Top Banner
BAB II LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT A. DEFINISI Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan yang sering ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009). Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ). Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain. (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495).
37

BAB-II-ALL.docx

Dec 14, 2015

Download

Documents

Riindhu Screamo
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB-II-ALL.docx

BAB II

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

A. DEFINISI

Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum

tulang didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut

adalah keganasan yang sering ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari

seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih sering ditemukan dari pada anak

perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi

leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor

hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).

Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih

dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal

(Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ).

Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa

proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya

kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya

infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain. (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495).

B. KLASIFIKASI

1. Leukemia secara umum

Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan

maturasi sel dan tipe sel asal yaitu :

a. Leukemia Akut

Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang

berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah

abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ

lain. Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa

pengobatan penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.

Page 2: BAB-II-ALL.docx

1) Leukemia Limfositik Akut (LLA)

LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya

proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik

yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan

kegagalan organ.

LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur

dewasa (18%). Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7

tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan

setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum

tulang. (gambar 1. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa

perbesaran 1000x).

Gambar 1. Leukemia Limfositik Akut

2) Leukemia Mielositik Akut (LMA)

LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik

yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan

leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi. LMA atau

Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada

orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya

mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi

gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6

bulan. (gambar 2. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa

perbesaran 1000x).

Page 3: BAB-II-ALL.docx

Gambar 2. Leukemia Mielositik Akut

b. Leukemia Kronik

Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai

proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi

karena keganasan hematologi.

1) Leukemia Limfositik Kronis (LLK)

LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit

T). Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi

progresif yang berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur

panjang.

LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang

individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1

untuk laki-laki. (gambar 3. a dan b. hapusan sumsum tulang dengan

pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).

a                   

                           b

Gambar 3. Leukemia Limfositik Kronik

Page 4: BAB-II-ALL.docx

2) Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)

LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan

produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.

LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada

orang dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik

yang dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95%

penderita LGK/LMK.

Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah

memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi

berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit,

disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel darah merah yang amat

kurang. (gambar 4. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa

a. perbesaran 200x, b. perbesaran 1000x).

a                                                  b

Gambar 4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik

2. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

FAB (French-American-British) dibuat klasifikasi LLA berdasarkan

morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, antara

lain sebagai berikut:

a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen,

nucleus umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit

b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tapi ukurannya bervariasi,

kromatin lebih besar dengan satu atau lebih anak inti

Page 5: BAB-II-ALL.docx

c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogeny dengan kromatin berbecak,

banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.

C. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor

predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :

1. Genetik

a. Keturunan

1) Adanya Penyimpangan Kromosom

Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital,

diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s

Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld,

sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von

Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital

ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada

kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak

stabil, seperti pada aneuploidy.

2) Saudara kandung

Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar

identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama

kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi

leukemia yang sangat tinggi

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan

kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang

dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut,

khususnya ALL.

2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker

sebelumnya.

Page 6: BAB-II-ALL.docx

3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,

dan agen anti neoplastik.

4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol

D. MANIFESTASI KLINIS

Leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut dengan

tanda dan gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal

(kegagalan sumsum tulang) atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.

Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsumtulang menyebabkan

berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan manifestasi utama berupa

infeksi, perdarahan, dan anemia. Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu:

1.  Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada

2. Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise

3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel

leukemia), biasanya terjadi pada anak

4. Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)

5. Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering

adalah gramnegatif usus

6. Stafilokokus, streptokokus, serta jamur 

7. Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria

8. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati

9. Massa di mediastinum (T-ALL)

10. Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial

naik, muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik

fokal, dan perubahan statusmental.

E. PATOFISIOLOGI

Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan

leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel

darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh

sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang

Page 7: BAB-II-ALL.docx

darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang

terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai

hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang.,

panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang

panjang.

ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan

lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang.

Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam

sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga  hampir menjadi sel

normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk

menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi

ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang

leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula

kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya

menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari

sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B

intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga

berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel

timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T

helper dan limfosit T supresor.

Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat

ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan

hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan

pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan

gangguan penglihatan.

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah

yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk

sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit

imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga

mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis

normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah

Page 8: BAB-II-ALL.docx

merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan

pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang

serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan

jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan

gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem

retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh,

sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu

metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer &

Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002)

F. PATHWAY

Page 9: BAB-II-ALL.docx

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :

1. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.

2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml

3. Retikulosit : jumlah biasanya rendah

4. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)

5. SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur

(mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.

6. PT/PTT : memanjang

7. LDH : mungkin meningkat

8. Asam urat serum/urine : mungkin meningkat

9. Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut

dan mielomonositik.

10. Copper serum : meningkat

11. Zinc serum : meningkat/ menurun

12. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau

lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan

prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.

13. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat

keterlibatan

H. KOMPLIKASI

1. Perdarahan

Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang

rendah ditandai  dengan:

a. Memar (ekimosis)

b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum

dipermukaan kulit)

Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam dan

infeksi dapat memperberat perdarahan

Page 10: BAB-II-ALL.docx

2.  Infeksi

Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat

netropenia dan disfungsi imun.

3.  Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.

Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar

asam urat sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.

4. Anemia

5. Masalah gastrointestinal.

a. mual

b. muntah

c. anoreksia

d. diare

e. lesi mukosa mulut

Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain akibat

kemoterapi.

I.  PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Leukemia Limfoblastik Akut :

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan

menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali

di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu

dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu,

tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita

mungkin memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia,

transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi

infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan

dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu

kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari

vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi

sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke

dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau

beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk

Page 11: BAB-II-ALL.docx

menghancurkan sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi

konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa

berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa kembali muncul,

seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel

leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius.

Penderita harus kembali menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum

tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel

leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke

dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel

leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan terapi

penyinaran.

2. Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga

banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-

tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening

membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia

diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang

merangsang pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit

sangat menurun, diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan

antibiotik.

Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar

getah bening, hati atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah

kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat banyak. Prednison

dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita

leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung

singkat dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan

beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent,

yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel

berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.

Penatalaksanaan lain:

1. Pelaksanaan kemoterapi

Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis

pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel

Page 12: BAB-II-ALL.docx

leukemia. Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu

jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.

Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:

a. Melalui mulut

b. Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)

c. Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam

pembuluh darah   balik besar, seringkali di dada bagian atas - perawat

akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari suntikan

yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau

cedera pada pembuluh darah balik/kulit.

d. Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi

menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak

dan sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi

intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan

cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui

suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan

sumsum tulang belakang.

Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua

fase yang digunakan untuk semua orang.

1. Tahap 1 (terapi induksi)

Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian

besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi

kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang

karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses

membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi

kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.

2. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)

Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi

yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk

mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.

Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.

3. Tahap 3 ( profilaksis SSP)

Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.

Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis

Page 13: BAB-II-ALL.docx

yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang

berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk

mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat

4. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)

Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap

ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang

membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak

dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80%

orang dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami

harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif

yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.

2. Terapi Biologi

Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi

biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi

ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien

dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan

adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel

leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-

sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan

leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami

bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia.

3. Terapi Radiasi

Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar

berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar

pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa,

otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia

ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh.

(radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum

tulang.)

4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)

Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem

cell). Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis

obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan

menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam

sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem

Page 14: BAB-II-ALL.docx

cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah

balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh

dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini. Setelah transplantasi sel

induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit selama

beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi

sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-

sel darah putih dalam jumlah yang memadai.

5.  Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada

trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi

trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.

6.  Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah

dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.

7. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,

metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih

poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin,

arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan

sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama

dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat

samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau

kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari

2.000/mm3.

8. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar

yang suci hama).

9. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai

remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai

diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian

imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar

terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan

spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi.

Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap

sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga

diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.

10. Cara pengobatan

Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman-

nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan

Page 15: BAB-II-ALL.docx

mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan

tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:

a. Induksi

Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian

berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun

intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.

b. Konsolidasi yaitu, agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak

diri lagi.

c. Rumat (maintenance)

Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa

remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika

separuh dosis biasa.

d. Reinduksi

Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya

dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti

pada induksi selama 10-14 hari.

e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.

Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk

mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400-

2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia

serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.

f. Pengobatan imunologik

Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama

sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh

sempurna. (Sutarni Nani, 2003)

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Identitas

Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di

bawah 15 tahun  (85%) , puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio

lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Page 16: BAB-II-ALL.docx

Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam,

lesudan malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan

kecenderungan terjadi perdarahan.

2) Riwayat kesehatan masa lalu

Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang erpapar

oleh chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr,

HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatann seperti

phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun

kemoterapi.

3) Riwayat kelahiran anak :

a) Prenatal

b) Natal

c) Post natal

4) Riwayat Tumbuh Kembang

Bagaimana pemberian ASI, adakah ketidaknormalan pada masa

pertumbuhan dan kelainan lain ataupun sering sakit-sakitan.

5) Riwayat keluarga

Insiden LLA lebih tinggi berasal dari saudara kandung anak-anak

yang terserang terlebih pada kembar monozigot (identik).

c. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum tampak lemah

Kesadaran composmentis selama belum terjadi komplikasi.

2) Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 100x/mnt

Suhu : 39 0C

RR : 20x/mnt

3) Pemeriksaan Kepala Leher

4) Rongga mulut : apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau

bakteri), perdarahan gusi

Page 17: BAB-II-ALL.docx

5) Konjungtiva : anemis atau tidak. Terjadi gangguan penglihatan akibat

infiltrasi ke SSP.

6) Pemeriksaan Integumen

Adakah ulserasi ptechie, ekimosis, tekanan turgor menurun jika terjadi

dehidrasi.

7) Pemeriksaan Dada dan Thorax

Inspeksi bentuk thorax, adanya retraksi intercostae.

Auskultasi suara nafas, adakah ronchi (terjadi penumpukan secret

akibat infeksi di paru), bunyi jantung I, II, dan III jika ada

Palpasi denyut apex (Ictus Cordis)

Perkusi untuk menentukan batas jantung dan batas paru.

8) Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi bentuk abdomen apakah terjadi pembesaran, terdapat

bayangan vena, auskultasi peristaltic usus, palpasi nyeri tekan bila ada

pembesaran hepar dan limpa.

d. Pola Fungsional Gordon

1)  Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan

berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi

kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang

riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.

2) Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan,

anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan dan

gangguan menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan

adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds, pembesaran

limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang

berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan

adanya pmbesaran gusi  (bisa menjadi indikasi terhadap acute

monolytic leukemia).

3) Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada

perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan faeces

Page 18: BAB-II-ALL.docx

berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin output. Pada

inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta adanya hematuria.

4) Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas

dan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena

mudah mengalami kelelahan.

5) Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan

mengalami penurunan kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan

“seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel

darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.

6) Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang

lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian

dapt ditemukan adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan

iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung.

7) Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji.

8) Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan

kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta

belajar.

9) Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan

umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah.

e. Pemeriksaan Diagnostik

1) Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia

2) Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%

3) Retikulosit : menurun/rendah

4) Platelet count :   sangat rendah (<50.000/mm)

5)  White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC

(“kiri ke   kanan”)

6)  Serum/urin uric acid : meningkat

7) Serum zinc : menurun

8)  Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan

erythroid

9) prekursor, sel matur dan penurunan megakaryosit

Page 19: BAB-II-ALL.docx

10) Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat

kesulitan tertentu.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko infeksi b.d menurunnya system pertahanan tubuh.

b. Risiko injury: perdarahan b.dpenurunan jumlah trombosit

c. Gangguan rasa nyaman/nyeri b.d infiltrasi leukosit jaringan sistemik

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d proliferative

gastrointestinal dan efek toksik kemoterapi

e. Hambatan mobilitas fisik b.d keterbatasan rentang pergerakan sendi

(NANDA, 2013).

3. Intervensi Keperawatan

DX/Tujuan INTERVENSI RASIONAL1. Risiko infeksi b.d

menurunnya system pertahanan tubuh.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, anak tidak akan mengalami gejala gejala infeksiKriteria Hasil:a. Bebas dari

gejala dan tanda-tanda infeksi.

b. Jumlah leukkosit dalam batas normal.

1. Tempatkan pada ruang isolasi khusus dan batasi pengunjung.

2. Lakukan protap pencucian tangan bagi setiap orang yang kontak dengan klien

3. Monitor vital sign

4. Jaga integritas kulit, luka yang terbuka dan kebersihan kulit dengan pembersih antibakteri.

5. Periksa mukosa mulut dan lakukan oral hygiene.

1. Untuk menjaga klien dari agent patogen yang dapat menyebabkan infeksi.

2. Mencegah infeksi silang

3. Progresive hipertermia sebagai pertanda infeksi atau demam sebagai efek dari pemakaian kemotherapi maupun tranfusi

4. Untuk mencegah infeksi local. (Luka biasanya tidak bernanah akibat rendahnya kadar granulosit).

5. Jaringan mukosa mulut merupakan  medium bagi

Page 20: BAB-II-ALL.docx

2. Risiko injury:

perdarahan b.d

gangguan

pembekuan darah

Tujuan: Setelah

dilakukan tindakan

keperawatan 3x24

jam, tidak terjadi

perdarahan pada

6. Jaga kebersihan kebersihan anus dan genital.

7. Berikan asupan makanan yang adekuat yang mengandung cairan serta protein tinggi.

8. Lakukan tindakan kolaborasi:a. Blood test count :  WBC dan

Neutrofil.

b. Lakukan kulture

c. Pemberian antibiotik sesuai order.

d. Review serial X-Ray

1. Lakukan tindakan yang lembut

untuk mencegah perlukaan seperti

menggunakan sikat gigi yang

lembut, kapas swab, lakukan tepid

sponge, gunakan alat cukur

elektrik.

perkembangan bakteri.

6. Untuk mencegah terjadinya infeksi anal maupun genital.

7. Untuk konservasi energi bagi perkembangan sel-sel klien dan mempertahankan daya tahan tubuh klien.

a. Penurunan WBC merupakan kesimpulan dari proses penyakit dan  efek samping dari pengobatan kemoterapi.

b. Untuk mengetahui sensitivitas kuman.

c. Untuk mencegah infeksi

d. Indikator dari perkembangan kondisi klien.

1. Penekanan bone narrow

dan produksi platelet

yang rendah beresiko

menimbulkan 

perdarahan yang tak

terkontrol.

Jaringan yang lemah, dan

mekanisme pembekuan

yang abnormal sering

Page 21: BAB-II-ALL.docx

anak.

Kriteria hasil:

a. Tidak ada

hematuria dan

hematemesis.

b. Tekanan darah

anak dalam

batas normal

sistol dan

diastole (80-

100/60 mmHg)

c. Hemoglobin

dan hematokrit

anak dalam

batas normal.

(Hb: 10-16

gr/dL; Ht: 33-

38%)

d. Anak bebas

dari

agen/penyebab

luka.

3. Gangguan rasa nyaman/nyeri b.d infiltrasi leukosit jaringan sistemik.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, gangguan rasa

2. Laporkan setiap tanda-tanda terjadi

perdarahan (tekanan darah

menurun, denyut nadi cepat, pucat,

diaphoresis, meningkatnya

kecemasan)

3. Evaluasi kulit dan membrane

mukosa setiap hari

4. Kolaborasi:

a. Lakukan pemasangan IV

line/injeksi dengan jarum yang

kecil.

b. Monitor laboratorium Platelet,

Hb/Ct, cloting.

1. Kaji keluhan nyeri dengan skala

nyeri (0 – 10)

2. Monitor vital sign dan kaji ekpresi

nonverbal.

menjadi penyebab

perdarahan  tak

terkontrol.

2. Perubahan TTV mungkin

merupakan indikasi

adanya perdarahan.

3. Kulit dan mulut rawan

terjadi perdarahan

sehingga perlu dimonitor

4. Kolaborasi

c. Mengurangi resiko

timbulnya luka yang

besar.

d. Jika platelet count <

20000/mm. Penurunan

Hb/Hct  dapat

menimbulkan

perdarahan.

1. Untuk mempermudah

intervensi dan observasi

terhadap nyeri.

2. Mengetahui efektivitas

Page 22: BAB-II-ALL.docx

nyaman/nyeri anak hilang.Kriteria hasil:a. skala nyeri

berkurang/tidak ada.

b. Tanda-tanda vital anak dalam batas normal.

c. Anak dapat tidur sesuai kebutuhan tidurnya.

d. Anak tidak rewel/stress.

3. Jaga lingkungan agar tetap tenang

4. Kurangi stimulasi yang

meningkatkan stress.

5. Letakkan pada posisi nyaman

6. Lakukan perubahan posisi secara

periodic

7. Kolaborasi:

a. Cek  Kadar asam urat

b. Pemberian analgetik

8. Kaji kelemahan tubuh klien dan ajak anak berpartisipasi untuk bermain.

9. Berikan kesempatan istirahat dan tidur yang cukup

10. Berikan makanan selingan yang

tindakan terhadap nyeri.

3. Meningkatkan

kesempatan istirahat dan

memperbaiki koping

mekanisme.

4. Mengurangi resiko

timbulnya stress

5. Mencegah rasa tidak

nyaman pada persendian

6. Meningkatkan sirkulasi jaringan dan mobilitas sendi.

7. Kolaborasia. Mengkaji efek dari

leukemia terutama pada fase pengobatan, sehingga perlu dianalisa perlu tidaknya bantuan.

b. Mengurangi nyeri.

8. Untuk mengetahui kemampuan kontrol klien terhadap nyeri

9. Mengurangi rasa cemas

Page 23: BAB-II-ALL.docx

4. Ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh b.d

proliferative

gastrointestinal dan

efek toksik

kemoterapi.

Tujuan: Setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama

3x24 jam, tidak

terjadi

ketidakseimbangan

nutrisi pada anak.

Kriteria hasil:

a. Anak

menghabiskan

porsi makan

yang diberikan.

b. Tidak ada tanda-

tanda

malnutrisi(BB

normal,

konjunctiva

tidak anemis)

5. Hambatan

mobilitas fisik b.d

keterbatasan

cukup selama kemotherapi

1. Menginstruksikan pada anak untuk

tetap rileks pada saat makan

2. Ijinkan anak untuk memakan

makanan yang dapat ditoleransi

anak, rencanakan untuk

memperbaiki kualitas gizi pada

saat selera makan

3. Berikan makanan yang disertai

dengan suplemen nutrisi untuk

meningkatkan kualitas intake

nutrisi

4. Ijinkan anak untuk terlibat dalam

persiapan dan pemilihan makanan

1. Monitoring TTV

10. Memberi energy dan mengalihkan focus klien selama proses kemotherapi.

1. Untuk mengoptimalkan

agar anak mau makan.

2. Untuk membuat anak

berselera makan, sesuai

dengan kebutuhan gizi

nya.

3. Memberi tambahan

nutrisi bagi anak.

4. Supaya anak lebih tertarik

untuk mnghabiskan

makanan yang diberikan.

1. Mengetahui perubahan

tanda vital

Page 24: BAB-II-ALL.docx

rentang pergerakan

sendi.

Setelah dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 3x24 jam,

terjadi

peningkatan

toleransi aktivitas

pada anak.

Kriteria hasil:

a. Anak bisa

berpatisipasi

aktif dalam

melakukan

aktivitas fisik

sesuai dengan

umurnya.

b. Tanda-tanda

vital (Tensi,

nadi, suhu)

dalma batas

normal.

2. Kaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi

3. Latih pasien dalam pemenuhan

kebutuhan ADL secara mandiri

sesuai kemampuan.

2. Pasien tidak melakukan

aktivitas yang berlebihan

3. Pasien tidak melakukan

ADL dengan bantuan

orang.

4. Evaluasi

a. Anak tidak akan mengalami gejala gejala infeksi

b. Tidak terjadi perdarahan pada anak.

c. Gangguan rasa nyaman/nyeri anak hilang.

d. Tidak terjadi ketidakseimbangan nutrisi pada anak.

e. Terjadi peningkatan toleransi aktivitas pada anak.

Page 25: BAB-II-ALL.docx

5. Discharge Planning

a. Kenali gejala yang ditimbulkan penyakit.

b. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam dan batuk.

c. Inspeksi kulit, nyeri tekan, area eritematosus, luka terbuka. Bersihkan

kulit dengan larutan antibakterial.

d. Tingkatkan kebersihan perianal.

e. Istirahat yang cukup dan makan makanan tinggi protein (NANDA,

2013).