14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka Tentang penyitaan 1. Pengertian Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas suatu barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang diduga terkait erat dengan tindak pidana yang sedang terjadi 1 . Menurut J. C. T. Simorangkir bahwa “penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian. Jika ternyata kemudian bahwa barang tersebut tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, maka barang tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya” 2 . Sedangkan menurut KUHAP Pasal 1 butir 16: “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengusaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyitaan melihat dari Pasal 1 butir 16 KUHAP tentang pengertian penyitaan, nampak bahwa yang 1 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif , 2010, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal: 182. 2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, 1983, Aksara Baru, Jakarta, hal: 137.
34
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ......14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka Tentang penyitaan 1. Pengertian Penyitaan adalah tindakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka Tentang penyitaan
1. Pengertian
Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas suatu barang,
baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang diduga terkait erat
dengan tindak pidana yang sedang terjadi1.
Menurut J. C. T. Simorangkir bahwa “penyitaan adalah suatu cara
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menguasai sementara
waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa ataupun bukan,
tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan
berguna untuk pembuktian. Jika ternyata kemudian bahwa barang tersebut
tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, maka barang
tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya”2.
Sedangkan menurut KUHAP Pasal 1 butir 16: “penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah pengusaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.”
Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyitaan melihat dari
Pasal 1 butir 16 KUHAP tentang pengertian penyitaan, nampak bahwa yang
1 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif,
2010, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal: 182. 2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, 1983, Aksara Baru, Jakarta, hal: 137.
15
berwenang melakukan penyitaan adalah penyidik.3 Ditegaskan pada Pasal
38 KUHAP menyatakan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh “penyidik”.
Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian ditujukan
sebagai barang bukti di muka persidangan, sebab tanpa adanya barang bukti
tersebut, maka perkaranya tidak dapat diajukan ke pengadilan.4
Persyaratan Permintaan Izin Penyitaan dari Kepolisian
Surat Pengantar Permintaan Izin Penyitaan sebanyak 1 rangkap.
Surat sebanyak 1 rangkap.
Surat sebanyak 1 rangkap.
Laporan Polisi sebanyak 1 rangkap.
Surat identitas orang yang diduga melakukan tindak pidana harus
terang dan jelas sebanyak 1 rangkap.
(bukan berbentuk fotokopi).
2. Persyaratan Permintaan izin penyitan dari Kepolisian
Ada syarat-syarat permintaan izin penyitaan dari kepolisian, yaitu:
a. Surat Pengantar Permintaan Izin Penyitaan.
b. Surat Perintah Penyidikan.
c. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.
d. Laporan Polisi.
3 Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, 1989, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal: 72. 4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, 2014, Cetakan Pertama,
Kencana, Jakarta, hal: 155.
16
e. Surat identitas orang yang diduga melakukan tindak pidana harus terang
dan jelas.
f. Surat tersebut di atas harus asli.5
3. Tata Cara Penyitaan
Penyitaan dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh
undang-undang, sebagai berikut:
a. Penyitaan Biasa
1) Harus ada “surat izin” penyitaan dari ketua pengadilan.
Sebelum penyidik melakukan penyitaan, yang perlu dilakukan yaitu
meminta izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan
tersebut, penyidik perlu menjelaskan alasan pentingnya
dilakukannya penyitaan, guna barang bukti diperoleh untuk
penyidikan, penuntutan dan barang bukti dalam persidangan
pengadilan.
Dalam proses pengajuan permintaan izin, Ketua Pengadilan dapat
menolak memberikan izin. Tujuan pokok perizinan dari Ketua
Pengadilan Negeri adalah dalam rangka pelaksanan dan
mengendalikan, agar tidak terjadi penyitaan-penyitaan yang tidak
perlu atau penyitaan yang bertentangan dengan undang-undang.
Jika Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan izin, penyidik
dapat meminta atau mengajukan perlawanan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi. Bila tidak dibuka perlawanan terhadap
penolakan pemberian izin penyitaan, berarti tindakan penyitaan
berarti mengalami jalan buntu. Dan kemungkinan besar yang akan
dilakukan penyidik yaitu dengan menempuh alternatif bentuk dan
cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
2) Memperlihatkan dan menunjukkan tanda pengenal.
Hal itu bertujuan untuk kepastian bagi orang yang besangkutan
bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal
128).
3) Memperlihatkan benda yang akan disita
Penyidik harus memperlihatkan benda yang akan disita kepada
orang yang bersangkutan, dapat juga memperlihatkan benda itu ke
keluarganya (Pasal 129). Hal ini untuk sekedar menjamin kejelasan
atas benda yang disita, dan dapat meminta keterangan kepada
mereka mengenai asal-usul benda yang akan disita.
5 Mahkamah Agung Indonesia, Pengadilan Negeri Pariaman, http://www.pn-
4) Dalam melakukan penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau
ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
Saksi penyitaan itu sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang. Saksi
pertama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (RT/RW) dan dua
orang saksi lainnya yang merupakan warga lingkungan yang
bersangkutan. Kehadiran ketiga saksi dimaksud ialah untuk melihat
dan mempersaksikan jalannya penyitaan.
5) Membuat Berita Acara Penyitaan
Pembuatan berita acara diatur dalam Pasal 129 ayat (2) KUHAP.
Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan di
hadapan orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan
disaksikan Kepala Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT dan dua orang
warga setempat, kemudian ditandatangani penyidik dan orang yang
menguasai benda yang disita [Pasal 129 ayat (2) KUHAP].6
b. Penyitaan dalam Keadaan perlu dan mendesak
Penyitaan juga dapat dilakukan jika dalam keadaan yang perlu dan
mendesak. Yang dimaksud dengan keadaan yang perlu dan mendesak
adalah bila ada kekhawatiran bahwa benda yang akan disita segera
dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin penyitaan dari
Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang
layak dalam waktu yang singkat.7
Jika dalam keadaan perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,8
tata cara pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Penyidik tidak perlu lebih dahulu melapor dan meminta surat izin dari
Ketua Pengadilan. Dalam keadaan yang sangat perlu harus segera
bertindak, maka penyidik dapat langsung mengadakan penyitaan tanpa
permintaan izin dan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
b. Objek penyitaan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak sangat
dibatasi, hanya meliputi benda yang bergerak saja. Tujuan alasan
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 2000, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, hal: 266. 7 Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, 1989, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal: 74. 8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta 2002, hal: 148.
18
pembuat undang-undang untuk membatasi obyek penyitaan yang seperti ini, tidak lain oleh karena belum ada izin dari ketua pengadilan negeri.
c. Sesudah melakukan penyitaan, penyidik wajib segera melaporkan
kepada Ketua Pengadilan setempat sambil meminta persetujuan dari
Ketua Pengadilan.9
4. Macam-macam penyitaan
Terdapat beberapa macam penyitaan yaitu:
a. Penyitaan benda
Pada pasal 39 KUHAP menjelaskan tentang hal-hal yang dapat
disita, yaitu berupa benda- benda yang diduga sebagai hasil kejahatan.10
Menurut KUHAP Pasal 39 ayat (1), yang dapat dikenakan penyitaan
adalah:
1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa atau sebagian diduga di
peroleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana.
4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana.
5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
9 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 2000, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, hal: 10 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif,
2010, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal: 183.
19
Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik diberi kewenangan
untuk melakukan penyitaan atas benda yang meliputi:
- Benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang
dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP).
- Paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dilakukan oleh kantor pos, dan telekomunikasi,
jawaratan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang paket, surat atau benda yang diperuntukan kepada
tersangka, harus diberikan surat tanda penerimaan (Pasal 41
KUHAP).11
b. Penyitaan surat-surat
Yang dimaksud dengan surat atau tulisan lain adalah surat atau tulisan
yang disimpan atau dikuasai oleh orang tertentu, dimana orang itu yang
menyimpan atau menguasai surat itu, diwajibkan merahasiakannya oleh
undang-undang, misalnya seorang notaris. Surat atau tulisan yang
meyangkut rahasia negara tidak takluk.12 Pengaturan tentang penyitaan
surat terdapat dalam: Pasal 47 KUHAP-Pasal 49 KUHAP dan Pasal 131
KUHAP-Pasal 132 KUHAP.
Mengenai syarat dan cara penyitaannya yaitu hanya dapat
disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh undang-
undang untuk merahasiakan. Misalnya akta notaris atau sertifikat, hanya
11 Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, 1989, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal: 76. 12 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta, Penerbit Sinar
Grafika, hal: 273.
20
dapat disita atas persetujuan notaris atau pejabat agraria yang
bersangkutan. Jika dalam melakukan penyitaan mereka yang
berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan surat atau
tulisan tidak menyetujui untuk dilakukan penyitaan maka penyitaan dapat
dilakukan atas izin khusus dari Ketua pengadilan negeri.13
5. Perlakuan terhadap Barang Sitaan
Dalam perlakuan terhadap benda yang disita menurut Pasal 44 ayat
(1) KUHAP mengatakan: benda sitaan di simpan dalam Rumah
penyimpanan benda sitaan negara.
Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di
tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat
dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di kantor
pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa
di tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita.14
Dalam hal penyimpanan benda sitaan yang bertanggung jawab
adalah pejabat yang berwenang menurut tingkat pemeriksaan dan tidak
boleh dipergunakan oleh siapapun juga.15
Diatur juga tentang cara pengurusan terhadap benda sitaan menurut
Pasal 45 ayat (1): yaitu, benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan
atau benda yang biaya pemimpanannya terlalu tinggi. Bila benda sitaan
yang seperti itu akan dilakukan:
a. Jika masih di tangan penyidik atau penuntut umum, maka benda itu
dapat dijual lelang atau diamankan oleh penyidik/penuntut umum.
13 Ibid, M. Yahya harahap, hal: 273. 14 Nico Ngani, Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, 1984,
Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal: 54. 15 Ibid, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta 2002, hal: 152.
21
Dalam tingkatan ini disaksikan oleh tersangka/terdakwa atau kuasa
hukumnya.16
b. Jika dalam perkaranya sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum,
dengan atas izin dari hakim yang memeriksa/menyidangkan perkaranya
dengan disaksikan oleh tersangka/terdakwa atau kuasanya.17
Hasil dari pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti. Guna kepentingan pembuktian sedapat
mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda tersebut (Pasal 45 ayat (3)
KUHAP).
Benda yang sifatnya terlarang/dilarang untuk diedarkan maka pada
putusan pengadilan nantinya akan dirampas untuk kepentingan negara atau
dimusnahkan (Pasal 45 ayat 4 KUHAP). Arti dirampas yaitu diserahkan
kepada Departemen yang besangkutan menurut perundang-undangan yang
laku, sedangkan dimusnakan yaitu dimusnahkan atau dirusak agar tidak
dapat dipakai lagi.18
Benda sitaan yang sifatnya terlarang ialah:
- benda terlarang seperti senjata api tanpa izin, bahan peledak, bahan
kimia tertentu, daln lain-lain.
16 Ibid, Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, 2014, Cetakan
Pertama, Kencana, Jakarta, hal. 162. 17 Ibid, Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, hal: 172. 18 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, 2013, Cetakan Pertama, Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, hal: 61.
22
- Benda yang dilarang untuk diedarkan, seperti narkotik, buku atau
majalah dan film porno, uang palsu, dan lain-lain.19
6. Pengembalian benda sitaan
Berdasarkan undang-undang yang ada pengembalian benda sitaan
dapat dilakukan menurut hukum acara pidana, sebagai berikut:
a. Sebelum ada Putusan Hakim
1) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
2) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
bukan tindak pidana.
3) Perkara dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara
ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu
delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik.20
b. Sesudah Putusan Pengadilan
Bendasarkan putusan pengadilan pengembalian benda sitaan kepada
seorang atau mereka yang berhak, kecuali pada putusan Hakim benda
tersebut:
- Dirampas untuk negara
- Dirampas untuk dimusnahkan
- Disita untuk bukti dalam perkara lain21 (Pasal 46 ayat 2 KUHAP)
19 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta, Penerbit Sinar
Grafika, hal: 292. 20 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2008, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal:
153. 21 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, 2013, Cetakan Pertama, Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, hal: 62.
23
B. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1. HASIL PENELITIAN
a. Kronologis
1) Kasus 1
Kasus dibidang perikanan yang diputus oleh Pengadilan
Negeri Sukadana, dalam perkara nomor: 89/Pid.B/2012/PN/SKD,
kronologi kejadiannya dapat diuraikan sebagai berikut:
Bermula pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2012, Hayat Bin
M. Ali HR selaku pemilik kapal KM Cahaya 01 dan selaku Nahkoda
kapal KM Cahaya 01 berangkat dari pelabuhan Karang Hantu
Banten menuju perairan laut Labuhan Maringgai Lampung Timur
untuk melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
tangkap berupa jaring trawl atau pukat harimau dengan ditemani 3
(tiga) orang anak buah kapal (ABKP) yaitu Darjo Bin Ilyas, Ernar
Bin Supri dan Gambas.
Setibanya di perairan laut Labuhan Maringgai Lampung
Timur pada hari Sabtu tanggal 17 maret 2012, Hayat Bin M. Ali HR
yang bertindak selaku nahkoda kapal memberi komando kepada
Anak Buah Kapalnya untuk mulai melakukan penangkapan ikan
dengan cara menurunkan jaring trawl atau pukat harimau, siku,
papan pemberat, pelampung dan tali penarik ke dalam laut,
kemudian Hayat Bin M. Ali HR menunggu selama 2 (dua) jam agar
jaring trawl terisi oleh ikan. Setelah 2 (dua) jam jaring trawl tersebut
24
diangkat dengan cara ditarik menggunakan mesin/winch atas kapal,
selanjutnya jaring yang telah terisi ikan tersebut dibuka dan ikan
yang terjaring dipisahkan jenis dan ukuran.
Pada hari Senin tanggal 19 Maret 2012 sekitar pukul 11.00
WIB anggota kepolisian dari Direktorat Polisi Air yaitu Bripda
Nopriayansyah dan Bripda Andreas Pujianto yang sedang
melakukan patroli rutin menggunakan kapal C3 307 melihat kapal
KM Cahaya 01 sedang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan jaring trawl atau pukat harimau, kemudian dilakukan
pemeriksaan secara intensif terhadap Hayat Bin M. Ali HR beserta
ABK dan muatan kapal, sehingga Hayat Bin M. Ali HR beserta
ABK dan muatan kapal dibawa ke Kantor Direktorat Polisi Air
Polda Lampung guna pemeriksaan lebih lanjut.
2) Kasus II
Pada kasus ke-2 dibidang perikanan yang diputus oleh
Pengadilan Negeri Ambon, dalam perkara Nomor: 5/Pid.Sus-
Prk/2015/PN.Amb, setelah itu terdakwa mengajukan permohonan
kasasi ke Pengadilan Tinggi dengan putusan perkara Nomor: 2563
K/Pid.Sus/2015, Koronologi kejadiannya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Awal mula CHEN XIANGQI selaku fishing master dan
FADLAN LATUKAU selaku Nahkoda KM. Sino 26 pada hari
25
Senin tanggal 08 Desember 2014 sekitar pukul 09.00 WIT atau pada
suatu waktu tertentu dalam bulan Desember tahun 2014, bertempat
di Perairan Laut Arafuru terdektesi pada posisi 08º 40´ 22˝ LS - 137º
49´ 40˝ BT atau pada suatu tempat tertentu dalam Perairan Wilayah
Republik Indonesia dengan menggunakan KM. Sino 26 berbendera
Indonesia sebagai kapal penangkap ikan dengan bobot kapal 265
GT.
Memiliki anak buah kapal (ABK) berjumlah 17 (tujuh belas)
orang yang terdiri dari 3 (tiga) orang berkewarganegaraan Indonesia
(WNI) dan 14 (empat belas) orang berkewarganegaraan asing
(WNA) sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Perairan
Kepulauan Laut Arafuru, dan KM. Sino 26 terdeteksi oleh KRI
Abdul Halim Perdana Kusuma-355 yang sementara patroli di
Perairan Laut Arafuru pada posisi 08º 36´ 20˝ LS - 137º 56´ 30˝BT
karena mencurigakan.
Selanjutnya KRI Abdul Halim Perdana Kusuma-355
langsung mendekati dan melakukan pemeriksaan dokumen dan
muatan Kapal KM. Sino 26 pada posisi 08º 36´ 20˝ LS - 137º 56´
30˝BT.
26
b. Dakwaan
Setelah dilakukan penyidikan oleh penuntut umum dinyatakan P.21,
maka tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti diserahkan kepada
penuntut umum.
Selanjutnya penuntut umum mengajukan terdakwa ke sidang
pengadilan dengan dakwaan berbentuk alternatif yaitu sebagai berikut:
Kasus I
KESATU
Perbuatan terdakwa Hayat Bin M. Ali HR sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 84 ayat (3) UU RI Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 45 Tahun
2009 tentang perikanan:
Atau
KEDUA
Perbuatan Terdakwa Hayat Bin M. Ali HR sebagaimana diatur dan
diancam Tuntutan pidana dalam pasal 85 UU RI Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 45 Tahun
2009 tentang perikanan.
Kasus II
27
KESATU
Bahwa Terdakwa I CHEN XIANGQI secara bersama-sama dengan
Terdakwa II FADLAN LATUKAU selaku Nahkoda KM. Sino 26
bertanggungjawab penuh terhadap mengoperasikan dan menggerakan
Kapal KM. Sino 26 untuk menentukan fishing ground dalam rangka
melakukan kegiatan penangkapan ikan serta muatan ikan hasil
tangkapan ikan. Perbuatan mereka Terdakwa I CHEN XIANGQI
Terdakwa II FADLAN LATUKAU diatur dan diancam dengan sanksi
pidana Pasal 93 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang – Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atau
KEDUA
Bahwa Terdakwa I CHEN XIANGQI secara bersama-sama dengan
Terdakwa II FADLAN LATUKAU selaku Nahkoda KM. Sino 26
bertanggungajawab penuh terhadap mengoperasikan dan menggerakan
Kapal KM. Sino 26 untuk menentukan fishing ground dalam rangka
melakukan kegiatan penangkapan ikan serta muatan ikan hasil
tangkapan ikan.
Perbuatan Terdakwa I CHEN XIANGQI dan Terdakwa II FADLAN
LATUKAU diatur dan diancam dengan sanksi pidana Pasal 100 jo Pasal
7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
28
Perikanan jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
c. Tuntutan
Kasus I
Berdasarkan tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang pada
pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan sebagai berikut:
1) Menyatakan Terdakwa Hayat Bin M. Ali HR bersalah melakukan
tindak pidana perikanan “Selaku Pemilik Kapal menggunakan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan atau alat tangkap yang tidak
direkomendasikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 84 ayat (3) UU
RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana dirubah
dengan UU RI No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
2) Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Hayat Bin M. Ali
HR dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan ;
3) Membayar denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
subsidair 2 (dua) bulan kurungan;
Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) unit kapal KM. CAHAYA 01 Merk Fuso 6 GT
29
- Uang hasil lelang ikan sebesar Rp.2.508.000,- (dua juta lima
ratus delapan ribu rupiah);
Dirampas untuk Negara;
- 1 (satu) unit alat tangkap tidak ramah lingkungan atau alat
tangkap yang tidak direkomendasikan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan berupa jaring trawl/pukat harimau yang