Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Praktik Pemberian Makan pada Anak Praktek pemberian makan pada anak adalah perbuatan atau tindakan nyata ibu dalam memberikan makan kepada anak (Kartini, 2008). Untuk anak yang berusia 12-36 bulan, masih diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Makan merupakan suatu keterampilan sehingga perlu dilatih. Terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi keterampilan makan yaitu waktu pertama kali pemberian makan pendamping ASI (MP-ASI), kemampuan pengenalan bentuk makanan, waktu pengenalan rumah tangga serta variasi makanan, dan adanya unsur pemaksaan makanan tertentu (Health Odyssey International, 2011). Pemberian MP-ASI yang benar membutuhkan informasi dan keterampilan dari keluarga dan petugas kesehatan. Malnutrisi seringkali tidak disebabkan oleh kekurangan makanan, melainkan karena pengetahuan yang rendah mengenai cara penyiapan makanan dan praktek pemberian makan yang benar (WHO,2003). Menurut Husaini (2000), perilaku ibu dalam memberi makan,mencakup jadwal pemberian makan dan lamanya makan yang baik; pengaturan lingkungan yang kondusif untuk anak makan; sampai prosedur pemberian makan, baik dari jumlah porsi maupun
32

BAB II

Jan 18, 2016

Download

Documents

basic feeding rules
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Praktik Pemberian Makan pada Anak

Praktek pemberian makan pada anak adalah perbuatan atau tindakan nyata

ibu dalam memberikan makan kepada anak (Kartini, 2008). Untuk anak yang

berusia 12-36 bulan, masih diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Makan merupakan suatu keterampilan sehingga perlu dilatih. Terdapat berbagai

macam faktor yang mempengaruhi keterampilan makan yaitu waktu pertama kali

pemberian makan pendamping ASI (MP-ASI), kemampuan pengenalan bentuk

makanan, waktu pengenalan rumah tangga serta variasi makanan, dan adanya

unsur pemaksaan makanan tertentu (Health Odyssey International, 2011).

Pemberian MP-ASI yang benar membutuhkan informasi dan keterampilan

dari keluarga dan petugas kesehatan. Malnutrisi seringkali tidak disebabkan oleh

kekurangan makanan, melainkan karena pengetahuan yang rendah mengenai cara

penyiapan makanan dan praktek pemberian makan yang benar (WHO,2003).

Menurut Husaini (2000), perilaku ibu dalam memberi makan,mencakup jadwal

pemberian makan dan lamanya makan yang baik; pengaturan lingkungan yang

kondusif untuk anak makan; sampai prosedur pemberian makan, baik dari jumlah

porsi maupun urutan pemberian makan dapat membuat status gizi anak menjadi

baik. Sedangkan ketidaktepatan tata cara pemberian makan ini dengan sendirinya

menimbulkan masalah atau kesulitan dalam pemberian makan bayi dan anak.

2.1.1. Pengertian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang

mengandung zat gizi, yakni makanan pelengkap, makanan tambahan, makanan

padat, makanan sapihan, weaning food, makanan peralihan, beiskot (istilah dalam

bahasa jerman yang berarti makanan selain dari susu yang diberikan kepada bayi).

Page 2: BAB II

2.1.2. Usia Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan usia anak.

Tahapan-tahapannya adalah :

1. Usia 0-6 bulan

Bayi hanya diberikan ASI saja. Lebih sering lebih baik karena ASI

mengandung antibodi yang dibutuhkan oleh tubuh, serta sangat baik untuk

perkembangan otak bayi.

2. Usia 6-9 bulan

Bayi telah diberikan makanan pendamping, karena alat cerna sudah

berfungsi dengan baik. makanan yang cocok diberikan di antaranya bubur

susu, nasi tim, tepung beras, bubur encer, pisang lumat, pepaya lumat.

3. Usia 9-12 bulan

Pada tahap ini, bayi yang telah diberikan ASI dan MP-ASI mulai

diperkenalkan dengan makanan keluarga seperti bubur dan nasi secara

bertahap dengan takaran yang cukup.

4. Usia 12-24 bulan

Frekuensi pemberian ASI dikurangi sedikit demi sedikit. Makanan

diberikan sekurang-kurangnya tiga kali sehari dengan besar porsi adalah

separuh dari makanan orang dewasa. Berikan makanan selingan dua kali

sehari.

2.1.3. Syarat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Dalam memberikan makanan pendamping ASI untuk anak, harus dipenuhi

syarat untuk memastikan bahwa kebutuhan nutrisi terpenuhi. MP-ASI tersebut

harus memenuhi syarat sebagai berikut (WHO,2003):

1. Makanan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhannya, terutama zat besi,

protein, kalsium, vitamin A,B,C,D, dan K.

2. Bersih dan aman. Ini berarti makanan sebagai MP-ASI harus terbebas dari

organisme patogen dan bahan kimia berbahaya. MP-ASI juga harus disajikan

sesuai umur tahapan perkembangan agar mudah dicerna, kemudian disajikan

tidak terlalu panas, dan tidak terlalu pedas.

Page 3: BAB II

3. Diberikan pada waktu yang tepat, artinya MP-ASI diberikan pada saat

kebutuhan nutrisi dan energi tidak terpenuhi lagi dari ASI eksklusif.

4. Pemberian makan dengan cara yang benar, mencakup jadwal pemberian

makan yang teratur untuk melatih anak merasakan sinyal lapar dan kenyang

dan teknik pemberian makan sesuai usia, misalnya pemberian finger food

untuk bayi dan mendorong anak batita untuk makan sendiri.

2.1.4. Faktor –faktor yang Memengaruhi Pemberian MP-ASI

Beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI

yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan penduduk, sosial ekonomi, begitu

pula faktor kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang turun

temurun mengenai pemberian MP-ASI pada bayi.

1. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap subyek tertentu (Notoatmojo, 2000). Pengetahuan ibu

adalah faktor yang penting dalam pemberian makanan tambahan pada bayi karena

dengan pengetahuan yang baik, ibu tahu kapan waktu pemberian makanan yang

tepat. Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain,

media cetak media elektronik, atau penyuluhan-penyuluhan. Pengetahuan

didukung oleh pendidikan karena pendidikan merupakan suatu proses untuk

mengembangkan semua aspek kepribadian manusia meliputi pengetahuan, nilai,

sikap, dan keterampilan sehingga terjadi perubahan perilaku yang positif.

Pemberian MP-ASI yang benar membutuhkan informasi dan keterampilan

dari keluarga dan petugas kesehatan. Malnutrisi seringkali tidak disebabkan oleh

kekurangan makanan, melainkan karena pengetahuan yang rendah mengenai cara

penyiapan makanan dan praktik pemberian makan yang benar. (WHO, 2003)

Page 4: BAB II

2. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian,

mengembangkan pengetahuan jasmani dan rohani agar mampu melaksanakan

tugas.

Pendidikan bukan sekedar usaha pemberian informasi dan keterampilan

tetapi diperluas ruang lingkupnya sehingga mencakup usaha mewujudkan

kehidupan pribadi sosial yang memuaskan. Makin tinggi tingkat pendidikan,

pengetahuan, dan keterampilan, maka terdapat kemungkinan makin baik tingkat

ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, makin mengerti

waktu yang tepat memberikan makanan tambahan bagi bayi serta mengerti

dampak yang ditimbulkan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Ibu yang

berpendidikan akan memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan

oleh petugas kesehatan, selain itu tidak akan terpengaruh dengan informasi yang

tidak jelas.

3. Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan erat dengan pekerjaan dan pendapatan

orang tua yang nantinya bepengaruh terhadap konsumsi energi. Ibu yang bekerja

akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu menjadi kurang perhatian dan

kurang dekat dengan anak karena sebagian besar waktu siang digunakan untuk

bekerja di luar rumah.

Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya beli

yang lebih tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk

memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersebut mengakibatkan

pemilihan jenis makanan dan jumlah makanan tidak lagi didasarkan pada

kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk pada pemberian makanan

pendamping ASI bagi bayi.

2.2. Masalah Makan

Masalah makan ditandai dengan selektivitas atau pilih-pilih makan yang

ekstrim. Pemilihan makanan didasarkan pada jenis, tekstur, merek, bentuk, atau

Page 5: BAB II

warna. Permasalahan ini berpotensi untuk memengaruhi hubungan antara anak

dan orang tua saat pemberian makan serta menghambat pertumbuhan dan

perkembangan kognitif.

2.2.1. Klasifikasi Masalah Makan

Telah banyak klasifikasi masalah makan yang telah diajukan, di antaranya

adalah menurut DSM IV, Bonnin, Chatoor, dan UKK nutrisi dan penyakit

metabolik.

2.2.2. Klasifikasi Masalah Makan Menurut DSM IV

Masalah makan pada DSM IV dinamai sebagai Feeding and Eating

Disorders of Infancy and Early Childhood dan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Feeding disorders of Infancy and Early Childhood

2. Pika

3. Ruminasi

2.2.3. Klasifikasi Masalah Makan Menurut Bonnin

Bonnin mengelompokkan masalah makan secara umum menjadi tiga

kelompok besar, yaitu :

1. Abnormalitas struktural

Abnormalitas struktural meliputi abnormalitas pada naso-orofaring (atresia

koana, bibir sumbing, makroglosia, ankiloglosia), laring-trakea (laryngeal

cleft, kista laring, stenosis subglotis, laringotrakeomalasia) dan esophagus

(fistula esophageal, atresia/stenosis esophagus, striktur esophagus, cincin

vaskular).

2. Kelainan neurodevelopmental

Kelainan meliputi palsi serebral, malformasi Arnold-Chiari,

meningomielokel, disautonomia familial, distrofi muskular, miastenia gravis,

distrofi okulofaringeal.

3. Masalah perilaku makan

Page 6: BAB II

2.2.4. Klasifikasi Masalah Makan Menurut Chatoor

Chatoor mengelompokkan masalah makan dengan menitikberatkan pada

aspek perilaku makan. Terdapat enam kelompok, yaitu :

1. Feeding disorder of state regulation (0-2 bulan)

2. Feeding disorder of reciprocity (2-6 bulan)

3. Infantile anorexia (6 bulan – 3 tahun)

4. Sensory food aversions

5. Feeding disorder associated with concurrent medical condition

6. Posttrumatic feeding disorder

2.2.5. Klasifikasi Masalah Makan Berdasarkan UKK Nutrisi dan Penyakit

Metabolik

Klasifikasi disusun berdasarkan gabungan klasifikasi Chatoor, dan etiologi

lain yang tidak ada namun cukup banyak ditemukan di Indonesia, yaitu

inappropriate feeding practice (sekitar 30%). Klasifikasi masalah makan beserta

karakteristiknya dirangkum dalam tabel 1. Dapat ditemukan lebih dari satu

penyebab masalah makan pada seorang anak.

Tabel 1. Klasifikasi Masalah Makan pada BatitaKlasifikasi Karakteristik Status Gizi

Anoreksia

Infantil

Onset penolakan makan terjadi sejak bayi

atau saat transisi pemberian makan

menggunakan sendok

Menolak makan semua jenis makanan

selama minimal 1 bulan

Tidak ada peristiwa traumatik terhadap

orofarings sebelumnya

Tidak ada underlying medical illness

Anak mungkin lebih suka bermain atau bicara

daripada makan

Gizi kurang/

buruk

Gagal

tumbuh

Page 7: BAB II

Sensory food

aversion

Menolak makanan tertentu secara konsisten

karena rasa, tekstur, atau bau selama minimal

1 bulan tetapi menerima dengan baik bila

ditawarkan makanan tertentu

Tidak ada peristiwa traumatik terhadap

orofaring sebelumnya

Tidak berhubungan dengan alergi makanan

Tidak ada underlying medical illness

Mungkin terdapat defisiensi mikronutrien

spesifik

Mungkin terdapat keterlambatan bicara

ekspresif

Gizi baik

Gizi kurang

Posttraumatic

feeding

disorder

Onset penolakan makan dapat terjadi pada

usia kapanpun

Terdapat riwayat trauma terhadap orofarings

(misalnya sonde, suctioning, intubasi,

pemaksaan makan, tersedak, muntah)

Menolak makanan padat karena riwayat

trauma (muntah) tapi mungkin mau menerima

susu atau makanan lumat

Penolakan terhadap makanan bila melihat atau

berdekatan dengan alat-alat makan (sendok,

garpu, botol, orang yang biasa memberi

makan)

Takut/menghindar/menangis/tidak mau

membuka mulut bila ditawarkan makanan

Menolak makan dengan cara tertentu yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik,

misalnya menolak minum dari botol tetapi

mau minum dengan sendok

Gizi baik

Gizi kurang/

buruk

Gagal

tumbuh

Parental Orang tua mengeluh anak kurus atau makan Gizi baik

Page 8: BAB II

misperception hanya sedikit, ATAU

Anak mau makan semua jenis makanan,

ATAU

Anak mau makan semua jenis makanan tapi

tidak mau makan sayur atau buah

Feeding practice benar

Inapropriate

feeding

practice

Praktik pemberian makan yang tidak sesuai

usia atau tahapan perkembangan, misalnya

terlambat mengenalkan MP-ASI, hanya

memberikan ASI/susu formula sebagai

makanan utama, dan prosedur pemberian

makan yang tidak mengikuti basic feeding

rules

Gizi baik

Gizi kurang

Feeding

disorder

associated

with a

concurrent

medical

Terdapat kondisi medis yang menyebabkan

masalah makan (misalnya : refluks

gastroesofagus, infeksi salurak kemih,

tuberkulosis, penyakit jantung bawaan, dan

lain-lain)

Masalah makan sudah berlangsung selama

sedikitnya 2 minggu

Anak bersemangat pada awal makan, namun

setelah beberapa waktu menunjukkan distress

dan menolak melanjutkan makan

Gizi kurang/

buruk

Gagal

tumbuh

Sumber : UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik

2.2.6. Penatalaksanaan Masalah Makan

Penatalaksanaan masalah makan bergantung pada etiologinya. Dari

klasifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa penyebab masalah

makan pada anak bukan hanya karena kelainan organik saja, tetapi juga karena

kesalahan dalam praktik perilaku pemberian makan atau aspek psikososial anak.

Oleh karena itu, penatalaksanaan pada anak dengan masalah makan harus

Page 9: BAB II

dilakukan oleh tim multidisiplin, yang meliputi ahli nutrisi, psikiater,

gastroenterolog, dan terapis. Intervensi yang diberikan harus komprehensif,

meliputi terapi medis, modifikasi perilaku untuk mengubah praktik pemberian

makan yang salah, dan edukasi orang tua (Chatoor, 2009).

Masalah makan juga dapat dicegah agar tidak terjadi. Pencegahan dilakukan

dengan memberikan orang tua anak edukasi saat awal proses pemberian makan.

Untuk mengenali dan mengobati masalah makan pada anak, perlu pendekatan

sistematis dalam identifikasi dan tata laksana kesulitan makan. Tata laksana dasar

dan pencegahan untuk semua masalah makan adalah penerapan basic feeding

rules, sedangkan tata laksana spesifik bergantung pada etiologi.

2.3. Basic Feeding Rules

Basic feeding rules berati aturan dasar praktik pemberian makan. Aturan ini

dirancang oleh seorang profesor psikiatrik dan pediatrik George Washington

University School of Medicine di Washington, DC pada tahun 2009. Aturan ini

menerangkan bagaimana jadwal makan dan bagaimana menolong anak untuk

belajar merasakan sinyal untuk makan. Orang tua juga sebaiknya bersama-sama

ikut menerapkan basic feeding rules ini, karena anak akan lebih mudah

menerapkan aturan ini dengan meniru cara makan orang tuanya.

Pada pengenalan basic feeding rules, terapis dapat menjelaskan prinsip dari

regulasi eksternal dan internal. Tujuannya adalah anak akan makan karena

mengetahui adanya sinyal makan dari lingkungan luar (eksternal), seperti makan

bersama keluarganya, dan juga mengenali sinyal makan dari dirinya sendiri

(internal), misalnya rasa lapar dan kenyang.

Berikut ini adalah basic feeding rules :

1. Untuk menciptakan sinyal rasa lapar yang lebih besar pada anak, susun

jadwal makan dengan interval waktu 3-4 jam, terdiri dari 3 kali

makanan utama dan 2 kali snack, susu dapat diberikan pada saat bangun

tidur, sebelum tidur siang, dan sebelum tidur malam. Jangan berikan

camilan, susu, atau jus di antara waktu makan. Jika anak haus, tawarkan

air putih.

Page 10: BAB II

Anak biasanya senang untuk minum jus, minum satu atau dua gelas susu, atau

makan jajan-janan yang mengakibatkan meraka tidak mau lagi makan saat

waktu makan. Oleh karena itu, penting sekali untuk menciptakan rasa lapar

pada anak batita, agar mereka mau makan dengan lahap saat waktu makan

utama. Aturan pertama ini biasanya sulit dilakukan, karena dibutuhkan

disiplin tinggi dari orang tua untuk membentuk waktu makan yang tetap setiap

harinya, selain itu orang tua pasti sulit menolak permintaan makan anak di

luar jam makan, karena mereka khawatir anaknya tidak mendapatkan

makanan yang cukup nantinya. Karena itu, sebaiknya jadwal waktu makan

anak disamakan dengan jadwal makan keluarga, agar mereka bisa makan

bersama-sama. Jika anak makan sedikit ketika waktu makan utama, lalu

beberapa jam kemudia meminta ASI atau susu, orang tua harus menjelaskan

pada anak mereka bahwa mereka harus menunggu waktu makan selanjutnya

untuk bisa makan dan coba untuk mengalihkan perhatian mereka. Anak akan

cepat beradaptasi dengan aturan baru selama orang tua tetap konsisten

menjalankan jadwal makan yang telah ada.

2. Tawarkan makan dalam porsi kecil dan biarkan anak sendiri yang

meminta porsi kedua, ketiga, keempat untuk menjaga anak terlibat

dalam proses makan dan mencegah anak bosan atau putus asa karena

melihat makanan dalam porsi besar sekaligus tersaji di depan mereka.

Dengan hanya memberikan porsi yang kecil, orang tua dapat tetap terlibat

dalam proses makan anak tanpa mengintervensi, dan anak pun akan punya

kesadaran bahwa makan dilakukan sampai merasa kenyang, bukan makan

sampai piring kosong.

3. Anak harus duduk di high chair sampai semua orang di meja kenyang

dan selesai makan.

Anak-anak biasanya tidak suka duduk di atas high chair. Mereka akan

berusaha memanjat keluar ketika didudukkan di high chair. Sedangkan pada

anak yang lebih besar, jika mereka diletakkan di kursi biasa, dalam beberapa

menit mereka akan turun dari kursi dan mulai berlari ke sekeliling ruangan.

Page 11: BAB II

Bila anak dibiasakan untuk duduk di kursi makan sampai semua orang di meja

merasa kenyang, maka mereka cenderung tertarik untuk terus makan dan

belajar untuk makan sampai kenyang.

Anak yang berusaha memanjat keluar dari high chair dapat diberi mainan

beberapa menit sebelum makan, tapi mainan itu harus diambil kembali saat

makanan mulai dihidangkan di meja. Anak usia di bawah 18 bulan yang ingin

memanjat keluar dari high chair dapat diperingatkan dengan tegas oleh orang

tua, seperti “kamu harus tetap duduk di kursi”. Jika peringatan saja tidak

cukup, anak bisa dihukum dengan memberikan “time-out”, seperti memutar

kursi membelakangi muka orang tua dan meja makan selama 30 detik.

Sedangkan untuk anak usia di atas 18 bulan yang tidak mau tetap duduk di

kursinya hingga semua orang di meja selesai makan dapat diberi time-out

yang lebih tegas.

Untuk anak usia prasekolah yang lebih besar dan anak usia sekolah yang mau

menuruti peraturan untuk tetap duduk di kursi, mereka bisa mendapatkan

imbalan yang positif. Mereka bisa mendapatkan sebuah stiker setiap berhasil

duduk di kursi hingga semua orang di meja selesai makan, dan jika 10 stiker

tadi dikumpulkan, maka anak tersebut berhak mendapat satu mainan. Jika

mereka bisa mengumpulkan sampai 50 stiker, mereka bisa mendapat hadiah

yang lebih besar lagi, seperti pergi ke kebun binatang atau museum.

4. Durasi waktu makan 20-30 menit. Tidak boleh lebih dari 30 menit.

Sebagian besar batita membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk

menghabiskan makanan. Sedangkan beberapa anak dengan anoreksia infantile

makan lebih lambat, yaitu sekitar 30 menit. Orang tua harus mengatur

kecepatan makan mereka agar durasi makan berlangsung selama 20-30 menit,

ini dilakukan supaya anak bisa mencontohnya. Terkadang orang tua

memanjangkan waktu makan anak mereka hingga lebih dari 30 menit dengan

harapan anak mau menambah suap makanannya. Namun, jika durasi waktu

makan terlalu lama, anak masih akan merasa kenyang saat waktu makan

selanjutnya, inilah yang membuat mereka menjadi malas makan saat waktu

Page 12: BAB II

makan selanjutnya. Anak akan belajar untuk meningkatkan porsi makannya

jika mereka merasa lapar.

5. Orang tua tidak dibenarkan untuk memuji atau mengkritik anak

mengenai betapa banyak atau betapa sedikitnya makanan yang dimakan

oleh anak

Untuk batita yang sedang belajar makan dengan merasakan sinyal lapar dan

kenyang, jumlah makan mereka sebaiknya tidak menjadi suatu hal yang bisa

membahagiakan atau membuat sedih orang tua. Jika orang tua ingin agar

anaknya bisa tetap semangat dan fokus pada kegiatan makannya, orang tua

bisa mendorong atau mengomentari kemampuan anak mereka untuk bisa

mulai makan sendiri, dengan berkata seperti, “wah, anak pintar! sekarang

sudah bisa makan pakai sendok sendiri ya!”.

6. Selama makan berlangsung, tidak boleh ada mainan dan televisi yang

bisa mendistraksi perhatian anak

Bila anak terdistraksi, mereka tidak dapat merespons terhadap sinyal internal

rasa lapar atau kenyang. Anak yang menyukai makan akan cenderung makan

berlebih, sedangkan anak yang memiliki dorongan makan rendah cenderung

lupa makan bila perhatian mereka teralih oleh mainan dan televisi.

7. Makanan tidak boleh digunakan sebagai hadiah atau bentuk kasih

sayang orang tua

8. Anak tidak boleh melempar atau membuang makanan atau peralatan

makan

Anak yang sulit makan lebih suka bermain dengan makanan dan peralatan

makan daripada memakan makanannya, lalu ketika sudah bosan, mereka akan

mulai membuang semua makanan beserta peralatan makan yang ada di

hadapannya. Orang tua sebaiknya memberikan sendok lagi untuk mendorong

anak agar mulai belajar makan dengan mandiri. Namun jika anak terus

membuang makanan dan peralatan makannya, orang tua dapat memberikan

time-out.

9. Pada batita yang lebih besar, anak prasekolah, dan anak usia sekolah,

jika ada percakapan atau hal lain yang membuat perhatian mereka

Page 13: BAB II

teralih dari kegiatan makan, orang tua harus membantu agar perhatian

anak kembali fokus pada makanan mereka

Anak dengan anoreksia infantile senang berbicara pada waktu makan sehingga

lupa untuk makan. Orang tua harus tetap konsisten dengan tidak menanggapi

pembicaraan anak namun tetap terlibat dengan anak dan membantu anak

untuk kembali fokus pada makan.

Basic feeding rules terangkum dalam tabel 2 :

Tabel 2 Aturan Dasar Pemberian Makan (Basic Feeding Rules)Jadwal Ada jadwal makan yang teratur dan terencana, tidak boleh

mendapat cemilan di luar jadwal makan

Waktu makan berdurasi 20-30 menit

Di antara waktu makan, hanya boleh mengonsumsi air putih

Lingkungan Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan

untuk makan

Dudukkan anak di kursi high chair

Anak harus duduk di high chair sampai semua orang di meja

kenyang dan selesai makan

Orang tua tidak boleh memuji atau mengkritik makanan yang

dimakan oleh anak

Jangan berikan mainan atau televisi saat anak makan

Jangan memberikan makanan sebagai hadiah

Anak tidak boleh melempar atau membuang makanan atau

peralatan makan

Fokuskan kembali perhatian anak ke makan jika ada hal yang

mengalihkan perhatian mereka

Prosedur Porsi kecil

Berikan makanan padat terlebih dahulu, baru cair

Beri dorongan anak untuk makan sendiri

Singkirkan makanan jika setelah 10-15 menit anak hanya

bermain tanpa mau makan

Page 14: BAB II

Akhiri makan bila anak mengamuk

2.4. Status Gizi

2.4.1. Pengertian Status Gizi

Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level yang

paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan

makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga faktor yaitu

ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan

yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001 yang

dikutip oleh Simarmata, 2009).

Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari

ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance),

yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam

memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2004).

2.4.2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi penting untuk mengidentifikasi baik keadaan kurang

maupun kelebihan gizi dan memperkirakan asupan energi optimum untuk

pertumbuhan dan kesehatan. Untuk menilai status gizi digunakan dua metode

penilaian status gizi, yaitu secara pemeriksaan fisik secara langsung dan tidak

langsung. Penilaian fisik secara langsung, dapat dibagi menjadi empat penilaian,

yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan untuk

penilaian fisik secara tidak langsung, dapat dibagi menjadi tiga yaitu survey

konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa dkk, 2001). Di

sini akan dibahas mengenai antropometri.

2.4.3. Antropometri

Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos yang berarti manusia

(human being). Sehingga antropometri dapat diartikan sebagai pengukuran pada

Page 15: BAB II

tubuh manusia (Soekirman, 2000). Metode antropometri mencakup pengukuran

dari dimensi fisik dan komposisi nyata dari tubuh (WHO cit Gibson, 2005).

Pengukuran antropometri, khususnya bermanfaat bila ada ketidakseimbangan

antara protein dan energi. Dalam beberapa kasus, pengukuran antropometri dapat

mendeteksi malnutrisi tingkat sedang maupun parah, namun metode ini tidak

dapat digunakan untuk mengidentifikasi status kekurangan (defisiensi) gizi

tertentu (Gibson, 2005)

Pengukuran antropometri memiliki beberapa keuntungan dan kelebihan,

yaitu mampu menyediakan informasi mengenai riwayat gizi masa lalu, yang tidak

dapat diperoleh dengan bukti yang sama melalui metode pengukuran lainnya.

Pengukuran ini dapat dilakukan dengan relatif cepat, mudah, dan reliable

menggunakan peralatan-peralatan yang portable, tersedianya metode-metode yang

terstandardisasi, dan digunakannya peralatan yang terkaliberasi. Untuk membantu

dalam menginterpretasi data antropometrik, pengukuran umumnya dinyatakan

sebagai suatu indeks, seperti tinggi badan menurut umur (Gibson, 2005).

Penilaian antropometris status gizi didasarkan pada pengukuran berat dan

tinggi badan, serta usia. Data ini dipakai dalam menghitung 3 macam indeks,

yaitu indeks (1) berat terhadap tinggi badan (BB/TB) yang diperuntukkan sebagai

petunjuk dalam penentuan status gizi sekarang; (2) tinggi terhadap usia (TB/U)

yang digunakan sebagai petunjuk tentang keadaan gizi di masa lampau; dan (3)

berat terhadap usia (BB/U) yang menunjukkan secara sensitif gambaran status gizi

saat ini (saat diukur). Kekurangan tinggi terhadap usia meriwayatkan satu masa

ketika pertumbuhan tidak terjadi (gagal) pada usia dini selama periode yang cukup

lama (Soekirman, 2000 yang dikutip oleh Agustina, 2009).

Jenis Parameter

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh

manusia, antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar

kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa

dkk, 2001).

Page 16: BAB II

a. Umur.

Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan

penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil

penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti

bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering

muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1

tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung

dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30

hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam

hari tidak diperhitungkan ( Depkes, 2004).

b. Berat Badan

Pengukuran tunggal dari berat badan tidak dapat membedakan antara

malnutrisi akut atau kronik. Pengukuran tunggal berat badan hanya dapat melihat

status gizi sesaat (Djumadias Abunain, 1990). Sedangkan pengukuran berat badan

secara berkala dan rutin merupakan cara yang paling umum untuk menilai

pertumbuhan anak. Setelah berat diukur, hasilnya diplot berdasarkan umur dan

jenis kelamin. Setelah itu hasilnya dibandingkan dengan standar rujukan yang

tersedia di Negara masing-masing. Berat badan menggambarkan jumlah dari

protein, lemak, air, dan mineral pada tulang.

Beberapa keadaan klinis dapat mempengaruhi berat badan, seperti

terdapatnya edema, organomegali, hidrosefalus, dan lain sebagainya. Dalam

keadaan ini maka indeks antropometri yang menggunakan berat badan tidak dapat

dipergunakan untuk menilai status nutrisi. Untuk dapat mengevaluasinya

diperlukan data antropometri lainnya, yaitu umur, jenis kelamin, dan acuan

standar. Hasil pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar berat

badan/umur (BB/U) dan beratbadan/tinggi badan (BB/TB) atau dihitung

persentasenya terhadap standar yang diacu.

c. Tinggi Badan

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari

keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat

Page 17: BAB II

keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir

rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk

Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (Berat Badan

menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang

lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada

umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik,

kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun ( Depkes RI, 2004).

Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri

dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai

ketelitian 0,5 cm.

Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk

menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan

status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator

status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi

tubuh (M.Khumaidi, 1994).

Tabel 3 . Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TBStandar Baku Antropometeri WHO-NCHS

No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi1 BB/U < -3 SD

- 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Sangat KurusKurusNormalGemuk

2 TB/U < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Sangat PendekPendekNormalTinggi

3 BB/TB < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD +2 SD s/d +3 SD> +3 SD

Gizi burukGizi kurangGizi baikGizi lebihObesitas

Sumber : Depkes RI 2004.

Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan

dua versi, yakni persentil (percentile) dan skor simpang baku (standard deviation

score = z). Gizi anak-anak di negara-negara yang populasinya relatif baik (well-

Page 18: BAB II

nourished), sebaiknya digunakan “persentil”, sedangkan di negara untuk anak-

anak yang populasinya relatif kurang (under nourished) lebih baik menggunakan

skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan

(Djumadias Abunaim,1990).

Tabel 4 Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks Antropometri (BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS)

NoIndeks yang digunakan

InterpretasiBB/U TB/U BB/TB

1 Rendah Rendah Normal Normal, dulu kurang giziRendah Tinggi Rendah Sekarang kurang ++Rendah Normal Rendah Sekarang kurang +

2 Normal Normal Normal NormalNormal Tinggi Rendah Sekarang kurangNormal Rendah Tinggi Sekarang lebih, dulu kurang

3 Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normalTinggi Rendah Tinggi ObesitasTinggi Normal Tinggi Sekarang lebih, belum obesitas

Keterangan : untuk ketiga indeks ( BB/U,TB/U, BB/TB) :

Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

Tinggi : > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

Sumber : Depkes RI 2004.

Status gizi berdasarkan rujukan WHO-NCHS dan kesepakatan Cipanas 2000

oleh para pakar Gizi dikategorikan seperti diperlihatkan pada tabel 3 di atas serta

diinterpretasikan berdasarkan gabungan tiga indeks antropometri seperti yang

terlihat pada tabel 4.

2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Page 19: BAB II

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi

di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara

efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat

setinggi mungkin (Almatsir, 2001). Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi,

faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi secara garisbesar dapat digolongkan menjadi penyebab

langsung dan tidak langsung (Soekirman, 2000) :

1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin

diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang

kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik

tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi.

Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh

akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan

maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung, yaitu :

Ketahanan pangan di keluarga. Ketahanan pangan adalah kemampuan

keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga

dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Ketahanan pangan keluarga

sangat terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli

keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga

untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak

agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental,

dan sosial. Tingkat pengetahuan ibu sangat mempengaruhi pola

pengasuhan anak, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam

pemberian makanan pada anak akan mempengaruhi status gizi anak.

Kesalahan pemberian makan pada anak dapat diartikan sebagai

kekeliruan dalam menyajikan makanan, baik dari jadwal pemberian

makan dan lamanya makan yang baik; pengaturan lingkungan yang

kondusif untuk anak makan; sampai prosedur pemberian makan, baik

Page 20: BAB II

Pertumbuhan anak

Faktor genetik Faktor Lingkungan

dari jumlah porsi maupun urutan pemberian makan. Dalam keadaan

demikian diperlukan pengetahuan yang cukup agar anak dapat terjamin

kebutuhan gizi akibat pengetahuan tentang makanan bergizi bagi anak

yang dimiliki ibunya (Burhanudin, 2006).

Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan

Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air

bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh

seluruh keluarga.

2.5. Kerangka Teori

Page 21: BAB II

Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Usia 12-36 Bulan