BAB IIKERATITIS SEBAGAI KOMPLIKASI PADA PELAKSANAAN TERAPI
KERATOPLASTI DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1.Kornea2.1.1.Anatomi KorneaKornea dalam Bahasa Latin yaitu
cornum yang diatikan seperti tanduk, adalah selaput bening mata,
bagian selaput mata yang dapat tembus oleh cahaya, merupakan
lapisan jaringan yang menutup bola mata sevbelah depan (Sidarta
Ilyas, 2014). Kornea dapat disisipkan ke dalam sklera pada limbus,
lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.
Kornea dewas rata-rata mempunyai tebal 550 m di pusatnya (terdapat
variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai
lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epiter (yang berbatasan
dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman,
stroma, membrane Descement, dan lapisan endotel (Paul Riordan-Eva,
2007).1. Lapisan EpitelLapisan epitel kornea mempunyai ketebalan
550 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal, dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda
ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosom dan
macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membrane
basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.
2. Membran BowmanMembran Bowman terletak di bawah membran basal
epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak mempunyai daya regenerasi. Lapisan Bowman merupakan lapisan
jernih aselular, yang merupakan bagian stroma yang berubah.
3. StromaStroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea.
Bagian ini tersusun atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan
lebar sekitar 10-250 m dan tinggi 1-2 m yang mencakup hampir
seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan
permukaan kornea, dank arena ukuran dan kerapatannya menjadi jernih
secara optis. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar
proteoglikan-terhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen
dan zat dasar. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.4. Membran
DescementMembran Descement merupakan membran aselular dan merupakan
batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan
membran basalnya. Membran Descement bersifat sangat elastik. Pada
saat lahir tebalnya sekitar 3 m dan berkembang terus seumur hidup
sampai mencapai 10 12 m. Membran Descement, yang merupakan lamina
basalis endotel kornea, memiliki tampilan yang homogeny dengan
mikroskop cahaya tetapi tampak berlapis-lapis dengan mikroskop
electron akibat perbedaan struktur anata bagian pra- dan
pascanasalnya. 5. Lapisan EndotelLapisan endotel kornea berasal
dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan mempunyai
besar 20-40 m. Endotel melekat pada Membran Descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. Endotel yang hanya memiliki satu
lapisan sel yang berperan besar dalam mempertahankan deturgensi
stroma kornea. Endotel kornea cukup rentan terhadap trauma dan
kehilangan sel-selnya seiring dengan penuaan. Reparasi endotel
terjkadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel,
dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan
menimbulkan edema kornea.Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aqueous, dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen dari atmosfer.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliaris longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliar
longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya
Gambar 1. Lapisan Kornea Gambar 2. Anatomi Kornea pada Mata
(Meeney, A., 2014) (Meeney, A., 2014)
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma yang atau
penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea merupakan
bagian mata yang tembus cahaya dan menutupi bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar, masuk ke kornea (Paul
Riordan-Eva, 2007) (Sidarta Ilyas, 2014).
2.1.2. Fisiologi KorneaKornea berfungsi sebagai membran
pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju
retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strkturnya yang
uniform, avascular, dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme
dehidrasi, dan kerusakan pada endotel jauh lebih serius
dibandingkan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya transparansi, yang cenderung
bertahan lama karena terbatasnya potensi perbaikan fungsi endotel.
Kerusakan pada epitel biasanya hanya menyebabkan edema local sesaat
pada stroma kornea yang akan menghilang dengan regenerasi sel-sel
epitel yang cepat. Penguapan air dari film air mata prakornea
menyebabkan film air mata menjadi hipertonik; proses tersebut dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari
stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi Obat melalui kornea yang utuh menjadi secara bifasik.
Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh, dan substansi
larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Jadi, agar dapat melalui
kornea, obat harus larut-lemak sekaligus larut-air (Roderick
Biswell, 2007)
2.2. Keratoplasti2.3.1. DefinisiKeratoplastiTransplantasi kornea
atau keratoplasti adalah solusi pembedahan yang diperuntukan untuk
kornea yang mengalami penurunan visus atau kebutaan, meskipun hasil
jangka panjangnya mempunyai prognosis yang tidak sesuai harapan
(Coster, et al, 2014). Terapi keratoplasti merupakan prosedur
pembedahan yang tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan
integritas struktural mata (keratoplasti tektonik) (Donnenfeld, et
al, 2011). Keratoplasti adalah suatu prosedur pembedahan dimana
kornea yang telah mengalami kerusakan diganti dengan kornea dari
donor. Donor kornea tersebut diambil dari seseorang yang telah
menjadi calon donor setelah meninggal dunia, secara sukarela dan
iklhlas mendonorkan korneanya. Transplantasi kornea diindikasikan
pada sejumlah kondisi kornea yang serius , misalnya kondisi
terdapat jaringan parut, edema, penipisan, dan distorsi (Vaughan,
2007)2.3.2. Jenis KeratoplastiPenetrating Keratoplasty (PK)
merupakan penggantian kornea seutuhnya (full thickness). PK
merupakan bedah mikro dimana 7-8 mm bagian tengah kornea yang rusak
atau berkabut diangkat dan digantikan dengan kornea sehat dan
jernih, lalu dijahit dengan benang nilon bedah mikro yang sangat
halus (Vaughan, 2007).
Gambar 3. Penetrating Keratoplasty (PK)(Chai, 2013)Keratoplasti
Lamelar berarti prosedur penggantian sebagian dari ketebalan
kornea, dimana hanya bagian kornea yang rusak yang diangkat dan
diganti dan mempertahankan jaringan kornea sehat. Bila hanya
lapisan depan (anterior) dari kornea yang diganti, prosedur ini
disebut Anterior Lamellar Keratoplasty (ALK), dan penggantian
sebagian besar lapisan depan kornea misalnya luka superficial
kornea sampai lapisan stroma maka prosedur ini disebut Deep
Anterior Lamellar Keratoplasty (DALK) (Vaughan, 2007).
Gambar 4. Anterior Lamellar Keratoplasty (ALK)(Chai, 2013)Deep
Lamellar Endothelial Keratoplasty (DLEK) adalah prosedur yang
dilakukan jika terjadi kerusakan kornea pada bagian posterior. Pada
prosedur ini, hanya lapisan tipis kornea terdalam yang digantikan
yang berarti sebagian besar korne tidak diangkat. Tidak adanya
jahitan, berarti proses pemulihan penglihatan setelah dilakukannya
DLEK akan lebih cepat dan ketajaman penglihatan akan lebih baik
dikarenakan kelainan refraksi dan astigmat yang ditimbulkan setelah
DLEK lebih kecil (Anshu A., 2011).
Gambar 5. Deep Lamellar Endothelial Keratoplasty (DLEK)(Chai,
2013)
2.3.3. Tujuan KeratoplastiTujuan dilakukan transplantasi kornea
antara lain sebagai berikut (Vaughan, 2007):1. Tujuan Optik: Untuk
memperbaiki visus atau ketajaman penglihatan2. Tujuan Terapi: Untuk
menghilangkan keadaan yang patologis di jaringan kornea, misalnya
dengan menghilangkan jaringan kornea yang meradang yang tidak
responsive terhadap pengobatan dengan obat-obatan3. Tujuan
Tektonik: Untuk memperbaiki struktur jaringan kornea yang mengalami
penipisan atau kerusakan atau untuk merekonstruksi anatomi mata4.
Tujuan Kosmetik: Untuk memulihkan kejernihan kornea agar tidak
terlihat berwarna putih akibat bekas luka kornea2.3.4. Indikasi
keratoplastiIndikasi trasplantasi kornea secara keseluruhan antara
lain (Vaughan, 2007):1. Adanya jaringan parut pada kornea/ scar
akibat infeksi, seperti herpes dan keratritis bakteri maupun
jamur2. Kelainan kornea, seperti keratokonus3. Kerusakan kornea
akibat trauma mata, trauma kimia, dan lain-lain4. Kelainan mata
akibat dari faktor genetik, missal: distrofi kornea dan
sebagainya.Adapun indikasi keratoplasti menurut tehniknya antara
lain:1. Penetrating Keratoplasty (Davison, 2010) :a. Operasi ulang
pada kegagalan dari operasi yang dilakukan sebelumnyab. Memperbaiki
visual dalam penyakit katarakc. Mengeliminasi infeksi pada
keratitis herpes simpleks kronik, keratitis bacterial, keratitis
achantamoeba, dan lain-laind. Distrofi stroma korneae. Astigmatisme
irregularf. Penebalanan jaringan parut pada korneag. Dan
lain-lain2. Lamellar Keratoplasty (Deep Anterior Lamellar
Keratoplasty) (Arslan, 2011):a. Distrofi korneab. Penebalan
jaringan parut pada kornea (post-keratitis atau post-traumatic)c.
Keratokonus atau penipisan pada kornea secara bertahapd. Kekeruhan
pada kornea e. Infeksi pada kornea atau keratitis terutama yang
mengenai lapisan stroma dan membran Descementf. Dan lain-lain3.
Endothelial Keratoplasty (Price FW):a. Distrofi membran Fuchsb.
Aphakic bullous keratopathyc. Iridocornea endothelial syndromed.
Kegagalan pada penetrating keratoplastye. Infeksi pada kornea atau
keratitis terutama yang mengenai sampai lapisan endotel f. Dan
lain-lain
2.3. Keratitis sebagai komplikasi keratoplasti2.3.1. Definisi
KeratitisKeratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima
lapisan kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi pada bagian
epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel.
Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.
Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi,
dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi
keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya,
keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau
endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau
perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis
dendritik, disciform, dan bentuk lainnya (Bower, 2011).Keratitis
mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme,
yaitu bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi
dan destruksi jaringan kornea. Kondisi ini sangat mengancam tajam
penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidang oftalmologi.
Pada satu penelitian, keratitis merupakan penyebab kedua terbanyak
(24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea (24,8%).
Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara
klinis dan membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang (Bower,
2011).Terdapat beberapa tanda klinis yang membedakan keratitis
mikroba dari peradangan kornea yang terkait dengan trauma,
hipersensitivitas, atau kondisi imun. Riwayat pasien dan
pemeriksaan mata sebelumnya, dengan fokus pada ada atau tidak
adanya cacat epitel dan atau peradangan stroma, serta petunjuk
diagnosis lainnya. Sifat peradangan stroma (supuratif atau non
supuratif) dan lokasi (fokal, multifokal, atau difus) juga membantu
dalam membuat diagnosis. Tes mikrobiologis yang diperlukan untuk
membuat agen etiologi dan kerentanan antimikroba, Peradangan kornea
harus dianggap sebagai ancaman bagi ketajaman visus, sehingga
membutuhkan evaluasi dan pengobatan yang tepat. Bahkan ulserasi
kornea yang relatif kecil dapat menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam ketajaman visual. Perforasi kornea dapat terjadi
dalam waktu 24 jam dengan virulensi organisme tertentu;
endophthalmitis (proses inflamasi yang melibatkan rongga mata dan
struktur yang berdekatan), yang menyebabkan hilangnya penglihatan
atau bahkan hilangnya mata, merupakan bahaya yang selalu ada dalam
pengaturan tersebut (Lichtinger A, 2012).2.3.2. Etiologi
KeratitisBanyak jenis patogen telah terlibat dalam menyebabkan
keratitis mikroba setelah transplantasi kornea. Beberapa mikroba
yang mendominasi yang terlibat dalam keratitis mikroba antara lain
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus diikuti pula
oleh bakteri gram negatif dan beberapa jamur. Namun, dalam banyak
kasus, organisme yang biasanya tidak dianggap patogen dapat menjadi
oportunistik dalam kondisi tertentu pada mata. Lamensdorf dan
rekannya melaporkan pengalaman yang sangat berbeda dengan organisme
yang bertanggung jawab menyebabkan keratitis mikroba. Dalam laporan
mereka, sebagian besar patogen umumnya adalah Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Candida albicans (Wagoner,
2007). Secara keseluruhan, infeksi jamur telah didokumentasikan
dalam 6% sampai 36% dari kasus keratitis mikroba setelah
keratoplasti. Berbeda dengan seri sebelumnya, Tavakkoli dan Gula
melaporkan Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens,
Staphylococcus koagulasi negatif, dan Staphylococcus aureus adalah
organisme yang dominan menyebabkan keratitis pascakeratoplasti
(Fong, 2010).2.3.3. Faktor PredisposisiBeberapa faktor yang
memperngaruhi keratitis sebagai komplikasi dari pelaksanaan
keratoplasti atau transplantasi kornea antara lain (Jafarinasab,
2012) (Shi, 2010):1. Pra-operatif (sebelum pembedahan): Bahan donor
yang terkontaminasi dengan lingkungan luar yang kurang higienis
Sistem imun dari penerima donor yang menurun atau kurang baik
Persiapan operasi yang tidak steril Pelaksanaan keratoplasti pada
fase akut yang sangat beresiko menimbulkan banyak komplikasi
Penggunaan steroid atau imunosupresan pada saat praoperasi diduga
pula dapat menyebabkan infeksi pada kornea pasca operasi. Selain
itu, dikatakan bahwa penggunaan steroid dapat meningkatkan tingkat
keparahan penyakit dan tingkat kekambuhan pada mata dengan
pengobatan menggunakan steroid pada praoperasi2. Intraoperatif
(pada saat dilakukan pembedahan): Terdapat infeksi intraoperatif
atau infeksi nosokomial oleh mikroorganisme Pelaksanaan pembedahan
yang kurang steril (baik dari pihak dokter, perawat, maupun
sterilisasi yang kurang pada alat bedah dan kornea pada pasien yang
akan dibedah) sehingga mikroorganisme dapat menyerang bagian
kornea3. Pasca-operatif (setelah pembedahan): Kecacatan epitel dari
kornea Trauma yang mengenai mata pascaoperatif Penerapan
kortikosteroid topikal dan penggunaan antibiotik berspektrum luas
yang dapat mengubah flora normal pada mata sehingga memungkinkan
mikroorganisme lain untuk tumbuh Adanya resistensi terhadap
penggunaan antibiotik atau antijamur Kurangnya asupan nutrisi
(terutama pada vitamin A yang baik untuk mata) Terdapat penurunan
sistem imun akibat penggunaan kortikosteroid yang berlebihan Adanya
perluasan perlukaan yang diakibatkan oleh insisi pembedahan yang
terlalu dalam sehingga mikroorganisme, seperti jamur, dapat
menembus ke dalam lapisan kornea atau ruang anterior dalam waktu
singkat.2.3.3. Jenis Keratitis Pascakeratoplasti1. Keratitis
BakteriKeratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal
dikarenakan adanya mekanisme pertahanan alami kornea terhadap
infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah penggunaan
lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan
bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi (Sutphin, 2008).a.
Epidemiologi:Kejadian keratitis bacterial diperkirakan pada wilayah
Amerika Serikat adalah 28 per 100.000 orang per tahun. Insiden
keratitis bakterial di negara berkembang bahkan lebih tinggi,
dengan perkiraan insiden antara 100 sampai 800 per 100.000 orang
per tahun. Mengingat komplikasi kebutaan pada mata yang berpotensi
dari keratitis bakteri yang parah, hal ini merupakan isu kesehatan
yang sangat penting. Sejumlah bakteri organisme dapat menyebabkan
keratitis menular. Kejadian infeksi oleh organisme tertentu
bervariasi menurut wilayah. Praktisi harus menyadari pola
epidemiologi lokal infeksi kornea. Staphylococcus sp. merupakan
spesies yang paling sering terlihat di Kanada dan Amerika Serikat
bagian timur, infeksi Pseudomonas lebih umum di Amerika Serikat
bagian selatan. Streptococcus pneumoniae pernah menjadi bakteri
yang paling patogendii solasi dari ulkus kornea bakteri. Kejadian
relatif infeksi Pseudomonas dan Staphylococcus mengalami
peningkatan. Infeksi kornea juga terjadi pada pasien dengan
penurunan sistem imun pada beberapa kasus, diantaranya seperti
penyalahgunaan alkohol, kekurangan gizi, atau diabetes sering
dikaitkan dengan Moraxella. Di negara berkembang, infeksi kornea
oleh Streptococcus tetap yang paling umum, diikuti oleh bakteri
Staphylococcus dan Pseudomonas (Jeng, 2010) (Dart, 2008). b.
Patogenesis Epitel kornea dan membran Bowman bagian bawah merupakan
batas masuknya organisme ke dalam stroma kornea, kecuali apabila
barrier tersebut mengalami kerusakan akibat trauma. Beberapa
organisme yang muncul dan masuk kedalam kornea dalam keadaan tidak
adanya trauma merusak barrier tersebut dengan menggunakan enzim
proteolitik atau racun lalu melisiskan penghalang jaringan pada
lapisan kornea. Adanya migrasi leukosit yang masuk ke dalam limbus
ke kornea yang terinfeksi akan menambah destruksi pada jaringan
(Butcko, 2007).
Pada penjelasan lain, dikatakan bahwa permukaan kornea biasanya
dilindungi dengan baik oleh berbagai mekanisme. Kelopak mata dan
bulu mata membentuk penghalang fisik untuk materi luar, dan refleks
berkedip menyapu puing-puing yang akan terjebak dalam air mata.
Sebuah garis pertahanan kedua adalah film air mata, yang berisi
bermacam-macam antimikroba dan anti-inflamasi faktor, seperti
laktoferin, lisozim, beta-lisin, air mata-spesifik albumin, dan
immunoglobulin A (IgA). Akhirnya, sel-sel epitel kornea dan
konjungtiva memberikan penghalang melalui pertahanan ketat, molekul
yang penting bagi mereka untuk sistem kekebalan (misalnya:
reseptor), dan menghasilkan berbagai antimikroba peptida.
Konjungtiva memberikan perlindungan tambahan dari infeksi.
Konjungtiva tersebut mengandung sel mast yang ketika diaktifkan,
menyebabkan pembuluh darah dilatasi dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah, yang mengakibatkan produksi dari transudat
antimikroba. Konjungtiva juga berisi limfoid yang terdiri dari
nodul limfosit yang bertanggung jawab untuk pertahanan lokal dari
antigen. Sel plasma, makrofag, dan berbagai sel T juga hadir, serta
IgG, IgA, dan IgM, yang dibawa oleh pembuluh darah konjungtiva.
Dalam sebagian besar kasus keratitis bakteri, setidaknya salah satu
faktor risiko yang merupakan penyebab terganggunya mekanisme
pertahanan dapat diidentifikasi. Kelainan menutup pada mata seperti
entropion atau ektropion, paparan permukaan kornea, atau trichiasis
dapat menyebabkan kerusakan epitel kornea pelindung. Produksi air
mata yang buruk dapat menyebabkan pengurangan antimikroba komponen
air mata dan pengeringan epitel dan kerusakan. masalah epitel
seperti keratopati bulosa, toksisitas obat, dan penyakit infeksi
herpes sebelumnya dapat memungkinkan invasi dari mikroba. Penurunan
sistem imun lokal dapat pula menyebabkan keratitis bakteri. Hal ini
paling sering disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid topikal
yang menyebabkan imunosupresi. Selain itu, keganasan, kekurangan
gizi, atau luka bakar yang luas juga dapat menyebabkan hal itu,
meskipun gangguan kontinuitas epitel adalah yang paling umum yang
memungkinkan pembentukan infeksi kornea (Sutphin, 2008).