-
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konseling Behavior
2.1.1 Pengertian Konseling Behavior
Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup
berbagai
pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di
mana setiap dari
sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih
berfokus pada suatu
permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga
disebut terapi
behavior dan modifikasi perilaku (behavior modification). Terapi
behavioral berasal
dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan
Skinnerian dari B.F.
Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958)
untuk
menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan
dengan mempelajari
perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan
perkataan lain bahwa
perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di
lingkungan.
Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau
perangsangan
eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk
memodifikasi koneksi-
koneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat
mungkin. Kontribusi
terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah
diperkenalkannya metode ilmiah
-
9
dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku
melalui rekayasa
lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan
perilaku.
Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat
dipahami sebagai
hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan
keadaan yang
serupa; (2) keadaan motivasiional sekarang dan efeknya terhadap
kepekaan terhadap
lingkungan; (3) perbedaan-perbedaan fisiologik baik secara
genetik atau karena
gangguan fisiologik. Dengan eksperimen- eksperimen terkontrol
secara seksama
maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku
tersebut.
Konseling Behavior berpangkal pada beberapa keyakinan tentang
martabat
manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi
bercorak psikologis, yaitu
: a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk,
bagus atau jelek.
Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk,
tepat atau salah.
Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi
antara bekal
keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku
yang menjadi ciri-ciri
has dari kepribadiannya; b) Manusia mampu untuk berefleksi atas
tingkah lakunya
sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta
mengontrol
perilakunya sendiri; c) Manusia mampu untuk memperoleh dan
membentuk sendiri
pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar;
d) Manusia dapat
mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh
perilaku orang
lain.
-
10
Sejalan dengan keyakinan-keyakinan itu, bagi seorang konselor
behavior
perilaku konseling merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman
hidupnya dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseling
ditinjau dari sudut
pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi
kehidupannya atau
tidak tepat dan salah, harus dikatakan bahwa baik tingkah laku
tepat maupun tingkah
laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah
laku salah merupakan
hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus
dan diganti dengan
tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.
Beberapa penulis membedakan terapi tingkah laku dan modifikasi
tingkah laku,
tetapi mereka juga sering menggunakannya silih berganti dengan
arti yang sama.
Pendekatan behavior berkembang di atas dalil-dalil (construct)
berikut :
1. Semua perilaku adalah pengaruh lingkungan.
2. Perilaku dilestarikan (maintained) oleh respons;
3. Tingkah laku lebih banyak ditentukan oleh penyebab yang dekat
daripada oleh
penyebab yang jauh;
4. Tingkah laku mendapat penguatan (reinforced) lebih banyak
mungkin berulang
daripada yang tidak mendapat penguatan;
5. Penguatan positif berpotensi membiasakan (conditioning) lebih
kuat daripada
penguatan negatif;
6. Penguatan hendaknya segera datang sesuai tingkah laku;
7. Penguatan dapat bersifat kongkret atau sosial;
-
11
8. Tingkah laku dapat berkurang dengan hilangnya penguatan;
9. Tingkah laku dapat dibentuk dengan memberikan penguatan
kepada untaian
tingkah laku yang dikehendaki.
(Kazdin, 1978) Definisi lain menyebutkan bahwa modifikasi
perilaku adalah “
penerapan dari penelitian dan teori dasar dari psikologi
eksperimental untuk
mempengaruhi perilaku dengan tujuan untuk mengatasi problema
sosial dan
individual dan menggalakan berfungsinya sifat manusia.”
Terapi behavioral kontemporer bisa dipahami dengan jalan
mempertimbangkan tiga kawasan perkembangan utama, yaitu :
kondisioning klasik,
kondisioning operan, dan terapi kognitif. Pada kondisioning
klasik, dimana perilaku
tertentu dari responden dirangsang oleh organisme pasif. Pada
pendekatan
kondisioning operan, perilaku operan terdiri dari perbuatan yang
beroperasi dalam
lingkungan untuk mencapai konsekuensi. Apabila perubahan
lingkungan yang
dihasilkan oleh perilaku itu memberi penguatan, maka
kemungkinannya perilaku itu
akan terulang lagi. Dan kecenderungan kognitif dalam terapi
perilaku merupakan
konsep mediator (proses berfikir, sikap, dan nilai), yang
memungkinkan sebagai
reaksi terhadap pendekatan psikodinamika yang berorientasi pada
pemahaman.
-
12
2.1.2 Tujuan Konseling Behavior
Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien
membuang
respon-respon yang lama merusak diri, dan mempelajari
respon-respon yang baru
yang lebih sehat. Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan
pendekatan ini ditandai
oleh
(1) Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik.
(2) Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
(perlakuan).
(3) Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah
khusus.
(4) Penilaian objektif mengenai hasil konseling.
Tujuan lain terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku
baru,
mengeleminasi perilaku yang maladatif dan memperkuat serta
mempertahankan
perilaku yang diinginkan. Kemudian tujuan umum konseling yang
menggunakan
pendekatan behavior menurut Christiani (1986) ialah :
(1) Mengubah perilaku yang tidak selaras dengan tuntutan
masyarakat dan
kebutuhan pribadi.
(2) Membantu mempelajari proses pengambilan keputusan yang lebih
efisien.
(3) Mencegah timbulnya masalah di waktu yang akan datang.
(4) Memecahkan masalah tingkah laku yang diusulkan klien.
(5) Mengadakan perubahan tingkah laku untuk masa yang akan
datang.
-
13
Tujuan khusus konseling dirumuskan dari kesepakatan konselor
dengan konsele.
Rumusan tersebut hendaknya spesifik, konkret, dan mudah dinilai.
Setelah diperoleh
kesepakatan tentang tujuan, konselor menawarkan teknik dan
strategi yang akan
digunakan. Dijelaskan secara umum cara melaksanakan teknik dan
strategi tersebut,
waktu yang diperlukan, dan sebagainya. Jika disepakati, jalankan
dan susul dengan
evaluasi bersama.
2.1.3 Sifat-Sifat Dasar dan Asumsi Konseling Behavior
Teori behavior memiliki beraneka ragam pendekatan yang sulit
untuk
disebutkan satu persatu sebagai sebuah perangkat yang premis
serta sebagai bentuk
umum yang bisa diaplikasikan pada seluruh bidangnya. Ciri yang
berikut ini bisa
diaplikasikan secara luas, pada pendekatan behavior.
(1) Terapi perilaku yang didasarkan pada prinsip belajar yang
bersumber pada
eksperimen yang secara sistematis diaplikasikan untuk menolong
orang agar
bisa mengubah perilaku maladaptive.
(2) Terapi yang berfokus pada problema klien yang sekarang ada
serta pada
factor-faktor yang mempengaruhinya.
(3) Terapi ini menekankan pada perubahan perilaku yang terbuka
sebagai kriteria
utama yang dengan kriteria itu perlakuan seharusnya dievaluasi,
namun
dengan melibatkan proses-proses kognitif.
-
14
(4) Terapi ini menspesifikasikan sasaran perlakuan dalam arti
yang kongkrit dan
objektif agar bisa dimungkinkan dibuatnya replica dari
intervensi perlakuan.
(5) Karakteristik yang menonjol dari para praktisi behavior
adalah sikap mereka
yang secara sistematis mengaitkan diri pada spesifikasi dan
pengukuran.
Sepanjang perjalanan terapi ada penilaian terhadap perilaku
bermasalah serta
kondisi yang mendukungnya.
(6) Terapi behavior banyak bersifat mendidik. Ada penekanan
dalam
mengajarkan klien suatu keterampilan untuk menangani diri
sendiri, dengan
harapan mereka bisa bertanggung jawab untuk mentransfer apa yang
telah
mereka pelajari ke kehidupan sehari-hari
(7) Prosedur behavior disesuaikan agar bisa cocok dengan
kebutuhan yang unik
dari setiap klien.
Asumsi dasar yang melandasi pendekatan behavior, menurut T.
Wilson
(Corey;1986) ialah bahwa gangguan-gangguan yang memerlukan
layanan psikoterapi
hendaknya dipahami melalui perspektif psikologi eksperimental.
Diatas asumsi dasar
ini dibangun asumsi-asumsi yang spesifik sesuai dengan
pendekatan spesifik masing-
masing. Asumsi-asumsi yang melandasi sebagian besar pendekatan
tersebut :
(1) Terfokus pada pemberian pengaruh-pengaruh nyata (Current
Influences),
bukan pada penentu-penentu historis.
(2) Menekankan pengamatan pada perubahan tingkah laku lahiriah
sebagai
kriteria penilaian.
-
15
(3) Mengkhususkan pada tujuan perlakuan yang konkret dan
objektif supaya
dapat direplikasikan.
(4) Mempercayai riset dasar untuk mendapatkan hipotesis tentang
perlakuan dan
teknik-teknik konseling.
(5) Merumuskan secara spesifik masalah-masalah yang akan
ditangani untuk
memudahkan perlakuan dan pengukuran.
2.1.4 Teknik dan Prosedur Konseling Behavior
Salah satu kekuatan terbesar dari pendekatan behavior pada
konseling dan
psikoterapi adalah pengembangan dari prosedur terapeutik yang
spesifik yang mau
menerima adanya penyulingan lewat metode ilmiah. Teknik behavior
haruslah efektif
lewat sarana objektif, dan terus ada usaha untuk memperbaikinya.
Temuan utama
yang dihasilkan oleh penelitian terapi behavior adalah hasil
akhir dari suatu
penanganan adalah memiliki facet ganda. Perubahan itu bukanlah
bersifat
keseluruhan ataupun tidak ada perubahan sama sekali. Perbaikan
mungkin bisa terjadi
pada suatu kawasan tetapi tidak terjadi pada kawasan yang lain.
Semua perbaikan
tidak muncul secara bersamaan, dan keberhasilan di suatu kawasan
mungkin ada
kaitannya dengan problema yang muncul di kawasan lain. (Kazdin,
1982: Voltz &
Evans, 1982).
-
16
Dalam terapi behavior kontemporer teknik apapun dapat
ditunjukkan untuk
mengubah perilaku yang mungkin dilibatkan dengan rencana
penanganan. Lazarus
(1980) mendukung penggunaan teknik yang beraneka ragam, tanpa
memperhatikan
asal teori itu. Diberikan olehnya garis besar rentang teknik
yang luas yang telah ia
gunakan dalam praktek klinisnya sebagai suplemen dari metode
behavior. Menurut
pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu,
secara potensial terapis itu
makin efektif. Jelas bahwa terapi behavior tidak harus membatasi
diri pada metode
yang berasal dari teori belajar. Demikian pula teknik behavior
dapat dimasukkan
dalam kegiatan pendekatan yang lain. Berikut ini dikemukakan
beberapa teknik
konseling behavioral.
1. Assertive training
Assertive training, merupakan teknik dalam konseling behavioral
yang dengan
cepat mencapai popularitas yang bisa diterapkan terutama pada
situasi-situasi
interpersonal, di mana individu mengalami kesulitan untuk
menerima kenyataan
bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak
atau benar.
Assertive training adalah suatu teknik untuk membantu klien
dalam hal-hal berikut:
a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung.
b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong
orang lain untuk
mendahuluinya.
c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
-
17
d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respon-respon positif
lainnya.
e. Merasa tidak punya hak uintuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran
sendiri.
Didalam assertive training konselor berusaha memberikan
keberanian kepada
klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan
teknik ini ialah
dengan role playing (bermain peran).
2. Aversion therapy
Teknik ini bertujuan untuk menghukum prilaku yang negatif dan
memperkuat
perilaku positif. Hukuman bisa dengan kejutan listrik, atau
memberi ramuan yang
membuat orang muntah. Secara sederhana anak yang suka marah
dihukum
dengan membiarkannya. Perilaku maladjustive diberi kejutan
listrik, misalnya
anak yang suka berkata bohong. Perilaku homoseksual dihukum
dengan memberi
pertunjukan film yang disenanginya lalu dilistrik tangannya dan
film mati.
3. Home-work.
Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu
menyesuaikan diri
terhadap situasi tertentu. Caranya ialah dengan memberi tugas
rumah untuk satu
minggu. Misalnya tugas klien adalah; tidak menjawab jika
dimarahi ibu tiri. Klien
menandai hari apa dia yang menjawab dan hari apa dia tak
menjawab. Jika selama
-
18
seminggu dia tak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi
lagi tugas tambahan
sehingga selama tujuh hari tak menjawab jika dimarahi.
4. Desensitiasi sistematik (systematic desensitization).
Teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa
semua
perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Respon
terhadap kecemasan
dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik.
Perangsangan
yang menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang di pasangkan
dengan
relaksasi sehingga hubungan antara perangsangan dengan respon
terhadap
kecemasan dapat dieliminasi. Teknik desensitisasi sistematik
bermaksud
mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten
dengan
kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tak dapat berjalan
tanpa teknik
relaksasi. Adapun prosedur pelaksanaan teknik ini dapat diikuti
lebih lanjut di
bawah ini:
a. Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan.
b. Menyusun hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang
menimbulkan kecemasan
dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.
c. Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan
hingga otot kaki. Kaki
klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci
relaksasi otot dimulai
dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang,
perut dan dada, dan
kemudian anggota bagian bawah.
-
19
d. Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya
sepereti di pantai,
ditengah taman yang hijau dan lain-lain.
e. Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan
situasi yang
kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah,
berarti situasi
tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke
situasi yang paling
mencemaskan.
f. Bila pada suatu situasi klien cemas dan gelisah, maka
konselor memerintahkan
klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk
menghilangkan
kecemasan yang baru terjadi.
g. Menyusun hierarkhi atau jenjang kecemasan harus bersama
klien, dan konselor
menuliskannya di kertas.
2.2 Konsep Dasar Desensitisasi Sistematik
Desensitisasi sistematik ( Systematic Desensitization )
dikembangkan dalam
tradisi prosedur behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph
Wolpe. Asumsi
dasar teknik ini adalah respons ketakutan ( sebagai contoh
respon ketakutan akan
ketinggian ) merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat
dicegah dengan
menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan
tersebut. Respons
khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini
adalah kecemasan-
kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan, dan respons
yang sering
-
20
dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi
atau penenangan.
Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai ketakutan terhadap
ketinggian dan merasa
sangat khawatir dan tidak nyaman setiap saat dia masuk ke sebuah
gedung yang
tinggi dan naik lift ke tingkat 4, kita akan dapat membantunya
dengan menghambat
kekhawatiran pada situasi ini dengan mengerjakannya untuk rileks
dan tenang. Dan
kita juga akan dapat melatih ketidak pekaannya atau melawan
ketakutannya terhapa
ketinggian.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu,
hal-hal
kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut
menunjukkan
aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya.
Pembongkaran terhadap
rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi
orang tersbut ketika dia
dimintai untuk membayangkan situasi yang serba menakutkan, atau
hal ini dapat
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe mengistilahkan
prinsip yang mendasari
proses ketidakpekaan tersebut dengen reciporal inhibition. Dia
menjelaskan prinsip
dasar tersebut sebagai berikut, “ Jika respon inhibitori
terhadap kekhawatiran dapat
dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal
tersebut akan melemahkan
hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut terhadap
kekhawatiran “. ( Wolpe
1958).
-
21
Menurut Wolpe (dalam Corey,2007) menguraikan secara terperinci
mengenai
prosedur pelaksanaan teknik Desensitisasi Sistematis yang dapat
dijelaskan sebagai
berikut.
1. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis
perilaku atas
stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan
keramaian.
Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan
konseli
dalam area tertentu.
2. Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang
menyebabkan
konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya
secara
hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat
mengenai
situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan
atau
penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi
yang
membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga
situasi
yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli.
3. Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau
santai.
Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang
disebut
relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan
santai
penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli
diberi
latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun
pengendoran
otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai
penuh.
-
22
Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang
cara
relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan
bagian-
bagian tubuh tertentu.
4. Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon
antagonistik
yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi
berdasarkan
teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci
oleh
Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi
yang
membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau
berjalan-jalan di
taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah
bahwa
konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari
bagaimana
mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat
pada otot-
otot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh
kepala, leher dan
pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota
badan
bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di
luar
pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari.
Apabila
konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka
prosedur
desensitisasi dapat dimulai.
5. Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis. Proses
desensitisasi
melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan
mata
tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli
agar
-
23
mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan
rileks,
konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari
atas ke
bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas
sebagaimana
tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk
membayangkannya.
Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli
untuk
membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan
oleh
konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli
diminta
untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi didalamnya.
Jika
konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk
membayangkan
situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling
rendah.
Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara
bertingkat
sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan
pada
saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi
dimulai
lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam
situasi-
situasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai
apabila
konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi
yang
sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan.
Jika
konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami
kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini
terus
dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam
hirarki
telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan
sikap santai
-
24
tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara
meminta
membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia
menyajikan
situasi yang menimbulkan perasaan cemas (Wolpe,1982).
2.3 Kecemasan terhadap keramaian
2.3.1 Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang di alami seseorang ketika
berfikir bahwa
sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Priest
menggambarkan kecemasan
sebagai ketakutan, tidak tentu, bingung, dan ketiakpastian
merupakan suatu keadaan
umum yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu sebagai
tanggapan terhadap
situasi yang mengancam atau khayal ( Priest, 1994). Seseorang
bisa menjadi cemas
bila dalam kehidupannya terancam oleh sesuatu yang tidak jelas
karena kecemasan
dapat timbul pada banyak hal yang berbeda-beda. Kecemasan adalah
keadaan takut
terus menerus namun berbeda dengan ketakutan biasa yang
merupakan respon
terhadap kesukaran yang sedang terjadi, (Mahmud, 1990). Pendapat
ini didukung
oleh Sulaeman (1995) yang menyebutkan sebagai keadaan.
Psikologis yang
ditimbulkan oleh adanya rasa khawatir terus menerus yang
ditimbulkan oleh adanya
Inner conflict dan merupakan perasaan yang samar-samar atau
tidak jelas yang
bersumber dari ketakutan individu terhadap suatu yang akan
terjadi. Kecemasan
adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul
karena dirasakan
-
25
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya
sebagian besar tidak
diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil
dari
konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda
terhadap ego untuk
mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil,
kecemasan
menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus
berkepanjangan, maka
kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri
dialami sebagai
simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik.
Konsep psikodinamik
menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul
pertama dalam hidup
manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat
itu dalam kondisi
masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap
kedinginan dan
kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya
muncul apabila
ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego,
tetapi tidak mendapat
restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara
keinginan Id yang
ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan
yang kedua. Konflik-
konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi
yang tetap tak
terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan
dibesar-besarkan. Tekanan ini akan
muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super
ego menurun,
desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka
lahirlah kecemasan-
kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
-
26
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon
terhadap stimulus
khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon
kondisi untuk
stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil
frustasi, sehingga akan
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di
inginkan.
2.3.2 Macam-macam Kecemasan
Menurut Freud ( Hall dan Lindzey, 1993 ) ada tiga macam
kecemasan :
a. Kecemasan realita
Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok adalah
kecemasan realita
atau takut akan bahaya-bahaya dari luar. Bahaya dalam setiap
keadaan dalam
lingkungan seseorang yang bisa membuat celaka, misalnya takut
dirinya celaka
jika berada di suatu keramaian atau lalu lalang orang di suatu
tempat.
b. Kecemasan neurotis
Kecemasan neurotis adalah rasa takut apabila insting-insting
akan lepas dari
kendali dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang bisa
membuatnya
dihukum. Kecemasan neurotis bukanlah ketakutan terhadap insting
itu sendiri
melainkan ketakutan terhadap yang mungkin terjadi jika suati
insting dipuaskan.
Kecemasan neurotis mempunyai dasar dalam kenyataan, sebab
dunia
-
27
sebagaimana diwakili oleh orang tua dan berbagai otoritas lain
akan menghukum
anak bila ia melakukan tindakan implusif.
c. Kecemasan moral
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati.
Orang-orang super ego
berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka
melakukan
sesuatu atau bahkan berfikir untuk melakukan yang bertentangan
dengan norma
moral dimana dirinya dibesarkan. Kecemasan moral juga mempunyai
dasar
dalam realistis, dimasa lampau sang pribadi pernah mendapat
hukuman karena
melanggar norma moral dan bisa dihukum lagi.
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada
bahaya yang
mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dilihat sebagai rasa
takut,
karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran.
b. Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa
bentuk.
Misalnya orang merasa cemas karena menyangka akan terjadi
sesuatu
yang tidak menyenangkan, sehingga orang itu merasa terancam.
c. Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena
melakukan hal-
hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.
Cattel dan Scheier (dikutip oleh De Clerg, 1994) membagi
kecemasan
dalam dua jenis, yaitu:
-
28
a. State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada
situasi
tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. State anxiety
beragam
dalam hal intensitas dan waktu. Keadaan ini ditentukan oleh
perasaan
ketegangan yang subyektif.
b. Trait anxiety menunjukkan seseorang untuk
menginterprestasikan
keadaan sebagai suatu ancaman yang disebut dengan anxiety
proness
(kecenderungan akan kecemasan). Orang tersebut cenderung
untuk
merasakan berbagai macam keadaan sebagai keadaan yang
membahayakan atau mengancam dan cenderung untuk menanggapi
dengan reaksi kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa
kecemasan terhadap keramaian dapat dikategorikan pada bentuk
kecemasan
realita.
2.3.3 Gejala-gejala Kecemasan
Kecemasam sulit diketahui, hanya dapat dilihat dari
gejala-gejala yang
ditimbulkannya. Menurut Daradjat (1990) gejal-gejala cemas ada
yang bersifat
fisiologis yaitu ujung-ujung jari terasa dingin, gangguan pada
pencernaan, detak
jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyanyak, nafsu
makan hilang, kepala
pusing, nafas sesak, serta sakit perut. Gejala-gejala psikologis
antara lain sangat takut,
merasa akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, keadaan tidak
berdaya, tidak bisa
-
29
memusatkan perhatian, hilang kepercayaan pada diri sendiri,
tidak tentram, ingin lari
dari kenyataan hidup.
Suardiman (1987) memberikan ciri-ciri individu yang mengalami
kecemasan
sebagai berikut: tidak bisa tidur, mudah marah, gelisah,
istirahat dan makan tidak
teratur, tidak dapat berkonsentrasi, tidak berani mengambil
keputusan, terlalu peka
atau sensitive, mudah mengeluarkan keringat terus-menerus.
Sedangkan gejala-gejala
fisiologis yang makin timbul pada orang yang mengalami kecemasan
menurut De
Clerq (1994) antara lain bernafas lebih cepat, berkeringat,
jantung berdebar-debar.
Hal di atas sesuai dengan pendapat Coon dan Raymont (Yetty
Fitriasari ,
1999) bahwa ciri-ciri kecemasan adalah ketidak stabilan emosi,
perasaan tidak aman,
sulit mengambil keputusan, hilangnya perhatian, mudah pusing
atau mual,
tenggorokan tersekat, sulit tidur dan hilang konsentrasi. Jadi
gejala-gejala kecemasan
dapat bersifat fisiologis dan psikologis. Bersifat fisiologis
bila ditandai dengan detak
jantung menjadi lebih cepat, istirahat tidak teratur, nafsu
makan hilang, gangguan
pada pencernaan, tidur tidak nyenyak, mudah mengeluarkan
keringat, nafas sesak dan
pusing. Sedangkan gejala psikologis ditandai dengan merasa
tertekan, mudah marah,
selalu khawatir, bingung, tidak berani mengambil keputusan, dan
sulit berkonsentrasi.
-
30
2.4 Keramaian
Keramaian bukan hanya terjadi di stadion sepakbola, tapi
keramaian juga
dapat terjadi di mana-mana. Tempat ibadah, pasar tradisional,
lokalisasi pelacuran,
gelaran kampanye partai politik, konser musik atau acara jalan
santai. Contoh terakhir
menarik untuk dijadikan pembanding. Misalnya, pengurus rukun
tetangga di suatu
perumahan menyelenggarakan acara “jalan santai”. Pesertanya
penghuni perumahan.
Ramai dan membentuk keramaian. Anggota keramaian adalah peserta
acara jalan
santai. Keramaian terbentuk disebabkan alat pembentuk keramaian
yang tidak
tunggal. Misalnya seseorang ikut jalan santai karena undian
berhadiah
(semacam doorprize) telepon genggam “BlackBerry”. Individu lain
datang ke acara
yang sama karena ada “pentas musik” di akhir acara. ”Undian
berhadiah” serta
”pentas musik” adalah sedikit contoh dari alat pembentuk
keramaian suatu acara jalan
santai. “Objek” dari motivasi merupakan alat pembentuk
keramaian. Manusia adalah
makhluk yang bisa dimobilisasi membentuk keramaian.
Dalam sebuah keramaian pasti banyak sekali ditemui beberapa
kelompok.
Dalam suatu kelompok banyak sekali ditemui suatu makna
pertemanan dari setiap
individu. Keramaian mempunyai makna tersendiri yaitu, merupakan
kumpulan dari
sekelompok orang-orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. dimana ada
sebuah organisasi yang menyusun berbagai pekerjaan atau kegiatan
guna
menghasilkan sebuah pencapaian tujuan. dalam keramaian
diperlukan interaksi
bersama dan adanya karakteristik yang berbeda agar dapat
menciptakan suatu
-
31
keragaman. dalam psikologi kelompok, kelompok dapat menunjang
perkembangan
optimal masing-masing individu untuk membentuk suatu kumpulan
yang dapat
disebut juga dengan keramaian. menurut Homans (1950) keramaian
adalah sejumlah
individu berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu
tertentu yang
jumlahnya tidak dapat ditentukan. Jadi pengertian kecemasan
keramaian adalah
perasaan yang dialami seseorang ketika berfikir bahwa akan
terjadi hal yang tidak
menyenangkan terhadap sekumpulan dari sekelompok orang-orang
atau lebih yang
disebut keramaian itu sendiri.
2.4.1 Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok dan
membentuk
keramaian.
1. Adanya persamaan senasib
2. Tujuan yang sama
3. Ideologi yang sama
4. Musuh bersama
5. Suku bangsa yang sama atau kelompok etnik
2.4.2 Bentuk-bentuk kelompok sosial yang mendasari timbulnya
keramaian
menurut para ahli.
1. In Group dan Out Group
-
32
Summer membedakan antara in group dan out group. In
Group merupakan kelompok social yang dijadikan tempat oleh
individu-
individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out Group
merupakan
kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in
Group.
Contoh: Istilah “kita” atau “kami” menunjukkan adanya artikulasi
in
group, sedangkan “mereka” berartikulasi out group.
2. Kelompok primer dan sekunder
Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer
yang
ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara
anggota-anggotanya, kerja
sama yang erat dan bersifat pribadi,interaksi sosial dilakukan
secara tatap
muka (face to face). Kelompok sekunder adalah kelompok sosial
yang
terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak
perlu
berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga sifatnya tidak
begitu
langgeng.
3. Gemainschaft dan gesellschaft
Ferdinand Tonnies mengemukakan tentang hubungan antara
individu-
individu dalam kelompok sosial sebagai Gemainschaft
(paguyuban)
dan gesellschaft (patembayan). Gemainschaft merupakan
bentuk-bentuk
kehidupan yang di mana para anggota-anggotanya diikat oleh
hubungan
batin yang murni, bersifat ilmiah, dan kekal. Contoh: keluarga,
kelompok
-
33
kekerabatan, rukun tetangga, dll.Gesellschaft (patembayan)
merupakan
ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu
(yang
pendek) atau bersifat kontraktual. Contoh: hubungan
perjanjian
perdagangan, organisasi formal, organisasi suatu perusahaan,
dll.
4. Kelompok Formal dan Informal
J.A.A. Van Doorn membedakan kelomok Formal dan Informal.
Kelompok Formal mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja
diciptakan oleh para anggotanya untuk mengatur hubungan
mereka,
misalnya pemerintah memilih ketua, iuran anggota, dll.
Kelompok
Informal tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu .
Kelompok ini
terbentuk karena pertemuan berulang-ulang, misal kelompok
dalam
belajar.
5. Membership group dan reference group
Robert K. Merton membedakan kelompok membership dengan
kelompok reference. Kelompokmembership merupakan kelompok
yang
para anggotanya tercatat secara fisik sebagai anggota,
sedangkan
kelompok reference merupakan kelompok sosial yang dijadikan
acuan
atau rujukan oleh individu-individu yang tidak tercatat dalam
anggota
-
34
kelompok tersebut untuk membentuk atau mengembangkan
kepribadiannya atau dalam berperilaku.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keramaian yang
dimaksud
dalam penelitian ini adalah kerumunan sekelompok orang yang
menimbulkan
kebisingan dan kegaduhan yang tidak hanya terjadi di dalam
sekolah atau di dalam
kelas saja, tetapi juga dapat terjadi di manapun yang bisa
menimbulkan rasa cemas
terhadap siswa itu sendiri.
2.5 Penerapan Konseling Kelompok Melalui Teknik Desensitisasi
Sistematik
untuk Mengatasi Kecemasan Terhadap Keramaian.
Desensitisasi sistematik merupakan tehnik yang cocok untuk
menangani
fobia, tetapi merupakan suatu konsepsi yang keliru kalau tehnik
ini dapat
diaplikasikan hanya untuk menangani kecemasan. Comier &
Cormier ( Corey, 1995 )
menyatakan bahwa secara historis desensitisasi merupakan tehnik
yang memiliki
catatan sejarah yang paling panjang sebagai tehnik untuk
menangani rasa takut dan
hasilnya telah didokumentasikan.
(Abimanyu & Thayeb, 1996) mengemukakan bahwa desensitisasi
sistematik
digunakan untuk menurunkan kemaarahan, menambah rasa toleransi
pada orang lain
mengatasi situasi kehilangan dan keduka citaan, menghilangkan
berbagai fobia,
menghilangkan berbagai kecemasan dan menghilangkan berbagai rasa
takut. Dalam
-
35
penerapannya teknik desensitisasi ini menggunakan berbagai
tahap-tahap pelaksanaan
sesuai dengan langkah-langkah prosedur yang efektif.
Seperti studi penelitian yang sudah dilakukan oleh Hekmat Hamid
(2006)
yang mengemukakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif
untuk menurunkan
kecemasan berbicara di depan umum.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Konseling
kelompok
melalui pendekatan behavioral secara signifikan dapat menurunkan
kecemasan
keramaian siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Salatiga