Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Dasar Teori 2.1.1. Morbus Hansen 2.1.1.1. Definisi Morbus Hansen Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Morbus Hansen
2.1.1.1. Definisi Morbus Hansen
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga
penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit
adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos
yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu
mudah.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ
tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya
kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh
tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa
karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka
waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik
dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada
bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering
dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5),
Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta
basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh
kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5
tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe
seperti ini sangat mudah menular.3
2.1.1.3 Epidemiologi Morbus Hansen
Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini
bisa menyerang di mana saja. Menurut laporan resmi yang diterima pada 103 negara dan
wilayah, berdasarkan WHO pada pertengahan tahun 2014 terdapat 180.464 kasus, dimana
pada jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tahun 2013 sejumlah 215.557 kasus ( meliputi
sejumlah kasus pada bagian eropa).
Hampir sejumlah negara yang sebelumnya mengalami endemik akan penyakit ini
telah mencapai pada tahap eliminasi setingkat nasional. Pada tahun 2007 , Republik
Demokrat Kongo dan mozambik mencapai eliminasi pada tahap nasional, lalu diikuti oleh
Timor-Leste pada akhir tahun 2011. Walaupun begitu, masih terdapat fokus endemik pada
beberapa negara yakni : Angola, Brazil, Republik afrika sentral, India, Madagascar, Nepal.4,5
Epidemiologi Kusta di Indonesia
Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia
terutama di negara berkembang, seperti indonesia. Prevalensi kusta dunia adalah sebesar 0,2
per 10.000 jiwa pada tahun 2006. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 0,91
dari 10 000 penduduk Indonesia menderita kusta pada 2008.
Lalu berdasarkan Data Epidemiologi: jumlah kasus baru pada penyakit kusta Tahun
2012, sebanyak : 17.980 orang, angka ini turun dari 2011 yang 20.023 orang. Sedangkan
prevalensi 2012 : 23.252 orang (0,96/10.000), dengan kriteria eliminasi adalah < 1/ 10.000
penduduk, karena itu indonesia sudah masuk dalam kriteria negara yang eliminasi kusta.
Untuk cacat tingkat 2 ( cacat yang terlihat ) tahun 2012 sebesar : 0,85 / 100.000 penduduk. 5-7
2.1.1.4 Etiologi Morbus Hansen
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf
lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 3-8 Um x 0,5 Um.Basil
ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut
globi. Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.4,6 Menurut Marwali Harahap (2000),
Mycobacterium lepraemempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan asam
Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.Mycobacterium leprae merupakan
satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
Mycobacterium lepraeadalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer. Ekstrak terlarut dan preparatMycobacterium leprae
mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji
kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.1,8
2.1.1.5. Patofisiologi Morbus Hansen
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah
dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut
terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,
meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-
rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh
mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan
perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan
afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer)
dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang
respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis.
Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan
kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan
penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,
mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.
Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel
respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan
lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,
spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam
bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,
kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat
keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis
kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel
Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang
dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung
jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf
ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam
lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel,
sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi
sebagai mediator dari demielinasi pada kusta .
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam
respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel
yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi
sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan
mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta.
Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan
menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10
sekresi.
Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe
I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks
imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ.
Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf,
dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.1,8
2.1.1.6. Klasifikasi
Pembagian Kusta atau Morbus Hansen dibagi menjadi dua jenis menurut WHO yaitu tipe
pausibasiler dan multibasiler.
Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO.1
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang
meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
>5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
Hilangnya sensasi yang
jelas
Hanya satu cabang saraf
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak cabang saraf
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I),
Tuberkuloid (T),
Borderline tuberkuloid
(BT)
Lepromatosa (LL),
Borderline lepromatous
(BL), Mid borderline
(BB)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi :1
a. Indeterminate leprosy(I) : makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan
spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika
imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain (Lewis, 2010).
b. Tuberculoid leprosy(TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa,
dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi
pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi
lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di
pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf
tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe
tuberculoid.Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe
tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi
sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi
menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional
(Lewis, 2010).
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi (Lewis, 2010).
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus
dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
Tabel 3. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB.1
Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline
Tuberkuloid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Bentuk Makula atau
makula dibatasi
infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat
saja
Hanya infiltrat
Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau
beberapa satelit beberapa
Distribusi Terlokasi dan
asimetris
asimetris Bervariasi
Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Halus agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif
Tabel 4. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB.1
Karakteristik Lepromatosa
(LL)
Borderline
Lepromatosa
(BL)
Mid-borderline
(BB)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul,
nodus
papul kubah, lesi punched
out
Jumlah Banyak distribusi
luas, praktis tidak
ada kulit sehat
Banyak tapi kulit
sehat masih ada
Beberapa, kulit
sehat (+)
Distribusi Simetris Cenderung
simetris
Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi
kulit
Banyak Banyak Agak banyak
Sekret
hidung
Banyak Biasanya tidak
ada
Tidak ada
Tes
Lepromin
Negatif Negatif Biasanya negatif
2.1.1.7 Gejala klinis
Masa inkubasinya yang terjadi pada kusta sebenarnya sulit diukur dikarenakan
sulitnya alat pengukuran serta faktor imunologi seseorang yang berbeda. Masa inkubasi
minimum terjadi sekitar beberapa minggu sampai 30 tahun, dari beberapa pengamatan pada
beberapa daerah endemik. Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama
kali mengenai system saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat
sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik
yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya,
sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi
kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitasyang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang
dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung,
daun telinga, dan lutut.8
\ Gejala klinis pada kusta sekarang terdapat tiga tanda kardinal untuk mendiagnosis
secara pasti, yakni sebagai berikut :9
a. Lesi kulit hipopigmentasi dengan anestesia
b. Penebalan saraf tepi, dengan adanya gangguan fungsi pada sensadisi di setiap
persarafan yang terkena.
c. Terdapat Basil Tahan Asam pada sediaan kerokan kulit.
2.1.1.8. Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.3
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction
yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking
down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular
yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara
imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan
umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang
subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga
disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi hipersnsitivitas
tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi
lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut
sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,
mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi
dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga
memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 3
2.1.1.9. Derajat Cacat Morbus Hansen
a. WHO ( 1995 ) dan djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke
cacatan, yaitu:
Cacat pada tangan dan kaki
tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis
tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b. Cacat pada mata
tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )
tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat
menghitung jari pada jarak 6m ).1
2.1.1.10 Pemeriksaan Penunjang
2.1.1.10.1 Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan
lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. leprae1.1,
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2.1.1.10.2. Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu,
makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi
sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim
sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
2.1.1.10.3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah