kadamêl nyirêp

arda.

3. (gambar ati) Ati sajati, patrap utawi pasêbutanipun botên beda kados

nginggil punika.

4. (gambar ampêru) Ampêru punika kaananing pambêkan, witing mosik

kaliyan jajantung, mila winastan ampêru.

5. (gambar maras) Maras, inggih punika dumunung sangandhaping iga,

sarta minangka wiwaraning napas, anpas, tan napas, nupus inggih punika

ênggèning was ku-[47]watir., kagètan, sumêlangan sami ing ngriku

panggenanipun.

Mila manawi Kitab Injil utawi Kitab Torèt, Kitab Jabur, wawatoning

pancadriya punika inggih gangsal prakawis pusêripun, têgêsipun pusêr ingkang

anyukulakên sakaliring cipta rasa, sami saking ngriku wêkdalipun, dene jantung

23

masup *

Page 28: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

kaliyan manah mila dipunangge sami pasêbutaning papangkata, margi ilap-

ilapanipun sami, sarta sarêng wêdaling samukawis.

Dene ampêru pakartinipun anampèni wahyaning ati pangasih. Sakawan

bab punika manawi sampun gumêlêng dados satunggal lajêng tumuwuh dhatêng

hawaning nupus, anpas, tan napas, napas, dene ingkang minangka

kawiwaranipun maras punika. Mila sami-sami parabot ampang piyambak.

Jalaran kaangge margi sèwu punika witipun kirang tuwajuh sakalir-[48]ing cipta

rasa. Mênggah dêdalan sèwu ingkang dumunung ing maras punika, ingkang

nama margi agêng sadasa pangkat. Têgêsipun satunggal-tunggaling margi

nyatus, dados satus kaping sadasa. Sadaya wau sami kalêbêt nama sadasa

gêrbanipun kados ing ngandhap punika.

1. Dipunwastani mak, inggih punika kêkênthênganing bayu ingkang

gubêt dhatêng tamtu sumêntug dhatêng sirah, lajêng nuwuhakên

sasakit bêngêng. Têgêsipun cumêkot ing sirah lajêng pilêg nanging

botên mêdal.

2. Winastan armab, têgêsipun lubèr, wahyanipun anyarambahi anggota

kita wahyanipun dhatêng sakaliring ros-rosan. Mila tiyang katrapan

uwas-sumêlang punika, tamtu kasandhangan sasakit lubèr. Têgêsipun

gumêtêr badan sa-[49]kojur. Trêkadhang lajêng naratap andon.

3. Dipunwastani danik, têgêsipun têtêg, wahyanipun dhatêng ing

garonggongan. Mila titiyang kadunungan manah jêrih punika,

anamtokakên kadunungan sasakit têtêg. Têgêsipun jêrih punika yèn

katêksakakên tamtu saênggèn-ênggèn wontên kêtêgipun, trekadhang

garinggingên.

4. Winastan supyy, têgêsipun lêluhuripun tiyang kadunungan rangu-

rangu wau kaprabawa tigang bab ing nginggil wahyanipun dhatêng

balung sungsum, mila kapêthuk ing bêbaya punika tamtu larut

kêkuwatanipun, trêkadhang malah lajêng dhèngkèlên.

5. Dipunwastani atmadi, têgêsipun nyawa sajati, tuwuhipun dhatêng

jinêm, inggih punika tiyang jêrih kanthi prayitna, wahyanipun lajêng

anarima, mila tiyang jêrih batin punika [50] tamtu kathah sumèlèhing

manah, kadosta titiyang botên rêmên niningali, tuwin lumuh

kêkêrêngan botên rêna raramèn, sapanunggilanipun sukasungkawa

botên lajêng. Sadaya wau sinêbut atmadi, awit sasandhanganing

nyawa,dados amung mamrih rahayu, ananging manawi kirang

wiradatipun têmah kasidhêm, têgêsipun tulus kabuntêl manahipun,

trêkadhang asring kasandhangan sakit kêjêr, têgêsipun gêndhêng

tanpa graita.

6. Sinêbut mur‟at, têgêsipun punika dêdalaning pangati-ati, ingkang

tumuwuh dhatêng pranawa, wahyanipun dhatêng pramana, têgêsipun

tajêm. Mênggah tiyang jêrih ingkang sakalangkung jêrih punika malah

dados kêndêl, awit mawi prayitna tuwin satmaka dados sagêd anarik

wahyaning kaèngêtan, inggih punika jêrih rahayu sangkan paran.

7. [51] Winastan karnikin, têgêsipun gumêlaring warana, wahyanipun

dhatêng solah bawa, liripun tiyang jêrih botên dhadhani jêrihipun

tamtu kadunungan girasing solah bawa, awit kadamêl ngalingi uwas-

sumêlang manah botên purun ngakên, wêkasan asring kasandhangan

sasakit gingsir, trêkadhang edan.

Page 29: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

8. Dipun wastani hupyi, têgêsipun sumèlèh, inggih punika margi parêk

lawan ampêru, asasandhan sakaliring wahana tantra, têgêsipun

wawayanganing jantung. Wawayangan manah, dados kathah

kaengêtaning cipta maya, wahyanipun dhatêng kêtêg ingkang

lumampah tan pêgat. Mila sinêbut têtêg punika santosa, ananging

manawi kasandhangan wadi têmah ngrêbda, liripun tiyang ingkang

kadunungan santosa wau manawi sakit bucik dagingipun lajêng

nuwuhakên kêsaring cipta da-[52]dos kaoncatan santosaning budi,

tandhanipun ing pundi ênggènig sasakit bucik wau tamtu katrapan

gêtêr trusing cipta. Inggih punika tiyang ingkang gadhah pangraos

mêneg-mêneg, wasana malah kêrêp kasandhangan. Mila turning

tiyang gadhah sasakit kocak ingkang thukul-thukuling mêmala punika

kasirikta, awit tumurun ali24

warisipun ing wingking tamtu makatên

sasakitipun, mila tumrap ing budi kêdah dipunpèngêti. Awit prakawis

bangasning tatu botên mawi milih dum luhur tuwin taliti sudra,

têgêsipun singa kasandhangan sasakit mala wiwitan punika botên

kenging mawi uwas-sumêlang. Bok manawi dados lalantaraning

sasakit barah wau, witipun saking kirang rêsikan utawi kirang kikrik

ingkang kaambah.

9. [53] Ingkang kaping sanga, dipunwastani jirimi, têgêsipun ebahing

maras, punika inggih sinêbut dados margayana, liripun dêdalaning

samukawis. Awit adamêl ebah tuwin rungkating paraboting lêbêt

satunggal-tunggalipun, manawi Kangjêng Nabi Nuh dalah para

sahabatipun, makatên punika winastan trumadi. Têgêspun wutah ing

madi tuturuh ing mani dhatêng wadi, katarik ebah ing rahsa roh

sapanunggilanipun. Mila tiyang ingkang karêm anggagas-gagas

punika tamtu kasandhangan sasakit umor, mungkug-mungkug, utawi

saanglimputi sakaliring lampah, dados angêdalakên kumyusing riwe,

awit wahyanipun saking tambyu. Têgêsipun poking jangga, mila botên

prayogi tiyang sugih gagasan êmar-êmar, [54] ing panggalih punika,

lair batinipun yakti badhe kasandhangan usruhuru, têgêsipun adamêl

gograg sakaliring panggraita sasampunipun, ingkang dumunung ing

batin, manawi ingkang tumrap tata lairipun winastan ura-ura,

têgêsipun gègèring lalampahan, ingkang tumrap ananging alam

donya.

10. Ingkang kaping sadasa, sinêbut marmin, têmbung jawinipun

dipunwastani marsandi, têgêsipun was-was, wahyaning karna netra,

liripun uwas sumêlang saking pamirêng punika awon sae, awit

manawi pancèn sampun gadhah lambaran ngilmi botên sagêd tumanja

pojaran makatên wau, manawi ingkang dèrèng kadunungan dunung

kajatènipun sayêkti anuwuhakên win-winin. Têgêsipun binglêng-

ngênglêng. Wêkasan sinêbut tiyang ewah dating Imamipun.

[55] Mênggah ingkang kasêbut sadasa prakawis punika prayogi

kaèngêtana, karana Sèh Kajat Jati Wisesa punika, saking lêbêging pambudi tuwin

sampun anyatakakên sakaliring paraboting manungsa jawi lêbêt, lair batining

rahsa, sunat parluning ngilmi pancèn sampun rinaosakên sadaya. Têgêsipun

24

ahli @

Page 30: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

êmpu Kajat Jati Wisesa punika amung asung pepèngêt dhatêng para ingkang

asmi kaparêng amarsudi dayaning ngilmi makripat, makatên malih êmpu Kajat

Jati wau amitêdahakên sakathahing margi rahayu, supados botên kasaluru

sangkan paranipun, sumêrêp papanjing suruping pati, tur angicalakên sêmang-

sêmang, miwah uwas sumêlanging galih, sagêdipun tulus, mulus alus terus

anêtêpana ingkang sangang prakawis, [56] wawantahaning kajat kados ing

ngandhap punika:

1. Ingkang rumiyin kita kadunungan netra, têgêsipun kinèn waspada

sakaliring pandulu, liripun aningali saniskaraning lalampahaning alam

donya punika sampun ngantos kirang awas. Têgêsipun awas wau

sumêrêp lair batin jawi lêbêt, dados sagêd nêrusi paningaling dat sajati,

sampun anon botên andon, liripun dulu punika kêdah dumunung dados

botên sinêbut ina.

2. Ingkang kaping kalih karna utawi talingan, têgêsipun pêpeling utawi

ênggèning kaèngêtan tinêtêpana pamiyarsaning dat punika kêdah

anglèng. Têgêsipun bolong têrus, inggih punika têtêrusaning dat, têtela

botên kenging amirêngakên ingkang botên dumugi kajatèning Pangeran.

Liripun sada-[57]ya wiraos sapanunggilanipun anggêr mawa swara, yakti

kêdah kasunyatan, dados nêtêpi ing agêsang.

3. Ingkang kaping tiga grana, wajib kaangge ngingsêp. Têgêsipun sarwa

suganda wau badhe punika kaananing rahsa sajati, sasandhanipun

kaliyan karna, liripun anunggil wiwara, liripun talingan grana punika

margi satunggal, mila boten kenging kadunugan dudu, têgêsipun sampun

ngantos katrapana ambu kang amis bacin sasamanipun, miwah sampun

mirêngakên ujar sora saru, awit damêl suruting cipta pangarasa.

4. Ingkang kaping sakawan, lesan. Têgêsipun lalandhêsan utawi wawaton,

inggih punika pangucaping lathi sagêda maton, tuwin patitis wêkdaling

pangandika, dados terus pangandikaning dat. [58] Sampun ngantos

kasêbut ancik wot ogal-agil, dene ingkang makatên punika tandha dede

pangandikaning Pangeran, mangka manawi kapirid saking wawaton

sarenagtipun Kangjêng Nabi Musa makatên.

Sajatine manusa iku unusan.

Sajatine uwong iku sêla, iya awing uwung, laire ora ana catur goroh, pra

loro ora tatêlu, kang ingaran manungsa wau tajalining Pangeran Kang

Amaha Suci, Manawa ora nyata yakti ora wruh ing Pangeran, goroh

marang uripe, êmpane kêna ingaran cidra dadining alam donya.

Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika wau sadaya, mugi

kaèngêtana sampun ngantos makatên. Rèhning urip punika ngèsthi

rahayu.

5. [59]Ingkang kaping gangsal, apngal. Têgêsipun solah bawa, wahyanipun

saking pajalêran, katumusan wahananing mani. Liripun asalaing

manungsa anggadhahi bêsus ing solah bawa punika, katarik saking

karkating mani, ananipun dados paringsilan. Têgêsipun hardening

pajalêran punika saking kajating asmaragama, tumrap pamêncuring wiji

sajati, mila ingkang sampun mangêrtos kajatèning ngilmi makripat punika

botên kewran anggalih satuhuning dumadi. Botên wang-wang

wawadosing pambudi sajatinipun.

Page 31: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

6. Ingkang kaping nênêm Asma, têgêsipun jênêng. Liripun pasêbutaning

tiyang wontên ing alam donya wau angèngêtana namanipun. Mila nama

wau inggih namaning Pangeran, dados sinêbut jumênêng, [60] mila ing

agêsang punika manawi botên makatên inggih botên jumênêng

gêsangipun.

7. Ingkang kaping pitu, winastan sarwadi, têmbung Arab mahpani,

têgêsipun patraping agêsang punika kêdah sumêrêp papan doning

dudunung. Liripun pêpêntogan. Inggih punika wêkasaning cipta.

Pungkasaning budi, tuwin panggraita, kados ingkang sami kapratèlakakên

ing sêrat riwayat jati. Wawantahanipun sang Sèh Kajat Jati Wisesa

makatên.

Kasunyataning agêsang punika dumunung wontên ing budi prêmati,

liripun manawi kinadarakên gêsang sarta taksih dangu dumunung

kaananing alam donya nyumêrêpana lampahing alaming agêsangipun.

8. [61] Ingkang kaping wolu, sipat. Têgêsipun wujud, inggih punika

kaananing Pangeran, hawarana sipating manungsa, liripun ing kaananing

alam donya punika sampun ngantos pangling dhatêng sipating

agêsangipun ing agêsangipun, inggih saksak amujudakên kawasaning

Pangeran kang amaha suci sajati. Têgêsipun ing agêsang kita wontên

kaananing alam donya punika, wajib ingkang sumêrêp wawadining

agêsang. Mila salêbêting Kitab Hidayatilkakaik, sampun nyêbutakên, sing

sapa wruh wujude, iya wruh sipating Pangeran. Mila pasêbutan makatên

punika sampun dados wajibing agêsang. Manawi botên makatêna yakti

sinêbut kapir, miwah kupur. Mila wajib amatitisakên sakaliring pasêbutan

ing nginggil wau sadaya, [62] manawi têmên awas ing pamawas yakti tan

uwas, sarta botên beda dununging alam awal miwah akiripun, inggih

akerat inggih alam donya, mila sinêbut têtêp-tinêtêpan, liripun sami

panjing-pinanjingan.

9. Ingkang kaping sanga, mila dipunwastani nawa, wantahing têmbung

amêndhêt saking hawa. Inggih punika suwung, utawi lèng, rong, song

pikajêngipun suwung punika ingkang sagêd nyirnakakên sakaliring kajat.

Lèng punika sagêd ingkang têrus manthênging kajat jati, têgêsing rong

ingkang sagêd gadhugakên samukawis cipta rasa sapanunggilanipun.

Manawi têmbung Jawi sinêbut hawani, têgêsipun ingkang sagêd ambirat

karkating roh, dados tiyang ingkang asring gadhah lampah wadat punika

sampun nama hawani, awit sagêd anyirêp kaja-[63]t kita saking kaanan

awalipun. Ingkang makatên wau tandha têmên angantêpi tokiting tekat

sajati, manawi riwayating para nabi sadaya punika anêtêpakên

kasunyataning agêsangipun, dene nyirêp sakalir-kaliring karkat, inggih

punika nandhakakên smaoun sumèlèh, utawi sampun kadunungan manah

satunggal. Awit botên susah kamlaratan botên bingah kasêmbadan,

muhung amuntu trusing ciptamaya.

Mênggah pasêbutan ing nginggil wau sadaya, sampun botên pisan-pisan

malèsèta ing kajat jati wisesa, ananging manawi kapirid saking sarengating alam

donya taksih kababarakên wantah ing pasêbutan. Winastan pasang yogyapara,

têgêsipun sambung rarapêtaning ukara mantra, kados pitung prakawis ingkang

kapratelakakên ngandhap punika:

Page 32: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

1. [64] Ingkang rumiyin winastan isradi, têgêsipun dhudha, zasradi punika

rondha,saupami gadhah lampah wadat punika botên dumunung

santosaning tekat, wadatipun botên dados. Awit kaewokakên saking

gothangipun. Nadyan sampun suci tekating ambirat sahawat, yakti taksih

kenging lalar batangan. Têgêsipun saking tanpa sisiyan.

2. Ingkang kaping kalih, winastan nirwahyana, têgêsipun sanadyan tiyang

taksih jêjodhon ning sakaliring asmara. Anggêr taksih kawistara

pambirating rahsa, sayêkti botên dados wadatipun. Jalaran samukawis

lampah, manawi taksih ngatawisi batal pangèsthinipun. Inggih punika

pagolonganing ngo-[65]glèng tataki, têtela botên anêtêpi kasunyataning

khajat jati, jalaran êmpan papaning tiyang ngatawisakên kasutapanipun

punika, saking kaoling kitab malah angsal dudukaning pangeran. Liring

ngados tigang prakawis:

1) Dados saking tekat25

kirang mantêp, asmu angupados

pangalêmbaning sasami-sami.

2) Dosa dhatêng roh. Awit ngampêt padataning jêjodhon, ingkang

makatên punika cêpak kagodha banhsaning sanggama.

3) Dosa dhatêng dat sajati, inggih punika kalêpatan saking Pangeran,

awit cidra katêmênaning khajat kirang santosa. Mila kêdah dhamis

pakartining kajat pangarti, sampun ngantos katarècèt sabarang cipta

kita.

3. Ingkang kaping tiga, winastan sanggama. [66] Têgêsipun sahwat, mila

makatên, liripun babaraning kajat wantah , kados duk para wali sami

anglampahi wadat punika sajatosipiun boten wadat sajêgipun gêsang,

inggih amung kawatês saking awis dugi mèt prayogi, wawatonipun saking

èngêt, inggih kados riwayat dalêm Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan

ing Kartasura, sokur sagêd adamêl wawatêsan.

Inggih ing sajatosipun ingkang kasêbut nginggil punika, têmênipun

sampun manjing rahsaning kikiyasan sing sapa anglakoni bisa wadat

sajêge urip iku Manawa tan kawisesa, langka bisa angampah sanggama

sajège. Têgêsipun manawi botên pagas sipating pajalêran, saèstu botên

sagêd kanyataan. Mangka wontên ingkang [67] tekat Khajat Jati Wisesa

tinrapakên, punika botên dados margining pêjahipun. Ananging pakarti

samantên wau langka kalêksananing tekad, yakti muhung kadamêl

pasêbutan kemawon. Mila sumangga panggaliyan.

4. Ingkang kaping sakawan sinêbut Apngali. Têgêsipun anêdahakên

ênggèning wadat ingkang sampun sagêd ambirat sakaliring solah bawa

kita, kadosta sampun lumuh parameyan salêbêtin sarêmi punika manawi

têrus inggih manjing wadatipun, dene wantahing kajat makatên :

Botên gimir mulat sêrênging ukara, botên kagiwang mawang

wawangunaning suwargi, botên keguh girugah ing sanggama, botên

kasaliring liliringi nitya, mangka tiyang jalêr punika godha rancananing

cipta wau, muhung saking tan kawawa wikan dhèmês luwêsing tênaga,

mamanising wiwara, [68] sêdhêp sasmitaning priya, momor sambu

25

tekad @* (setiap penulisan kata “tekat” membacanya sesuai yang telah diedisi berlaku sampai belakang)

Page 33: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

kasunyataning ngacipta. Mamrih icaling sênênipun kantun watoning

kasênêngan. Trêkadhang malah mijilakên pangrêbdaning wêlas asih.

Mênggah wawantahanipun têmbung momor sambu kasunyataning cipta,

mamrih icaling sênênipun punika katarik tandang tanduk trapsilanipun

dhatêng kakung, anunggili karsa tur sambada panatanipun. Têgêsipun

tiyang jalêr susah bela sungkawa, saciptaning kakung sagêd anuju

mangsa kala, pangulapipun mawi anoraga.

Mênggah pasêbutan ing nginggil punika, sintên ingkang kawawa

nahêni, cêpak-cêpak wijiling sih tresna, yakti kadadak risaking sisinom

tinata wau. Mila wêkdaling gara godhanipun tiyang jalêr ingkang

sumadya nglampahi wadat punika warni-watni, inggih amung bangsa

wawênanging pawèstri.

5. [69] Ingkang kaping gangsal winastan baruwah wadini, têgêsipun tiyang

jalêr punika manawi sampun sagêd nyabili tekading pawèstri punika

kenging sinêbut wadat. Mênggah wawantahanipun makatên :

Awit kala jaman mintaraga dumugi sapariki, tiyang jalêr badhe nêtêpi

kajat jatinipun lumuh dhatêng pawèstri, malah cêpak godhanipun tamtu

bangsa èstri, mangka garagodhaning èstri wau manawi sampun ngêtog

katekadanipun sampun rotên26

ajrih pêjah, botên ngêdhap kalingkaping

wawadi, mila sinêbut baruwah wawantahipun ambruk angêbroki kadamêl

risaking cipta. Bawur pakarti kang yukti, manawi wontên garagodha

ingkang makatên punika saèstu tundha bemaling pangèsthi, kados pundi

mênggah katrapan reka makatên punika, cêpak kita katalanjuk ingadudu.

Têgêsipun kasasar saking kajat kita [70] ingkang sajati, witing cipta ura

tan lyan saking tênaga.

6. Ingkang kaping nênêm, dipunwastani bemani, têgêsipun pamurunging

rahsa punika saking patrap ingkang botên kanyanan. Liripun tiyang têtêp

wadatipun wau manawi sampun sagêd sambada ing budi gangsal

prakawis :

1.) Manawi sagêd angilangakên panggagas. Liripun tiyang kadhatêngan

pawèstri ingkang dèrèng kapanggih botên magêpokan kulit daging.

Wah lamban, pasang nitya sandaning warna, nyaplaki kaliyan adat

kasênênganing galih. Ing ngriku langka manawi botên lajêng

nuwuhakên panggagasing galih kaliru, inggih punika manawi sampun

wêning pangalêm manamipun ingkang dhatêng mariku purugipun,

sayêkti manjing wadat sajati. Nanging cêpak tuwuh wiyaga.

2.) Manawi sampun sagêd ambirat sipat mantar. Têgêsing wujud busana

dalah pakarti [71] kadosta : mangangge prasaja tur sarwa aji.

Busananing mantra, têgêsipun sumbaganing pawèstri ingkang mêsthi,

kadosta tatasik rêmbêt-rêmbêt, anggantèn ngindhakakên cahyanipun

ukel agantung ati. Manawi sampun sagêd bahèkakên inggih manjing

wadatipun, cêpak korut tamanipun sanalika.

3.) Manawi sampun sagêd anglirwakakên pasunganing bebedhang.

Miwah panyuwuning para rêmênan, nanging ingkang taksih

nêdhênging karsa sakaron punika sampun kenging tinêtêpakên

26

botên @

Page 34: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

wadatipun. Nanging ingkang mupakat lajêng botên etang nyambut

aninikêli yèna darbe pribadi.

4.) Manawi sampun sagêd eklas dhatêng katresnanaing wadon sawêg

binantalan asta, utawi gadhah cipta sêngit, nanging sadèrèngipun

salulut, ingkang sagêd birat pakarti makatên wau Insa27

Allah kenging

dipunwastani sampurna pambirating sanggama, têtêping wadat-

[72]ipun. Ingkang makatên punika titimbangananing sadhèrèk tunggil

guru botên kenging alan-inglanan inggih kados makatên upaminipun,

mangka ingkang cêpak anuwuhakên lilingkap. Têgêsipun lali

kamulaning pangèsthi, lena witing panalangsa.

5.) Manawi sampun sagêd wêning rohipun punika kenging sinêbut

manjing wadatipun. Têgêsing wêning roh punika, sampun tawa, inggih

punika tiyang sampun lumuh nuwuhakên wiji. Mangka sipating kutu-

kutu wong alangatag punika mnawi taksih gêsang sayêkti botên

wontên suwungipun. ajawi saking sandhang sasakit sayêkti pajêg

kemawon. Ewadene manawi tiyang èstri sayêkti kasandhangan luwas,

awit saking sabên wulan sukêr sarêng rahsa sampun mapan lajêng

botên mêdalakên.

7. [73] ingkang kaping pitu dipunwastani wuryaning swami. Têgêsipun

tiysang manjing wadatidpun punika, manawi sagêd eklas28

panggêraning

garwa widaning siyang ratri. Liripun manawi sampun sagêd ambirat

sambating sasakit, panggêrusing langip, saèstu kenging tinêtêpakên

wadatipun, mangka kalih bab punika wantahipun dados sangang prakawis

kados makatên jarwanipun:

1.) Aningali pucating garwa nandhang susah sangêt

2.) Aningali gêrusing garwa sambat kaluwèn.

3.) Amirêngakên sasambating garwa nandhang sakit.

Tigang prakawis punika arang kawawa ing galih.

4.) Aningali kacuwaning garwa koncating putra

5.) Angraosakên prihatining garwa kecalan kasênênganipun ganjaran

saking kakung, sanadyan sagêd anglintoni sayêkti taksih cuwa,

mangka patrap ingkang makatên wau botên kenging yèn tumrapa

dhatêng lampahipun, [74] dados ingkang makatên wau wadati war

namanipun. Têgêsipun sanadyan wadat nanging botên dados, margi

taksih mandhêg tumolih.

6.) Angraosakaên pêcating garwa, manawi taksih gadhah uwas sarta

wêlas, inggih dèrèng manjing wadatipun.

7.) Aningali solah bawaning garwa duk angupados pagaotan punika

manawi taksih grantês inggih dèrèng manjing wadatipun.

8.) Angraosakaên rubêt rêntênging garwa, têgêsipun tksih uwas sumêlang

dhatêng lalampahaning garwa yèn kangèlan, inggih punika botên

dados wadatipun.

9.) Manawi taksih kagiwang dhatêng sêbuting garwa inggih botên dados

wadatipun.

27

insya * 28

ikhlas *@

Page 35: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Mênggah sadaya pasêbutan ing nginggil punika saèstunipun sami dede

dununging [75]ngalampah wadat, taksih salêbêting surpazaki, têgêsipun

mandhêg tumolih ing ngriku lajêng kadunungan kaliyan tèmpèling kajat jati

wisesa, botên paja-paja tumèmpèla, sarta tumrapa. Mangka manawi kajat jati

wisesa punika sajatosipun saking sampun matêng pamanggihipun dhatêng

bangsaning ngilmi makripat, utawi saampun botên kasamaran, mila

dipunpatrapakên sakathahing lalampahaning wadat wau, amung kaangge têpa

tuladha, tuwin amung nêdahakên dhatêng katekataning manungsa ingkang taksih

kirang maksudipun.punapadene sanadyan lêrês lêpat kêdah rinaras

pakantukipun, manawi nampika kang awon, milih ingkang sae kemawon, yakti

kenging sinêbut sagara anampik sarah, makatên punika badhe sinêbu-[76]t

janma asmarah. Têgêsipun prasasat awak-awak ing tawa, utawi bawaning nêpsu,

saèstunipun tansah angkara murka ingkang kawistara, inggih sajatosipun adon-

adon ing têmbung makatên punika taksih wahananing budi. Awit budi punika

manawi kababar dados gangsal pasêbutan ing ngandhap punika :

1. Ngakal. Inggih punika sajatosipun wahananing budi.

2. Budi sajatosipun wahananing sir.

3. Sir, sajatosipun wahananing cipta.

4. Cipta sajatosipun wahananing rahsa. Mila wontên pasêbutan sêdya.

Niyat karkat, karêjêt, sadaya wau wahyaning rahsa ingkang

ngosikakên.

5. Kaza, mila khajat jati wisesa kaangge pupungkasan, sajatosipun dzat

sajati punika manawi badhe mosik sapisan winastan khaza. Mosik

kaping kalih nama khajat, mosik kaping tiga nama kha-[77]jat jati

wisesa. Inggih punika witipun lajêng sagêd anggadahi nama budi.

Ngakal, sir sapanunggilanipun wau.

Mila ingkang sampun pasah dhatêng kajatosaning khajat jati wisesa,

saksat sumêrêp ing sadèrènging winarah, karana sakaliring rahsa sagêd rumasa,

sakathing pangrasa sampun rumatos. Têgêsipun saniyat ingkang dados cipta

tuwin wahyaning osik kita inggih osiking Pangeran Kang Amaha Suci sajati,

dumunung gêsang kita punika sampun wantah sipating Pangeran. Sadaya

karkating panêdya kita punika sampun dados karsaning Pangeran, pangandika

kita saklimah inggih Pangandikaning Pangeran, mila manawi dhasar pinêsu

wawantahaning kajat jati punika botên malèsèt amastani saebah osiking jagat

raya sapanunggilanipun. Wondene dudununganing Khajat jati wisesa wau

ingkang sampun sami dipunlampahi lawan kasunyatanipun para wali-wali sadaya

kados ing ngandhap punika:

[78]Mênggah papangkatanipun ugi saking kawan prakawis ing

patrapipun :

1. Botên liya saking sorahing maruta manda. Têgêsipun sarèh ing napas,

inggih punika manawi titi-patitis angèn lampahing ngambêktan sarta

botên kawoworan sambu, saèstu têtêp panataning napas ingkang mêdal

kaliyan malêbêt, dados botên kasamaran dhatêng ruwedaning napas

ingkang pacèn adamêl bancanananing lalampahaing napas wau, kita

sagêd anyilah-anyilahakên yakti kita lajêng sagêd nguningani wêdaling

Page 36: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

napas kita piyambak ingkang èstu badhe aminangkani sakajat kita jati kita

pribadi, awit wiwaraning dat badhe anêdahakên sajati sir kita saking

napas ingkang sarèh tata, wantahipun saking tabêri, ngênêp karsa sarwi

mantêp ing sidhêm pramanêming budi sanubari. [79] Manawi bangsa

ngalim inggih punika ingkang sinêbut salat da‟im, manawi bangsa tiyasa

dipunwastani tobat ingkang tan amawi pêdhot.

2. Ingkang kaping kalih andhah-andhahaning kajat jati wisesa punika

dipunwastani anpas. Têgêsipun wiwaraning dat anggènipun badhe

nêtêpakên pangawasanipun. Mila ingkang sampun mêmpan pratikêl

tatarikaning anpas wau saupami badhe nêtêpakên sakaliring osik, saèêstu

botên angaping kalih pakarti. Liripun inggih tiyang ingkang kawasa

saosikipun sagêd caplak punika inggih saking tabêri ngrêrêmakên budi

nyarèhakên napas wau lajêng kapêtêg sawatawis. Têgêsipun sanalika

cipta kita ngriku mawi ambirata saniskara, ingkang mêlêng satunggal

gaganthênganing pamanthêng wau, saèstu badhe amijilakên khajat jati

ning Pangeran kang agungg, inggih punika manêkung sanalika ing

palungguhan kemawon sagêd, [80] mila dados manawi sampun

mangartos sawawadosipun, manêkung punika nadyan salêbêting

paamuwan inggih sagêd kanyatahan kajatipun ,dados ing agêsang wau

pancèn kinawasakakên sêdyanipun sawanci-wanci, amung saking botên

ginalih tulènipun, tuwin botên kapatitisakên kemawon, mangka sorah ing

Kitab Insan kamil inggih ugi sampun sami angêblakakên sadaya, sarta

botên mawi susumpêtan, dados kawontênanipun sami kirang pamanggih

punika amung saking kalingan manahipun piyambak kirang pinusus,

têgêsipun saengga kadamêl piyambak.

3. Ingkang kaping tiga, dipunwastani tan napas. Têgêsipun panyirêp, inggih

punika panyirêping sakalir, liripun tiyang asring sumingkir ing asêpi

mêmpên ngawingit, amung badhe [81] ngampah hawa

sapanunggilanipun, ingkang makatên punika inggih katarik saking khajat

jati wisesa, anggènipun badhe numusi sakawasaning dating agung kang

maha Wisesa, mila manawi ingkang sampun sagêd angrêtosan.

Lalampahaning osik samantên wau amung darmi kemawon. Ing

sajatosipun karsaning Pangeran arsa nuwuhakên wawênaning palal.

Têgêsipun ganjaran, mila asring wontên tiyang amamanggih raja donya

sapanunggilanipun ingkang kalayan elok, sarta botên wontên ingkang

anglokakên kecalan. Ingggih punika sajatosipun gadhahanipun piyambak,

têrang saking palalullah ananging lalampahan makatên wau saking

dèrèng sagêd anggathuk-gathukakên lidinipun kemawon. Mangka manawi

dipunêmatakên prakawi-[82]s makatên punika inggih saênggèn-ênggèn

sampun dados pangawasanipun piyambak, mila para wali ingkang matêng

pakartiniun wau saengga sagêd adamêl donya, liripun inggih amung

saking sabda kemawon, saèstu ingkang mamanggih makatên wau saking

botên rumaos kemawon manawi sakêdhèping netra katarimah kajating

dad, dados pangraosipun amanggih, mangka lalampahaning pangawasa,

sasandhaning cipta katarima, panglêburaning ngadosa

sapanunggilaninipun wau, manawi dèrèng kulina tuwin dèrèng nate

ngraosakên amung kados tiyang supêna kemawon, dene manawi ingkang

Page 37: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

sampun mangartos inggih botên kewran wahyaning pangawasa ingkang

makatên punika, jalaran sampun sumêrêp ing sawawadosipun.

4. [83] Ingkang kaping sakawan wahyaning kajat jati wisesa, ingkang badhe

andadosakaên jagat punika dzat aningali sesining awang uwung,

wahyanipun saking manon. Dados jatining wisesa botên kalingan punapa-

punapa. Inggih punika wantahipun nupus. Têgêsipun pamêpês, têgêsipun

tiyang ingkang sagêd amêpês hawaning cipta maya wau, saengga sampun

kenging binasakakên mati sajroning urip, urip salêbêting pati. Liripun

inggih tiyang nyirêp hawaning gêsang punika saengga sampun pangawasa

dat, mila manawi dipunêmatakên , sadaya lalampahan salêbêting jagat

agêng punika, pundi ingkang dinulupêlênging cipta saèstu sumêrêp

kemawon, saupami wontên bêbaya, sagêd bengkasa palênggahan botên

mawi puna-[84]pa-punapa, têgêsipun tutulung tur mikuwati, ingkang

tinulungan inggih rumaos sarta kaltingal sawujut29

têmah sangêt

panarimahipun.

Mênggah ingkang sampun kanyatahan marsudi êmapaning kajat jati wisesa,

ing kina amung Sèh Armiya, inggih punika Umarya, mila lalampahanipun

sakalangkung èlok, kadosta:

Anyablèk wêntis lajêng sagêd mêsat kados kilat, sarta udani angudèni

sakaliring jagad raya botên amindho kardi, mila umarmaya lajêng manjing

rijalullah gaib, inggih saking sampun botên kewran wawadosing ngilmi

sapanunggilanipun. Ingkang maksut dhatêng kajat jati wisesa wau malih,

Kangjêng Nabi Kilir, Kangjêng Sinuhun ing Kali Jaga, manawi jaman kadewatan

Arya Bratasena.

[85]Wondene ingkang dados katalêring kajat jati wisesa punika amung saking

kawasa pinawasa. Têgêsipun wawênang ingkang ngawêning, inggih punika

tiyang sumêrêp wiwitan wêkasanipun, mila wawêlinging ngilmi wau

anguninganan purwa madya piyambak, sakaliring purwa awite saka ha, witing

madya saka antara, witing wasana saka santosa, pêncaring urip têlung prakara

saka anane kauripan.

Mênggah babaripun saking tanajularki kawantahakên wontên akasara kalih

dasa kados makatên jarwanipun satunggal-tunggal :

1. Ingkang rumiyin uriping sipat wau mawi dipun isbatakên aksara ha, na,

ca, ra, ka : têgêsipun anane urip iku saka sakalir-kaliring panca [86]

maya, inggih punika cahya gangsal mawi kawijangakên makatên:

1.) Ha, punika amung pitêdahaning têmbung ingsun, ingkang makatên

punika kawontênaning napas wau asal saking rahsa sajati, rahsa

sajati punika wahananing dat, inggih punika lairing kajat jati wisesa.

2.) Na, punika ugi dudununganing ukara manawi amung pitêdah wahana

kemawon, liripun sami saking kaananing rahsaning dat sadaya,

têgêsipun amung dudunungakên makatên:

Saobah osiking napas iku uga saka wisesaning khajat jati wisesa,

tandhane nganggo malêbu utawa mêtu.

29

sawujud *@

Page 38: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

3.) Ca, punika pangartining asma, têgêsipun anêdahakên asmaning

Pangeran punika inggih dumunung wontên napasing sipat, [87]

liripun ugi taksih sami kapurba saking khajat jati, inggih têturasan

saking kawasaning Pangeran kang Agung sadaya.

4.) Ra, punika akal, inggih budi, têgêsipun amung nêdahakên manwi budi

wau wahyaning sir. Sir punika wiwaraning kajat jati wisesa, dados

wantahipun anêdahakên sakaliring cipta rasa budi sir wau taksih dede

dununging kajat jati, sarta dèrèng paja-paja, têgêsipun sadaya wau

amung minangka gêlaraning dat kang agung.

5.) Ka, punika kaanan, têgêsipun sastra gangsal iji wau anelakakên

manawi katitipan purbaning kajat jati wisesa, inggih saèstu punika

badhe narambahi dhatêng sanès-sanèsing pagêlaraning dat wau.

2. [88]Ingkang kaping kalihipun andunungakên isbataning anpas, inggih

mawi kapatrapan wujuding aksara gangsal iji:

1.) Da, inggih punika wahananing dat wau dumunung wontên ing anpas.

2.) Ta, inggih punika pikajênging anpas, anggènipun ngakên dados

sasandhaning atma, margi kapurba saking kajat jati.

3.) Sa, punika langgêng, utawi satunggal, ing sajatosipun kaananing kajat

jat wisesa wau inggih nunggil kemawon kaliyan anpas. Ananging

dèrèng tinarbuka ing kasunyatanipun, amung saengga taksih kêkêran,

amung sambung rapêting kêdhap kilap sampun manggèn ing

kaananipun, mila aksara: sa, punika lajêng kaagêm pasêbutaning

pangeran kang asipat esa, têgêsipun sipat satunggal,[89] tuwin asipat

elok.

4.) Wa, punika margi tuwin palawanganing kajat jati wisesa, saupami

wontên ungup-ungupaning dat, inggih sampun parêk lawan paraboting

anpas wau.

5.) La, punika wahananing lalampahan sadaya, têgêsipun amung

nêdahakên sakaliring cipta maya. Manawi tanpa brata, sayêkti badhe

kagiwang wawasaning kaanan ing satuhunipun, dados wantahing

têmbung sadaya kajating manungsa ingkang kalawan badhe

anêrusakên wau inggih kêdah mawi sarana tapabrata sawatawis.

Parlunipun amung sagêda tuwajuh ing sakaliring para panêdya, awit

êmpaning tapabrata punika amung nêtêpakên ing katêmênanipun

nêtêpi santosaning Imam.

3. [90]Wontên malih bab kaping tiga punika winastan tan napas, inggih

punika ugi wiwara janma. Têgêsipun dêdalanaing rahsa, ananging ugi

dipunisbatakên dhatêng aksara gangsal malih:

1.) Pa, ibggih punika pangartining patrap. Têgêsipun inggih ingkang

sagêd matrapakên sakaliring lalampahan, awit ing agêsang punika

amung matrap, mila sakajat kita sagêd nyata.

2.) Dha, inggih punika garbaning tan napas, sami kalêmpakakên wontên

ing ngriku dunungipun, ingkang winastan ing nginggil punika, inggih

kêdah linaksanan ingkang dados kajat kita wau, sayêkti sae.

3.) Ja, têgês saha pikajêngipun aksara punika mawi anggadhahi

dudunungan dhatêng tajrining tan napas. Liripun a-[91]nêdahakên

mêngah ingkang sinêbut tuwin pikajênging aksara punika têmênipun

amaedahi dene sumêrêp dhatêng kawajibaning kajat jati wisesa.

Page 39: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Têgêsipun uninga saniskaraning wiwara. Wantahipun aksara wau,

inggih jêtmika, tuwin jinêm.

4.) Ya, têgêsipun wawayangan, inggih punika sorot utawi wawayanganing

dat ingkang nyoroti dhatêng wiwara sadaya wau, amung wantahipun

aksara ya punika, nur: ugi wahya ingkang andadosakên, mila

sanadyan wahana manawi nur punika parlu kangge ing aptraping tan

napas sadaya, awit badhe mimbuhi mayaning kajat jati wisesa.

5.) Nya, têgêsipun jagad, kawontênanipun aksara nya, wau pikajêngipun

sanyaruri, inggih punika wantahing wawêjangan sadaya, [92] ingkang

mungal awang-uwung, tuwin ora apa-apa, nanging manawi

tinrapakên ing wawantahanipun inggih amung kaisbatakên aksara nya

wau, pikajêngipun jagad, liripun inggih jagad cilik jagad gêdhe,

punika kajatèning kajat jati wisesa.

4. Ingkang kaping sakawanipun nupus. Têgêsipun pamênês. Mênggah

isbatipun ugi mawi aksara gangsal malih :

1.) Ma, pikajêngipun pramana, inggih punika ingkang kaangge

wiwaraning kajat jati wisesa, têgêsipun panggènaning dat badhe

aningali sesining kaanan alam awal akir30

, purbanipun inggih saking

paningal kita, liripun dat asasandhan kaliyan pranawa ning pramana

punika lajêng sinêbut kajat jati wisesa, awit panggenanipun awas ing

pandulu kawimbuhan waskithaning [93] budi. Dados anggènipun

lajêng gadhah pasêbutan kajat jati wisesa punika saking sampun

kanyataan ing wawênangipun, sarta sakaliring pangawasaning dat

sampun katandha ing sipat kita sadaya.

ingkang kaping sakawan isbataning kajat jati wisesa, salêbêting

nupus, mawi aksara gangsal malih :

1. Aksara ma, têgêsipun andunungakên wahananing kajat jati wau

wontên ing nupus. Liripun ingkang sampun manah satunggal, awit

nupus wau anggadhahi pikajêng pamênês, tuwin panarimah, inggih

puika ingkang sampun botên manah punapa-punapa.

2. Aksara ba, têgêsipun gêlarananing parabot ingkang sampun botên

mawi lulungidan. Mila ba punika arabipun aksara be, anggadhahi

têgês wurung, tumrapipun dhatêng nupus inggih ingkang sagêd

ambirat sakaliring solah bawa sasamini-[94]pun dados

wahananing aksara be wau ingkang wurung. Liripun sêpên

saniskaraning cipta. Wantahipun inggih ingkang sampun sagêda

ngênêp samukawis, mila wahyaning kajat jati wisesa dumunung

wontên saantaraning jinêm, kanyatahanipun mawi sidhêm

pramanêm. Wondene anggènipun aksara ba kaliyan aksara ga,

kagarba ing têmbung dados satunggal awit nunggil pikajêng dalah

têgêsipun, punapa dene dudununganipun muhung awak-awak

satunggal, liripun amung ngringkês pasêbutan.

3. Aksara tha, inggih punika anggadhahi têgês kakalih:

1.) Èngêt,

2.) Awasing budi sanubari.

30

akhir *

Page 40: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Ananging manawi kapirid saking raosipun inggih amung dados

sapasêbutan, awit sami purbaning dat sadaya, inggih tutumusan

kawaskithaning kajat jati wisesa, wantahipun ugi dhatêng nupu-

[95]s. Liripun makatên, pamêpêsaning budi sapanunggilanipun

punika saking kawasaning dat, wênangipun anuwuhakên kajat jati.

Dados ingkang sagêd mêpês samukawis punika manawi dhasar

saèstu pamanthênging cipta yakti sinêbut kajat jati wisesa.

Têgêsipun ingkang awas tanpa uwas, waskitha tanpa angas, wruh

tanpa warana, sadaya wau sampun kagarba dening khajat jati kita

kang satuhunipun.

Ingkang kaping sakawan, isbataning nupus. Ing wêkasaning kajat jati

punika kawangun ing aksara nga, têgêsipun panitikan, utawi panêcêk,

mila wantahing ukara aksara wau kaangge cêcakan, pikajêngipun

cêcêg, utawi têngêran, inggih punika wawantahaning lohkil mahpul,

têgêsipun cirri-cirining agêsang sampun tinêngran ing Kitab

Lohkilmahpul, punika babaraning [96] lalampahanipun ing agêsang

punika sadaya.

Ananging wontênanipun mawi katèmpèlakên dhatêng aksara wau, inggih

amung kapirid rèhning kajat jati punika pamanggihipun tiyang bangsa jawi,

dados amung mamrih pituruting ukara kemawon, ananging samantên punika ugi

kagalia kajatosaning kajat jati wisesa wau saèstunipun inggih tumrap wontên ing

aksara kalih dasa punika, sumangga.

Mênggah panitikipun manawi badhe uninga kaananing kajat jati wisesa,

saking aksara ingkang botên kenging pêjah, liripun aksara botên pêjah punika

ingkang tanpa pasangan , punika tandha langgêng. Wondene pipindhaning sastra

satunggal tunggal wau sami kababarakên sadaya, ingkang tanpa pasangan inggih

punika pasêbutaning kha-[97]jat jati wisesa, kadosa ing ngandhap punika:

Mênggah aksara kalih dasa ing nginggil punika yakti mawi pasangan

sadaya, têgêsipun ingkang mawi pasangan wau tandha kenging pêjah, manawi

ingkang botên mawi pasangan punika tandha langgêng. Inggih punika

pasêbutaning kajat jati wisesa dumunung kawan aksara : ,

kawontênanipun ga mawi agêng, punika dede pasangan, amung winastan

yogya para, têgêsipun amèt pamrayogi, dene manawi dêlêsipun punika inggih

amung satunggal. Wondene pikajêngipun pasêbutan kawan prakawis punika

Page 41: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

makatên: : têgêsi-[98]pun raga yang, inggih punika badan

suksma, pikajêngipun ugi wujuding dat kang kadim ajali abadi, punapadene

sipating Pangeran Kang Amaha Suci sajati, mila aksara kalih dasa wau ingkang

dipunsêbut kêkêra, inggih amung sakawan punika tandhaning asma, dene botên

mawi papasangan, amung wantah sawujudipun piyambak. Punika nanadhakakên

botên kenging pêjah, mila pangeran kang amaha suci sajati wau langgêng botên

kênging ewah gingsir, botên kenging lara pati, têgêsipun aksara ingkang sami

sami mawi pasangan wau pasêbutaning sipat, mila tinrapakên papasanganipun,

amung kaangge ngibarat kemawon, awit sipat wau jasat, dados wujuding jasat

punika ingkang kenging pêjah, tumraping papasangan wau anêlakakên sakaliring

sipat punika taksih kenging pancabaya, awit manawi botên makatên, badhe botên

sinêbut nama kawula. Dados wantahi-[99]ipun ingkang winastan kajat jati wisesa

wau sipating gusti, sanèsipun punika taksih kaewoakên kawula, papasangan

punika lalampahaning agêsang anggènipun sami dumunung wontên kaanan ing

alam donya, beda kaliyan kajat jati wisesa, saèstu sampun langgêng ing awal

akhiripun sarta sampun botên angraosakên uwas sumêlang, botên susah kaluwèn,

botên bingah kasêmbadan awit sarira tunggal. Dene pangartinipun ingkang

sajati, witing kajat ingkang sawantahipun punika, inggih sidhêm pramanêm,

inggih santosaning tekad, inggih panthênging tokit, inggih cipta kang sapisan,

sadaya wau kêdah pinarsudia salêbêting agêsang kita wontên ing [100] kaanan

kita pribadi, dumadining kajat jati wisesanipun piyambak. Supados sagêd

jumênêng lawan kasunyatanipun botên wontên ingkang dados sasarugan ing

lalampahanipun ing kaanan agêsang kita. Têgêsipun salêbêting alam awal punika

sadaya ingkang dados wahyaning kajat, kêdah ginêgêta kajatèning atunggal,

liripun makatên:

Kadosta wungu sare,sadèrèngipun sêgu sapanunggilanipun, punika

wijiling kajat jati wisesa anyarêngi byaring paningal, bolonging pamiyarsa,

wênganing tutuk, tarowonging grana, sadèrèngipun wiwara catur mênga kita

kêdah ingkang èngêt. Têgêsipun sadaya wiwara dèrèng mênga kajat kita sampun

wungu, ing ngriku punapa wijiling karkat sapisan, inggih punika pangandikaning

Pangeran Kang Amaha Suci sajati. Yê-[101]kti botên wontên osik dora, botên

wontên cipta kasilip, botên wontên sêdya cidra. Sakaliripun ingkang dados karkat

saèstu têmên tumus tur miyatani, awit ingkang makatên wau pangandikaning

pangeran piyambak. Mangka samantên wau amung sawêg unguping kajat

sapisan. Liripun wiwitan saiba manawi pinarsudi malih dumugi ning madya

wasana, têgêsipun sawanci-wanci kaananing kajat jati wisesa dipunjalimêti

kajatènipun saèstu inggih lajêng padhang tarawangan, botên mawi kalingan

punapa-punapa malih.

[102]Mênggah ingkang dados lampahipun amung sapele, upami badhe

dhahar manawi dèrèng ngêlèh sangêt inggih botên dhahar, taksih kêdah

dipunsarantosakên, sarta dipunsabili sawatawis supados rapih.

Makatên malih sanadyan ngêlak, arip sapanunggilanipun bangsaning

tatêdhan, sanadyan bangsaning hawa, miwah bangsaning angkara murka

sasaminipun manawi sagêd angampah prayogi sinayutana supados sagêd

katarimah ing pangèsthining galih, sarta sagêd tinarbuka ing ngilminipun, sagêd

Page 42: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

kawêngan sakajat kita ingkang sajatinipun, mila ingkang sampun ngartos

sakaliring lalampahan ingkang sawantah wau amung botên wontên ngrika-

ngriku. Inggih amung tunggil kajatèning alam samangke, dados paedahipun

salêbêting agêsang kita punika waskithaa ing saniskara, kanyatahan sakaliring

solah bawa kita wontên ing alam donya punika, dados anêtêpi saking

wawêjangipun sarta kenging winastan uripe pangawak suksma. [103] Solahe

lingga bathara, ucape dat kang kadim ajali abadi, pangrungune kayu,

pangingsêpe tobat kita ing pangeran pandulune manik. Têgêsipun sadaya

sesining jagad raya, sampun kawêngku wontên salêbêting pranawa kita, gumêlar

antaraning pramana sajati, dados anêtêpi têmbung amurba amisesa ing alam

kabèh, têgêsipun jagad cilik jagad gêdhe wus kawêngku ing urip kita salawase.

Mênggah pradikanipun pakartining pangarti makatên punika manawi

sampun kadriya èstu sampun botên susah salat, anêtêpi gangsal waktu, awit

panalangsa kita, tobat maring pangeran sampun sami kawêngku sadaya, dados

sakaliring lalampahan awon sae dumunung wontên cipta maya kita pribadi,

sampu-[104]n uwas sumêlanging galih, inggih punika babarananing kajat jati

wisesa.

Mênggah pratikêlipun tiyang ingkang badhe marsudi kasunyataning

pangawasanipun piyambak punika, inggih tabêriya lênggah piyakmbak, kadosta:

tapakur panggenan ingkang sêpi, utaminipun wontên pucaking wukir, madyaning

wana wasa, anurut ilining banawi, botênioun makatên sanadyan amung wontên

salêbêting pakaranganipun piyambak inggih botên wontên bedanipun, makatên

malih sanadyan amung salêbêting pasareyan anggêr piyambakan inggih kenging,

kaanggea sinaon anganam-anam panggalih kaliyan nata sapamanggihipun

manawi pancèn rêmên dhasar tumêmên, Insya Allah wontên osik sajati.

[105] Ing nagndhap punika anêdahakên dununging isbat ingkang mawi

tinata salêbêting aksara kalih dasa dalah têgêsipun makatên :

: têgêsipun kalpaprana, inggih punika awak-awakaning dat,

wahananing kajat.

: mahaprana, têgêsipun wahananing manah agêng, inggih punika

pambêkan.

: dantya, têgêsipun pêthak, inggih punika wahananing nêpsu

mutmainah.

: talawya, têgêspun ukêling swara.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

Page 43: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

: kalpaprana, awak-awakaning dat.

: pasang yogyapara, têgêsipun amèt pamrayoginipun.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

: kalpaprana, awak-awakaning dat.

: pasang yogya para, têgêsipun pamrayogining pamatawis kemawon.

[106] : dantya, têgêsipun pêthak.

: kalpaprana, awak-awakaning dat.

: dantya, têgêsipun pêthak.

: kalpaprana, awak-awakan.

ta : talawya, ukêl-ukêling swara.

ta : mahaprana,têgêsipun manah agêng.

: dantya, têgêsipun pêthak.

: kalpaprana, awak-awakan.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

Sa : mahaprana, manah agêng.

Sa : pasuti, têgêspun suci.

: kalpaprana, têgêsipun awak.

: talawya, ukêl-ukêling swara.

Page 44: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

: dantya, têgêsipun pêthak.

: kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat, inggih punika khayu,

liripun uriping jasat sadaya wau minangkawahananing dat.

[107] : talawya, têgêsipun ukêling swara.

: pasang yogyapara, têgêsipun pamrayogi.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

: kalpaprana, awak-awakaning dat.

: dantya, têgêsipun pêthak.

: kalpaprana, awak-awakaning dat.

: kalpaprana, têgêsipun awak-awakan.

: mahaprana, têgsipun manah agêng.

: dantya, têgsipun pêthak.

: kalpaprana, awak-awakan.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

: kalpaprana, awak-awakan.

: mahaprana, têgêsipun manah agêng.

: mahaprana, awak-awakan.

Page 45: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

: pasang yogyapara, pamrayogi.

: kalpaprana, awak-awakan.

: talawya, ukêl-ukêlan.

: brita, têgêsipun ruruwêtaning budi.

[108] : kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat sajati.

: pasang yogyapara, têgêsipun pamrayogi kemawon.

: kalpaprana, têgêsipun awak-awakaning dat mutlak kang kadim ajali

abadi, dumunung ing sipat kita pribadi.

Mênggah pangartosipun sadaa wau, sanèsipun punika

taksih sinêbut awak-awakan sadaya, têgêsipun sipat punika taksih wahananing

dat, dados agadhahi31

lalampahan ingkang taksih kenging ewah gingsir. Taksih

kenging panca baya, têgêsipun gangsal sasandhingan ingkang amurugakên

ruwedaning jasad satunggal-tunggal.

Wontên malih wahananing kajat jati wise-[109]sa, mawi kaisbatakên

sapta swara, têgêsipun aksara pipitu kados ing ngandhap punika pangartinipun

sapta swara wau.

Ingkang rumiyin, , manawi arabipun Alip, ingkang makatên punika

anggadhahi têgês kakalih :

1. Ingsun

2. Imam

Liripun ing kajat jati wisesa punika asmaning Pangeran Kang Agung,

dados ing sajatosipun inggih muhung ingsun dat kang langgêng ora kêna ing

owah gingsir.

Ingkang kaping kalih , manawi arabipun „khe‟, ingkang makatên punika

amung têgês satunggal kita, liripun ingkang sinêbut kajat jati wisesa punika

31

anggadhahi *@

Page 46: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

inggih dumunung ing kita, têgêsipun sipat, liring sipat wau kawula, watahipun ing

têmbing muhung kawula lawan Gusti.

Ingkang kaping tiga, , arabipun aksara jèr, ingkang makatên punika

mawi têgês tigang prakawis :

1. iki, isbat, irat.

2. Imam

3. Istijrat

Liripun ugi botên parlu kagalia sadaya, awit garbaning ukara amung tumrap

dhatêng têmbung iki.

Ingkang kaping sakawan, , têgêsipun suwung. [110] Inggih punika

kaananing ora ana apa-apa, ananging samantên punika ugi taksih têmbung

kikiyasan kemawon, wantahipun inggih muhung kita pribadi, utawi pangeran

kang amaha suci, mila manawi aksara arab angsal saking wawu, pikajêngipun

wahana, liripun anêdahahkên hawaning kajat jati wisesa, sasandhanipun saking

nêpsu.

Ingkang kaping gangsal aksara , têgêsipun urip, inggih punika

kaananing khayu, mila kayu dipunbasakakên urip, jalaran angosikakên sakaliring

dat sadaya. Ananging mosik inggih saking khajat jati wisesa, ingkang makatên

punika ugi anartani sakaliring prabot ing jasat32

sapanunggilanipun, wantahing

têmbung malih makatên: ananging khayu sagêd anggêsangi sakaliring kajat, awit

kababar saking dat, dat amosikakên kajat, mila khayu la33

[111] sagêd adamêl

kaelokaning sapat, têgêsipun sagêd lèmbèyan, utawi

lumampah,sapaninggilaninpun ing solah bawa wau kasêbut apngal, inggih

punika kawisesa saking kawasaning khajat sajati.

Ingkang kaping nênêm aksara , têgêsipun rêrêm, inggih punika

wahyaning khajat jati wisesa puika saking jinêm, mila sakaliring solah bawa

mawi rèrèh utawi harda, dene rèrèh ing kajat wau dhatêng jinêm, hardening kajat

puika manawi dhatêng nêpsu, lajêng sumarambah ing badan sakojur, ing ngriku

witing sipat mawi anuwuhakên kanêpson, utawi kalintu ning panampi

sapanunggilanipun, dados babaring khajat asring adamêl risaking jasad

sasaminipun, manawi kasirêp saking nêpsu kawan prakawis ugi rêrêm, ananging

adamêl raos ingkang botên prayogi, têgêsipun lajêng nuwuhakên sasa-[112]kit

kudrat wiradat, kadosta : kasandhangan sakit kudrat punika ingkang tanpa

sabab, wiradat punika sasakit ingkang mawi sabab, têgêsipun sasakit makatên

32

jasad * 33

lajêng @

Page 47: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

wau amung anandhakakên pêpêting kajat jati kapêtêg ing nêpsu, nêpsu kasirêp

ing hawa, hawa kalimputan ing budi, dadosipun mêdalakê34

sasakit warni-warni.

Mênggah ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya, mugi sampun

ngantos kalintu tampi, dene kanyataanipun makatên :

1. Manawi wontên tiyang anandhang sasakit kasandhang, têgêsipun sakit

mêmala tanpa karana, sarta andon. Inggih punika witing tiyang karêm

angampêt budi, dados lajêng cukul mêmala tanpa karana, manawi

ingkang dèrèng pangartosi sami dipunwastani sasakit kenging alat

utawi sisiku, trêkadhang amastani kenging lêmah sangar, inggih

punika amung kapirid saking dudugi kema-[113]won. Katranganipun

inggih kados ingkang kapratelakakên ing nginggil sadaya wau, mila

wawalêring para wali manawi tiyang ahli budi punika botên kenging

anyidhêm osik, bêbasan sae prayogi tinata kalayan mupakat.

2. Ingkang kaping kalih, manawi wontên tiyang anandhang sasakit

marongkol, kadosta abuh tanpa karana, uci-uci, turbon, wudun,

sapanunggilanipun ingkang botên mawi karana punapa-punapa

punika witipun tiyang asring kadunungan manah ngarah apa, nanging

llirang têrus pangluluhing galih, mila makatên sasandhanganipun,

dados kenging sinêbut carobo pikir. Kala para wali dipunipat-ipati

sangêt, bêbasan bêgya cilaka karkating manah ingkang awon utawi

sae prayogi kawêdalakên sampun sok angarah apa.

3. [114] Ingkang kaping tiga, manawi wontên tiyang anandhang sasakit

èncok, utawi kenging tuju têluh taragnyana, tuwin kalanglangan,

ingkang saengga ngingsêtakên kaananaing dat, ingkang makatên wau

tiyang ingkang asring nyidhêm pangarti, nyumpêt pakarti, ngênêp

para cidra, wantahing kabatinan asring garêndhèl wingking sadaya

kajatipun, dados ingkang makatên punika saksat ambirat

wawênanging kajat jati wisesa. Têgêsipun dora tuwin maibên

kawasaning Pangeran Kang Maha Gung. Mangka tiyang ingkang dora

sapanunggilanipun ingkang kados makatên wau manawi pancèn têmên

pamatraping kasunyatan, prayogi kasinggahan, awit inggih bok

manawi jasad kita wontên ing alam donya kasandhangan sasakit

ingkang makatên wau, tinêmbungakên ama amêmala, [115] anjarak

rêkasaning budidayaning alam dunya, tur marêkakên sakaliring

sikara, têgêsipun katrapan cidraning sasami-sami.

Sae nurut riwayat pèpèngêtaning para wali wolung prakawis margining

rahayuning jasad punika sami kalaksanan.

1. Lêgawaning panggalih tanpa balung êri, têgêsipun sarwa mêmês

dhèmês ing pangandika,karya sukaning liyan, lêgawa sabarang rèh

tan rinasa.

2. Rilaning saniskara, ingkang botên amijèni pancabayaning sarira.

3. Têmên sakaliring kauripan, têgêsipun botên cidra botên dora ing lair

batinipun linampahan.

34

mêdalakên *@

Page 48: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

4. Prasaja, têgêsipun balaka awon sae saru sikuning lalampahan

sadintênipun.

5. Waspada, têgêsipun kêdah sêrêp-sinêrêpan barang pakartining

apawong mitra.

6. [116] surasa, têgêsipun ingkang sanyata kabudayaning ngilmi

makripat sapanunggilanipun botên amindho kardi, utawi wawantahan.

Têgêsipun bangkit bodho botên dipunalingi, sarta sagêd amèt rasa-

rumasaning sasami-sami, botên anulayani pikajêngan.

7. Suci rasa, têgêsipun rêsik ing apatrap lair batining agêsangipun,

kadosta : tabêri siram jamas, rêrêsik sarira punika suci ing lair.

Sucining batin kadosta mingkuh pagunêman bangsaning dursila, selak

kalèpètan barang kang tan atêrang. Têgêsipun botên ajêng kasinungan

amal silip sapanunggilanipun.

8. Siwaya, têgêsipun uninga ing wayah, liripun waspada dhatêng

wawatêsan tuwin antawis sing aparlu, kadosta : botên kasupèn

antaraning wanci, botên anglirwakakên saparlunipun punika tandha

eling dhatêng pangeran.

[117] Ingkang kaping pitu amangsuli jangkêping sapta swara, mila

isbating kajat jati wisesa mawi tinatrapan aksara , têgêsipun laksita,

wantahipun lêng. Liripun anêdahakên kaananing dat kang sajati, wisesa punika

dumunung wontên ing manikêm, têgêsipun rarawatan ingkang parimpên,

pupunton ingkang rapêt dhamis, mênggah pangartinipun makatên.

Sajatine kaanan kajat jati wisesa iku dumunung ingkang parimpên, iya iku

manikêm, iya jinêm, saantaraning jinêm iku wau kawujudaningsun, iya ingsun

kang sajatining kajat amurba amisesa sakaliring uriping jasad iki kabèh.

Dene wantahipun inggih angên-angên, mila singa badhe nyatakakên

kawasaning kajat jati kita pribadi wau inggih tabêria gumpulakên panggarita

wontên ing asamun, [118] anurut kados pangandikanipun Kangjêng Nabi Kilir

makatên :

Satuhune sing sapa tabêri marang ingasêpi, iya tinakdir bakal bisa

kanggonan ing ilmu sajati, sing sapa tabêri marang asamun, bakal kanyataan ing

sapangèsthine, ananging samono iku iya anggêr pêpak panggraitane sangkêp

sakaliring pangrêti, yakti tumêka sabarang karêpe. Sanadyan karêm ing asêpi,

Manawa sêpên ing panggraita têmah katèmpèlan pakarti kang tan yukti, manawa

suwung panggraitane cupêt budine, mangka sêdya akarêm mangiwa, bok

Manawa malah kasaluru ing ngujur dudu, utawa trêkadhang kandhêg kampiran

marang pakartining dhadêmit, budi tanpa paedah ênggone mangiwa ngupaya

ênggon ngasêpi. Mung arsa katitipan pakartining brakarsakan.

Mênggah wasitanipun kangjêng Nabi Kilir ing nging-[119]gil punika

inggih amung sawantahipun kemawon, dene ingkang sinêbut dadosing ngasêpi

punika pitung prakawis sami kanggea :

Page 49: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

1. Salêbêting tabêri anèng ngasêpi, inggih ingkang sagêda nata saliring

panggraita, sampun ngantos kasamburan budi sanès-sanèsipun, dados

kêdah ingkang sagêd mêlêng satunggal barang rèh kita wau.

2. Salêbêting kita akarêm asamun, inggih ingkang sagêd suci têrus lair

batinipun, dados têbih ing godha rancana sapanunggilanipun.

3. Salêbêting kita tabêri ing ngasêpi, inggih ingkang sagêd ambirat

saniskara, cipta, rasa, gandaswara, têgsipun angampêta nêpsu hawa,

amêpêta sakaliring hawa sasaminipun.

4. Salêbêting kita karêm ing asamun, inggih ingkang sagêd mêpakakên

barang rèhing agêsangipun supados botên mandhêg tumolih dhatêng

kawajibaning agêsangipun.

5. [120] Ingkang kaping gangsal, salêbêting karêm asamun, kêdah

ingkang tumêmên pangèsthining galih, kêdah mêlêng saliring rèh kang

mamrih rahayu, têgêsipun ing nalika punika kita tafakur ing pangeran

wau sampun ngantos kagungan panggagas ingkang botên prayogi,

kadosta: uwas sumêlang mênèk-mênèk ana anu, punika kasinggahana,

ewa dene inggih mawi katimbanga saciptaning panggalih kita pribadi

salêrêsanipun. Liring titimbangan punika makatên: “saupami jêrih

utawi sumêlangan, tipisan antèn, ingkang makatên punika

prayoginipun pirantosi piyambak, awit tiyang jêrih punika pancèn

sampun takdêring Allah. Dados saupami badhe ngayati ingkang

mamrih tulusing budi, inggih sae wontên salêbêting gêdhongipun

piyambak kemawon, anggêr tanpa rowang sayêktisagêda nata pang-

[121]graitanipun, ewa dene manawi dumunung salêbêting griya

mangka taksih gadhah uwas sumêlang dumèh pêtêng tanpa rowang.

Tiyang ingkang kadunungan manah makatên punika têtela sampun

botên kenging rinêmbag prakawis kasunyataning ngilmi makripat.

Manawi cariyosing kitab Jabur, tiyang jêrih ingkang mawi uwas

sumêlangan punika botên gadhah ati pangasih, ingkang nutupi

sanginggiling manah utawi jantung amung maras lajêng kabuntêl ing

gajih.

6. Ingkang kaping nênêm, ing salêbêting tapakur ing ngasêpi, kita

angêmpakêna kaananing tekat ingkang santosda, Imam ingkang eling,

sasampuning makatên lajêng angulihêna kaananing nêpsu kita

satunggal-tunggal, supados botên ambêbawur tuwin ambarung sinang

ingkang dados osiking budi sajati, [122] kados ing ngandhap punika

patrapipun.

“kajat ingsun sajati, kang wus ingsun kumpulake lawan kaananing

dat, kayu, sir, budi, karkat, sapanunggalane osikingsun wus dadi

sawiji sinêbut kajat jati wisesaningsun.”

Kang dhingin nêpsu luamah amamarah saliring hawa, nêpsu amarah

anuntuni sakèhing angkara, nêpsu supiyah anjalari wijining murka,

nêpsu mutmainah ingkang mimbuhi dhahganing saniskara, kayata,

eling malah lai, katara malah bawur, mulane ing mengko kita padha

ingsun birat sawatara, karana ingsun arsa mêpakake kajatèning

akalingsun satuhune. Ing ngriku pambirating nêpsu kia wau inggih

kados isthaning amanêkung. Sasampuning makatên, adat ingkang

Page 50: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

sampun kalampahan lajêng pêpak pasang graita kita ingkang pancèn

adamêl prayogi.

7. [123] Ingkang kaping pitu, salêbêting kita tapakur ing asêpi, lajêng

amêpakêna salakiring panca baya gangsal prakawis makatên : kadang

papat kalmia pancêr. Kang padha dumunung ana sajroning guwa

garbaningsun kang angumpul lawan wahyaning cahya irêng abang

kuning putih amancawarna, ing mêngko kajatingsun kang sajati, bakal

amisesani ing kaanan kita kabèh, supaya kita ora ambêbawur kajat

kita salawase. Manawi sampun kawatêg makatên wau , adat lajêng

mêdal piyambak-piyambak saking pramana, kados isthaning sumingkir

ngatêbih. ingkang mêlêng kados rekadayaning amanêkung. Manawi

sampun sagêd wèning, adat ingkang sampun kalampahan kita sagêd,

apapanggiyan kaliyan atma kita pribadi sawujud. [124]Ingkang

makatên wau dede prtikêlipun tiyang araga suksma. Amung saking

tarèkahtokiting tekat, santosaning imam, dados sagêd tumuwuh

piyambak ingkang dipunwastani sajatining kajat kang smpurna,

kawujudipun ugi kados apapanggiyan kaliyan atma kita pribadi, mila

kang ssajatosipun margi ning kawêngan utawi lalataranaing

katarimah ngilminipun wau warni-warni tuwin saênggèn-ênggèn.

Punapadene pancèn sami tumuwuh saking badan kita pribadi ingkang

minagka wiwaratama, têgêsipun dêdalan ingkang utami punika ing

saèstunipun botên mawi antawis, kawasa dalah wisesaning dad

ingkang sajati punika muhung wontên ing cipta kita.

Mênggah ingkang sampun sami kapratelakakên ing nginggil wau sadaya,

poma ingkang sagêd angèngêti kados pangandikanipun Kangjêng Su-

[125]suhunan ing Benang, kados makatên :

Kabèh para sakabatingsun, gêdhe cilik tuwa anom, lanang wadon padha

ngawikanana sajati ing kajating kaisbatake ing sapta swara mau têgêse

anyantosakake tekad kang agungg. Dene ananing sapta swara iku iya

pangucaping kabatinan kita pribadi, babare kaya kang wus padha kasêbut ing

dhuwur mau, amung kumpuling ukara mankene:

: têgêse aku utawa ingsun; : iki utawa yakti; : iya sarta têmên; :

têgêse ora, utawa awang-awung; : têgêse urip; : lire jinêm; : têgêse

langgêng utawa sanyata.

Garbane ing têmbung pasang yogya mangkene:

“Ingsun iki kang têmên ora kasamaran ing saniskara, sarta urip ing

kaanan ingsun kang sidhêm pramanêm, kang langgêng ora kêna ing owah

gingsir,iya ingsun sajatining dad mutlak kang kadim ajali abadi, lawan

kajatingsun”.

[126]Mênggah ingkang dados pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing

Benang samantên wau ing sajatosipun inggih amung mantahakên ing kaananing

Page 51: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

kajat jati wisesaning ngatunggal. Liripun amung mêdharakên gumêlaring tekad

sajati, mila sarêng ing alami-lami saking kathahipun sagêd tuwin para amarsudi

ngilmi, malah wawêdharan ingkang makatên wau lajêng sami kapingit malih.

Jalaran manut jaman, utawi kapatrapakên saking êmpan papanipun. Sarêng

dumuginipun jaman nagari akhiripun ing Dêmak, awalipun nagari ing Pajang.

Ing wêkdal ngriku makmun, sarta mupakat para luhur sapangandhap dumugi trah

ing sudra, mèh kenging dipunpralambangi: “Bêbasahan kasêlak kampuhe

bêdhah, têgêsipun agêng alit sêpuh anèm ingkang dipunparsudi amung

bangsaning ngilmi gaib, têgês saha pikajêngipun angêtok pangawasa, ambabar

wisesa liripun inggih sami ngungasakên ngilminipun piya-[127]mbak-piyambak,

angoglèng kawasanipun. Kadosta :

Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, kala samantên taksih mudha, dados

pakarêmanipun anyabdaakên sakaliring dinulu têmah santun wawarnèn, amung

mamrih kongasing akathah ginunggung kawasa, nanging wantuning tiyang badhe

dados inggih lajêng botên dangu lampah makatên wau kagalih tanpa paedah,

amung sataun lajêng èngêt kajatosaning agêsang, beda kaliyan ingkang pancèn

batal pangèsthinipun sadaya pakarti dudu punika malah andarung, kadosta :

Lampahanipun Arya Jipang sagêd ngêmat tuwin anggêndam sami

sanalika dhatêng sagêd angapêsakên dadamêl, botên pasah tapak palu ning

pandhhe, tinêmbungakên cêthèt kemawon sadaya karsanipun kalêksanan, kêdhèp

kemawon sagêd nyumpêt sanjata. Lampah makatên wau botên mawi dipunangêti

yèn kawula punika angawula, têgêsipunsi-[128]pun35

ing agêsang wontên ing

kaanan alam donya punika sadaya kenging apes, sanadyan sampun sumêrêp

kasunyataning kajat jati wisesa sarta sampun mangartos tokiding atekad,

ananging manawi tilar dudugi prayogi weya ing kaprayitnan. Saèstunipun botên

sinêbut jinêm sarta kenging dipunwastani botên rêmit pasimpênanipun,

trêkadhang malah kenging winastan ngujub riya, têgêsipun angêngkoki miwah

kibir kasudibyaning ngilminipun, mangka sasêbutan ngujub riya wau dipunkêkêra

ingkang parimpên, awit badhe anuwuhakên kura maniar, têgêsipun

angawontênakên apês, mila Arya Panangsang ing Jipang sarêng angsal mêngsah

waskitha pamawasipun lajêng apês, awit mawi dipunêngèn kêdhap kilaping

apatrap, êmpan papaning ngayuda, ing ngriku kenging sinêbut mênga

papasthèning Arya Jipang saèstunipun lajêng tumêkèng pati.

[129]Ingkang kaprtelakakên apês jayaning dumadi ing nginggil wau

punika kaèngêtan, sanadyan anuting jaman keluning ngakathah manawi botên

kanthi awas eling yakti badhe kalintu panampinipun, wondene kawontênanipun

pangawasaning ngilmi unika sajatosipun saking wisesaning badan kita pribadi,

tuwin mêdal saking ing burbaning tekad wahyaning kajat ingkang sajati. Liripun

inggih têmên ananging kalangkungan, babaring kasaktèn, tuwuh ing aji jaya

kawijayan punika saking gaibing ngilmi kasunyatan sadaya, ananging manawi

botên kanthi awas eling têmah badhe tumrap dhatêng saktining ngakarang,

têgêsipun bangsa susulapan sapanunggilanipun, mangka manawi kaluwiyan

ingkang sajati punika kêdah ajêg kasubrataningsun, sarta botên beda

35

têgêsipun @

Page 52: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

pamêntoging karsa inggih kados patraping rarancutan, têgêsipun mawi pinusus

saking asaling dad satunggal-tunggal.

1. [130]Ingkang rumiyin winastan dat sayuka.

Têgêsipun kajat ingkang sampun kumpul kaliyan bangsanipun, kadosta

: khayu, nur, sir, rahsa, sasaminipun. Ingkang makatên punika

santosanipun kêdah kadunungan manah saranta, têgêsipun sarèh sarta

anarima, manawi têmên pangèsthinipun yakti tulus rahayu

salamènipun, kadugèn sasêdyaning panggalih, dene lampahipun

amung mêthak ing dalêm pitung dintên pitung dalu, kawiwitan sabên

ing dintên wêdalanipun piyambak, ing ngriku adat ingkang sampun

kalampahan asring kadunungan laksananing sarira, têgêsipun kalis

ing panca baya dene pupujinipun inggih kados ingkang kasêbut

pangandikanipun kangjêng Susuhunan Ing Benang nginggil wau.

2. Ingkang kaping kalih sinêbut dat mutlak kang khadim ajali abadi.

Têgêsipun kaananing [131]dad kang sajati, inggih asmaning

Pangeran Kang Agung, Kang Langgêng. Liripun dat ingkang anglela

piyambak punika dèrèng wontên ing wahananipun, mila ingkang

makatên wau kêdah kadunungan manah ingkang suci, têgêsipun rêsik,

manawi dhasar tumêmên pangèsthinipun yakti anuwuhakên

pangawasa ingkang nyata, têtêp kababar kasudibyaning badan

salamènipun, awit saksat wantah karsaning Pangeran kang Amaha

Suci, wahyaning kaja jati wisesa tanpa warana. Ananging botên

kenging ngujub riya sarta kêdah mawi tarakbrata ing dalêm pitung

dintên pitung dalu pati gêni, wiwit ing dintên wêdalanipun piyambak,

dene ingkang dados pupudyaning batos inggih kados pangandikanipun

Kangjêng Susuhunan ing Benang, nunggil pasêbutaning kajat jati

wisesa wau.

3. Ingkang kaping tiga sinêbut dat nakis bandi.

[132]Têgêsipun dat ingkangg sampun kanyatan wahyaning kajat jati

wisesa, liripun ingkang sampun kawiyos pangandikaning Pangeran

Kang Maha Suci, dumunung wontên salêbêting betal makmur, mila

kêdah kadunungan manah jatmika, ing ngriku manawi dhasar têmên-

têmên pangèsthining batos têrus kaliyan kajating imam, sayêkti wontên

kanyataaninh sarira, ingkang badhe pratandhaning kadugèn sabarang

karsa, kalêksan kajatipun, kasêmbadan sêsyanipun mila wontên

bêbasan saking kaoling para sayid, tuwin wiraosaning para santri,

singa ingkang sagêd anglêksanani wahyaning nakisbandi wau, sami

sanalika sagêd uninga badhe swarganipun piyambak. Mênggah

cariyos samantên punika amung kadamêl pakandêling tekad kemawon,

saèstunipun inggih amung saking lampah ingkang acanthi tama têmên.

Ing sabên dintên wêdalanipun ing dalêm pi-[133]tung dintên pitung

dalu, sagêda ambirat saniskara, cipta, rasa ganda, swara. Têgêsipun

ingkang sagêd amêjahakên raga, sampun ngantos anggalih punapa-

punapa, kalayan tapakur ing Pangeran, inggih kados pasêbutan

pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing Benang nginggil wau

punika. Manawi kasêbut sumêrêp swarganipun piyambak dora, amung

yèn kaèsthi tapakuripun têmên, angsal bêgya tanpa karana. Têgêsipun

Page 53: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

sapanuwunipun sagêd kadugèn, sasêdyanipun tinêka, bêbasan

sanadyan kang ora sinêdya uga ana.

4. Ingkang kaping sakawan, winastan dating kajat.

Têgêsipun satuhuning panêdya utawi têmên pangandikaning Pageran

Kang Amaha Suci sajati, tumuwuh wontên salêbêting tata malige ing

dalêm betal mukharam, inggih punika kayêktosanipun ing jasad wau

kawasa tuwin wênang adamêll abang ijo ning jagad raya sadaya, mila

ing-[134]kang sampun matêng tapakuripun saebah osiking alam botên

kasamaran, tuwin waspada amastani lalampahan miwah pikajêngipun

liyan. Trêkadhang wontên ingkang sagêd amêdharakên babaring

lalampahan, têbih cêlakaning tiyang satunggal-tunggalipun sayêkti

uninga, ananging patrap ingkang samantên wau arang ingkang sagêd

anglampahi, punapadene kathah ingkang pancên botên tahan. Jalaran

ing atasipun jaman rêja, badhe ngijèni, têgêsipun manawi badhe

nglêksanani tuwin dhasar sinêdya punika botên limrah ing akathah

lampahipun gangsal prakawis kêdah dipunangge kalayan nyata :

1.) Botên kenging sahwat kaliyan pawèstri .

2.) Botên kenging dhahar manggèn, kêdah wontên radinan kaliyan

wuda.

3.) Botên kenging reresik sarira, kadosta: adus, jungkatan

sapanunggila-[135]nipun botên kenging, miwah maha wicara,

têgêsipun anjarag pangandika sawêdal-wêdalipun.

Mênggah patrap ingkang makatên wau kados botên wontên ingkang

badhe sumêdya nglêksanani, awit kabatang sanès panêdyanipun,

mangka lampah ingkang makatên wau manawi kirang sanrosa tuwin

tumêmênipun, sayêkti badhe kalintu panampi, cêak-cêpak santun

ingkang manjiingi, dados tulus edan salaminipun. Mila sakaliring

lampah prayogi mawi dudugi prayogi, snadyan badhea katarimah

ngilmunipun kados pundi kasidaning sêdya, manawi kapirid saking

pangandikaanipun Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, lampah

makatên wau manawi kirang tahanipun ing panggalih, kenging kalintu

lampah nyato, têgêsipun anut satêbiyating sato kewan, enunggil

wontên ing wana, lamènpun ing dalêm 100; satus dintên, nanging

inggih kêdah mantêp panggalihipun.

5. [136]Ingkang kaping gangsal dipunwastani dat tarkiyah.

Têgêsipun daining kajat jati wisesa sampun mudalèh wontên

pambbukaning tata malige ing dalaêm betal mukadas. Liripun

anuwuhakên sakathahing karkat ingkang dumunung piarêp, têgêsipun

niyat kita ingkang kêncêng, tandhanipun tigng prakawis wau

pikajêngipun manah punik botên kajat ingkang tumuwuh wontên betal

mukaram,saupami botên sagêd dumugi, saèstu kathah pangonggo-

onggoning galih. Mila kajat jati wisesa tigang dunungan wau kêdah

awas sarta èngêt, sokur sagêd nyirêp saparlunipun sadaya, liring

panyirêp tigang prakawis punika makatên:

1.) Pambukaning tata malige ing dalêm betal makmur punika

têgêsipun wahyaning kajat jati wisesa ingkang saking sirah,

êmpanipun sami dhatêng pandulu, pamiyarsa, pangganda, pami-

Page 54: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

[137]sa. Kawan bab wau manawi sagêd nyirêp inggih badhe

nêtêpi êmpaning kajat jati wisesaning ngatunggal. Têgêsipun kita

sampun kenging sinêbut jumênêng lawan tarkinipun, mila sadaya

ingkang kasêbut pangandikanipun Kangjêng Susuhunan Benang

wau, kaèngêtana satunggal-tunggaling ngaparlu.

2.) Panyirêp ing dalêm betal mukharam, wahyyanipun sadaya punika

sagêd ambirat , kadosta: cipta, sir, rasa, rumasa,

sapanunggilanipun, ingkang pancèn bangsaning kajat jati wisesa.

Ing ngriku mangka kita sagêd anyirêp kalayan mantêp, sayêkti

kenging sinêbut sagêd jumênêng lawan pribadinipun.

3.) Anyirêp sakaliring tata malige ing dalêm betal mukhadas, kadosta:

sêngsêm, kapencut, kumênyut, sumêdhot, bangsaning tatarikanipun

sanggama punika, sami kasirêp sadaya, mangka kita sagêd ambi-

[137]rat sakathahing pasêbutan tigang prakaeis wau, yakti sagêd

jumênêng ing kaanan sajati, têtêp lawan wisesanipun tumrap

katêmênaning ngatokit, têtela santosaning tekad, ing ngriku gêsang

kita wontên ing kaanan alam donya sampun botên mawi angaping

kalih damêl., punapadene kita botên gadhah sêmang-sêmang

dhatêng manjinging suruping pati, awit sakaliring lalampahan

ingkang tumrap dhatêng jasad sampun kawêngku sadaya, dados

kita sampun botên gadhah rasa-rumasa yèn badhea akhir, botên

ngarosakên yèn awal. Têgêsipun awal airing alam sampun botên

rumaos, mila pakarti samantên punika sami kaèngêtana kados

pangandikanipun Kangjêng Susuhunan ing Benang tuwin

pralambangipun Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga kasêbut ing

ngajêng wau.

6. Ingkang kaping nênêm, sinêbut dat abadi.

Têgêsipun kajat ingkang sampun gumêlar ing awal akiripun, inggih

punika wahananing kakhekat36

kita satuhunipun. Mila angirup

sakaliring pangawasa ingkang kalawan nyata, punika botên sarak

aking punpa-punapa, amung kapurba wontên wisesaning kajat kita

pribadi, tègêsipun manungsa punika sampun têtela urusaning sarwa

dumadi, êlasing agêsang ingkang sampun sami gumêlar wontên

kaanan ing alam donya, sayêktinipun inggih botên kewran asal-

usuling kasunyatan, mila lampah ing agêsan punika manawi anêtêpi

hakekatipun kados botên angaping kalih damêl, dene pakarti ing

kasunyatan makatên, saupami sawêg dhahar mangka katrajang ing

pitik iwèn sapanunggilanipun punapa malih lajêng sami tumut nêdha,

ing ngriku kita bo-[140]tên kenging anggusah, inggih kakèndêlakên

kemawon, awit salêbêting kita dhahar wau anglampahi hakekat,

têgêsipun angêningakên cipta maya, ambirat saniskara, saupami

gusah mamrih sumingkiring gara godha badhe batal kajat kita

ingkang sajati., taksih kenging sinêbut sarengat, makatên malih

lampahing kakekat ingkang sawantahipun wau makatên, saupami kita

sawêg lênggah mangka griyaning tangga, tuwin griyanipun piyambak

katarajang ing latu agêng sarta pangamuking tiyang kataliwêng. Ing

36

hakekat*@

Page 55: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

ngriku kita botên wajib suminggaha ing panca baya, ewadena manawi

dipunaruh-aruhi titiyang ingkang sami sumêrêp punika kita amung

nunduki pangandika iya. Ingkang makatên wau têgêsipun amung

ngêtog ing tekat, tokiting kasantosan, mangka ti-[141]nêtêpan saliring

panca baya botên mingkuh, ing ngriku tandha kabul mujijating kajat

jati wisesa, mênggah saèstunipun ingkang makatên punika botên

pisan-pisan wontên bebaya ingnkang tumama, kala ing kina

tinêmbungakên kalising sanjata wa, têgêsipun lêpat saliring tuju têluh

taragnya, tuwin sumingkah kang para cidra, dipunbasakakên

sapandêlêng têbihipun, mila wontên sasêbutan makatên, sing sapa

pasah tapakur ing Pangeran ora ana ala tumama marang bêcik, dene

wujuding kajat tapakur wau, inggih angucapakên saka witing

wawêjangan sapisan, lajêng kasambêtan kados pangandikanipun

Kangjêng Susuhunan ing Benang, patraping tapakur ugi saengga

mudya samadi, ngêningakên ing pancadriya.

7. Ingkang kaping pitu dipunwinastani dat kapiriyah.

Têgêsipun kajtèning kajat ingkang umijil saking pêlênging budi

sanubari, inggih punika tekading imam ingkang wêning. Wahyaning

tokit amêntok pranawa, [142]têgêsipun panduluning budi punika

manawi wêning imamipun sayêkti sinêbut kajat jati wisesa, mila

ingkang sampun matêng kikiyamanipun satuhu botên kasamaran

saliring roh, awit panduluning budi sanubari, wau manawi sampun

kêncêng imaming kajat dados satunggal wontên ing pranawa,

wawantahipun makatên:

Sajatine paningaling Pangeran iku budi panduluning budi imam,

paningaling imam pranawa, wahyaning pranawa kawêngku

wawênanging kajay jati wisesa. Mila waskitha, têgêsipun ing sanadyan

wuta netranipun, pramananing kajat sayêkti botên tumut picak.

Sandyan praman ina pranawaning budi botên jêmpo. Sanadyan pêpêt

pranawanipun kawaskithaning imam botên dhipêt, awit kaananing

budi tuwin imam sampun kawêngku wisesaning Pangeran, inngih

purbaning kajat ja-[143]ti wisesa wau, mila sampun uwas sumêlang

malih karana ananing awal akir sampun tanpa antara, têgêsipun

manawi pancèn kinadarakên badhe angsal wawêngan tuwin pinasthi

katarimah ngilminipun, saèstu sampun botên susah anggarêsah

sakaliring lalampahan, têgêsipun sadaya ingkang kaajèêngakên sagêd

miyatani, tur botên mawi amindho kardi, dados ing kajatèning

kunupiyah punika sampun sami kasarira ing sipat kita sadaya, liring

kunupiyah inggih lair baitn, abot ènthèng padhang pêtêng. Eca lawan

rêkasa punika sampun botên katrap ing agêsang kita satuhunipun,

dadosing alam pati, dumadining jaman kauripan punika botên wontên

papangkatipun, têgêsipun urip punika tanpa pati, awal airing jaman

kita muhung langgêng kemawon, miwah wêwèntèhan kaananipun

ingkang sajati.

[144]Mênggah ingkang kasêbut ing bab kaping pitu punika yogi kagaliha

kalayan alon-alon, awit pêpeliongipun para wali, amratelakakên kajatèning

agêsang, têgêsipun manawio dèrèng sagêd nokidakên ing tekad, tuwin manawi

Page 56: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

dèrèng sampun sumèlèh panggalihipun, bab kaping pitu wau kasingkura

pangartinipun rumiyin, liripun sapun kapêlêng panataning imam budi sanubari,

ingkang sampun satunggal lawan kajatèning kajat jati wisesa. Awit manawi

sampun manggih saparlunipun saksat lingga suksma, têgêsipun sajatining

Pangeran Kang Maha Suci sampun kawêngku lair batinipun, dados badhe

anuhoni kaananing atunggal, mênggah wantahipun ing nginggil punika makatên:

Uriping jasad kanag sajatidumunung ing awal, punika botên paja-paja

timbanga saka-[145]lir-kaliring lalampahan, têmah badhe kêmba tuwin bosên

kaananing alam donya, cêpak kadêrênging akiripun, têgêsipun ingkang sampun

mangartos saring lajêng sumêdya dadak kaanan jatinning ngatunggal, mangka

pati-pati binudi wau amung sagêda tulus rahayu langgêng ing kajatipun wontên

alamipun.

Manawi wawalêripun Kangjêng Nabi Kilir makatên:

Mungguh sajatining ngilmu iku muhung ana ing urip, sajatining urip iku

saka ing kajat, têgêse kaanan kajat jati wisesa iku kêna uga kababarake jatene,

ananging muhung kang nêm prakara, manawi dudununganing pitung prakara

mau yèn during darbe yuswa 65 taun, during wajib pinarsudi satuhune, dêstun

kaebarana bae kaya pasêbutaning kitab sansul anbiya sangan prakara kabèh.

[146]Dene ingkang sinêbut kebaran sangang prakawis sarah ing kitab

sansul anbiya punika satunggal-tunggalipun kebaran kados ing nagndhap punika:

1. Ingkang rumiyin dudunuganing wisesa salêbêting baya murtani, têgêsipun

kalêpasaning manah ingkang sagêd anrus kaliyan budi ning imam,

kadosta kita sagêd kawasa andadosakên sakaliring cipta pribadi,

kaisbatakên kados pangawasanipun Kangjêng Susuhunan ing Muryapada

punika ingkang kalampahakên patraping ngilmi kebaran makatên:

Sajatine ingsun andadekake kaananing kudratingsung, kayata

sipating cahya kang amanca marna, iku asal saka pramananingsun, ing

mêngko ingsun wujudake sipat kadi warnaningsun, inggih punika

wawêjanganing ngilmi kabara sapisan, lampahipun pitung dintên botên

dhahar sare sarta bo-[147]tên kenging wisuh. Manawi katarimah sarta

tumêmên pamatrapipun, ing sabên wontên damêl saèstu sagêd

anganakakên wujud tunggil warni kita gangsal, manawi kirang tumêmên

patrapipun sami sakala malah dados ruwedaning sarira, têgêsipun

anggung damêl gara godha ing agêsang kita, jalarzan kirang mantêp

sarta santosa, mênggah pambiratipun makatên,

Ingsun ambalèkake asaling cahya kang amanca warna, karana saka

cidraning kajatingsun, kakang kawah adhi ari-ari, mamêrti gêtih pusêr

kang angulihake kaanane kang sajati, sarwimêgêng napas anggêdrug siti

kaping tiga.

2. Ngilmi kabaran ingkang kaping kalih angkatan, dipunwastani rokhiyah.

Têgêsipun angêtog budi mêdalakên pangawasaning roh ingkang asal

saking wahananing pranawa sajati, paewdahipun amung kadamêl nandha

badan, kados patraping makdum sarpin, [148]wawêdharanipun kados ing

ngandhap punika:

Page 57: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Sajatine wawayanganingsun kang suci asal saka roh jasmnai,

wahyaning kawujudan saka pranawaningsun pribadi, dadi padha sanalika

saka ing kudratingsun, ing ngriku manawi kapanthêng, saèstu jaja kita

wontên gatraning sipat janma pêthak wujudipun, adu arêpan prênahipun,

têgêsipun adu arêpan sami gathuk adu dhadha, nanging amung sajabang

bayi agêngipun. Inggih punika sajatosipun roh ilapi, sagêdipun wujud

janma, awit saking mêlêng pamanthênging pranawa, samantên punika

paedahipun amung kangge panêngraning badan manwi wontên damêl,

saupami praboting wawayangan wau cèwèt ing ngayuda tiwas, manawi

wêtah inggih badhê jaya, dene lampahipun patigêni tigang dintên tigang

dalu wungu.

3. [149]Ngilmi kebaran ingkang kaping tigang angkatan dipunwastani

pambukaning siriyah. Inggih punik amujudakên sakaliring sir, têgêsaipun

angêtog wisesa, mêdalakên pangawasa wahananing sir wau sagêd

amujudakên sipating kala rudra rupa, ingkang makatên wau, kala ing kina

dipunwastani aji candha berawa, ngilminipun kasêbut kados ing

ngandhap punika:

Sirullah, datullah, asihing jasatulah, marawayang kajatèning sipat

wujud, wujude padha lawan dadine, mara kita tumêkan.

Manawi kala jaman kadewatan makatên:

Yang yang ning jawata kajatèningsun, bojrèng bumi bêlah, bantala

ngaton marang kaananingsun.

Mênggah lampahipun kalih pisan wau sami: ing sabên ari Jumungah sare

latar, lèmèk ron pisang, bantal banon, sadalu ngriku bisu, sarta botên

dhahar punapa-punapa.

4. [150]Ngilmi kebaran ingkang sakawan angkatan dipunwsatani

pambukaning rahsa sajati. Pamatrapipun sagêd uninga wujuding bangsa

lêlêmbat, dalah wicaranipun siluman sapanunggilanipun sagêd

mangaryos. Mênggah paedahipun kalih-kalih, manawi talitining alit

kaangge pêthèk, manawi trahing aluhur, kaangge patakènan barang

karsanipun, ananging sadaya wau manawi katarimah lajêng sinêbut

tiyang kasurupan, sarta bangasaning prewangan. Amung trahing

ngaluhur ingkang ngulinakakên makatên punika, mèh sakêdhik

paedahipun, awit bangsaning priyantun wau manawi ngantos sugih guyu

garênêngan tanpa rowang, punika cêpak dipunwastani kagingsir, kang

mangka wontên salêbêting pasamuwan, kados punapa cidraning

agêsangipun, ewadena manawi pancèn sinatosan ing panggalih

sayêktinipun ma-[151]lah lankgukg prayogi sangêt. Manawi kala jaman

kdewatan dipunwastani kadang adewa, têgêsipun sadaya sêdyanipun

sagêd kalêksanan, inggih saking pitêdah ing rowang wau.

Mênggah ingkang kasêbut ngilmi kebaran kawan angkartan ing nginggil

punika sajatosipun langka yèn manungsa sagêd sumitra lawan bangsaning jim,

wondene ananing pasêbutan wau amung kaangge ngibating têmbung kemawon,

manawi sajatosipun ingkang dados rowang punika inggih sami kadang kita

pribadi, jalaran pancèn sampun limrah singawonga kemawon manawi sangêt

pamêsuning budi dhasar linaksanan kalayan têmên mantêp santosa, sayêkti

Page 58: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

kadang kita sakawan sami sumêdya tutulung ing duhkita. Mênggah patrapipun

tatarikan ugi kados ingkang kasêbut panyambating papat kalmia pancêr, dene

ngilminipun ma-[152]wi lampah sawatawis kados ing ngandhap punika:

1.) Botên kenging kêkêlut sinjang. Têgêsipun têtêbah pasareyan ambèn

sasaminipun kêdah kêlut sêpêt utawi duk, sapanunggilanipun ingkang

nama kêlut punika botên wontên ngawarilipun, sadaya wau inggih anggêr

dede bangsaning sinjang, mênggah kêlut sinjang punika watêkipun asring

kapêtêngan manah.

2.) Botên kenging ambucal uwuh katumpangakên uing sappu, watêkipun

larang anak.

3.) Botên kenging gêgêni kajêng galar, watêkipun kacuwan tuwin kapêjahan

anak agêng. Sadaya wawalêr ing nginggil punika atasipun sami

anglampahi, sanadyan amung sapele nanging kathah mupangatipun,dados

wajib kaèngêtan salamènipun. Anjawi saking punika lampahipun majêng

dhahar bibar dhahar tanpa wisuh, watêkipun dhatêng budi padhang.

5. [153]Ngilmi kebaran ingkang kaping gangsal angkatan, dipunwastani

pambukaning atmayana.

Têgêsipun uruh-uruhing nur ingkang wujud toya, manawi kalimputan

purbaning kajat jati wisesa, sayêkti sagêd asipat warna, katron sabên

kinajatakên, dene warnining ngriklu inggih botên beda lawan kawujudan

kita punika, mila manawi ingkang sakêdhik panampinipun malah adamêl

uwas, awit kakintên panêngraning pati kados ingkang kasêbut ing sêrat

Munasiat jati, makatên malih manawi kirang santosaning panggalaih

têmah adamêl kasaluruning cipta. Dene yèn sagêd tampi sinêbut araga

sukma, ananging sajatosipun sanès sadaya, kayêktosipun saking uruh ing

nur, kalimputan wisesaning kajat sajati. Amung paedahipun manawi nuju

sakit sangêt kenging jinalukan usada ingkang tamtu waluyanipun.

[154]Mênggah panitikanipun ing ngilmi kebaran kaping gangsal

angkatan wau, rèhning badhe adamêl kalintuning gali, ing mangke kêdah

dipunwêjarakên wiwijanganipun satunggal-tunggaling panêngran. Manawi

ingkang dipunwastani warnaning sipat sami punika mawi tatêngêr kados makatên

:

Warna tunggal sawujud kita ingkang sagêda dados panêngraning

ngatunggal, punika mawa cahya gumilang tanpa wawayangan, sarta sabên

kawistara tamtu anarik cahya kang amanca warni, sarêng wujud kita ingkang

tumrap dhatêng pakartining ngilmi kebaran ingkang kaping gangsal punika,

wujudipun amung margêgêg kados sawantahing janma kemawon. Dene ingkang

kapratelakakên makatên punika sajatosipun inggih ignkang dipunwastnai tênung,

punika saking sosoroganing ngilmi kebaran ingkang kpaing gangsal.

6. [155]Ngilmi kebaran ingkang kaping nênêm angkatan, dipunwastani

nganasirahmi.

Têgêsipun ambabar pangawasa ingkang saking asal nganasir kawan

prakawis, ananging sajatosipun panganggitipun Kangjêng Sultan

Sayidina Ngali, kala kacêpit ing prang wontên Nagari Juldah, ing ngriku

Sultan Ngali lajêng matrapakên ngilmi makatên:

Page 59: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

Sajatine ananging sipat wujud iku saka kawasaningsun, gumêlaring

kauripan iki saka apngalingsun, anane kabèh iki saka Asmaningsun,

lêrêpe sagung ruharaning jagad iki saka wisesaningsun, dadining

kanyataan saka nganasiringsun, wujudingsun saka bumi, napasingsun

saka angin, karkatingsun saka agni, uripingsun saka banyu, iya iku

roh, dadi kabèh kang ngasipat urip iku saka rahsaningsun, rêp rêp

sirêp tanpa arêp, saka ing kudratingsun.

[156]Kala samantên Kangjêng Sultan Sayidina Ngali sami sanalika

wontên kabuling mujijat, dumadakan lajêng angsal wawêngan

gaibing Pangeran ingkang Maha Kawasa, anuwuhakên swara kadi

gêrah sasr, têgêsipun kados galudhug ambal-ambalan. Inggih punika

lajêng kalokèng rat pramudita, Sayidina Ngali sagêd pêtak, sarêng

ing alami-lami wantuning kawruh wau yakti kêdah mupakat, babaring

saking mupakat sayêkti wajib bunudi, dados pambudining titiyang

warni-warni, wontên ingkang kadamêl patraping aji panglamporan.

Wontên ingkang lajêng tinrap aji panglêrêpan, sawênèh lajêng

dipunwastani aji bala srewu, wantuning titiyang dhasar pinarsudi

kasunyatanipun sayêkti sagêd kemawon anggêlarakên ingkang dados

pangawasaning ngilmi makripat wau. Ananging sadaya punika

kalêbêt wawênaging kaja-[157]t jati wisesa, mila sampun kalintu ing

panampi pasêbutan ing nginggil punika wau sadaya, dados sagêd

anèblègakên raosipun ingkang satuhu.

7. Ngilmi kebaran ingkang kaping pitu dipunwastani pambukaning iradat.

Têgêsipun samukawis ingkang dipunlampahi ing kaanan alam donya

ppunika, sarta tataning pangarti ingkang tumrap ing jasad sadaya,

ananging inggih ugi taksih pagolonganing kajat lair. Mênggah

dudunganipun ngilmi kebaran ing nginggil punika makatên:

Saupami nuju satunggal dintên kita anandhang papêtêng ing

panggalih, tuwin kalimput ing panggalih, tuwin kalimput ing budi

sawatawis, agêngipun anêmahi sungkawa dahat, enggal kita natrapaêna

sarananing jasad, manawi wungu sare, mapan sare, èpèk-èpèk kita kalih

kagosok-gosokakên kaping tiga, lajêng kausapakên ing bathuk kaping

tiga, sarwi matrapakên pudta makatên: pranawaningsun ambirat

ruwedhaning budi, pramananing [158] kajatingsun, anampurnakêna

papêtênging ati, kaanaingsun datingsun, kang maha suci asirnakake

sungkawaningsun , saka kudrtaingsun.

Mênggah subratanipun patrap ingkang samantên wau botên mawi,

ewadene manawi dipunniyati tarakbrata, ingkang mêdal saking ekhlasing

panggalih, jalaran saking sangêtipun susah tuwin lalining kaèngêtan, kados kala

Kangjêng Nabi Ayub. Punika amung dhahar sapisan ing wanci surup surya

kemawon, sanèsipun ing wanci sêrap inggih saksat siyam salamènipun, ananging

lampah ingkang samantên wau, sanadyan botên anêtêpi ngilmi kebaran, saupami

kadamêl mamatuh sakalangkung prayogi, malah anuhoni kados riwayatipun

Kangjêng Nabi Adam ingkang sampun kadhawuhakên dhatêng Jêng Nabbi Sis,

kados makatê-[159]n pangandikanipun ing riwayat jatining agêsang.

Jèbèng . lamun kita angèsthi tulusing kauripan, sarta turun-tumurun bisa

ambabarake tanah Jawa, kang dadi lakune muhung angawikanana purwa lawan

Page 60: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

wêkasane. Têgêse purwa awal, wantahing awal awiting antara wijiling baskara

kita, aja kongsi anyèlèhake pakartining kajat sajati, lire yèn during suruping

surya during kêna asèlèhake budi, ngenakake pakarti. Dene surya wis katon

sumurup kêna kita angaso budi, andandani badan, midêngêna kang mamrih

widadaning lakon kita bakal liya dina manèh , lire mamangan samubarang

rêrêsik sarira, anamtokêna sabên surup bae. Wasana panampinipun Kangjêng

Nabi Sis punika kakintên sabên lumereging srêngenge dhaharipun [160] mangka

mangsa lereging surya punika tamtu pêndhak taun, dados sabên taun sawêg

dhahar, inggih punika wantuning anak ajrih ing bapa, dados pamituhuning

pamanggih malah mindhak saking wawêlingan, makatên malih tiyang sêpuh

lajêng kathah wêlasipun, ing ngriku wiwitipun wontên wontên donga tulak bilahi,

wêkasan salamêt, donga kabula panjang umur. Sadèrèngipun pupuji makatên

wau donga kakalih punika botên wontên, mila sami-sami putra wayahing Adam

punika sanadyan lajêng bêsat tekadipun ananging kakintêning rama, dados

inggih sami lêstantun sasêdyanipun, kapara ing kawibawaning kamulyan, mèh

angasorakên kaluhuranipun Kangjêng Nabi Adam, sarta sakaliring para sêdya

jalu èstri sami kanyatahan sadaya, miwah kadugèn tur dumugi la-

[161]lampahanipun, miwah gumêlaring ngaguna sagêd anjêmbarakên jajahan.

Dene anggènipun sinêbut pangiwa punika awit wawansitaning rama, têgêsipun

panèn rinilan angadamakên piyambak sinabdan angêngkoki, liripun angakên

wawakiling pangeran, lairipun kakiwakakên ing batin têlênging panggalih. Mila

pralambangipun sarêng dumugi papangkataning para kawulaning ratu, liwa

punika kadamêl pangajêng. Têngên punika kaangge sor-soran, dados wantahipun

inggil kiwa kaliyan têngên, kados makatên purwaning cariyos ing kina.

8. Ngilmi kebaran ingkang kaping wolung angkatan dipuneastani

pambukaning kikayati.

Têgêsipun wawêdharaning êmpan papan, tuwin patrap tumraping pati

urip. Sarta ananing bêgya cilakaning jasad sadaya, [162]kadosta:

ingkang tinêbungakên mapan papan punika sarengating imam ingkang

andadosakkên batal karaming lalampahan ing agêsang, upami cara

anêrak cara punika karam, makatên malih nadyan kalabêtan karam

anggêr angêngkoki karamipun punika dados kalal, liripun makatên: cara

anêrak cara wau saengga pamanthênging panduka kita mangidul, wasana

dados mangalèr, punika ing atasing kajat jati wisesa botên kenging, têmah

dados karamipun, dene karam angêngkoki punika makatên: kadosta niyat

awon nanging èngêt dhatêng ing kasaenan, têmah dados kalalipun, awit

katêmbungakên budyarja,têgêsipun budi rahayu, inggih punika tiyang

sumêrêp dhatêng pangeranipun. Dene patrap tumraping pati urip punika

kadosta badhe nganci-[163]k ing jaman sakaratil maot taksih gadhah

kaèngêtan panataning agêsang, punika kenging sinêbut ngalimun ashari,

têgêsipun badhe manggih ganjaran padhanging budi, dene tumraping pati

wau saupami tiyang pêjah sarta sampun linuruban, mangka pajalêranipun

tangi, punika sinêbut mukti ajali, têgêsipun anandhakakên manawitaksih

dèrèng dumugi ing kajatènipun. Ing ngriku manawi kukumipun winastan

sêndhêt, tuwin tinarka taksih mandhêg tumolih, ananging sajatosipun

ingkang makatên punika malah utamining pati, awit nêdahakên bilih

badhe ramatullah, mila ingkang sampun mangartos lajêng kacucupa, yakti

Page 61: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

taksih mêdal kamanipun, inggih punika kajat jati wisesa anggènipun

nêtêpi wawênangipun, mila ingkang sudi nucup wau insya Allah lajêng

pinaringan ilham sa-[164]kajatipun, utawi antuk wahyuning Pangeran

Kang Agung. Dene ingkang dipunbasakakên kaananing bêgya cilaka

punika makatên:

Kadosta: bêgja ingkang kenging dipungayuh kaliyan dhawahing

cilaka ingkang botên kanyanan, ingkang makatên wau, ing sajatosipun

inggih mêdal saking budi kita ingkang pancèn oslah, têgêsipun nyimpang

ingalêrês, ananing samantên punika inggih sintên tiyangipun ingkang

badhe uninga kêclaping budi dumadining lêrês lêpat.

Mila salêbêting kita taksih kinadarakên wontên ing kaanan alam donys,

sampun sok angumbar sanggup dhatêng pawèstri, inggih punika tungtunanipun

tiyang kacukulan budi tan abad, awit dunungipun dados kalih pasêbutan:

1. Salêbêtipun dèrèng kalêksanan ingkang dados kasagahanipun punika

taksih adamêl gumatung-[165]ing panggalih, saupami ngantos lami

tuwin botên sagêd andugèni, yakti angingsêtakên wiwaraning kajat

jati wisesa, ing ngriku karsaning pangeran anuwuhakên sangsara,

ngrangsang-ngrangsang tuna, gayuh-gayuh luput, pêpêtêng imam

badhe mijèni pakarti ingkang botên lêrês dados sangsaya wimbuh ing

dosanipun, inggih punika ingkang sinêbut cilaka tan wruh margining

snagsara.

2. Ingkang kaping kalih, saupami sagêd nglêksanani kasagahanipun kita

lajêng anuruti pikajêng ingkang lamgkung saking marwat, wusananing

cipta kaliyan budi sanubari kasirêp dening hawa, mangka hawaning

sanggama punika tigang prakawis ingkang parlu kemawon .

1.) Hawaning karsa

2.) Hawaning nêpsu

3.) Hawaning ngushar.

Inggih punika karkating rahsa kaliyan roh, kumpul dados satunggal

anglimpu-[166]ti wiwara tama, inggih punika wahyaning kajat jati wisesa

ingkang dhatêng budi, utawi dhatêng manah, lajêng tumuruh dhatêng karkat,

inggih punika manawi kirang santosa badhe amewahakên harsini yuta, têgêsipun

toya ijêm ingkang dumunung ampêru, wasana dados lumubèr sakalairing parabot

kita ing lêbêt, têmah sangsaya mêpêti ing wiwara udaya, liripun makatên:

Lampahing êrah sêndhêt, lampahing toya bayu sêrêt, lampahing sungsum

kêkêt, lampahing napas sêrêt, sami badhe anuwuhakên sasakit sadaya, inggih

punika laladaning kiyamating jasad, utawi malekat kiraman ambabar

prabawanipun, mila ing lalampahan makatên punika ingkang sampun

kalampahan manawi kirang èngêt kasandhangan sakit barah.

9. [167]Ngilmi kebaran ingkang kaping sangang angkatan, dipunwastani

pambukaning kadarniyah. Têgêsipun sakathahing para sêdya kita ing laor

batinipun, sarta ingkang andunungakên tuturutaning lalampahan ing

salêrêsipun, ananging pasêbutan sangan prakawis wau, sajatosipu amung

mêndhêt saking riwayatipun ibu Hawa, nalika paring cipta sasmita

Page 62: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

dhatêng Kangjêng Nabi Sakil, kala badhe kaangkatakên dados Ratu ing

umat Mêsir, mawi kawisik dening Ibu Hawa makatên :

Roh Sakil angawruhana kang dadi kaduryataning dumadi iku saka

panambat. Têgêse sapa nyêbut kita ing sabêndinane mangkana:

sangkaning lara sapanunggalane iku Allah kang angganjar, awite

kita dosa, ingkang dèn basakake Allah iku bapa, ananging waluya

saka biyung.

Marma yèn kita sandhang lêlara anyambata biyung, awit biyung

minangka dhukun upama-[168]ne lara gêdhe bangêt lan amung sawatara bae,

yakti bisa nirmala waluya jati, awit pp#ring sagung mêmala kang asal saka bapa,

iku biyung kang kang mêsthi bisa ambirat, dene ananing sot, utawa basa kang

saru-saru iku asal saka biyung, pêpêre saka bapa kang anampurnakake, marmane

kita kang eling aja wani marang bapa biyung. Sayid Sakil amituhu lajêng

mangkat ing ngriku awitipun wontên tiyang sapariki manawi nandhang sasakit

tamtu nyêbut atho biyung, manawi sansara tamtu nyêbut Allah nyuwun ngapuram

têmah kalantur dumugi sapunika.

Mênggah wawangsitane ngilmi kebaran ingkang sangang angkatan

punika wau amung dudunungan para pangèsthi ing lair batin punika makatên:

1. Ingkang rumiyin kadariyah batin, inggih pupuntoning panggalih ingkang

sangêt. Sayêkti anggadhai rumaos ingkang garantês, jalaran pa-

[169]ngèsthi samantên punika wawênganing sir dumunung wotên ati

pangasih, mila mawi kadunungan kumêsar, awit saking karkat kirang

jêmbar papaning panggraita, ananging tamtu mêlêng ingkang dipun

anjas, ing ngriku saupami sagêd kasêmadan kaliyan tekadipun mêsthi

trusing cipta sagêd anumusi pangangkah kita, tandhanuipun manawi

tiyang kasakitan manahipun mangka sagêd mêlêng anêdha wawalês,

punika ingkang sampun kanyatan inggih lajêng kalêksanan, têgêsipun

ingkang damêl sakiting manah wau, dumadakaqn kawalêsan

dipunsakitakên ing liyan. Ingkang makatên wau amung saking sangêt

kumitir ing batos, dados anuwuhakên wawênanging kajat jati wisesa, mila

kaèngêtan sampun sok anyakitakên manah ing tiyang tanpa karana, sikara

tanpa dosa, dados mindhak sinêbut damêl siasating sasami-sami. Ingkang

makatên punika manawi tiyang ngilmi [170] botên kenging kaangge

lalampahanipun.

2. Ingkang kaping kalih, kadariyah lair punika têgêsipun kukum. Ananging

wontêninpun pranatan makatên wau amung sarêng dumugi Kangjêng

Nabi Musa kemawon sapariki lêstantun, kadosta:

Tiyang amêjahi tiyang, punika hukumipun inggih pinêjahan

gêntos, ananging saking wawênanging parentah nagari. Dados

sinêbut wawalêsan kemawon. Ngiwat gêntoskaiwat, nyolong

gêntos cinolong, sarta mawi dipun gancungi paukuman

samurwatipun, kapirit saking kandêl tipasing prakawis, sarêng

dumugi Kangjêng Sultan Nabi Dawud pêpêring paukuman

sawatawis, awit mawi kaparik sasakawitipun wontên prakawis

wau, dene yèn sampun yakti inggih katêtêpakên ing sadasanipun,

tinêksa saking paukumaning nagari.

Page 63: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

Ananging kêdah mê-[171]dal saking pangawasaning ratu, têgêsipun

pangadilan taksih wontên ing ngastaning Kangjêng Nabi Dawud piyambak.

Tumindakipun samantên punika kintên amung 5 taun, dumugi nêm taun, lajêng

santun pranatan, amung kakêngèn ing kukum molah kemawon. Têgêsipun

Kangjêng Nabi Dawud sarêng sampun wiwit anyandhak raosing ngilmi makripat,

sadaya pranataning nagari lajêng kabêbahakên ing mapatih tuwin para ingkang

angawasaning paparentahan, nanging wantuning botên tinimbangan karsaning

ratu saèstunipun inggih lajêng gêndho.

Amangsuli pamanggihipun Kngjêng Nabi Dawud wau, sarêng mêntas

ambabar panganggitipun Kitab Jabur lajêng kagungan panggalih ingkang

sumèlèh. Liripun ing salêbêting Kitab Jabur wontên raos ingkang kapanggih

pipingilaning ngilmi makripat, kathaipun amung nêm prakawis kados-[172]a ing

ngandhap punika jarwaning pasêbutanipun.

1. Dipunwastani kudrat kapiyat, têgêsipun sajatining dat ingkang anyamadi

dhatêng sipat, kadosta: panêtêsing osik ambabar prabawa wawantahan

punika upamenipun amastani sagêd nêtês sapangucap. Pancèn wujud sato

kapêndhêm, sarêng sinabdan pitik iwèn punang sato sirna têtêp

katindhihan sabda têmah nyata pitik iwèn ingkang katingalan wau.

2. Dipunwastani kapiyaturmi, têgêsipun pikantuk ing dat ingkang ambabar

wisesaning kajat jati, têmah sagêd angewahakên dunung saluguipun,

kadosta: upami lêt sagantên wukir, sagêd ambatang panggenaning paned,

punapadene sagêd amêndhêt barang sirna mancuk sawujud, punika

kapinêlêng sangêt pangudining panmggalihipun Kangjêng Nabi Dawud

wau.

3. Dipunwastani kapiyat marmah, têgêsipun bangsa-[173]ning anyorog

wawênang ingkang saking kawasaning badan sakalir. Ananging saengga

taksih golonganing taklek, utawi kakaranganipun ing ngilmi gêndam.

4. Dipunwastani kapiyatul arsi, têgêsipun paedah ingkang bangsa kaèlèkan.

5. Winastan kapiyatyi, têgêsipun paedah ingkang tumrap dhtaêng sasandhan

tiyan jasad.

6. Dipunbasakakên kapiyat maemi, têgêsipun patrap ingkang amaedahi

dhatêng badan sakulawarga, inggih punika tatarikan ingkang dhatêng

sadhèrèk ingkang lair sarêng sadintên saking margaina, tuwin ingkang

botên mêdal saking margaina, inggih punika amèt waênanging mamêti,

sapanunggilanipun, ananging sadaya wau botên susah kapratelakkên

satunggal-tunggaling aptrap, awit mèh nunggil misah kemawon kaliyan

ingkang sampun sami kasêbut ing ngajêng-ngajêng sadaya.

[174]Ing mangke amratelakakên babarakaning dat mutlak kang kadim ajali

abadi, paedahipun anguningani ingkang dados jalaraning sipat mawi

kasandhangan lêpasing budi, tuwin sagêd sumêrêp pakarti ning anandhang

sasakit, kados ing ngandhap punika papangkatanipun satunggal-tunggal.

1. Ingkang rumiyin dat kaliyan khayu, punika wiwara satunggal

dipunwastani bayu wara, têgêsipun margi toya marta, ingkang maradini

dhatêng sakathahing dat. Ananganing asaling toya saking dat kang

langgêng. Pusêripun wontên khayu, dados ingkang anggêsangi paraboting

Page 64: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

jasad wau amung khayu, mila kayu sinêbut urip. Jalaran panguripaning

sagung paraboting sipat, manawi kasungsanging toya udrasa lajêng

kandadosakên sa-[175]sakit ingkang dhatêng sirah, inggih punika manwi

kirang sêsêrêpan lajêng dipunwastani encok, sanadyan saênggèn-ênggèn

dununging sasakit èncok wau sayêkti amung anut sakèndêling toya udrasa

wau, upami sawêg dumugi ing têpak, ingkang katrapan èncok inggih

têpak, upami sawêg dumugi ing suku inggih sakit suku.

2. Ingkang kaping kalih nur, gagandhènganipun kaliyan sir, dadosipun

wiwara satunggal, mila sir lajêng sahgêd anuwuhakên kalêpasaning budi

jalaran saking prabaning nur, têgêsipun kados rotan prabawaning cahya

wau dados sagêd anggadhahi cipta, graita sapanunggilanipun ingkang

bangsa cahya, magka sungsang balik lampahipun yakti andadosakên

awrat kaku ring sarira, dene têgêsi-[176]pun awrat awit angèndêlakên

lampah ing êrah, sumarambahaipun amung dhatêng sungsum kemawon,

mila sarira kita mnawi raos saengga kaku, inggih saking botên sagêd

mêdalakên karingêt, wusananipun cêpak lajêng dados jalaraning sasakit

tosan, mila ingkang makatên wau kêdah awas sarta priyatna ing

pangartinipun, kêdah patitis ing pamatrapipun, liripun inggih sanadtyan

sampun sagêd amêngku awal akhiring alam, sayêktinipun botên kenging

anilar padataning sarengat, têgêsipun manawi kita kataman antaraning

sasakit ingkang makatên wau, inggih nyinggah asadhe dhaharan ingkang

kêcut, sarta ingkang lêgi, sarta ingusadanana punapa datanipun.

Anêtêpan kados sarengatipun Kangjêng Nabi Muhammad Rasulullah,

dados asgêd arang sasakit makatên wau.

3. [177]Ingkang kaping tiga, gagandhènganipun raha punika kaliyan roh,

awit sami asaling toya sadaya, ananging ugi kalimputan tirta marta

ingkang saking kayu punika, mila ingkang mangartio patraping

lalampahaning toya tigang prakawis punika, asring sagêd amastani badhe

dumadining roh wau, awit ing sajatosipun agêsang punika sanadyan

sawêg karkate mawon yakti sumêrêp manawi roh badhe dados, mila

panitikaning roh ingkang badhe dados punika makatên kaèngêtan.

1.) Roh sadèrèngipun dhumawah ingkang tamtu mawa ganda minging

saengga sêkar mayang, roh rahsa khayu, sampun dados satunggal,

dados mawi mratandhani susondarum,inggih punika roh ilapi sampun

mapan wontên wiwara tama, badhe tumurun dhatêng johar a-

[178]wal ing kaananipun, dados tinmbungakên ing alam insane kamil

malih.

Mênggah pasêbutan ing nginggil punika sadaya, pema ingkang sagêd

kaèngêtan papangkataning roh ilapi sapanunggilanipun, têgêsipun manawi kita

badhe kagungan karsa dhatêng garwa, mawi kawiwitan duduhun, liripun liripun

amucuki tênaga amrih tinimbangan kajat kita wau, manawi sampun kawistara

carêming panggalih dados satunggal, ing ngriku kita ananggapana bau kering

manwi wontên antaraning ganda ngambar kadi sêkar mayang. Enggal kita

amatrapakên kasunyataning sagama, ingkang sampun lalampahan saking

pangandikaning para wqali, sagêd anuwuhakên wiji sajati tur kenging

ginadhang-gadhang saking karsa kita satuhuipun, sanadyan jalêr tuwin èstri

sayêkti dados prayogi.

Page 65: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

4. [179]Ingkang kaping kaping sakawan anêdahakên dununging budi

kaliyan akal, mila kaèngêtan wahananing kayu punika manawi kasirêp

saking purbaning nur, punika sinêbut akal, manawi nur kaliyan kayu

kasregan hawaning nêpsu dados lajêng sinêbut budi, manawi kawimbuhan

karkating cipta maya, dados lajêng winastan budi sanubari, utawi ati

sanubari.

Mênggah tumuwuhing budi ingkang makatên punika saking katuju ing wantu,

têgêsipun kasênbadan ing saniskara, dhasar karsa dhatêng tataning ngilmi

kasunyata, sayêkti siyang dalu mintir pamnaggihipun, bêbasan sawêg sare

anggêr sarèh sarekadayaning budi saèstu sagêd anata-nata piyambak. Inggih

punika ingkang dipunwastani pêpaking imam, santosaning budi dadining

pangarti, sadaya wau ugi saking pangayam-ayaming malih.

5. [180]Ingkang kaping gangsal, anêdahakên dununging pasêbutan ingkang

nama badan kaliyan jasad, sanadyan satunggal garbaning nama,

ananging wontên pêperanganipun piyambak-piyambak, kados makatên

jarwanipun.

1.) Badan, têgêsipun sipat mujud janggêrênging manungsa punika.

2.) Mila sinêbut jasad, têgêsipun wawêngkon utawi kurungan, aanging

ugi nama badan sadaya, manawi tinrapakên saking ngilminipun

makatên ingkang sinêbut jasad punika badan ing lêbêt, têgêsipun sipat

ingkang taksih tumut tatarikan kaliyan dat sapanunggilanipun, malah

taksih kalêbêt papangkataning dat sadaya wau, sarêng badan amung

sawantahing kawujudipun punika. Mila manawi kala ing kinadupugi

sapunika, ananging badan ka-[181]unungan tan sana, tuwin

kasudibyan kanuraga gan sapuninggilanipun bangsa sakti

amandraguna, punika saking kalimputan pangawasaning jasad,

manawi badan botên kadunungan wawênang, awit botên sagêd tarik-

tinarik tuwin katuruhan wisesaning dat sapanunggilanmipun, yakti

angamungakên margêgêgipun kemawon.

Mênggah wawantahipun ingkang kasêbut ing nginggil punika sadaya,

kawan prakawis, kados ing ngandhap punika.

1. Daging bayu ingkang parêg tuwin anèmpèl babalung utawi sasêla-sêla

gêgêlitaning balung utawi ros, punika taksih kalêbêt jasad sadaya.

2. Daging bayu ingkang mawa kothot tuwin uwat-uwating daging ingkang

mimbuhi kuwat sarosaning bayu inggih taksih nama [182] kêncêng, utawi

koyor, kisi, kothot sapanunggilanipun punika inggih jasad sadaya.

3. Manawi ingkang sinêbut badan, sayêkti katawis ilap-ilaping daging.

Warnènipun inggih beda kaliyan jasad, radi wontên kandêlipun jasad

sawatawis, dene papangakatanipun amung kalih sob, abrit kaliyan abrit

asmu biru.

4. Kulit, utawi kulit ayam, inggih punika ingkang sinêbut wacucal,

pakartinipun amung kanagge lalapising daging tipis galih ilap punika,

sadaya inggih nama anteroning daging badan wau botên gadhah

kakiyatan, anggènipun gadhah kêncêng wau amung katarik saking

kêkêring wacucaling badan wau, mila ingkang sami katrapan sasakit

Page 66: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

bangsaning rah sapanunggilanpun pu-[183]nika inggih amung dumunung

ing badan, mila manawi badhe nandha pipilahaning jasad kaliyan ban

inggih saking wêdaling êrah kados makatên warnanipun:

- Kulit rankêp kalih, manawi pêcah êrahipun pêthak kados toya lêri.

- Manawi êrah ing daging badan ingkang jawi, punika abrit manterah

asmu jambon.

- Êrah ing badan daging wêkasan, punika warninipun abrit sêpuh asmu

cêmêng, sarta mawa ganda arum.

- Manawi daging ing jasad, ingkang nomêr satunggal punika abrit ênèm

asmu jêne

- Manawi daging ing jasad ingkang wêkasan punika jêna asmu pêthak,

dangu-dangu malah dados toya wêning, sarta mawa sugandarum,

inggih punika nandhakaên taksih tumut saulahing dat kang sajatining

atunggal.

Mila ebahipun amung kumêdut utawi kêkêtêg kemawon, inggih punika

nandhakakên manawi taksih dados warananing dat sajati, sarta botên kenging

papasang sarasa lamènipun dene manawi badhe katrapan sasakit tumuluh ing

êrah taksih malik margi ingkang lêrês, mila manawi tiyang jalêr nandhang

sasakit anbi, punika êrahipun mêdal saking jubur.

Manawi tiyang èstri katamtokakên sabên wulan nandhang sasakit jasad,

medaling êrah dhatêng pawêstran, inggih punika ingkang dipunwasatani tarab,

manawi mampêt yakti kasêsêp hawaning roh kang badhe dumadi wau mêpêti

margi, dados wawrat, manawi botên kapêpêtan roh lajêng sinêbut busung.

Mangka nyimpang saking kalih pasêbutan punika lajêng winastan luwal sing

gêtih.

[185]Anjawi saking pasêbutan ing nginggil sadaya wau, ing mangke

wontên malih gagayutaning nama sumêsêl ingkang kados ing nginggil punika

sadaya, pratelanipun amung pitung prakawis, makatên jarwanipun:

1. Wontên dadagingan dunungipun anyêla pepedaning tarik jilan

maripat, punika dipunwastani dammar salêh. Têgêsipun padhanging

panyipta, dumunung wontên cêptianing tingangal, inggih punika

pakèndêlaning cipta ingkang dhatêng panduluning manungsa, tumrap

ing liyan.

2. Wontên daging sumêsêl cêpitaning utêg utawi uwang sasaminipun,

punika winastan murta, têgêsipun andhêg-andhêging uruh ingkang

saking utêg wau, daging kalih pangkat punika êrahipun biru asmu

jêna, inggih punika sajatosipun panggenaning sasakit ingkang

manjing sirah tuwin tarinjilan netra.

3. [186]Amratelakakên daging tumrap gêgêlitaning jangka, utawi

uwang, punika winastan as-asmah, têgêsipun daging pangangsa,

inggih punika ingkang anarik dhatêng kukuwataning para têdha, mila

ing malik nadhang sasakit sinêbut pancingên, utawi panggêl, dene

wujuding êrah cêmêng pating paringkêl.

4. Ingkang kaping sakawan, wontên daging dumunung tênggak

sanginggiling jaja. Punika winastan asta harah, têgêsipun katarik ing

Page 67: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

ampêru, ingkang asring mêpêti napas, sapanunggilanipun, sarta

ingkang amijèni us-us, têgêsipun pamuntaping buwaya tuwin

pangraping cacing sasaminipun, mila wujuding êrah abrit asmu ijêm.

5. [187]Ingkang kaping gangsal, wontên daging manjing sêlaning

parabot ing lêbêt sapanunggilanipun, inggih punika winastan

tarjuman, têgêsipun panggenaning sasakit ingkang dumungung ing

jaja tuwin ing jantung. Sapanunggilanipun.

6. Ingkang kaping nênêm, wontên malih daging sumêsêl sêlaning

puyuhan, utawi tumèmpèl ing usus sapanunggilanipu, punika winastan

barmut, têgêsipun daging rarambaning bangsa gêgrêmêtan.

7. Ingkang kaping pitu, amratelakakên daging tumêmpêl ing oyot, liring

oyot wau gagathukaning ros, punika dipunwastani barmandan.

Têgêsipun margining sasakit ingkang sinêbut dhêngên sasaminipun,

utawi tatalêring sêpuh anèm, antaraning umur manjing cêlakipun,

sadaya katitik sa-[188]king gêgêlitaning daging ingkang barung

kaliyan otot agêng ing oyot wau. Manawi anuju nandhang sasakit

mawi gadhah raoos kêmêng kêju, sapanunguuilanipun , punika adat

ingkang sampun kalampahan malah panjang umuripun, manawi

gadhah raos kêdêr angacêcêng tuwin gumringging, punika anêdahkên

cêlakumuripun.

Ananging samantên punika amung kairib saking sarengatipun, sanadyan

bataling babatangan inggih saking madarti usadanipun, sarta prayitna nalar

ingkang dados sagêd sasakit wau kasinggahana, karana ingkang kasêbutan ing

ngilminipun ukur makatên punika amung dumunung ewah gingsiring kawula.

Dados kajatèning têmbung cêlak panjang wau amung tatarikan saking mahaning

cipta maya rasa ruwedha kita pribadi, dene manawi têrangi-[189]pun babar

pisan katata kados wiwiridaning betal mukhadam. Têgêsipun witing ngilmi

makripat dalah parabotipun satunggal-tunggal, kala wawêjanganipun para Nabi

kados makatên jarwanipun:

Wujuding

satunggal-

tunggal

Namanipun dalah gancaring sêbutan

Winastan langgêng, tuwin sangkan paraning tanajul akir,

têgêsipun ing kaanan sajati.

Inggih punika wujuding betal mukadam, têgêsipun

padhokaning pêjah gêsang utawi wawatoning samukawis

ingkang dados baboning kasunyatan.

Winastan alip muptalanaglimunwakit, dumunung sêla-

sêlaning antara ing alam awal akir.

Winastan pajar sidik, akaliyan nukat gaib, wujudipun abrit

buwêng jêne.

Sinêbut gunung tursina, inggih punika inung.

Page 68: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

[190]Inggih punika sajatining utusan.

Winastan daim, utawi ingkang sinêbut malekat sakawan.

Winastan nur Mukamad, têgêsipun cahya.

Tajali ing dat mutlak kang kadim ajali abadi.

Sinêbut puputran gadhing.

Nama wahyu jali.

Nganasir kawan prakawis, nunggil kaananing malekat

sadaya, warni cêmêng, abrit, jêne, pêthak.

Sipating nêpsu kawan prakawis.

Inggih punika ingkang sinêbut cahya abra marakata,

kajatènipun asal sarta pakumpulaning nêpsu kawan

prakawis mawa dahana.

Inggih punika ingkang binasakakên cahya maya-maya

kang ebati.

Isthanipun pasêbutan lawang sela matangkêp, utawi wot

siratal mustakim

[191]Isthaning pasêbutan ingkang binasakakên masjidil

karam, utawi watu gumantung tanpa cathèl wantahipun

jantung.

Inggih punika ingkang dipunwastani aksara awisan, utawi

kêkêran sajati.

Ingkang makatên punika winastan was uwas, têgêsipun

amujudakên sipating maras ingkang dumunung ngadhap

ina.

Inggih punika ingkang sinêbut wujuding rokhani.

Punika ingkang winastan sanubari, têgêsipun pajêg utawi

tulus.

Ingkang sinêbut lintang johar.

Punika ingkang sinêbut sagara rante.

Ingkang sinêbut sajatining rahsa.

Inggih punika ingkang winastan sulbi.

Ingkang binasakakên sagara layaran, utawi paparanging

ngapanung.

Page 69: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

Winastan asaling nêpsu luamah warnanipun cêmêng

watakipun adamêl pêpêtênging manah budi

sapanunggilanipun.

Sinêbut nêpsu amarah wujudipun abrit abra marakata,

watêkipun anggadhahi angkara hawa murka.

Dipun sêbut nêpsu supiyah warnanipun jêne watêkipun

anuntuni pakarti kang tan yukti, pêpenginan sasaminipun.

Winastan asaling nêpsu mutmainah warnanipun pêthak,

watêkipun amamarang barang rèh kang tan prayogi.

Mênggah ingkang kawujudakên warni makatên punika

winastan cakra panggilingan. Inggih punika awal akhir,

sarta anêdahakên panjing suruping pati, têgêsipun

lungane lawan tumêkaning kaanan dunya lawan

akeratipun.

[193]Mênggah pasêbutan utawi kawujudakên ingkang makatên punika

kula sadarmi nurun sungging rèhning kawontênanipun ingkang makatên punika

saking akalipun para guru Rusul asal saking santri ingkang sampun angakên

lêpas saha punjul ing ngilminipun, dados kula pakèwêd manawi angewahana

pakarti ingkang samantên wau, ing atasipun kawula sayêkti botên wajib

amiyagah sakaliring pangawikan sasamining manungsa, dêstun amung atur

pemut sawatawis, inggih bok manawi têmên sarta gathuk ing panggalih kula

sakalangkung jumurung rèhning sampun mupakat sarta sampun sami kang

gedening kuru gunging guru dhusun sakathahing santri rusul ingkang kajijiman

tuwin kawiridakên dhatêng para mudira. Botên langkung saking atur pamrayogi

kula inggih amung kaagêma pêpak-pêpak ing kawruh kemawon. [194] Ing

atasipun pangawikan mangka pancèn dhasar sampun mupakat. Mila inggih

amung nyumanggakakên anggêr botên angingsêtakên kasunyataning kajat jati

wisesanipun piyambak, têgêsipun amanggih ingkang sam,pun kapanggih

kajatènipun, sakur manawi sami sagêd anggathukakên, bok manawi badhe

anambahi padhanging cipta maya. Dados angindhakaên padhang dhatêng

pangawikan dununging kajatèning agêsang. Amung manawi dèrèng sagêd

amimbuhakên kemawon luhung kalêbêtêna ing batin kita, supados botên

anyanyaruk lêbu, têgêsipun malah amêmêtêng ing panggalihipun piyambak-

piyambak, makatên malih mila kyai Mukamad sirullah dèrèng sagêd

anjarwakakên saking badhe nusuhakê-[195]n panunggilanipun ingkang makatên

punika. Jalaran inggih pancèn taksih kathah panunggilanipun, malah katata

kados isthaning titiyang wuda, lajêng kacirèn prênah-prênahipun satunggal-

tunggal, ugi kados ingkang sampun kadhapur-dhapur ing ngajêng wau,

ingnngriku saupami kapratelakakên sadaya, saèstu badhe wontên tuwuhing

ngapanca kara, têgêsipun tênêrêngan rêbat unggul rêbat putus, utawi rêbat

patitisding pangarti nyata, ananging ugi sampun katandha ing jaman mangkya

sabên babayi sawêg sagêd nêdha dolas raraosanipun ingih ngilmi mangsa

susualakah.

Page 70: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

Mila aturipun kyai Mukamad sirullah, sadaya ingkang marsudi kawruh

punika, sampun anilar kaprayitnan. [196] angatos-ataos ing wiraos saparluning

kawruh ingkang satuhunipun. Liring prayitna wau ingkang sagêd prênah êmpan

papaning pangandika, supados botên kasaluru ing kawruh nyata.

Mênggah atur pêpèngêt kula dhatêng para amarsudi ngilmi ingkang

klalêbêt asmanurakim. Têgêsipun ingkang sampun kathah pangartining kajat

sajati wau, punika anêtêan kados pangandikanipun Kangjêng Nabvi Mukhamad

gangsal prakawis makatên jarwanipun.

Mungguh sajatine sing sapa sumêdya minding kawidadaning badan, iya

iku saksat angwruhi marang wawênange dhewe.

1. Kang dhingin wawênang ingkang wiwitan iku dèn arani wakis maniyah,

têgêse anuwèkake sarengat ing dalêm sauripe, Manawa tinêmênan ing

pangèsthi ing budi sanubari, amêsthi antuk pangapuraning Pange-

[197]ran têlung prakara: 1.) sêgêr kuwarasan, 2.) padhang atine. 3.)

sampurna karêpe.

2. Ingkang kaping pindho, wawênanging jasad, dèn arani akyansabitah,

iyaiku sajatine anu lenake pngandika kang sanyata, sing sapa angawikani

kaananing kajat jati wisesa amêsthi antuk pari mirmaning Pangeran

kanga gung, tinata ing dalêm kabatinaning sapatang prakara: 1.) pari

mirma batin iku saciptane tumêka, 2.) sasêdyane hasa, 3.) sakajate nyata,

4.) sanadyan kang ora sinêdya iya uga ana, sarta amimbuhi berawak,

têgêse santosaning balung otot, kukuwatan ingkang anyamadi marang

badan kita sauripe.

3. Kang kaping têlu wawênanging budi iku dèn arani akal miniyah, têgêse

pamusus ing dalêm batin iku dèn arani [198]kudam asalaman, têgêse

sanyata ing kabatinane, mangkono manèh Manawa pancèn angantêpi

marang pakarti yukti mau, sanadyan tumêka ning kaana sajati ing

atunggal, kita antuk panarima patang prakara, têgêse katarima ing pati.

1.) Kang dhingin sampurnaning bantala murka, têgêse sanadyan

kapêndhêm ing lêmah bisa prênah marang bumi kang mulya.

2.) Kaping pindho, sampurnaning maruta manda, têgêse sanadyan anèng

karamtullah Kang amaha suci aparing sisilir ing samirana, ora ana

barat bancananing kaanan kita.

3.) Kaping têlu, sampurnaning agni, têgêse ora darbe rasa kang panas

sumuk.

4.) Ingkang kaping pat sampurnaning tirta kurusa, têgêse ora katuruhan

banyu êmbês-êmbêsing kiwa têngêning kaluwat.

5.) [199]ingkang kaping lima andunungake wawênanging sir lawan nur,

têgêse sing sapa bisa ajêg panggraitane, sêmu sumèh polatane,

padhang sumilak sagung nitya, tanpa angêdhap ing saniskara, iku dèn

arani usalimnah, têgêse kababar bêrkating Pangeran limang prakara:

Page 71: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

1. Babaran parêging sandhang pangan, 2. Babaran parêging wahyu,

babaran parêg ing karijêkèn, babaran binuka ing ngilmune, 5.

Babaran bakal dadai gugununganing sasama, kang limang prakara

kabèh mau kalêbu ganjaraning jasad. Awit saka bisa nuju wahyaning

wahyu kang sanyata. Têmah tinêtêpake ing kauripane. Ing kono lakune

mung tobata marang date dhewe.

Karana asaaling wawêngan sarta tutumusasning katarima iku saka dat

kita sajati.

[200]Mungguh êmpan-papaning atobat binarung laku iku têlung prakara,

mangkene jarwane:

1. Tobata marang kang wajib anganakake, kayata, sajroning ngaurip

ingkang wêdi sarta mituhu rèh parentah ing bapa biyung kaki nini,

karanane bisa anampurnakake jasad kita yèn katrapan pêpêtêng.

2. Kaping pindho, laku kang utama, lire kayata ptarap ing kauripan

anane lawan lalakone, iku bisa atimbang marang kauripane kang

ajêg.

3. Kang kaping têlu, dèn arani pan nalangsa kita marang uripe, têgêe

nalika misih kinadarake ana ing kaanan alam donya, kita dèn tabêri

amatrapake barang rèhning kauripane, têgêse sasajroning ngaurip

arja kalabêtan panggawe dudu, dadi widada awal akhire.

[201]ingkang kaping lima, dumunungaanning wawênang asal saka

wisesaning dat lawan kayu, iku tumrap ing manungsa kang katarima, dèn arani

antuk ganjaraning Pangeran ing dalêm samakiskarim, têgêse êmpan papaning

kauripan ing salawase, lire sing sapa anuhoni kasantosaning tekad, prasasat

anêmênake kajate kang sajati, sing sapa amardi kajatening dat lawan khayu

saksat angèsthi kasunyatan kang sampurna, utamane nganggo dèn lawani atêtèki

sawatara anggêr ajêg, ing kono mungging Pangeran bakale ora angilangake

lalabêting pakarti satuhune.

Mungguh lakuning lalawnan brata iku amung patang prakara, kang

dhingin kaya lakuning bumi, têgêse dèn bisa ngênêp sakajate. Kaping pindho

lakuning angin, têgêse dèn bisa [202] mintir pangartine, kaya angin-angin

upamane. Kang kaping têlu, kaya lakuning agni, têgêse sajroning kauripan kita

kita dèn bisa sambada lair batine, anggêr ora aminta kang dadi hawaning agni

mau, têgêse gêni iku mung sambadane kang dèn pirit, lawan sajatine sanadyan

panas adhêm ing tibane, iya iku laku kang dèn arani sabênêre ing kahuripan kita.

Kang kaping pate, yèn dhasar wus kawistara kang dadilakuning ngaurip

salawase, ana ing alam donya, iya dèn bisa angirib lakuning banyu, têgêse mili,

ing kono upama katêtêpan lawas antêpaning katêmênan kita. Ing salawase iya iku

dèn arani arsa armah, têgêse banyu kang tumus amartani marang kajat kita ing

Page 72: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

salawase, iya iku kêna sinêbut masjudi, têgêse saksa-[203]t angêngkoki

kaananing kajat jati wisesa, satuhuning ngatunggal.

Mungguh patrtap patang prakara iku yèn dhasar nyata kang dadi

pangèsthine, sayêkti tinêtêpake ganjaraning Pangeran uga patang prakara

mangkene jarwane :

1. Kang dhingin, manungsa anulad lakuning bumi iku mungging

Pangeran amêngakake wiwara sasanga, ingkang dadi dêdalaning

swarga.

2. Ingkang kaping pindho, manungsa anêtêpi kaya lakuning angin iku,

mungging Pangeran amênagkake wiwara tama, têgêe dêdalan kang

bêcik bakaling lawang swarga.

3. Ingkang kaping têlu, ,manungsa anulat lakuning agni iku, mungging

Pangeran anginêpake wiwaraning narata, ngingis margining swarga.

4. Ingkang kaping pat, manungsa anulat lakuning angin iku, yèn dhasar

mantêp têmên, ing [204] kono mungging Pangeran ambuka wiwara

sangan prakara uga dêdalane swarga sangang bab, kantrhi

angudanakake kharamatullah kang amaha suci sajati, anêtêpake

sakajate, angaksama sadosane.

Marmane kaanan ing alam donya iku kita aywa katilapan apa kang dadi

êmpan papaning abênêr, aja nglirwakake kasunyataning atata, aja weya

pangayam-ayaming kajat jati wisesaning kaanan kita salawase. Manawa wis bisa

angandhang kokondhanganing dumadi, dadi sinêbut gaibin arli, têgêse eloking

kauripanm punjuling kasunyatan, têtêping katêmênan, tekading kajatèning tokit,

iya iku wus angancik laladaning darusalam. Lire wus ginolong lalakoning gaibin,

utawa rohul kudus, têgêse kalêbu [205] purbaning rijalullah gaib, têtêpakên

warana kang agung. Kagolongake lulungidaning Lokihmahpul.

Mênggah pangandikanipun Kanjêng Nabi Mukhamad Rusulullah ingkang

kasêbut ing nginggil punika sadaya, mugi sagêda anampèni ing saparlupun, awit

ing atasing tiyang sampun katitik punika sayêkti patitis, têgêsipun manawi dhasar

têmên-têmên pamanthênging cipta kados botên ada-ada malih. Liripun ing

agêsang wau dipuntêmbungakên gêsang samukawis, dados punapa pakarti tuwin

pangarti inggih sagêda sami gêsang. Mangkamawi warahing Kitab Ngisa,

kasêbut sangang prakawis gêsanging manungsa punika, tinamtu katêtêpan

satunggal-tunggal kados ing ngandhap punika pratelanipun ing ibaratipun:

1. Ingkang rumiyin dipunwastani gêsanging karna, têgêsipun pangrungu,

gêsanging karni, pangrungu tampining talingan saking kiwa têngên,

punika sampun kalih pangkat, lir-[206]ipun ingkang sinêbut

gêsanging karna wau makatên, pangrungu saru kuping têngên,

pangrungu sae talingan kiwa, punika sagêda angumpulakên dados

Page 73: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

satunggal kasèlèhakên dhatêng paningal. Ingkang sae pramana,

ingkang awon pranawa, sumarambah dhatêng dat ing dalêm betal

makmur. Pamatrapipun makatên:

“uriping pangrunguningsun kawêngku dening dat, amratandhani

marang panduluningsun, punika patraping panyirêp karna”.

2. Ingkang kaping kalih anêdahakên patrap uriping paningal, netra

têngên pakarti anon bangsaning saru siku dinulu, netra kiwa

anampèni patrap paningal ingkang sae, ing ngriku sagêda angracut

kumpulipun dados satunggal, kasèlèhakên dhatêng grana, makatên

pamatrapipun :

“sajatine wus tan ana katon apa-apa, kabèh-kabèh uriping netra

tumurun maring grananingsun, atkupirhu kaping 3”.

3. [207]Ingkang kaping tiga, andunungakên gêsanging grana, punika

inggih etang kalih malih, dados sawêg tigang angkatan amung sampun

kalêbêt nênêm, jalaran sami rankêp. Dene gêsanging grana punika

saking pangingsêp, têgêsipun panggandaning lèng grana ingkang

têngên kaangge nari patraping sarwa suganda, atampèn dhatêng lèng

ing grana ingkang kiwa, lajêng ngalêmpak dhatêng darusan, inggih

punika wawêngkanganlêgoking grana ngandhap, ingkang katêrah

nama alip ngalimun wakit. Ing ngriku kita anandukêna makatên :

“ing sajatine alip ngalimun wakit iku kanthaning asmanipun, Allahu

Akbar kaping 3”.

4. Ingkang kaping sakawan, dipunwastani gêsanging lesan, inggih

punika pratikêling pangandika ingkang andadosakên saru siku tuwin

lêrês lêpat, mangko sadaya ingkang kasêbut ing nginggil wau dèrèng

sagêd anandukakên maegining ngalêrês, inggih punika botên kenging

sinêbut gêsanging [208] lesan, tandhanipun taksih asring kawijil ing

pangandika saru, mila manawi sagêd angèsthia kajatèning

ngatunggal, têgêsipun salêbêting amancat kaananing akhirat, punika

mêpêta ujar kapalajar, têtêpa pangandika khayu, têgêsipun jatmika,

kanthi matrapêna makatên : “sajatine uriping pangucapingsun wus

salawase, samengko ingsun sèlèhake marang jubur, awit sakaliring

uruh padha lumèrèk ing warana tantra, lajêng nêbut Allahu Akbar

kaping 3”.

5. Ingkang kaping gangsal, andunungakên gêsanging jubur,

pamatrapipun makatên: “Juburiyamah maratani ing kijabullah,

sajatine wus ora ana apa-apa, amung kari ururiyah, sirnane saka

kawasaning tekadingsun, lajêng matrap, an ngama kaping sanga,

dhikir kaping 3, yauk kaping 100.

6. [209] Ingkang kaping nênêm, dumunungan gêsanging Dakar, inggih

punika pajalêran têgêsipun amatrapakên lalampahan ingkang badhe

dipunlaksanani wontên ing kaanan jati, kados makatên patrapipun :

Page 74: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

“Ing sajatine wus turut asaling kauripaningsun, kang dhingin sèlèh

ing karna marang netra, sèlèh ing netra marang grana, sèlèh ing

grana marang lesan, sèlèh ing lesan marang jubur, sèlèh ing jubur

marang paringsilan,iya marang palanangan.

Wawênanging wiwara kanga gun padha ingsung racut dadi sawiji

dumunung ana manikêm, banjur maring jinêm, banjur maring rahsa. Ing kono

karkating kajat jati wisesa wus anglimputi marang dat kang amaha suci. Ing

sajatine kumpul dadi sawiji, wus mancat kaduryataning kasampurnaningsun, ya

ata mya ngalim kaping tiga. Manawi sampun sagêd turut ma-[210]katên, lajêng

amatrapêna ngilminipun ingkang kangge ing wawêjangan sakawit, têlasing

pamatrap lajêng amumujia : “akyan mukariyah kaping 100”. Dene puji akyan

mukariyah punika makatên: “ya huka, ya huakbar”.

Ing mangke Kyai Agêng Mukhamad sirullah angaturi wawaton

sakawitipun tiyang maguru punika kêdah mawi saksi sakawan, sanadyan tiyang

alit ugi sami kemawon papangkatanipun, manawi awit paguron sapisan, kala

Kangjêng Nabi Adam, manawi badhe mardi murid, sinaksèn malekat sakawan :

1. Jabrail

2. Minkangil

3. Ijrail

4. Ngisrafil

Lajêng amupakatatên dhatêng sasma. Têgêsipun kadang papat, mila sadhèrèk

ingkang sarêng mêdal sami katingal, jalaran kala jamanipu-[211]n Kangjêng

Nabi Adam malekat, tuwin sadhèrèk ingkang lair sarêng sadintên taksih sami

sagêda ngatingal, saksi wolung iji kalêbêt malekat sakawan.

Wawaton paguron duk Kangjêng Nabi Nuh, saksènipun manawi mêjang,

sadasa,

1. Nabi Raples,

2. Nabi Sangip

3. Sayid Markam

4. Sayid Ngunuk

5. Sarip Maskar

6. Sèh Abdul Lakis

7. Sayid Karbah

8. Sayid Marsidik

9. Sayid Makum

10. Sèh Balhum

Sami mupakati ing wawêjanganipun.

Page 75: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

Wawaton kala Kangjêng Nabi Ibrahim Kalilullah saksinipun manawi

mêjang amung kakalih,

1. Sayidina Iskam

2. Sèh Julmahrib

Kakalih wau kaangge lalahan, têgêsipun wawaton tataringan, lêrês lêpating

pamêjang wau.

[212]Wawaton paguronipun Kangjêng Nabi Musa, mawi saksi para

pandhita, 12 :

1. Pandhita Markam

2. Pandhita Rais

3. Pandhita Nujèn

4. Pandhita Ngusman

5. Pandhita Jamhur

6. Pandhita Wakis

7. Pandhita Tasbèh

8. Pandhita Yusman

9. Pandhita Ngumur

10. Pandhita Kijab

11. Pandhita Yukul

12. Pandhita Asmara

Kalih wêlas iji wau sami kaange wawatoning para murid, sarta sagung

patahenan, miwah saliring pamulangan, sampun kawêngku Pandhita kalih wêlas

punika.

[213]Watoning pamêjangipun Kangjêng Nabi Ngisa, saksènipun kalih

dasa iji :

1. Sèh Mustapa,

2. Sayid Askar,

3. Banesar,

4. Sayid Mustar,

5. Sarip Askut,

6. Sarip Panil,

7. Sayid Amum,

8. Siti Ngamin,

9. Siti Ngajim,

10. Sèh Nujèm,

11. Sarip Ngaji,

12. Sèh Ngajidil Kubra,

13. Sarikus Wajèn,

Page 76: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

14. Sèh Mustapa,

15. Siti Suwèni,

16. Sayid Harun,

17. [214] sèh Kudrat,

18. Siti Kiswani,

19. Siti Marsim,

20. Bagendha Ismanap.

Manawi wawatonipun ing Kangjêng Nabi Mukhamad, manawi mêjang

saksinipun wolung iji, winastan saraseyan :

1. Kangjêng Sultan Sayidina Abubakar,

2. Kangjêng Sultan Sayidina Ngusman,

3. Kangjêng Sultan Sayidina Ngumar,

4. Kangjêng Sultan Sayidina Ali.

Saksi pangulu sakawan :

1. Imam Sapingi,

2. Imam Kanapi,

3. Imam Maliki,

4. Imam Kambali.

Sadaya wau sarengatipun Kangjêng Nabi Mukhamad Rasulullah.

[215] Kajawi saking punika, sadaya para paguron ingkang botên sumêrêp

wawatoning sarengat samantên wau, inggih wallohu aklam, kula botên sagêd

ananggung lêrês lêpating pamêjangipun.

Mênggah sasêbutan samantên punika ing atasipun kawruh pipingitan

sarta dèrèng wontên ingkang pêjah wangsulan mbabarakên dados kula amung

nyumanggakakên, katarimah botênipun wontên sariranipun piyambak, amin.

Kula Kyai Agêng Mukhamad Sirullah ing Kêdhungkol, sakidul Kêdhung

Pangantèn.

Paripurnaning panitra tanggal kaping 22 Dukangidah, warsa Alip, angka

1819.

5. Sinopsis

Page 77: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

Penyajian sinopsis pada naskah SKJW memepunyai tujuan yaitu supaya

pembaca lebih mudah membaca dan memahami isi dari naskah SKJW, sebagai

berikut :

Serat Kajat Jati Wisesa ditulis pada masa Kerajaan Pajajaran,

menceritakan tentang Empu Kajat yang senang mengembara, kemudian masuk

agama Islam dan terkenal dengan nama Syah Kajat Jari Wisesa. Beliau berguru

kepada Molana Kajali dari Negara Rum.Ajarannya tentang agama Islam, karena

ketekunannya mempelajari agama Islam, dia mendapat ilham dari Tuhan yaitu

ilmu makrifat. Sumbernya dari Kitab Tasawuf, isinya memberi petunjuk mengenai

ajaran tentang segala niat yang berasal dari diri manusia, seperti di bawah ini:

(halaman 1)

Bab nafsu manusia

1. Kajat budiman

Artinya merupakan petunjuk, niat yang berasal dari imam maksum,

kemudian keberadaan imam tadi berasal dari budi. Budi sanubari tersebut

didasari dari 4 nafsu, sebagai berikut:

1.) Nafsu luamah, menunjukkan pada kehendak jasatnya.

2.) Nafsu amarah, berdasarkan pada niat dari suatu kehendak yang belum

bisa terlaksana sehingga menimbulkan gejolak amarah.

3.) Nafsu supiyah, merupakan nafsu yang berasal dari besarnya keinginan

yang harus terlaksana.

4.) Nafsu mutmainah, berasal dari budi penerima, suatu keadaan hati yang

sudah tenang, dalam segala hal.

Page 78: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

2. Mahabudi

Artinya bahwa sebagai pokok atau inti dari 4 nafsu tersebut, maksudnya

adalah nafsu harus bisa dikendalikan, saling menyatu, sehingga bisa

mencapai mahabudi.

Jadi untuk mengendalikan hawa nafsu dan budi luamah dengan cara pada

saat malam hari dengan bertafakur kepada Tuhan, menghadap timur, barat

dan duduk memegang lutut, dengan niat yang sungguh-sungguh, untuk

memperoleh petunjuk dari Tuhan, sehingga apa yang kita kehendaki bisa

tercapai.

3. Amarah kiyah

Maksudnya bahwa suatu kehendak yang memberikan kebahagiaan pada

jasad, dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan pada sepertiga malam

hari, dan berpuasa sehari semalam, dengan amalan sebagai berikut: “ya

ataku firhu 4x, ya kabiru ya muta‟al 100x”.

Untuk mengetahui nasehat dari Empu kajat Jati Wisesa sebagai berikut:

“sesungguhnya tidak ada apa-apa kecuali diri pribadi sejati manusia yang

sudah menyatu dengan Tuhan, maka akan sesuai dengan kehendak dari

Tuhan”.

4. Supiyarahmi

Maksudnya nafsu supiyah yang menguasai badan manusia, kemudian

apabila seseorang sudah mempunyai kuasa bisa melaksanakan apa yang

dikehendaki. Semua itu berasal dari Tuhan yang tidak boleh merasa

dirinya sudah melebihi Tuhan.

Page 79: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Tafsiri merupakan kehendak jiwa yang sejati untuk selalu mengingat

kapada Tuhan. Apabila seseorang yang tidak tulus dengan niatnya maka

tidak bisa terlaksana kehendaknya

(halaman 1-13)

Bab ilmu rahsamaya

Ilmu rahsamaya maerupakan ilmu tentang “rahsa” yang banyak dipakai

oleh para Dewa, tetapi pada jaman sekarang jarang digunakan, kecuali seseorang

tersebut melakukan suatu perilaku yang diterapkan sebagai berikut:

1. Tidak boleh makan sebalum lapar,

2. Tidak boleh melampiaskan nafsu secara sembarangan

3. Tidak boleh mencium bangkai hewan dan manusia,

4. Tidak boleh berkata dusta lahir dan batinnya,

5. Tidak boleh kikir,

6. Apabila belum terlakasana tindakan tersebut, maka hilang ilmunya.

Berikut penerapan panutan ilmu rahsamaya dari para Dewa, anatara lain:

1. Dewa Endra, apabila umatanya meninggal mayatnya dikubur di atas

gunung.

2. Dewa Sambo, apabila meninggal, mayat umatnya diletakkan di hutan.

3. Dewa Brahma, apabila umatnya meninggal, mayatnya dibakar.

4. Dewa Wisnu, apabila umatnya meninggal di hanyutkan di sungai.

5. Dewa Bayu, apabila umatnya meninggal dibuang di hutan.

6. Dewa Kala, apabila umatnya meninggal dimakan oleh jin.

Makna dari beberapa penerapan Dewa tersebut berbeda dengan makna secara

ilmu makrifat. Makna secara makrifat dibedakan dari kata per kata yaitu: kata

Page 80: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

“yang” adalah Tuhan; “Jawata yoganing ulun” merupakan makhluk ciptaan;

“Hong Ilaheng” merupakan Ya huallah; “Ya nama saha” merupakan hamba

Tuhan; “gunung lawu sap pitu” yaitu langit sap tujuh; dari beberapa kata tersebut

dapat dismpulkan bahwa Tuhan merupakan menguasai bumi, langit dan seisinya.

(halaman 14-20)

Mulai peradaban Islam, menurut Sunan Kalijaga bisa melebihi para wali

yang lain, karena sudah memiliki ilmu yang sempurna dan disebut sebagai

Waliyullah gaib, serta berasal dari keturanan Raja, yaitu bapak darim Jepara dan

ibu dari Majapahit. (halaman 21-22)

Pada Kitab Lohkilmahpul terdapat beberapa ilmu sebagai berikut:

1. Ilmu rahmani, yaitu suatu pengetahuan yang berasal dari hati sanubari

menunjukkan perilaku yang baik.

2. Ilmu tafsir, yaitu penataan kehendak secara nyata, sesuai dengan

keadaanya.

3. Tentang nasehat mutmainah yang artinya hati yang selalu ingat untuk

menerima Kuasa dari Tuhan..

4. Kajatmikaning dat sajati, artinya berserah diri kepada Tuhan.

5. Disebut wawangsitan, yaitu sering dipakai oleh para dukun ramal.

6. Imam santosa, yaitu, anatara lain:

a. Santosaning panyana adalah cerdas dalam pemikiran, seolah-olah

mengetahui sebelum kejadian.

b. Santosaning wara yaitu pengetahuan yang berasal dari mata hati.

c. Santosaning kajat adalah pemikiran yang berasal dari niat yang bisa

terlihat dengan jelas.

Page 81: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

d. Santosaning mawaya maksudnya adalah kemampuan roh yang bisa

menuntun pada akal sehingga dapat bermanfaat.

e. Santosa wah mantra yaitu keteguhan hati yang mendorong pemikiran

yang baik.

f. Santosaning tuskara artinya menuntun rahsa sejati .

g. Santosaning surasa yaitu keutamaan rahsa sejati.

(halaman 22-29)

Yang dsebut kajat sejati yaitu terdapat pada betal makmur, betal

mukharam, betal mukhadan, ketiga bab tersebut merupakan kandungan dari kajat

yang sesungguhnya, seperti di bawah ini:

1. Betal makmur, artinya adalah datangnya dzat yang ter;etak di kepala,

dalam Adam pitraullah. Jenis nya ada tiga macam yaitu, magening,

mahani, pangglah jati.

2. Betal mukharam, artinya adalah adanya dzat yang terdapat dalam dada.

Jenisnya ada 3 macam, yaitu jantung, hati dan empedu.

3. Betal mukhadas adalah suatu dzat yang terdapat dalam kelamin.

Dari ketiga hal tersebut yang bisa menunjukkan adanya 4 nafsu berasal dari

kepala dan kelamin yang berpusat pada jantung, hati dan empedu. Apabila dzat

dari empedu menuju ke roh menimbulkan nafsu mutmainah, apabila dzat empedu

menuju ke hasrat menimbulkan nafsu supiyah, apabila dzat dari empedu menuju

ke rahsa menimbulkan nafsu amarah, kemudian dzat empedu hanya berhenti ke

empedu menimbulkan nafsu luamah. Dari beberapa hal tersebut yang digunakan

sebagai pengendali kehidupan manusia adalah hati dan jantung.

(halaman 29-34)

Page 82: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

Hati mempunyai 4 lapisan yang terdapat pada tubuh manusia:

- Hati pramati, pangasih

- Hati moradi.

Maksudnya ketiga lapisan tersebut merupakan sebagai pengendali pikiran

yang dapat menimbulkan nafsu mutmainah.

- Hati juwari, maksudnya lapisan hati yang letaknya hanya terletak pada hal

yang bersifat rahasia, maka disebut sebagai nafsu supiyah.

- Hati kumbaya, maksudnya karena besarnya kehendak hati yang

menyebabkan munculnya nafsu amarah dan luamah.

(halaman 35-36)

Ada beberapa hal yang merupakan sebagai kelengkapan manusia, antara lain:

1. Pada kepala terdapat otak yang bisa mengendalikan pikiran, hati dan

perilaku.

2. Pranawa atau pramana, artinya mata

3. Prawara, artinya hembusan nafas.

4. Piyaraswa, merupakan getaran suara yang terdengar melalui telinga,

5. Wot siratal mustakim, merupakan alat pengucap atau lidah dan

menyebabkan baik bauruknya tingkah laku.

6. Dahganinng nafsu, yaitu merupakan pusatnya hawa nafsu.

7. Rahsa mulyana, yaitu putaran roh sejati yang menuju ke jantung.

8. Rahsa murni, artinya roh yang menuju ke darah, tulang belakang dan

sebagainya.

9. Rahsa waka, maksudnya adalah roh hawani yaitu roh yang menuju ke

tulang, rambut, kuku dan sebagainya.

Page 83: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

10. Manirahi, artinya adalah suatu dzat yang tersimpan di suatu tempat yang

merupakan menjadi bakal dari terjadinya janin.

(halaman 34-47)

Pada naskah disebutkan pula bagian anggota tubuh yang secara mutlak

dimiliki oleh manusia, antara lain :

1. Mata, artinya sebagai alat penglihat serta digunakan untuk melihat yang

baik dan sesuai dengan budi, jangan digunakan untuk melihat suatu

kejelekan yang tidak diperbolahkan.

2. Telinga, artinya mengingat, maksudnya bahwa manusia itu tidak hanya

mendengarkan suara dari prang lain melainkan harus bisa mendengarkan

suara dari dzat abadi dan selain mendengarkan juga harus dapat meresapi

suara dalam hati.

3. Hidung, merupakan tampat dari rahsa sejati yang berhubungan dengan

telinga karena mempunyai satu saluran yang sama sahengga sifatnya juga

hampir sama dengan telinga. Tidak boleh mencium hal-hal yang tidak baik

dan mendengarkan tentang hal yang buruk atau bicara kurang sopan.

4. Mulut, yang menjadi dasar dalam hidup adalah lidah sebagai alat pengucap

yang tidsak boleh sembarangan bicara, karena sekali salah dalam bicara

maka akan didengar oleh Tuhan dan dengan kuasa Tuhan akan dilaknat

dan hidupnya juga akan sengsara. Oleh karena itu dalam bicara harus hati-

hati-hati dalam berbicara supaya bisa hidup nyaman, selamat dunia

akhirat.

Page 84: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

5. Apngal atau perilaku, berasala dari perilaku seorang laki-laki yang berasal

dari mani dan dari anugrah Tuhan menjadi tempat untuk proses penghasil

sperma yang dapat untuk proses pembuahan ketika berhubungan.

6. Nama, maksudnya bahwa manusia itu harus bisa mengingat namanya

karena nama tersebut merupakan nama Tuhan yang artinya berdiri maka

manusia diharapkan bisa berdiri untuk menjalankan kehidupan.

7. Sarwadi, maksudnya bahwa manusia itu menjadi pusatnya budi yang bisa

menciptakan suatu karya dari pemikirannya, yang berasal dari hati

sanubari.

8. Sifat maksudnya adalah wujud yaitu keberadaan Tuhan maksudnya

bahwa manusia itu tidak boleh bersikap sombong karena keberadaan

seisi alam dunia ini adal semua ciptaan dari Tuhan Yang Maha Suci,

dan manusia wajib untuk mensyukurinya.

9. Nawa maksudnya kehendak yang tidak memikirka apa-apa

(halaman 47-64)

Kajat jati wisesa yang dilaksanakan oleh wali-wali :

1. Sorahing maruta manda, artinya nafas yang teratur.

2. Anpas, adalah sesuatu yang dikehendaki bisa terlaksana.

3. Tan napas adalah menghalangi pandangan mata atau menutup tabir.

4. Wahyaning kajat jati wisesa maksudnya adalah orang yang bisa

mengendalikan nafsu cipta maya.

(halaman 78-83)

Keempat hal tersebut diisyaratkan pada huruf aksara Jawa:

1. , merupakan adanya kehidupan dari panca maya.

Page 85: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

Ha maknanya: adanya kehidupan berasal dari rahsa sejati, na maknanya

menunjukkan rahsanya dzat, ca maknanya menunjukkan asma Tuhan, ra

maknanya menunjukkan akal dan budi, ka menunjukkan suatu keadaan.

Semua itu menunjukkan Dzat Yang Maha Agung.

2. Menunjukkan isbatnya anpas yang diisbatkan dalam bentuk huruf aksara

Jawa .

Da artinya keterangan dzat terletak pada anpas. Ta artinya kehendak anpas.

Sa maknanya kekal / abadi Tuhan bersifat Esa. Wa maknanya jalan atau

pintu kajat jati wisesa. La keterangan suatu tindakan yang harus

dilaksanakan.

3. Tan napas merupakan jalannya rahsa, dapat diisbatkan dengan huruf

aksara Jawa , sebagai berikut maknanya:

Pa maknanya bisa menerapkan suatu tindakan yang bis menjadi keyataan.

Dha maksudya “garbaning tan napas” suatu kehendak yang harus

dilaksanakan dengan baik.Ja maksudnya menunjukkan ketenangan dalam

batin. Ya merupakan gambaran dari dzat atau nur.Nya maknanya

menunjukkan mikrokosmos dan makrokosmos.

4. Nupus menunjukkan suatu keadaan yang sudah mencapai ketenangan pada

jiwa. Dapat diisbatkan sebagai berikut: .

Ma maknanya pramana adalah keadaan dzat yang digunakan untuk melihat

alam dunia. Ga dan Ba maknanya menjadi satu yaitu pada bahasa Arab

“Be” artinya gagal. Tha maknanya ingat dan kuatnya mata hati. Nga

maknanya sebagai pertanda sesuatu yang sudah dianugrahkan, sehingga

bisa mengetahui sesuatu tanpa diajarkan. (halaman 86-96)

Menurut para wali ada 8 hal jalan keselamatan badan:

1. Hati yang ikhlas

2. Menerima apa adanya atau istiqomah

3. Berperilaku yang baik

4. Berperilaku yang jujur

Page 86: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

5. Waspada

6. Sopan santun

7. Dapat menjaga dan membersihkan diri secara lahir dan batin

8. Siwaya, maksudnya adalah bisa membagi dan menggunakan waktu secara

benar dan tepat untuk ingat kepada Tuhan. (halaman 97-117)

Kajat jati wisesa sebenarnya dapat didigambarkan dengan 7 swara atau 7

aksara swara, seperti di bawah ini :

- (A), maksudnya adalah keesaan Tuhan.

- (E), maksudnya kebenaran

- (I), maknanya sungguh-sungguh

- (O), artinya adalah kosong atau tidak ada apa-apa

- (U), artinya hidup

- (rê), maknanya yaitu ketenangn dalam hati

- (lê), artinya abadi.

(halaman 118-125)

Menurut beberapa hal tersebut kajat jati wisesa terletak pada jiwa yang sudah

mencapai ketenangan hati dan pikiran. Terdapat ajaran dari Nabi Kidzir yang

mengajarkan bahwa apabila ingin mendapat suatu ilmu yang sejati harus bisa

prihatin untuk mencapai ketenengan dalam hati dan cerdas pemikirannya serta

bisa mewujudkan apa yang diharapkan, tetapi apabila mengalami pikiran yang

kosong maka akan mudah dirasuki oleh makhluk gaib. Menurut pendapat

Kangjeng Susuhunan Bonang berpendapat bahwa untuk mendapatkan ilmu yang

sejati dilakaukan dengan cara menguatkan tekad dari hati sanubari, yang

Page 87: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

digambarkan melalui 7 suara atau 7 aksara Jawa yang telah disebutkan diatas..

Menurut ajaran dari Sunan Kalijaga berpendapat bahwa apabila ingin memperoleh

suatu ilmu yang sejati harus mempunyai kekuatan batin yang bisa menyebabkan

badan menjadi kuat dari segala senjata.

(halaman 126-130)

Dari beberapa hal di atas sesungguhnya berasal dari kuasa dan kehendak

Tuhan Yang Maha Esa, seperti :

1. Dzat sayuka artinya beberapa kajat yang sudah terkumpul menjadi satu,

antara lain khayu, nur sir, rahsa. Sehingga bisa selamat selama-lamanya.

2. Dzat mutlak yang Kadim ajali abadi maknanya adanya dzat yang sejati

yaitu keagungan Tuhan Yang Maha Kekal.

3. Dzat nakis bandi maksudnya dzat yang nyata dari firman Tuhan yang

terdapat pada betal makmur.

4. Adanya suatu kajat yaitu dzat yang sebanarnya turun dari Tuhan, dan

tercentum pada betal mukharam.

5. Dzat tarkiyah maknanya suatu niat yang sungguh-sungguh.

6. Dzat abadi maknanya kajat yang sudah tersurat dari awal sampai akhir

yang terwujud dalam hakikat kajat.

7. Dzat kapiriyah artinya munculnya kajat yang sejati berasal dari hati

sanubari yang terdalam dan berfikiran jernih.

(halaman 130-145)

Sesungguhnya kebenaran ilmu terletak pada kehidupan, kebenaran kehidupoan

terlatak pada kajat, artinya bahwa adanya kajat jati wisesa itu bisa dijelaskan

dengan 9 hal dari cuplikan Kitab Syamsul Ambya, sebagai berikut:

Page 88: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

1. Cuplikan tentang wisesa dalam baya mortani, maksudnya hati yang

menuju ke budi dan imam.

2. Cuplikan tentang rokhiyah maknanya gambaran pribadi yang suci berasal

dari roh jasmani.

3. Cuplikan tentang pembuka jalan siriyah artinya mewujudkan segala yang

bersifat rahasia (sir).

4. Cuplikan mengenai pembukanya rahsa sejati, maknanya bisa mengetahui

wujud para jin dan bisa berbicara dengan makhluk gaib tersebut.

5. Cuplikan mengenai pembukanya atmayana maksudnya pancaran sinar dari

air bisa meliputi kajat jati wisesa.

6. Cuplikan tentang nganasirahmi maknanya menjelaskan kekuasaan dari 4

hal, antara lain : 4 unsur dalam bumi yaitu tanah, air, udara api.

7. Cuplikan tentang pembukanya iradat artinya adalah sesuatu yang

dijalankan di dunia ini.

8. Cuplikan tentang kikayati artinya adalah menjelaskan tentang waktu dan

tempat mati hidupnya manusia sudah ditakdirkan oleh Tuhan.

9. Cuplikan mengenai kadarniyah maksudnya bahwa semua niat dari lahir

dan batin yang menunjukkan tindakan yang sebenarnya.

Tandanya ilmu dari cuplikan Kitab tersebut terletak pada kesungguhan lahir dan

batin. (halaman 146-171)

Menurut pendapat Nabi Daud terdalam Kitab Zabur terdapat ilmu tentang

makrifat, sebagai berikut:

1. Kudrat kapiyat adalah dzat yang sebenarnya yang mempengaruhi sifat

kewibawaan.

Page 89: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

2. Kapiyaturmi adalah perolehan suatu dzat yang menjelaskan wisesanya

kajat jati, sehingga menimbulkan bisa digunakan untuk mengambil barang

yang hilang.

3. Kapiyat marmah artinya adalah berkaitan tentang ilmu hipnotis.

4. Kapyatul arsi maknanya adalah manfaat dari kejelekan.

5. Kapiyat yi artinya manfaat untuk badan.

6. Kapiyat maemi maknanya adalah tindakan yang bermanfaat kepada

sekeluarga.

(halaman 171-188)

Berawalnya ilmu makrifat dan kelengkapannya merupakan beberapa dari

ajaran para Nabi, antara lain :

Wujudnya satu-

persatu

Nama dan penjelasnanya

Yang disebut kekal dan sebagai awal dari kodrat sampai

akhir pada keadaan yang sebenarnya.

Yaitu perwujudan dari betal mukadam, artinya menjadikan

hidup dan mati sebagai pedoman dari kenyataaan.

Disebut alip muptalangalimun wakit, terletak antara dunia

dan akhirat.

Disebut pajar sidik, dan nukat gaib, wujudnya merah hati

agak kuning.

Disebut sebagai gunung tursina, yaitu yang mengeluarkan

cahaya.

Page 90: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

Yaitu sebenar-benarnya utusan dari Tuhan.

Disebut sebagai daim, yaitu empat malaikat.

Disebut Nur Muhamad, artinya cahaya.

Tajali pada dat mutlak yang merupakan awal permulaan.

Disebut sebagai puputran gadhing.

Namanya wahyu jali.

Terdiri dari 4 hal yang berasal dari keadaan malaikat

semua dengan warna hitam, merah, kuning dan putih. Hal

tersebut menunjukkan 4 nafsu manusia.

Disebut sebagai cahaya abramara hata, yaitu kajatnya

berasal dari nafsu 4 hal dari api.

Disebut sebagai cahaya maya-maya yang tak tertandingi.

Namanya disebut pintu pada akhirat, atau wot siratal

mustakim

Namanya disebut sebagai masjidil haram, atau semua

terletak pada jantung.

Yaitu yang disebut aksara awisan, atau maksud yang

sesungguhnya.

Demikian yang disebut sebagai khawatir, artinya

mewujudkan sifat dari khawatir yaitu kecewa.

Demikian yang disebut sebagai wujudnya rokhani.

Yang disebut sebagai sanubari, artinya tulus.

Yang disebut sebagai cahaya berkedip-kedip.

Yang disebut rantai samudra.

Yang disebut rahsa yang sesungguhnya.

Yang disebut sebagai sulbi.

Yag disebut sebagai layaran samudra.

Page 91: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

Disebut sebagai asal dari nafsu luamah warnannya hitam

wataknya membuat hati menjadi gelap.

Disebut sebagai nafsu amarah wujudnya merah hati,

sifatnya mempunyai watak angkara murka.

Disebut nafsu supiyah warnanya kuning sifatnya menuntun

perilaku yang kurang baik dan mempunyai hasrat

keinginan.

Disebut sebagai nafsu mutmainah warnanya putih,

menunjukkan sifat yang paling baik budinya.

Yang demikian disebut sebagai cakra panggilingan atau

roda yang berputar, merupakan perwujudan awal akhirnya

kehidupan yang ada di dunia dan akhirat.

(halaman 189-196)

Berikut merupakan ajaran tauladan tentang tobat yang sesungguhnya, perilaku

yang mulia dari Kangjeng Nabi Muhamad Rosulullah SAW, antara laian :

1. Wakis maniyah menjalakan sare‟at selama hidupnya, apabila bersungguh-

sungguh mendapatkan ampunan dari Tuhan dengan keadaan sehat, hati

yang khusuk, sehingga kehendaknya dapat terlaksana.

2. Akyansabitah adalah menunjukkan perkataan sebenarnya dari lahir dan

batinnya yang berasal dari Tuhan, apa yang dikehendaki terjadi, yang

diniatkan nyata.

3. Akal miniyah artinya adalah hati yang selalu mengingat Tuhan,

mendapatkan kebenaran dalam hatinya.

(halaman 197-202)

Dari beberapa hal tersebut apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh dan

hati yang khusyuk, maka pada saat meninggal akan mendapatkan karohmah dan

perlindungan dari Tuhan, selain itu juga jasad dan rohnya diterima disisi Tuhan.

Misalnya : bantala murka : apabila dikubur jasadnya diterima dalam bumi;

Page 92: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

maruta manda : di dalam kubur mendapatkan kenikmatan kubur; sempurnanya

agni tidak mendapatkan siksa kubur dan tidak merasa panas; sempurnanya

tirtokurusa: di dalam kubur tidak ada air yang membasahinya; usalimnah:

mendapatkan ridho dari Tuhan untuk menuju jalan surga. Serat Kajat jati

wisaesa telah selesai ditulis pada tanggal 22 Dzulka‟idah tahun Alip 1819 atau

10 Juli 1890 M. (halaman 203-215)

B. Kajian Isi

Serat Kajat Jati Wisesa adalah suatu naskah yang ditulis pada masa Kerajaan

Pajajaran. Serat tersebut menceritakan tentang Empu Kajat Jati yang melakukan

pengembaraan, kemudian beliau masuk agama Islam dan terkenal dengan nama

Syeh Kajat Jati Wisesa. Beliau sangat tekun dan mendalami agama yang

dipelajari, beliau berguru pada Molana Kajali yang berasal dari Negara Rum.

Beliau belajar mengenai ilmu tentang tasawuf. Karena ketakunan dan keteguhan

hatinya beliau mendapat ilham dari Tuhan dan dapat menguasai ilmu tentang

makrifat. Serat Kajat jati wisesa berisi tentang ajaran-ajaran mengenai kehendak

dan nafsu pada manusia. Ajaran-ajarannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Penjelasan nafsu manusia dan pengendalian hawa nafsu.

Nafsu manusia pada naskah dijelaskan secara rinci dan dijelaskan

secara rinci sebagai berikut:

- Nafsu luamah yaitu suatu kehendak yang mementingkan kebutuhan

badan, seperti terdapat pada :

Page 93: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

“Nêpsu luamah : anggènipun sasandhan kaliyan budi

punika, muhung anêdahakên parasadya, wahyanipun

têmah anuwuhakên pikajênging jasat.” (sumber naskah

SKJW hlm 2)

Terjemahan :

Nafsu luamah yaitu yang berhubungan budi itu, hanya

menunjukkan pada kehendak, pada akhirnya

menimbulkan keinginan badan.

- Nafsu amarah yaitu niat atau kehendak yang terlaksana karena munculnya

niat dari dalam dirinya, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

“Asasandhan kaliyan nêpsu amarah : wahyanipun

dadosakên andugèkakên sakaniyatanipun, mila witing

manungsa sagêd kadugèn kajatipun inggih saking

makatên ing têturutanipun”. (Sumber: Naskah SKJW

hlm 2)

Terjemahan

Berkaitan dengan nafsu amarah yaitu yang menjadikan

tercapainya niat, oleh karena itu awal mula keinginan

manusia dapat tercapai dari kehendak dari dirinya.

- Nafsu supiyah yaitu nafsu yang berasal dari besarnya keinginan memenuhi

jasad yang hendaknya harus dilaksanakan, hal tersebut dapat dilihat pada:

“Asasandhan kaliyan wahananing nêpsu supiyah,

wahyanipun andadosakên kabantêraning budi, mila

witing agêsang kadunungan budi lêpas utawi banter

punika katarik saking karkating nêpsu supiyah,

têgêsipun ingkang andadosakên khajat kanyatan wau

inggih saking wantêring kanêpson. Asalipun saking

cahya maya-maya”. (sumber: Naskah SKJW hlm 3)

Terjemahan :

Berkaitan dengan nafsu supiyah, menjadikan budi yang

terlalu menggebu, oleh karena itu awal manusia memilki

hasrat yang kuat itu karena berasal dari nafsu supiyah,

artinya menjadikan kehendak berasal dari kekuatan nafsu

dari cahaya yang samar-samar.

Page 94: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

- Nafsu mutmainah yaitu nafsu yang berasal dari budi penerima yang

menunjukkan keadaan hati yang sudah tenang dalam batinnya, seperti

terdapat pada :

Anggènipun jasat kasandhangan budi panarima

punika, saking asasandhan kaliyan wahananing nepsu

mutmainah. Têgêsipun sumèlèhing budi wau kasirêp

saking dhahganing nêpsu mutmainah. Mila

kawontênanipun ing agêsang punika kasandhangan

budi dibya. Inggih saking ngriku kawotênanipun.

(sumber: Naskah SKJW hlm 3)

Terjemahan :

Karena pada jasat terdapat hati yang iklhas, itu karena ada

kaitannya dengannafsu mutmainah. Artinya budi yang

sudah bisa menerima dengan ikhlas karena dikendalikan

oleh nafsu mutmainah, maka keberadaan nafsu manusia

terdapat pada budi yang baik yang berasal dari nafsu

mutmainah.

Pada nafsu tersebut tidak semena-mena manusia harus selalu berada pada

keberadaan nafsu 4 hal tersebut. Manusia diharapkan harus mampu

mengendalikan nafsu tersebut supaya bisa mencapai budi atau suatu niat yang

sempurna. Pada manusia yang sanggup mengendalikan 3 nafsu yang

menyebabkan berubahnya jasad maka akan mencapai suatu tingkatan nafsu yang

paling sempurna yaitu nafsu mutmainah.

Cara pengendalian nafsu tersebut dengan cara bertafakur atau

mendekatkan diri terhadap Tuhan. Adapun nafsu yang harus dikendalikan yaitu

nafsu luamah, amarah, dan supiyah, seperti yang terdapat pada :

“Inggih ugi kêdah ing wanci lingsir dalu, madhêp

mangilèn keblatipun lajêng balik majêng mangetan,

botên kenging pêjah dilah, amung wontên ing undhukan

kemawon. kados makatên wawêjanganipun, mawi siyam

sadintên sadalu. Dene wêdharing ngilmi kados ing

ngandhap punika :

Page 95: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

“ ya ataku pirhu,” kaping sakawan.

”ya kabiru, ya mutangal, kaping 100”.

(sumber naskah SKJW hlm 7-8)

Terjemahan

Pada waktu tengah malam menghadap ke barat arah

kiblat, kemudian menghadap ke timur, tidak boleh mati

lampunya hanya pada tempat tertentu saja, kemudian

berikut ajarannya, dengan puasa sehari semalam, berikut

amalan ilmunya seperti di bawah ini:

“ya ataku firhu 4x, ya kabiru ya muta‟al 100x”.

2. Penerapan mantra dari Dewa Hindu tentang ilmu rahsamaya

Pada naskah SKJW terdapat penarapan mantra Dewa-dewa Hindu

yang menjelaskan tentang penguburan mayat sesuai dengan Dewa yang di

sembah. Penarapan yang berupa mantra tersebut dimaknai secara Ilmu makrifat,

tetapi sangat berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. Makna dari mantra

tersebut disamakan dengan nama-nama Tuhan dan makhluk, seperti di bawah

ini:

Kata “Yang” pada doa “yang yang bathara…” merupakan arti dari Tuhan.

Kata “jawata yoganing ulun” berarti makhluk ciptaan. Kata “Hong Ilahèng”

mempunyai makna Ya Huallah. Kata “Ya nama saha” yaitu hamba Tuhan. Kata

“Gunung lawu sap pitu” maknanya sama dengan langit sap tujuh. Kata “bojreng

bumi belah” maksudnya adalah yang menguasai bumi dan langit.

Mantra yang maknanya sudah dijaelaskan di atas, intinya dapat ditarik

kesimpulan bahwa semua itu atas kehendak Tuhan dan Tuhan yang mempunyai

kuasa untuk menguasai seluruh alam semesta. Mantra tersebut dapat dilihat pada:

“Mênggah sadaya ingkang sami kapratelakakên

wawêjanganipun wau, manawi têgêsipun ingih nunggil

misah kemawon kaliyan raosing ngilmi makripat sajati.

Awit têmbung “Yang” punika Pangeran. Jawata

yoganing ulun punika inggih sami kaliyan anitahake

Page 96: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Adam. Hong Ilahèng punika sami kaliyan “Ya

Huallah”…. (sumber naskah SKJW hlm 19)

Terjemahan :

Dari semua ajaran yang sudah dijelaskan tadi, apabila

artinya berselisih dengan rasa ilmu makrifat sejati, maka

kata “Yang” merupakan Tuhan, Jawata yoganing ulun

merupakan sama dengan menciptakan Adam atau

berwujud manusia, Hong Ilaheng merupakan Ya

Huallah, dan seterusnya…

3. Penjelasan tentang Rahsaning Ngilmi

Rahsaning ngilmi atau ilmu tentang rahsa tersebut dijelaskan berdasarkan

ajaran dari Sunan Kalijaga melalui Kitab Lohkilmahpul.Kitab tersebut

merupakan kitab yang digunakan sebagai salah satu pedoman untuk

mempelajari tentang kemakrifatan sejati.Pada Kitab Lohkilmahpul banyak

sekali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan rahsa yang sesungguhnya.,

dintaranya sebagai berikut:

- Ilmu tentang Rahmani adalah suatu pengetahuan yang berasal dari hati

ynag menjadikan perilaku menjadi baik.

- Ilmu tafsir adalah pernyataan suatu kehendak secata nyata yang sesuai

dengan keadaan, bisa juga dapat diartikan bahwa menanggapi kehendak

mengenai sesuatu hal dalam kenyataan.

- Nasehat nutmainah artinya bahwa suatu kehendak hati yang sudah bisa

terkendali untuk menerima kuasa dari Tuhan dan selalu mengingat Tuhan.

- Kajatmikaning dat sajati artinya bahwa senantiasa berserah diri kepada

Tuhan.

- Ilmu wawangsitan maksudnya suatu ulmu yang gunaya sering digunakan

oleh para peramal dan spiritual.

- Imam santosa.

Page 97: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

Pada ilmu santosa terdapat berbagai macam kesntosaan dalam jiwa raga

manusia, sebagai berikut:

- Sentosanya panyana adalah seseorang yang cerdas dan nisa mengetahui

sesuatu sebelum diberi tahu.

- Sentosanya kajat maksudnya bahwa kehendak berasal dari niat yang

sesungguhnya.

- Sentosanya mawaya adalah roh yang dapat menyebabkan perilaku baik

dari suatu pemikiran.

- Sentosanya wah mantra adalah keteguhan hati mendorong perilaku yang

baik.

- Sentosa tuskara adalah penuntun rahsa.

- Sentosanya surasa adalah keutamaan dari rahsa sesungguhnya.

Dari beberapa hal tersebut ajaran dari Kitab Lohkilmahpul merupakan suatu

ajaran yang intinya banyak mengajarkan tentang proses rahsa dan keutamaan

dari rahsa itu sendiri, seperti dapat dilihat pada :

“….Ingkang kaping tiga, winastan wawêjangan

mutmainah. Têgêsipun pamatraping budi kang eling tuwin

pamatrap kasantosaning sêdya, ingkang mêdal saking

awênanging Pangeran. Ingkang kaping sakawan,

winastan wêjangan kajatmikaning dad sajati, inggih

punika panêkungan ingkang kaping kalih….. (sumber

naskah SKJW hlm 23)

Terjemahan

Yang ketiga disebut mutmainah artinya budi yang selalu

ingat dan disertai kekuatan keinginan yang diridhoi oleh

kuasa Tuhan. Yang keempat disebut ajaran kajatmikaning

dat sajati yaitu bertapa yang kedua….

4. Terdapat ajaran 3 betal yang berkaitan dengan nafsu

manusia dan tubuh manusia

Page 98: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

Pada penerapan Kajat Jati Wisesa, terdapat kandungan dari kajat

jati yang sesungguhnya, kandungan kajat tersebut berupa betal makmur,

betal mukharam, dan betal mukhadas. Penjelasan betal tersebut merupakan

suatu dzat yang datang dari Tuhan atau bisa diktakan merupakan anugrah

dai Tuhan Yang Maha Kuasa. Betal-betal tersebut mempunyai kaitan yang

erat dengan anggota badan dan nafsu yang terdapat dalam manusia.

Berikut penjelasannya:

- Betal makmur: datangnya dzta yang terletak pada kepala

- Betal mukharam : datangnya dzat terdapat pada dada ( jantung, hati dan

empedu)

- Betal mukhadas : datangnya dzat terletak dalam kelamin.

Dari letaknya betal tersebut yang bisa menyebabkan atau yang

menjadi bersandarnya 4 nafsu manusia terdapat pada kepala dan kelamin,

tetapi semua yang menjadi utama adalah terletak pada jantung, hati dan

empedu.

Sumber dzat-dzat tersebut berasal dari Tuhan. Apabila suatu dzat

yang berasal dari empedu menuju ke bagian roh maka menimbulkan nafsu

mutmainah kemudian datangnya dzat berasal dari empedu menuju ke

hasrat menimbulkan nafsu supiyah, apabila dzat berasal dari empedu

menuju ke rahsa menimbulkan nafsu amarah, datangya dzat dari empedu

dan tidak bergerak kemana-mana atau hanya berhenti ke empedu saja

menimbulkan nafsu luamah. Jadi kesemua hal tesebut sumber utama

penyabab nafsu anusia terletak pada empedu dan hati, tetapi hati disini

digunakan atau berfungsi sebagai pengendali dari 4 nafsu hal tesebut.

Page 99: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

Fungsi hati disini sama dengan fungsi jantung yang sama-sama bertugas

mengandalikan hawa nafsu tersebut, dapat dilihat pada :

“têgêsipun ing sajatining dat punika muhung wontên

tigang prakawis, kados ngandhap punika :

1. Jantung, sasandhan kaliyan ati, mila sagêd anyoroti

dhatêng sirah.

2. Ati, sasandhan kaliyan ampêru, mila sagêd anyoroti

dhatêng paringsilan

3. Ampêru, asasandhan kaliyan rahsa, mila sagêd

anglimputi sakaliring nêpsu kawan prakawis”

(Sumber : naskah SKJWhlm 34)

Terjemahan

Arti dari Dzat yang sejati terdapat pada 3 hal, seperti di

bawah ini:

1. Jantung berhubungan dengan hati, maka bisa

mencerahkan roman wajah.

2. Hati berhubungan dengan empedu , maka dapat

memberikan kekuatan pada alat kelamin laki-laki.

3. Empedu berhubungan dengan rahsa maka bisa

menimbulkan nafsu 4 macam.

“Mênggah tumusing ampêru punika dhatêng roh lajêng

sinêbut nama nêpsu mutmainah. Manawi sumusih manikêm,

lajêng sinêbut nêpsu supiyah. Manawi dhatêng rahsa,

lajêng sinêbut nama nêpsu amarah. Manawi botên tumus

dhatêng pundi-pundi uruhing ampêru dados sinêbut nama

nêpsu luamah”. (Sumber naskah SKJW hlm 34)

Terjemahan

Adapun menyatunya empedu dengan roh kemudian disebut

nafsu mutmainah, apabila empedu menyatu “manikêm” lalu

disebut nafsu supiyah, apabila menyatu rahsa disebut nafsu

amarah, apabila empedu tidak menyatu dengan apapun

disebut nafsu luamah.

Selain anggota badan tesebut pada naskah dijelaskan yang masih berkaitan

dengan hati, empedu dan jantung.

Di bawah ini merupakan beberapa penjelasan mengenai bagian-bagian

tubuh manusia yang sebagai salah satu tempatnya dzat dari Tuhan, antara lain:

1. Pada kepala tedapat otak fungsinya sebagai pengandali anggota badan dan

perilaku.

Page 100: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

2. Pranawa atau pramana yaitu mata

3. Prawara yaitu nafas

4. Piyawarswa adalah suara yang bisa didengar pada telinga

5. Wot siratal mustakim adalah lidah

6. Dahganing nafsu yaitu pusatnya hawa nafsu

7. Rahsa mulyana yaitu putaran roh yang menuju ke jantung

8. Rahsa murni adalah roh yang menuju ke aliran darah dan sumsum tulang

belakang

9. Rahsa waka adalah roh hawani yang menuju ke rambut, kuku, tulang

10. Manirahi adalah dzat yang tersimpan di tempat yang rahasia dan akan

menjadi bakal dari janin.

Bagian-bagian tersebut menunjukkan adanya suatu dzat yang berupa roh yang

menempati beberapa anggota tubuh manusia, seperti dapat dilihat pada :

“Ing ngandhap punika pratelaning cacah paraboting

manungsa: 1. Salêbêting sirah dipunwastani utêg. Inggih punika

ingkang anggêsangi sakaliring rahsa sajati.

2. Winastan pranawa, inggih pramana, ingkang

anggêsangi salêbêting netra sadaya.

3. Prawara. Têgêsipun angin ajêg, inggih punika

kaananing napas tan napas, nupus apasa saminipun

4. Piyaraswa, têgêsipun tarik ing swara, inggih punika

amirêngakên saking karna”. (sumber naskah SKJW

hlm 36)

Terjemahan

Di bawah ini keterangan urutan anggota badan manusia:

1. Bagian dalam kepala disebut otak yang bertugas

mengendalikan seluruh rahsa sejati

2. Disebut pranawa yaitu pramana yang bertugas

mengendalikan penglihatan

3. Prawara yaitu angin yang berhembus tetap adalah

merupakan nafas manusia, seperti nafas, tan nafas,

nufus apasa dan seterusnya.

Page 101: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

4. Piyaraswa yaitu getaran suara yang terdengar oleh

telinga.

5. Penjelasan Isbat dari aksara Jawa

Aksara Jawa merupakan hal yang terpenting juga pada naskah ini, karena

menurut naskah dalam kehidupan dapat dilambangkan dengan aksara

Jawa. Sebelum menjelaskan tentang penjelasan lambang terebut, maka

perlu diketahui pengertian tentang isbat. Isbat menurut Kamus Bausastra

artinya adalah “ibarat”, maksudnya adalah suatu kata atau kalimat yang

mengandung perumpaan tentang sesuatu yang mempunyai makna secara

mendalam. Penjabaran aksara Jawa dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kajat jati yang dilaksnakan oleh para wali yaitu rahsa panca maya, anpas,

tan napas, dan nupus. Semua hal tersebut apabila diisbatkan ke dalam

aksara Jawa sebagai berikut:

1. , merupakan adanya kehidupan dari panca maya.

Ha maknanya: adanya kehidupan berasal dari rahsa sejati, na maknanya

menunjukkan rahsanya dzat, ca maknanya menunjukkan asma Tuhan, ra

maknanya menunjukkan akal dan budi, ka menunjukkan suatu keadaan.

Semua itu menunjukkan Dzat Yang Maha Agung. Hal tersebut dapat

dilihat pada :

“…Ingkang rumiyin uriping sipat wau mawi dipun

isbatakên aksara ha, na, ca, ra, ka : têgêsipun anane urip

iku saka sakalir-kaliring panca maya, inggih punika cahya

gangsal mawi kawijangakên makatên:

Ha, punika amung pitêdahaning têmbung ingsun, ingkang

makatên punika kawontênaning napas wau asal saking

rahsa sajati, rahsa sajati punika wahananing dat, inggih

punika lairing kajat jati wisesa…” (sumber naskah SKJW

hlm 85-86)

Page 102: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

Terjemahan

…Yang pertama hidupnya sifat tadi diibaratkan dalam

akasara Jawa ha, na, ca, ra, ka: artinya adanya hidup itu

dari bermacam-macam, yaitu 5 cahaya yang terdapat

sebagai berikut:

Ha, yaitu menyatakan kata “ingsun/aku” yang demikian itu

adanya nafas yang berasal dari rahsa sejati, rahsa sejati

tersebut adanya dzat munculnya dari kajat jati wisesa…

2. Menunjukkan isbatnya anpas yang diisbatkan dalam bentuk huruf aksara

Jawa .

Da artinya keterangan dzat terletak pada anpas. Ta artinya kehendak anpas.

Sa maknanya kekal / abadi Tuhan bersifat Esa. Wa maknanya jalan atau

pintu kajat jati wisesa. La keterangan suatu tindakan yang harus

dilaksanakan.

“Ingkang kaping kalihipun andunungakên isbataning

anpas, inggih mawi kapatrapan wujuding aksara gangsal

iji da, ta, sa, wa, la: Da, inggih punika wahananing dat

wau dumunung wontên ing anpas…(sumber naskah SKJW

hlm 87-88)

Terjemahan:

“yang kedua menunjukkan ibarat anpas yaitu yang

terdapat pada 5 aksara, da, ta, sa, wa, la: Da, yaitu adanya

dzat yang terletak pada anpas…”

3. Tan napas merupakan jalannya rahsa, dapat diisbatkan dengan huruf

aksara Jawa , sebagai berikut maknanya:

Pa maknanya bisa menerapkan suatu tindakan yang bis menjadi keyataan.

Dha maksudya “garbaning tan napas” suatu kehendak yang harus

dilaksanakan dengan baik.Ja maksudnya menunjukkan ketenangan dalam

batin. Ya merupakan gambaran dari dzat atau nur. Nya maknanya

menunjukkan mikrokosmos dan makrokosmos.

“Wontên malih bab kaping tiga punika winastan tan

napas, inggih punika ugi wiwara janma. Têgêsipun

dêdalaning rahsa…

Page 103: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

Pa, inggih punika pangartining patrap. Têgêsipun inggih

ingkang sagêd matrapakên sakaliring

lalampahan,…”(sumber naskah SKJW hlm 90)

Terjemahan

Ada lagi bab yang ketiga yaitu disebut tan napas, yaitu

juga pintu gerbang manusia, artinya jalannya menuju

rahsa…

Pa, yaitu tentang tindakan, yaitu yang bisa menerapakan

beberapa perilaku…

4. Nupus menunjukkan suatu keadaan yang sudah mencapai ketenangan pada

jiwa. Dapat diisbatkan sebagai berikut: .

Ma maknanya pramana adalah keadaan dzat yang digunakan untuk melihat

alam dunia.Ga dan Ba maknanya menjadi satu yaitu pada bahasa Arab

“Be” artinya gagal.Tha maknanya ingat dan kuatnya mata hati. Nga

maknanya sebagai pertanda sesuatu yang sudah dianugrahkan, sehingga

bisa mengetahui sesuatu tanpa diajarkan.

Ingkang kaping sakawanipun nupus Ma, pikajêngipun pramana, inggih punika ingkang

kaangge wiwaraning kajat jati wisesa, têgêsipun

panggènaning dat badhe aningali sesining kaanan alam

awal akir (sumber naskah SKJW hlm92)

Terjemahan

Yang ke empat yaitu nupus

Ma, maksudnya pramana, yaitu pintu pembuka kajat jati

wisesa artinya tempat dzat yang akan melihat seisi alam

dunia dan akhirat.

Sebenarnya dari perumpamaan aksara Jawa terebut apabila mendapat

pasangan dari aksara tesebut maka berarti mati, dan apabila huruf tersebut tidak

bersama pasangan maka berarti abadi, kemudian yang menjadi pokok dari ajaran

Kajat jati wisaesa terlatak pada 4 huruf aksara Jawa yaitu (ra) (ga) (ya)

(nga), maksudnya “raga yanga” yang diartikan bahwa badan sukma atau dzat,

Page 104: BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS DATA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

menurut ajaran tesebut bahwa “raga yang” merupakan perwujudan dari Dzat

yang Maha Kekal yaitu Tuhan, seperti dapat terlihat pada:

“Wondene pikajêngipun pasêbutan kawan prakawis punika

makatên: : têgêsi-[98]pun raga yang, inggih

punika badan suksma, pikajêngipun ugi wujuding dat kang

kadim ajali abadi, punapadene sipating Pangeran Kang

Amaha Suci sajati, mila aksara kalih dasa wau ingkang

dipunsêbut kêkêra, inggih amung sakawan punika

tandhaning asma, dene botên mawi papasangan, amung

wantah sawujudipun piyambak.” (sumber naskah SKJW

hlm 97-98)

Terjemahan

Adapun penyebutan empat hal tersebut yaitu, ra, ga, ya,

nga: artinya “raga yang” yaitu badan suksma menunjukkan

wujud dari sifat Dzat Yang Maha kekal Abadi, seperti sifat

dari Tuhan Yang Msaha Suci, maka aksara 20 tadi disebut

sebagai penguat saja, yaitu hanya 4 aksara tersebut yang

merupakan tanda dari nama Tuhan, jika tidak menggunakan

pasangan, hanya menjelaskan wujudnya saja.”

Manusia telah dianugrahkan oleh Tuhan dengan diberikan sifat-sifat yang

sudah ada sejak lahir yaitu amarah, luamah, sufiyah, dan mutmainah. Sifat

tersebut diberikan tidak semata-mata utuk mendominasi pada diri manusia

tersebut. Tetapi sifat-sifat tersebut harus dikendalikan, sehingga dapat membentuk

suatu karakter yang menjadi baik dan bisa bertawadhuk serta lebih mendekatkan

diri kepada Tuhan.