Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
2.1.1 Anatomi
Hati atau hepar atau liver merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh.
Letaknya sebagian besar di region hipokondrika dekstra, epigastrika, dan
sebagian kecil di hipokondrika sinistra. Bentuknya menyerupai pahat yang
menghadap ke kiri. Beratnya pada pria dewasa antara 1,4-1,6 kg dan pada wanita
dewasa antara 1,2-1,4 kg. Ukuran normal pada dewasa : panjang kanan kiri : 15
cm, tinggi bagian tekanan (ukuran superior-inferior) :15-17 cm, tebal (ukuran
anteroposterior) setinggi ren dekstra: 12-15 cm. Warna permukaan : coklat
kemerahan. Konsistensi : padat kenyal, Mempunyai 5 permukaan antara lain
fasies superior, fasies dekstra, fasies anterior, fasies posterior, dan fasies inferior.
Hati merupakan organ plastis yang lunak. Terletak di sebelah kanan di bagian
atas rongga abdomen di bawah diafragma. Bagian bawah hati berbentuk cekung
dan berbatasan dengan ginjal kanan, lambung, pankreas dan usus (Sofwanhadi,
2007).
Organ hepar terbungkus oleh kapsul fibrosa yang kuat dan dilapisi oleh
lapisan visceral peritonium. Hepar terdiri atas 2 lobus. Pada permukaan anterior,
batasan antara lobus kanan dan lobus kiri ditandai dengan falciform ligament.
Penebalan pada bagian posterior margin dan falciform ligament disebut round
ligament (Martini,2001).
Pada bagian permukaan posterior dari hepar terdapat vena cava inferior.
Quadrat lobe diapit oleh lobus kiri dan kantung empedu. Pembuluh darah aferen
mencapai bagian hepar melalui jaringan ikat dari lesser omentum. Kumpulan
lesser omentum pada suatu titik disebut dengan hillus atau porta hepatis
(Martini, 2001).
Setiap lobus dari liver dibagi oleh jaringan ikat menjadi 100.000 lobul
hepar. Lobul hepar merupakan unit fungsional dari hepar. Lobul yang
berdekatan dipisahkan satu sama lain oleh interlobular septum. Hepatosit dalam
lobul liver membentuk sebuah plate yang mirip dengan jari-jari roda. Di dalam
8
Page 2
9
lobul, sinusoid berada antara plate yang berdekatan kemudian bermuara pada
vena sentral. Sinusoid dilapisi oleh sel endotel dan sel Kupffer dalam jumlah
yang besar. Sel Kupffer juga disebut dengan sel stelat retikuloendotelial. Sel
Kuppfer merupakan sel fagosit yang berfungsi untuk menfagosit kuman patogen,
sel debris, dan sel darah yang rusak. Sel Kuppfer juga berfungsi dalam
menyimpan besi, lemak, dan logam berat (Martini, 2001).
Gambar 2.1 Penampang Sruktur Hepar yang Menunjukkan Hubungan Antara Lobul (Martini,2001)
Hati merupakan organ tubuh yang kompleks dan tersusun atas beberapa
bagian, antara lain:
a) Sel Hepatosit
Sel hepatosit berbentuk kubus dan memiliki inti serta mempunyai
permukaan apikal yang berfungsi dalam transport dan ekskresi empedu dan
permukaan basolateral yang berfungsi dalam intake dan sekresi terhadap aliran
darah. Kedua fungsi ini dipertahankan oleh tight junction antar hepatosit.
Pembagian zona fungsi hepatosit didasarkan pada urutan hepatosit yang dilalui
arteri hepatica dan vena porta. Hepatosit pada zona perifer mendapatkan jumlah
oksigen lebih tinggi daripada yang berada dekat vena sentral (McPhee 2006).
b) Lobus dan lobulus
Dibawah mikroskop, struktur hati akan tampak sebagai lobus. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus, yaitu unit
Page 3
10
mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus mempunyai bentuk heksagonal
(segi enam) yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus dengan
berpusat pada vena sentral dimana tiap sudutnya terdapat portal triad yang terdiri
atas cabang – cabang kecil vena portal, arteri hepatik, dan duktus limfatit
(McPhee, 2006).
Gambar 2.2 Lobus Hepar (Sease et al, 2008)
c) Sinusoida
Diantara lempeng sel hepatosit yang satu dengan yang lain terdapat
sinusoid yang menghubungkan cabang utama hepatik arteri dan vena porta
menuju vena sentral, dan merupakan tempat terjadinya pencampuran darah dari
arteri hepatik dan vena porta. Dindingnya dibentuk oleh sel endotel yang
ditempeli oleh makrofag jaringan lemak yang disebut sel Kupffer yang merupakan
sistem monosit – makrofag. Pada dinding sel endotel terdapat celah (penetrasi),
sehingga memungkinkan hepar untuk dapat mengambil dan mensekresi zat – zat
tertentu dari dan menuju aliran darah serta menbantu fungsi hepar sebagai
penyaring darah portal (McPhee, 2006).
d) Portal Triad
Terletak pada sudut dari septipa lobus hati. Terdiri dari 3 pembuluh darah,
yaitu arteri hepatica, vena porta dan saluran empedu. Cabang vena porta, arteri
hepatica dan saluran empedu dibungkus bersama oleh sebuah balutan dari
jaringan ikat yang disebut Kapsula Glisson (McPhee, 2006).
Page 4
11
e) Sel Kupffer
Sel Kupffer merupakan sistem monosit – makrofag dengan fungsi utama
menelan bakteri dan benda asing lainnya dalam darah, sehingga dikatakan bahwa
hati merupakan salah satu organ pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen
toksik (McPhee, 2006).
f) Empedu
Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil
dinamakan kanalikuli, berjalan – jalan di tengah – tengah lempeng sel hati.
Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang
bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar (duktus
koledokus). Empedu dibentuk di dalam sela – sela kecil di dalam sel hepar, dan
dikeluarkan melalui kapiler empedu yang halus atau kanalikuli empedu, yaitu
saluran halus yang dimulai diantara sel hati dan terletak antara dua sel. Tetapi
kanalikuli itu terpisah dari kapiler darah sehingga darah dan empedu tidak pernah
bercampur. Kemudian kapiler empedu berjalan di pinggir lobula dan berujung
pada saluran interlobular empedu dan saluran – saluran ini bergabung
membentuk saluran hepatica. Saluran empedu sebagian besar dilapisi epithelium,
silinder dan mempunyai dinding luar yang terdiri atas jaringan fibrous dan otot.
Empedu akan dihasilkan keluar ketika dinding otot berkontraksi.(McPhee, 2006).
2.1.2 Sirkulasi Hepatik
Lobul hepar berbentuk heksagonal dan di setiap sudut dari lobul hepar
terdapat area portal. Area portal merupakan nama lain dari triad hepatik dan triad
portal. Triad hepatik terdiri atas vena portal, arteri hepatik, dan saluran empedu
(Martini, 2001).
Hati atau hepar menerima sekitar 25% aliran darah dari cardiac output.
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limfa melalui vena
porta yang berfungsi untuk kebutuhan fungsional hati dan dari aorta melalui
arteri hepatika yang berfungsi untuk oksigenasi dan pemenuhan kebutuhan
nutrisi pada sistem bilier. Volume total darah yeng melewati hati setiap menit
adalah 1500 mL dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan kiri, yang
selanjutnya bermuara pada vena cava inferior (McPhee, 2006).
Page 5
12
Gambar 2.3 Aliran Darah Sinusoid dari Vena Sentral dan Aliran Empedu Dalam Kanakuli Empedu ke Saluran Empedu (Ganong,2010)
Unit fungsional dari hepar adalah acinus. Setiap acinus terletak pada akhir
vascular stalk yang terdiri atas cabang terminal dari vena portal, arteri hepatik,
dan saluran empedu. Darah mengalir dari pusat acinus ke cabang terminal dari
vena hepatikum pada perifer. Daerah sentral acinus disebut dengan zona 1 yang
merupakan daerah yang teroksigenasi paling tinggi. Zona 2 disebut dengan zona
intermediat yang merupakan daerah yang teroksigenasi dalam jumlah sedang.
Zona 3 disebut dengan zona perifer yang merupakan daerah yang teroksigenasi
paling rendah. Darah dari vena hepatikum kemudian menuju ke vena cava inferior
(Sease et al,2008).
Gambar 2.4 Acinus Sebagai Unit Fungsional Hati (Ganong,2010)
Page 6
13
2.1.3 Fungsi Hepar
2.1.3.1 Fungsi Metabolisme Energi dan Konversi Substrat
Hepar mempunyai peran penting dalam metabolisme karbohidrat,
penyimpanan glikogen, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, dan
glukoneogenesis dan membentuk banyak senyawa kimia penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat. Substrat dari reaksi ini berasal dari hasil
pencernaan karbohidrat dari saluran pencernaan yang dibasorbsi kemudian
ditransportasikan menuju ke hepar (Ganong, 2010).
Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah
normal. Hepar mengambil kelebihan glukosa dalam darah kemudian
menyimpannya dan mengembalikannya kembali ke darah apabila konsentrasi
glukosa dalam darah mulai turun menjadi terlalu rendah. Fungsi ini disebut
fungsi penyangga glukosa dari hati (Guyton & Hall, 2000).
Glukoneogenesis dalam hati juga berfungsi mempertahankan konsentrasi
normal glukosa darah karena glukoneogenesis terjadi apabila konsentrasi
glukosa darah mulai menurun di bawah harga normal. Pada keadaaan demikian,
sejumlah besar asam amino dan gliserol dari trigliserida akan diubah menjadi
glukosa, mekanisme ini merupakan fungsi lain hati untuk mempertahankan
konsentrasi glukosa darah yang relatif normal (Guyton & Hall, 2000).
a) Metabolisme Lemak
Hepar juga berfungsi dalam metabolisme lemak. Fungsi spesifik hati
dalam metabolisme lemak antara lain adalah kecepatan oksidasi beta asam
lemak yang sangat tinggi untuk mensuplai energi bagi tubuh, pembentukan
sebagian besar lipoprotein, pembentukan sejumlah besar kolesterol dan
fosfolipid, dan pengubahan sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi
lemak. (Guyton & Hall, 2000).
Secara garis besar untuk memperoleh energi dari lemak netral, lemak
dipecah menjadi gliserol dan asam lemak kemudian asam lemak dipecah
menjadi asetilkoenzim A (asetil-KoA) dalam proses oksidasi beta. Oksidasi beta
terjadi sangat cepat di dalam sel hepar. Asetil-KoA tidak semuanya dapat
digunakan oleh hepar. Asetil-koA diubah menjadi asam asetoasetat. Asam
asetoasetat dari sel hepar masuk ke cairan ekstraseluler kemudian ditranspor ke
Page 7
14
seluruh tubuh dan diabsorbsi oleh jaringan lain. Setelah sampai pada jaringan,
asam asetoasetat akan diubah menjadi asetil-KoA dan kemudian dioksidasi serta
membebaskan sejumlah energi (Guyton & Hall, 2000).
Kurang lebih 80% kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi
garam empedu yang kemudian disekresikan dalam empedu dan sisanya diangkut
dalam lipoprotein dan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh. Fosfolipid
juga disintesis di dalam hati yang kemudian ditranspor dalam lipoprotein. Asam
amino dan fragmen 2 karbon yang berasal dari karbohidrat dikonversi ke lemak
untuk disimpan dalam liver (Ganong, 2010; Guyton & Hall, 2000).
b) Metabolisme Protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein antara lain dalam proses
deaminansi asam amino dan interkonversi antara asam amino yang berbeda.
Proses deaminasi asam amino membutuhkan asam amino untuk dapat
dipergunakan sebagai energi atau diubah menjadi karbohidrat atau lemak
(Guyton & Hall, 2000).
2.1.3.2 Fungsi Sintesis Protein
Pada dasarnya semua protein plasma kecuali bagian dari gamma globulin
dibentuk oleh sel hati. Sel hati menghasilkan kurang lebih 90% dari semua
protein plasma. Hepar mensintesis lipoprotein yang diperlukan oleh tubuh yaitu
albumin, faktor pembekuan, acute phase proteins, protein pengikat-steroid, dan
protein pengikat-hormon (Ganong, 2010;Guyton & Hall, 2000).
Hepar membentuk sebagian besar zat-zat yang berfungsi dalam proses
koagulasi darah. Zat-zat tersebut adalah fibrinogen, protrombin globulin
akselerator, faktor I,II,V,VIII ,IX, dan X. Vitamin K dibutuhkan dalam proses
metabolisme hati untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X
(Ganong, 2010; Guyton & Hall, 2000).
2.1.3.3 Fungsi Solubilisasi , Transport dan Penyimpanan
Sebagian besar besi dalam tubuh disimpan di dalam hati dalam bentuk
feritin. Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferitin yang
dapat bergabung dengan besi dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena
Page 8
15
itu, besi dalam jumlah banyak akan berikatan dengan apoferitin membentuk
feritin dan disimpan di dalam sel hati sampai diperlukan yaitu pada saat kadar
besi dalam darah rendah. Dengan demikian sistem apoferitin-feritin dalam hati
berfungsi sebagai penyangga besi darah dan juga sebagai media penyimpanan
besi. Sedangkan vitamin tunggal yang paling banyak disimpan dalam hati adalah
vitamin A, vitamin lain yang juga disimpan dalam hati adalah vitamin D dan
vitamin B12 (Guyton & Hall, 2000).
2.1.3.4 Fungsi Protektif dan Klirens
Hepar juga berperan dalam detoksifikasi darah dari zat-zat yang berasal
dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Beberapa partikulat dijebak dan
dirusak oleh sel Kupffer. Reaksi tersebut melibatkan enzim sitokrom P450 yang
berada dalam hepatosit. Xenobiotik dan toksin menjadi inaktif dan menjadi
metabolit yang kurang lipofil. Reaksi detoksifikasi terdiri dari fase I dan fase II.
Reaksi yang terjadi pada fase I adalah oksidasi, hidroksilasi, dan reaksi yang lain
yang dimediasi oleh sitokrom P450. Reaksi pada fase II meliputi konjugasi.
Reaksi konjugasi yang terjadi pada fase II adalah konjugasi glukoronida,
konjugasi peptida, konjugasi sulfat, asetilasi, dan metilasi (Shargel, 2005;
Ganong, 2010).
Hepar berperan penting dalam metabolisme amonia. Hepar merupakan
satu-satunya organ yang dapat melakukan Krebs-Henseleit cycle secara komplit.
Di dalam siklus tersebut, amonia dapat dikonversi menjadi urea sehingga dapat
diekskresikan melalui urin (Ganong, 2010).
2.2 Sirosis
2.2.1 Definisi
Sirosis hati adalah penyakit kronis yang ditandai dengan penggantian
jaringan normal dengan jaringan fibrous disertai dengan perubahan fungsi hati.
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai penyakit hati
(Choudury & Sanyal, 2006; Kusumobroto, 2007).
Page 9
16
2.2.2 Epidemiologi
Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia. WHO
memperkirakan sebanyak 45.000 kasus sirosis hati terjadi di Indonesia. Akan
tetapi jumlah pasti belum diketahui. Namun, dari beberapa laporan rumah sakit
umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan diagnosis klinis saja (tabel 2.1) dapat
dilihat bahwa prevalensi pasien sirosis yang dirawat di bangsal penyakit dalam
pada umumnya berkisar antara 3,6%-8,4% di Jawa dan Sumatra. Secara
keseluruhan, rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat
di bangsal penyakit dalam atau 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang
dirawat. Perbandingan pria :wanita rata-rata 2,1:1 dan usia rata-rata 44 tahun.
Rentang usia 13-88 tahun, dengan kelompok terbanyak antara 40 dan 50 tahun
(Kusumobroto, 1983; WHO, 2011).
Tabel II.1 Prevalensi Sirosis Hati di Bagian Penyakit Dalam di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia (Kusumobroto, 1983)
Penulis TempatJumlah
pasien sirosis
Jumlah pasien
seluruhnya
Prevalensi (%)
Julius, 1973 Padang 560 6690 8,4Winoto, 1975 Semarang 154 2871 5,4Arjono, 1976 Yogyakarta 423 7913 5,3Sujono Hadi,
1978Bandung 795 17515 4,5
Sjaifoellah Noer, 1978
Jakarta 317 4183 7,5
Pangalila, 1987 Manado 56 8168 0,7Julius, 1978 Padang 421 7863 5,4
Saefulmuluk, 1978
Pontianak 73 9322 0,8
Adenan, 1978 Yogyakarta 211 5758 3,6Akil, 1978 Makassar 215 25526 0,8
Tarigan, 1981 Medan 819 19914 4,1Total 4044 115783 3,5
2.2.3 Etiologi
Penyebab utama sirosis hati di Amerika Serikat adalah Hepatitis C (26%),
penyakit hati alkoholik (21%), Hepatitis C plus penyakit hati alkoholic (15%),
Kriptogenik (18%), Hepatitis B yang bersamaan Hepatitis D (15%), dan penyebab
Page 10
17
lain (5%). Hepatitis B merupakan penyebab terbesar berkembangnya penyakit
sirosis di dunia secara umum. Penyakit liver metabolik seperti hemokromatosis,
Wilson disease, nonalcoholic steatohepatitis atau fatty liver; penyakit liver
kolestasis; obat-obatan dan bahan alam seperti Isoniazid, Methyldopa,
Methotrexate, Estrogen, anabolic steroid, dan Jamaican bush tea juga dapat
menjadi faktor resiko sirosis (DC.Wolf 2005; Dipiro, 2008).
Tabel II.2 Etiologi Penyakit Sirosis di Amerika (DC Wolf, 2005)
Etiologi Angka kejadian (%)Hepatitis C 26
Penyakit hati alkoholik 20Hepatitis C dan penyakit hati
alkoholik15
Kriptogenik 18Hepatitis B bersamaan
Hepatitis D15
Penyebab lainnya 5
2.2.4 Patogenesis
Sirosis hati bukanlah penyakit yang spesifik, namun merupakan perjalanan
akhir dari berbagai penyakit yang mengakibatkan cedera pada sel hati secara
kronis. Kelainan ini menyebabkan kerusakan struktur sel hati yang irreversible
ditandai dengan fibrosis regenerasi noduler. Jumlah jaringan fibrosa yang
terbentuk melebihi jaringan hati normal yang masih tersisa dan menyebabkan
regenerasi noduler yang mengakibatkan struktur asinus maupun lobulus menjadi
tidak terorganisasi. Jika fibrogenasi dan regenerasi terjadi terus-menerus lama
kelamaan akan terjadi perubahan vaskular intrahepatik yang akan mengakibatkan
gangguan faal hati. Perfusi darah di hati akan terjadi secara sembarangan sehingga
mudah terjadi gagal hati (MacLaren, 2009).
2.2.5 Patofisiologi
Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara
produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Matriks ekstraseluler
terdiri dari jaringan kolagen terutama tipe I, III, dan V, Glikoprotein dan
Proteoglikan. Peningkatan deposisi kolagen dalam ruang Disse dan pengurangan
ukuran fenestra endotel akan menimbulkan kapilarisasi sinusoida. Sel-sel stelata
Page 11
18
yang masih aktif juga memiliki sifat kontriksi. Kapilarisasi dan kontriksi
sinusoida dapat memicu hipertensi portal (Kusumobroto, 2007).
2.2.6 Klasifikasi
2.2.6.1 Klasifikasi Morfologi
Klasifikasi morfologi jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu
sama lain. Klasifikasi sirosis menurut morfologinya antara lain (Cheney
et al, 2004) :
a) Sirosis mikronoduler : nodul terbentuk uniform, diameter kurang dari
3 mm. Penyebabnya antara lain alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi vena hepatika, pintasan jejuno-ilial, sirosis
pada anak India
b) Sirosis makronoduler : nodul bervariasi dengan diameter lebih dari 3
mm. Penyebabnya antara lain hepatitis kronik B, hepatitis kronik C,
defisiensi α1-antitripsin, sirosis bilier primer.
c) Sirosis campuran : kombinasi antara sirosis makronoduler dan
mikronoduler. Sirosis mikronoduler sering berkembang menjadi
sirosis makronoduler.
2.2.6.2 Klasifikasi Fungsional (Kusumobroto, 2007)
a) Sirosis Kompensata : Sering disebut dengan laten sirosis hati, pada
tahap ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya pada
pemeriksaan didapatkan sedikit demam, spider nevi, eritema
palmaris, epitaksis, dan kaki membengkak.
b) Sirosis Dekompensata : Sering disebut dengan active sirosis hati.
Pada tahap ini gejala-gejala sudah jelas terlihat, misalnya ascites,
ensefalopathy, edema dan ikterus. Kesehatan menurun, badan
mengurus dan demam.
Page 12
19
2.2.6.3 Klasifikasi berdasarkan ada atau tidaknya varises menurut konsesus
Baveno IV (Franchis, 2005) :
a) Stadium 1 : tidak ada ascites, tidak ada varises, masuk kategori sirosis
kompensata.
b) Stadium 2 : varises tanpa ascites, masuk kategori sirosis kompensata.
c) Stadium 3 : ascites dengan atau tanpa varises, masuk kategori sirosis
dekompensata.
d) Stadium 4 : pendarahan dengan atau tanpa ascites, masuk kategori
ascites dekompensata.
2.2.7 Komplikasi dan Penatalaksanaan Terapi
a) Ascites
Ascites adalah timbunan cairan secara patologis dalam rongga peritoneum
yang dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit termasuk sirosis.
Tertimbunnya cairan dalam rongga peritoneum merupakan manifestasi dari
kelebihan garam/natrium dan air secara total dalam tubuh. Gejala klinis ascites
adalah pasien merasa berat badannya bertambah dan perut yang membesar juga
menegang. Manajemen ascites meliputi membuat keseimbangan negatif
garam/natrium dengan diet , pembatasan air 1000cc/hari bila terjadi hiponatremia
yang persisten, pemberian diuretik seperti Spironolakton atau Furosemide pada
ascites grade 3 atau 4 serta parasintesis cairan sebagai alternatif apabila ascites
belum teratasi dengan diet dan terapi farmakologi (Akil, 2007).
b) Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
SBP didefinisikan sebagai infeksi spontan pada cairan asites tanpa adanya
sumber infeksi atau inflamasi yang jelas dari intraabdomen. Bakteri usus gram
negatif merupakan penyebab hampir semua SBP (terutama Escherichia coli dan
Klebsiella). Gejala klinis SBP adalah demam, nyeri perut, dan perubahan perilaku.
Demam adalah gejala yang paling sering dikeluhkan. Pada penderita sirosis
stadium lanjut, suhu tubuh 35º C adalah normal. Namun, ketika suhu tubuh
menginjak 37,8º harus sudah dikategorikan sebagai kelainan serius dan mulai
Page 13
20
dilakukan pemeriksaan antara lain pemeriksaan darah, urine, serta kultur cairan
ascites (Widjaja, 2007; Tasnif & Hebert, 2011).
Managemen terapi untuk SBP adalah dengan menggunakan antibiotik
spektrum luas yang dapat mencakup tiga bakteri patogen (E. coli, Klebsiella
pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae). Penundaan pemberian antibiotik
selama menunggu kultur cairan asites menunjukkan hasil positif tidak disarankan
karena dapat menyebabkan infeksi yang meluas dan kematian. Sefotaksim atau
Sefalosporin generasi ketiga lainnya sebagai terapi yang direkomendasikan untuk
SBP. Sefotaksim lebih efektif daripada Aztreonam atau kombinasi Ampisilin dan
Tobramycin. Sefotaksim 2 g tiap 8 jam diberikan pada pasien asites dengan PMN
> 250 sel/mm3 (Tasnif & Hebert, 2011).
c) Perdarahan Varises
Variceal haemmorhage atau perdarahan varises adalah perdarahan yang
timbul dari pecahnya varises yang berukuran besar yang terbentuk pada esofagus
ataupun gaster. Perdarahan varises sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu
proses yang berawal dari peninggian tekanan portal diikuti pembentukan dan
dilatasi progresif dari varises dan berakhir dengan ruptur atau perdarahan.
Pembentukan varises memerlukan waktu yang lambat. Diagnosa perdarahan
varises ditegakkan dengan endoskopi. Hampir 70% kasus perdarahan saluran
cerna pada pasien sirosis disebabkan karena perdarahan varises. Perdarahan
varises dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna yang ditandai dengan
manifestasi klinis berupa hematemesis (muntah darah) dan melena (berak darah) (
Waspodo, 2007; Hayes & Jalan, 2011, Sarin et al, 2011).
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari hati
ataupun usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil
peningkatan aliran darah dan peningkatan tekanan porta ini, vena-vena di bagian
bawah esofagus dan bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises
esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya,
dan apabila varisesnya pecah, maka pasien akan mengalami perdarahan (variceal
bleeding). Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat
Page 14
21
dapat berakibat fatal. Bila varises sudah muncul, pasien sirosis beresiko
mengalami perdarahan, dan sekali ia mengalami perdarahan maka ia akan
bertendesi untuk mengalami perdarahan yang berikutnya. Resiko kematian selalu
ada di setiap perdarahan (Kusumobroto, 2007). Pasien dengan sirosis memiliki
resiko mengalami perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih
besar dibandingkan tekanan vena sentral (Sease et al, 2008).
Sekali varises mengalami perdarahan, dia akan bertendensi untuk
mengalami perdarahan berikutnya dan resiko kematian selalu ada di setiap
perdarahan. Oleh karena itu manajemen terapi untuk varises esofagus meliputi 3
tahapan yaitu (1) pencegahan primer untuk mencegah pendarahan dengan
menggunakan Propanolol atau Nadolol, (2) pengatasan saat terjadi pendarahan
seperti resusitasi dan transfusi serta terapi untuk mengontrol perdarahan dengan
menggunakan Terlipressin ataupun obat vasoaktif seperti Somatostatin dan
Octreotide dan (3) pencegahan sekunder untuk mencegah pendarahan ulang pada
pasien yang pernah mengalami pendarahan sebelumnya. Kombinasi non selektif β
blocker dan EVL merupakan pilihan terapi terbaik untuk profilaksis sekunder
(Garcia Tsao et al, 2007; Kusumobroto, 2007; Sarin et al, 2011).
d) Hepatic Encephalopathy
Hepatic Encephalopathy merupakan suatu koma neuropsikiatrik kompleks
yang reversibel, komplikasi dari penyakit hati akut atau kronik, biasanya
berhubungan dengan gangguan fungsi hepatoselular atau akibat pintasan
portosistemik atau kombinasi keduanya. Komplikasi ini merupakan akibat dari
peningkatan kadar ammonia, GABA, atau asam amino rantai cabang yang
menembus sawar darah otak. Setiap pasien dengan penyakit hati memiliki
kemungkinan menderita HE. Karena belum ada tes yang pasti untuk HE,
prevalensi pada pasien lain masih sulit dijelaskan, namun dari hasil penelitian
secara klinik, HE terdapat pada 1/3 pasien penderita sirosis, mungkin jika dites
hampir 2/3 pasien sirosis memiliki derajat HE yang ringan atau subklinik.
Patogenesis HE dapat berawal dari toksisitas akibat peningkatan neurotoksin
berupa ammonia yang dapat menembus sawar darah otak sehingga menimbulkan
kerusakan artrosit (Tarigan, 2007).
Page 15
22
Manajemen terapi dari HE antara lain dengan menurunkan konsentrasi
amonia dalam darah dengan cara melakukan pembatasan diet protein dan terapi
farmakologi yang dapat menurunkan produksi/meningkatkan pelepasan amonia
dan menurunkan availabilitasnya di kolon seperti Laktulosa yang bekerja dengan
mekanisme mengubah laktulosa di kolon menjadi menjadi asam laktat dan asam
asetat sehingga menurunkan pH kolon. Penurunan pH kolon akan mengionisasi
ammonia menjadi ion ammonium yang tidak dapat diserap oleh lumen usus
sehimgga mengurangi ammonia dalam darah dan meringankan resiko komplikasi
HE. Jika pasien kontraindikasi dengan Laktulosa, maka Antibiotik dapat
digunakan sebagai lini kedua. Antibiotik yang sering digunakan adalah Neomisin.
Neomisin terikat pada ribosom 30s dan menghambat sintesis protein, hal ini
mempercepat transport neomisin ke dalam sel diikuti dengan kerusakan membran
sitoplasma dan disusul kematian sel bakteri. Digunakan untuk menurunkan
konsentrasi bakteri kolon yang memproduksi ammonia (Tarigan, 2007).
e) Defek koagulasi
Koagulopati merupakan sinyal dari penyakit hepar tahap akhir. Hepar
memproduksi faktor koagulasi yang penting dalam proses pembekuan darah dan
mempertahankan homeostasis darah. Dengan adanya kerusakan pada hepar maka
hepar tidak dapat mensintesis faktor koagulasi. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan waktu pembekuan darah (prothrombine time) dan perdarahan yang
tidak terkontrol. Defek koagulasi yang dimaksud adalah termasuk penurunan dari
sintesis faktor pembekuan darah, peningkatan fibrinolisis, gangguan koagulasi
intravaskular, trombositopenia, dan disfungsi platelet. Trombositopenia
merupakan hasil dari penurunan produksi platelet. Anemia makrositik juga dapat
terjadi akibat penurunan absorbsi dan metabolisme vitamin B12 dan folat (Sease et
al, 2008).
f) Edema Perifer
Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk
melakukan retensi air dan garam dari tubuh. Garam dan air yang berlebihan pada
awalnya akan menumpuk pada jaringan di bawah kulit di sekitar tumit dan kaki
Page 16
23
karena efek gravitasi pada saat berdiri atau duduk. Pembengkakan ini akan
menjadi semakin berat pada sore hari setelah berdiri atau duduk dan berkurang
pada malam hari sebagai hasil menghilangnya gravitasi pada waktu tidur
(Kusumobroto, 2007).
g) Syndrome Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merupakan kegagalan fungsi ginjal yang terjadi
karena sirosis yang diakibatkan vaskonstriksi yang berlebihan dalam sirkulasi
renal karena aktivitas yang berlebihan dari substansi vasoaktif endogen.
Pengurangan suplai darah ke ginjal mengakibatkan retensi natrium dan oligouria.
Tiga faktor yang cukup dominan berperan dalam proses ini yaitu, perubahan
hemodinamis yang menurunkan tekanan perfusi renal, sistem saraf simpatis pada
renal yang terstimulasi, dan meningkatnya sintesis dari mediator vasoaktif
humoral dan renal (Sandhu & Sanyal, 2005 ; Sease et al, 2008).
Manajemen terapi sindrom hepatorenal adalah dengan cara menghindari
penggunaan obat yang potensial menjadi nefrotoksik. Contoh obat yang dapat
menjadi potensial nefrotoksik adalah NSAID (nonsteroidal antiinflamatory
agents) dan aminoglikosida. Pada terapi sindrom hepatorenal juga perlu dilakukan
penurunan dosis atau penghentian penggunaan diuretik. Untuk terapi awal
dianjurkan untuk memberikan cairan resusistasi hingga 1,5 L. Terapi lain yang
dapat digunakan adalah dengan pemberian Dopamin, Ornipressin, Terlipressin,
dan Midodrine dosis rendah yang dapat dikombinasikan dengan Octreotide,
Misoprostol, N-asetilsistein, dan dialisis (Sease et al, 2008).
h) Hepatoma
Sirosis dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker hati primer
(hepatoselular karsinoma). Patogenesisnya dapat bermula dari proses regeneratif
nodul. Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati bukan hasil penyebaran
kanker dari tempat lain. Keluhan kaker hati meliputi pembesaran dan
pembengkakan hati, nyeri perut, penurunan berat badan dan demam. Transplantasi
hati merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Kusumobroto, 2007; MacLaren,
2009).
Page 17
24
2.2.8 Klasifikasi Child Pugh
Prognosis dari pasien dengan sirosis berdasar pada tingkat keparahan
kegagalan hepar dan adanya komplikasi yang menyertai sirosis. Dalam hal ini
diperlukan klasifikasi Child-Pugh. Klasifikasi ini perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat keparahan sirosis, dan sebagai prediksi tentang ketahanan
pasien, capaian operasi, dan resiko terjadinya perdarahan varises (Choudury &
Sanyal,2006; Sease et al,2008).
Tabel II.3 Kriteria dan Skoring Child-Pugh Tingkat Penyakit Liver Kronis (Sease et al,2008)
Skor 1 2 3Bilirubin (mg/dL) 1-2 2-3 >3Albumin (mg/dL) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Asites Tidak ada ringan SedangEnsefalopati (grade) Tidak ada 1 dan 2 3 dan 4
Prothrombin time (seconds prolonged)
1-4 4-6 >6
5-6 poin : Child A ; 7-9 poin : Child B ; 10-15 poin : Child C
2.3 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
2.3.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan
saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz dengan manifestasi hematemesis
ataupun melena dengan atau tanpa penurunan status hemodinamik. Perdarahan
saluran cerna bagian atas merupakan suatu kondisi yang memerlukan penanganan
dengan segera. Outcome dan terapi yang diberikan bergantung terhadap adanya
diagnosa gangguan liver atau tidak. Prognosis bergantung pada tingkat keparahan
perdarahan, temuan dari endoskopi, dan adanya tanda-tanda morbiditas (ASGE,
2012; Palmer, 2010).
2.3.2 Epidemologi
Insiden perdarahan saluran cerna bagian atas di UK mencapai 50-190 /
10.000 kasus. Prevalensi Helycobacter pylorii, penggunaan NSAID, ataupun
prevalensi penyakit liver menjadi faktor penting yang berpengaruh. Tingkat
Page 18
25
mortalitas pasien yang menjalani rawat inap di UK mencapai 7%. (Hearnshaw et
al, 2010).
Insiden pasien yang dirawat inap di rumah sakit di Amerika mencapai 1
per 1000 orang setiap tahunnya. Fenomena ini semakin meningkat terutama pada
geriatri yang memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan usia muda terkait
dengan penggunaan obat-obatan seperti antikoagulan ataupun kondisi komorbid
yang menyertai. Kurang lebih sebanyak 45% pasien yang dirawat inap di rumah
sakit berusia lebih dari 60 tahun (Cappell & Friedel, 2008).
2.3.3 Etiologi
Di Eropa, peptic ulcer atau ulkus peptikum menjadi kausa terbanyak
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya kejadian ulkus peptikum antara lain infeksi Helicobacter pylorii,
penggunaan NSAID atau dosis tinggi aspirin (≥ 325 mg), kebiasaan merokok,
kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol, atau memiliki riwayat ulkus
peptikum. (Cappell & Friedel, 2008; Palmer, 2010).
Tabel II.4 Kausa Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas di Eropa (Palmer, 2010)
No Kausa perdarahan Persentase kasus (%)
1234567
Peptic ulcer (duodenal, gastric, stomal)VarisesOesophagitisMallory WeissErosi (Gastric atau duodenal)Tumor (jinak dan tidak berbahaya)Malformasi vaskular
355-1010-15510-152-41-3
Selama rentang tahun 1986-1987 di Unit Gawat Darurat RSUD Dr
Soetomo, sirosis menjadi kausa terbanyak penyebab perdarahan saluran cerna
bagian atas yakni mencapai 85,9% dari seluruh kasus (Kusumobroto, 1987).
Page 19
26
Tabel II.5 Kausa Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas di RSUD Dr Soetomo tahun 1986-1987 (Kusumobroto, 1987)
No Penyebab Perdarahan Jumlah kasus (%)1234567891011121314
Sirosis hatiGastritis erosivaKarsinoma hepatoselulerHipertensi portal non sirotikTukak peptikTumor lambungPenyakit WeilLimfoma malignaSindrom Mallory WeissSepsisDemam berdarah dengueHepatitis fulminanSLETidak jelas
85,94,93,60,90,60,30,20,20,20,10,10,10,12,8
Akan tetapi, pada tahun 2008 terjadi pergeseran di mana gastritis erosiva
menjadi kausa perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling dominan yakni
mencapai 42,66% dari seluruh kasus diikuti perdarahan varises sebagai kausa
perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak kedua sebanyak 27,99% kasus.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya
penyakit degeneratif sehingga banyak diketemukan penggunaan analgesik,
antipiretik, NSAID terutama aspirin di mana sering digunakan terutama oleh
kaum geriatri untuk mengatasi nyeri ataupun untuk kelainan pembuluh darah.
Penggunaan yang terjadi secara terus menerus dapat memicu terjadinya
perdarahan saluran cerna bagian atas (Sugihartono et al, 2010).
Tabel II.6 Kausa Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas di RSUD Dr Soetomo tahun 2008 (Sugihartono et al, 2010)
No Penyebab Perdarahan Jumlah kasus (%)12345
Gastritis erosivaVarises esofagusUlkus peptikumKeganasanTidak jelas
42,6627,9911,263,4114,68
Page 20
27
Untuk kepentingan klinik dan penatalaksanaannya, kausa perdarahan
saluran cerna bagian atas dibagi menjadi dua yakni yang berhubungan dengan
hipertensi portal (varises) dan non varises (Leerdam, 2008).
2.3.3.1 Penyebab Hipertensi Portal (Varises)
Variceal haemmorhage atau perdarahan varises adalah perdarahan yang
timbul dari pecahnya varises yang berukuran besar yang terbentuk pada esofagus
ataupun gaster. Perdarahan varises sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu
proses yang berawal dari peninggian tekanan portal diikuti pembentukan dan
dilatasi progresif dari varises dan berakhir dengan ruptur atau perdarahan.
Pembentukan varises memerlukan waktu yang lambat. Diagnosa perdarahan
varises ditegakkan dengan endoskopi ( Waspodo, 2007; Hayes & Jalan, 2011,
Sarin et al, 2011).
Adapun perdarahan varises ulang atau variceal rebleeding didefinisikan
sebagai kejadian perdarahan baru yang terjadi tidak kurang dari 24 jam pertama
setelah terjadi perdarahan pertama (Hayes & Jalan, 2011).
Pada sirosis terjadi resistensi intrahepatik yang diakibatkan oleh distorsi dari
arsitektur vaskuler hati diakibatkan oleh fibrosis, jaringan parut dan pembentukan
nodul sirotik. Pada analisa patologi juga terjadi thrombosis pada pembuluh kecil
dan sedang dari vena portal dan vena hepatika. Selain itu, peningkatan tonus
vaskuler secara reversibel juga turut memicu resistensi intrahepatik. Secara
fungsional terjadi peningkatan resistensi disebabkan oleh vasokontriksi aktif
beberapa tipe sel di hati dan oleh karena pengaruh faktor agonis. Resistensi
intrahepatik merupakan salah satu faktor pemicu meningkatnya tekanan portal.
Ketika HVPG (Hepatic Venous Pressure Gradient) mencapai minimal 12 mmHg
terjadilah Hipertensi Portal (Waspodo, 2007).
Ketika terjadi peningkatan tekanan portal, tubuh akan membentuk sirkulasi
portal kolateral sebagai upaya untuk mrngalihkan aliran darah pada vena porta
yang meningkat ke dalam vena sistemik. Upaya ini dapat menurunkan tekanan
portal namun mengakibatkan munculnya sirkulasi hiperdinamik sebagai upaya
untuk meningkatkan tekanan portal kembali dengan jalan meningkatkan Cardiac
Output dan vasodilatasi splanchnic akibat penurunan katabolisme pada gangguan
Page 21
28
fungsi hati, pintasan portosistemik dan over produksi Nitrit Oxyde. Sirkulasi
hiperdinamik ini akan meningkatkan tekanan portal kembali Pembentukan sistem
kolateral akan mengakibatkan pembukaan pembuluh penghubung yang sudah ada
atau memicu angiogenesis (pembentukan vaskuler baru) yang dipicu VEGF
(Venous Endotel Growth Factor). Semua proses ini akan menghasilkan
terbentuknya varises. Varises bisa terbentuk pada esofagus ataupun gaster. Seiring
dengan peningkatan tekanan portal menyebabkan varises mengalami dilatasi dan
terjadi penipisan dinding sehingga tidak akan kuat untuk menahan desakan aliran
darah pada dinding pembuluh darah varises . Hal ini akan menyebabkan varises
ruptur dan terjadi perdarahan (Garcia Tsao et al, 2007; Waspodo, 2007).
Insiden varises pada penderita sirosis hati terkompensasi sebesar 40%,
sedangkan pada sirosis dengan ascites sebesar 60%, diperkirakan insiden baru
varises per tahun sebesar 5% . Peluang varises akan terbentuk 8% per tahun
terjadi pada pasien sirosis yang awalnya tidak memiliki varises , namun memiliki
HPVG > 10 mmHg. Insiden bleeding meningkat dari 12% menjadi 90% pada
pasien yang memiliki varises dalam kurun waktu 12 tahun. (Groszman, 2005;
Garcia Tsao et al, 2007;Hayes & Jalan, 2011).
Pada pemeriksaan endoskopi selain menetapkan ada atau tidak adanya
varises juga dapat ditetapkan ukuran, lebar, panjang ataupun lokasi varises.
Berdasarkan lokasi terjadinya varises pada sistem portal dapat dikelompokkan
menjadi dua yakni varises esofagus dan varises gaster.
a). Varises Esofagus
Sistem vena esofagus memiliki 3 komponen utama yaitu vena intrinsik,
vena perforata, dan vena ekstrinsik. Sebagian suplai darah pada varises esofagus
berasal dari vena gastrika kiri. Perdarahan varises gastroesofageal merupakan
penyulit utama hipertensi portal dan merupakan penyebab kematian utama pada
penderita sirosis. Klasifikasi varises esofagus antara lain : varises yang berukuran
kecil (F1), varises besar yang menempati kurang dari 1/3 lumen (F2), dan varises
berukuran besar yang menempati lebih dari 1/3 lumen. Manajemen terapi varises
esofagus antara lain skleroterapi, ligasi, balloon tamponade, terapi farmakologi
seperti obat vasoaktif dan resusitasi hemodinamik (Choudury & Sanyal,
2006;MacLaren, 2009; Waspodo, 2007).
Page 22
29
Dalam kurun waktu follow up selama 6 tahun, diketahui pertumbuhan
varises esofagus dari kecil menjadi besar sekitar 10-15%. Insiden perdarahan
berulang pada 6 minggu pertama berkisar 30-40%, di mana hari kelima
merupakan puncak hari perdarahan ulang dengan kisaran angka sebesar 40%.
Ancaman perdarahan ulang tetap tinggi pada minggu kedua dari satu episode
perdarahan dan menurun pada empat minggu berikutnya. Setelah melewati
minggu keenam resiko perdarahan kembali seperti semula. Penderita yang tetap
hidup setelah perdarahan pertama masih beresiko memperoleh perdarahan ulang
dalam kurun waktu 1-2 tahun sebesar 63% (Groszman, 2005; Waspodo, 2007).
b). Varises Gaster
Lebih sering terjadi pada prehepatik Hipertensi Portal. Varises gaster
dikelompokkan sebagai varises gastroesofageal (GOV) dan merupakan kelanjutan
dari varises esofagus. Bila berada di curvatura minor disebut GOV 1, bila menuju
fundus disebut GOV 2. Kelompok lainnya disebut isolated gaster varices (IGV)
yakni terjadi tanpa tergantung varises esofagus. Disebut IGV 1 bila berada di
fundus, dan IGV 2 bila berada di tempat lain dalam lambung. Prevalensi varises
gaster yakni : IGV 1 74%, IGV 2 16%, GOV 1 8%, dan GOV 2 2%. Sebanyak 5-
10% perdarahan saluran cerna disebabkan oleh varises gaster. Pasien yang
berdarah karena IGV beresiko untuk meninggal akibat perdarahan dibandingkan
pasien yang mengalami perdarahan dari GOV. Penatalaksanaan varises gaster saat
ini adalah metode endoskopik, bedah, TIPSS dan metode radiologik lainnya.
Metode farmakologi saat ini tidak digunakan dalam penatalaksanaan varises
gaster (Choudury & Sanyal, 2006; Setiawan et al, 2007; Waspodo, 2007).
Varises gaster lebih sering dijumpai pada prehepatik hipertensi portal. Pada
sirosis, prevalensinya lebih kecil dibandingkan varises esofagus. Kemungkinan
bleeding paling sering terjadi pada varises yang terletak di bagian fundus.
Prevalensi varises gaster terjadi sekitar 5-33% pasien dengan hipertensi portal dan
insiden bleeding terjadi 25% dalam waktu 2 tahun (Garcia Tsao et al, 2007).
Dagradi juga melakukan klasifikasi ukuran varises serupa yakni (Dagradi,
1996) :
a). Grade 1 : varises berwarna biru atau merah berdiameter < 2 mm
Page 23
30
b). Grade 2: varises berwarna biru atau merah berdiameter 2-3 mm
c). Grade 3: varises menonjol berdiameter 3-4 mm
d).Grade 4:varises tortuous berdiameter > 4mm dan saling
bersinggungan di garis tengah
e). Grade 5: varises grapelke menutup lumen dengan cherry red spot di
puncaknya.
Etiologi dari perdarahan varises masih belum jelas. Akan tetapi faktor-
faktor yang memungkinkan memicu bleeding antara lain peningkatan tekanan
pada varises, ukuran varises dimana semakin besar ukuran varises akan semakin
mudah untuk ruptur, desakan dinding yang meningkat pada varises, dimana ketika
pemeriksaan endoskopi menunjukkan terdapat cherry spot atau red wale marks
pada varises menandakan bahwa varises tersebut berpeluang untuk ruptur serta
derajat kronisnya penyakit liver (Hayes & Jalan, 2011).
Portal hypertensive gastropathy (PHG) dapat terjadi baik pada pasien
sirosis ataupun non sirosis. Kurang lebih 65% penderita sirosis dengan hipertensi
portal juga akan mengalami PHG. Diagnosis PHG hanya bisa ditetapkan dengan
endoskopi. Biasanya akan tampak berupa kongesti pada vena mukosa gaster. Pada
pasien sirosis, PHG biasanya berhubungan dengan keberadaan varises esofagus
ataupun gaster. Insiden PHG meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat
keparahan penyakit liver. Patogenesis PHG sendiri belum begitu jelas.
Keberadaan PHG dan varises esofagus biasanya dapat menimbulkan prognosis
rupturnya varises esofagus. Terapi PHG antara lain dengan intervensi farmakologi
yang menurunkan tekanan portal ataupun tindakan medis (Lee et al, 2001).
2.3.3.2 Penyebab Non Varises
Penyebab non varises yang sering mengakibatkan perdarahan saluran cerna
bagian atas antara lain :
a). Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan salah satu kausa perdarahan saluran cerna
bagian atas yang sering ditemui disertai dengan tingkat mortalitas dan morbiditas
yang tinggi. Di Amerika dan Yunani, kasus ulkus duodenal lebih sering dijumpai
dibandingkan ulkus peptikum. Tingginya kasus ulkus peptikum disebabkan oleh
Page 24
31
infeksi Helycobacter pylorii, penggunaan NSAID jangka panjang atau dosis tinggi
Aspirin, kebiasaan merokok, ataupun mengkonsumsi minuman beralkohol, dan
hipersekresi asam lambung contohnya akibat Zollinger Ellison Syndrome (Cappell
& Friedel, 2008; Holster & Kuipers, 2011).
Perdarahan pada ulkus peptikum timbul dari erosi yang terletak di bawah
arteri dan derajat keparahan perdarahannya berdasarkan pada ukuran dan diameter
luka yang terbentuk. Semakin besar luka yang terbentuk maka semakin parah
perdarahannya. Kebanyakan pasien yang didiagnosis ulkus peptikum bisa
memiliki riwayat dyspepsia ataupun tidak. Salah satu gejala ulkus yang sering
nampak adalah nyeri epigastric. Ulkus duodenum sering menimbulkan
manifestasi berupa nyeri abdominal yang biasanya hilang setelah makan, namun
nyeri bisa muncul 1-2 jam kemudian (Cappell & Friedel, 2008; Palmer, 2010).
b). Gastritis erosiva
Merupakan peradangan pada bagian mukosa lambung sebesar kurang lebih
3-5 mm dan peradangan yang terjadi tidak berpenetrasi ke dalam mukosa
muscularis. Gastritis erosiva dapat diakibatkan penggunaan obat seperti NSAID
ataupun aspirin yang dapat menyebabkan perdarahan gastropati berselang 24 jam
setelah pemakaian. Gastritis erosiva juga kerap terjadi pada kondisi psikologis
yang berat seperti luka bakar, sepsis, trauma, pasca pembedahan, shock, atau
gangguan pada pernafasan, ginjal ataupun liver. Stress ulcer dapat terjadi akibat
adanya hipoperfusi akibat adanya vasokontriksi splanchnic selama stress
psikologik berlangsung. Hal ini akan menyebabkan produksi mukosa lambung
menurun akibat kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga rawan mengalami erosi
(Kumar, 2008).
c). Mallory Weiss Tear
Timbul akibat robeknya mukosa pada saluran penghubung esofagus dan
gaster. Perdarahan dapat terjadi ketika pleksus arteri atau vena pada daerah
tersebut terpapar robekan mukosa. Kejadian ini dapat dipicu oleh tarikan saat
vomiting yang berkepanjangan. Perdarahan yang terjadi biasanya cepat, dapat
berhenti secara spontan dan dapat tertangani dalam jangka waktu beberapa hari
Page 25
32
sehingga endoskopi terapi ataupun tindakan bedah biasanya tidak perlu dilakukan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan Mallory Weiss Tear antara lain
penyalahgunaan alkohol, nausea ataupun vomiting pada kondisi-kondisi tertentu
seperti kemoterapi, toksisitas digoksin, atau gagal ginjal (Kumar, 2008; Palmer,
2010).
d). Oesophagitis
Oesophagitis dapat menjadi salah satu manifestasi dari GERD ketika
esofagus terpapar isi lambung akibat suatu respon refluks, infeksi (candida atau
cytomegalovirus), terapi radiasi, penggunaan obat (quinidine, alendronate,
tetracyclin). Manifestasinya berupa muntah hitam akibat darah tercampur asam
lambung. Dalam kebanyakan kasus, penanganannya memerlukan PPI dan terapi
suportif konservatif . Gejala yang sering timbul antara lain nyeri ulu hati, nyeri
dada, rasa tidak nyaman di lambung dan nausea (Kumar, 2008; Palmer, 2010).
e). Arteriovenous malformation
Merupakan manifestasi dari gangguan pada sistem sirkulasi, termasuk
vaskular ectasia, angioma, dan angiodysplasia dan biasanya merupakan bawaan
sejak lahir. Malformasi yang terbentuk akan berwujud sekumpulan pembuluh
darah yang tidak beraturan menyerupai benang yang kusut yang disebut nidus.
Antara arteri ataupun vena akan saling terhubung sehingga memungkinkan arteri
untuk mengalirkan darah menuju vena dan mengakibatkan vena mengalami
dilatasi akibat meningkatnya aliran darah sehingga akhirnya ruptur dan
mengakibatkan perdarahan. Malformasi berukuran besar atau kompleks lebih
cenderung menyebabkan perdarahan yang disertai anemia karena kekurangan zat
besi. Kebanyakan perdarahan baru terjadi pada usia lanjut (Kumar, 2008: Palmer,
2010).
Gastric Antral Vascular Ectasia (GAVE) merupakan kelainan vaskular
yang jarang ditemukan. GAVE ditandai dengan bercak merah linear atau difus di
daerah pilorus hingga antrum pada lambung. Sekitar 70% penderita GAVE tidak
mengidap sirosis dan diatasi dengan endoskopi terapi atau tindakan bedah. Ketika
Page 26
33
GAVE dialami penderita sirosis yang juga mengidap PHG, manajemen terapinya
harus dibedakan (Lee et al, 2001; Palmer, 2010).
f). Keganasan
Oesophagogastric tumours merupakan kausa perdarahan saluran cerna
bagian atas yang jarang. Jenis tumor yang sering ditemui adalah Leiomyoma yang
dapat menjangkiti lapisan otot pada dinding lambung ataupun usus. Erosi yang
terbentuk akan memberikan gambaran tertentu pada endoskopi. Tumor akan
mengerosi arteri dan menyebabkan perdarahan. Adanya bentuk keganasan lain
yakni kanker juga dapat menimbulkan perdarahan disertai anemia kekurangan zat
besi (Palmer, 2010).
2.3.4 Manifestasi Klinis dan Komplikasi
Manifestasi perdarahan saluran cerna bagian atas berupa hematemesis
(muntah darah) berupa darah segar atau kehitaman karena bercampur dengan
asam lambung ataupun melena (berak hitam) dengan atau tanpa penurunan status
hemodinamik (ASGE, 2012).
Adanya perdarahan akan menimbulkan hilangnya sejumlah volume darah
dari dalam tubuh. Ketika terjadi penurunan volume intravaskular akan terjadi pula
penurunan suplai oksigen ke seluruh tubuh dan mengakibatkan keadaan shock
yang disebut hypovolemic shock. Manifestasi hypovolemic shock antara lain
hipotensi arteri dan asidosis metabolik. Penurunan tekanan darah pada arteri akan
menimbulkan penurunan perfusi ke seluruh organ tubuh dan dapat menyebabkan
kegagalan fungsi organ. Asidosis metabolik dapat timbul akibat terakumulasinya
asam laktat yang disebabkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerob (Boucher
& Wood, 2008).
Page 27
34
Tabel II.7 Kelas Perdarahan Akut Menurut American College of Surgeon (Boldt, 2008).
Faktor I II III IVJumlah darah yang hilang (mL)
< 750 750-1500 1500-2000 >2000
Jumlah darah yang hilang dari sirkulasi (%)
<15 15-30 30-40 >40
Denyut (beat/menit)
>100 >100 >120 >140
Tekanan darah sistolik
Normal Normal Menurun Menurun
Pulse pressure
Normal/meningkat Menurun Menurun Menurun
Capillary refill test
Normal Positif Positif Positif
Respiration per minute
14-20 20-30 30-40 >40
Urine output (mL/hr)
30 atau lebih 20-30 5-10 Dapat diabaikan
Status mental Ansietas ringan Ansietas sedang
Ansietas bingung
Bingung-letargi
Fluid replacement
Kristaloid Kristaloid Kristaloid + produk darah
Kristaloid + produk darah
Gejala hypovolemic shock tampak ketika terjadi kehilangan 750 mL volume
intravaskular atau 15% darah dari sirkulasi. Jika hypovolemic shock tidak segera
diatasi dengan pemberian resusitasi cairan, maka akan dapat menimbulkan
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS dapat terjadi pada 20%
pasien yang trauma dan memerlukan resusitasi. Gejala shock antara lain tekanan
sistole < 90 mmHg atau terjadi penurunan > 40 mmHg, takikardi, hipotermia,
oliguria, urine yang berwarna gelap, warna kulit yang cyanotic pada kasus shock
yang berat, suhu tubuh yang rendah, kesadaran menurun atau koma. Sedangkan
dari data laboratorium akan terlihat hipernatremi, peningkatan serum kreatinin,
peningkatan serum BUN, penurunan hematokrit, peningkatan serum laktat, dan
penurunan pH arteri (Boucher & Wood, 2008).
Page 28
35
2.3.5 Penatalaksanaan Terapi
Ketika pasien datang dengan manifestasi perdarahan saluran cerna bagian
atas, assesment harus dilakukan dengan teliti dan adekuat untuk menentukan
langkah terapi selanjutnya. Assesment yang dilakukan dapat meliputi history
taking pasien, pemeriksaan fisik, data klinik ataupun data laboratorium. History
taking yang dilakukan berfokus pada riwayat penyakit saluran gastrointestinal dan
komorbid yang signifikan. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan
menemukan tanda-tanda spesifik yang relevan dengan perdarahan saluran cerna
pasien. Tingkat keparahan perdarahan dan syok dapat terlihat dari tanda-tanda
fisik pasien. Pada data laboratoriumnya akan menunjukkan peningkatan BUN ,
penurunan eritrosit, penurunan hematokrit, kurangnya zat besi ataupun
keukositosis. Hal ini penting untuk menentukan langkah terapi selanjutnya karena
terdapat perbedaan penatalaksanaan terapi antara perdarahan saluran cerna bagian
atas yang disebabkan oleh varises dan non varises (Sarin et al, 2011).
2.3.5.1 Penatalaksanaan Terapi Perdarahan Varises
Terdapat perbedaan penatalaksanaan varises esofagus dan varises gaster.
(1) Manajemen terapi untuk mengatasi perdarahan pada varises esofagus (Sarin et
al, 2011).
a) Resusitasi cairan tubuh dan faktor pembekuan darah
Ketika terjadi perdarahan, sejumlah cairan intravaskular akan turut hilang dan
terjadi ketidakstabilan hemodinamik. Resusitasi cairan harus dilakukan dengan
konservatif dan sesuai dengan indikasi. Resusitasi cairan harus segera dilakukan
dengan cairan kristaloid dan packed red cell. Tekanan sistolik harus
dipertahankan pada 90-100mmHg, dan Heart Rate kurang dari 100x / menit
dengan rentang nilai kadar Hemoglobin 7-8 g/dL (Hematokrit 21-24%). Transfusi
darah dilakukan secara konservatif dan tepat indikasi. Transfusi yang berlebihan
dapat memicu peningkatan kembali tekanan portal dan meningkatkan resiko
rebleeding terjadi lebih cepat. Fresh Frozen Plasma dan Platelet (terutama
diberikan bila jumlah platelet 50.000/mL) tidak adekuat dalam koreksi
koagulopati dan dapat memicu volume yang overload serta peningkatan tekanan
portal kembali. Penggunaan rekombinan faktor VII menunjukkan efikasi
Page 29
36
pencapaian keadaan hemostasis tetapi tidak meningkatkan indeks survival
sehingga relatif tidak direkomendasikan. Oksigenasi dan pembebasan jalan nafas
juga perlu dilakukan kepada pasien dengan perdarahan yang berat. Antibiotik
profilaksis short term juga diberikan untuk meminimalkan resiko infeksi,
meminimalkan resiko rebleeding dan meningkatkan indeks survival. Antibiotik
yang dapat diberikan adalah Ceftriaxone intravena 2-4g / hari selama 5-7 hari
(Sarin et al, 2011).
Setelah keadaan hemodinamik tercapai dengan adanya resusitasi atau
transfusi, terapi empirik dapat diberikan baik pada kondisi perdarahan yang tidak
aktif ataupun perdarahan yang masih aktif terjadi. Terapi empirik yang diberikan
dapat berupa vitamin K, anti sekretori, antasida ataupun sukralfat (Setiawan et al,
2007).
b) Mengontrol pendarahan
Terapi farmakologi dengan obat vasoaktif harus diberikan sesegera mungkin
ketika pasien diduga mengalami perdarahan varises berdasarkan assesment yang
adekuat ataupun ketika kestabilan hemodinamik tidak tercapai dengan adanya
resusitasi cairan. Pengontrolan perdarahan akan lebih efektif dengan
menggunakan kombinasi terapi farmakologi dan terapi endoskopi. Terlipressin
dipilih sebagai lini pertama terapi farmakologi ketika tersedia dan tidak ada
kontraindikasi. Jika tidak tersedia, Somatostatin dan analognya seperti Octreotide
dapat digunakan. Terlipressin yang merupakan analog Vasopressin dapat
diberikan 2 mg tiap 4 jam selama 48 jam. Setelah perdarahan terkontrol selama 24
jam, obat ini dapat diturunkan dosisnya hingga separuhnya. Obat ini tidak boleh
diberikan pada penderita dengan gangguan jantung atau gangguan pembuluh
darah yang berat. Terlipressin memiliki efek samping yang lebih kecil
dibandingkan Vasopressin (Garcia Tsao et al, 2007; Waspodo, 2007;
Hackworth&Sanyal, 2009; Sarin et al, 2011; Setiawan et al, 2007).
Ketika Terlipressin tidak tersedia, Somatostatin, Octreotide ataupun
Valpreotide dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Somatostatin,
Octreotide atau Valpreotid dapat digunakan sebagai vasokonstriktor splanchnic
dengan mekanisme menghambat peptida vasodilator seperti Glukagon.
Page 30
37
Somatostatin dapat diberikan 250 µg bollus diikuti 250 µg / jam. Terapi infus
diberikan selama kurang lebih 5 hari dan dipantau perkembangannya. Efek
samping Somatostatin yang paling sering adalah bradikardi, hiperglikemia
ataupun diare namun tidak begitu berat. Octreotide yang merupakan analog
Somatostatin dapat diberikan sebesar 50 µg bollus diikuti 50 µg / jam infus.
Terapi infus juga diberikan selama 5 hari. Octreotide diduga memiliki efek
vasokontriksi lokal. Takiphylasis, bradikardia, hiperglikemia ataupun diare
menjadi efek samping dari obat ini. Valpreotide dapat diberikan dengan dosis
yang sama dengan Octreotide. Pemberian Octreotide sama efektifnya dengan
sclerotherapy dalam menghentikan perdarahan. Namun, tindakan endoskopi tetap
perlu dilakukan untuk memantau perkembangan pengobatan. Monitoring dapat
dilakukan dengan memasang Nasogastric Tube, namun pemasangan Nasogastric
Tube rutin tidak direkomendasikan (Garcia Tsao et al, 2007; Waspodo, 2007;
Hackworth&Sanyal, 2009; Sarin et al, 2011; Setiawan et al, 2007).
c). Endoskopi
Kombinasi terapi farmakologi dan endoskopi terapi merupakan lini pertama
dalam penatalaksanaan terapi perdarahan varises. Terapi endoskopi yang dapat
dilakukan antara lain adalah skleroterapi, ligasi atau penggunaan perekat jaringan
seperti sianoakrilat. Endoskopi terapi dapat dilakukan bila status hemodinamik
pasien stabil dengan resusitasi atau pemberian obat vasoaktif sebelumnya.
Pemberian injeksi PPI diperbolehkan bila ada keraguan terhadap diagnosis
perdarahan varises. Endoscopic Variceal Ligation (EVL) merupakan endoskopi
terapi pilihan utama pada penatalaksanaan perdarahan varises. Namun, jika situasi
tidak memungkinkan untuk melakukan EVL, Endoscopic Sclero Therapy (EST)
bisa dilakukan (Sarin et al, 2011).
d). Tindakan bedah
Prosedur bedah seperti balloon tamponade atau TIPSS juga bisa dilakukan.
Ballon tamponade diindikasikan pada perdarahan yang tidak terkontrol. TIPSS
diindikasikan pada perdarahan yang tidak terkontrol sesudah dilakukan pemberian
Page 31
38
terapi farmakologi dan tindakan endoskopi terapi (Sarin et al, 2011; Setiawan et
al, 2007).
(2) Manajemen terapi untuk mengatasi perdarahan pada varises gaster : (Sarin et
al, 2011).
Ketika pasien datang dalam kondisi perdarahan akut, penatalaksanaan awal
hampir sama dengan penatalaksanaan awal pada perdarahan varises esofagus.
Namun, setelah diketahui terdapat varises gaster dari endoskopi diagnostik,
penatalaksanaannya menjadi berbeda. Melalui temuan pada endoskopi, varises
gaster diklasifikasikan terlebih dahulu menjadi GOV dan IGV. Penatalaksanaan
pada GOV sama dengan penatalaksanaan pada varises esofagus. Sementara TIPSS
bisa dilakukan pada perdarahan varises gaster yang tidak terkontrol. TIPSS juga
bisa dilakukan pada IGV (Sarin et al, 2011; Setiawan et al, 2007).
(3)Manajemen terapi untuk pencegahan perdarahan dan perdarahan ulang :
Semua pasien yang sudah didiagnosa sirosis dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya varises pada saat diagnosis sirosis
ditegakkan. Hal ini dapat dilakukan dengan endoskopi. Jika pada saat endoskopi
pertama tidak ditemukan varises, pasien harus diendoskopi ulang dalam waktu
interval 3 tahun. Jika terdapat varises kecil maka pasien harus diendoskopi dengan
interval waktu satu tahun (Setiawan et al, 2007).
Jika didapati varises grade 3 maka pasien harus mendapatkan profilaksis
primer tanpa memandang tingkat keparahan penyakit, profilaksis primer juga
dilakukan pada pasien dengan varises grade 2 dengan kriteria Child B atau Child
C. Profilaksis primer merupakan tindakan pencegahan perdarahan yang pertama
kali setelah diketahui terdapat varises yang berisiko terjadi bleeding. Pada
pencegahan primer ini yang perlu dilakukan adalah mengatasi sumber yang
menyebabkan terjadinya varises, yaitu hipertensi portal serta mengatasi varises.
Penurunan hipertensi portal dapat dilakukan dengan memberikan obat golongan
non-selektif β blocker, antara lain yang disarankan Propanolol dan Nadolol.
Pemberian obat ini bertujuan untuk menurunkan gradien tekanan vena hepatik
sampai kurang dari 12mmHg. Penggunaannya tidak boleh dihentikan di tengah
Page 32
39
jalan karena resiko bleeding selalu ada jika pemberian terapi dihentikan
mendadak. Obat ini efektif bila diberikan pada klasifikasi Child Pugh A atau B
dan tidak efektif sebagai profilaksis primer klasifikasi Child Pugh C. Jika pasien
kontraindikasi atau intoleran dengan penyekat β non selektif dapat digunakan
Isosorbide Mononitrat, hanya saja penggunaan nitrat secara tunggal tidak baik
bagi pasien karena akan dapat menyebabkan hipotensi sistemik. Ligasi varises
atau EVL sering menjadi alternatif karena sama efektifnya dengan pemberian obat
namun jika tidak dilakukan dengan tepat akan menyebabkan perforasi gaster.
Ligasi memang lebih efektif dibandingkan pemberian penyekat β non selektif
namun tidak berarti dapat meningkatkan ketahanan hidup pasien (Garcia Tsao et
al, 2007; Sarin et al, 2008; Setiawan et al, 2007).
Pencegahan untuk menghindari pendarahan ulang dilakukan dengan
memberikan non selektif β blocker seperti pada pencegahan primer. Selain itu
terapi endoskopi lanjutan tetap disarankan karena memiliki tingkat keberhasilan
lebih tinggi, namun mana yang digunakan tetap bergantung pada penyebab
terjadinya pendarahan. Kombinasi non selektif β blocker dan EVL merupakan
pilihan terapi terbaik untuk profilaksis sekunder (Garcia Tsao et al, 2007).
Gambar 2.5: Manajemen Perdarahan Varises Akut (Setiawan et al, 2007)
Initial assesment : pengumpulan data subjektif dan objektif
Resusitasi cairan
Terapi empirik
Obat vasoaktif
endoscopy
Hemodinamik tidak stabil, perdarahan aktifHemodinamik stabil, perdarahan tidak aktif
Hemodinamik stabil, perdarahan berhenti Hemodinamik tidak stabil, perdarahan masih terjadi
Page 33
40
Resusitasi
Ya Tidak
Tidak teratasi Teratasi
Kekambuhan perdarahan varises
Eradikasi follow up 3 Dan 6 bulan
Gambar 2.6 Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Varises dan Monitoring (Setiawan et al, 2007)
2.3.5.2 Penatalaksanaan Terapi Perdarahan Non Varises
(1) Resusitasi
Ketika pasien datang dengan kondisi perdarahan, maka dilakukan
resusitasi untuk mempertahankan tekanan darahnya dan mengganti sejumlah
cairan yang hilang dari tubuh. Pasien dengan kondisi shock harus langsung
memperoleh perawatan intensif. Produk darah seperti Packed Red Cell (PRC)
harus diberikan bila terdapat tanda-tanda perdarahan aktif. Produk darah lainnya
seperti faktor koagulasi ataupun platelet juga dapat digunakan untuk membantu
pengontrolan perdarahan (ASGE, 2012).
Seperti varises esofagus
TIPSS
Balloon tamponade
Eradikasi Ligasi
TIPSS
Pertimbangkan untuk TIPSS atau bedah
Perdarahan Saluran Cerna
Ada endoskopi
Endoskopi Saluran
Cerna AtasObat Vasoaktif :
Somatostatin, Octreotide
Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises gaster
Merujuk pada endoskopi
GOV IGVLigasi / skleroterapi
Page 34
41
(2) Penggunaan Nasogastric Tube
Penggunaan Nasogastric Tube (NGT) ditujukan terutama pada pasien yang
masih mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas yang aktif. Darah merah
segar yang tampak melalui selang dapat digunakan sebagai indikasi pasien
memiliki lesi atau luka pada saluran pencernaan. Akan tetapi, walaupun darah
tidak tampak melalui selang , masih ada kemungkinan pasien tetap mengalami
perdarahan aktif. Kurang lebih sebanyak 15% pasien yang mengalami perdarahan
aktif bisa memiliki hasil NGT yang negatif. Keuntungan penggunaan NGT adalah
ketika melakukan kumbah lambung, tingkat keparahan perdarahan bisa diketahui
dengan menghitung berapa volume normal saline yang diperlukan untuk
membersihkan lambung dan membantu pembersihan saluran pencernaan dari
darah ataupun lesi sehingga membantu pencitraan pada saat dilakukan endoskopi.
Namun, penggunaan NGT sejatinya masih kontroversial karena bukan indikator
mutlak bahwa perdarahan sudah berhenti dan penggunaannya menimbulkan rasa
ketidaknyamanan pada pasien. Komplikasi terkait penggunaan NGT dilaporkan
jarang. Namun komplikasi yang mungkin timbul adalah trauma pemasangan NGT
ataupun gastric erosiva. Pembersihan lambung yang tidak maksimal dapat
mengganggu pengamatan pada saat dilakukan endoskopi (ASGE, 2012; Cappell
& Friedel, 2008; Kumar, 2008).
(3) Terapi Farmakologi untuk mengatasi perdarahan
Sebelum dilakukan endoskopi untuk menegakkan diagnosa, terlebih
dahulu keadaan pasien distabilkan dengan resusitasi ataupun dengan intervensi
farmakologi. Pemberian infus intravena PPI direkomendasikan. Pemberian infus
intravena PPI sebelum endoskopi tidak lantas menurunkan resiko mortalitas
namun dapat menurunkan resiko adanya lesi yang beresiko untuk berdarah dan
meminimalkan penggunaan terapi endoskopik (ASGE, 2012).
Pemberian infus intravena PPI sebelum endoskopi akan menetralkan pH
lambung dan menstabilkan bekuan darah. Di bawah pH 6, stabilitas bekuan darah
akan menurun sehingga perdarahan beresiko kembali terjadi. Oleh karena itu pH
lambung harus diusahakan supaya tetap berada di atas angka 6. Omeprazole dosis
tinggi yakni 80 mg bolus intravena diikuti Omeprazole 8 mg/jam infus dapat
Page 35
42
diberikan. Pemberian Omeprazole dosis tinggi intravena dapat menurunkan
pepsin yang menginduksi bekuan darah untuk lisis dan meningkatkan agregasi
platelet sehingga menurunkan kemungkinan lesi untuk berdarah lagi dan
meminimalisasi penggunaan endoskopi terapi. (Holster & Kuipers, 2011; Palmer,
2010; Pang & Graham, 2010).
Setelah tercapai keadaan yang hemostasis dengan adanya endoskopi terapi,
PPI infus intravena masih bisa tetap diberikan. Pemberiannya akan menurunkan
kemungkinan rebleeding terutama pada ulkus dengan lesi yang cukup beresiko
untuk mengalami perdarahan. Omeprazole intravena 80 mg bolus disertai infus
8mg/jam selama 72 jam dapat diberikan. Namun, terdapat penelitian yang
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan efikasi yang signifikan antara
pemberian infus PPI dosis tinggi dan dosis rendah pada pasien yang memiliki
resiko rebleeding yang rendah. Contohnya adalah pemberian Pantoprazole 40 mg
bolus/hari. Hal ini tentunya akan dapat meringankan biaya yang harus dikeluarkan
pasien, mengingat harga PPI dosis tinggi tentu saja lebih mahal dibandingkan
dosis rendah (Liang et al, 2012; Holster & Kuipers, 2011).
Pemberian Pantoprazole dengan dosis sama juga diduga equipoten dalam
meningkatkan pH intragastric. Pantoprazole infus intravena dosis rendah juga
diduga dapat menurunkan resiko rebleeding sama seperti pemberian infus
intravena dosis tinggi pada pasien yang memiliki resiko rebleeding yang rendah.
Akan tetapi infus Lansoprazole diduga meningkatkan pH intragastric lebih cepat
dibanding PPI yang lain. Pemberian PPI bersama antasida atau natrium bikarbonat
diyakini akan meningkatkan pH intragastric lebih cepat dibandingkan penggunaan
PPI tunggal. Pemberian PPI bolus dan oral diyakini sama efektifnya dengan
pemberian infus PPI, namun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut
(Liang et al, 2012; Pang & Graham, 2010).
PPI Intravena juga sering diberikan pada pasien sirosis terutama pada
pasien sirosis dengan perdarahan saluran cerna akut yang mana lokasi
perdarahannya masih belum jelas. PPI Intravena juga kerap diberikan pada pasien
pasca ligasi varises untuk mencegah luka akibat ligasi. PPI diduga dapat
meningkatkan resiko SBP pada pasien sirosis. Hal ini didasarkan pada hipotesis
bahwa dengan adanya peningkatan pH lambung maka akan terjadi peningkatan
Page 36
43
kolonisasi bakteri saluran cerna. Adanya peningkatan kolonisasi bakteri pada
saluran cerna ini memungkinkan translokasi bakteri menuju ke rongga peritoneal
dan meningkatkan resiko SBP (Bajaj et al, 2009; Pang & Graham, 2010).
(4). Endoskopi
Endoskopi pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
sangat membantu dalam proses untuk menegakkan diagnosa dan terapi sehingga
menurunkan penggunaan transfusi darah dan memperpendek masa rawat inap.
Endoskopi yang dilakukan berselang 24 jam pertama setelah pasien datang
dengan kondisi perdarahan memiliki dampak yang lebih baik dibandingkan
endoskopi yang tertunda. Endoskopi yang dilakukan lebih awal jauh lebih aman
dan efektif terhadap berbagai segala kemungkinan kausa, menegakkan diagnosa
secepat mungkin sehingga bisa manajemen terapi ke depan bisa segera ditentukan
lebih cepat, memperpendek masa rawat inap pasien, dan meminimalkan
kemungkinan tindakan bedah. Endoskopi darurat sebaiknya segera dilakukan pada
pasien dengan perdarahan akut yang sudah stabil (ASGE, 2012; Holster &
Kuipers, 2011).
Tabel II. 8 Kemungkinan Rebleeding Berdasarkan Penemuan Endoskopi Sebelum Dilakukannya Endoskopi Terapi (ASGE, 2012).
Noda hasil penemuan endoskopi Kemungkinan Rebleeding (%)Noda pada arteri yang masih mengalami perdarahan dan memancar
100
Penampakan pembuluh darah tanpa adanya perdarahan
Sampai 50
Perlekatan bekuan darah tanpa adanya perdarahan
8-35
Luka yang berlendir 10-27Noda yang flat <8Luka tanpa bekas perdarahan <3
Penggunaan agen prokinetik sebelum dilakukannya prosedur endoskopi
dapat menurunkan resiko endoskopi ulang dalam menetapkan lokasi perdarahan.
Obat yang bisa digunakan adalah Erythromycin intravena atau Metoclopramide
sekitar 20-120 menit sebelum dilakukan endoskopi pada pasien yang mengalami
perdarahan akut. Akan tetapi masih belum terdapat penelitian lebih lanjut
mengenai penggunaan prokinetik secara rutin. Macam endoskopi terapi yang bisa
Page 37
44
dilakukan antara lain dengan metode injeksi, cautery ataupun teknik mekanik.
Endoskopi ulang dengan selang waktu 24 jam dari endoskopi pertama tidak
direkomendasikan (ASGE, 2012).
Endoskopi terapi direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien dengan
diagnosa ulkus peptikum dengan noda atau luka yang beresiko untuk mengalami
perdarahan atau perdarahan aktif yang masih memancar. Setelah prosedur
endoskopi terapi dilakukan, pemberian infus PPI intravena direkomendasikan
selama 72 jam untuk menurunkan resiko rebleeding pasca endoskopi (ASGE,
2012).
2.4 Terapi Farmakologi pada Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
2.4.1 Proton Pump Inhibitor
Proton Pump Inhibitor (PPI) merupakan golongan obat yang menekan
produksi asam lambung. Strukturnya terdiri dari benzimidazole yang berikatan
secara kovalen dengan enzim H+/K+ ATP ase secara selektif dan irreversibel
sehingga sekresi asam tidak terjadi. PPI lebih poten dibanding antagonis H2
dalam menekan produksi asam sehingga PPI sering menjadi pilihan bila supressi
asam lambung diperlukan (Pang & Graham, 2010).
Tabel II 9 Perbandingan Farmakokinetika PPI (Shi & Klotz, 2008)
Terdapat lima macam PPI yakni Omeprazol, Lansoprazol, Rabeprazol,
Pantoprazol dan Esomeprazol. Semuanya merupakan benzimidazol yang
strukturnya menyerupai antagonis H2. PPI oral diberikan sebagai prekursor yang
tidak aktif. Untuk melindungi prekursor obat yang labil asam ini agar tidak cepat
dihancurkan asam lambung biasanya sediaan oralnya diformulasikan dalam
Page 38
45
bentuk salut enterik. PPI merupakan basa lemah (pH 4,5) dan berdifusi dengan
cepat setelah terabsorbsi di usus. (McQuaid, 2007).
Omeprazole dosis tinggi yakni 80 mg bolus intravena diikuti Omeprazole
8 mg/jam infus dapat diberikan untuk meningkatkan pH intragastric dan
menstabilkan bekuan darah yang terbentuk. Setelah tercapai keadaan yang
hemostasis dengan adanya endoskopi terapi, PPI infus intravena masih bisa tetap
diberikan. Pemberiannya akan menurunkan kemungkinan rebleeding terutama
pada ulkus dengan lesi yang cukup beresiko untuk mengalami perdarahan.
Omeprazole intravena 80 mg bolus disertai infus 8mg/jam selama 72 jam dapat
diberikan. Namun, terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan efikasi yang signifikan antara pemberian infus PPI dosis tinggi dan
dosis rendah pada pasien yang memiliki resiko rebleeding yang rendah.
Contohnya adalah pemberian Pantoprazole 40 mg bolus/hari. (Holster & Kuipers,
2011; Liang et al, 2012; Pang & Graham, 2010).
Efek samping dari PPI antara lain hipoasiditas dan hipergastrinemia.
Hipergastrinemia jangka panjang dapat menyebabkan hiperplasia sel ECL dan
dapat menjurus ke arah keganasan. PPI juga dapat mengakibatkan diare, sakit
kepala, dan nyeri abdomen meski jarang, dan peningkatan infeksi usus dan paru.
Supressi asam lambung jangka panjang dapat menyebabkan peradangan lambung
yang mengarah pada atrofi gaster. Omeprazol dapat menghambat metabolisme
kumarin, diazepam dan fenitoin. Esomeprazol juga dapat mengurangi
metabolisme diazepam, Lansoprazol dapat meningkatkan bersihan teofilin,
Rabeprazol dan Pantoprazol tidak menunjukkan interaksi yang signifikan
(McQuaid, 2007; Shi & Klotz, 2008).
2.4.2 Vasoactive Drugs
a) Vasopressin
Vasopressin di dalam tubuh merupakan hormon peptida yang dilepaskan
hipofisis anterior. Vasopressin memiliki sifat antidiuretik dan vasopressor.
Stimulasi pada reseptor V1 akan memicu vasokonstriksi splanchnik dan sistemik,
sementara stimulasi di reseptor V2 akan menyebabkan retensi air sehingga dapat
menyebabkan hiponatremia dan stimulasi pada reseptor V3 akan mempengaruhi
Page 39
46
sistem saraf pusat. Seperti penyekat reseptor β non selektif, Vasopressin juga
memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif. Vasopressin harus diberikan
secara intravena atau intramuskular. Vasopressin tidak bisa diberikan peroral
karena akan dinonaktifkan oleh enzim-enzim pencernaan. Vasopressin memiliki
waktu paruh di sirkulasi selama 15 menit. Vasopressin dimetabolisme di hati dan
ginjal melalui reduksi ikatan disulfida dan pemecahan peptida. Vasopressin 0,4 U
IV bollus diikuti 0,4-1 U IV infus per jam dapat diberikan untuk menghentikan
perdarahan dengan mekanisme direct vasokonstriktor pada arteri mesentrika
sehingga terjadi penurunan tekanan portal, penurunan aliran kolateral
portosistemik, dan tekanan pada varises. Akan tetapi penggunaan Vasopressin
mulai dibatasi untuk mencegah komplikasi kardiovaskular seperti peningkatan
resistensi perifer dan penurunan curah jantung. Untuk mengantisipasi resiko ini,
Vasopressin dapat dikombinasi dengan Nitrogliserin 40-400 µg / menit intravena.
Penggunaan Vasopressin yang dikombinasi dengan Nitrogliserin sangat
direkomendasikan untuk mengontrol perdarahan akut karena menurunkan tekanan
portal lebih efektif dibandingkan penggunaan Vasopressin tunggal ( Choudry &
Sanyal, 2006 ;Garcia Tsao et al, 2007; Reid, 2007 ; Hackworth & Sanyal, 2009;
Hayes, 2011).
b) Terlipressin
Terlipressin merupakan analog sintetik Vasopressin yang memiliki
waktu paruh yang panjang sehingga pemberiannya dilakukan secara intermitten,
dapat diberikan 2 mg tiap 4 jam selama 48 jam. Nama lainnya adalah Glipressin.
Terlipressin mempunyai efek vasokontriksi sistemik segera diikuti efek
hemodinamik portal akibat konversi lambat menjadi Vasopressin. Terlipressin
diyakini memiliki efek retensi air yang kecil namun beberapa penelitan
menyebutkan stimulasi V2 oleh Terlipressin masih mungkin terjadi. Setelah
perdarahan terkontrol selama 24 jam, obat ini dapat diturunkan dosisnya hingga
separuhnya. Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan
jantung atau gangguan pembuluh darah yang berat. Pemberian Terlipressin
bersama Albumin dapat memperbaiki syndrom Hepatorenal. Terlipressin baik
digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan Nitrogliserin memiliki efek
Page 40
47
samping yang lebih kecil dibandingkan Vasopressin. Meskipun sudah tersedia di
berbagai negara, Terlipressin masih menjalani uji klinik di AS. Efektifitasnya
sama dengan penggunaan Somatostatin dan ballon tamponade , dan memiliki
efek samping yang kurang lebih sama dengan Somatostatin ( Bhatia & Lodha,
2010; Choudry & Sanyal, 2006 ; Garcia Tsao et al, 2007; Hackworth & Sanyal,
2009; Hayes & Jalan, 2011).
c) Somatostatin
Somatostatin merupakan inhibitor hormon peptida yang diproduksi
sel parakrin di saluran cerna dan bekerja dengan menghambat kerja hormon
vasodilator seperti Glukagon, Gastrin, sekretin, dan peptida yang bersifat
vasoaktif. Somatostatin mengakibatkan vasokontriksi splanchnic selektif dan
reduksi tekanan portal. Somatostatin diberikan 250 µg bollus diikuti 250 µg / jam.
Terapi infus diberikan selama kurang lebih 5 hari dan dipantau perkembangannya.
Efek samping Somatostatin yang paling sering adalah bradikardi, hiperglikemia
ataupun diare namun tidak begitu berat. Terapi infus juga diberikan selama 5 hari.
Penggunaan Somatostatin dinilai lebih baik dibandingkan Vasopressin jika
melihat efek samping yang terjadi (Choudry & Sanyal, 2006; Garcia Tsao et al,
2007; Hackworth & Sanyal, 2009 ; Hayes & Jalan, 2011).
d) Octreotide
Octreotide adalah analogue Somatostatin dan juga merupakan
vasokonstriktor mesentrika yang poten. Mekanisme kerjanya serupa dengan
Somatostatin. Octreotide hanya dua kali lebih poten dalam mengurangi sekresi
insulin sehingga pengaruh ke sel β di pankreas bersifat minimal dan efek samping
hiperglikemia jarang terjadi.Waktu paruh plasmanya 80 menit atau 30 kali lebih
lama dibandingkan Somatostatin. Octreotide diberikan dengan 50 µg bollus
diikuti 50 µg / jam infus. Pemberian Octreotide sama efektifnya dengan
sclerotherapy dalam menghentikan perdarahan. Terapi infus juga diberikan
selama 5 hari dan perkembangan pengobatan pasien dipantau dengan endoskopi.
Efek samping Octreotid adalah mual, muntah, kram perut dan steatorea dengan
peristaltik usus yang makin meningkat. Octreotide diduga memiliki efek
Page 41
48
vasokonstriktor lokal (Choudry & Sanyal, 2006; Garcia Tsao et al, 2007; Hayes &
Jalan, 2011).
2.4.3 Antagonis Reseptor H2
Obat golongan ini mensupressi produksi asam lambung dengan
menghambat reseptor histamin 2 di sel parietal. Yang termasuk dalam Anti H2
antara lain Cimetidine, Famotidine, Nizatidine dan Ranitidine. Anti H2 tidak
efektif dalam pencegahan ulserasi akibat efek samping NSAID. Namun, sebuah
penelitian menyebutkan bahwa dalam dosis tinggi, Anti H2 bisa digunakan untuk
mencegah ulserasi akibat efek samping NSAID. Dosis anti H2 oral yang dapat
digunakan untuk mencegah ulserasi antara lain Cimetidine 300 mg 4x sehari, 400
mg 2x sehari, 800 mg sebelum tidur. Famotidine 20 mg 2x sehari, 40 mg sebelum
tidur. Nizatidine 150 mg 2x sehari, 300 mg sebelum tidur dan Ranitidine 150 mg
2x sehari dan 300 mg sebelum tidur (Fong & Devlin, 2008).
Anti H2 dapat menurunkan insiden perdarahan gastritis yang dipicu oleh
stress pada penderita yang sakit berat dalam unit perawatan darurat. Anti H2 dapat
diberikan intravena baik sebagai intermitten ataupun infus kontinu. Efek samping
Anti H2 meliputi diare, sakit kepala, kelelahan, mialgia dan konstipasi namun
jarang terjadi. Simetidine mengganggu jalur metabolisme CYP1A2, CYP2C9,
CYP2D6, dan CYP3A4 sehingga waktu paruh obat-obat lain yang digunakan
bersama Cimetidine pada jalur tersebut menjadi memanjang. Ranitidine berikatan
4-20x lebih longgar terhadap sitokrom p450 dibanding Cimetidine. Interaksi tidak
bermakna terjadi pada Nizatidine dan Famotidine (McQuaid, 2007).
2.4.4 Lactulosa
Pemberian Laktulosa bertujuan untuk mencegah komplikasi Hepatic
Encephalopathy. Laktulosa merupakan disakarida semisintetik yang tidak dipecah
oleh enzim usus dan tidak di usus halus. Bekerja dengan mekanisme mengubah
laktulosa di kolon menjadi menjadi asam laktat dan asam asetat sehingga
menurunkan pH kolon. Penurunan pH kolon akan mengionisasi ammonia menjadi
ion ammonium yang tidak dapat diserap oleh lumen usus sehimgga mengurangi
ammonia dalam darah dan meringankan resiko komplikasi HE. Dosis yang
Page 42
49
dianjurkan untuk laktulosa enemic adalah 300mL diikuti pemberian 30cc antara
24 jam yang menyebabkan BAB lunak 2-4x sehari. Laktulosa enema dianjurkan
untuk penderita HE akut, sedangkan untuk penderita HE yang kronis dianjurkan
diet rendah protein dan mengkonsumsi laktulosa oral 2x15 cc. Dosis besar bisa
digunakan peroral. Efek samping yang mungkin timbul antara lain diare, kram
abdominal, bloating (Tarigan, 2007).
2.4.5 Sucralfat
Sukralfat merupakan obat golongan mukoprotektor. Sukralfat berupa
garam sukrosa yang membentuk kompleks dengan alumunium hidroksida
tersulfasi. Dalam air atau suasana asam, sukralfat akan membentuk pasta kental
yang kuat untuk berikatan secara selektif dengan ulkus atau erosi selama 6 jam.
Kelarutannya terbatas. Kurang dari 3% yang diserap ke usus, selebihnya
diekskresikan ke dalam feses. Pada terapi ulkus, sukralfat diberikan dengan dosis
1 g 4x sehari pada lambung yang kosong (setidaknya 1 jam sebelum makan).
Sukralfat dapat diberikan dalam bentuk bubur melalui nasogastric tube untuk
menurunkan insiden perdarahan saluran cerna meski tidak seefektif pemberian
anti H2 intravena. Sukralfat masih digunakan dalam pencegahan perdarahan
karena adanya kekhawatiran bahwa terapi penghambat asam (antasida, anti H2
atau PPI) akan meningkatkan resiko pneumonia nosokomial (McQuaid, 2007).
Karena obat ini tidak diserap, maka tidak ada efek samping sistemis.
Konstipasi mungkin terjadi karena ada unsur garam alumunium di dalamnya,
namun tidak selalu terjadi. Sukralfat tidak boleh digunakan pada waktu yang lama
untuk penderita dengan insufisiensi ginjal. Sukralfat dapat berikatan dengan obat
lain sehingga dapat mengganggu penyerapan obat tersebut. Sehingga pemberian
obat lain harus diberi selang waktu dengan pemberian sukralfat (McQuaid, 2007).
2.4.6 Vitamin K
Vitamin K merupakan faktor esensial dalam produksi faktor koagulasi di
dalam liver. Apabila absorbsi vitamin K menurun, akan terjadi penurunan sintesis
faktor koagulasi di dalam liver dan akan menyebabkan peningkatan waktu
pembekuan darah. Pada perdarahan saluran cerna, vitamin K intravena diberikan
Page 43
50
dengan dosis tidak lebih dari tiga kali 10 mg per hari (Patch & Dagher, 2001;
Ryan, 2008).
Ada dua bentuk alamiah vitamin K yakni Vitamin K1 (Phytonadione)
dalam makanan dan Vitamin K2(Menaquinone) dalam jaringan manusia dan
disintesis bakteri usus. Vitamin K1 dan K2 membutuhkan garam empedu untuk
penyerapan di usus. Vitamin K secara klinis tersedia dalam bentuk oral dan
parenteral. Pemberian Vitamin K1 harus secara perlahan-lahan karena infus yang
cepat dapat menimbulkan dipsnea, nyeri dada dan nyeri punggung. Pemenuhan
kebutuhan Vitamin K paling baik dalam bentuk oral atau intravena karena
bioavailabilitas subkutan tidak menentu. Gagal hati yang berat menyebabkan
sintesis protein berkurang dan diatesis hemoragik yang tidak responsif terhadap
vitamin K (Zehnder, 2007).
2.4.7 Antibiotika Profilaksis
Resiko infeksi dapat terjadi karena terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang memungkinkan bakteri saluran cerna terabsorbsi ke dalam
sirkulasi darah. Resiko infeksi terjadi pada 20% penderita sirosis yang mengalami
perdarahan saluran cerna. Antibiotik yang sering digunakan sebagai profilaksis
antara lain adalah Norfloxacin 400 mg dua kali sehari secara oral selama 7 hari
atau golongan Quinolon secara intravena bila pengobatan secara oral tidak
memungkinkan Penggunaan Floroquinolon dapat dikombinasikan dengan
kombinasi Amoksisilin dan Asam Klavulanat. Pemberian Ceftriakson intravena 2-
4 g / hari selama 5-7 hari juga diketahui lebih efektif dalam mengantisipasi resiko
infeksi bakteri pada pasien sirosis yang masuk dalam klasifikasi B dan C ( Garcia
Tsao et al, 2007; Hayes, 2011, Sarin et al, 2011).
2.4.8 Penyekat β Adrenergik non Selektif
Digunakan sebagai profilaksis perdarahan primer dan profilaksis
rebleeding. Cara kerjanya secara spesifik mengadakan kompetisi pada reseptor
adrenergik beta sehingga menyebabkan penurunan efek kronotropik, inotropik
dan respon vasodilator terhadap perangsangan adrenergik beta. Penyekat reseptor
β non selektif dapat mereduksi hipertensi portal dengan mekanisme menurunkan
Page 44
51
cardiac output sebagai efek pemblokan reseptor β1 dan produksi vasokontriksi
splanchnic sebagai efek pemblokan reseptor β2. Penyekat reseptor β non selektif
dapat juga dikatakan sebagai indirek vasokonstriktor (Garcia Tsao et al, 2007;
Hackworth&Sanyal, 2009). Obat yang bisa digunakan dari golongan ini antara
lain :
a) Propanolol
Propanolol digunakan sebagai profilaksis perdarahan primer dan
perdarahan sekunder dengan mekanisme menurunkan HVPG (Hepatic Venous
Pressure Gradient), menurunkan aliran darah azygos, dan tekanan pada varises.
Profilaksis primer dapat mencegah terjadinya perdarahan varises yang berujung
pada kematian. Propanolol diberikan dengan dosis awal 20 mg dua kali sehari dan
dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum yang bisa ditoleransi. Propanolol
diabsorbsi sempurna di dalam GIT, kadar puncak plasma sekitar 1-2 jam setelah
pemberian oral dan sangat larut dalam lemak sehingga dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta serta terdistribusi dalam ASI. Propanolol 90% terikat
protein plasma dengan waktu paruh plasma 3-6 jam. Propanolol dimetabolisme di
hati dengan metabolit aktif yaitu 4-hidroksipropanolol. Bentuk utuh maupun
metabolit propanolol diekskresikan melalui ginjal. Hal penting yang perlu
diketahui adalah propanolol tidak sesuai untuk pengobatan darurat pada hipertensi
dan sebaiknya tidak digunakan secara intravena. Propanolol memiliki efek
samping hipotensi dan bradikardi. Penggunaannya tidak boleh terputus di tengah
pengobatan karena akan dapat menyebabkan syndrome putus obat (withdrawal
syndrome). Oleh karena itu Propanolol diberikan hanya pada pasien yang
memiliki varises yang beresiko untuk bleeding ( Garcia Tsao et al, 2007 ;
Katzung, 2007; Kusumobroto, 2007; Hayes, 2011; Sarin et al, 2008).
b). Nadolol
Memiliki cara kerja yang sama dengan Propanolol. Sifatnya Long Acting
sehingga cukup diberikan sekali sehari. Dosis awal yang disarankan 40 mg satu
kali sehari dan dapat ditingkatkan hingga 80-160 mg satu kali sehari. Diabsorbsi
tidak sempurna dalam GIT (33% terabsorbsi), kadar puncak plasma sekitar 3-4
jam setelah pemberian oral dan memiliki kelarutan yang rendah dalam lemak.
Page 45
52
Konsentrasi dalam ASI lebih tinggi dari serum dan sekitar 30% terikat protein
plasma. Nadolol tidak dimetabolisme dan diekskresikan melalui ginjal dan feses
dengan waktu paruh plasma 12-24 jam. Nadolol dapat diberikan secara peroral
maupun intravena (Garcia Tsao et al, 2007; Katzung, 2007).
2.4.9 Nitrat
Obat ini dapat dijadikan alternatif dalam profilaksis primer. Merupakan
venodilator yang bekerja dengan mekanisme menurunkan tekanan portal dan
menurunkan resistensi portokolateral sistemik. Obat dari golongan ini yang biasa
digunakan adalah isosorbide mononitrate yang dapat mereduksi tekanan portal
seefektif Propanolol dan mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan golongan nitrat yang lain. Bioavailabilitasnya mencapai 100%.
Ekskresinya terutama dalam bentuk glukoronida dari metabolit terdenitrasi,
sebagian besar melalui ginjal. Tidak ideal sebagai obat tunggal dalam terapi
variceal bleeding karena berpotensi menimbulkan hipotensi sistemik. (Garcia
Tsao et al, 2007; Katzung, 2007; Hayes&Jalan, 2011).