Page 1
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori.
2.1.1. Bank Syariah
Menurut Muhammad (2002: 13), Bank Islam, atau selanjutnya
disebut Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam. Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan Baitul Mal
Wat Tanwil yang berstatus badan hukum koperasi pada tahun 1980
yang kemudian disusul dengan berdirinya Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) pada tahun 1988 di beberapa daerah di Indonesia.
Hal ini diikuti dengan berdirinya Bank Umum Syariah pertama di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei
1992. Menurut Ali (2007:1) Bank Syariah adalah suatu lembaga
keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang
berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk
kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Bank Syariah dikenal dengan logo iB (islamic Banking).
Islamic Banking dipopulerkan sebagai penanda identitas bersama
industri perbankan syariah di Indonesia yang diresmikan sejak 2
Juli 2007. Penggunaan identitas bersama ini bertujuan agar
Page 2
12
masyarakat dengan mudah dan cepat mengenali tersedianya
pelayanan jasa perbankan syariah di Indonesia.
Logo iB merupakan penanda identitas industri perbankan
syariah di Indonesia, yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai
utama sistem perbankan syariah yang modern, transparan,
berkeadilan, seimbang dan beretika yang selalu mengedepankan
nilai kebersamaan dan kemitraan (Rezki Astuti Soraya, 2012).
Jika disimpulkan dari pengertian tersebut diatas Bank Syariah
merupakan intitusi keuangan perbankan yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam, produk dan mekanisme perusahaan
harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (kepatuhan syariah/
Sharia Compliance).
Tabel 2.1
Karakteristik Perbankan Syariah dan Implikasinya
Karakter
Dasar Implikasi Antara Implikasi Makro
Aktifitas
Keuangan
yang dilarang:
a. Riba;
b. Maysir; dan
c. Gharar.
a. Tidak kurang
penciptaan uang;
b. Tidak ada konsentrasi
uang/buble;
c. Tidak ada financial
detachment
a. Stabilitas
Keuangan
Aktifitas
Keuangan
yang
diperbolehkan:
a. Bagi hasil;
b. Jual-beli;
c. Titipan dan
jasa; dan
d. Sosial
(ZISwaf).
a. Penuh mendukung
sektor riil;
b. Saling percaya dan
pengertian antara bisnis
dan pihak terkait;
c. Mendorong
keterlibatan ekonomi
golongan dhuafa.
a. Penciptaan
lapangan kerja;
b. Pertumbuhan
ekonomi;
c. Pengentasan
Kemiskinan.
Objek
transaksi yang
a. Mengurangi masalah
sosial; dan
a. Stabilitas Sosial;
b. Kelestarian alam
Page 3
13
tidak
diperbolehkan:
a. Khamar;
b. Daging
babi;
c. Pornografi;
dan
d. Pencemaran
Lingkungan.
b. Mengurangi perusakan
alam dan lingkungan.
dan lingkungan.
Sumber: Dr. Iskandar Simorangki, S.E., M.A. “Pengantar Kebanksentralan Teori
dan Praktik di Indonesia” (2014).
2.1.2. Tinjauan Teori.
a. Agency Theory
Corporate governance dapat dipahami melalui Agency
Theory. Agency Theory hadir setelah fenomena
kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan perusahaan.
Agency Theory menjelaskan hubungan antara prinsipal dan
agen. Pengelola perusahaan bertindak sebagai agen dari
pemilik perusahaan itu sendiri. Para pemilik perusahaan
(prinsipal) akan mencari informasi, memberikan insentif
untuk memastikan tanggung jawab para agen terhadap
pemilik perusahaan.
Agency Theory menjawab dengan memberikan
gambaran hal-hal apa saja yang berpeluang akan terjadi
antara agen dengan prinsipal. Dalam hubungan agensi
antara prinsipal dengan agen, agency theory merujuk pada
tiga unsur yang dapat mengekang perilaku menyimpang
dari agen, yakni bekerjanya pasar tenaga kerja manajerial,
Page 4
14
bekerjanya pasar modal, dan bekerjanya pasar bagi
keinginan menguasai dan memiliki atau mendominasi
kepemilikan perusahaan (Sutedi, 2011).
b. Shareholder Value Theory
Menurut teori ini, tanggung jawab yang paling
mendasar dari direksi adalah bertindak untuk kepentingan
meningkatkan nilai (value) dari pemegang saham. Jika
perusahaan memperhatikan kepentingan pemasok,
pelanggan, karyawan, dan lingkungannya, maka value yang
didapatkan oleh pemegang saham semakin sedikit, sehingga
berjalannya pengurusan oleh direksi harus
mempertimbangkan kepentingan pemegang sahamnya
untuk memastikan kesehatan perusahaan dalam jangka
panjang, termasuk peningkatan value pemegang saham
(Smerdon dalam Sutedi, 2011:31).
Sutedi (2011) kemudian menyatakan bahwa Mercury
Asset Management, sebuah perusahaan manajemen
investasi berpendapat tentang teori shareholder value
dimana terdapat lima prinsip yang menjadi kebijakan dalam
menjaga kepentingan shareholder value, yaitu:
1. Dengan memperoleh modal dari pemegang saham,
perusahaan telah menyatakan komitmennya untuk
Page 5
15
memperoleh laba sebagai pengembalian investasi atas
modal direksi.
2. Perusahaan dan direksi di dalamnya harus berada dalam
struktur terbaik yang memungkinkan adanya check and
balances, untuk memastikan bahwa perusahaan dan
direksi telah dijalankan sesuai dengan kepentingan
jangka panjang pemegang saham serta dengan
integritas.
3. Hak memberikan suara (voting rights) adalah hal yang
utama dalam hak kepemilikan saham.
4. Saham-saham yang dipegang oleh pihak lain
berdasarkan kepercayaan harus diambil suara (voting)
dengan kepentingan pemilik aslinya tanpa keraguan.
5. Meskipun pengambilan suara dilakukan atas beberapa
hal dalam Rapat Tahunan maupun Rapat Luar Biasa,
namun ada tiga hal mendasar dalam melindungi
kepentingan pemegang saham, yaitu pemilihan direksi,
penambahan jumlah ekuiti, dan penunjukan auditor.
Shareholder Activism (SA) sebuah upaya
menyeimbangkan hubungan kekuasaan antara korporasi dan
stakeholder melalui mekanisme pasar modal. SA digunakan
sebagai salah satu cara yang efektif mempengaruhi perilaku
perusahaan terbuka.
Page 6
16
c. Stakeholder Theory
Teori stakeholder muncul sebagai akibat dari kegagalan
teori shareholder value untuk memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan dari pelanggan, pemasok dan tenaga kerja
(Smerdon dalam Sutedi, 2011:39).
Menurut Kay dalam Sutedi (2011:40) untuk
melindungi kepentingan dari stakeholder, model-model
alternatif harus memiliki elemen penting, antara lain:
1. Perbedaan dan pemisahan harus secara tegas dibuat
antara perusahaan, publik, institusi sosial dan
pemilik yang mengontrol perusahaan terbatas.
2. Sebuah kerangka kerja governance yang baru harus
segera diterapkan pada perusahaan publik.
3. Peranan dan fungsi CEO harus ditetapkan dan
proses pemilihan harus melalui konsultasi dengan
karyawan, investor, pemasok, dan lembaga
regulator lain yang serelevan.
4. Penunjukan CEO untuk proses diatas hanya untuk
jangka waktu yang tetap 4 tahun.
5. Kewenangan penunjukan Direktur seharusnya
diserahkan kepada Direktur Independen.
Page 7
17
2.1.3. Good Corporate Governance.
Dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-177/M-
MBU/2002 dalam surat keputusan Menteri BUMN disebutkan
bahwa “ BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau
menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya”. Penerapan
prinsip GCG dalam pengelolaan bisnis perusahaan akan memenuhi
karakteristik BUMN baik sebagai Badan Usaha maupun sebagai
Milik Negara, karena penerapan GCG dapat meningkatkan nilai
perusahaan (Sudharmo, 2004). Dalam hal ini Perbankan Syariah
yang merupakan Badan Usaha melakukan penerapan prinsip GCG
karena penerapan GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan,
khususnya untuk meningkatkan kepercayaan stakeholders dan
masyarakat tidak terkecuali para pemangku kepentingan lainnya.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
mendefinisikan Corporate Governance sebagai berikut:
“ Seperangkat peraturan yang mendefinisikan hubungan antara
pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan dan
stakeholder internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak
dan tanggung jawab, atau sistem dimana perusahaan diarahkan dan
dikendalikan (Diambil dari Cadbury Komite Inggris) Tujuan dari
Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah
kepada para pemangku kepentingan.”
Page 8
18
Berdasarkan SK Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002,
Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang
digunakan oleh organ BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntanbilitas perusahaan
guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder)
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Organization for Economic Corporation and Development
(OECD) mendefinisikan Corporate Governance, sebagai berikut:
“ Good Corporate Governance adalah sistem yang dipergunakan
untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan perusahaan
Corporate Governance mengatur pembagian tugas hak dan
kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan
perusahaan termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para
manajer, dan semua anggota stakeholder non pemegang saham.”
Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG,
adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparancy), akuntanbilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), profesional (profesional) dan
kewajaran (fairness) (Peraturan Bank Indonesia/PBI No.
11/33/2009).
Dari definisi diatas menjelaskan bahwa Good Corporate
Governance merupakan sistem tata kelola perusahaan yang
Page 9
19
mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai
tambah bagi para pemangku kepentingan perusahaan dan
menciptakan tingkat kepercayaan masyarakat.
2.1.4. Good Corporate Governance Pada Perbankan Syariah.
Dalam Operasi Perbankan Syariah juga mempunyai kebutuhan
untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG sama seperti Bank
Konvensional pada umumnya, situasi eksternal dan internal
perbankan syariah yang semakin kompleks juga disertai dengan
semakin beragamnya tingkat resiko kegiatan Perbankan Syariah.
Setelah berlaku UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
ketentuan mengenai tata kelola perusahaan yang baik yang identik
dengan GCG juga dicantumkan secara singkat. Dalam Undang-
undang No. 21 tahun 2008 pasal 34, dinyatakan bahwa Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menerapkan tata kelola yang
baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntanbilitas,
pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Pengaturan ini kemudian
dilengkapi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No.
11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan GCG bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah pada tanggal 29 Januari 2009.
Dalam PBI No. 11/33/PBI/2009 pasal 1 ayat 10, disebutkan
bahwa GCG adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan
Page 10
20
prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntanbilitas
(accountability), pertanggungjawaban (responsibility), profesional
(profesional) dan kewajaran (fairness). Namun dalam
pertimbangannya, PBI menyatakan bahwa pelaksanaan GCG pada
perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah (sharia
compliance). Hal ini yang membedakan penerapan GCG pada
Perbankan Konvensional dengan Perbankan Syariah.
Selain itu prinsip dasar pelaksanaan GCG ini juga dijelaskan
dalam pedoman Good Governance Bisnis Syariah (GGBS), sebagai
berikut: (Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah
(GGBS) dikeluarkan oleh KNKG, 2011):
1. Keterbukaan
Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam Qs. Al
Baqarah: 282: “ ..............dan transparankanlah
(persaksikanlah) jika kalian saling bertransaksi........”
Qs. Al Baqarah: 283: “...........Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa).
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang
material dan relevan serta keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan.
Page 11
21
Tranparansi mengandung unsur pengungkapan
(disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan
mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Tranparansi
dibutuhkan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis
secara objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya
masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundangan,
tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan yang
sesuai dengan ketentuan syariah. Oleh karena itu;
1) Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi
tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua
pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi
tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan
strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan
pengurus, kepemilikan, sistem manajemen risiko,
sistem pengawasan dan pengendalian internal,
sistem dan pelaksanaan GGBS (Good Governance
Bisnis Syariah) serta tingkat kepatuhannya, dan
kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
entitas bisnis syariah.
Page 12
22
3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis
syariah tidak mengurangi kewajiban untuk
memenuhi ketentuan kerahasiaan organisasi sesuai
dengan peraturan perundangan, rahasia jabatan, dan
hak-hak pribadi.
4) Kebijakan organisasi harus tertulis dan secara
proporsional dikomunikasikan kepada semua
pemangku kepentingan.
2. Akuntanbilitas
Akuntanbilitas merupakan asas penting dalam bisnis
syariah sebagaimana tercermin dalam Qs. Al Isra:84 : “
katakanlah (Muhammad), “setiap orang berbuat sesuai
dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu
lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
Dalam Qs. Al Isra: 36 : “ Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.”
Qs. Al Anfal: 27: “ Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Page 13
23
Penjelasan atas PBI No. 11/33/PBI/2009 Tentang
Pelaksanaan GCG Bagi BUS (Bank Umum Syariah) dan
UUS (Unit Usaha Syariah) pada bagian umum,
akuntanbilitas adalah kejelasan fungsi keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta
keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam menerapkan prinsip akuntanbilitas, Bank Syariah
sebagai lembaga dan pejabat yang memiliki kewenangan
harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan akuntanbel. Untuk itu, bank syariah harus
dikelola secara sehat, terukur, dan profesional dengan
memperhatikan kepentingan pemegang saham, nasabah, dan
pemangku kepentingan lain (KNKG (Komite Nasional
Kebijakan Governance), 2012).
Akuntanbilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Oleh
karena itu;
Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas
dan tanggung jawab masing-masing organ dan semua
karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-
nilai, dan strategi bisnis syariah.
Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua
elemen organisasi dan semua karyawan mempunyai
Page 14
24
kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GGBS (Good Governance
Bisnis Syariah).
1) Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya
sistem pengendalian yang efektif dalam pengelolaan
organisasi.
2) Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja
untuk semua jajaran organisasi yang konsisten
dengan sasaran bisnis yang digeluti, serta memiliki
sistem penghargaan dan sanksi (reward and
punishment system).
3) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab,
setiap elemen organisasi dan semua karyawan harus
berpegang pada etika bisnis syariah dan pedoman
perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
4) Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua
prosedur dan mekanisme kerja dapat menjamin
kehalalan, tayib, ikhsan dan tawazun atas
keseluruhan proses dan hasil produksi.
3. Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas
(responsibility), pelaku bisnis syariah harus mematuhi
peraturan perundangan dan ketentuan bisnis syariah, serta
Page 15
25
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Tanggung jawab atas perbuatan manusia
dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya
dicatat dalam catatan yang akan dicermatinya nanti.
Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Isra: 14: “ Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai
penghitung atas dirimu.”
Dengan pertanggungjawaban ini maka entitas bisnis
syariah dapat terpelihara kesinambungannya dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai pelaku bisnis
yang baik (good corporate citizen). Oleh karena itu;
1) Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip
kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan bisnis syariah dan perundangan, anggaran
dasar serta peraturan internal pelaku bisnis syariah
(by-laws).
2) Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi
perjanjian yang dibuat termasuk tetapi tidak terbatas
pada pemenuhan hak dan kewajiban yang disepakati
oleh para pihak.
3) Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung
jawab sosial antara lain dengan peduli terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di
Page 16
26
sekitar tempat berbisnis, dengan membuat
perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dapat
dilakukan dengan cara membayar zakat, infak dan
sadaqah.
4. Profesional
Profesional adalah memiliki kompetensi, mampu bertindak
objektif, dan bebas pengaruh/tekanan dari pihak manapun
(independen) serta memiliki komitmen tinggi untuk
mengembangkan bank syariah. Seperti firman Allah dalam
Al-Qur’an yang berbunyi : “Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
(QS : As-Syura : 38)
Profesional mengandung unsur kemandirian dari
dominasi pihak lain dan berlaku objektif dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam hubungan
dengan penerapan prinsip profesional, bank syariah harus
dikelola secara independen agar masing‐masing organ
perusahaan beserta seluruh jajaran dibawahnya tidak boleh
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak
Page 17
27
manapun yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan
profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya.
Oleh karena itu;
1) Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan
harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak
manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of
interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan,
sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan
secara obyektif.
2) Masing-masing organ Perusahaan harus
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundangan dan ketentuan syariah, tidak
saling mendominasi dan atau melempar tanggung
jawab antara satu dengan yang lain.
3) Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan uraian tugas dan
tanggung jawabnya.
5. Kewajiban dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur
kesamaan perlakuan dan kesempatan. Allah berfirman
dalam Qs. Al Maidah 8: “ Wahai orang-orang yang
Page 18
28
beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena
Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencian mu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.”
Setiap keputusan bisnis hendaknya dilakukan sesuai
kewajaran dan kesetaraan sesuai apa yang biasa berlaku,
tidak diputuskan berdasarkan dengan suka atau tidak suka,
apalagi jika diputuskan karena kepentingan pribadi. Semua
keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang
dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik di
dunia maupun di akhirat. Dalam usul fikih terdapat sebuah
kaidah yang diturunkan dari sabda Rasullulah SAW, al-
kharaj bidh-dhaman yang artinya bahwa usaha adalah
sebanding dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat
pula dimengerti sebagai risiko yang berbanding lurus
dengan pulangan (return). Dalam melaksanakan
kegiatannya harus senantiasa memperhatikan kepentingan
semua, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Maka
karena itu;
Page 19
29
1) Pelaku bisinis syariah harus memberikan
kesempatan pada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat
bagi kepentingan organisasi serta membuka akses
terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-
masing.
2) Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan
yang setara dan wajar kepada pemangku
kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi
yang diberikan.
3) Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan
yang sama dalam penerimaan pegawai, berkarir, dan
melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin (gender) dan kondisi fisik.
4) Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawazun yaitu
adil dalam pelayanan kepada para nasabah atau
pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka,
serta memenuhi semua kesepakatan dengan para
pihak terkait dengan harga, kualitas, spesifikasi atau
ketentuan lain yang terkait dengan produk yang
dihasilkan.
Page 20
30
Good Corporate Governance pada Perbankan Syariah
sebenarnya sama saja dengan struktur dan penerapan Good
Corporate Governance Bank Konvensional, hanya saja dalam
Perbankan Syariah penerapan tata kelola perusahaan (good
corporate governance) sesuai dengan prinsip Islam. Dengan
adanya penerapan prinsip ini secara baik diharapkan dapat menjadi
nilai tambah bagi Perbankan Syariah dalam mengembangkan usaha
di masa mendatang dan juga dapat menambah kepercayaan
masyarakat untuk memilih Perbankan Syariah dalam bertransaksi.
2.1.5. Perbedaan Good Corporate Governance dan Good Governance
Bisnis Syariah (GGBS).
Tabel 2.2
Perbandingan Pedoman GCG dengan GGBS
Aspek/Kriteria Pendekatan GCG Pendekatan GGBS
Penciptaan
Pra kondisi/
Penciptaan
Situasi
kondusif
Terciptanya pasar
yang efisien,
tranpsparan, dan
konsisten dengan
Undang-undang yang
di dukung Tiga Pilar:
Negara, Dunia Usaha,
dan Masyarakat
Terwujudnya bisnis
yang berkembang
dengan tetap
berlandaskan pada
kaidah-kaidah syariah
yang tidak hanya
ditujukan untuk
keberhasilan materi,
akan tetapi juga
keberhasilan
spriritual:
Prakondisi Spiritual
untuk menegakkan
takwa dalam kegiatan
bisnis melalui
komitmen takwa,
kesungguhan dan
konsistensi;
Prakondisi
operasional melalui
Empat Pilar: Negara,
Page 21
31
Ulama, Dunia Usaha,
dan Masyarakat.
Asas
Transparency,
Accountanbility,
Responsibility,
Independency, dan
Fairness (disingkat
TARIF)
Dua pijakan dasar
yaitu Spiritual dan
Operasional;
Secara spiritual ber-
asaskan pada Iman
dan Takwa yang
diwujudkan dalam
bentuk komitmen
pada dua aspek yakni
Halal dan Tayib;
Secara operasional
sama dengan GCG
yaitu Tranparency,
Accountanbility,
Responsibility,
Independency, dan
Fairness yang
dilengkapi dengan
landasan-landasan
dalam Al-Qur’an dan
Hadist yang berkaitan
dengan masing-
masing asas tersebut.
Etika dan
Pedoman
Perilaku
Setiap perusahaan
harus memiliki
rumusan nilai-nilai
perusahaan
(terpercaya, adil, dan
jujur) yang
menggambarkan sikap
moral, etika bisnis
yang disepakati oleh
organ perusahaan dan
karyawan serta
pedoman perilaku
bagi organ perusahaan
dan semua karyawan.
Etika bisnis syariah
merupakan acuan
moral sebagai bagian
dari wujud akhlak al-
karimah sehingga
disasarkan itikad baik
dan saling ridho;
Bisnis syariah harus
memenuhi empat
nilai dasar, yaitu
jujur, adil, amanah,
dan ihsan;
Masing-masing
pelaku bisnis dapat
merumuskan nilai-
nilai bisnis, etika
bisnis, dan pedoman
perilaku yang terdiri
nilai-nilai bisnis
secara umum, etika
bisnis syariah, dan
Page 22
32
pedoman perilaku
bisnis syariah. Sumber: Binhadi, “Pokok-pokok Pedoman GGBS dan URGENSI Kehadiran
Pedoman GGBS” Presentasi Pada Seminar Peluncuran Pedoman Umum Good
Corporate Governance Bisnis Syariah, 3 November 2011.
2.1.6. Sharia Compliance (Kepatuhan pada Syariah).
Bank syariah harus menerapkan prinsip syariah dalam seluruh
aktivitas kegiatan usahanya. Keharusan ini dilatar belakangi karena
adanya keinginan umat Islam akan adanya sebuah Bank yang
dijalankan dengan prinsip syariah. Dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 11/33/PBI/2009 menimbang bahwa dalam rangka
membangun industri perbankan syariah yang sehat dan tangguh,
diperlukan pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang efektif, bahwa
pelaksanaan Good Corporate Governance di dalam industri
Perbankan Syariah harus memenuhi prinsip syariah (sharia
compliance).
Dengan demikian, sharia compliance adalah bentuk ketaatan
Bank Syariah dalam memenuhi prinsip-prinsip syariah dalam
operasionalnya (Siti Maria Wardayati, 2011). Bank syariah
merupakan Instansi Keuangan Islam yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam, tata cara bermuamalat secara Islam.
Diterapkan dalam akad-akad yang digunakan dalam produk-produk
Bank Syariah yang akan dikeluarkan maupun bagaimana bank
syariah tersebut beroperasi.
Page 23
33
Penerapan shariah compliance di Bank Syariah:
1) Tidak ada riba dalam transaksi bank; Riba secara bahasa
artinya adalah tambahan. Adapun pengertian tambah dalam
konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah
tambahan itu berjumlah sedikit atau banyak. Riba sering
diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai usury
yang artinya the act of lending money at an exorbitant or
illegal rate of interest, sementara para ulama fiqh
mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu
muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya (Muhammad,
2002). Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan
terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang
piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang
pada saat utang jatuh tempo. Dalam Al-Qur’an Surat Al
Baqarah ayat 278-279 melarang tegas terhadap kegiatan
riba: “ wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu beriman.” - “ jika kamu tidak
melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah
dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu
berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim
(merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).
Page 24
34
2) Tidak ada gharar dalam transaksi bank; Arti gharar secara
bahasa adalah tidak jelas. Gharar atau disebut juga taghrir
adalah situasi dimana terjadi incomplete information karena
adanya uncertainly to both parties (ketidakpastian dari
kedua belah pihak yang bertransaksi). Artinya pihak A
maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian
mengenai suatu yang ditransaksikan (uncertain to both
parties) (Adiwarman, 2007). Gharar terjadi apabila sesuatu
yang sifatnya pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).
3) Tidak ada maisir dalam transaksi bank; Maisir dalam
bahasa arab adalah qimar yang berarti judi. Maisir adalah
suatu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan
yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Secara
sederhana, maisir atau perjudian adalah suatu permainan
yang menjadikan salah satu pihak menanggung beban pihak
lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau
pertandingan harus menghindari terjadinya zero sum game,
yaitu keadaan yang menjadikan salah satu pihak harus
menanggung beban pihak lain (Adiwarman, 2007).
4) Bank menjalankan bisnis berbasis pada keuntungan yang
halal; Halal secara bahasa artinya adalah diperbolehkan
oleh syara’ atau kebalikan dari haram. Sebagai lembaga
keuangan yang melekat kepadanya nama syariah sudah
Page 25
35
semestinya dalam operasionalnya mengikuti ketentuan-
ketentuan syariah atau prinsip-prinsip syariah. Prinsip
tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
(UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah).
5) Bank menjalankan amanah yang dipercayakan oleh
nasabah; Amanah adalah sesuatu yang harus dijaga karena
adanya transaksi perjanjian ataupun tidak adanya transaksi
perjanjian. Amanah karena adanya transaksi perjanjian,
contohnya akad wadiah dan ijarah. Amanah yang tidak ada
transaksi perjanjian, contohnya barang temuan yang
disimpan oleh orang yang menemukannya (Muhammad
Rawas, dkk, 1988 dalam akhmad faozan, 2015).
Bank syariah dianggap amanah apabila menjelaskan
harga perolehan barang dan keuntungan yang keinginan
dalam pembiayaan murabahah, meminta bagi hasil kepada
nasabah sesuai pendapatan aktual dalam pembiayaan
mudharabah dan musyarakah dan melaporkan laporan
keuangannya kepada nasabah penyimpan.
6) Bank mengelola zakat, infaq, dan shadaqah sesuai
ketentuan syar’i; Zakat adalah sebagian harta yang wajib
dikeluarkan oleh wajib pajak (muzakki) untuk diserahkan
Page 26
36
kepada penerima zakat (mustahiq) (Rizal, dkk, 2014).
Sedangkan, infaq adalah pemberian harta kepada orang lain
karena membutuhkan bantuan ataupun tidak
membutuhkannya (Muhammad, 1988 dalam Akhmad
Faozan, 2015). Adapun shadaqah adalah suatu pemberian
dengan mengharapkan balasan atau pahala dari Allah
(Muhammad, 1988 dalam Akhmad Faozan, 2015). Infaq
dan sadaqah yang dimaksud dalam dana kebajikan adalah
semua jenis infaq dan sadaqah baik yang peruntukkannya
ditentukan secara khusus oleh pemberi infaq dan sadaqah
maupun yang tidak ( Rizal, dkk, 2014).
2.1.7 Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Peran merupakan suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya di
masyarakat. Posisi ini merupakan identifikasi dari status atau
tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan
perwujudan aktualisasi diri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan
dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat
(KBBI, 2007).
Salah satu otoritas dalam sistem keuangan syariah yang tidak
terdapat pada bank konvensional adalah Dewan Pengawas Syariah
Page 27
37
atau lembaga fatwa ditingkat nasional yang merupakan otoritas
independen pembuat fatwa yang berkaitan dengan masalah ke-
syariah-an kegiatan dan operasi lembaga-lembaga keuangan
syariah untuk menjamin kesesuaian syariahnya (Simorangki, 2014).
Dalam hal ini Otoritas Syariah tertinggi di Indonesia adalah Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang
mengeluarkan fatwa berhubungan dengan semua masalah syariah
Agama Islam, baik masalah Ibadah maupun Muamalat.
Salah satu pilar penting dalam pengembangan Bank Syariah
adalah sharia compliance. pilar inilah yang menjadi pembeda
utama antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Untuk
menjamin terlaksananya prinsip-prinsip syariah di lembaga
Perbankan, diperlukan pengawasan syariah yang diperankan oleh
Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Ade Sofyan Mulazid, 2016).
Dewan Pengawas Syariah, yaitu lembaga independen atau juris
khusus dalam bidang fiqih muamalah. Namun DPS juga bisa
beranggotakan di luar fiqih tetapi harus memiliki keahlian dalam
bidang lembaga keuangan Islam dan fiqih muamalah (Faozan,
2013). Dewan Pengawas Syariah bertugas melakukan pengarahan
(directing), pemberian konsultasi (consulting), melakukan evaluasi
(evaluating), dan pengawasan (supervising) kegiatan Bank Syariah
dalam rangka memastikan bahwa kegiatan usaha Bank Syariah
Page 28
38
tersebut mematuhi (compliance) terhadap prinsip-prinsip syariah
sebagaimana telah ditentukan oleh fatwa dan syariah Islam.
Peranan DPS pada dasarnya meliputi lima bidang utama, yaitu:
memberikan izin kepada instrumen keuangan yang akan digunakan
melalui fatwa (audit syariah ex-ante), memastikan bahwa transaksi
yang dilakukan sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan (audit
syariah ex-post), menghitung dan membayarkan zakat,
menghilangkan pendapatan yang tidak memenuhi ketentuan
syariah, dan memberi saran dan nasihat mengenai pembagian
penghasilan dan pengeluaran antara para pemegang saham dengan
nasabah investor (Mal An Abdullah, 2010). DPS menerbitkan
laporan yang memberi pengesahan bahwa semua transaksi
keuangan yang dilakukan bank syariah yang bersangkutan telah
memenuhi prinsip-prinsip syariah. Dalam praktik laporan itu
seringkali disatukan menjadi bagian integral dari laporan tahunan
lembaga keuangan syariah.
Keberhasilan DPS (Dewan Pengawas Syariah) melaksanakan
fungsinya sangat mempengaruhi keyakinan stakeholder bahwa
Bank dan Lembaga Keuangan Syariah beroperasi sesuai prinsip-
prinsip kepatuhan syariah. Untuk mendukung keberhasilan
tugasnya ada lima syarat bagi DPS yang berkembang menjadi isu
akademis: 1. Isu kemandirian (independency): mampukan DPS
bersikap sungguh-sungguh independen. 2. Isu kerahasiaan
Page 29
39
(confiden-tiality). Keanggotaan berganda yang memungkinkan
DPS terlibat dalam benturan kepentingan antara lembaga keuangan
syariah yang sering bersaing. 3. Isu kompetensi. Untuk
melaksanakan tanggung jawab dengan baik, anggota DPS perlu
kecakapan bukan hanya di bidang hukum Islam (fikih muamalat)
tetapi juga memahami praktik akuntansi dan perdagangan masa
kini. 4. Isu konsistensi. Adakah konsistensi pertimbangan fatwa
lintas Bank, dan yang intra Bank lintas waktu dan wilayah
yurisdiksi. 5. Isu pengungkapan. Apakah semua informasi yang
menyangkut fatwa dan nasihat syariah yang disampaikan DPS
terjamin keterungkapannya untuk diketahui oleh masyarakat umum
(Mal An Abdullah, 2010).
Dalam pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah diatur
dalam pasal 46 Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009.
Berikut tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah:
1) Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
2) Tugas dan tanggung jawab DPS (Dewan Pengawas Syariah)
adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
3) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS meliputi
menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
Page 30
40
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank,
mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar
sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI), meminta fatwa kepada DSN-
MUI untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya,
melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank, dan meminta
data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan
kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
4) Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan
Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara
semesteran yang disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester
dimaksud berakhir.
2.1.8. Panduan Prinsip GCG (Good Corporate Governance) oleh IFSB
(Islamic Financial Service Board).
Islamic Financial Service Board (IFSB) adalah lembaga
Internasional yang bertujuan merumuskan infrastruktur Keuangan
Islam dan standar instrumen Keuangan Islam. Lembaga ini
didirikan di Kuala Lumpur pada 3 November 2002. IFSB secara
resmi didirikan pada 3 November 2002 dan mulai beroperasi pada
Page 31
41
23 Maret 2003. IFSB merupakan lembaga Internasional berkantor
pusat di Kuala Lumpur, Malaysia, yang memfokuskan kegiatannya
sebagai lembaga standar setting Internasional di bidang pengaturan
dan pengawasan keuangan syariah terutama melakukan
penyusunan standar kehati-hatian dan transparansi bagi lembaga
keuangan syariah Internasional yang mencakup perbankan, pasar
modal, dan asuransi syariah.
A. Pendekatan umum tata kelola IFSB (Islamic Financial
Service Board).
Sistem tata kelola perusahaan merupakan sistem yang
dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan perusahaan, mengatur pembagian tugas hak dan
kewajiban para pemangku kepentingan. Untuk menciptakan
nilai tambah bagi para pemangku kepentingan perusahaan
dan menciptakan tingkat kepercayaan masyarakat. IFSB
(Islamic Financial Services Board) yang merupakan
Lembaga Internasional yang bertujuan merumuskan
infrastruktur Keuangan Islam dan standar instrumen
Keuangan Islam memfokuskan kegiatan sebagai Lembaga
Standar Internasional di bidang pengaturan dan pengawasan
keuangan syariah terutama melakukan penyusunan standar
kehati-hatian dan tranparansi bagi lembaga keuangan
Page 32
42
syariah yang mencakup Perbankan, Pasar Modal, dan
Asuransi Syariah.
Panduan prinsip IFSB ini dapat dijadikan patokan atau
pedoman untuk Perbankan Syariah di Indonesia dalam
menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan efektif.
Berikut ini merupakan kerangka kebijakan tata kelola
yang komprehensif yang menetapkan peran strategis dan
fungsi masing-masing organ tata kelola perusahaan dan
mekanisme untuk menyeimbangkan akuntanbilitas kepada
pemangku kepentingan: (www.ifsb.org)
Dalam kerangka kebijakan tata kelola, maka IIFS harus
menetapkan:
1. Peran strategis dan fungsi masing-masing organ
perusahaan, termasuk Dewan Direksi, 5 (lima) Komite,
Manajemen Eksekutif, DPS, Auditor Internal dan
Eksternal;
2. Mekanisme penyeimbang akuntanbilitas masing-masing
organ perusahaan kepada berbagai pemangku kepentingan.
IIFS harus mengikuti standar tata kelola yang diakui
Internasional sebagai rujukan pertama yaitu OECD
(Organization for Economic Co-operation and
Development) dan BCBS (Basel Committe on Banking
Supervision). Dan mematuhi edaran/ arahan kepatuhan yang
Page 33
43
dikeluarkan otoritas pengawas, selanjutnya mengikuti
prinsip-prinsip panduan mematuhi peraturan dan prinsip
Syariah Islam. Dalam hal ini sama seperti pemberlakuan
corporate governance di Indonesia yang mengacu pada
OECD dan GGBS (Good Governance Bisnis Syariah) yang
mengacu pada prinsip-prinsip kepatuhan syariah (shariah
compliance).
Setiap IIFS dapat menyesuaikan kerangka kebijakan tata
kelola perusahaan agar sesuai dengan model bisnisnya dan
tidak mengabaikan praktik terbaik yang diakui Internasional
(OECD) maupun di daerah/ Negara sendiri (GGBS).
Direksi harus membentuk komite tata kelola perusahaan
untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
pelaksanaan kerangka kebijakan tata kelola perusahaan.
Komite tata kelola perusahaan terdiri dari:
1) Anggota Komite Audit;
2) Sarjana Syariah/ Dewan Pengawas Syariah (DPS);
dan
3) Direktur non-eksekutif (dipilih berdasarkan
pengalaman dan kemampuan untuk berkontribusi
dalam proses)
Komite tata kelola perusahaan diberi wewenang untuk:
Page 34
44
1) Mengawasi dan memantau pelaksanaan kerangka
kebijakan tata kelola dengan bekerjasama dengan
manajemen, Komite Audit dan Dewan Pengawas
Syariah;
2) Memberikan laporan dan rekomendasi kepada
Direksi berdasarkan temuannya dalam menjalankan
tugas.
Peran dan fungsi Komite Audit Tata Kelola Perusahaan
(GCG) tidak boleh menduplikat atau tumpang tindih.
Mempertimbangkan bahwa Komite Audit memiliki mandat
yang sangat menuntut dan dibebani oleh tanggung jawab
utamanya, menghindari terlibat dengan konflik intern,
Komite Audit Tata Kelola Perusahaan harus fokus pada
perusahaannya. Seorang Komite Tata Kelola Perusahaan
harus memiliki keterampilan yang relevan dan mempunyai
pengalaman di bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
B. Hak Investment Account Holder.
IIFS (Institutions offering only Islamic Financial
Services) harus mengakui hak IAH (Investment Account
Holder) untuk memantau kinerja investasi dan risiko yang
terkait, dan menerapkan sarana yang memadai untuk
memastikan bahwa hak-hak ini diamati dan dilaksanakan.
Page 35
45
Dalam mengembangkan strategi investasi mereka atas
nama IAH, IIFS harus mempertimbangkan dengan seksama
harapan kembali (return investment) dengan memiliki
mekanisme know-your-customer
Hak IAH memantau kinerja investasi mereka
seharusnya tidak disalah artikan sebagai hak campur tangan
dalam pengelolaan investasi oleh IIFS. IIFS selalu
menyadari tanggung jawab mereka kepada IAH dalam
memastikan bahwa akun investasi dikelola sesuai dengan
parameter dari mandat yang diberikan (prinsip
mudharabah).
Oleh karena tanggung jawab yang besar, pihak IIFS
memiliki pedoman internal yang mengatur dan menetapkan;
1) Kelayakan karyawan IIFS yang bertanggung jawab
mengelola akun investasi yang dioperasikan oleh
IIFS;
2) Perlindungan yang memadai atas investasi IAH,
termasuk kasus dimana dana IAH yang tidak
dibatasi digabungkan dengan dana para pemegang
saham;
3) Pengungkapan informasi yang relevan dan material
ke IAH; dan
Page 36
46
4) Dasar yang tepat dan terbuka untuk alokasi laba dan
kebijakan investasi berdasarkan ekspektasi risiko
IAH.
C. Kepatuhan terhadap Prinsip dan Aturan Syariah.
IIFS harus memiliki mekanisme yang tepat untuk
mendapatkan keputusan dari para ilmuwan Sharīah,
menerapkan fatwa dan memantau kepatuhan Syariah dalam
semua aspek produk, operasi dan aktivitas mereka. IIFS
harus mematuhi peraturan prinsip syariah (fatwa) seperti
yang dinyatakan oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) dan
mempublikasikan keputusan/pendapat yang dikeluarkan
DPS secara terperinci. Demikian pula IIFS dipersiapkan
untuk memberikan klarifikasi transparan kepada publik jika
mereka memutuskan untuk meninggalkan fatwa yang
dikeluarkan oleh para ilmuwan syariah (DPS).
Kepatuhan terhadap prinsip dan aturan syariah menurut
sumber (www.ifsb.org) jika disimpulkan adalah kepatuhan
terhadap prinsip dan aturan yang dikeluarkan oleh Ilmuwan
Syariah (Dewan Syariah) yang mengeluarkan fatwa dan
mempublikasikannya. Berbeda dengan Dewan Pengawas
Syariah yang ditugaskan oleh Dewan Syariah untuk
mengawasi turun langsung ke lapangan meninjau
operasional perbankan syariah maupun produk perbankan
Page 37
47
syariah yang akan dikeluarkan sudah sesuai dengan fatwa
(prinsip kepatuhan syariah).
D. Tranparansi Laporan Keuangan.
IIFS (Institutions offering only Islamic Financial
Services) harus menyampaikan pengungkapan IAH
(Investment Account Holders) secara tepat dan tepat waktu
kepada publik mengenai informasi material dan relevan
mengenai akun investasi yang mereka kelola.
Pengungkapan informasi material yang memadai dan
tepat waktu sangat penting dalam mengembangkan
transparansi, akuntanbilitas, dan budaya manajemen resiko
yang lebih baik, untuk menghindari overload informasi.
Tujuannya bukan mengungkapkan sebanyak mungkin
informasi, namun memberikan informasi yang handal yang
sangat penting untuk mudah dipahami dan mengevaluasi
dengan benar bagaimana rekening investasi dikelola.
Informasi harus transparan (transparancy), dapat
dimengerti, mudah dibaca dapat diandalkan sehingga
mudah diakses bukan hanya untuk IAH tetapi untuk publik.
Pengungkapan informasi yang baik dapat dilihat dari:
1) Standarisasi istilah dan bahasa;
2) Ukuran atau cara untuk menjelaskan, biaya, risiko,
perhitungan keuntungan, alokasi aset, strategi
Page 38
48
investasi dan mekanisme smoothing return (jika
ada); dan
3) Akses mudah terhadap informasi (misalnya: internet
yang direkomendasikan).
IIFS menerbitkan Laporan Tahunan (Annual Report)
berupa pengungkapan tentang kebijakan yang dikeluarkan
dan juga pengungkapan lainnya seperti yang
direkomendasikan oleh BCBS (Basel Committe on Banking
Services) yaitu:
1. Informasi tentang Direksi perusahaan, misal;
peraturan, keanggotaan, proses seleksi, kualifikasi,
jabatan direktur lainnya, kriteria independensi,
kepentingan material dalam transaksi atau hal yang
mempengaruhi IIFS, dan keanggotaan komite
(termasuk persyaratan referensi dan tanggung jawab,
dengan referensi khusus komite governance atau
yang setara dan fungsi kepatuhan syariah) dan
tanggung jawab, garis pelaporan, kualifikasi dan
pengalaman;
2. Struktur kepemilikan dasar (kepemilikan saham dan
hak suara, partisipasi pemegang saham utama di
dewan atau di posisi manajemen senior, rapat
pemegang saham;
Page 39
49
3. Struktur organisasi (bagan organisasi umum, lini
bisnis, anak perusahaan dan afiliasinya, komite
manajemen;
4. Informasi tentang struktur insentif IIFS (kebijakan
remunerasi, kompensasi eksekutif, bonus, opsi
saham);
5. Kebijakan perilaku bisnis/ etika (termasuk
keringanan apapun, jika berlaku), serta struktur atau
kebijakan tata kelola yang berlaku; dan
6. Kebijakan yang terkait dengan benturan
kepentingan, serta sifat dan tingkat transaksi dengan
afiliasi dan pihak terkait (berupa bentuk keseluruhan
fasilitas pembiayaan rutin kepada karyawan),
termasuk setiap masalah IHSG (Indeks Harga
Saham Gabungan) anggota dewan atau manajemen
senior dapat memiliki kepentingan material baik
langsung, tidak langsung atau atas nama pihak
ketiga.
E. Penerapan Corporate Governance dalam IIFS.
IIFS harus menyusun kerangka kebijakan tata kelola
yang komprehensif yang menetapkan peran strategis dan
fungsi masing-masing organ perusahaan dan mekanisme
Page 40
50
untuk menyeimbangkan pertanggungjawaban IIFS kepada
berbagai pemangku kepentingan.
IIFS akan dapat mengidentifikasi secara efektif peran
strategis dan fungsi masing-masing organ perusahaan dan
mekanisme untuk menyeimbangkan akuntabilitas mereka
kepada berbagai pemangku kepentingan. Juga
mempertimbangkan berbagai elemen peraturan perundang-
undangan, self assesment, komitmen sukarela dan praktik
bisnis yang lazim dalam lingkungan bisnis negara tertentu,
yang mencerminkan kebutuhan dan budayanya,
meningkatkan keahlian tekhnis dan pengetahuan mendalam
tentang IIFS sehubungan dengan operasi bisnis.
Kepatuhan terhadap kerangka kebijakan tata kelola yang
mengacu pada praktik terbaik juga akan publik untuk
menilai kepatuhan mereka terhadap tata kelola perusahaan
yang diakui secara nasional atau yang diakui secara
internasional dengan cara yang sebanding.
Mengingat pentingnya kepatuhan terhadap prinsip tata
kelola yang baik, IIFS harus terus berupaya memperbaiki
tata kelola perusahaan mereka dan tidak boleh ragu untuk
melampaui harapan masyarakat untuk mencapai daya saing
dan reputasi yang kuat. Dalam konteks stabilitas sistemik
sistem keuangan, good governance IIFS memegang peranan
Page 41
51
penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat
(www.ifsb.org).
2.1.9. Pelaporan dan Penilaian Bank Umum Syariah.
Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG (Good Corporate
Governance) Bank Umum Syariah dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 11/33/PBI/2009:
Paragraf 1 Laporan Pelaksanaan GCG Pasal 62:
1. BUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada
setiap akhir tahun buku.
2. Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling kurang meliputi:
1) Kesimpulan umum dari hasil self assesment atas
pelaksanaan GCG BUS;
2) Kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris,
hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota
Dewan Komisaris dengan pemegang saham
pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau
anggota Direksi BUS serta jabatan rangkap pada
perusahaan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 26;
3) Kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan
keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi
Page 42
52
dengan pemegang saham pengendali, anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi lain
sebagaimana dalam pasal 32;
4) Rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada
lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50;
5) Daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan
dengan itu yang digunakan oleh BUS (Bank Umum
Syariah) sebagaimana dimaksud dalam pasal 27;
6) Kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
(remuneration package) bagi Dewan Komisaris,
Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 17 ayat (3), pasal 33 ayat (3)
dan pasal 51 ayat (3);
7) Rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
8) Frekuensi rapat Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 ayat (1);
9) Frekuensi rapat DPS (Dewan Pengawas Syariah)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1);
10) Jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi
dan upaya penyelesaian oleh BUS (Bank umum
Syariah);
Page 43
53
11) Jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun
pidana dan upaya penyelesaian oleh BUS;
12) Transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
13) Buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
14) Penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah
maupun pihak penerima dana; dan
15) Pendapatan non halal dan penggunaannya.
3. Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
(remuneration package) bagi Dewan Komisaris, Direksi,
dan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf f paling kurang mencakup jumlah anggota
Dewan Pengawas Syariah serta jumlah keseluruhan gaji,
tunjangan (benefits), kompensasi dalam bentuk saham,
bentuk remunerasi lainnya dan fasilitas yang ditetapkan
Rapat Pemegang Saham.
Pasal 63:
1) BUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
dimaksud dalam pasal 62 kepada pemegang saham dan kepada:
a) Bank Indonesia;
b) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c) Lembaga pemeringkat di Indonesia;
d) Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas);
Page 44
54
e) 1 (satu) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan
keuangan; dan
f) 1 (satu) majalah ekonomi dan keuangan, paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
2) Bagi BUS (Bank Umum Syariah) yang telah memiliki homepage
wajib menginformasikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada homepage BUS paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah tahun buku berakhir.
3) Bank Umum Syariah dianggap terlambat menyampaikan laporan
dimaksud kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi
belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
penyampaian laporan.
4) BUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila BUS
belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 64:
Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 65:
Page 45
55
Penyampaian laporan pelaksanaan GCG kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dapasal 63 ayat (1) huruf a
dialamatkan kepada:
1) Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2,
Jakarta 10350, bagi BUS (Bank Umum Syariah) yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor Pusat Bank
Indonesia;
2) Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor
pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah.
Paragraf 2 Self Assesment Pelaksanaan GCG Pasal 66:
BUS wajib melakukan self assesment atas pelaksanaan GCG
yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
Tata cara self assesment sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaan Bank Indonesia.
Pasal 67:
Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil self assesment pelaksanaan
GCG sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1).
Page 46
56
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia dapat meminta BUS (Bank Umum Syariah)
untuk melakukan perbaikan atas pelaksanaan GCG.
2.2. Penelitian Terdahulu.
Hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penilitian ini adalah:
1. Good Corporate Governance dalam Perspektif Islam dan Penerapannya
Pada Bisnis Syariah di Indonesia oleh Rezki Astuti Soraya (2012).
Penelitian oleh Rezki Astuti Soraya dilakukan untuk mengetahui Good
Corporate Governance ditinjau dari perspektif Islam dan kesesuaian
penerapan Good Corporate Governance barbasis Islam pada bisnis syariah
di Indonesia terhadap prinsip syariah. Hasil dari penelitian ini GCG
merupakan perwujudan akhlak dalam Islam dalam pelaksanaannya pada
bisnis syariah GCG menganut prinsip yang disepakati bersama dalam
konsep pedoman good corporate governance bisnis syariah yang
dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun
2011, unsur dalam pelaksanaan GCG pada bisnis syariah mengacu pada
konsep pedoman good governance bisnis syariah yang dikeluarkan KNKG
(Komite Nasional Kebijakan Governance) pada tahun 2011. Pelaksanaan
good corporate governance pada bisnis syariah sesuai dengan prinsip
syariah.
Page 47
57
2. Implementasi Shariah Governance di Bank Syariah oleh Akhmad Faozan
(2014). Penelitian oleh Akhmad Faozan dilakukan untuk mengetahui
penerapan shariah governance pada perbankan syariah. Hasil dari
penelitian ini shariah governance merupakan penggabungan dari dua teori
tentang good corporate governance (GCG) dan teori shariah compliance.
Implementasi GCG di bank syariah berlandaskan lima prinsip, yaitu
transparansi, akuntanbilitas, pertanggungjawaban, profesional dan
kewajaran. Sedangkan, bank syariah dalam mengimplementasikan shariah
compliance harus tidak ada riba, gharar, dan maisir dalam transaksinya,
menjalankan bisnis berdasarkan pada keuntungan yang halal, menjalankan
amanah yang dipercayakan nasabah kepada bank, mengelola zakat, infaq
dan shadaqah dengan amanah.
3. Pelaksanaan Sharia Compliance Pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada
Bank Syariah Mandiri, Jakarta) oleh Ade Sofyan Mulazid (2016).
Penelitian oleh Ade Sofyan Mulazid bertujuan untuk mengetahui
pelaksanaan Shariah Compliance (kepatuhan syariah) pada Bank Syariah
yang terfokus pada Bank Syariah Mandiri. Hasil dari penelitian adalah
menunjukkan bahwa sistem pengawasan terhadap kepatuhan syariah telah
dilaksanakan dengan baik oleh Bank Indonesia dan Dewan Pengawas
Syariah kepada Bank Syariah Mandiri.
4. Peran Dewan Pengawas Syariah dalam Pemenuhan Prinsip Syariah dalam
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Perbankan Syariah oleh
Orisa Satifa & Edy Suprapto (2013). Penelitian oleh Orisa Satifa & Edy
Page 48
58
Suprato ini bertujuan untuk mengetahui Good Corporate Governance bagi
Bank Umum Syariah dan Peran Dewan Pengawas Syariah. Hasil dari
penelitian menyimpulkan bahwa Good Corporate Governance (GCG)
pada perbankan syariah merupakan suatu tata kelola bank syariah yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (tranparancy), akuntanbilitas
(accountability), profesional (professional), pertanggungjawaban
(responsibility), dan kewajaran (fairness). Keberadaan DPS wajib dimiliki
oleh setiap perbankan syariah mempunyai peran yang sangat penting.
5. Good Corporate Governance di Bank Syariah oleh Ali Syukron (2013).
Penelitian oleh Ali Syukron bertujuan untuk mengetahui secara mendalam
tentang Good Corporate Governance yang ada di Bank Syariah. Hasil dari
penelitian adalah penerapan Good Corporate Governance (GC) di Bank
Syariah telah didorong dari sisi regulasi. Dorongan tersebut adalah dengan
dituangkannya prinsip-prinsip dasar GCG ke dalam pasal 34 Undang-
undang No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. GCG pada
perbankan syariah tidak hanya menitik beratkan pada prinsip-prinsip GCG
tetapi pelaksanaan GCG diperbankan syariah harus memenuhi prinsip
syariah. Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik membuat aturan dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan GCG
bagi Bank Umum Syariah danUnit Usaha Syariah dan dilengkapi oleh
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dengan pedoman GCG
Perbankan Indonesia tahun 2004 dan Pedoman Good Corporate Bisnis
Syariah (GGBS) tahun 2011. Dengan didukung regulasi diatas diharapkan
Page 49
59
bank syariah harus tampil sebagai pionir terdepan dalam
mengimplementasikan GCG.
Tabel 2.3
Perbedaan dan Persamaan Penelitian Terdahulu
Judul
Penelitian Persamaan Perbedaan
1. Good
Corporate
Governance
dalam
Perspektif
Islam dan
Penerapannya
Pada Bisnis
Syariah di
Indonesia oleh
Rezki Astuti
Soraya (2012)
Terdapat kesamaan dalam
meneliti Good Corporate
Governance ditinjau dari
perspektif Islam.
Good Corporate
Governance ditinjau dari
perspektif Islam pada
institusi keuangan islam
studi kasus perbankan
syariah Bank Syariah
Mandiri, maka dari itu
penelitian selanjutnya
lebih spesifik yaitu
mengenai penerapan Good
Corporate Governance
pada Institusi Keuangan
Islam studi kasus
Perbankan Syariah Bank
Syariah Mandiri.
2.Implementasi
Shariah
Governance di
Bank Syariah
oleh Akhmad
Faozan (2014).
kesamaan dalam penelitian
tentang penerapan Good
Corporate Governance dan
Shariah Compliance.
penelitian yang dilakukan
terfokus pada penerapan
Good Corporate
Governance berbasis
shariah compliance dan
Peran DPS (Dewan
Pengawas Syariah) pada
Bank Syariah Mandiri
3. Pelaksanaan
Sharia
Compliance
Pada Bank
Syariah (Studi
Kasus Pada
Bank Syariah
Mandiri,
Jakarta) oleh
Ade Sofyan
Mulazid
(2016)
pembahasan shariah
compliance dalam corporate
governance yang studi
kasusnya adalah Bank
Syariah Mandiri.
dalam pembahasan lebih
terfokus bagaimana
penerapan GCG yang
sesuai dengan shariah
compliance dan apa peran
Dewan Pengawas Syariah
dalam menegakkan prinsip
shariah compliance
tersebut pada perbankan
syariah.
4. Peran Dalam pembahasan Good Penelitian yang terfokus
Page 50
60
Dewan
Pengawas
Syariah dalam
Pemenuhan
Prinsip Syariah
dalam
Pelaksanaan
Good
Corporate
Governance
pada
Perbankan
Syariah oleh
Orisa Satifa
dan Edy
Suprapto
(2013)
Corporate Governance dan
Peran Dewan Pengawas
Syariah
pada Implemetasi GCG
dan Peran DPS pada
Perbankan Syariah (Bank
Syariah Mandiri)
5. Good
Corporate
Governance di
Bank Syariah
oleh Ali
Syukron
(2013)
Membahas Good Corporate
Governance pada perbankan
syariah
Pembahasan Good
Corporate Governance
yang hanya terfokus pada
Bank Umum Syariah
(Bank Syariah Mandiri)
Sumber: data sekunder diolah peneliti, 2017