BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi HIV/AIDS AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan infeksi, menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terhadap infeksi dan penyakit (Soames and Southam, 2005). 2. Etiologi HIV/AIDS AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS di seluruh dunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah menular. HIV-2 terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014). 2
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan infeksi,
menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat yang menimbulkan
infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terhadap
infeksi dan penyakit (Soames and Southam, 2005).
2. Etiologi HIV/AIDS
AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan ke
dalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-
2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS di seluruh
dunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah menular. HIV-2
terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014).
Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan
hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain
yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan
monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih
yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga
2
meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik
(Siregar, 2004; Soames and Southam, 2005).
3. Penularan HIV/AIDS
HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Limfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar
tubuh. Virus HIV dapat diisolasi dari semen, cairan vagina atau servik dan
darah penderita. HIV dapat ditularkan melalui (Bennet, 2014; Siregar 2004) :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual merupakan penularan infeksi
HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi
HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
Pada pasangan homoseksual, cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV. Hal
ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali
mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
- Penggunaan jarum suntik, yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan
alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
3
penyalahgunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Selain itu dapat juga terjadi melaui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan yang tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1%.
- Darah/produk darah, saat ini transmisi melalui transfusi atau produk
darah sangat jarang terjadi karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah
lebih dari 90%.
2) Transmisi Transplasental (ibu ke anak)
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 25-35%. Penularan dapat terjadi sewaktu
hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu
ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
4. Patogenesis HIV/AIDS
Target utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat. Sel
target HIV adalah limfosit T. Masuknya virus ke dalam sel memerlukan
molekul CD4, yang bertindak sebagai reseptor dari virus. Awalnya terjadi
perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4. Selain mengikat CD4, gp120
juga harus berikatan dengan dua sel reseptor kemokin (CCR5 dan CXCR4)
untuk dapat masuk ke dalam sel. Ikatan gp120 dengan CD4 menyebabkan
perubahan formasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan
reseptor kemokin selular (CCR5). Interaksi ini mengaktifkan gp41 dan
4
menghasilkan fusi membran virus dengan membran selular, yang
menyebabkan RNA virus dan reverse transcriptase masuk ke sel target.
Reverse transcriptase kemudian mentranskrip RNA virus menjadi DNA, yang
bergabung ke genom sel target. Berhasilnya penggabungan DNA virus
kedalam material genetik sel menyebabkan terjadinya infeksi (Greenberg,
2003).
Gambar 2.1. HIV memasuki sel target
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun
yang progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa
ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap
HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
5
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Greenberg,2003).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus
yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut dan lebih virulen daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena pada pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa
menjadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
6
5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Gejala klinis HIV/AIDS terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) (WHO, 2007) :
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
7
Tabel 2.1 Klasifikasi HIV berdasarkan jumlah CD4 menurut WHO 2007
Tabel 2.2 Klasifikasi HIV berdasarkan gejala menurut WHO 2007
Tabel 2.3 Tanda dan Gejala HIV/AIDS menurut WHO 2007
8
6. Manifestasi Oral
Manifestasi di rongga mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV.
Temuan klinis yang dapat menunjukkan resiko tinggi pada pasien dengan AIDS adalah
kandidiasis mukosa oral, lesi merah atau ungu kebiru-biruan ataupun yang telah
diidentifikasi adalah Kaposi sarkoma, hairy leukoplakia ataupun lesi lainnya yang
9
berhubungan dengan infeksi HIV seperti HSV, herpes zoster, RAS, liniear gingiva
eritema, necrotizing ulcerative periodontitis, necrotizing stomatitis. Kondisi oral lainnya
yang dicatat juga terjadi pada pasien infeksi HIV adalah palsy wajah, oral wart,
neuropati trigeminal, pembesaran kelenjar saliva, xerostomia, dan pigmentasi melanotik.
Kandidiasis, hairy leukoplakia , penyakit periodontal spesifik seperti linier gingival
erythema, necrotizing ulcerative periodontitis, Kaposi sarkoma, dan lympoma non-
Hodgkin’s diyakini memiliki kaitan yang paling kuat dengan infeksi HIV. Kandidiasis
adalah manifestasi oral yang paling umum terlihat pada infeksi HIV. Kandidiasis oral
didiagnosa pada pasien dengan infeksi HIV dengan persistensi limphadenopaty dapat
menjadi prediksi pada perkembangannya berikut menjadi AIDS. Munculnya
pseudomembran kandidiasis pada pasien infeksi HIV menunjukkan indikator yang kuat
pada progresi infeksi menjadi HIV. Eritematous juga dapat menjadi indikasi progresi
infeksi HIV menjadi AIDS. Ditemukannya hairy leukoplakia juga menjadi prediksi pada
perkembangan infeksi. Lymphadenopathy pada servikal dan submandibular sering
ditemukan di awal pemeriksaan pada pasien dengan infeksi HIV yang bersifat persisten
(Laskaris,2006; Scully,2010).
a. Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis)
Kandidiasis adalah gambaran klinis yang paling umum dijumpai pada
mukosa mulut pasien terinfeksi HIV. Infeksi kandida biasanya bersifat kronis,
dapat muncul sebagai lesi merah, putih, datar, menonjol, atupun nodular.
Daerah yang sering terkena antara lain palatum, mukosa bukal, dan lidah. Tipe
kandidiasis yang muncul seperti pseudomembran kandidiasis, eritematous,
hiperplastik kandidiasis, dan angular cheilitis (Langlais, 2006).
Pseudomembran kandidiasis dikarakteristikkan dengan plak berwarna
putih krem yang setelah discrap memperlihatkan warna kemerahan dan
perdarahan pada mukosanya. Bentuk eritematous muncul daerah merah yang
10
difus, yang biasanya terdapat pada dorsum lidah. Pada lokasi ini biasanya
terdapat keterkaitan dengan hilangnya papila filiformis yang dikenal dengan
median rhomboid glossitis. Kandidiasis hiperplastik kronis adalah infeksi
kandida pada stadium akhir yang muncul secara klinis seperti plak keratosis
putih yang difus pada mukosa bukal. Plak ini tidak dapat dihilangkan. Agen
topikal antifungal paling efektif digunakan untuk terapi kandidiasis oral,
meskipun kandidiasis menjadi kronis dan rekuren yang bisa dijumpai pada
Gambar 2.2. (a) Median rhomboid glossitis (b) Eritematous kandidiasis pada dorsum lidah pasien infeksi HIV (Laskaris,2006).
(a) (b)
Gambar 2.3. (a) Pseudomembran kandidiasis pada palatum keras maupun lunak pasien dengan infeksi HIV (b) Kandidiasis hiperplastik kronis pada palatum keras dan
lunak yang diperparah oleh infeksi HIV (Greenberg and Glick. 2003).
11
Gambar 2.4. Angular cheilitis yang disebabkan oleh Candida albicans (Greenberg and Glick. 2003).
b. Infeksi karena bakteri
Infeksi karena bakteri dapat berupa NUG dan NUP (Greenberg and
Glick, 2003).
1) Linier Erythematous Gingiva (LEG)
LEG adalah bentuk gingivitis yang atipikal digambarkan 2-3 mm
seperti pita atau garis berwarna merah menyala di sekitar gigi yang terlihat
jelas perbedaannya dengan gingiva normal. Lesi asimtomatik, mukosa
kering yang terdapat kaitannya dengan mouth breathing, lichen planus,
pemphigoid membran mukosa, dan reaksi alergi. Terapi yang bisa
dilakukan adalah tindakan pencegahan dengan menjaga oral hygiene
pasien, tindakan skeling dan root planing, dan juga bisa bersamaan dengan
penggunaan klorheksidine glokonat (0,12%) sebagai mouthrinse
(Greenberg and Glick, 2003).
12
Gambar 2.5. Linier erythematous gingiva pada margin gingiva (Greenberg and Glick, 2003)
2) Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG)
NUG berhubungan dengan ulserasi dan nekrosis pada satu atau
lebih interdental papil tanpa kehilangan periodontal attachment.
Fusobacterium nucleatum, Treponema vincentii, dan bakteri lainnya
berperan penting dalam faktor penyebab utamanya. Meskipun faktor
predisposisi seperti stres emosional, merokok, trauma lokal, oral hygiene
yang buruk dan terutama berkaitan dengan infeksi HIV. Lesi ini dapat
disertai pendarahan, nyeri, dan halitosis (Greenberg and Glick, 2003;
Laskaris, 2006; Scully, 2008).
Necrotizing gingivitis paling sering mengenai gingiva bagian
anterior. Pada situasi ini, papila interdental dan tepi gingiva akan tampak
berwarna merah, bengkak, atau kuning keabu-abuan karena nekrosis,
bahkan sering terjadi necrotizing ulcrerative gingivitis yang parah dan
penyakit periodontal yang progresif sekalipun kebersihan mulut terjaga
dengan baik dan walaupun telah diberikan antibiotika. Pemberian sistemik
metronidazole dan agen topikal oxygent releasing menjadi pilihan terbaik
pada fase akut disertai dengan terapi gingival secara mekanis (Greenberg
and Glick,2003; Laskaris, 2006).
13
Gambar 2.6. NUG yang parah pada pasien 35 tahun dengan infeksi HIV (Laskaris,2006).
3) Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP)
Penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif mungkin
merupakan indikator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV. Lesi
periodontal ini ditandai dengan adanya nyeri , gingiva mudah berdarah,
interdental papil nekrotik serta membentuk kawah, edema gingiva, eritem
yang hebat, resesi gusi, dan terjadi hilangnya tulang alveolar secara cepat,
progresif dan iregular (bisa mencapai 10 mm dalam 6 bulan). Terapi
antibiotika efektif diberikan pada kasus ini namun dapat menyebabkan
pertumbuhan yang berlebihan dari organisme Candida (Greenberg and
Glick,2003; Laskaris, 2006).
Gambar 2.7. NUP pada region anterior bawah (Greenberg and Glick, 2003).
14
4) ANUG
ANUG juga umum terlihat pada pasien dengan infeksi HIV.
Dikarakteristikkan dengan onset yang tiba-tiba pada gingiva berwarna
merah menyala, bengkak, nyeri, dan mudah berdarah. Interdental papil
terlihat ditekan keluar dan ditutupi oleh ulseratif keabu-abuan. Terapi yang
dapat diberikan adalah dengan melakukan debridement atau
dikombinasikan dengan terapi metronidazole jika tanda dasar seperti
demam, malaise, dan anoreksia muncul (Laskaris, 2006).
Gambar 2.8. ANUG (Langlais and Miller, 2000).
5) Ulser non-spesifik
Necrotizing stomatitis adalah lesi ulseratif yang nyeri dan
terlokalisasi yang terdapat pada permukaan mukosa di atas tulang. Kondisi
ini memicu terjadinya nekrosis jaringan dan disusul dengan eksposure
pada tulang. Kondisi terlihat pada pasien dengan jumlah CD4 lebih sedikit
dari 100sel/mm3. Diagnosa bandingnya adalah ulser aphtousa dan NUP.
Terapi yang dapat diberikan adalah debridement dengan hati-hati, terapi
steroid lokal atau sistemik, antibiotik (Greenberg and Glick, 2003).
15
Gambar 2.9. Necrotizing stomatitis pada palatum daerah molar pertama dan kedua (Greenberg and Glick, 2003).
c. Infeksi karena virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa
(CMV), HPV (Human Papiloma virus). Tidak seperti pada pasien dengan
fungsi imun normal, pasien dengan AIDS dapat terkena infeksi herpes
pada permukaan mukosa bukal dan lidah, rekurensi terjadinya HSV pada
pasien infeksi HIV lebih parah. Herpes zoster lebih sering terjadi pada
pasien dengan infeksi HIV dibanding populasi normal. Gambaran
klinisnya hampir sama pada kedua kelompok ini namun prognosis paling
buruk terjadi pada pasien infeksi HIV. Virus zoster ini akan timbul seperti
vesikel dalam jumlah banyak pada tubuh atau wajah yang bersifat self-
limiting dan unilateral. Terapi dengan acyclovir terkadang digunakan
untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala (Greenberg and
Glick,2003; Laskaris, 2003).
Prevalensi Cytomegalovirus mencapai 100% pada pasien HIV
homoseksual dan 10% pada pasien anak dengan AIDS. Perubahan
16
inflamasi yang berhubungan dengan CMV dan infeki HIV adalah
pembengkakan kelenjar parotid secara unilateral maupun bilateral serta
xerostomia. Disebutkan juga Human Papiloma Virus juga dapat
ditemukan pada pasien infeksi HIV. Sejauh ini terdapat 65 serotipe dari
HPV yang teridentifikasi. Beberapa jenis lesi mukokutaneus yang
disebabkan HPV antara lain squamous papiloma, verruca vulgaris, focal
epythelial hyperplasia, dan condyloma acuminatum. Condyloma
acuminatum terlihat sebagai lesi multipel yang dikarakteristikkan sebagai
lesi kecil, multipel, lunak, berwarna pink-abu-abu gelap, permukaannya
seperti bunga kembang kol. Lesi jenis ini dapat muncul pada ventral lidah,
gingiva, mukosa labial, dan palatum. Transmisi lesi ini terjadi secara
kontak langsung melalui anal maupun genital (Greenberg and Glick,2003;
Laskaris, 2003).
Hairy leukoplakia adalah salah satu karakteristik lesi oral yang
paling umum terlihat pada pasien infeksi HIV. Gambaran klinisnya adalah
muncul sebagai lesi putih yang asimtomatik, meninggi dan tidak dapat
dihilangkan. Lesi ini muncul bilateral pada margin lateral lidah dan dapat
menyebar mencapai permukaan dorsum dan ventral. Secara histologis
dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang seperti berambut, inflamasi
yang sedikit dan infeksi candida (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,
2003).
17
(a) (b)
Gambar 2.10. (a) infeksi Herpes labial yang persisten pada pasien infeksi HIV(b) rekurensi herpes simpleks pada pasien AIDS (Langlais and
Miller, 2000)
(a) (b)
Gambar 2.11. (a) ulserasi unilateral pada palatal Herpes Zoster pada pasien infeksi HIV
(b)hairy leukoplakia pada lateral lidah (Langlais and Miller, 2000; Greenberg and Glick, 2003)
Gambar 2.12. Condyloma acuminatum pada mukosa labial pasien infeksi HIV (Langlais and Miller, 2000)
18
d. Neoplasma
Kaposi Sarkoma adalah neoplasma yang paling sering muncul pada
pasien infeksi HIV. Ini adalah tumor dari proliferasi vaskular yang
mengenai kutaneus maupunn jaringan mukosa. Etiologinya belum
diketahui pasti namun telah dikatakan faktor viral (kemungkinan CMV)
berhubungan dengan angiogenesis menjadi penyebabnya. Kaposi sarkoma
dikarakteristikkan dalam tiga tahap. Tahap awal berupa makula merah
yang asimtomatik. Yang kemudian akan meluas menjadi plak yang datar
atau menonjol merah kebiruan. Tahap akhir akan muncul sebagai nodul
biru ulseratif dan menimbulkan nyeri. Daerah yang paling umum terkena
adalah lateral dari palatum keras, selain itu gingiva dan mukosa bukal
dapat terkena. Selain pada mulut, sarkoma ini juga dapat ditemukan di
kulit kepala dan leher. Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multipel
dan biasanya asimtomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi
sudah menjadi agak besar (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,2003).
Manifestasi oral kaposi sarkoma biasanya merupakan tanda awal
AIDS dan umumnya (50%) ditemukan dalam mulut pria homoseksual.
Kira-kira 40% penderita AIDS dengan kaposi sarkoma akan meninggal
dalam waktu kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai dengan infeksi
oportunistik. Terapi yang diberikan bersifat paliatif yaitu dengan
radioterapi dan kemoterapi. (Greenberg and Glick. 2003; Laskaris, 2003).
Non-Hodgkins Lymphoma dan karsinoma sel skuamosa berkaitan
dengan infeksi HIV kemungkinan sebagai hasil dari sistem imun yang
abnormal. Non-Hodgkin lymphoma sering kali muncul sebagai massa
19
keunguan yang difus dengan proliferasi yang sangat cepat pada bagian
retromolar – palatal. Karsinoma sel skuamosa muncul sebagai lesi ulseratif
putih kemerahan pada pinggir lateral lidah (Greenberg and Glick. 2003;
Laskaris, 2003).
(a) (b)Gambar 2.13. (a) karsinoma sel skuamosa pada mukosa alveolar Gambar (b) karsinoma sel skuamosa pada ujung lidah, terlihat tumor dengan ukuran kecil
(Laskaris,2003).
(a) (b)Gambar 2.14. (a) lesi awal kaposi sarkoma dapat dilihat pada palatum lunak dan keras yang berupa makula merah kebiru-biruan (b) lesi yang sudah berlngsung
lama pada palatal dapat menjadi nodular bahkan ulseratif (Greenberg and Glick, 2003).
Gambar 2.15. Lymphoma Non-Hodgkin’s terlihat pembengkakan dan ulser pada palatum (Laskaris,2006).
20
e. Kelainan lain di dalam mulut
Kelainan-kelainan lain yang dapat timbul di dalam rongga mulut
pasien HIV/AIDS antara lain rekuren aphtous stomatitis, ulkus nekrotik
yang meluas sampai ke fascia, xerostomia, pembesaran kelenjar parotis,