-
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sari Apel Apel (Malus sylvestris Mill) adalah tanaman yang
berasal dari daerah subtropis. Di Indonesia beredar dua jenis apel,
yaitu apel impor maupun apel lokal. Terdapat empat varietas apel
yang dikembangkan oleh petani, yaitu Manalagi, Anna, Rome beauty,
dan Wangling. Pemanfaatan dan peningkatan nilai ekonomis terhadap
apel lokal dapat dilakukan melalui diversifikasi produk. Salah satu
produk olahan apel yang cukup dikenal yaitu sari buah apel (Sari
dkk, 2012). Definisi sari buah menurut Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK. No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006
tentang Kategori Pangan mengatur definisi dan karakteristik dasar
sari buah, terkait ketentuan bahan baku, proses pengolahan dan
produk jadi, adalah cairan yang diperoleh dari bagian buah yang
dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika
dibutuhkan), dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat
dikonsumsi langsung. Sari buah dapat berisi hancuran buah serta
berpenampakan keruh atau jernih. Produk sari buah dapat dibuat dari
satu atau campuran berbagai jenis buah. Sari buah merupakan hasil
pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Pembuatan sari
buah terutama ditujukan untuk meningkatkan ketahanan simpan serta
daya guna buah-buahan (Kemenristek RI 2010). Tahapan proses
produksi sari apel di KSU BROSEM dimulai dari proses penyiapan
bahan baku, proses pensortiran buah kemudian dicuci dan dipotong,
proses perebusan sehingga menjadi ekstrak apel, proses filtrasi,
proses pencampuran dengan air, gula dan bahan tambahan lainnya,
proses sterilisasi, proses pengemasan, proses pencucian atau
pendinginan, proses pengepakan, dan proses distribusi (Revila dkk,
2014). 2.2 Pengendalian Kualitas Produk Kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
(Tjiptono dan Diana, 2003). Kualitas adalah apapun yang menjadi
kebutuhan dan keinginan konsumen, sebagai kesesuaian terhadap
spesifikasi sebagai nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian
terhadap persyaratan (Yamit, 2004). Dari definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa kualitas adalah kecocokan atau kesesuaian antara
produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan kebutuhan yang
diinginkan konsumen.
-
6
Pengendalian kualitas bagaimana organisasi menerapkan
produk-produk manajemen kualitas secara konsisten untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan dan pasar (Gasperz, 2005). Adapun pengertian
kualitas menurut American Society For Quality yang dikutip oleh
Heizer & Render (2006), ”Quality is the totality of features
and characteristic of a product or service that bears on it’s
ability to satisfy stated or implied need.” Artinya kualitas/mutu
adalah keseluruhan corak dan karakteristik dari produk atau jasa
yang berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang tampak jelas maupun
yang tersembunyi. Pengendalian kualitas juga menjamin barang atau
jasa yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya
pada pengendalian produksi. Dengan demikian antara pengendalian
produksi dan pengendalian kualitas erat kaitannya dalam pembuatan
barang (Fakhri, 2010). Minuman sari buah memiliki spesifikasi
tertentu menurut SNI. Hal-hal yang diujikan meliputi keadaan sari
buah, bilangan formal, BTM, cemaran logam, cemaran arsen dan
cemaran mikroba ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.3 Kapabilitas Proses Kapailitas proses merupakan kemampuan
proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan
ekspektasi dan kebutuhan pelanggan (Sugian, 2006). Secara umum,
analisis kapabilitas proses merupakan suatu studi untuk menaksir
kemampuan proses, yaitu apakah produk sudah memenuhi spesifikasi
yang ditentukan atau belum. Untuk melihat kapabilitas proses,
diperlukan suatu ukuran kuantitatif proses yaitu indeks
kapabilitas, yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu
proses. Berdasarkan standart mutu 3-sigma, suatu produk dikatakan
mampu apabila memiliki indeks kapabilitas lebih dari 1,33. Indeks
kapabilitas proses ini dapat dinyatakan dalam berbagai perhitungan
yang berbeda. Kegunaan analisis kapabilitas proses diantaranya
(Ruhim, 2007):
1. Memberi informasi mengenai variabilitas dalam proses
produksi
2. Memprediksi kebaikan proses dalam memenuhi toleransi 3.
Membantu perancang produk dalam memilih dan
memodifikasi proses 4. Membantu menetapkan interval sampling
untuk pengendalian
proses 5. Menspesifikasi persyaratan performance untuk alat baru
6. Memilih suplier yang kompetitif
-
7
Tabel 2.1 Syarat Mutu Minuman Sari Buah No Jenis Uji Satuan
Persyaratan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keadaan [1]
1.1 Aroma 1.2 Rasa 1.3 Bau pH
1
Padatan Terlarut1
Gula (Sukrosa)1
Bilangan Formal1
BTM 6.1 Pemanis Buatan 6.2 Pewarna Tambahan 6.3 Pengawet 6.4
Asam Malat 6.5 Asam Sitrat Cemaran Logam
1
7.1 Tembaga 7.2 Timbal 7.3 Timah 7.4 Raksa 7.5 Seng Cemaran
Arsen
2
Cemaran Mikroba2
9.1 Angka Lempeng Total 9.2 Bakteri Bentuk Coli 9.3 Escherecia
Coli 9.4 Staphylococus aureus 9.5 Salmonella
9.6 Kapang 9.7 Khamir
- - - - b/b % b/b % Ml NaOH 0,1 N/100 ml - Gram/Kg Mg/Kg Mg/Kg -
- Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Kloni/ml APM/ml APM/ml
Koloni/ml Koloni/25ml Koloni/ml Koloni/ml
Normal Normal Normal Maksimal 4 Minimal 10/11 Maksimal 5 Min 7 -
Maksimal 3 Maksimal 300 Maksimal 600 Secukupnya Secukupnya Maks 50
Maks 0,30 Maks 40/250 Maks 0,03 Maks 5 Maks 0,20 Maks 2x10
2
Maks 20
-
8
statistik dan problem solving tools secara intensif. Metode ini
lebih dikenal sebagai sebuah metode peningkatan kualitas dan
strategi bisnis yang tidak menghasilkan cacat (defect) melebihi 3,4
per 1 juta kesempatan (Latief dan Retyaning, 2009). Aplikasi Six
Sigma berfokus pada cacat dan variasi, dimulai dengan
mengidentifikasi unsur–unsur kritis terhadap kualitas (CTQ) dari
suatu proses. Six Sigma menganalisa kemampuan proses dan bertujuan
menstabilkannya dengan cara mengurangi atau menghilangkan
variasi–variasi. Langkah mengurangi cacat dan variasi dilakukan
secara sistematis dengan mendefinisikan, mengukur, menganalisa,
memperbaiki, dan mengendalikannya. Langkah sistematis dalam Six
Sigma dikenal dengan metode DMAIC. Team Six Sigma didalam
menyelesaikan proyek yang spesifik untuk dapat meraih level Six
Sigma perlu berpedoman pada 5 fase pada DMAIC tersebut (Gazperzs,
2002).
a. Define Fase Define (D) dilakukan pendefinisian proyek dan
tujuan
yang hendak dicapai berdasarkan keinginan dan feedback
pelanggan. Define merupakan langkah operasional pertama dalam
program peningkatan kualitas six sigma. Tools yang digunakan berupa
Diagram Aliran Proses, Diagram Input-Proces-Output (Phenter dan
Safa, 2004). Selain itu menurut Gazperzs (2007), tools/alat yang
digunakan antara lain yaitu: CTQ, QFD, Tree Diagram, In and Out
Frame, SIPOC, Macro Process Map, 5W+1H dan Project Charter. CTQ
(Critical to Quality) adalah hal yang perlu didefinisikan
berdasarkan input dari pelanggan terhadap kualitas yang diinginkan
terhadap produk
b. Measure Fase Measure (M) merupakan langkah operasional
kedua
dalam program peningkatan kualitas six sigma. Measure akan
memilih indikator kinerja dan menentukan pengukuran baseline. Six
Sigma team harus mengidentifikasi proses internal kunci yang
mempengaruhi CTQ dan perlu mengukur cacat yang relevan dengan CTQ
dan proses internal kunci-nya. Measure artinya mengukur kinerja
proses saat ini sebagai patokan awal dan dibandingkan dengan target
yang ditetapkan (Sukmoro, 2010). Tools yang digunakan pada proses
ini adalah Process Mapping, Sampling Techniques, Sigma Level dan
Process Capability (Gazperzs, 2007).
c. Analyze Fase Analyze (A), dilakukan analisa yang mendalam
mengenai penyebab utama dari cacat yang terjadi. Team Six
-
9
Sigma perlu menemukan mengapa cacat terjadi dari hasil
identifikasi variable kunci yang menjadi penyebab timbulnya variasi
pada proses. Pada tahap ini dilakukan analisa stabilitas proses,
serta sumber-sumber dan akar penyebab masalah yang menghambat
peningkatan kinerja organisasi (Gaspersz, 2008). Dalam tahap
Analyze, tools yang digunakan adalah Diagram Pareto, Diagram
Sebab-Akibat, dan pembuatan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
(Phenter dan Safa, 2004). Selain itu menurut Gazperzs (2007), tools
dari proses Analyze terdiri dari Cause and Effect Matrix, FMEA,
Scatter Plot, Run Chart dan Hypotesis Testing.
d. Improve Fase Improve (I) akan melakukan upaya perbaikan
agar
penyebab dari cacat tidak terjadi atau semakin tereduksi. Team
Six Sigma perlu mengkonfirmasi variabel kunci, mengkuantifikasi
efek dari CTQ ini, dan menjalankan proyek perbaikan. Improve adalah
pengembangan dengan uji coba dan penerapan solusi yang telah
direkomendasikan sehingga tercipta kemampuan proses optimal untuk
menghasilkan produk yang sesuai dengan panduan mutu, persyaratan,
pelanggan dan target produksi (Sukmoro, 2010). Menurut Phanter dan
Safa (2004), tools yang digunakan dalam fase ini adalah
implementasi dari Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
e. Control Fase Control (C), dilakukan agar team Six Sigma dan
operator
dapat memelihara peningkatan kualitas menuju kualitas level 6
(six). Control dapat dilakukan dengan mendokumentasikan hasil-hasil
peningkatan kinerja organisasi dan menstandarisasikan
praktik-praktik kerja terbaik dari proyek six sigma ke dalam
prosedur-prosedur kerja agar dijadikan sebagai pedoman kerja
standar (Gaspersz, 2008). Tools yang digunakan pada tahap Control
adalah FMEA, Time Series Chart, Control Chart dan poka Yoke
(Gazperzs, 2007).
Menurut Gasperzs (2008), fokus Six Sigma terdiri dari mengurangi
variasi proses, identifikasi akar-akar penyebab dari masalah,
menciptakan output proses yang seragam dan bebas cacat, sangat
penting untuk meningkatkan kapabilitas proses dan kualitas produk.
Suatu proses mencapai Six Sigma berarti dalam satu juta peluang
hanya terdapat 3,4 cacat dan proses tersebut dapat dikatakan
mendekati sempurna. Defect Per Million Opportunities merupakan
ukuran kegagalan program peningkatan kualitas six sigma yang
menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per sejuta
kesempatan
-
10
(Brue, 2000 dalam Yuniawan, 2008). Konversi Six Sigma dengan
jumlah cacat produk per satu juta produksi (Defect per Million)
dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Konversi Level Sigma terhadap DPMO, Yield, dan Cpk
Tingkat Pencapaian
Sigma
DPMO (Defect per Million
Opportunities)
COPQ (Cost of Poor
Quality)
Yield Cpk
1,5-Sigma 500.000 (Sangat Tidak Kompetitif)
Tidak Dapat Dihitung
50 % 0,50
3-Sigma 66.807 (Rata-Rata Industri Indonesia)
Tidak Dapat Dihitung
93, 320 % 1,00
3,5-Sigma 22.700 25-40% dari penjualan
97,730 % 1,17
4-Sigma 6.210 (Rata-Rata Industri Amerika)
15-25 % dari penjualan
99, 370 % 1,33
4,5-Sigma 1.350 5-15% dari penjualan
99,8650 % 1,50
5-Sigma 233
-
11
mempunyai 7 (tujuh) alat statistik utama yang dapat digunakan
sebagai alat bantu untuk mengendalikan kualitas sebagaimana
disebutkan juga oleh Heizer dan Render dalam bukunya Manajemen
Operasi (2006:263-268), antara lain yaitu; check sheet, histogram,
control chart, diagram pareto, diagram sebab akibat, scatter
diagram dan diagam proses. 2.5.1.1 Diagram Proses (Flow Chart)
Diagram alir proses (Flow Chart) dilakukan untuk mengidentifikasi
urutan aktivitas atau aliran berbagai bahan baku dan informasi di
dalam suatu proses. Diagram alir dapat membantu orang-orang yang
terlibat dalam proses tersebut untuk memahaminya secara lebih baik
dan lebih objektif dengan cara memberikan gambaran mengenai
langkah-langkah yang dibutuhkan (Evans dan Lindsay, 2007). Terdapat
banyak cara dan metode untuk menggambarkan sebuah flow chart.
Beberapa paket software komputer didesain untuk menggambar
flowchart. Tidak terdapat metode yang paling baik atau buruk dalam
menggambarkan flow chart. Perlu diperhatikan bahwa konsisten dalam
menggunakan simbol yang dipilih, selain itu juga dapat dipastikan
bahwa produk akhir yang dihasilkan dapat dipahami oleh semua orang
yang diinginkan. 2.5.1.2 Check Sheet Data untuk proyek Six Sigma
dapat dikumpulkan melalui berbagai cara. Hampir semua jenis
formulir dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Lembar
pemeriksaan (Check Shet) menggunakan formulir berbentuk kolom atau
tabel ntuk merekam data. Lembar pemeriksaan (Check Shet) adalah
sejenis formulir pengumpulan data khusus yang hasilnya dapat
diintepretasikan pada formulir tersebut secara langsung tanpa
membutuhkan pemrosesan lebih lanjut (Evans dan Lindsay, 2007).
Menurut Gazpersz (2003), check sheet atau lembar periksaan adalah
suatu formulir dimana item-item yang akan diperiksa telah dicetak
dalam formulir itu dengan maksud agar data dapat dikumpulkan secara
mudah dan ringkas. 2.5.1.3 Peta Kontrol (Control Chart) Peta
kendali adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk
memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas/ proses berada
dalam pengendalian kualitas secara statistika atau tidak sehingga
dapat memecahkan masalah dan menghasilkan perbaikan kualitas.
Control chart dibagi menjadi dua bagian yaitu (Rochatama,
2009):
-
12
a. Control chart untuk variable, variabel adalah karakteristik
yang mempunyai dimensi berkesinambungan dan dapat diukur,
pengukuran data dilakukan dan ditata dalam suatu bagan. Macam
control chart untuk variable adalah X-bar chart, R-chart dan S
chart. X-bar menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
ukuran titik pusat atau rata-rata dari suatu proses. Peta kontrol R
menjelaskan tentang perubahan-perubahan dalam ukuran variasi. S
chart menggunakan deviasi standar sampel yang diplot agar dapat
mengendalikan variabilitas dari variabel (Marimin, 2004).
b. Control chart untuk atribut, digunakan untuk pengukuran
sampel dengan karakteristik produk yang dievaluasi dengan pilihan
kategori “baik atau buruk, ya atau tidak”. Macam control chart
untuk atribut (Marimin, 2004):
1) C-chart Peta control c didasarkan pada titik spesifik yang
tidak memenuhi syarat dalam produk itu, sehingga suatu produk dapat
saja dianggap memenuhi syarat meskipun mengandung satu atau
beberapa titik spesifik cacat. Pada kontrol c membutuhkan ukuran
contoh konstan atau banyaknya item yang diperiksa bersifat konstan
untuk setiap periode pengamatan.. Bagan pengawasan ini digunakan
berkenaan dengan rasio-rasio kerusakan barang yang diambil secara
acak dan menghitung serta menentukan batas control atas (UCL) dan
batas control bawah (LCL) dari sampel yang diperiksa, kemudian
menggambarkan bagan masing-masing batas control tersebut.
2) P-chart Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi
ketidaksesuaian (penyimpangan atau sering disebut cacat) dari
kelompok suatu inspeksi yang berarti untuk mengendalikan proporsi
item yang tidak memenuhi spesifikasi dalam suatu proses. Pada bagan
ini, kita memplot prosentase barang defektif/rusak (per
tumpukan/batch per hari, per mesin, dan sebagainya). Namun batas
kendali dalam bagan ini tidak didasarkan pada distribusi tingkat
kejadian tapi menggunakan distribusi dari proporsi.
3) np-chart pada dasarnya np chart serupa dengan p chart,
kecuali pada peta kontrol np terjadi perubahan skala pengukuran.
Penggunaan np chart cocok untuk situasi seperti berikut: (1) data
banyaknya item yang tidak sesuai adalah lebih
-
13
bermanfaat dan mudah untuk diinterpretasikan dalam bentuk
laporan dibandingkan data proporsi dan (2) ukuran contoh bersifat
konstan dari waktu ke waktu.
4) U-chart Peta kontrol u mengukur banyaknya ketidaksesuaian per
unit inspeksi dalam periode pengamatan. Peta kontrol u serupa
dengan peta control c, kecuali bahwa banyaknya ketidaksesuaian
dinyatakan dalam basis per unit item. Bagan ini menunjukan
nonconformities per unit yang dihasilkan melalui proses produksi
atau manufaktur.
2.5.1.4 Diagram Pareto Diagram pareto diperkenalkan oleh Joseph
M. Juran, yang menggunakan prinsip Pareto “The Critical Few the
Trival Many”. Pareto merupakan nama seorang ekonom Italia yang
menemukan bukti empiris bahwa secara tipikal 80% dari kemakmuran
daerah hanya dikuasai oleh 20% dari populasi. Jika diaplikasikan
dalam pengendalian mutu, prinsip ini dapat berarti hanya sedikit
faktor (20%) sebagai penyebab timbulnya mayoritas (80%) masalah.
Misalnya, hanya 20% dari peralatan yang menyebabkan 80% terjadinya
downtime (waktu tunggu karena kerusakan mesin) (Herjanto, 2008).
Diagram Pareto merupakan grafik yang mengurutkan data secara
menurun dari kiri ke kanan. Data yang penting berada di sebelah
kiri dan yang lainnya disebelah kanan. Diagram ini digunakan untuk
mengklarifikasikan maslaah menurut sebab dan gejalanya. Masalah
akan didiagramkan menurut prioritas atau kepentingannya dengan
menggunakan diagram batang (Marimin, 2004). Fungsi diagram pareto
adalah untuk mengidentifikasi atau menyeleksi masalah utama untuk
peningkatan kualitas dari yang paling besar ke yang paling kecil.
Kegunaan diagram pareto adalah: 1) Menunjukkan masalah utama, 2)
Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan terhadap
keseluruhan, 3) Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan
perbaikan pada daerah yang terbatas, 4) Menunjukkan perbandingan
masing-masing persoalan sebelum dan setelah perbaikan (Fakhri,
2010). Diagram Pareto digunakan untuk mengidentifikasikan beberapa
permasalahan yang penting, untuk mencari cacat yang terbesar dan
yang paling berpengaruh. Pencarian cacat terbesar atau cacat yang
paling berpengaruh dapat berguna untuk mencari beberapa wakil dari
cacat yang teridentifikasi, kemudian dapat digunakan untuk membuat
diagram sebab akibat. Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat
sangat sulit untuk mencari penyebab dari semua cacat yang
teridentifikasi
-
14
(Fakhri, 2010). Ada beberapa langkah yang perlu diikuti untuk
menyajikan data dalam bentuk grafik sesuai prinsip pareto
(Al-Assaf, 2003):
1. Mengidentifikasi suatu masalah mutu yang akan dipelajari 2.
Menentukan dan laksanakan suatu metode pengumpulan data 3.
Mengelompokkan masalah tadi menurut jenisnya 4. Menghitung
frekuensi masalah menurut kategori tertentu 5. Meletakkan frekuensi
setiap kategori pada diagram batang
dan disusun menurut frekuensi yang terbanyak hingga terkecil
dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal (sumbu X). Dua sumbu
vertikal harus dibuat, sumbu vertikal sebelah kiri (sumbu Y) akan
dibagi menurut interval tertentu hingga mencapai jumlah frekuensi
tertinggi, sementara garis vertikal kanan dibagi menjadi besaran
presentase dari 0% hingga 100%. Diagram Pareto dapat dilihat pada
Gambar 2.1
Gambar 2.1 Diagram Pareto (Blocher dkk, 2007)
2.5.1.5 Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram) Diagram ini
disebut juga diagram tulang ikan (fishbone chart) dan berguna untuk
memperlihatkan faktor-faktor utama yang berpengaruh pada kualitas
dan mempunyai akibat pada masalah yang kita pelajari. Selain itu
kita juga dapat melihat faktor-faktor yang lebih terperinci yang
berpengaruh dan mempunyai akibat pada faktor utama tersebut
-
15
yang dapat kita lihat dari panah-panah yang berbentuk tulang
ikan pada diagram fishbone tersebut (Fakhri, 2010). Diagram sebab
akibat (cause and effect diagram) adalah metode grafis sederhana
untuk membuat hipotesis mengenai rantai penyebab dan akibat serta
untuk menyaring potensi penyebab dan mengorganisasikan hubungan
antar variabel (Evans dan Lindsay, 2007). Diagram sebab akibat ini
pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 oleh seorang pakar
kualitas dari Jepang yaitu Dr. Kaoru Ishikawa yang menggunakan
uraian grafis dari unsur-unsur proses untuk menganalisa
sumber-sumber potensial dari penyimpangan proses. Faktor-faktor
penyebab utama ini dapat dikelompokkan dalam : 1) Material / bahan
baku, 2) Machine / mesin, 3) Man / tenaga kerja, 4) Method /
metode, 5) Environment / lingkungan (Fakhri, 2010). Adapun kegunaan
dari diagram sebab akibat adalah: 1) Membantu mengidentifikasi akar
penyebab masalah, 2) Menganalisa kondisi yang sebenarnya yang
bertujuan untuk memperbaiki peningkatan kualitas, 3) Membantu
membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah, 4) Membantu dalam
pencarian fakta lebih lanjut, 5) Mengurangi kondisi-kondisi yang
menyebabkan ketidaksesuaian produk dengan keluhan konsumen, 6)
Menentukan standarisasi dari operasi yang sedang berjalan atau yang
akan dilaksanakan (Fakhri, 2010). Berikut ini tahapan yang
dilakukan dalam menyusun diagram sebab akibat (Herjanto, 2008):
1. Menentukan masalah atau akibat yang akan dicari penyebabnya.
Menuliskan di dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu yang
berada di ujung tulang utama
2. Menentukan grup faktor-faktor penyebab utama yang mungkin
menjadi penyebab masalah itu dan tuliskan masing-masing pada kotak
cabang. Pada umumnya, pengelompokkan didasarkan atas unsur
material, peralatan (mesin), metode kerja (manusia) dan pengukuran
(inspeksi).
3. Pada setiap cabang, ditulis faktor-faktor penyebab yang lebih
rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang
dianalisis.
4. Melakukan analisis dengan membandingkan data atau keadaan
dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan
akibat, sehingga dapat diketahui penyebab utama yang mengakibatkan
terjadinya maslaah mutu yang diamati.
2.5.2 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA pertama kali
muncul sekitar tahun 1960an sebagai metodologi formal pada industri
aerospace dan pertahanan. Sejak itu kemudian FMEA digunakan dan
distandarisasi oleh berbagai industri
-
16
di seluruh dunia. Beberapa pengertian FMEA (Failure Mode and
Effects Analysis), metodologi FMEA digambarkan seperti berikut
(Nurkertamanda dan Wulandari, 2009): a. FMEA (Failure Mode and
Effects Analysis) adalah teknik
engineering yang digunakan untuk mengidentifikasi,
memprioritaskan, dan mengurangi permasalahan dari sistem, desain,
atau proses sebelum permasalahan tersebut terjadi.
b. Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metodologi
yang dirancang untuk mengidentifikasi moda kegagalan potensial pada
suatu produk atau proses sebelum terjadi, mempertimbangkan resiko
yang berkaitan dengan moda kegagalan tersebut, mengidentifikasi
serta melaksanakan tindakan korektif untuk mengatasi masalah yang
paling penting.
c. FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) adalah alat yang
digunakan secara luas pada industri otomotif, aerospace, dan
elektronik untuk mengidentifikasi, memprioritaskan, dan
mengeliminasi potensi kegagalan, masalah, dan kesalahan sistem pada
desain sebelum produk diluncurkan.
FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) adalah suatu prosedur
terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin
mode kegagalan (failure mode). FMEA digunakan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab dari suatu masalah
kualitas. Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam
kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas spesifikasi
yang telah ditetapkan, atau perubahan dalam produk yang menyebabkan
terganggunya fungsi dari produk itu (Digilib ITS). Analisa FMEA
dapat berguna dalam menganalisa kegagalan proses yang potensial dan
mengevaluasi prioritas resiko untuk nantinya membantu menentukan
tindakan yang sesuai pada tahap implementasi (Kholil dan Cahyono,
2006). FMEA merupakan teknik analisa proses yang didalamnya memuat
modus kegagalan potensial dan penyebab kegagalan mekanis yang
muncul pada proses produksi (Phenter dan Safa, 2004). 2.6 Fuzzy
ME-MCDM (Multi Expert-Multi Criteria Decision Making) Multi
Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) merupakan suatu
metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik
dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu.
Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran, aturan-aturan atau standar
yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Secara umum MCDM
bertujuan untuk memilih aalternatif terbaik dari sekumpulan
alternatif berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Puspitorini dan
Serly, 2011).
-
17
Metode Fuzzy Multi Criteria Decision Making digunakan untuk
menyelesaikan problem decision making yang terdiri evaluasi multi
kriteria dari sekumpulan alternatif (Rochman, 2009). Menurut Aouam
(2003), pengambilan keputusan dalam struktur informasi yang tidak
pasti (uncertainty ) dan kabur (fuzziness) menggunakan metode
matematis yang bersifat crisp kurang tepat. Pendekatan metode yang
menggabungkan teori fuzzy dan subyektivitas (ambiguitas) untuk
mendapatkan pendekatan keputusan yang lebih tepat dan fleksibel.
Metode yang diusulkan dapat dilakukan dengan input yang bersifat
crisp dan fuzzy. Multi Criteria Decision Making (MCDM) merupakan
salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam area
pengambilan keputusan tujuan dari MCDM adalah memilih alternatif
terbaik dari beberapa alternatif eksklusif yang saling
menguntungkan atas dasar performansi umum dalam bermacam kriteria
(atribut) yang ditentukan oleh pengambil keputusan (Andayani dan
Djemari, 2012). Pengambil keputusan atau pakar yang dimaksud disini
adalah orang yang mempunyai keahlian khusus yang dapat
menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang
awam. Sebagai contoh, dokter adalah seorang pakar yang mampu
mendiagnosis penyakit pasien yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh
orang lain, contoh lain adalah psikolog dan montir (Kusrini, 2008).
Sistem pakar tersebut diharapkan mampu menangani ketidakjelasan,
ketidakpastian serta sifat dinamis dari variabel-variabel dalam
penentuan kualitas produk. Berdasarkan hal tersebut, dalam
membangun sistem pakar digunakan logika fuzzy yang mampu menangani
ketidakjelasn, ketidakpastian, variabel input stokastik dan sifat
dinamis dari berbagai variabel yang digunakan (Aly, 2005).
Fuzzy Multiple Criteria Decision Making (FMCDM) digunakan untuk
melakukan penilaian atau seleksi terhadap beberapa alternatif dalam
jumlah yang terbatas. Ada beberapa fitur umum yang akan digunakan
dalam MCDM yaitu (Kusumadewi, 2005): (a) Alternatif adalah
obyek-obyek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilih oleh pengambil keputusan, (b) Atribut sering juga disebut
sebagai karakteristik, komponen, atau kriteria keputusan. Meskipun
pada kebanyakan kriteria bersiifat satu level, namun tidak menutup
kemungkinan adanya sub criteria yang berhubungan dengan kriteria
yang telah diberikan, (c) Konflik antar kriteria, beberapa kriteria
biasanya mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya,
misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria
biaya, (d) Bobot keputusan menunjukkan kepentingan relatif dari
setiap kriteria, Wh=(h=1,2,….,Wn). Pada
-
18
MCDM akan dicari bobot kepentingan dari setiap kriteria, (e)
Matriks keputusan, suatu matriks keputusan X yang berukuran m x n,
berisi elemen-elemen xij, yang mempresentasikan rating dari
alternatif Ai(i=1,2,…,m) terhadap kriteria Cj(j=1,2,…,n). Menurut
Jaya dkk (2012), tahapan metode ini adalah sebagai berikut : (1)
menentukan pakar yang terlibat dalam kajian ini; (2) menentukan
alternatif strategi peningkatan mutu produk melalui wawancara
mendalam dengan para pakar; (3) menentukan kriteria berdasarkan
tingkat kepentingan dan hubungannya dengan strategi peningkatan
mutu produk; (4) menentukan label linguistik dari preferensi fuzzy
non numeric. 2.7 Penelitian Terdahulu Pada penelitian yang
dilakukan oleh Izzati (2013) berjudul Analisis Pengendalian
Kualitas Proses Produksi Susu Bubuk dengan Metode Lean Six Sigma di
PT Tigaraksa Satria Tbk ini menganalisis pengendalian kualitas
proses produksi susu bubuk. Penelitian memperlihatkan untuk
identifikasi aktivitas proses produksi susu bubuk sebesar 58,62%
merupakan Value Added Activity (VAA), 12,07% merupakan Non Value
Added Activity (NVAA), dan 29,31% merupakan Necessary but Non Value
Added Activity (NNVAA). Waste terjadi pada kategori (E), (D), (W),
(T), (I), (M), dan (E). Nilai DPMO untuk proses produksi susu bubuk
sebesar 7511,06 dengan nilai sigma sebesar 3,93. Kapabilitas proses
produksi susu bubuk sebesar 99,25% dan indeks kapabilitas proses
(Cp) sebesar 1,31. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya
penyimpangan produk yang dihasilkan antara lain manusia (perbedaan
ketrampilan, kurang memahami IM produksi, serta kurang teliti dan
konsentrasi), mesin (kondisi mesin kotor dan setting mesin tidak
sesuai), metode (metode setting mesin kurang baik), dan material
(material kemasan kurang baik). Sukardi dkk (2011) melakukan
penelitian yang berjudul Aplikasi Six Sigma Pada Pengujian Kualitas
Produk di UKM Keripik Apel Tinjauan dari Aspek Proses. Dalam tahap
Define, diketahui produk cacat terbanyak dihasilkan dari proses
spinning sebanyak 32,5%. Dalam tahap Measure Cp diperoleh sebesar
0,64 dan nilai sigma sebesar 2,11σ yang berarti bahwa kualitas
keripik apel yang dihasilkan oleh oleh industri cukup baik (berada
pada rata-rata sigma industri di Indonesia). Pada tahap Analyze
dengan menggunakan diagram tulang ikan, faktor penyebab keripik
hancur adalah mesin, manusia, dan metode. Rekomendasi yang
diberikan untuk mengurangi cacat antara lain melakukan eveluasi
pekerja yang dilakukan secara periodik menyusun SOP dan
menganalisis kembali jadwal maintenance.
-
19
Hartanto dkk (2014) juga meneliti mengenai Analisis Pengendalian
Kualitas proses Sealing dengan Pendekatan Metode Six Sigma Studi
Kasus di KSU Brossem, Batu yang berisi tentang pengendalian proses
produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengemasan
masih bekerja dengan baik dan berada di atas rata-rata industri
Indonesia. Hal ini dilihat dari nilai sigma yang didapat yaitu
sebesar 2.39, serta nilai final yield sebesar 81.2%. Akan tetapi,
masih perlu dilakukan perbaikan proses untuk menuju target 6 sigma.
Berdasarkan gambar diagram sebab akibat, faktor yang mempengaruhi
tutup gelas rusak adalah faktor manusia, mesin dan metode.
Permasalahan kelalaian pekerja, pemasangan bahan sealer kurang
tepat dan kurangnya pengawasan menjadi prioritas utama untuk segera
dilakukan perbaikan. Kartikasari dkk (2014) melakukan penelitian
yang berjudul Analisis Elemen Kunci dan Alternatif Perbaikan Mutu
Susu Pasteurisasi dengan Metode ISM dan Fuzzy ME-MCDM di KUD Dau,
Malang. Metode ISM digunakan untuk menentukan elemen kunci, dimana
terdapat 4 elemen yang diteliti yaitu elemen kebutuhan, kendala,
tujuan dan lembaga yang terlibat. Metode Fuzzy ME-MCDM digunakan
untuk menentukan alternatif kegiatan dalam pebaikan mutu, dimana
terdapat 3 alternatif yaitu perbaikan mutu bahan baku, perbaikan
proses produksi dan perbaikan penanganan pasca produksi serta 5
kriteria yaitu kemampuan SDM, lembaga pendukung, kecnggihan mesin
dan peralatan, penguasaan ilmu dan teknologi dan permodalan. Hasil
analisa data ISM yang dilakukan dapat diketahui bahwa yang menjadi
elemen kunci pada kebutuhan program adalah teknologi produksi,
standarisasi mutu susu pasteurisasi, permodalan, dan karyawan yang
kompeten. Untuk kendala program yaitu modal, sarana dan prasarana,
infrastruktur, kualitas, SDM, teknologi, dan kelembagaan. Untuk
tujuan program yaitu dengan meningkatkan penguasaan teknologi,
meningkatkan nilai tambah susu pasteurisasi, meningkatkan SDM yang
kompeten, dan perbaikan ekonomi KUD. Untuk lembaga yang terlibat
yaitu Dinas Koperasi, Perguruan Tinggi, serta Peneliti dan
Penyuluh. Hasil analisa data dengan Fuzzy ME-MCDM dapat diketahui
bahwa alternatif kegiatan yang harus dilakukan adalah perbaikan
mutu bahan baku dan perbaikan proses produksi. Paly dkk (2013)
dengan judul penelitian Interconnectivity Multi Crieria For
Suistanable Development of Beet Cattle bertujuan untuk menganalisis
pemangku kepentingan multi kriteria dalam pengembangan sapi potong
yang berkelanjutan dengan menggunakan Participatory Rural Appraisal
(PRA). Analisis tingkat kriteria-subcriterion dilakukan dengan
menggunakan Analytical Hierarchy
-
20
Process (AHP). Hasil menunjukkan bahwa kriteria ekonomi (E)
menjadi prioritas utama, diikuti oleh kriteria lainnya. Sementara
subkriteria dan analisis interkonektivitas mengungkapkan bahwa
prioritas pembangunan sapi potong berkelanjutan yang
terinterkoneksi dengan penambahan investasi pada anggaran sktor
(E2), pembentukan masyarakat petani ternak (S3), fungsi ekologi
yang diawetkan (L1) dengan kriteria dan subkriteria, meninggalkan
Teknologi eksperimental dan teknologi usang (T2). Meskipun
pengembangan sapi potong berkelanjutan memiliki kompleksitas (multi
stakeholder dan multi kriteria), harus difasilitasi untuk
memberikan kontribusi satu sama lain menuju satu misi dan tujuan
yang sama yaitu, pengembangan sapi potong yang berkelanjutan.