Top Banner
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sari Apel Apel (Malus sylvestris Mill) adalah tanaman yang berasal dari daerah subtropis. Di Indonesia beredar dua jenis apel, yaitu apel impor maupun apel lokal. Terdapat empat varietas apel yang dikembangkan oleh petani, yaitu Manalagi, Anna, Rome beauty, dan Wangling. Pemanfaatan dan peningkatan nilai ekonomis terhadap apel lokal dapat dilakukan melalui diversifikasi produk. Salah satu produk olahan apel yang cukup dikenal yaitu sari buah apel (Sari dkk, 2012). Definisi sari buah menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK. No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan mengatur definisi dan karakteristik dasar sari buah, terkait ketentuan bahan baku, proses pengolahan dan produk jadi, adalah cairan yang diperoleh dari bagian buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika dibutuhkan), dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat dikonsumsi langsung. Sari buah dapat berisi hancuran buah serta berpenampakan keruh atau jernih. Produk sari buah dapat dibuat dari satu atau campuran berbagai jenis buah. Sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Pembuatan sari buah terutama ditujukan untuk meningkatkan ketahanan simpan serta daya guna buah-buahan (Kemenristek RI 2010). Tahapan proses produksi sari apel di KSU BROSEM dimulai dari proses penyiapan bahan baku, proses pensortiran buah kemudian dicuci dan dipotong, proses perebusan sehingga menjadi ekstrak apel, proses filtrasi, proses pencampuran dengan air, gula dan bahan tambahan lainnya, proses sterilisasi, proses pengemasan, proses pencucian atau pendinginan, proses pengepakan, dan proses distribusi (Revila dkk, 2014). 2.2 Pengendalian Kualitas Produk Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono dan Diana, 2003). Kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen, sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi sebagai nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian terhadap persyaratan (Yamit, 2004). Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas adalah kecocokan atau kesesuaian antara produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan kebutuhan yang diinginkan konsumen.
16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijayarepository.ub.ac.id/150278/3/BAB_II.pdf · 2.1 Sari Apel Apel (Malus sylvestris Mill) adalah tanaman yang berasal dari daerah subtropis.

Oct 23, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sari Apel Apel (Malus sylvestris Mill) adalah tanaman yang berasal dari daerah subtropis. Di Indonesia beredar dua jenis apel, yaitu apel impor maupun apel lokal. Terdapat empat varietas apel yang dikembangkan oleh petani, yaitu Manalagi, Anna, Rome beauty, dan Wangling. Pemanfaatan dan peningkatan nilai ekonomis terhadap apel lokal dapat dilakukan melalui diversifikasi produk. Salah satu produk olahan apel yang cukup dikenal yaitu sari buah apel (Sari dkk, 2012). Definisi sari buah menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK. No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan mengatur definisi dan karakteristik dasar sari buah, terkait ketentuan bahan baku, proses pengolahan dan produk jadi, adalah cairan yang diperoleh dari bagian buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika dibutuhkan), dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat dikonsumsi langsung. Sari buah dapat berisi hancuran buah serta berpenampakan keruh atau jernih. Produk sari buah dapat dibuat dari satu atau campuran berbagai jenis buah. Sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Pembuatan sari buah terutama ditujukan untuk meningkatkan ketahanan simpan serta daya guna buah-buahan (Kemenristek RI 2010). Tahapan proses produksi sari apel di KSU BROSEM dimulai dari proses penyiapan bahan baku, proses pensortiran buah kemudian dicuci dan dipotong, proses perebusan sehingga menjadi ekstrak apel, proses filtrasi, proses pencampuran dengan air, gula dan bahan tambahan lainnya, proses sterilisasi, proses pengemasan, proses pencucian atau pendinginan, proses pengepakan, dan proses distribusi (Revila dkk, 2014). 2.2 Pengendalian Kualitas Produk Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono dan Diana, 2003). Kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen, sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi sebagai nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian terhadap persyaratan (Yamit, 2004). Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas adalah kecocokan atau kesesuaian antara produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan kebutuhan yang diinginkan konsumen.

  • 6

    Pengendalian kualitas bagaimana organisasi menerapkan produk-produk manajemen kualitas secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar (Gasperz, 2005). Adapun pengertian kualitas menurut American Society For Quality yang dikutip oleh Heizer & Render (2006), ”Quality is the totality of features and characteristic of a product or service that bears on it’s ability to satisfy stated or implied need.” Artinya kualitas/mutu adalah keseluruhan corak dan karakteristik dari produk atau jasa yang berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi. Pengendalian kualitas juga menjamin barang atau jasa yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya pada pengendalian produksi. Dengan demikian antara pengendalian produksi dan pengendalian kualitas erat kaitannya dalam pembuatan barang (Fakhri, 2010). Minuman sari buah memiliki spesifikasi tertentu menurut SNI. Hal-hal yang diujikan meliputi keadaan sari buah, bilangan formal, BTM, cemaran logam, cemaran arsen dan cemaran mikroba ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.

    2.3 Kapabilitas Proses Kapailitas proses merupakan kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan (Sugian, 2006). Secara umum, analisis kapabilitas proses merupakan suatu studi untuk menaksir kemampuan proses, yaitu apakah produk sudah memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau belum. Untuk melihat kapabilitas proses, diperlukan suatu ukuran kuantitatif proses yaitu indeks kapabilitas, yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu proses. Berdasarkan standart mutu 3-sigma, suatu produk dikatakan mampu apabila memiliki indeks kapabilitas lebih dari 1,33. Indeks kapabilitas proses ini dapat dinyatakan dalam berbagai perhitungan yang berbeda. Kegunaan analisis kapabilitas proses diantaranya (Ruhim, 2007):

    1. Memberi informasi mengenai variabilitas dalam proses produksi

    2. Memprediksi kebaikan proses dalam memenuhi toleransi 3. Membantu perancang produk dalam memilih dan

    memodifikasi proses 4. Membantu menetapkan interval sampling untuk pengendalian

    proses 5. Menspesifikasi persyaratan performance untuk alat baru 6. Memilih suplier yang kompetitif

  • 7

    Tabel 2.1 Syarat Mutu Minuman Sari Buah No Jenis Uji Satuan Persyaratan

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    Keadaan [1]

    1.1 Aroma 1.2 Rasa 1.3 Bau pH

    1

    Padatan Terlarut1

    Gula (Sukrosa)1

    Bilangan Formal1

    BTM 6.1 Pemanis Buatan 6.2 Pewarna Tambahan 6.3 Pengawet 6.4 Asam Malat 6.5 Asam Sitrat Cemaran Logam

    1

    7.1 Tembaga 7.2 Timbal 7.3 Timah 7.4 Raksa 7.5 Seng Cemaran Arsen

    2

    Cemaran Mikroba2

    9.1 Angka Lempeng Total 9.2 Bakteri Bentuk Coli 9.3 Escherecia Coli 9.4 Staphylococus aureus 9.5 Salmonella

    9.6 Kapang 9.7 Khamir

    - - - - b/b % b/b % Ml NaOH 0,1 N/100 ml - Gram/Kg Mg/Kg Mg/Kg - - Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Kloni/ml APM/ml APM/ml Koloni/ml Koloni/25ml Koloni/ml Koloni/ml

    Normal Normal Normal Maksimal 4 Minimal 10/11 Maksimal 5 Min 7 - Maksimal 3 Maksimal 300 Maksimal 600 Secukupnya Secukupnya Maks 50 Maks 0,30 Maks 40/250 Maks 0,03 Maks 5 Maks 0,20 Maks 2x10

    2

    Maks 20

  • 8

    statistik dan problem solving tools secara intensif. Metode ini lebih dikenal sebagai sebuah metode peningkatan kualitas dan strategi bisnis yang tidak menghasilkan cacat (defect) melebihi 3,4 per 1 juta kesempatan (Latief dan Retyaning, 2009). Aplikasi Six Sigma berfokus pada cacat dan variasi, dimulai dengan mengidentifikasi unsur–unsur kritis terhadap kualitas (CTQ) dari suatu proses. Six Sigma menganalisa kemampuan proses dan bertujuan menstabilkannya dengan cara mengurangi atau menghilangkan variasi–variasi. Langkah mengurangi cacat dan variasi dilakukan secara sistematis dengan mendefinisikan, mengukur, menganalisa, memperbaiki, dan mengendalikannya. Langkah sistematis dalam Six Sigma dikenal dengan metode DMAIC. Team Six Sigma didalam menyelesaikan proyek yang spesifik untuk dapat meraih level Six Sigma perlu berpedoman pada 5 fase pada DMAIC tersebut (Gazperzs, 2002).

    a. Define Fase Define (D) dilakukan pendefinisian proyek dan tujuan

    yang hendak dicapai berdasarkan keinginan dan feedback pelanggan. Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas six sigma. Tools yang digunakan berupa Diagram Aliran Proses, Diagram Input-Proces-Output (Phenter dan Safa, 2004). Selain itu menurut Gazperzs (2007), tools/alat yang digunakan antara lain yaitu: CTQ, QFD, Tree Diagram, In and Out Frame, SIPOC, Macro Process Map, 5W+1H dan Project Charter. CTQ (Critical to Quality) adalah hal yang perlu didefinisikan berdasarkan input dari pelanggan terhadap kualitas yang diinginkan terhadap produk

    b. Measure Fase Measure (M) merupakan langkah operasional kedua

    dalam program peningkatan kualitas six sigma. Measure akan memilih indikator kinerja dan menentukan pengukuran baseline. Six Sigma team harus mengidentifikasi proses internal kunci yang mempengaruhi CTQ dan perlu mengukur cacat yang relevan dengan CTQ dan proses internal kunci-nya. Measure artinya mengukur kinerja proses saat ini sebagai patokan awal dan dibandingkan dengan target yang ditetapkan (Sukmoro, 2010). Tools yang digunakan pada proses ini adalah Process Mapping, Sampling Techniques, Sigma Level dan Process Capability (Gazperzs, 2007).

    c. Analyze Fase Analyze (A), dilakukan analisa yang mendalam

    mengenai penyebab utama dari cacat yang terjadi. Team Six

  • 9

    Sigma perlu menemukan mengapa cacat terjadi dari hasil identifikasi variable kunci yang menjadi penyebab timbulnya variasi pada proses. Pada tahap ini dilakukan analisa stabilitas proses, serta sumber-sumber dan akar penyebab masalah yang menghambat peningkatan kinerja organisasi (Gaspersz, 2008). Dalam tahap Analyze, tools yang digunakan adalah Diagram Pareto, Diagram Sebab-Akibat, dan pembuatan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) (Phenter dan Safa, 2004). Selain itu menurut Gazperzs (2007), tools dari proses Analyze terdiri dari Cause and Effect Matrix, FMEA, Scatter Plot, Run Chart dan Hypotesis Testing.

    d. Improve Fase Improve (I) akan melakukan upaya perbaikan agar

    penyebab dari cacat tidak terjadi atau semakin tereduksi. Team Six Sigma perlu mengkonfirmasi variabel kunci, mengkuantifikasi efek dari CTQ ini, dan menjalankan proyek perbaikan. Improve adalah pengembangan dengan uji coba dan penerapan solusi yang telah direkomendasikan sehingga tercipta kemampuan proses optimal untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan panduan mutu, persyaratan, pelanggan dan target produksi (Sukmoro, 2010). Menurut Phanter dan Safa (2004), tools yang digunakan dalam fase ini adalah implementasi dari Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).

    e. Control Fase Control (C), dilakukan agar team Six Sigma dan operator

    dapat memelihara peningkatan kualitas menuju kualitas level 6 (six). Control dapat dilakukan dengan mendokumentasikan hasil-hasil peningkatan kinerja organisasi dan menstandarisasikan praktik-praktik kerja terbaik dari proyek six sigma ke dalam prosedur-prosedur kerja agar dijadikan sebagai pedoman kerja standar (Gaspersz, 2008). Tools yang digunakan pada tahap Control adalah FMEA, Time Series Chart, Control Chart dan poka Yoke (Gazperzs, 2007).

    Menurut Gasperzs (2008), fokus Six Sigma terdiri dari mengurangi variasi proses, identifikasi akar-akar penyebab dari masalah, menciptakan output proses yang seragam dan bebas cacat, sangat penting untuk meningkatkan kapabilitas proses dan kualitas produk. Suatu proses mencapai Six Sigma berarti dalam satu juta peluang hanya terdapat 3,4 cacat dan proses tersebut dapat dikatakan mendekati sempurna. Defect Per Million Opportunities merupakan ukuran kegagalan program peningkatan kualitas six sigma yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per sejuta kesempatan

  • 10

    (Brue, 2000 dalam Yuniawan, 2008). Konversi Six Sigma dengan jumlah cacat produk per satu juta produksi (Defect per Million) dapat dilihat pada Tabel 2.2

    Tabel 2.2 Konversi Level Sigma terhadap DPMO, Yield, dan Cpk

    Tingkat Pencapaian

    Sigma

    DPMO (Defect per Million

    Opportunities)

    COPQ (Cost of Poor

    Quality)

    Yield Cpk

    1,5-Sigma 500.000 (Sangat Tidak Kompetitif)

    Tidak Dapat Dihitung

    50 % 0,50

    3-Sigma 66.807 (Rata-Rata Industri Indonesia)

    Tidak Dapat Dihitung

    93, 320 % 1,00

    3,5-Sigma 22.700 25-40% dari penjualan

    97,730 % 1,17

    4-Sigma 6.210 (Rata-Rata Industri Amerika)

    15-25 % dari penjualan

    99, 370 % 1,33

    4,5-Sigma 1.350 5-15% dari penjualan

    99,8650 % 1,50

    5-Sigma 233

  • 11

    mempunyai 7 (tujuh) alat statistik utama yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengendalikan kualitas sebagaimana disebutkan juga oleh Heizer dan Render dalam bukunya Manajemen Operasi (2006:263-268), antara lain yaitu; check sheet, histogram, control chart, diagram pareto, diagram sebab akibat, scatter diagram dan diagam proses. 2.5.1.1 Diagram Proses (Flow Chart) Diagram alir proses (Flow Chart) dilakukan untuk mengidentifikasi urutan aktivitas atau aliran berbagai bahan baku dan informasi di dalam suatu proses. Diagram alir dapat membantu orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut untuk memahaminya secara lebih baik dan lebih objektif dengan cara memberikan gambaran mengenai langkah-langkah yang dibutuhkan (Evans dan Lindsay, 2007). Terdapat banyak cara dan metode untuk menggambarkan sebuah flow chart. Beberapa paket software komputer didesain untuk menggambar flowchart. Tidak terdapat metode yang paling baik atau buruk dalam menggambarkan flow chart. Perlu diperhatikan bahwa konsisten dalam menggunakan simbol yang dipilih, selain itu juga dapat dipastikan bahwa produk akhir yang dihasilkan dapat dipahami oleh semua orang yang diinginkan. 2.5.1.2 Check Sheet Data untuk proyek Six Sigma dapat dikumpulkan melalui berbagai cara. Hampir semua jenis formulir dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Lembar pemeriksaan (Check Shet) menggunakan formulir berbentuk kolom atau tabel ntuk merekam data. Lembar pemeriksaan (Check Shet) adalah sejenis formulir pengumpulan data khusus yang hasilnya dapat diintepretasikan pada formulir tersebut secara langsung tanpa membutuhkan pemrosesan lebih lanjut (Evans dan Lindsay, 2007). Menurut Gazpersz (2003), check sheet atau lembar periksaan adalah suatu formulir dimana item-item yang akan diperiksa telah dicetak dalam formulir itu dengan maksud agar data dapat dikumpulkan secara mudah dan ringkas. 2.5.1.3 Peta Kontrol (Control Chart) Peta kendali adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas/ proses berada dalam pengendalian kualitas secara statistika atau tidak sehingga dapat memecahkan masalah dan menghasilkan perbaikan kualitas. Control chart dibagi menjadi dua bagian yaitu (Rochatama, 2009):

  • 12

    a. Control chart untuk variable, variabel adalah karakteristik yang mempunyai dimensi berkesinambungan dan dapat diukur, pengukuran data dilakukan dan ditata dalam suatu bagan. Macam control chart untuk variable adalah X-bar chart, R-chart dan S chart. X-bar menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam ukuran titik pusat atau rata-rata dari suatu proses. Peta kontrol R menjelaskan tentang perubahan-perubahan dalam ukuran variasi. S chart menggunakan deviasi standar sampel yang diplot agar dapat mengendalikan variabilitas dari variabel (Marimin, 2004).

    b. Control chart untuk atribut, digunakan untuk pengukuran sampel dengan karakteristik produk yang dievaluasi dengan pilihan kategori “baik atau buruk, ya atau tidak”. Macam control chart untuk atribut (Marimin, 2004):

    1) C-chart Peta control c didasarkan pada titik spesifik yang tidak memenuhi syarat dalam produk itu, sehingga suatu produk dapat saja dianggap memenuhi syarat meskipun mengandung satu atau beberapa titik spesifik cacat. Pada kontrol c membutuhkan ukuran contoh konstan atau banyaknya item yang diperiksa bersifat konstan untuk setiap periode pengamatan.. Bagan pengawasan ini digunakan berkenaan dengan rasio-rasio kerusakan barang yang diambil secara acak dan menghitung serta menentukan batas control atas (UCL) dan batas control bawah (LCL) dari sampel yang diperiksa, kemudian menggambarkan bagan masing-masing batas control tersebut.

    2) P-chart Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian (penyimpangan atau sering disebut cacat) dari kelompok suatu inspeksi yang berarti untuk mengendalikan proporsi item yang tidak memenuhi spesifikasi dalam suatu proses. Pada bagan ini, kita memplot prosentase barang defektif/rusak (per tumpukan/batch per hari, per mesin, dan sebagainya). Namun batas kendali dalam bagan ini tidak didasarkan pada distribusi tingkat kejadian tapi menggunakan distribusi dari proporsi.

    3) np-chart pada dasarnya np chart serupa dengan p chart, kecuali pada peta kontrol np terjadi perubahan skala pengukuran. Penggunaan np chart cocok untuk situasi seperti berikut: (1) data banyaknya item yang tidak sesuai adalah lebih

  • 13

    bermanfaat dan mudah untuk diinterpretasikan dalam bentuk laporan dibandingkan data proporsi dan (2) ukuran contoh bersifat konstan dari waktu ke waktu.

    4) U-chart Peta kontrol u mengukur banyaknya ketidaksesuaian per unit inspeksi dalam periode pengamatan. Peta kontrol u serupa dengan peta control c, kecuali bahwa banyaknya ketidaksesuaian dinyatakan dalam basis per unit item. Bagan ini menunjukan nonconformities per unit yang dihasilkan melalui proses produksi atau manufaktur.

    2.5.1.4 Diagram Pareto Diagram pareto diperkenalkan oleh Joseph M. Juran, yang menggunakan prinsip Pareto “The Critical Few the Trival Many”. Pareto merupakan nama seorang ekonom Italia yang menemukan bukti empiris bahwa secara tipikal 80% dari kemakmuran daerah hanya dikuasai oleh 20% dari populasi. Jika diaplikasikan dalam pengendalian mutu, prinsip ini dapat berarti hanya sedikit faktor (20%) sebagai penyebab timbulnya mayoritas (80%) masalah. Misalnya, hanya 20% dari peralatan yang menyebabkan 80% terjadinya downtime (waktu tunggu karena kerusakan mesin) (Herjanto, 2008). Diagram Pareto merupakan grafik yang mengurutkan data secara menurun dari kiri ke kanan. Data yang penting berada di sebelah kiri dan yang lainnya disebelah kanan. Diagram ini digunakan untuk mengklarifikasikan maslaah menurut sebab dan gejalanya. Masalah akan didiagramkan menurut prioritas atau kepentingannya dengan menggunakan diagram batang (Marimin, 2004). Fungsi diagram pareto adalah untuk mengidentifikasi atau menyeleksi masalah utama untuk peningkatan kualitas dari yang paling besar ke yang paling kecil. Kegunaan diagram pareto adalah: 1) Menunjukkan masalah utama, 2) Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan terhadap keseluruhan, 3) Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah yang terbatas, 4) Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan setelah perbaikan (Fakhri, 2010). Diagram Pareto digunakan untuk mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang penting, untuk mencari cacat yang terbesar dan yang paling berpengaruh. Pencarian cacat terbesar atau cacat yang paling berpengaruh dapat berguna untuk mencari beberapa wakil dari cacat yang teridentifikasi, kemudian dapat digunakan untuk membuat diagram sebab akibat. Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat sangat sulit untuk mencari penyebab dari semua cacat yang teridentifikasi

  • 14

    (Fakhri, 2010). Ada beberapa langkah yang perlu diikuti untuk menyajikan data dalam bentuk grafik sesuai prinsip pareto (Al-Assaf, 2003):

    1. Mengidentifikasi suatu masalah mutu yang akan dipelajari 2. Menentukan dan laksanakan suatu metode pengumpulan data 3. Mengelompokkan masalah tadi menurut jenisnya 4. Menghitung frekuensi masalah menurut kategori tertentu 5. Meletakkan frekuensi setiap kategori pada diagram batang

    dan disusun menurut frekuensi yang terbanyak hingga terkecil dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal (sumbu X). Dua sumbu vertikal harus dibuat, sumbu vertikal sebelah kiri (sumbu Y) akan dibagi menurut interval tertentu hingga mencapai jumlah frekuensi tertinggi, sementara garis vertikal kanan dibagi menjadi besaran presentase dari 0% hingga 100%. Diagram Pareto dapat dilihat pada Gambar 2.1

    Gambar 2.1 Diagram Pareto (Blocher dkk, 2007)

    2.5.1.5 Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram) Diagram ini disebut juga diagram tulang ikan (fishbone chart) dan berguna untuk memperlihatkan faktor-faktor utama yang berpengaruh pada kualitas dan mempunyai akibat pada masalah yang kita pelajari. Selain itu kita juga dapat melihat faktor-faktor yang lebih terperinci yang berpengaruh dan mempunyai akibat pada faktor utama tersebut

  • 15

    yang dapat kita lihat dari panah-panah yang berbentuk tulang ikan pada diagram fishbone tersebut (Fakhri, 2010). Diagram sebab akibat (cause and effect diagram) adalah metode grafis sederhana untuk membuat hipotesis mengenai rantai penyebab dan akibat serta untuk menyaring potensi penyebab dan mengorganisasikan hubungan antar variabel (Evans dan Lindsay, 2007). Diagram sebab akibat ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 oleh seorang pakar kualitas dari Jepang yaitu Dr. Kaoru Ishikawa yang menggunakan uraian grafis dari unsur-unsur proses untuk menganalisa sumber-sumber potensial dari penyimpangan proses. Faktor-faktor penyebab utama ini dapat dikelompokkan dalam : 1) Material / bahan baku, 2) Machine / mesin, 3) Man / tenaga kerja, 4) Method / metode, 5) Environment / lingkungan (Fakhri, 2010). Adapun kegunaan dari diagram sebab akibat adalah: 1) Membantu mengidentifikasi akar penyebab masalah, 2) Menganalisa kondisi yang sebenarnya yang bertujuan untuk memperbaiki peningkatan kualitas, 3) Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah, 4) Membantu dalam pencarian fakta lebih lanjut, 5) Mengurangi kondisi-kondisi yang menyebabkan ketidaksesuaian produk dengan keluhan konsumen, 6) Menentukan standarisasi dari operasi yang sedang berjalan atau yang akan dilaksanakan (Fakhri, 2010). Berikut ini tahapan yang dilakukan dalam menyusun diagram sebab akibat (Herjanto, 2008):

    1. Menentukan masalah atau akibat yang akan dicari penyebabnya. Menuliskan di dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu yang berada di ujung tulang utama

    2. Menentukan grup faktor-faktor penyebab utama yang mungkin menjadi penyebab masalah itu dan tuliskan masing-masing pada kotak cabang. Pada umumnya, pengelompokkan didasarkan atas unsur material, peralatan (mesin), metode kerja (manusia) dan pengukuran (inspeksi).

    3. Pada setiap cabang, ditulis faktor-faktor penyebab yang lebih rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang dianalisis.

    4. Melakukan analisis dengan membandingkan data atau keadaan dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan akibat, sehingga dapat diketahui penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya maslaah mutu yang diamati.

    2.5.2 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA pertama kali muncul sekitar tahun 1960an sebagai metodologi formal pada industri aerospace dan pertahanan. Sejak itu kemudian FMEA digunakan dan distandarisasi oleh berbagai industri

  • 16

    di seluruh dunia. Beberapa pengertian FMEA (Failure Mode and Effects Analysis), metodologi FMEA digambarkan seperti berikut (Nurkertamanda dan Wulandari, 2009): a. FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) adalah teknik

    engineering yang digunakan untuk mengidentifikasi, memprioritaskan, dan mengurangi permasalahan dari sistem, desain, atau proses sebelum permasalahan tersebut terjadi.

    b. Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metodologi yang dirancang untuk mengidentifikasi moda kegagalan potensial pada suatu produk atau proses sebelum terjadi, mempertimbangkan resiko yang berkaitan dengan moda kegagalan tersebut, mengidentifikasi serta melaksanakan tindakan korektif untuk mengatasi masalah yang paling penting.

    c. FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) adalah alat yang digunakan secara luas pada industri otomotif, aerospace, dan elektronik untuk mengidentifikasi, memprioritaskan, dan mengeliminasi potensi kegagalan, masalah, dan kesalahan sistem pada desain sebelum produk diluncurkan.

    FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). FMEA digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab dari suatu masalah kualitas. Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu (Digilib ITS). Analisa FMEA dapat berguna dalam menganalisa kegagalan proses yang potensial dan mengevaluasi prioritas resiko untuk nantinya membantu menentukan tindakan yang sesuai pada tahap implementasi (Kholil dan Cahyono, 2006). FMEA merupakan teknik analisa proses yang didalamnya memuat modus kegagalan potensial dan penyebab kegagalan mekanis yang muncul pada proses produksi (Phenter dan Safa, 2004). 2.6 Fuzzy ME-MCDM (Multi Expert-Multi Criteria Decision Making) Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) merupakan suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran, aturan-aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Secara umum MCDM bertujuan untuk memilih aalternatif terbaik dari sekumpulan alternatif berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Puspitorini dan Serly, 2011).

  • 17

    Metode Fuzzy Multi Criteria Decision Making digunakan untuk menyelesaikan problem decision making yang terdiri evaluasi multi kriteria dari sekumpulan alternatif (Rochman, 2009). Menurut Aouam (2003), pengambilan keputusan dalam struktur informasi yang tidak pasti (uncertainty ) dan kabur (fuzziness) menggunakan metode matematis yang bersifat crisp kurang tepat. Pendekatan metode yang menggabungkan teori fuzzy dan subyektivitas (ambiguitas) untuk mendapatkan pendekatan keputusan yang lebih tepat dan fleksibel. Metode yang diusulkan dapat dilakukan dengan input yang bersifat crisp dan fuzzy. Multi Criteria Decision Making (MCDM) merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam area pengambilan keputusan tujuan dari MCDM adalah memilih alternatif terbaik dari beberapa alternatif eksklusif yang saling menguntungkan atas dasar performansi umum dalam bermacam kriteria (atribut) yang ditentukan oleh pengambil keputusan (Andayani dan Djemari, 2012). Pengambil keputusan atau pakar yang dimaksud disini adalah orang yang mempunyai keahlian khusus yang dapat menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang awam. Sebagai contoh, dokter adalah seorang pakar yang mampu mendiagnosis penyakit pasien yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang lain, contoh lain adalah psikolog dan montir (Kusrini, 2008). Sistem pakar tersebut diharapkan mampu menangani ketidakjelasan, ketidakpastian serta sifat dinamis dari variabel-variabel dalam penentuan kualitas produk. Berdasarkan hal tersebut, dalam membangun sistem pakar digunakan logika fuzzy yang mampu menangani ketidakjelasn, ketidakpastian, variabel input stokastik dan sifat dinamis dari berbagai variabel yang digunakan (Aly, 2005).

    Fuzzy Multiple Criteria Decision Making (FMCDM) digunakan untuk melakukan penilaian atau seleksi terhadap beberapa alternatif dalam jumlah yang terbatas. Ada beberapa fitur umum yang akan digunakan dalam MCDM yaitu (Kusumadewi, 2005): (a) Alternatif adalah obyek-obyek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih oleh pengambil keputusan, (b) Atribut sering juga disebut sebagai karakteristik, komponen, atau kriteria keputusan. Meskipun pada kebanyakan kriteria bersiifat satu level, namun tidak menutup kemungkinan adanya sub criteria yang berhubungan dengan kriteria yang telah diberikan, (c) Konflik antar kriteria, beberapa kriteria biasanya mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya, misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria biaya, (d) Bobot keputusan menunjukkan kepentingan relatif dari setiap kriteria, Wh=(h=1,2,….,Wn). Pada

  • 18

    MCDM akan dicari bobot kepentingan dari setiap kriteria, (e) Matriks keputusan, suatu matriks keputusan X yang berukuran m x n, berisi elemen-elemen xij, yang mempresentasikan rating dari alternatif Ai(i=1,2,…,m) terhadap kriteria Cj(j=1,2,…,n). Menurut Jaya dkk (2012), tahapan metode ini adalah sebagai berikut : (1) menentukan pakar yang terlibat dalam kajian ini; (2) menentukan alternatif strategi peningkatan mutu produk melalui wawancara mendalam dengan para pakar; (3) menentukan kriteria berdasarkan tingkat kepentingan dan hubungannya dengan strategi peningkatan mutu produk; (4) menentukan label linguistik dari preferensi fuzzy non numeric. 2.7 Penelitian Terdahulu Pada penelitian yang dilakukan oleh Izzati (2013) berjudul Analisis Pengendalian Kualitas Proses Produksi Susu Bubuk dengan Metode Lean Six Sigma di PT Tigaraksa Satria Tbk ini menganalisis pengendalian kualitas proses produksi susu bubuk. Penelitian memperlihatkan untuk identifikasi aktivitas proses produksi susu bubuk sebesar 58,62% merupakan Value Added Activity (VAA), 12,07% merupakan Non Value Added Activity (NVAA), dan 29,31% merupakan Necessary but Non Value Added Activity (NNVAA). Waste terjadi pada kategori (E), (D), (W), (T), (I), (M), dan (E). Nilai DPMO untuk proses produksi susu bubuk sebesar 7511,06 dengan nilai sigma sebesar 3,93. Kapabilitas proses produksi susu bubuk sebesar 99,25% dan indeks kapabilitas proses (Cp) sebesar 1,31. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya penyimpangan produk yang dihasilkan antara lain manusia (perbedaan ketrampilan, kurang memahami IM produksi, serta kurang teliti dan konsentrasi), mesin (kondisi mesin kotor dan setting mesin tidak sesuai), metode (metode setting mesin kurang baik), dan material (material kemasan kurang baik). Sukardi dkk (2011) melakukan penelitian yang berjudul Aplikasi Six Sigma Pada Pengujian Kualitas Produk di UKM Keripik Apel Tinjauan dari Aspek Proses. Dalam tahap Define, diketahui produk cacat terbanyak dihasilkan dari proses spinning sebanyak 32,5%. Dalam tahap Measure Cp diperoleh sebesar 0,64 dan nilai sigma sebesar 2,11σ yang berarti bahwa kualitas keripik apel yang dihasilkan oleh oleh industri cukup baik (berada pada rata-rata sigma industri di Indonesia). Pada tahap Analyze dengan menggunakan diagram tulang ikan, faktor penyebab keripik hancur adalah mesin, manusia, dan metode. Rekomendasi yang diberikan untuk mengurangi cacat antara lain melakukan eveluasi pekerja yang dilakukan secara periodik menyusun SOP dan menganalisis kembali jadwal maintenance.

  • 19

    Hartanto dkk (2014) juga meneliti mengenai Analisis Pengendalian Kualitas proses Sealing dengan Pendekatan Metode Six Sigma Studi Kasus di KSU Brossem, Batu yang berisi tentang pengendalian proses produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengemasan masih bekerja dengan baik dan berada di atas rata-rata industri Indonesia. Hal ini dilihat dari nilai sigma yang didapat yaitu sebesar 2.39, serta nilai final yield sebesar 81.2%. Akan tetapi, masih perlu dilakukan perbaikan proses untuk menuju target 6 sigma. Berdasarkan gambar diagram sebab akibat, faktor yang mempengaruhi tutup gelas rusak adalah faktor manusia, mesin dan metode. Permasalahan kelalaian pekerja, pemasangan bahan sealer kurang tepat dan kurangnya pengawasan menjadi prioritas utama untuk segera dilakukan perbaikan. Kartikasari dkk (2014) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Elemen Kunci dan Alternatif Perbaikan Mutu Susu Pasteurisasi dengan Metode ISM dan Fuzzy ME-MCDM di KUD Dau, Malang. Metode ISM digunakan untuk menentukan elemen kunci, dimana terdapat 4 elemen yang diteliti yaitu elemen kebutuhan, kendala, tujuan dan lembaga yang terlibat. Metode Fuzzy ME-MCDM digunakan untuk menentukan alternatif kegiatan dalam pebaikan mutu, dimana terdapat 3 alternatif yaitu perbaikan mutu bahan baku, perbaikan proses produksi dan perbaikan penanganan pasca produksi serta 5 kriteria yaitu kemampuan SDM, lembaga pendukung, kecnggihan mesin dan peralatan, penguasaan ilmu dan teknologi dan permodalan. Hasil analisa data ISM yang dilakukan dapat diketahui bahwa yang menjadi elemen kunci pada kebutuhan program adalah teknologi produksi, standarisasi mutu susu pasteurisasi, permodalan, dan karyawan yang kompeten. Untuk kendala program yaitu modal, sarana dan prasarana, infrastruktur, kualitas, SDM, teknologi, dan kelembagaan. Untuk tujuan program yaitu dengan meningkatkan penguasaan teknologi, meningkatkan nilai tambah susu pasteurisasi, meningkatkan SDM yang kompeten, dan perbaikan ekonomi KUD. Untuk lembaga yang terlibat yaitu Dinas Koperasi, Perguruan Tinggi, serta Peneliti dan Penyuluh. Hasil analisa data dengan Fuzzy ME-MCDM dapat diketahui bahwa alternatif kegiatan yang harus dilakukan adalah perbaikan mutu bahan baku dan perbaikan proses produksi. Paly dkk (2013) dengan judul penelitian Interconnectivity Multi Crieria For Suistanable Development of Beet Cattle bertujuan untuk menganalisis pemangku kepentingan multi kriteria dalam pengembangan sapi potong yang berkelanjutan dengan menggunakan Participatory Rural Appraisal (PRA). Analisis tingkat kriteria-subcriterion dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy

  • 20

    Process (AHP). Hasil menunjukkan bahwa kriteria ekonomi (E) menjadi prioritas utama, diikuti oleh kriteria lainnya. Sementara subkriteria dan analisis interkonektivitas mengungkapkan bahwa prioritas pembangunan sapi potong berkelanjutan yang terinterkoneksi dengan penambahan investasi pada anggaran sktor (E2), pembentukan masyarakat petani ternak (S3), fungsi ekologi yang diawetkan (L1) dengan kriteria dan subkriteria, meninggalkan Teknologi eksperimental dan teknologi usang (T2). Meskipun pengembangan sapi potong berkelanjutan memiliki kompleksitas (multi stakeholder dan multi kriteria), harus difasilitasi untuk memberikan kontribusi satu sama lain menuju satu misi dan tujuan yang sama yaitu, pengembangan sapi potong yang berkelanjutan.