Top Banner
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Metode Elemen Hingga 2.1.1 Konsep Dasar Elemen Hingga Konsep yang mendasari metode elemen hingga (Finite Element Method / FEM) adalah membagi (discretize) sesuatu menjadi bagian-bagian kecil dan penyatuan secara keseluruhan yang kita banyangkan akan merupakan sesuatu yang berkesinambungan. FEM akan menganalisa pengaruh gaya, temperatur, aliran air atau angin yang besaran- besaran seperti deformasi, tegangan, temperatur, dan kecepatan air. Karakteristik distribusi pengaruh tersebut dalam suatu massa tergantung daripada karakteristik system gaya dan sistem massa itu sendiri (Hadipratomo, Winartni., & P. Raharjo, Paulus. 1985) Tujuan penggunaan FEM adalah untuk mendapatkan distribusi pengaruh - peng- aruh tersebut. Untuk memudahkan pengertian, baik kita gunakan istilah deformasi (u) untuk mengganti istilah pengaruh sedangkan untuk permasalahan yang lain dapat menggunakan istilah temperature (T) atau fluid head (). Anggapan bahwa distribusi deformasi u sulit dicari dengan cara konvensional dan perlu menggunakan FEM yang berdasarkan konsep “diskretisasi”. Kita bagi suatu massa atau sejumlah daerah-daerah kecil yang disebut “Finite Element” atau elemen hingga. Pada analisa tegangan deformasi dari massa tersebut dalam kesetimbangan akibat beban luar, pengamatan kepada elemen ini menyangkut penurunan dari hubungan beban kekakuan bahan. Untuk menurunkan hubungan ini kita gunakan hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang mempengaruhi massa itu. Karena tujuan utama adalah mencari distribusi dari u dengan menyatakan hukum-hukum dan prinsip-prinsip tadi dengan besaran u, hal ini dapat dicapai dengan memilih pola atau bentuk dari distribusi u tersebut atas sebuah elemen. Di dalam memilih bentuk tersebut kita harus mengikuti beberapa aturan, misalnya salah satu aturan mensyaratkan bahwa suatu massa yang dikenai beban agar bisa dianalisa tidak boleh mengalami pecah/putus disuatu daerah, dengan kata lain beban tersebut harus tetap berkesinambungan.
38

BAB II

Dec 26, 2015

Download

Documents

ALTERNATIF DESAIN KONSTRUKSI TEROWONGAN HEADRACE BENDUNGAN WARSAMSON KABUPATEN SORONG DENGAN METODE ELEMEN HINGGA 2D DAN 3D
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Metode Elemen Hingga

2.1.1 Konsep Dasar Elemen Hingga

Konsep yang mendasari metode elemen hingga (Finite Element Method / FEM)

adalah membagi (discretize) sesuatu menjadi bagian-bagian kecil dan penyatuan secara

keseluruhan yang kita banyangkan akan merupakan sesuatu yang berkesinambungan.

FEM akan menganalisa pengaruh gaya, temperatur, aliran air atau angin yang besaran-

besaran seperti deformasi, tegangan, temperatur, dan kecepatan air. Karakteristik

distribusi pengaruh tersebut dalam suatu massa tergantung daripada karakteristik system

gaya dan sistem massa itu sendiri (Hadipratomo, Winartni., & P. Raharjo, Paulus. 1985)

Tujuan penggunaan FEM adalah untuk mendapatkan distribusi pengaruh - peng-

aruh tersebut. Untuk memudahkan pengertian, baik kita gunakan istilah deformasi (u)

untuk mengganti istilah pengaruh sedangkan untuk permasalahan yang lain dapat

menggunakan istilah temperature (T) atau fluid head ( ). Anggapan bahwa distribusi

deformasi u sulit dicari dengan cara konvensional dan perlu menggunakan FEM yang

berdasarkan konsep “diskretisasi”. Kita bagi suatu massa atau sejumlah daerah-daerah

kecil yang disebut “Finite Element” atau elemen hingga.

Pada analisa tegangan deformasi dari massa tersebut dalam kesetimbangan

akibat beban luar, pengamatan kepada elemen ini menyangkut penurunan dari hubungan

beban kekakuan bahan. Untuk menurunkan hubungan ini kita gunakan hukum-hukum

atau prinsip-prinsip yang mempengaruhi massa itu. Karena tujuan utama adalah mencari

distribusi dari u dengan menyatakan hukum-hukum dan prinsip-prinsip tadi dengan

besaran u, hal ini dapat dicapai dengan memilih pola atau bentuk dari distribusi u

tersebut atas sebuah elemen. Di dalam memilih bentuk tersebut kita harus mengikuti

beberapa aturan, misalnya salah satu aturan mensyaratkan bahwa suatu massa yang

dikenai beban agar bisa dianalisa tidak boleh mengalami pecah/putus disuatu daerah,

dengan kata lain beban tersebut harus tetap berkesinambungan.

Page 2: BAB II

Gambar 2.1 Contoh Distribusi Perpindahan “u”

Sumber: Hadipratomo, Winarni, & Paulus, P. Raharjo. 1985:2

2.1.2 Tahapan Penggunaan Metode Elemen Hingga

Perumusan dan penerapan FEM dianggap terdiri beberapa langkah dasar,

langkah tersebut akan dibahas secara umum dengan maksud untuk mempersiapkan

kepada pengertian yang lebih detail, sesuai dengan gambar diagram alur dibawah ini.

Page 3: BAB II

TAHAPAN PENGGUNAAN METODE ELEMEN

HINGGA

DISKRETISASI & PEMILIHAN KONFIGURASI

ELEMEN

MENENTUKAN HUB. TEGANGAN DAN

REGANGAN

MENURUNKAN PERSAMAAN ELEMEN

MEMILIH SYARAT BATAS

SELESAIKAN PRIMARY UKNOWN

PENGGABUNGAN PERSAMAAN ELEMEN

MEMILIH MODEL ATAU FUNGSI PENDEKATAN

MENURUNKAN PERSAMAAN ELEMEN

SELESAIKAN BESARAN KEDUA

INTERPRETASI HASIL

Gambar 2.2 Skematisasi Tahapan Penggunaan Metode Elemen Hingga

Sumber: Hadipratomo, Winarni, & Paulus, P. Raharjo. 1985:8

2.1.3 Metode Elemen Hingga Pada Plaxis 3D Tunnel

Berdasarkan konsep dari metode elemen hingga, yaitu proses diskiritisasi, maka

suatu system akan dibagi-bagi menjadi elemen-elemen yang lebih kecil. Ada berbagai

jenis elemen-elemen yang dapat dipakai dan dipilih berdasarkan jenis struktur dan ke-

perluannya.

Page 4: BAB II

Secara garis besar, elemen dibagi menjadi:

1. Elemen Satu Dimensi

2. Elemen Dua Dimensi

3. Elemen Selaput (shell)

4. Elemen Tiga Dimensi

5. Elemen Simetri-aksial

Masing-masing jenis elemen diatas masih dapat dikembangkan lagi menurut

kebutuhan, antara lain jenis struktur dan ketelitian yang diinginkan.

2.1.3.1 Fungsi Interpolasi Dan Integrasi Numerik Garis Elemen

Dengan sebuah elemen perpindahan u = (uxuy)T

diperoleh dari diskretisasi

nodal bernilai vectorv = (v1v2.. vn) T

menggunakan fungsi interpolasi menghimpun di

matriks N:

u = N v (2.1)

Fungsi interpolasi N digunakan untuk menginterpolasi nilai di dalam ber-

dasarkan nilai yang diketahui di nodal dan juga menunjukan fungsi bentuk. Pertama

anggapan adalah elemen garis. Elemen garis merupakan basis dari distribusi pem-

bebanan vertikal di bidang datar di model 3D.

Saat posisi ξ merupakan poin yang biasanya poin tegangan diketahui bisa ditulis

Perpindahan komponen u:

u (ξ) = ∑ ( ) vi (2.2)

Gambar 2.3 Fungsi Bentuk Dari 3 Nodal Garis Elemen

Sumber: Anonim, 2001. b:3-1

2.1.3.2 Integerasi Numerik Garis Elemen

Metode yang digunakan pada program ini menggunakan Integrasi Gauss,

dimana posisi ξ dan berat wi dipilih dengan cara khusus untuk memperoleh keakuratan

tinggi. Untuk interasi Gauss fungsi polynomial pangkat 2k-1 bisa di integrasi dengan

menggunakan poin k. catatan bahwa jumlah factor berat merupakan kesamaan menuju 2

Page 5: BAB II

yang kesamaan panjang dari garis di koordiant local. Tipe dari integrasi digunakan

untuk 3 nodal garis elemen di PLAXIS merupakan abu-abu gelap.

Tabel 2.1 Integrasi Gauss

ξi wi max. polyn. degree

1 point 0.000000… 2 1

2 points ±0.577350…(±1/√3) 1 3

3 points ±0.774596…(±√0.6) 0.55555… (5/9) 5

0.000000… 0.88888… (8/9)

4 points ±0.861136… 0.347854… 7

±0.339981 0.652145…

5 points ±0.906179 0.236926… 9

±0.538469 0.478628…

0.000000… 0.568888…

Sumber: Anonim, 2001. b:3-3

2.1.3.3 Struktur Elemen

Struktur elemen pada program PLAXIS 3D Tunnel merupakan plat dan geogrid

dan menghubungkan didasarkan oleh 8 nodal quadrilateral elemen. Geogrid elemen

tidak berbeda dari 8 nodal quadrilateral elemen, memiliki delapan nodal dan 3 per-

pindahan pangkat per nodal (ux, uy, uz).

Gambar 2.4 Jumlah Dan Posisi Nodal Dan Integrasi Poin Dari 8 Nodal Elemen Plat

Sumber: Anonim, 2001. b:3-7

2.2 Hidrolika Terowongan

Aliran air yang melewati terowongan memiliki kondisi yang berbeda-beda, dan

dapat dikelompokkan dua kondisi yaitu bebas dan tekan. Pada kondisi bebas yaitu aliran

yang melewati terowongan seperti pada salluran terbuka.

Page 6: BAB II

2.2.1 Aliran Bebas (free flow)

Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka

air di waduk (H) ≤ 1,5 diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit yang

lewat pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila aliran

adalah subkritis.

Gambar 2.5 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

Aliran bebas melalui terowongan memiliki tinggi muka air yang beragam pada

perencanaan alternatif desain terowongan headrace menganalisa tinggi muka air pada

dimensi ¼, ½, dan ¾ terhadap diameter terowongan.

2.2.2 Aliran Tekan (Pressure Flow)

Diasumsikan bahwa aliran tekan ini akan terjadi bila tinggi air di waduk (H) >

1,5 diameter pengelak (D)

Gambar 2.6 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak Pada Aliran Tekan

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

Page 7: BAB II

2.3 Geologi Teknik

Ilmu batuan (geologi) yang berhubungan dengan disiplin ilmu keteknikan sipil

merupakan definisi geologi teknik, pada ilmu geologi teknik memiliki penggolongan

batuan, berdasarkan warnanya, kekerasannya, kandungan kimianya, kandungan fosil, u-

murnya, dan masih banyak lagi. Salah satu pengklasifikasian batuan yang banyak

manfaatnya bagi para pakar ilmu pengetahuan tentang bumi ialah berdasarkan cara

terbentuknya, dan juga berdasarkan material yang dikandungnya.

2.3.1 Pelapukan Batuan

Pada perencanaan terowongan diperlukan klasifikasi geologi yang tepat

sehingga dapat menentukan jenis geologi, karena berpengaruh terhadap hasil

pembebanan pada terowongan. Pada penentuan pelapukan acuan yang dipakai untuk

menentukan tingkat pelapukan batuan adalah British Standard (BS 5930, 1981) dengan

batasan batuan dan batuan adalah tingkat pelapukan moderat (MW). Untuk tingkat

pelapukan mulai dari F sampai MW diperlukan sebagai batuan, sedangkan batuan

dengan tingkat pelapukan MW sampai RS dianggap batuan.

Tabel 2.2 Klasifikasi Tingkat Pelapukan Batuan (BS5930,1981)

Term Description Grade

F- Fresh/Segar

Tidak menunjukkan tanda-tanda pelapukan pada material batuan,

dapat juga ditemui terjadinya perubahan warna pada permukaan

diskontinutas.

I

SW - Slightly

Weathered/Lapuk

Ringan

Perubahan warna yang menunjukkan pelapukan material batuan

terjadi pada permukaan diskontinuitas. Dapat terjadi perubahan

warna pada semua material batuan oleh pelapukan.

II

MW -

Moderately

Weathered /

Lapuk Moderat

Kurang dari setengah material batuan terdekomposisi atau ter

desintegrasi menjadi batuan. Batuan segar yang tidak mengalami

perubahan warna ditemui pada rangka batuan atau inti batuan.

III

HW - Highly

Weathered /

Lapuk Lanjut

Lebih dari setengah material batuan terdesintegrasi atau

terdekomposisi menjadi batuan. Batuan segar yang tidak mengalani

perubahan warna ditemui pada rangka batuan atau inti batuan.

IV

CW - Completely

Weathered /

Lapuk Sempurna

Seluruh material batuan tedekomposisi atau terdesintegrasi menjadi

batuan. Struktur massa asli batuan masih terlihat. V

RS - Residual

Soil / Batuan

Residu

Semua material batuan terkonversi menjadi batuan. Massa struktur

dan fabrik material telah mengalami kerusakan. Terjadi perubahan

volume akan tetapi batuan belum tertransportasi.

VI

Sumber: Anonim, 2012. b:4-10

Page 8: BAB II

2.3.2 Karakteristik Batuan

Setiap batuan memiliki karakteristik tersendiri dengan besaran gaya aksial yang

dihasilkan pada kedalaman tertentu, Berdasarkan cara terbentuknya batuan dibedakan

menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Batuan beku ( Igneuous Rock )

b. Batuan sedimen ( Sedimentary Rock )

c. Batuan metamorf ( Metamorphie Rock )

Jenis tersebut masih memiliki tipe batuan yang bermuara pada 3 jenis batuan

berdasarkan diatas, pada ilmu geologi teknik tipe batuan memiliki kekuatan gaya aksial

yang berbeda-beda pada proses perhitungan desain terowongan memiliki pengaruh yang

besar pada faktor pembebanan (load Factor). Pada buku Tunneling In Weak Rock

menjelaskan besara gaya aksial berdasarkan tipe batuan.

2.3.3 Penentuan Parameter Batuan

2.3.3.1 Rock Quality Designation (RQD)

Sesuai dengan Deere (1967), kualitas inti pemboran (Rock Quality Designation

– RQD) didefinisikan sebagai prosentasi panjang kolektif contoh batuan padat yang

terambil oleh pemboran inti dengan panjangnya lebih dari 100 mm terhadap panjang

pemboran tiap pengambilan. Klasifikasi kualitas inti pemboran tersebut seperti pada

Table 4.13 berikut ini:

Tabel 2.3 Klasifikasi kualitas inti pemboran (RQD)

Klasifikasi Kualitas RQD (%) Frekuensi pecahan

batuan / meter

Very Poor / Sangat jelek 0 – 25 Lebih dari 15

Poor / Jelek 25 – 50 15 – 8

Fair / Cukup 50 – 75 8 – 5

Good / Bagus 77 – 90 5 – 1

Exellent / Istimewa 90 - 100 Kurang dari 1

Sumber: Anonim, 2012. b:4-10

2.3.3.2 Geological Strenght Index (GSI)

GSI dipublikasikan oleh Hoek (1995) yaiut sstem untuk menilai kekuatan batuan

berdasarkan reduksi kekuatan batuan dari struktur rekahan dan kondisi permukaan intact

rock. Pada penggunaan GSI ini adalah input mencari konstanta pada criteria keruntuhan

Hoek-Brown dengan menggunakan rumus:

(

)

(2.3)

Page 9: BAB II

Dengan mengetahui σci dan nilai mb maka dapat disusun grafik tegangan σ1

terhadapa tegangan σ3 menggunakan persaman Hoek-Brown. Grafik tersebut akan

menunjukan persamaan berikut:

σ1’ = σcm + k σ3’ (2.4)

kemudian dari nilai σcm dan k diatas, sudut geser dan kohesi dapat ditemukan

dengan persamaan:

( )

( ) (2.5)

( ( ))

( ( )) (2.6)

Nilai GSI ditentukan berdasarkan tabel dibawah ini:

Tabel 2.4 Karasteristik Geological Strength Index (GSI) untuk Batuan

Sumber: Hoek, E., Torres, C.C., Corkum, B. (2002):13

Page 10: BAB II

Untuk nilai mi diperoleh dari tabel konstanta batuan menurut Hoek-Brown

seperti pada tabel sebagai berikut:

Tabel 2.5 Nilai mi untuk Intact Rock

Sumber: Hoek, E., Torres, C.C., Corkum, B. (2002) : 7

Tabel 2.6 Klasifikasi Nilai Rock Mass Rating (RMR)

Sumber: Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:42

Page 11: BAB II

Tabel 2.7 Nilai Rata-Rata Besaran Kekakuan Unaxial (qc) Batuan Diukur Dari Sampel Berdiameter 50 mm (Palmstorm, 2000)

Type of Rock qc (Mpa) Type of rock

qc

(Mpa) Type of rock

qc

(Mpa) Type of rock qc (Mpa)

Andesite (I) 150 Granite (I) 160 Marble (M) <100> Shale (S,M) 95

Amphibolite (M) <160> Granitic Gnesis (M) 100 Micagneiss (M) 90 Silstone (S,M) <80>

Augen Gnesis (M) 160 Granodiorite (I) 160 Micaquartzite (M) 85 Slate (M) <190>

Basalt (I) 160 Granulite (M) <90> Micaschist (M) <80> Syenite (I) 150

Clay Schist (S,M) 55 Gneiss (M) 130 Phylite (M) <50> Tuff (S) <25>

Diorite (I) 140 Greenschist (M) <75> Quartzite (M) <190> Ultrabasic (I) <160>

Delorite (I) 200 Greenstone (M) 110 Quartzitic Phy. (M) 100 Clay (Hard) 0.7

Dolomite (S) <100> Greywacke (M) 80 Rhyolite (I) 85 (?) Clay (Stiff) 0.2

Gabbro (I) 240 Limestone (S) 90 Sandstone (S,M) <100> Clay (soft) 0.03

Serpentine (M) 135 Silt, san (approx) 0.0005

Notes: (I) = Batuan Beku (igneous); (M) = Metamorphic; (S) = Sedimentary; <> Large Variation

Sumber: Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:70

Page 12: BAB II

2.4 Penentuan Koefisien Gempa

Desain suatu bendungan tipe urugan yang menahan air dalam volume yang besar

harus mempertimbangkan faktor keamanan terhadap pengaruh kegempaan. Untuk itu

nilai koefisien gempa suatu daerah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

k = g

Ad

(2-7)

dimana,

k = koefisien gempa

Ad = percepatan gempa terkoreksi (cm/det2)

g = percepatan gravitasi (cm/det2)

sedangkan,

Ad = z . Ac . v (2-8)

dimana,

z = koefisien zona (Gambar 2.19)

Ac = percepatan gempa dasar (gal) (Tabel 2.15)

v = faktor koreksi (Tabel 2.16)

untuk menentukan nilai Ac dan v diatas, diperoleh dari tabel berikut:

Tabel 2.8. Percepatan Gempa Dasar untuk Berbagai Periode Ulang

T

(Tahun)

Ac

(gal)

10

20

50

100

200

500

1000

5000

10000

90

120

160

190

220

250

280

330

350

Sumber: Analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa, 2004

Page 13: BAB II

Tabel 2.9. Faktor Koreksi Pengaruh Jenis Tanah / Batuan

Jenis Batuan Dasar Faktor Koreksi(v)

Batuan

Dilluvium

Alluvium

Alluvium lunak

0,8

1,00

1,10

1,20

Sumber: Analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa, 2004

Gambar 2.7. Peta zona gempa Indonesia

Sumber: Peta Zona Gempa Indonesia Sebagai Acuan Dasar Perencanaan Dan

Perancangan Bangunan, 2005

2.5 Teori Pembebanan Terzaghi

2.5.1 Umum

Teori ini bisa menjadi usaha pertama yang sukses di klasifikasi batuan pada

pekerjaan keteknikan. Terzaghi (1946) mengusulkan bahwa factor beban batuan Hp

adalah tinggi dari zona kelenturan diatas atap terowongan seperti pembebanan

lengkungan baja. Faktor beban batuan ini diperkirakan oleh Terzaghi dari 5,5 meter luas

lengkungan baja mendukung sepanjang terowongan di pegunungan alpen selama abad

dekat ini (Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:25)

Page 14: BAB II

2.5.2 Klasifikasi Batuan

Terzaghi (1946) menganggap struktur dari batuan tidak berkelanjutan dan

klasifikasi dari semua secara kualitatif dijadikan dalam 9 kategori seperti pada tabel

2.10 Pengalaman yang panjang dari perencanaan di Himalaya ditunjukkan bahwa istilah

penekanan batuan adalah kondisi tekanan batuan. Ini karena penggabungan dan batuan

yang lemah mengakibatkan kegagalan di muatan tegangan tinggi dan tekanan menuju

terowongan.

Tabel 2.10 Klasifikasi Batuan Menurut Terzaghi

Kelas Batuan Jenis Batuan Definisi

I Hard and Intact

Batuan unweathered. Mengandung sendi atau retak rambut. Jika

retak, rusak di batu masih utuh. Setelah penggalian, batu itu

mungkin memiliki beberapa kegagalan dan pecahana acatap akibat kegagalan. Pada tegangan spontan yang tinggi, pecahan lempengan

batu dapat terjadi dari samping atau atap. Kekuatan tekan bebas

sama dengan atau lebih dari 100 MPa.

II Hard stratified and schistose Batu yang keras dan berlapis. Lapisan ini biasanya banyak terpisah. Batu tersebut mungkin atau tidak memiliki bidang yang lemah.

Dalam batuan tersebut, terjadi pecahan adalah sangat umum.

III Massive, moderately jointed

Jointed Rock, memiliki banyak ruang yang luas sambungan

mungkin atau tidak bisa disemen. Hal itu juga mungkin berisi retak rambut tapi blok besar antara sambungan sangat erat saling

bertautan sehingga dinding vertikal tidak memerlukan dukungan lateral. pecahan mungkin dapat terjadi

IV Moderately blocky and seamy

Sambungan dengan ruang yang pendek. Blok berukuran sekitar 1

m. Batu tersebut bisa lunak atau keras Pada sambungan mungkin

atau tidak dapat diperbaiki tetapi saling mengunci sangat erat dan tidak ada tekanan samping yang diberikan

V Very blocky and seamy

Sambungan dengan jarak saling berdekatan. Ukuran blok kurang

dari 1 m. Terdiri dari fragmen batuan yang hampir utuh secara kimiawi yang seluruhnya terpisah satu sama lain dan saling

bertautan sempurtna. Dinding vertikal mungkin memerlukan

dukungan.

VI Completely crushed but chemically Terdiri dari batu masih utuh secara kimiawi yang bersifat agregat crusher-run. Belum ada saling mengunci. Tekanan samping yang

diharapkan pada dukungan terowongan.

VII Squeezing rock - moderate depth

Squeezing adalah proses mekanik dimana batu tersebut menekan terowongan tanpa peningkatan yang jelas dalam volume.

Kedalaman yang cukup adalah istilah relatif dan mungkin antara

150-1000 m.

VIII Squeezing rock - great depth Squeezing lebih dari 150 m. Kedalaman terowongan maksimum

yang disarankan adalah 1000 m.

IX Swelling rock

Pembengkakan dikaitkan dengan perubahan volume dan akibat

perubahan kimia batu itu, biasanya di hadapan kelembaban dari udara dan membengkak. Batuan yang mengandung mineral

membengkak seperti monmorilonit, ilit, kaolinit dan lain-lain dapat

mengembang dan mengerahkan tekanan berat pada batuan pendukung.

Sumber: Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:26

Page 15: BAB II

2.5.3 Faktor Pembebanan Batuan

Terzaghi (1946) mengkombinasi hasil percobaan pintu penangkapan dan

perkiraan pembebanan batuan dari terowongan Alpine untuk menghitung faktor

pembebanan batuan Hp dengan istilah lebar terowongan B dan tinggi terowongan Ht

dari kelenturan batuan diatas terowongan dapat dilihat pada gambar 2.8, dimana

pembebanan seperti lengkungan baja.

Untuk memperoleh tekanan, pendukung vertikal dari factor pembebanan Hp,

Terzaghi menyimpulkan pada gambar 2.9. Dimana Pv mendukung tekanan, y adalah

satuan berat dari batuan dan Hp adalah tinggi kelonggaran diatas terowongan yang

membebani. Batasan teori Terzaghi adalah mungkin tidak dapat diterapkan untuk

terowongan lebih lebar 6 m.

System klasifikasi Terzaghi modifikasi diperkenalkan RQD sebagai satu-satunya

pengukuran kualitas batuan . System ini unggul diantara ledakan dan mesin penggalian

terowongan dan pengajuan garis penuntun untuk mengatur baja yang diseleksi dan

batuan yang terkunci mendukung diameter 6 dan 12 m terowongan di batuan.

Gambar 2.8 Diagram pembebanan Terowongan

Sumber: Anonim, 2014

Page 16: BAB II

2.5.4 Batasan

Terzaghi sudah mendekati kesuksesan penggunaan pada abad 20 ketika

penggalian konvensional dan metode peledakan penggalian dan lengkungan baja men-

dukung pekerjaan di terowongan yang dipersamakan ukurannya. Menurunkan kekuatan

batuan diatas atap terowongan. Tinggi zona kelonggaran disebut “coffin cover”,

tindakan seperti beban mati yang mendukung. Cecil (1970) menyimpulkan bahwa klasi-

fikasi Terzaghi tidak menyediakan informasi kuantitatif sehubungan dengan sifat

batuan. Disamping semua batasan itu, kegunaan yang bernilai besar dari Terzaghitidak

bisa dihindarkan dan metode ini masih mendapati aplikasi dibawah kondisi sama untuk

yang lain yang dikembangkan.

Dengan kedatangan Metode Terowongan Austria (NATM) dan Metode

Terowongan Norwegia, meningkatkan penggunaan pembuatan control peledakan dan

mesin teknik penggalian serta mendukung pekerjaan penulangan baja beton dan kuncian

batu.

2.5.5 Teori Modifikasi Terzaghi Terowongan

Singh (1995) telah membandingkan pendukung mengukur tekanan terowongan

dengan teori pembebanan batuan Terzaghi dan ditemukan bahwa tekanan pendukung di

terowongan batuan tidak meningkatkan secara langsung dengan ukuran penggalian se-

perti dugaan terzaghi dan lainnya terutama perilaku pembebanan batuan, kekasaran

persendian dan pencegahan kelonggaran batuan dengan mengembangkan teknologi

pada terowongan. Mereka berikutnya sudah merekomendasi jarak batas tekanan yang

masih diinginkan penggunaan pembebanan Terzaghi. Mereka mengkaji bahwa tekanan

pendukung mendekati ukuran kebebasan yang terbuka.

Hal ini menarik untuk dicatat untuk direcomendasikan pendukung tekanan pada

atap ternyata berubah menjadi sama seperti perolehan dari pembebanan batuan Terzaghi

ketika B dan HT telah diganti sebesar 5.5 m perkiraan tekanan pendukung atap dari tabel

2.5.Didapati perbandingan dengan pengukuran nilai yang mengindahkan ukuran bukaan

dan kondisi batuan (Singh et all 1995). Mereka sudah lebih maju memperhatikan

bahwa pendukung tekanan seperti meningkatkan langsung dengan luasan penggalian

untuk penampang terowongan dengan berterus-terus muka retak di zona geser.

Liat tebal penuh kesalahan menipu.serpih liat lemah dan berjalan atau mengalir

kondisi batuan di mana saling blok kemungkinan akan hilang atau di mana kekuatan

sendi hilang dan irisan batu yang dibiarkan jatuh karena konvergensi atap berlebihan

karena dukungan tertunda di luar berdiri waktu. Dapat dicatat bahwa terowongan yang

Page 17: BAB II

lebih luas memerlukan mengurangi jarak baut atau lengkungan baja dan lapisan tebal

karena beban batu meningkat langsung dengan penggalian bahkan jika tekanan

dukungan tidak meningkat dengan ukuran terowongan.

Tabel 2.11 Faktor-faktor batuan yang diperlukan dalam penentuan pembebanan diatas

Terowongan

Sumber: Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:29

Page 18: BAB II

2.5.6 Pembebanan Pada Terowongan

Perletakan Terowongan berada di dalam batuan aktif maupun pasif akan

mengalami gaya-gaya yang bekerja pada terowongan tersebut, gaya yang bekerja

disebut dinamakan pembebanan. Secara umum pembebanan yang terjadi pada

terowongan adalah:

1. Tekanan batuan vertikal dan horizontal

2. Tekanan luar air dari samping (External Horizontal Water Pressure)

3. Tekanan air dalam terowongan (Internal Water Pressure)

4. Berat konstruksi terowongan sendiri (Selfweight Pressure)

5. Tekanan air bawah (Uplift Pressure)

Gambar 2.9 Konsep Pembebanan Batuan Di Terowongan

Sumber: Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:27

2.5.6.1 Tekanan Batuan Vertikal dan Horizontal

A. Tekanan Batuan Vertikal

Massa batuan bekerja secara vertical berada di atas terowongan dengan

menganggap sebagai beban merata sepanjang B (lebar Terowongan). Besarnya gaya

yang bekerja dirumuskan:

P= γbatuan. Hp (2.9)

Dimana

Page 19: BAB II

Hp = tinggi batuan/batuan yang membebani dan tergantung pada

jenis batuan di atas terowongan (m)

γbatuan = berat jenis batuan (t.m-3

)

Gambar 2.10 Pembebanan Batuan secara vertikal (Terzaghi Theory)

Sumber: Anonim:2014:12

B. Tekanan Batuan Horizontal

Massa batuan bekerja secara horizontal akibat adanya tekanan batuan aktif yang

bekerja pada sisi kiri dan kanan penampang melintang terowongan bentuk tekanan

dapat dilihat pada gambar 2.7 no 6. Besarnya gaya yang bekerja dirumuskan menurut

terzaghi:

Ph = 0.3.γbreksi (0.5m+Hp) (2.10)

Ka = tan2

(45o-

) (2.11)

Dengan: Ka = Koefisien tekanan batuan aktif

H = Tinggi Tekanan Batuan (m)

Φ = sudut geser batuan

γbreksi = berat jenis batuan (t.m-3

)

Pada kondisi Gempa yang mengakibatkan tekanan tanah vertikal menjadi

horizontal digunakan nilai koefisien tanah aktif gempa sebagai berikut:

Page 20: BAB II

Kae = cos2( - - )

cos .cos2 .cos( + + )[1+√sin( + ).sin( - - )

cos( + + ).cos( - )]

2 (2-12)

dimana:

= tan -1k (k=kh

1-kv)

kh = koefisien gempa horizontal

kv = koefisien gempa vertikal

= sudut geser antara tanah dengan dinding penahan

2.5.6.2 Tekanan Luar Air Dari Atas dan Samping (External Horizontal Water

Pressure)

Daerah lokasi perencanaan terowongan berada didalam batuan dengan kondisi

terdapat Air Tanah yang terkandung, Air Tanah memiliki tekanan yang mempengaruhi

terowongan, pada tekanan ini air bekerja secara horizontal dari sisi kanan dan kiri

terowongan seperti pada gambar 2.6 diatas pada nomor 5. Besar tekanan yang terjadi

dapat dihitung dengan rumus:

Pwh = γW.HT (2.13)

dengan Pwh = Tekanan air Samping (KN/m2)

γw = Berat Jenis air

HT = Tinggi Terowongan

2.5.6.3 Tekanan Air Dalam (Internal Water Pressure)

Terowongan Headrace sebagai fungsi penghubung air dari tampungan waduk

menuju pipa pesat, dengan letak kondisi berada di daerah tampungan mati maka dapat

diketahui kondisi air pada pipa merupakan aliran tekan. Dengan pertimbangan besaran

tinggi energy serta kehilangan energi melalui terowongan, menurut persamaan energi

+ α1

+ Z1=

+ α1

+ Z1 + hL (2.14)

Dimana nilai hL adalah head loss antara bagian 1 dan 2 dengan asumsi D1 = D2

sehingga V1 dan V2, z1 = z2 dengan aliran berkembang penuh ( α = α ) maka ∆P = P1

– P2 = γwhL (Hasbi, 2010 : 4)

Page 21: BAB II

Maka rumus perhitungan tekanan air dalam adalah

P = γW.He (2.15)

Dengan P = Tekanan akibat aliran air (t.m-2

)

ΓW = Berat jenis air (t.m-3

)

He = Tinggi energi pada aliran terowongan (m)

2.5.6.4 Berat Konstruksi Terowongan Sendiri (Selfweight Pressure)

Konstruksi yang terbuat dari beton mempunyai berat sendiri yang dianggap

sebagai beban merata berarah vertikal. Gaya ini berada di bawah dinding sebelah

bawah. Berikut gambar berat sendiri:

Gambar 2.11 Pembebanan Akibat Berat Terowongan Sendiri

Sumber : Philips, H.B., & Allen, I.E. 1986:32

Gaya ini dirumuskan:

P = [

]γbeton (2.16)

Dengan D = diameter luar terowongan (m)

d = diameter dalam terowongan (m)

γbeton = berat isi beton (t.m-3

)

Bo = Lebar Terowongan (m)

Page 22: BAB II

2.5.6.5 Tekanan Air Bawah (Uplift Pressure)

Perencanaan terowongan yang berada di dalam batuan yang mengandung air,

maka tidak lepas dengan gaya angkat air (uplift) yang besarnya dapat dihitung dengan

mengetahui tinggi air di luar terowongan dilihat pada gambar 2.6 nomor 8. Rumus

perhitungan berikut:

P = γw.He (2.17)

Dengan P = Tekanan akibat aliran air (t.m-2

)

γw = Berat jenis air (t.m-3

)

He = Tinggi energi pada aliran terowongan (m)

2.6 Perhitungan Mekanika Konstruksi Pada Terowongan

Pada buku Beggs Deformation analysis of single barrel conduit menjelaskan

konsep pembebanan terhadap bentuk terowongan serta menjelaskan koefisien-koefisien

yang mempunyai hubungan dengan beban-beban yang bekerja pada penampang

terowongan. Pada dijelaskan beberapa bentuk dari terowongan yang secara umum

sering digunakan, berikut macam-macam bentuk terowongan:

1. Bentuk A: Bentuk Tapal Kuda (Horseshoe) dengan bagian dalam bawah

horizontal

2. Bentuk B: Bentuk Lingkaran (Circular) dengan bagian luar bawah

horizontal (Horizontal Exterior Base)

3. Bentuk C: Bentuk Lingkaran (Circular) dengan bagian luar bawah

melengkung (curved exterior base)

4. Bentuk D: Bentuk Lingkaran (Circular) dengan bagian luar kotak

(Square exterior)

5. Bentuk E: Ketebalan seragam (Uniform Thickness) dengan bagian dasar

horisontal

6. Bentuk F: Ketebalan seragam dengan bentuk tapal kuda (Horseshoe)

7. Bentuk G: Gabungan antara bentuk B dan bentuk E

8. Bentuk: Lingkaran ketebalan seragamm

9. Bentuk: Kotak Ketebalan seragam

Page 23: BAB II

Dengan gambar detail dibawah ini:

Gambar 2.12 Bentuk Terowongan A, B dan C

Sumber: Philips, H.B., & Allen, I.E. 1986:7

Page 24: BAB II

Gambar 2.13 Bentuk Terowongan D, E dan F

Sumber: Philips, H.B., & Allen, I.E. 1986:8

Page 25: BAB II

Gambar 2.14 Bentuk Terowongan G, Persegi dan Lingkaran

Sumber: Philips, H.B., & Allen, I.E. 1986:9

Page 26: BAB II

Pada tabel Beggs Deformation analysis of single barrel conduit untuk

menentukan besaran momen, lintang, dan normal dengan tebal pembetonan (t)

disediakan t = ⁄ r , t = ⁄ r, dan ⁄ r dengan r merupakan jari-jari terowongan.

Untuk menentukan besarnya gaya momen yang bekerja pada dinding

terowongan dengan menggunakan persamaan.

M = km . W . r2 (2.18)

Dengan: M = Momen persatuan panjang pada segmen dinding (ton.m)

km = koefisien momen

W = Beban yang bekerja (ton.m-2

)

R = Jari-jari Terowongan (m)

Untuk menentukan besarnya gaya lintang menggunakan persamaan:

D = k . W . r (2.19)

Dengan D = Gaya lintang pada segmen dinding terowongan (ton)

K = Koefisien gaya lintang

Untuk menghitung gaya normal menggunakan persamaan sebagai berikut:

N = k. W. r (2.20)

Dengan N = Gaya Normal pada segmen dinding terowongan (ton)

K = koefisien gaya normal

Besaran koefisien dapat dilihat dari tabel yang disajikan Beggs Deformation

analysis of single barrel conduit hasil disetiap bentuk terowongan menghasilkan

koefisien yang berbeda, contoh koefisien pada terowongan bentuk A:

Tabel 2.12 Besaran Koefisien Momen Bentuk A

Thick t= r/2 t= r/3 t= r/6

Point M/vr2 T/vr S/vr M/vr2 T/vr S/vr M/vr2 T/vr S/vr

1 0.357 0.033 0.000 0.317 0.030 0.000 0.274 0.031 0.000

2 0.308 0.132 0.366 0.274 0.119 0.325 0.236 0.108 0.284

3 0.175 0.403 0.633 0.155 0.360 0.562 0.132 0.316 0.490

4 -0.006 0.773 0.727 -0.006 0.688 0.645 -0.008 0.605 0.562

5 -0.185 1.141 0.621 -0.165 1.015 0.551 -0.147 0.890 0.479

6 -0.312 1.408 0.343 -0.279 1.252 0.304 -0.246 1.096 0.262

7 -0.352 1.5 -0.033 -0.314 1.33 -0.030 -0.276 1.167 -0.031

8 -0.327 1.495 -0.132 -0.292 1.328 -0.120 -0.256 1.162 -0.110

9 -0.273 1.483 -0.230 -0.244 1.317 -0.209 -0.213 1.152 -0.190

10 -0.190 1.464 -0.328 -0.169 1.3 -0.297 -0.147 1.136 -0.268

11 0.042 0.157 -0.947 0.004 0.156 -0.915 -0.031 0.153 -0.882

12 0.261 0.051 -0.633 0.216 0.052 -0.612 0.174 0.050 -0.590

13 0.394 -0.012 -0.317 0.345 -0.010 -0.307 0.298 -0.010 -0.296

14 0.439 -0.033 0.000 0.388 -0.030 0.000 0.340 -0.031 0.000

Sumber: Philips, H.B., & Allen, I.E. 1986, 1986: 10

Page 27: BAB II

2.6.1 Mekanika Terowongan Pada Pembebanan Vertikal

Tabel Beggs Deformation analysis of single barrel conduit menyediakan

koefisien momen yang disediakan pada pembebanan vertical, berikut nilai koefisien

beserta gambar:

Gambar 2.15 Koefisien Pembebanan Vertikal seragam dan reaksi pondasi seragam

Gambar 2.16 Koefisien Pembebanan Vertikal berbujur dan reaksi pondasi seragam

Gambar 2.17 Koefisien Pembebanan berat sendiri

Page 28: BAB II

Gambar 2.18 Koefisien Pembebanan Tekanan dari Dalam

Gambar 2.19 Koefisien Pembebanan Tekanan Berat Air Penuh

2.6.2 Mekanika Terowongan Pada Pembebanan Horisontal

Gambar 2.20 Koefisien Pembebanan Horisontal Seragam

Page 29: BAB II

Gambar 2.21 Koefisien Pembebanan Horisontal Segitiga

2.7 Penulangan Konstruksi Dinding Terowongan

Metode yang digunakan adalah metode elastis dimana tidak boleh ada retakan

yang terjadi pada konstruksi.Metode ini sangat cocok digunakan untuk bangunan-

bangunan air karena dapat mencegah rembesan air. Pelaksanaan konsturksi antara lain

membangun conduit pengelak setelah penggalian lapisan colufial hingga mencapai

tanah keras, setelah proses pembetonan conduit selesai, dilanjutkan dengan grouting di

bawah conduit.

Pedoman yang digunakan dalam perhitungan penulangan adalah peraturan

standar perencanaan beton bertulang SNI03-2847-2002.Pada metode ini struktur

direncanakan berdasarkan beban kerja. Adapun langkah-langkah perencanaan beton

bertulang / penulangan pada pelat adalah sebagai berikut :

1. Merencanakan mutu beton (fc’) dan mutu baja (fy) yang akan digunakan sesuai

dengan kondisi dari suatu konstruksi.

2. Menghitung pembebanan yang bekerja pada dinding terowongan, baik beban

mati maupun beban hidup.

3. Menentukan tebal pembetonanterowongan (t) dan tebal efektif (d) beton

(direncanakan dan disesuaikan dengan tebal penutup beton).

4. Menghitung statika pembebanan dan momen yang terjadi pada konstruksi

terowongan berdasarkan teori Column Analogy.

5. Memilih diameter tulangan

Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan luas tulangan pelat (buku grafik dan

tabel perhitungan beton bertulang W.C Vis D Gideon K. 1993), dengan syarat

luasan yang dipakai harus lebih besar dari luas perlu hasil perhitungan.

6. Kontrol gaya berdasarkan jenis penulangan yang menentukan.

Page 30: BAB II

2.7.1 Elemen Struktur Pada Teori Column Analogy

Analisa yang dialkukan terowongan pengelak berikut menggunakan asumsi teori

dasar regangan bidang (plane strain action).Sedangkan untuk perhitungan dan analisa

pembebanan, distribusi momen, pemodelan statika pada struktur terowongan, serta

perilaku perpindahannya (displacement) mengacu pada teori Column Analogy.

Teori Column Analogy digunakan untuk menganalisis suatu bentukan plane

frame lengkung tertutup, dimana strukturnya termasuk statis tak tentu dengan derajat

kurang dari tiga. Analisa yang digunakan adalah metode gaya, dengan suatu redundant

dipilih pada suatu titik yang disebut clastic center, dan menyertakan perhitungan seperti

pada analisa column cross secction tertekan, guna mengkombinasikan gaya momen

yang terjadi dengan gaya normalnya. (Ghali, 2003)

Pada kasus biasa teori Column Analogy ini pada umumnya digunakan untuk

menghitung gaya tekan atau tegangan dalam pada balok dan tumpuan, namun pada

kasus-kasus khusus seperti dalam pembahasan ini dapat juga digunakan untuk

menganalisa struktur bidang elastis, menghitung efek deformasi yang disebabkan oleh

longitudinal stress dan gaya geser pada batang yang membingkai dan pada batang-

batang rangka.

Langkah-langkah dengan menggunakan metode Column Analogy ini adalah

sebagai berikut:

1. Dari sistim statis tak tentu pilih sistim dasar dan gaya redundant.

2. Hitung momen akibat bebanpada sistim dasar (Mq).

3. Buat penampang kolom analogi dengan geometri sama dengan geometri struktur

dan tebal berbanding terbalik dengan EI.

4. Hitung besaran-besaran penampang kolom analogi (A,Ix,Iy,Ixy).

5. Jadikan diagram momen akibat beban dibagi EI sebagai “beban” kolom analogi

dan hitung tegangan yang ditimbulkan. Sebut tegangan ini Mg.

6. Diagram momen akhir adalah M = Mq – Mg

Perjanjian tanda:

Beban pada kolom analogi tekan jika Mq bertanda positif (menyebabkan serat

luar tertekan)

Tegangan tekan pada kolom analogi identik dengan Mg positif dan sebaliknya

tegangan tarik identik dengan Mg negatif

Tanda momen akhir sama dengan tanda Mq

Tabel 2.13 Persentase Tulangan Minimum (ρmin)

Page 31: BAB II

Fγ (Mpa)

F'c (Mpa)

15 20 25 30

240 0.0025 0.0029 0.0032 0.0035

400 0.0015 0.0017 0.0019 0.0021

Sumber: Vis. W.C., & H. Kusuma, Gideon. 1996: 51

Tabel 2.14 Persentase Tulangan Maximum (ρmax)

Fγ (Mpa)

F'c (Mpa)

15 20 25 30

240 0.0242 0.0323 0.0404 0.0484

400 0.0122 0.0163 0.0203 0.0244

Sumber: Vis. W.C., & H. Kusuma, Gideon. 1996: 51

2.7.2 Kombinasi Aksial dan Lentur

Dalam perencanaan menggunakan column analogy ini, plat yang membentuk

konstruksi terowongan ini dibagi dalam beberapa bagian (section) untuk mempermudah

dalam perencanaan baik analisis maupun penulangannya. Analisa perencanaannya

mengacu pada dua kondisi, yaitu:

1. Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara konsentrik

Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara konsentrik terbagi atas komponen

sumbangan beton dan sumbangan baja, yaitu sebagai berikut : (Iswandi Imran, 2000)

Pc = 0,85fc’ (Ag – Ast) (2.21)

Ps = fy Ast (2.22)

Keterangan:

Ast: luas total tulangan baja, yaitu As + As’

Ag: luas total penampang kotor

Penggunaan nilai 0,85 dalam perhitungan kekuatan kolom didasari atas adanya

perbedaan kekuatan tekan beton pada elemen struktur aktual terhadap kuat tekan beton

silinder, yaitu :

fco’ = 0,85fc’ (2.23)

2. Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara eksentrik

Prinsip blok tegangan persegi ekuivalan yang berlaku pada analisis balok dapat

juga diterapkan pada analisis kolom terhadap beban eksentrik. (Gambar 2.23)

Page 32: BAB II

Gambar 2.22 Analisa Kolom

Sumber: Vis. W.C., & H. Kusuma, Gideon. 1996

Regangan

εs = 0,003

(2.24)

εs’ = 0,003 –

(2.25)

Tegangan

fs’ = Es εs’ ≤ fy (2.26)

fs = Es εs ≤ fy (2.27)

Gaya Dalam

Cc = 0,85fc’ ≤ fy (2.28)

Cc = As’fs’ (2.29)

Ts = Asfs (2.30)

Persamaan keseimbangan untuk penampang kolom diisyaratkan sebagai berikut

(SNI 03-2847-2002)

Pn = Cc + Cs – Ts

= 0,85fc’ b a + As’ fs’ – As fs (2.31)

Mn = Pn e

= Cc ( ̅

) + Cs ( ̅ ) + Ts (d - ̅)

= 0,85.fc’.b.a ( ̅

) + As’.fs’ ( ̅ ) + As.fs (d - ̅) (2.32)

Pn = 0,85f’c b a

Untuk tulangan simetris A’s dapat diganti dengan As.

Karena a = Pn/0,85f’c b dan y = h/2 maka diperoleh:

Pn e = Pn (

) + As f y (d – d’)

Page 33: BAB II

Pn e =Pn (

) + As f y (d – d’)

– Pn (

) – As f y (d – d’) = 0

Jika

ρ = ρ’ = As/bd

Pn = 0,85f’cb[(

) √(

)

( )

]

Dan jika

m =

maka

Pn = 0,85 f’cbd [

√(

) (

)]

Dengan mengganti e (jarak antara pusat plastis dengan titik tangkap gaya)

dengan e’ (jarak antara tulangan tarik dengan titik tangkap gaya), maka rumus diatas

dapat juga ditulis sebagai:

Pn = 0,85 f’cbd [(

) √(

) (

)] (2.33)

Pada persamaan di atas, jarak netral c diasumsikan berada dalam daerah d

penampang sehingga tulangan baja pada lokasi d benar-benar mengalami gaya tekan,

dimana gaya aksial Pn tidak boleh lebih besar dari Pn maks. Dari persamaan di atas

dapat dilihat bahwa terdapat beberapa parameter yang tidak diketahui, yaitu tinggi blok

tegangan ekivalen (a), fs’, fs, dan Pn untuk e tertentu atau e untuk Pn tertentu. Nilai fs’

dan fs dapat dinyatakan dalam a, sehingga tinggal dua bilangan yang tidak diketahui,

yaitu a dan Pn atau a dan e.

Dengan dua persamaan yang ada, kita dapat memecahkan harga a dan e. Seperti

disebutkan sebelumnya, jenis keruntuhan yang dapat terjadi pada kolom pendek adalah

leleh tulangan tarik dan keruntuhan tekan, hal ini digunakan untuk menentukan jenis

tulangan yang menentukan. Kondisi balance tercipta jika keruntuhan terjadi bersamaan

pada tulangan tarik dan beton tekan. Jika Pu adalah beban aksial dan Pnb adalah beban

aksial yang berkaitan dengan keruntuhan balance, maka:

Pu < Pnb -> tulangan tarik menentukan

Pu = Pnb -> jenis keruntuhan balance

Pu > Pnb -> tulangan tekan menentukan

Prosedur analisis untuk penampang kolom adalah sebagai berikut:

Page 34: BAB II

1. Untuk Pu dan Mu yang bekerja pada penampang, hitung e =

2. Asumsikan rasio luas tulangan dengan luas penampangnya (antara 1%-8%)

3. Hitung Pnb untuk penampang yang diasumsikan tersebut dan tentukan jenis tulangan

yang menentukan.

4. Kontrol apakah penampang cukup memadai (aman dan ekonomis).

Asumsikan penampang baru jika penampang tidak memadai.

5. Desain tulangan lateral.

2.8 Deformasi Batuan

Perencanaan bangunan terowongan dengan dimensi besar yang terletak di dalam

tanah/batuan mengakibatkan perubahan bentuk (Deformasi) pada bangunan terowongan

serta batuan yang berada disekitar terowongan. Secara manual deformasi terowongan

dihitung dalam dua bagian yaitu:

2.8.1 Deformasi Batuan/Tanah Sekitar Terowongan

Faktor kedalaman tanah/batuan serta serta kualitas axial batuan sekitar

terowongan menjadi hal utama dalam penentuan nilai deformasi batuan (Mehotra 1992):

Ed = H0.2

x Q0.36

.GPa (2.34)

Dengan

H = Kedalaman Batuan/Tanah yang menutupi Terowongan (syarat >50m)

Q = Nilai Axial Batuan pada tabel 2.7 nilai rata-rata besaran kekakuan unaxial

2.8.2 Displacement Dinding Terowongan

Kegagalan batuan berhubungan dengan pelebaran volume sehingga

menghasilkan keretakan baru dan hasil akan meningkat konstan (Labasse 1949).

– ( )

– ( )

(2.35)

Dengan

a = Diameter Luar Terowongan

b = Zona retak

Penentuan nilai ua (opening Periphery) dengan rumus Goel 1994

(2.36)

Dengan

ua = Keliling bukaan terowongan

H = Kedalaman terowongan

K = Tegangan Batuan (Pv) dalam MPa

Page 35: BAB II

N = Rock Mass Number (N

) (Goel, 1995)

2.8.3 Deformasi pada Plaxis 3DTunnel

Pada aplikasi perangkat lunak Plaxis 3DTunnel untuk menghitung nilai

deformasi batuan serta displacement dinding terowongan menjadi satu paket yang

dihasilkan dalam perhitungan, dengan persamaan kontiunitas yang dijelaskan dalam

buku Scientific Manual Plaxis 3DTunnel menjelaskan persamaan kontiunitas deformasi:

LT σ + p = 0 (2.37)

2.9 Program Aplikasi Plaxis 3DTunnel

Program plaxis diciptakan pada tahun 1987 pada sebuah lembaga yang bernama

The technical University of Delfi atas inisiatif dari the Dutch Departement of Public

Works and Water Management. Pada awalnya pembuatan program ini dimaskudkan

untuk memberikan kemudahan tentang perhitungan dengan elemen hingga untuk

penanganan masalah tanggul sungai yang berada di batuan lunak didataran rendah.

Akan tetapi pada tahun berikutnya program plaxis sudah dapat digunakan untuk

menganalisis permasalahan geoteknik dengan metode elemen hingga. Dengan tujuan

untuk menyediakan program analisa yang praktis untuk digunakan di disiplin ilmu

geoteknik yang kurang mudah memahami analisa numeric (Anonim, 2001: I).

2.9.1 Penerapan Program Aplikasi Plaxis 3DTunnel

Program Plaxis 3D Tunnel merupakan paket elemen hingga geoteknik secara

khusu dimaksudkan untuk analisa deformasi tiga dimensi dan stabilitas di pekerjaan

terowongan. Aplikasi geoteknik memerlukan dasar yang canggih untuk model simulasi

dari non-linier,time-dependent, dan anisotoropic behavior dari batuan dan bantuan.

Batuan merupakan material yang memiliki banyak bentuk tahapan, prosedur yang tidak

biasa diperlukan untuk menyepakati adanya hidrostatis dan bukan termasuk hidrostatis

pada lubang yang bertekanan di batuan. Meskipun permodelan pada batuan merupakan

hal penting, banyak proyek terowongan melibatkan permodelan struktur dan interaksi

antara struktur dan batuan.

2.9.2 Penerapan Metode Elemen Hingga Pada Plaxis 3DTunnel

Pada program computer plaxis 3D Tunnel pada metode elemen hingga

menggunakan model 3 dimensi, pengguna sudah memahami konsep 3 dimensi dan

spesifikasi batasan elemen serta spesifikasi material. Untuk mengatur 3 dimensi pada

Page 36: BAB II

plaxis, pengguna harus terlebih dahulu mengatur bidang x-y, garis seberang vertikal

terdiri dari garis, point, dan komponen lain, dari hal tersebut sudah terbentuk 2 dimensi

untuk menuju 3 dimensi bentuk dari 2 dimensi di perbanyak secara parllel hingga

terdapat sumbu z, contoh dapat dilihat di gambar bawah ini.

Gambar 2.23 Tahapan Input 2D Hingga 3D Pada Plaxis 3DTunnel

Sumber: Anonim. 2001, 22

2.9.3 Modulus Kekakuan Pada Plaxis 3DTunnel

Plaxis 3DTunnel menggunakan modulus geser G sebagai modulus kekakuan

dasar dalam model Mohr-Coloumb. Parameter kekakuan ini berhubungan dengan

Modulus Young (E) yang ditunjukan pada persamaan diatas. Harga dari parameter

kekakuan memerlukan perhatian khusus karena banyak material tanah memiliki sifat

non-linier dibandingkan pada saat pembebanan awal.

Pada tes triaksial konvensional kemiringan awal dari hubungan tegangan

regangan biasanya disebut E0 dan secant modulus 50% kekakuan didefinisikan sebagai

E50. untuk tanah lempung yang highly over-cosolidated dan batuan dengan large linier

elastic range, sebaiknya menggunakan E50. Untuk pasir dan lempung normally

consolidated, lebih cocok menggunakan E50. Untuk beberapa tanah, initial modulus

dan secant modulus bertambah dengan meningkatnya tekanan keliling. Maka lapisan

tanah yang lebih dalam cenderung memiliki kekakuan yang lebih besar dibandingkan

lapisan yang lebih dangkal. Sifat material ini dapat dimodelkan dalam Advanced Mohr-

Coulomb.

Kekakuan yang diperoleh pada observasi tergantung stress path. Kekakuan

tanah hasil observasi dalam hal modulus geser atau modulus young pada umumnya

lebih rendah untuk tekan dibandingkan dengan geser. Maka jika menggunakan modulus

kekakuan yang konstan untuk memodelkan sifat tanah, sebaiknya dipilih nilai yang

Page 37: BAB II

sesuai dengan stress level dan stress path yang terbentuk. Untuk model standar Mohr-

Coulomb, penambahan linier dari modulus geser dengan kedalaman dapat dinyatakan

dengan cara sebagai berikut:

Ketika memasukkan nilai modulus geser yang negatif, maka modulus geser yang

dipakai oleh Plaxis 3DTunnel adalah hasil kali nilai modulus geser yang dimasukkan

dengan kohesi, yaitu:

Gaktual = -c Ginput

Apabila kohesi bertambah dengan bertambahnya kedalaman modulus gesernya

meningkat berbanding lurus dengan kedalaman.

2.9.4 Poisson Ratio pada Plaxis 3DTunnel

Pada tes triaksial undrained yang standar, untuk pembebanan aksial awal, dapat

mengakibatkan perubahan volume yang cukup besar. Sehingga harga awal dari poisson

ratio cukup kecil. Harga poisson ratio ini cukup kecil disebut harga elastik murni Vu.

Harga tersebut dapat digunakan pada kasus unloading. Tetapi secara umum ketika

menggunakan Mohr-Coulomb disarankan memakai harga yang lebih besar. Pemilihan

poisson ratio sangat sederhana dalam kasus gravity loading, dimana Plaxis 3DTunnel

memberikan ratio elastic dari Konc yaitu koefisien tekan tanah lateral untuk kedalaman

normally consolidated. Mohr-Coulomb model memberikan rasio yang cukup yang

cukup baik untuk one dimensional compression yaitu:

( ) (2.38)

Apabila Konc sudah didapat maka untuk memilih nilai poisson ratio dapat

dihitung dari persamaan diatas. Maka ν dapat dievaluasi dengan mencocokkan Konc.

Dalam beberapa kasus nilai poisson ratio antara 0,3-0,4.

2.9.5 Parameter Sudut Geser Pada Plaxis 3DTunnel

Sudut geser dinyatakan dalam satuan derajat dan merupakan penambahan dari

shear strength dengan stress level. Sudut geser yang besar, kadang ditemui pada dense

sand, yang cenderung menurun ketika tanah mengalami shear deformation yang terus-

menerus. Ketika sudut geser yang konstan digunakan pada model Mohr-Coulomb, lebih

cocok menggunakan ɸcr (sudut geser kritis) dibandingkan dengan nilai yang lebih besar

yang dihasilkan dengan regangan yang kecil. Selain itu menggunakan sudut geser yang

besar akan meningkatkan beban komputasi, sehingga waktu untuk mengeksekusi akan

meningkat secara eksponensial.

Page 38: BAB II

2.9.6 Parameter Kohesi Pada Plaxis 3DTunnel

Dimensi kohesi sama dengan dimensi tegangan. Plaxis 3DTunnel dapat

menangani material yang memiliki kohesi seperti pasir (c=0) tetapi tidak akan berjalan

dengan baik. Sebaiknya harga kohesi yang kecil untuk prosedur non linear pada Plaxis

3DTunnel agar lebih efektif. Harga c=1 kPa lebih cocok untuk digunakan pada

kebanyakan kasus. Perlu diperhatikan bahwa pada praktek di lapagan, material yang

tidak memiliki kohesi sama sekali kadang-kadang kita temui. Kohesi yang kecil

umumnya diperlukan untuk mencocokkan pengukuran shear strength dari tes triaksial

pada stress level yang berbeda-beda. Dari sudut pandang praktek di lapangan

menggunakan nilai kohesi yang kecil dapat dibenarkan. Pada undrained analysis, yaitu

analisis tegangan total pada material undrained (UU), kohesi dapat digunakan untuk

menyatakan undrained shear strength karena tidak ada sudut geser. Pada Plaxis

3DTunnel bisa menggunakan harga kohesi yang bertambah sesuai dengan

bertambahnya kedalaman yaitu dengan memasukkan nilai c-depth yaitu pertambahan

kohesi tiap unit kedalaman.

Perhatikan bahwa parameter efektif dari model harus dimasukan dalam set data

material, yaitu E′, ν′, c′, φ′ dan bukan Eu, νu, cu (su), φu.