Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Nyeri 1. Pengertian Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tasmuri 2007). Nyeri adalah suatu pengalaman yang dipelajari oleh pengaruh dari situasi hidup masing-masing orang dan dapat timbul oleh berbagai stimuli termasuk cemas/stress, tetapi reaksi terhadap nyeri tidak dapat diukur secara obyektif (Long 2000). Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya 8
65

BAB II.doc contoh

Feb 06, 2016

Download

Documents

jhhv
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II.doc contoh

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Nyeri

1. Pengertian

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya

(Tasmuri 2007).

Nyeri adalah suatu pengalaman yang dipelajari oleh pengaruh dari

situasi hidup masing-masing orang dan dapat timbul oleh berbagai stimuli

termasuk cemas/stress, tetapi reaksi terhadap nyeri tidak dapat diukur

secara obyektif (Long 2000).

Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan yang dapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

(International Association for Study of Pain (IASP) ).

2. Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

8

Page 2: BAB II.doc contoh

9

Berdasarkan letaknya nosireseptor dapat dikelompokan dalam

beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep

somatik), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda

inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal

dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat ( kecepatan tranmisi 6 -

30 m/det ) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan

cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5

m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri

yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek nyeri yang

timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral, reseptor

ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak

sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap

penekanan, iskemia dan inflamasi.

Page 3: BAB II.doc contoh

10

3. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan

bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat

ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri

dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan

(Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)

mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh

mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini

mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan

dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya

menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan

nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut

kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A

dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk

mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat

mekanoreseptor neuron beta-A yang lebih tebal dan lebih cepat

melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme

pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat

seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang

dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka

pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika

Page 4: BAB II.doc contoh

11

impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi

di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat

endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang

berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan

dengan menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling

dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin

(Potter, 2005).

4. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien

terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien, arti nyeri bagi setiap

individu berbeda-beda antara lain :

a. Bahaya atau merusak.

b. Komplikasi seperti infeksi.

c. Penyakit yang berulang.

d. Penyakit baru.

e. Penyakit yang fatal.

f. Peningkatan ketidakmampuan.

g. Kehilangan mobilitas.

h. Menjadi tua.

i. Sembuh.

j. Perlu untuk penyembuhan.

k. Hukuman untuk berdosa.

l. Tantangan.

m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain.

Page 5: BAB II.doc contoh

12

n. Sesuatu yang harus ditoleransi.

o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat

pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial

budaya.

5. Respon fisiologis terhadap nyeri

Stimulus Simpatik ( nyeri ringan, moderat, dan superficial ) :

a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate.

b. Peningkatan heart rate.

c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP.

d. Peningkatan nilai gula darah.

e. Diaphoresis.

f. Peningkatan kekuatan otot.

g. Dilatasi pupil.

h. Penurunan motilitas GI.

Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam) :

a. Muka pucat.

b. Otot mengeras.

c. Penurunan HR dan BP.

d. Nafas cepat dan irreguler.

e. Nausea dan vomitus.

f. Kelelahan dan keletihan.

Page 6: BAB II.doc contoh

13

6. Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, Sesak nafas, mendengkur).

b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir).

c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari dan tangan).

d. Kontak dengan orang lain atau interaksi sosial (Menghindari

percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang

perhatian, Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri).

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat

bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa

menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan

membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien

dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan

terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan

perhatian terhadap nyeri.

7. Fase Nyeri

Meinhart dan Mc Caffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman

nyeri :

a. Fase antisipasi ( terjadi sebelum nyeri diterima )

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting,

karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini

memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk

menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat

penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

Page 7: BAB II.doc contoh

14

b. Fase sensasi ( terjadi saat nyeri terasa )

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu

bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga

berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu

orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi

tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus

kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan

mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan

tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa

bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan

bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari

stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu

dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan

sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Individu bisa

mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi

wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan itulah

yang digunakan untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan

nyeri. pengkajian secara teliti sangat diperlukan apabila seseorang

sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang

tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.

Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan

untuk membantu individu mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

Page 8: BAB II.doc contoh

15

c. Fase akibat ( terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti )

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada

fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri

bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa

pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka

respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang

berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri

untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

8. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat

harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan

fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,

karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus

dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau

meninggal jika nyeri diperiksakan (Meinhart dan Mc. Caffery 2005).

b. Jenis kelamin

Gill (2005) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda

secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi

faktor budaya bahwa tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri,

wanita boleh mengeluh nyeri.

Page 9: BAB II.doc contoh

16

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada

nyeri.

d. Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang

terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (2005), perhatian

yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,

sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang

menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk

mengatasi nyeri.

f. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa

lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih

mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi

nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

Page 10: BAB II.doc contoh

17

h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi

nyeri dan sebaliknya pola koping yang mal adaptif akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri.

i. Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.

9. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan

sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon

fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan

tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu

sendiri (Tasmuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif.

Page 11: BAB II.doc contoh

18

Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik.

Gambar 2.3 Skala Analog Visual.

Gambar 2.4 Skala Nyeri Bourbanis.

Keterangan :

1) 0 : Tidak nyeri.

2) 1 – 3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat

berkomunikasi dengan baik.

3) 4 - 6 : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

Page 12: BAB II.doc contoh

19

4) 7 - 9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,

tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan

distraksi.

5) 10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan

atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk

mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah, namun

makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke

waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri

yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,

VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata

pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.

Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang

tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan

meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.

Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan

nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini klien

Page 13: BAB II.doc contoh

20

menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif

digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel

subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri

yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala

ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan

nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian

dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah

digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien

melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,

maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan

saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tetapi juga

mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan

setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai

apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

Page 14: BAB II.doc contoh

21

B. Konsep Cemas

1. Definisi Cemas

Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian yang

menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai

berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai

situasi kehidupan maupun pada saat sakit. Selain itu kecemasan dapat

menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang seperti rasa

kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak, sakit

kepala, rasa mau buang air kecil dan sesuatu yang dicemaskan (Stuart and

Sundeen, 2005).

Cemas adalah perasaan yang dialami ketika seseorang terlalu

mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan yang terjadi

dimasa depan yang tidak bisa dikendalikan dan jika itu terjadi akan dinilai

sebagai “mengerikan”( Sivalitar, 2007 ).

Cemas adalah sebab dari resepsi dimana terdapat konflik

emosional antara id dan super ego (Freund, 2002).

2. Tanda dan Gejala

a. Tanda Fisik

1) Gemetar, berkedutan, merasa rikuh.

2) Sakit kepala.

3) Ketegangan otot.

4) Napas pendek, hiperventilasi.

5) Fatigabilitas.

6) Reaksi tercengang.

Page 15: BAB II.doc contoh

22

7) Hiperaktivitas otonom, meliputi:

a) Flushing dan pucat.

b) Takhikardia, palpitasi.

c) Berkeringat.

d) Tangan dingin.

e) Diare.

f) Xerostomia.

g) Polakiuria.

8) Parestesia.

9) Sulit menelan.

b. Gejala Psikologik

1) Rasa takut.

2) Sulit konsentrasi.

3) Hiperteliti.

4) Insomnia.

5) Turunnya libido.

6) Mengganjal di tenggorok.

7) Dongkol di ulu hati.

3. Etiologi

a. Biologik

1) Reaksi otonom berlebih dengan naiknya tonus simpatis.

2) Naiknya pelepasan katekolamin.

Page 16: BAB II.doc contoh

23

3) Naiknya metabolic norepinephrin, missal 3-metoksi-4-

hidroksifenil-glikol (MHPG). Infuse laktat percobaan menambah

norepineprin, menimbulkan kecemasan.

4) Turunnya masa tidur laten REM dan stadium 4 (serupa depresi).

5) Turunnya GABA memnyebabkan hiperaktivitas SSP (GABA

menghambat kemampuan SSP).

6) Serotonin naik menyebabkan kecemasan, naiknya aktivitas

dopamine energik berkaitan dengan cemas.

7) Pusat hiperaktif di korteks serebral temporal.

8) Lakus seruleus, pusat neuron noradrenergic, hiperaktif pada

stadium cemas.

b. Psikoanalitik

1) Implus tak sadar, missal: seks, sgresi mengancam meletus ke

dalam alam sadar dan menimbulkan kecemasan.

2) Mekanisme defens dipakai untuk mengatasi cemas.

3) Pergeseran (displacement) menimbulkan fobia.

4) Pembentukan reaksi undoing dan menimbulkan gangguan

obsesif-konfulsif.

5) Rubuhnya represi menimbulkan panik atau gangguan cemas

umum.

6) Agrofobia berkaitan dengan :

a) Hubungan bergantian-hostil dengan teman.

b) Takut impuls agresif atau seksual dari diri ke orang

lain/sebaliknya.

Page 17: BAB II.doc contoh

24

4. Faktor predisposisi

Menurut Stuart and sundeen (2000), factor predisposisi

kecemasan, yaitu:

a. Dalam pandangan psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen ID dan superego, ID mewakili

dorongan insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan

superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh

norma-norma budaya seseorang.

b. Menurut pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut

terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

c. Menurut pandangan perilaku ansietas merupakan produk frustasi

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk

mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan tindih dalam

gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.

e. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak menggatung reseptor

khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur ansietas.

5. Respon Rentan Kecemasan

Rentan respon ansietas yaitu respon yang dapat menggambarkan

respon adaptif pada ansietas (Stuart dan Sundeen, 1988). diterbitkan

kembali konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa, 2005.

Page 18: BAB II.doc contoh

25

Adaptif Mal Adaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.5 Rentang respon kecemasan stuart dan sudden

a. Ansietas Ringan

Ansietas berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini persepsi melebur dan pada

tahap ini individu akan berhati-hati dan waspada, individu berdorong

untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

Manifestasi yang muncul pada ansietas ringan :

1) Respon Fisiologis berupa : sesekali nafas pendek, nadi dan

tekanan naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir

bergetar.

2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi meluap, mampu

menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah,

menyelesaikan masalah secara efektif.

3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : tidak dapat duduk dengan

tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.

(Stuart dan Sundeen,2005).

Page 19: BAB II.doc contoh

26

b. Ansietas Sedang

Pada tahap ini individu lebih memfokuskan terhadap hal

penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Pada tahap ini lahan

persepsi terhadap lingkungan menurun.

Manifestasi yang muncul pada ansietas sedang:

1) Respon Fisiologi berupa : sering nafas pendek, nadi dan tekanan

darah naik, mulut kering, anorexia, diare atau konstipasi, gelisah.

2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi menyempit, rangsangan

luar tidak mampu diterima, berfokus pada pada apa yang menjadi

perhatian.

3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : gerakan tersentak-sentak

(meremar tangan) bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur,

perasaan tidak aman. (Stuart dan Sundeen,2005).

c. Ansietas Berat

Pada tahap ini lahan persepsi menjadi sangat sempit, individu

cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang

lain. Individu tidak mampu berfikir lagi dan dibutuhkan banyak

pengarahan dan tuntunan.

Manifestasi yang mungkin muncul pada ansietas berat :

1) Respon Fisiologis berupa : nafas pendek, nadi dan tekanan darah

naik, berkeringat, dan sakit kepala, penglihatan kabur,

ketegangan.

2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi sangat sempit, tidak

mampu menyelesaikan masalah.

Page 20: BAB II.doc contoh

27

3) Respon Perilaku dan Emosi berupa: perasaan ancaman

meningkat, pengucapan kata-kata cepat, (Stuart dan

Sundeen,2005).

d. Panik

Pada tahap ini individu sudah tidak dapat mengendalikan diri

lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa lagi walaupun sudah diberi

pengarahan atau tuntunan.

Manifestasi yang mungkin muncul pada panik:

1) Respon Fisiologis berupa : nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada,

pucat, hipotensi dan koordinasi rendah.

2) Respon Kognitif berupa : lapang sangat sempit, tidak dapat

berfikir logis.

3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : mengantuk dan marah-marah,

ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/control diri,

persepsi kacau. (Stuart dan Sundeen).

6. Gejala-Gejala Klinis Cemas

Keluhan-keluhan yang sering ditemukan oleh orang yang

mengalami gangguan kecemasan adalah sebagai berikut :

a. Cemas, khawatir, riwayat buruk, takut akan fikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c. Takut sendiri, takut keramaian dan takut banyak orang.

d. Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan.

Page 21: BAB II.doc contoh

28

e. Keluhan-keluhan yang somatik, misalnya nyeri otot dan tulang,

berdebar-debar, sesak nafas, sakit kepala, pendengaran berdenging

atau (Titinus).

7. Gejala-gejala yang tercantum dalam HARS (Hamilton Anxiety Rating

Scale)

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan

menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety

Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang

didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami

kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 symptom yang nampak

pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi

diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).

Skala HARS pertama kali digunakan pertama kali pada tahun

1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi

standart dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial

clinic. Skala HARS teah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas

cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian

trial clinic yaitu ) 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukan bahwa

pengukuran kecemasan dengan menggunaka skala HARS akan diperoleh

hasil yang valid dan reliabel.

Skala HARS menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang

dikutip Nursalam (2003) penilaian kecemasan terdiri dari 14 item

meliputi:

Page 22: BAB II.doc contoh

29

a. Perasaan Cemas : cemas, firasat buruk, takut akan fikiran sendiri,

mudah tersinggung, mudah menangis, gemetar, gelisah.

b. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat dengan tenang,

mudah terkejut, mudah menangis, gemetar gelisah.

c. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada

binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan orang

banyak.

d. Gangguan Tidur : sukar memulai tidur, terbangun dimalam hari, tidur

tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi buruk,

mimpi yang menakutkan.

e. Gangguan Kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun,

sering bingung.

f. Depresi : kehilangan minat, berkurangnya kesenangan pada hoby,

sedih, perasaan berubah-ubah setiap hari, bangun dini hari.

g. Gejala Nomatik : nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi gemeratak, suara

tidak stabil.

h. Gejala Sensorik : telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah

atau pucat, merasa lelah atau lemah, perasaan ditusuk-tusuk.

i. Gejala Kardiovaskuler : denyut nadi cepat, berdebar-debar, nyeri

dada, denyut nadi mengeras, merasa lesu atau lemas seperti mau

pingsan, denyut jantung menghilang atau berhenti sekejap.

j. Gejala Respiratory : rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa

nafas pendek atau sesak, sering menarik nafas panjang.

Page 23: BAB II.doc contoh

30

k. Gejala Gastro Intestianal : sulit menelan, perut melilit, berat badan

menurun, nyeri sebelum dan sesudah makan, rasa panas diperut, rasa

penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek dan sulit.

l. Gejala Urogenital : sering buang air kecil, tidak dapat menahan buang

air kecil, tidak haid, darah haid sedikit, darah haid berlebihan, masa

haid amat pendek, masa haid berkepanjangan, haid beberapa kali

sebulan, frigid, ejakulasi dini, ereksi melemah atau hilang.

m. Gejala Vegetatif atau Otonom : mulut kering, muka merah, mudah

berkeringat, kepala pusing atau sakit kepala.

n. Tingkah Laku atau Sikap saat Wawancara : gelisah, tidak tenang,

muka tegang, jari gemetar, nafas pendek dan cepat tonus atau

ketegangan otot meningkat.

Setelah memperoleh data yang diperlukan maka langkah

selanjutnya adalah menganalisa data-data yang telah diperoleh melalui

pengamatan peneliti lalu pada setiap pengamatan diberikan penilaian

sebagai berikut :

a. Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali.

b. Skor 1 : gejala ringan.

c. Skor 2 : gejala sedang.

d. Skor 3 : gejala berat.

e. Skor 4 : gejala berat atau semua gejala.

Kemudian untuk menentukan derajat yang kecemasan dilakukan

penjumlahan atau scor dari 14 item HARS sebagai berikut : Penilaian

Page 24: BAB II.doc contoh

31

hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14

dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Skor < 14 : tidak ada kecemasan.

b. Skor 14-20 : kecemasan ringan.

c. Skor 21-27 : kecemasan sedang.

d. Skor 28-41 : kecemasan berat.

e. Skor 41-56 : sangat berat atau panik.

8. Mekanisme Koping Terhadap Kecemasan

Ketika mengalami ansietas, individu atau keluarga menggunakan

berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidak

mampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab

utama terjadinya peristiwa patologis. Pola yang sering digunakan

seseorang untuk ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas

terhambat. Ansietas tingkat ringan ditanggulangi dengan dua jenis

mekanisme koping. (Stuart dan Sundeen).

a. Reaksi Orientasi Tugas :

1) Berorientasi terhadap tindakan untuk memahami tuntunan dari

situasi stress secara realistik dapat berupa konstriktif atau

dekstruktif.

2) Perilaku menyerang biasanya untuk menghilangkan sumber

ancaman secara fisik maupun psikologis.

3) Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan,

merubah tujuan, memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.

Page 25: BAB II.doc contoh

32

b. Mekanisme Pertahanan Ego :

Membantu mengalami ansietas yang sedang, tetapi jika

berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan

distorsi realitas maka mekanisme ini dapat merupakan respon

terhadap stress. Ada beberapa mekanisme pertahanan ego yang sering

digunakan antara lain :

1) Denial (mengingkari)

Menghindari realitas ketidak setujuan dengan mengabaikan

atau menolak untuk mrngenalinya, kemungkinan merupakan

mekanisme pertahanan diri yang paling sederhana dan paling

primitive.

2) Displacement (salah pindah)

Mengalihkan yang seharusnya diarahkan pada benda atau

orang tertentu, ke benda atau orang yang netral atau tidak

membahayakan.

3) Proyeksi

Meningkatkan pikiran atau impuls dirinya atau

keinginannya untuk tidak dapat ditoleransi perasaan emosional

atau motivasi kepada orang lain.

4) Rasionalisasi

Memberikan penjelasan yang diterima secara sosial atau

tampaknya masuk akal untuk menyesuaikan perasaan, perilaku

dan motif yang tidak bisa diterima.

Page 26: BAB II.doc contoh

33

5) Regresi

Menghindari stress dari karakteristik dari tahap lebih awal.

(W.f.Maramis,2003).

9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cemas

a. Usia

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat ini

dilahirkan sampai pada saat berulang tahun (Elizabeth, 2006).

Semakin cukup umur semakin matang tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bekerja.

Dari segi kepercayaan seseorang yang lebih dewasa akan lebih

dipercaya dari pada orang yang belum cukup dewasa. Hal ini sebagai

akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa. Semakin tua seseorang

semakin konstruktif dalam penggunaan koping terhadap masalah

yang dihadapi. Makin mudah umur seseorang makin mengalami

permasalahan dan mempenmgaruhi tingkat kecemasannya. (Huklock,

2005).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat

kecemasan, yaitu dijelaskan bahwa stress sering dialami pada wanita

dari pada pria dikarenakan wanita mempunyai kepribadian yang labil

dan immature, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi

kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.

(Stuart 2006)

Page 27: BAB II.doc contoh

34

c. Pendidikan dan status ekonomi

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada

seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami

kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan

berpengaruh terhadap kemampuan berpikir, semakin tinggi tingkat

pendidikan akan semakin mudah berpikir rasional dan menangkap

informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru

(Stuart and Sundeen, 2005).

d. Pengetahuan

Pengetahuan (Knwoledge) adalah suatu hasil dari tahu dan ini

terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melaui mata dan telinga.

Pengetahuan juga merupakan dominan yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. (Notoatmodjo Soekidjo, 2003).

e. Lingkungan

Lingkungan adalah kondisi yang ada disekitar manusia dan

pengaruh yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku

orang atau kelompok. Lingkungan adalah input terkecil kedalam diri

seseorang sebagai sistem adaptif yang melibatkan baik faktor

internal maupun eksternal.

Page 28: BAB II.doc contoh

35

f. Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

(Thomas, 2004). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih

banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan berulang

dan banyak tantangan. (Erick, 2007). Bekerja umumnya adalah

kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi seseorang kan

mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. (Markum, 2001).

Seseorang yang mempunyai pekerjaan penting dan memerlukan

aktifitas akan merasa tidak nyaman karena menjalani rawat inap di

rumah sakit, hal ini akan mempengaruhi terjadinya kecemasan (Baso,

2000).

g. Pengalaman

Menurut Horney dalam Trismiati (2006), sumber-sumber

ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut bersifat lebih

umum. Penyebab kecemasan menurut Horney, dapat berasal dari

berbagai kejadian di dalam kehidupan atau dapat terletak di dalam

diri seseorang, misalnya seseorang yang memiliki pengalaman dalam

menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan lebih mampu

beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar.

10. Penanganan Kecemasan

Tindakan keperawatan yang dapat mendukung mekanisme tubuh

dalam menangani kecemasan sehingga dapat menurunkan kecemasan

Page 29: BAB II.doc contoh

36

sampai pada kondisi yang ringan atau sedang, Adapun tindakan

keperawatan yang dapat dilakukan adalah:

a. Memberi penjelasan atau informasi, penjelasan harus diberikan

sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Jika pasien

sangat cemas, mengulangi penjelasan sangat penting karena

kecemasan yang berlebih dapat menurunkan faktor intelektual.

b. Mengenali Perasaan, tugas perawat disini memotivasi pasien untuk

mengekspresikan kecemasannya dan memberikan kesempatan

mengungkapkan kecemasannya.

c. Mendukung Mekanisme Koping. Koping adalah cara yang dilakukan

individu menyelesaikan masalah.

d. Memfasilitasi Pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam

pemecahan masalah adalah mengumpulkan data, mengidentifikasi

keleluasaan, mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kecemasan,

menentukan alternatif tindakan dalam mencapai tujuan.

Melaksanakan tujuan dan mengevaluasi efektivitas dan tindakan.

e. Melakukan tehnik relaksasi, ada empat komponen utama dari tehnik

relaksasi yaitu :

1) Lingkungan yang tenang, menghindari sebanyak mungkin

kebisingan.

2) Posisi yang nyaman, duduk tanpa ketegangan otot.

3) Sikap yang dapat diubah “mengosongkan fikiran dari alam

sadar”.

Page 30: BAB II.doc contoh

37

4) Keadaan Mental memusatkan perhatian pada suara, merubah

fikiran-fikiran secara internal menjadi fikiran yang lebih mudah

diterima.

C. Konsep IMA ( Infark Miokard Akut )

1. Definisi

IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah nekrosis miokard akibat aliran

darah ke otot jantung terganggu ( Noer H. M Sjaifullah, 2005 ).

IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah terjadinya nekrosis miokard

yang cepat disebabkan karena ketidak seimbangan yang kritis antara

aliran darah dan kebutuhan darah miokard. (M. Widiastuti Samekto,

2001).

IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah kematian jaringan miokard

diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard, penyempitan

atau sumbatan arteri koroner diakibatkan aterosklerosis atau penurunan

aliran darah akibat syok atau perdarahan (Carpenito L.J. 2000).

IMA ( Infark Miokard Akut ) merupakan blok total yang mendadak

dari arteri koroner besar atau cabang-cabangnya. Lamanya kerusakan

miocard bervariasi dan bergantung kepada besar daerah yang diperfusi

oleh arteri yang tersumbat. Infark miocard akut dapat berakibat nekrosis

karena parut atau fibrosis dan mendatangkan kematian mendadak

(Barbara C. Long, 2004). Infark miokard akut  mengacu pada proses

rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga

Page 31: BAB II.doc contoh

38

aliran darah koroner berkurang (Smetzler Suzanne C & Brenda G. Bare,

2002 ).

Dari keempat pengertian diatas maka dapat disimpulakan bahwa

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan suatu keadaan dimana terjadi

kerusakan atau kematian otot jantung yang disebabkan karena

berkurangnya atau terhambatnya aliran darah koroner secara tiba-tiba atau

kebutuhan oksigen meningkat secara mendadak tanpa disertai perfusi

arteri koroner yang cukup.

2. Klasifikasi

Berdasarkan lapisan otot yang terkena Infark Miokard Akut dapat

dibedakan :

a. Infark Miokard Akut Transmural, mengenai seluruh lapisan otot

jantung (dinding ventrikel).

b. Infark Miokard Akut Non Transmural atau Subendokardial  Infark,

yitu infark otot jantung bagian dalam (mengenai sepertiga miokard).

Berdasarkan tempat oklusinya pada pembuluh darah koroner :

a. Infark Miokard Akut Anterior.

b. Infark Miokard Akut Posterior.

c. Infark Miokard Akut Inferior.

3. Etiologi

a. Penyebab utama adalah rupture plak aterosklerosis dengan akibat

spasme dan pembentukan gumpalan.

b. Hipertropi Ventrikel Kiri (HVK), idiopathic hypertropic subaortic 

stenosis (IHSS).

Page 32: BAB II.doc contoh

39

c. Hipoksia  yang disebabkan keracunan karbon monoksida  atau

gangguan paru akut. Infark pada keadaan ini biasanya terjadi bila

kebutuhan miokard secara drmatic relative meningkat dibandingkan

aliran darah.

d. Emboli  arteri koroner, yang mungkin disebabkan oleh kolesterol

atau infeksi.

e. Vasopasm  arteri koroner.

f. Arteritis.

g. Abnormalitas Koroner, termasuk anurisma arteri koroner.

h. Kokain, amfetamin, dan efedrin. Meningkatnya afterload atau

perubahan inotropik, yang menyebabkan kenaikkan kebutuhan

miokard.

i. Vasospasm primer dari arteri koroner.

Faktor risiko untuk terjadinya pembentukan plak  aterosklerosis

termasuk :

a. Umur laki-laki < 70 tahun.

b. Merokok.

c. Hiperkolesterol dan hipertrigliseridemia.

d. Diabetes militus.

e. Hipertensi tak terkontrol.

f. Kepribadian tipe A.

g. Riwayat keluarga.

h. Sadentary lifestyle.

Page 33: BAB II.doc contoh

40

4. Tanda dan Gejala

Keluhan utama adalah nyeri dada biasanya didaerah precordium

anterior dirasakan seperti diremas-remas, berat, tertekan dan terhimpit.

Nyeri  mulai dirasakan dari rahang, leher, lengan, punggung dan

epigastrium. Lengan kiri lebih sering terasa nyeri dari pada lengan kanan.

Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam dan jarang

berhubungan dengan aktivitas serta tidak hilang istirahat atau pemberian

nitrat. Nyeri disertai dengan rasa mual, muntah, sesak, pusing, keringat

dingin, berdebar-debar, gelisah, nyeri kepala berat dan sinkop. Sesak

nafas mungkin bersamaan dengan nyeri dada sebagai tanda kemampuan

atau fungsi vetrikel yang buruk pada keadaan iskemik akut. Nausea dan

nyeri abdomen sering dijumpai pada infark yang mengenai dinding

inferior. Pada penderita usia lanjut dan diabetes hanya menunjukkan

gejala kelelahan, lesu atau sinkop.

5. Proses Penyakit

Penyebab paling sering Infark Miokard Akut adalah penyempitan

pembuluh darah yang disebabkan oleh karena atheromatous. Pecahnya

plak menyebabkan terjadinya agregasi trombosit, pembentukan thrombus

dan akumulasi fibrin, perdarahan dalam plak dan beberapa tingkatan

vasospasm. Keadaan ini akan mengakibatkan sumbatan baik parsial 

maupun total, yang berakibat iskemi miokard. Sumbatan total pembuluh

darah yang lebih dari 4-6 jam berakibat nekrosis miokard yang

irreversible tetapi reperfusi yang dilakukan dalam waktu ini dapat

menyelamatkan miokard dan menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Page 34: BAB II.doc contoh

41

6. Komplikasi

Perluasan infark dan iskemia pasca infark, aritmia (sinus

bradikardi, supraventrikular, takiaritmia, aritmia ventricular, gangguan

konduksi), disfungsi otot jantung (gagal jantung kiri, hipotensi), infark

ventrikel kanan, defek mekanik, rupture miokard, aneurisma ventrikel

kiri, perikarditis, dan thrombus mural.

7. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :

a. Riwayat nyeri dada yang khas.

b. Gambaran EKG infark.

c. Peningkatan enzim jantung.

Berdasarkan kriteria WHO maka diagnosa dapat ditegakkan

apabila didapat dua dari tiga diagnosa diatas.

8. Pemeriksaan Diagnostik

a. EKG

Peninggian gelombang S – T, iskemia : penurunan atau

datarnya gelombang T, menunjukkan cidera dengan adanya

gelombang Q menunjukkan cidera, nekrosis.

b. Enzim jantung dan isoenzim

CPK-MB meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 

jam, kembali normal dalam 36-48 jam. LDH meningkat dalam 12-24

jam, memuncak dalam 24-48 jam, dan memakan waktu lama untuk

kembali normal. AST meningkat terjadi dalam 6-12 jam, memuncak

dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4 hari.

Page 35: BAB II.doc contoh

42

c. Elektrolit

Ketidakseimbangan mempengaruhi konduksi dan

kontraktilitas, contoh hipokalemi atau hiperkalemi.

d. Sel darah putih

Leukosit (10.000 – 20.000 mm3) tampak pada hari kedua

setelah infark miokard berhubungan dengan proses inflamasi.

e. Angiografi koroner

Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner

dan dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan

mengkaji fungsi ventrikel kiri. Prosedur tidak selalu dilakukan pada

fase infark miokard kecuali mendekati bedah jantung angioplasti atau

emergensi.

f. Digital subtraction angiography (DSA)

Untuk menggambarkan status penanaman arteri dan mndeteksi

penyakit arteri perifer.

9. Penatalaksanaan

Menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dan meningkatkan

persediaan oksigen Pertolongan dasar (Basic Life Support) yaitu :

a. A : Airway control (jalan udara) hal ini bertujuan Agar jalan nafas

bebas dan bersih serta udara bisa mengalir ke paru.     

b. B : Breathing support (pernafasan), hal ini bertujuan memberikan

bantuan pernafasan ventilasi buatan dan pemberian oksigenisasi.

Meskipun khasiatnya belum diakui untuk infark  miokard akut tanpa

komplikasi, oksigen sebaiknya diberikan dengan kecepatan 2 – 4 L /

menit lewat kanula hidung.

Page 36: BAB II.doc contoh

43

c. C : Circulation support (sirkulasi), hal ini bertujuan untuk

memmbantu sirkulasi kompresi jantung luar.

Dengan cara melihat ada tidaknya denyut nadi, bila tidak ada bisa

dilakukan RKP (resusitasi Kardio Pulmoner) yaitu dengan kompresi :

a. Setiap kompresi dihitung keras-keras.

b. Waktu pemberian ventilasi dilakukan secara cepat 5 – 6  detik tanpa

ekhalasi.

c. Penekanan lebih menggunakan penekanan berat dari pada lengan dan

bahu.

d. Dilakukan harus teratur, berirama, dan menyentak atau mendadak.

Fase kompresi dan relaksasi mempunyai jangka waktu yang lama.

e. Telapak tangan tidak boleh lepas dari sternum.

f. Periksa arteri karotis setiap 4x siklus (± 1 menit)

Tabel 2.1 Penatalaksanaan Pertolongan dasar (Basic Life Support) Pada pasien IMA. Sumber : Barbara C. Long. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).

Kriteria pasien

Jumlah penolong

Rate ventilasi

Kompresi dadaRatio kompresi berbanding ventilasi

Kompresi dengan

RateKedalaman (cm)

Dewasa(>4 thn) 1

2 x/10 detik

2 tangan

80 x/menit (15 x/10 detik)

4 – 5 15 : 2

Catatan : Jika arteri karotis teraba, hentikan kompresi selama 5 detik.

Page 37: BAB II.doc contoh

44

g. Pertolongan Lanjut (Advanced Life Support) :

1) D : Drug and fluid (pemberian cairan dan obat-obatan),hal ini

bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dada, vasodilator untuk

meningkatkan aliran darah koroner. Sedative seperti diazepam 3-

4x 2-5 mg peroral pada insomnia dapat ditambah flurazepam 15-

30 mg. analgesic seperti morfin 2,5-5 mg IV atau petidin 25-50

mg IM, lain-lain seperti nitrat, antagonis kalsium dan beta bloker.

Nitrogliserin 0,4-1,2 mg (sublingual) atau 1 – 2 mg (pasta

topikal). Antikoagulan seperti heparin 20000-40000 U/24 jam IV

tiap 4-6 jam atau drip IV dilakukan atas indikasi, diteruskan

dengan asetakumarol atau warfarin. Infuse dextrose 5% atau NaCl

0,9%.

2) E : Electrocardiography (EKG), hal ini bertujuan untuk

mengantisipasi timbulnya aritmia monitor EKG secara serial.

3) F : Fibrillation treatmen bertujuan untuk menentukan kerusakan

otak dan resusitasi serebral, untuk mengobati fibrilasi ventrikel

dilakukan DC – shock. Defibrilasi dilakukan 3 Joule / kg BB.

Dosis ulangan tertinggi adalah 5 Joule / kg BB dengan maksimal

400 Joule (Wsec).

Gelombang fibrilasi dapat halus (fine) atau kasar (coarse).

Gelombang yang halus biasanya kurang berespons dengan DC –

shock. Pemberian epinefrin dapat meningkatkan amplitude

gelombang fibrilasi dan membuat jantung lebih peka terhadap DC

– shock. Epinefrin diberikan Intravena sebanyak 0,5 – 1 ml

Page 38: BAB II.doc contoh

45

(konsentrasi 1 : 1000). Pijat Jantung Luar (PJL) dan ventilasi tetap

diberikan selama 1 – 2 menit, agar epinefrin dapat dialirkan dari

jantung. Kalsium – klorid 10 ml yang diberikan Intravena

mempunyai efek yang sama dengan epinefrin. Bila setelah DC –

shock 400 Joule diulangi fibrilasi ventrikel tetap ada , dapat diberi

lagi epinefrin Intravena , yang dapat diulangi setiap 3 – 5 menit.

Selama itu PJL dan ventilasi tetap dilakukan. Dapat pula diberikan

lidokain bolus Intravena 75 mg; ini akan meningkatkan respons

jantung terhadap DC – shock. Pemberian lidokain dapat diulangi

setiap 5 menit, tetapi dosis maksimal tidak boleh melebihi 200 –

300 mg. Bila DC – shock dan lidoakain belum berhasil

mengembalikan irama sinus, dapat diberikan propranolol 1 mg

Intravena, kemudian diikuti dengan DC – shock berikutnya.

Biasanya pasien sudah memberi respon dengan 2 – 3 kali

DC – shock, tetapi kadang-kadang diperlukan 9 kali atau lebih.

Bila dengan DC – shock ketiga belum ada respon, dianjurkan

untuk memakai defiblirator lain.

4) G : Gauging (penilaian), hal ini bertujuan untuk memonitor dan

mengevaluasi Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), pemeriksaan

dan penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat tidaknya

pasien diselamatkan dan diteruskan pengobatan.

5) H : Human mentation, hal ini bertujuan untuk menentukan fungsi

otak apakah normal atau dapat pulih kembali.

Page 39: BAB II.doc contoh

46

6) I  :  Intensive care, hal ini bertujuan untuk perawatan intensive

jangka panjang. Mempertahankan homeostatis ekstra kranial dan

homeostatis intra kranial, antara lain dengan mengusahakan agar

fungsi pernafasan, kardiovaskuler, metabolik, fungsi ginjal dan

fungsi hati menjadi maksimal. Memastikan apakah pasien dapat

sembuh kembali atau adanya kematian serebral.

D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang

akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).

Page 40: BAB II.doc contoh

47

Keterangan :

= yang diteliti

= yang tidak diteliti

Bagan 2.1 Kerangka Konsep Hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada pasien IMA di ruang ICCU RSUD Dr.ISKAK Tulungagung tahun 2012.

Pasien IMAFaktor –faktor yang mempengaruhi cemas :

a. Usiab. Jenis kelaminc. Pengetahuand. Pendidikan dan status ekonomie. Lingkunganf. Pekerjaang. Pengalaman

Nyeri :

a. Tidak nyerib. Nyeri ringanc. Nyeri sedangd. Nyeri berate. Nyeri sangat

berat

Cemas :

a. Ringanb. Sedangc. Beratd. Panik

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri :

a. Usia g. Pengalaman masa lalub. Jenis kelamin h. Pola kopingc. Kultur i. Support keluarga dan sosiald. Makna nyerie. Perhatianf. Ansietas

Page 41: BAB II.doc contoh

48

Keterangan Kerangka Konsep :

Pada pasien dengan diagnosa IMA (Infark Miokard Akut) sudah

pasti akan merasakan suatu suatu respon tubuh yang diakibatkan oleh

proses patologis pada jantung yaitu berupa rasa nyeri. Faktor-faktor yang

mempengaruhi nyeri itu sendiri adalah : usia, jenis kelamin, kultur, makna

nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman masa lalu, pola koping support

keluarga dan sosial. Intensitas nyeri yang sama dirasakan berbeda oleh

dua orang yang berbeda, untuk intensitas nyeri ini meliputi beberapa

tingkatan antara lain : tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri

berat,nyeri sangat berat.

Setiap individu yang mengalami suatu proses nyeri tentunya selalu

diiringi respon tubuh yang berupa kecemasan, dan kecemasan itu sendiri

dipengaruhi oleh : usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidian, status

ekonomi, lingkungan, pekerjaan, pengalaman. Tidak hanya nyeri yang

mempunyai tingkatan, tetapi cemas juga mempunyai sebuah tingkatan,

antara lain : cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, panik.

Dalam penelitian ini yang akan diteliti oleh peneliti adalah

“Hubungan Intensitas Nyeri Dada Dengan Tingkat Kecemasan Pada

Pasien IMA di ruang ICCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Iskak

Tulungagung tahun 2013, sehingga dapat diketahui adakah hubungan

intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada pasien IMA di ruang

ICCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Iskak Tulungagung tahun 2013.

Page 42: BAB II.doc contoh

49

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Hipotesis dalam penelitian ini

adalah:

H1 : Ada hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada

pasien IMA.

H0 : Tidak ada hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan

pada pasien IMA.