6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Kualitas Kata kualitas memilki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategis (Gasperz, 2001). Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. Sedangkan menurut definisi yang strategik menyatakan bahwa: kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Keistimewaan atau keunggulan produk dapat diukur melalui tingkat kepuasan pelanggan. Keistimewaan suatu produk dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: keistimewaan langsung dan keistimewaan atraktif. Keistimewaan langsung berkaitan dengan kepuasan pelanggan yang diperolah secara langsung dengan mengkonsumsi produk yang memiliki karakteristik unggul seperti produk tanpa cacat, keandalan (reliability), dan lain-lain. Sedangkan keistimewaan atraktif berkaitan dengan kepuasan pelanggan yang diperoleh secara tidak langsung dengan mengkonsumsi produk itu. Keistimewaan atraktif sering memberikan kepuasan yang lebih besar pada pelanggan dibandingkan keistimewaan langsung. Beberapa keistimewaan
19
Embed
BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-70..pdf · Pada permulaan tahun 1980-an, Motorola, Inc secara terus menerus ... 80% masalah disebabkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Kualitas
Kata kualitas memilki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang
konvensional sampai yang lebih strategis (Gasperz, 2001). Definisi konvensional
dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk
seperti: performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan
(ease of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. Sedangkan menurut definisi yang
strategik menyatakan bahwa: kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi
keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).
Keistimewaan atau keunggulan produk dapat diukur melalui tingkat kepuasan
pelanggan. Keistimewaan suatu produk dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
keistimewaan langsung dan keistimewaan atraktif. Keistimewaan langsung berkaitan
dengan kepuasan pelanggan yang diperolah secara langsung dengan mengkonsumsi
produk yang memiliki karakteristik unggul seperti produk tanpa cacat, keandalan
(reliability), dan lain-lain. Sedangkan keistimewaan atraktif berkaitan dengan
kepuasan pelanggan yang diperoleh secara tidak langsung dengan mengkonsumsi
produk itu. Keistimewaan atraktif sering memberikan kepuasan yang lebih besar
pada pelanggan dibandingkan keistimewaan langsung. Beberapa keistimewaan
7
atraktif, misalnya: Bank yang buka pada hari minggu, pelayanan 24 jam tanpa
tambahan biaya, pembelian produk melalui telpon dan penyerahan di rumah, dan
sebagainya. Keistimewaan atraktif dapat meningkatkan kepuasan pelanggan secara
cepat meskipun untuk itu membutuhkan inovasi dan pengembangan secara terus-
menerus.
2.2 Konsep Manajemen Kualitas
Menurut Gaspersz (2001, p.5), manajemen kualitas terpadu didefinisikan
sebagai suatu cara meningkatkan performansi secara terus-menerus (continous
performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area
fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia
dan modal yang tersedia.
Juran sangat terkenal dengan konsep trilogy kualitas yaitu : perencanaan
kualitas (quality planning), pengendalian kualitas (qualitas planning), dan perbaikan
atau peningkatan kualitas (quality improvement)(Gyrna, 2001, p.11).
8
Gambar 2.1 Juran Trilogy Diagram (Gyrna, 2001, p.1)
Proses-proses yang ada di dalam konsep Juran tersebut diuraikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Proses-proses dalam manajemen kualitas menurut Diagram Trilogi
Juran (Gyrna, 2001, p.11)
9
2.3 Six Sigma
2.3.1 Sejarah Six Sigma
Pada permulaan tahun 1980-an, Motorola, Inc secara terus menerus
dikalahkan di pasar yang kompetitif yang pada akhirnya mereka kehilangan market-
nya karena perbedaan kualitas dibandingkan dengan perusahaan Jepang saat itu
(Pyzdek, 2002). Saat perusahaan Jepang mengambil-alih perusahaan Motorola yang
memproduksi pesawat televisi di Amerika Serikat, mereka dengan cepat menerapkan
perubahan yang drastis dalam menjalankan perusahaan. Di bawah manajemen
Jepang, perusahaan segera memproduksi televisi dengan jumlah kerusakan satu
dibanding dua puluh yang mereka pernah produksi di bawah manajemen Motorola.
Pada tahun 1981, Motorola menghadapi tantangan tersebut dengan mengevaluasi
kualitasnya hingga 5 kali dalam 5 tahun namun tetap saja tidak berhasil. Kemudian
Motorola dengan Bob Galvin sebagai CEO-nya memutuskan untuk menekuni
kualitas dengan serius dengan mengembangkan suatu proses yang konsisten
berdasarkan pendekatan statistik.
Akhirnya pada tahun 1986, Bill Smith, seorang ahli dan senior engineer di
Divisi Komunikasi Motorola yang juga seorang ahli statistik, menyimpulkan bahwa
bila suatu produk cacat dan diperbaiki pada waktu produksi maka cacat-cacat lain
mungkin akan terabaikan (Brue, 2002). Dengan kata lain, rata-rata kegagalan proses
jauh lebih tinggi ketimbang yang ditunjukkan oleh tes-tes akhir produk. Maksudnya?
10
Bila produk dirakit secara sama sekali bebas cacat, mungkin produk itu kelak tidak
akan mengecewakan pelanggan. Dari sinilah Six Sigma bertolak, Dr. Mikel J. Harry,
pendiri Motorola Six Sigma Research Institute, selanjutnya memperhalus
metodologinya, bukan saja untuk menghapus pemborosan tetapi juga mengubahnya
menjadi pertumbuhan.
Kemudian ide tersebut diajukan kepada CEO Motorola yaitu Bob Galvin,
yang kemudian ide tersebut dijadikan sebagai pedoman/acuan untuk menyelesaikan
permasalahan kualitas yang ada di Motorola pada saat itu. Six Sigma dijadikan
sebagai strategi utama Motorola untuk dapat menghasilkan produk-produk yang
sesuai/cocok dengan keinginan konsumen. Pendekatan yang biasa digunakan oleh
Motorola adalah (measure, analyze, improve, dan control). Lalu di tahun 1987,
Motorola berhasil menerapkannya sebagai kunci sukses. Sebagai hasilnya pada tahun
1988 Motorola memenangkan penghargaan paling bergengsi dalam bidang kualitas
yaitu The Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA). Tahun 1990,
Motorola bersama dengan beberapa perusahaan seperti IBM, texas instruments dan
Xerox membuat konsep Black Belts (BBs), yang dijadikan sebagai ahli (expert) dalam
mempergunakan metode statistik. Lalu, Allied Signal (sekarang Honeywell
International Inc.) dan General Electric Co. berhasil menggunakan dan
mempopulerkan metodologi Six Sigma Motorola tersebut.
11
2.3.2 Pengertian Six Sigma
Salah satu upaya perusahaan untuk memiliki keunggulan bersaing adalah
dengan membangun keunggulan bersaing terhadap proses bisnisnya. Six Sigma
merupakan salah satu konsep atau metode untuk dapat membangun keunggulan
bersaing melalui peningkatan proses bisnis dengan mengurangi atau menghilangkan
penyimpangan terhadap proses bisnis yang ada. Konsep Six Sigma diperkenalkan
oleh Mikel harry dan Richard Shroeder dalam bukunya yang berjudul Six Sigma The
Breakthrough Management Strategy Revolutionizing The World’s Top Corporation.
Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu proses bisnis yang
memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya dengan merancang dan
memantau aktifitas harian bisnis dalam mencapai kepuasan pelanggan (Mikel Harry,
2001, p.vii). Six Sigma juga didefinisikan sebagai suatu sistem yang komprehensif
dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha,
yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan
fakta, data serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji
ulang proses usaha. Six Sigma dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi
kesalahan atau penyimpangan dalam proses bisnis sehingga hanya terdapat sekitar 3.4
ketidaksesuaian atau penyimpangan di dalam 1.000.000 unit atau peluang (Defect per
Million Opportunities). Tujuan dari Six Sigma ini tidak hanya mencapai level Sigma
tertentu saja tetapi lebih pada peningkatan kemampulabaan perusahaan. Six Sigma
12
akan berupaya untuk memperhatikan kesesuaian antar kinerja produk atau jasa yang
dihasilkan dengan kebutuhan pelanggan.
Menurut Pearce dan Robinson (Pearce, 2003, p.330), Six Sigma merupakan
suatu pendekatan dengan ketepatan dan kemampuan analisis yang tinggi terhadap
kualitas dan peningkatan yang terus-menerus dengan tujuan untuk meningkatkan
keuntungan melalui pengurangan kerusakan (defect), peningkatan hasil, peningkatan
kepuasan konsumen dan kinerja terbaik (best in class).
Konsep Six Sigma tidak terlepas dari konsep tentang kualitas atau mutu.
Beberapa konsep tentang mutu adalah : (Dirgantoro, 2002, p.180)
1. Memenuhi kepuasan pelanggan (J.M. Juran)
2. Kesesuaian dengan kebutuhan (Philip Corsby)
3. Perkiraan tingkat keseragaman dan ketergantungan pada harga yang
rendah dan sesuai dengan pasar (W. Edwards Deming)
Beberapa prinsip dalam konsep Six Sigma ini adalah (Pande, 2000, p.15) :
1. Fokus pada pelanggan.
Sikap yang menempatkan kebutuhan pelanggan sebagai prioritas utama.
Sistem dan strategi bisnis harus memperhatikan suara dari pelanggan.
2. Manajemen berdasarkan fakta dan data.
Sistem pengukuran yang efektif yang dapat mengukur keluaran, proses
dan masukkan dari waktu ke waktu.
3. Fokus pada proses dan perbaikan.
13
Proses di dalam Six Sigma akan didokumentasikan, dikomunikasikan dan
diukur berdasarkan kondisi yang ada. Proses tersebut akan diperbaiki atau
dapat pula didisain ulang agar dapat tetap sesuai dengan kebutuhan
pelanggan dan bisnis.
4. Manajemen yang proaktif.
Kebiasaan dan praktek untuk mengantisipasi masalah dan perubahan
dengan menggunakan fakta dan data yang ada untuk mencapai sasaran
yang ada.
5. Kolaborasi yang kuat dan luas.
Kerjasama antara internal perusahaan atau organisasi dengan pelanggan,
pemasok dan partner yang ada pada rantai nilai bisnis.
6. Usaha pada kesempurnaan namun terdapat toleransi untuk kegagalan.
Memberikan kebebasan setiap orang di dalam organisasi untuk melakukan
percobaan dari suatu pendekatan yang baru, manajemen resiko, belajar
dari kesalahan dan akhirnya mencapai hasil kinerja yang tingga yang
berhubungan dengan kepuasan pelanggan.
2.3.3 Metodologi Six Sigma
Untuk melakukan peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma
dibutuhkan suatu pendekatan yang sistematis, berdasarkan ilmu pengetahuan dan
fakta (systematic, scientific, and fact based) dengan menggunakan peralatan,
14
pelatihan dan pengukuran sehingga ekspektasi dan kebutuhan pelanggan dapat
terpenuhi (Simon, 2003). Salah satu pendekatan yang biasa digunakan dalam Six
Sigma, yaitu DMAIC.
Metodologi DMAIC digunakan pada saat sudah terdapat produk atau proses
di perusahaan namun belum dapat mencapai spesifikasi yang ditentukan oleh
pelanggan. DMAIC merupakan sebuah proses untuk peningkatan yang dilakukan
secara terus menerus, bersifat sistematis, ilmiah dan berdasarkan pada kenyataan
yang ada. DMAIC meliputi langka-langkah yang perlu dilakukan secara berurutan,
yang masing-masing langkah/tahapan amat penting guna mencapai hasil yang
diinginkan. Dan juga DMAIC baisa disebut sebagai metodologi Six Sigma yang
dijadikan sebagai metode penyelesaian masalah atau kunci pemecahan masalah.
Agar dapat lebih memahami proses DMAIC secara umum dapat diuraikan seperti di
bawah ini, yaitu:
Define, menentukan tujuan proyek dan ekspektasi pelanggan.
Measure, mengukur proses untuk dapat menentukan kinerja sekarang atau
sebelum mengalami perbaikan.
Analyze, menganalisa dan menentukan akar permasalahan dari suatu cacat
atau kegagalan.
Improve, memperbaiki proses menghilangkan atau mengurangi jumlah
cacat/kegagalan.
Control, mengawasi kinerja proses yang akan datang setelah mengalami
perbaikan.
15
Pada dasarnya ada tiga strategi dalam penerapan Six Sigma (Pande, 2000,
p.31) :
1. Peningkatan Proses (Process Improvement)
Strategi untuk mencari dan memperbaiki akar penyebab timbulnya
masalah. Sinonim dari strategi tersebut adalah perbaikan secara terus
menerus (Continous Improvement).
2. Disain/Disain Ulang Proses (Process Design/Redesign)
Membuat rancangan baru dari suatu proses yang sesuai dengan kebutuhan
pelanggan dengan validasi data dan percobaan.
3. Proses Manajemen (Management Process)
Perubahan fokus dari pandangan dan pengarahan dari fungsi menjadi
pengertian dan fasilitasi dari proses yang memberikan nilai bagi
pelanggan.
Ketiga strategi Six Sigma tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Strategi Six Sigma
16
2.3.4 Analytical Tools Untuk Six Sigma
Menurut Chase, Aquilano, dan Jacobs (Chase, 2001, p.272), terdapat beberapa
analytical tools untuk Six Sigma:
1. Process Flowchart, merupakan gambar yang menjelaskan langkah-
langkah utama, cabang-cabang, dan hasil terakhir dari suatu proses.
Gambar 2.3 Process Flowchart (Chase, 2001, p.272)
2. Pareto Analysis, merupakan pendekatan yang terkoordinasi untuk
mengidentifikasi, penyusunan dan pekerjaan untuk secara permanen
menghilangkan defect. Berfokus pada sumber-sumber kegagalan yang
penting, 80/20 rule: 80% masalah disebabkan oleh 20% kasus.
17
Gambar 2.4 Pareto Analysis ( Chase, 2001 )
3. Run Chart, merupakan grafik yang bersifat sekuensial terhadap waktu
yang menunjukkan gambaran nilai dari suatu karakteristik.
Gambar 2.5 Run Chart (Chase, 2001)
4. Data Collection, selalu memiliki persetujuan dan alasan yang jelas
mengenai data yang dikumpulkan. Mempersiapkan dari awalnya strategi
untuk mengumpulkan dan menganalisa data. Pertanyaan yang mungkin
diajukan untuk pengumpulan data:
• Mengapa?
18
• Apa?
• Di mana?
• Berapa banyak?
• Kapan?
• Bagaimana?
• Berapa lama?
5. Histogram, merupakan suatu distribusi yang menunjukkan frekuensi
kejadian antara data high range dan low range.
Gambar 2.6 Histogram (Chase, 2001)
6. Scatter Diagram, dikenal juga sebagai diagram korelasi, merupakan grafik
yang menggambarkan nilai dari suatu karakteristik dibandingkan dengan
karakteristik lain.
19
Gambar 2.7 Scatter Diagram (Chase, 2001)
7. Check Sheet, merupakan metode yang terorganisir untuk merekam data,
dapat digunakan untuk mengingat defect atau untuk meyakinkan bahwa
data telah dikumpulkan dengan cara yang benar.
Gambar 2.8 Check Sheet (Chase, 2001)
8. Cause and Effect atau Fishbone Diagram, merupakan alat yang
menggunakan deskripsi grafis dari elemen proses untuk menganalisa
sumber-sumber potensial dari variasi proses.
20
Gambar 2.9 Cause and Effect Diagram (Chase, 2001)
9. Control Charts, merupakan grafik yang bersifat sekuensial terhadap
waktu, yang munjukkan nilai-nilai dari �tatistic termasuk garis pusat dan
satu atau lebih batasan kendali yang diperoleh secara �tatistic.
Gambar 2.10 Control Charts (Chase, 2001)
Six Sigma dapat diterapkan di dalam berbagai proses atau bisnis baik di dalam
proses atau bisnis jasa (services) maupun manufaktur (manufacturing). Hal ini
disebabkan untuk kedua jenis proses atau bisnis tersebut tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling terkait satu sama lain. Keuntungan dari penerapan Six Sigma
berbeda-beda untuk setiap perusahaan mulai dari adanya pengurangan biaya,
perbaikan produktivitas, pertumbuhan pangsa pasar, pengurangan waktu siklus,
21
retensi pelanggan, pengurangan cacat, pengembangan produk sampai dengan
perubahan budaya kerja.
2.3.5 Perbedaan antara Six Sigma dengan TQM
Thomas Pyzdek, seorang konsultan implementasi Six Sigma dan penyusun
buku "The Six Sigma Handbook", pada bulan Februari 2001, menjelaskan adanya
perbedaan penting antara Six Sigma dan TQM yaitu, TQM hanya memberikan
petunjuk secara umum (sesuai dengan istilah manajemen yg digunakan dalam TQM).
Petunjuk untuk TQM begitu umumnya sehingga hanya seorang pemimpin bisnis yang
berbakat yang mampu menterjemahkan TQM dalam operasional sehari-hari. Secara
singkat, TQM hanya memberikan petunjuk filosofis tentang menjaga dan
meningkatkan kualitas, tetapi sukar untuk membuktikan keberhasilan pencapaian
peningkatan kualitas.
Kemudian konsep Total Quality Control, di tahun 1950, menunjukkan bahwa kualitas
produk bisa ditingkatkan dengan cara memperpanjang jangkauan standar kualitas ke
arah hulu, yaitu di area engineering dan purchasing. Akan tetapi ada beberapa
kelemahan yang muncul pada pelaksanaan Total Quality Control yaitu:
1. Terlalu fokus pada kualitas dan tidak memperhatikan isu bisnis yang
kritikal lainnya
22
2. Implementasi Total Quality Control menciptakan pemahaman bahwa
masalah kualitas adalah masalahnya departemen Quality Control, padahal
masalah kualitas biasanya berasal dari ketidakmampuan departemen lain
dalam perusahaan yg sama
3. Penekanan umumnya pada standar minimum kualitas produk, bukan pada
bagaimana meningkatkan kinerja produk
Six Sigma dalam pelaksanaannya menunjukkan hal-hal yang menjadi solusi
permasalahan di atas:
1. Menggunakan isu biaya, cycle time dan isu bisnis lainnya sebagai bagian yang
harus diperbaiki
2. Six Sigma tidak menggunakan ISO 9000 dan Malcolm Baldrige Criteria tetapi
fokus pada penggunaan alat untuk mencapai hasil yang terukur
3. Six Sigma memadukan semua tujuan organisasi dalam satu kesatuan. Kualitas
hanyalah salah satu tujuan, dan tidak berdiri sendiri atau lepas dari tujuan
bisnis lainnya
4. Six Sigma menciptakan change agent yang bukan bekerja di Quality
Department. Green Belt adalah para operator yang bekerja pada proyek Six
Sigma sambil mengerjakan tugasnya.
23
2.4 Continuous Improvement
“It is impossible for organizations to survive without changing or improving.
The organization’s ability to survive in a highly competitive business world depends
on how organization manages and adapts to demands of a changing environment.”
(Nicholas, 1998). Perubahan yang ada pada sebuah ruang lingkup bisnis dapat
muncul dari berbagai macam sumber: pesaing menciptakan produk baru, pesaing
menurunkan harga produk mereka dan pesaing menggunakan teknologi baru untuk
meningkatkan kualitas produk mereka. Keinginan dari pelanggan selalu berubah-
ubah. Maka dari itu, banyak perusahaan harus berkembang baik dari segi produk
maupun jasa untuk memuaskan kebutuhan dari pelanggan.
Continuous Improvement adalah sebuah usaha yang dilakukan terus-menerus
untuk meningkatkan / memperbaiki produk, jasa maupun proses-proses yang ada
pada perusahaan. Dan lebih terarah pada customer service, process improvement,
higher product quality dan long term strategies (Summers, 2003). Pada Tabel 2.2
diperlihatkan perbedaan antara perusahaan yang mengaplikasikan teori Continuous
Improvement dan perusahaan tradisional. Terdapat berbagai macam pendekatan yang
mendukung teori Continuous Improvement.
24
Tabel 2.2 Continuous Improvement versus Traditional Orientation