Bab II Landasan Teori A. Hakikat Belajar Matematika 1. Pengertian Belajar Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi, dan berkembang disebabkan oleh belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku (Herman Hudojo, 1988: 1). Tanpa adanya suatu usaha, walaupun terjadi perubahan tingkah laku, bukanlah belajar. Kegiatan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar. Menurut Slameto (2010: 2), belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selain itu Cronbach (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan: “ Learning is shown by a change in behavior as a result of experience ”. Jadi, belajar yang
33
Embed
Bab II Landasan Teori A. Hakikat Belajar Matematika 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/407/2/BAB II.pdf · Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan logik dengan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bab II
Landasan Teori
A. Hakikat Belajar Matematika
1. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar
merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian
tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang
dialami oleh siswa sebagai anak didik. Pengetahuan, keterampilan, kebiasaan,
kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi, dan berkembang
disebabkan oleh belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar bila dapat
diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang
mengakibatkan perubahan tingkah laku (Herman Hudojo, 1988: 1). Tanpa
adanya suatu usaha, walaupun terjadi perubahan tingkah laku, bukanlah belajar.
Kegiatan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan proses
belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar.
Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar.
Menurut Slameto (2010: 2), belajar adalah proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selain itu Cronbach (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan: “Learning is
shown by a change in behavior as a result of experience”. Jadi, belajar yang
sebaik-baiknya adalah dengan mengalami. Dalam mengalami itu si pelajar
menggunakan panca indranya.
Gagne (Abd. Rachman Abror, 1993: 67) menambahkan: “Learning is a
change in human disposition or capacity which persists over a period of time and
which is not simply ascribable to processes of growth”. Belajar merupakan
perubahan tingkah laku yang berkelanjutan, yang keadaanya berbeda dari
sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan
yang serupa.
Kaffa dan Kohler menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil bila
didukung dengan minat, keinginan, dan tujuan siswa. Hal itu terjadi bila belajar
berhubungan dengan apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari
(Slameto, 2010: 10). Dari beberapa pengertian belajar di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah usaha sadar atau disengaja yang dilakukan seseorang untuk
mencapai perubahan tingkah laku. Proses belajar tersebut akan lebih berhasil jika
disertai dengan minat, keinginan, dan tujuan yang hendak dicapai.
2. Pengertian Matematika
Pengertian matematika dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 927) oleh tim
penyusun Kamus Pusat Bahasa adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara
bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah
bilangan.
Menurut James & James (Erman Suherman, 2001: 18), matematika adalah
ilmu logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi
ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Sedangkan menurut
Herman Hudojo (1988: 3), matematika berkenaan dengan ide-ide
(gagasangagasan), struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur
secara logik sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan logik dengan
menggunakan pembuktian deduktif.
3. Proses Belajar Matematika
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah interaksi atau hubungan antara
siswa dengan guru dan antarsiswa dalam proses pembelajaran (Roestiyah, 1994:
43). Interaksi dalam proses pembelajaran mempunyai arti luas, tidak sekedar
hubungan antara guru dengan siswa tetapi juga interaksi edukatif. Dalam hal ini
bukan hanya menyampaikan pesan berupa mata pelajaran, melainkan juga nilai
dan sikap pada diri siswa yang sedang belajar. Proses pembelajaran matematika
merupakan kegiatan yang mengandung serangkaian persiapan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar mengajar terdapat satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan antara guru yang mengajar dengan siswa yang
belajar.
Menurut Herman Hudojo (1988: 4), seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui
orang itu. Karena itu untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru,
pengalaman yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses
belajar materi matematika tersebut.
Dalam hal pembelajaran matematika, perlu diketahui karakteristik
matematika. Dengan mengetahui karakteristik matematika, maka seharusnya
dapat pula diketahui bagaimana belajar dan mengajar matematika. Karakteristik
matematika yang dimaksud adalah objek matematika bersifat abstrak, materi
matematika disusun secara hirarkis, dan cara penalaran matematika adalah
deduktif.
Objek matematika bersifat abstrak, sehingga belajar matematika memerlukan
daya nalar yang tinggi. Demikian pula dalam mengajar matematika guru harus
mampu mengabstraksikan objek-objek matematika dengan baik sehingga siswa
dapat memahami objek matematika yang diajarkan. Herman Hudojo (1988: 3)
menyatakan bahwa belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi,
sehingga dalam mengajar matematika guru harus mampu memberikan penjelasan
dengan baik sehingga konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dipahami
siswa.
B. Matematika SMP
1. Pembelajaran Matematika SMP Kelas VIII
a. Matematika Sekolah
Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu
matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar (SD dan SLTP) dan Pendidikan
7 Menengah (SLTA dan SMK) (Suherman, 2003: 55). Matematika sekolah
tersebut terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih untuk menumbuh
kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu
pada perkembangan IPTEK (Suherman, 2003:56). Sehingga matematika sekolah
lebih menuju kepada bagaimana siswa dapat memahami konsep matematika dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Russefendi (1995: 72) matematika Sekolah Dasar merupakan
bahasa symbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara
induktif, ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak
terdefinisikan menuju ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat
dan pada akhirnya menuju ke dalil. Sedangkan matematika Sekolah Menengah
Pertama terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna
menumbuhkembangkan kemampuan, membentuk pribadi, dan berpadu pada
perkembangan IPTEK. Hal ini menunjukkan matematika Sekolah Menengah
Pertama memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif
konsisten.
b. Pembelajaran Matematika
Pada hakikatnya belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh ilmu. Menurut Suherman (2003: 300-301) pembelajaran adalah
proses menjadikan orang lain paham dan mampu menyebarluaskan apa yang
dipahaminya tersebut dan pembelajaran matematika tidak hanya learning to
know, melainkan juga harus meliputi learning to do, learning to be, hingga
learning to live together. Belajar menurut Oemar Hamalik (2008: 28), adalah
“suatu proses tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan, yang di
dalamnya terjadi serangkaian pengalaman-pengalaman belajar”. Reber
(Muhibbin Syah, 1990: 91), membatasi belajar menjadi dua defines, yaitu: (1)
belajar adalah the process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh
pengetahuan; dan (2) belajar adalah a relatively permanent change in respons
potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu
perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang
diperkuat.
Belajar menurut Gagne, Wager, Golas & Keller (M. Atwi Suparman, 2012:
8), adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh banyak variable yang saling
terkait seperti ketekunan, waktu belajar, kualitas pembelajaran, kecerdasan,
bakat, dan kemampuan belajar peserta didik. Heinich, dkk. (Erman Suherman,
dkk., 2003: 237) menyatakan: “ Pembelajaran merupakan susunan dari informasi
dan lingkungan untuk memfasilitasi belajar.” Menurut Erman Suherman, dkk.
(2003: 238), proses pembelajaran melibatkan pemilihan penyusunan dan
mengirim informasi dalam suatu lingkungan yang sesuai dan carasiswa
berinteraksi dengan informasi tersebut.
Erman Suherman, dkk. (2003: 56-57), mengemukakan belajar matematika
bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu
pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara
pengertianpengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan
untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman-pengalaman tentang sifat-
sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi).
Tujuan dari pembelajaran matematika di SMP menurut Erman Suherman,
dkk. (2003: 58-59), yaitu:
1) Siswa memiliki kemampuan yang dapat digunakan melalui kegiatan
matematika.
2) Siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan
ke pendidikan menengah.
3) Siswa memiliki keterampilan matematika sebagai peningkatan dan peluasan
dari matematika SD untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
4) Siswa dapat memiliki pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap logis,
kritis, cermat, dan disiplin, serta menghargai kegunaan matematika. Utomo
Dananjaya (2013: 28-29), mengemukakan makna pembelajaran bagi siswa
dan bagi pendidik, yaitu sebagai berikut.
a) Bagi siswa, proses pembelajaran memerlukan refleksi mental sebagai
proses kesadaran mental dan kepribadian, kecerdasan dan akhlak
mulia.Pada hakikatnya proses pembelajaran merupakan aktivitas yang
menghubungkan peserta didik dengan berbagai subjek dan berkaitan
dengan dunia nyata. Proses interpretasi menghasilkan pemahaman dan
perolehan hasil pendidikan yang bersifat individual. Peserta didik
memproduksi pengetahuan sendiri secara lebih luas, lebbih dalam,dan
lebih maju dengan modifikasi pemahaman terhadap konsep awal
pendidikan.
b) Bagi pendidik, agar dapat mengutamakan perbedaan individu daripada
persamaan-persamaan dalam menentukan program-program pendidikan.
Hal itu didasarkan pada pandangan-pandangan bahwa individu adalah unik
dan bergerak bebas menghadapi kondisi-kondisi personal dan social.
Pendidik secara moral memandang peserta didik setara (demokratis dan
berkeadilan) dan memperoleh kesempatan yang setara pula dalam
memperoleh ganjaran, intelektual dan sosial secara adil (tidak
dikriminatif).
Dari penjelasan di atas, diperoleh pemahaman bahwa pembelajaran adalah
suatu proses perubahan tingkah laku akibat suatu perlakuan yang terus-
menerussebagai bentuk latihan. Akibatnya, pembelajaran matematika dapat
menghasilkan pembentukan pola pikir untuk memperoleh pemahaman
pengalaman tentang sifat-sifat objek.
c. Karakteristik Siswa SMP
Siswa merupakan komponen input sekaligus output dalam proses
pendidikan. Berhasil atau tidaknya proses pendidikan banyak bergantung pada
keadaan, kemampuan, dan tingkat perkembangan siswa itu sendiri. Menurut
Muhibbin Syah (1999: 247) karakteristik siswa perlu diperhitungkan karena
mempengaruhi jalannya proses dan hasil pembelajaran siswa. Menurut Jean
Piaget dalam Muhibbin Syah (1999:67) mengklarifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu: (1) tahap sensory-motor (usia 0-2
tahun);(2) tahap pre-operasional (usia 2-7 tahun); (3) tahap concrete-
oprasional (usia 7-11 tahun); (4) tahap formal-operational (usia 11-15 tahun).
Usia siswa SMP sekitar 11-15 tahun sehingga menurut Jean Piaget, siswa
SMP ini berada pada tahapan perkembangan kognitif formal-operational.
Dalam tahap formal-operational (Muhibbin Syah, 1997: 73-74), anak sudah
menjelang masa remaja. Pada tahap ini, seorang remaja telah memiliki
kemampuan mengkoordinasi baik secara simultan (serentak) maupun berurutan
dua ragam kemampuan kognitif, yakni: (1) kapasitas menggunakan hipotesis; (2)
kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Namun Santrock (2007: 262),
menyatakan bahwa teori Piaget juga mendapat kritik, yaitu kemampuan kognitif
dapat muncul lebih lambat dari perkiraan Piaget. Remaja kadang masih berpikir
secara operasional konkret atau baru menguasai operasi-operasi formal. Hal ini
didukung oleh Kartini (1990: 151) yang berpendapat bahwa minat anak usia 12-
14 tahun, periode pueral/pebertas awal, itu sepenuhnya terarah pada hal-hal yang
kongkrit. Mereka belum menyukai teori atau hal yang bersifat abstrak. Oleh
sebab itu, anak puer disebut juga sebagai pragmatis atau utilist kecil yang
minatnya masih terarah pada kegunaan-kegunaan teknis.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa siswa SMP masih berpikir
secara operasional konkret atau baru menguasai operasi-operasi formal.Siswa
SMP belum menyukai teori atau hal yang bersifat abstrak.
2. Materi Pytagoras
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), materi
pelajaran yang diajarkan pada siwa SMP kelas VIII semester 2 adalah
Pythagoras, Lingkaran, dan Bangun Ruang Sisi Datar. Standar kompetensi (SK)
dan Kompetensi Dasar (KD) disajikan dalam
Tabel II.1 Standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
Standar kompetensi Kompetensi dasar
Menggunakan Teorema Pythagoras
dalam pemecahan masalah.
Menggunakan Teorema Pythagoras
untuk menentukan panjang siku-siku
segitiga siku-siku.
Memecahkan masalah pada bangun
datar yang berkaitan dengan Teorema
Pythagoras.
Secara singkat, materi Pythagoras dibagi dalam beberapa indikator berikut.
a. Teorema pytagoras
Teorema Pythagoras berbunyi: pada suatu segitiga siku-siku berlaku sisi
miring kuadrat sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi lainnya. Secara umum, jika
segitiga ABC siku-siku di C maka teorema Pythagoras dapat dinyatakan AB² =
AC² + BC² . Banyak buku menuliskan teorema ini sebagai c² = a² + b². Dengan c
adalah sisi miring.
Gambar II.1 Segitiga siku-siku
b. Dalil Kebalikan Teorema Pythagoras
Pada bahasan sebelumnya telah kalian temukan bahwa kuadrat sisi miring
(hypotenusa) suatu segitiga siku – siku sama dengan jumlah kuadrat panjang
kedua sisinya. Dari pernyataan itu kita peroleh kebalikan dari dalil pytagoras
yaitu :
1) Jika kuadrat sisi miring atau sisi terpanjang sebuah segitiga sama dengan
jumlah kudrat panjang kedua sisinya, maka segituga tersebut merupakan
segitiga siku - siku, atau
2) Jika pada suatu segitiga berlaku c² = a² + b² atau a² = c² - b² atau b² = c² -
a² ,maka segitiga tersebut merupakan segitiga siku -siku dengan besar salah
satu sudutnya 90˚.
3) Triple Pythagoras Tiga buah bilangan a, b dan c dimana a dan b bilagan asli
dan c merupakan bilangan terbesar, dikatakan merupakan tripel Pythagoras
jika ketiga bilangan tersebut memenuhi hubungan :
c² = a² + b² atau b² = c² - a² atau a² = c² - b²
4) Segitiga - Segitiga Istimewa -
Segitiga Istimewa dengan sudut 45˚, 45˚, dan 90˚
Pada segitiga ABC, panjang siku - sikunya AB = BC = a maka pajang sisi
miringnya adalah AC = √(a²+a²) = a√2 Dengan demikian, diperoleh
perbandingan sisi - sisinya yaitu AB:BC:AC = a : a : a√2 . Pada segitiga
istimewa dengan sudut 45˚, 45˚, dan 90˚ panjang sisi miring adalah √2 kali
panjang sisi lain.
Gambar II.2 Segitiga istimewa dengan sudut 45˚, 45˚, dan 90˚
5) Segitiga Istimewa dengan sudut 30˚, 60˚, dan 90˚
Pada segitiga istimewa dengan sudut 30˚, 60˚, dan 90 panjang sisi miring
adalah 2 kali sisi terpendek dan panjang sisi lain adalah √3 kali sisi terpendek.
3. Pemahaman Konsep Matematis
Pemahaman Konsep Matematis Pemahaman menurut Bloom (Winkel, 1996:
246) adalah kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang
dipelajari. Mempelajari matematika tidak akan lepas dari konsep-konsepnya.
Menurut van Parreren (Winkel, 1996: 82), konsep sebagai satuan arti yang
mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Belajar konsep
dapat dilakukan melalui benda-benda konkret, gambar-gambar, dan penjelasan
verbal. Gagne (Bell, 1981: 108) mengemukakan konsep dalam matematika
adalah ide abstrak yang membantu seseorang dalam mengelompokkan objek-
objek atau kejadian-kejadian dan untuk menentukan apakah objek-objek atau
kejadian-kejadian tersebut termasuk contoh atau bukan contoh dari ide abstrak
tersebut. Untuk membangun konsep tersebut siswa melakukan dengan cara
pengamatan atau membayangkan sesuatu yang konkret terlebih dahulu. Siswa
tersebut dikatakan dapat membangun konsep jika dia dapat membedakan mana
yang termasuk contoh dan mana yang bukan contoh dari ide abstrak (Bell, 1981:
108).
Herman Hudojo (2005: 104) juga mengemukakan tentang konsep
matematika, yaitu ide abstrak yang memungkinkan kita mengklasifikasikan
objek- 21 objek atau peristiwa-peristiwa serta mengklasifikasikan apakah objek-
objek dan peristiwa-peristiwa itu termasuk atau tidak termasuk ke dalam ide
abstrak tersebut. Kemampuan pemahaman konsep diperlukan untuk memahami
tiap-tiap topik dalam matematika yang tersusun secara logis dan sistematis oleh
subtopik yang membangunnya. Penanaman konsep yang kurang matang dapat
mengakibatkan kesalahan dalam menafsirkan masalah matematika. Dengan
tertanamnya konsep dalam pikiran siswa maka akan membantu siswa dalam
menyelesaikan persoalan matematika. Tanpa penguasaan matematika yang benar
dari awal, siswa akan mengalami kesulitan untuk mempelajari materi berkaitan
dengan konsep tersebut.
Menurut Diennes (Bell, 1981: 124), agar pemahaman konsep-konsep
matematika dapat dipahami oleh anak-anak didik lebih mendasar harus diadakan
pendekatan belajar dalam mengajar antara lain:
1. Anak yang belajar matematika harus menggunakan benda-benda konkret dan
membuat abstraksinya dari konsep-konsepnya
2. Materi pelajaran yang akan diajarkan harus ada hubungannya atau pengaitan
yang sudah dipelajari
Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal
11 November 2004 (Sri Wardhani, 2006: 10-11) mengemukakan beberapa
indikator dari pemahaman konsep sebagai hasil belajar matematika, yaitu:
1. Menyatakan ulang suatu konsep
2. Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
3. Memilih contoh dan bukan contoh dari konsep
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
5. Menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
6. Memanfaatkan dan memilih operasi tertentu
7. Mengaplikasikan konsep ke penyelesaian masalah
Berdasarkan uraian dan beberapa pendapat di atas, pemahaman konsep
matematis adalah mengerti/memahami ide abstrak tentang suatu objek atau
kejadian yang dibentuk dengan memandang sifat-sifat yang sama dari
sekumpulan objek, kemudian mampu mengklasifikasikan menurut golongannya
masing-masing dan mampu membedakan mana yang termasuk contoh dan bukan
contoh dari ide abstrak tersebut. Pemahaman konsep yang baik akan
mempermudah siswa dalam menyelesaikan soal matematika dan dalam
memahami konsepkonsep matematika selanjutnya. Untuk mengetahui
perkembangan pemahaman konsep siswa dapat dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan apakah indikator-indikator pemahaman konsep siswa
tersebut meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan tes
tentang pemahaman konsep.
Dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada indikator pemahaman konsep
menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004
tanggal 11 November 2004 (Sri Wardhani, 2006: 10-11), yang disesuaikan
dengan materi tentang Teorema pytagoras. Pemahaman konsep matematis siswa
dilihat melalui kemampuan:
1. Menyatakan ulang konsep pytagoras
2. Mengklasifikasikan pernyataan menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsep phyagoras
3. Memilih contoh dan bukan contoh dari konsep pytagoras
4. Mengaplikasikan konsep pytagoras
C. Pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, visual, dan Intelektual)
1. Pengertian Pendekatan SAVI
Pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual) atau belajar
dengan memanfaatkan alat indra merupakan teori yang dikemukakan oleh Dave
Meier-Direktur Center for Accelerated Learning di Lake Geneva, Wisconsin
(Rahmani Astuti, 2002: 90). Pendekatan SAVI merupakan inti dari Accelerated
learning (AL) atau pembelajaran yang dipercepat. AL menjadikan belajar terasa
manusiawi karena menempatkan siswa sebagai pusat sasaran. Pembelajaran
SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning (AL), maka prinsipnya juga
sejalan dengan AL. Menurut Dave Meier, beberapa prinsip pembelajaran SAVI
adalah sebagai berikut (Rahmani Astuti, 2002: 54-55).
a. Belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya
melibatkan otak tetapi juga melibatkan seluruh tubuh atau pikiran dengan
segala emosi, indra, dan sarafnya.
b. Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan
pembelajar.
c. Kerjasama membantu proses belajar. Semua usaha belajar yang baik
mempunyai landasan sosial. Siswa biasanya belajar lebih banyak dengan
berinteraksi dengan teman-teman daripada yang mereka pelajari dengan cara
lain manapun.
d. Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan. Belajar
bukan hanya menyerap satu hal kecil pada satu waktu linear melainkan
menyerap hal banyak sekaligus.
e. Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik).
Belajar paling baik adalah belajar dengan konteks.
f. Emosi positif sangat membantu pelajaran. Perasaan menentukan kualitas dan
kuantitas seseorang.
g. Otak citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis. Sistem saraf
manusia lebih merupakan prosesor citra daripada prosesor kata.
Pendekatan SAVI menekankan belajar berdasarkan aktivitas, yaitu bergerak
aktif secara fisik ketika sedang belajar dengan memanfaatkan indra sebanyak
mungkin dan membuat seluruh tubuh/pikiran terlibat dalam proses belajar
(Rahmani Astuti, 2002: 90-91). Dengan kata lain pendekatan SAVI melibatkan
kelima indra dan emosi dalam proses belajar.
Istilah SAVI kependekan dari Somatik (S) yang bermakna gerakan tubuh
(hands-on, aktivitas fisik), yaitu belajar dengan mengalami dan melakukan.
Auditori (A) bermakna bahwa belajar dengan mendengarkan, menyimak,
berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.
Visual (V) bermakna belajar menggunakan indra mata melalui mengamati,
menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat
peraga. Intelektual (I) bermakna bahwa belajar menggunakan kemampuan
berpikir (minds-on) belajar dengan konsentrasi pikiran dan berlatih
menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan,
mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.
Menurut Meier (Rahmani Astuti, 2002: 100) belajar bisa optimal jika
keempat unsur SAVI ada dalam satu peristiwa pembelajaran. Seorang siswa
dapat belajar sedikit dengan menyaksikan presentasi, tetapi ia dapat belajar jauh
lebih banyak jika dapat melakukan sesuatu ketika presentasi sedang berlangsung,
membicarakan apa yang mereka pelajari, dan memikirkan cara menerapkan
informasi dalam presentasi tersebut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
ada. Penelitian Magnesen (Roebyarto, 2008) tentang aktivitas siswa dalam
pembelajaran, memberikan gambaran yang dapat diilustrasikan sebagai berikut.
De Porter (Ary Nilandari, 2002: 84-85) mengemukakan tiga modalitas
belajar yang dimiliki seseorang. Ketiga modalitas tersebut adalah modalitas
visual, modalitas auditori, dan modalitas kinestetik (somatis). Pelajar visual
belajar melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditori belajar melalui apa yang
Melihat, Mengucap, Mendengarkan dan Melakukan Melakukan Mengucap