BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Metode Elemen Hingga 2.1.1 Konsep Dasar Elemen Hingga Konsep yang mendasari metode elemen hingga (Finite Element Method / FEM) adalah membagi (discretize) sesuatu menjadi bagian-bagian kecil dan penyatuan secara keseluruhan yang kita banyangkan akan merupakan sesuatu yang berkesinambungan. FEM akan menganalisa pengaruh gaya, temperatur, aliran air atau angin yang besaran- besaran seperti deformasi, tegangan, temperatur, dan kecepatan air. Karakteristik distribusi pengaruh tersebut dalam suatu massa tergantung daripada karakteristik system gaya dan sistem massa itu sendiri (Hadipratomo, Winartni., & P. Raharjo, Paulus. 1985) Tujuan penggunaan FEM adalah untuk mendapatkan distribusi pengaruh - peng- aruh tersebut. Untuk memudahkan pengertian, baik kita gunakan istilah deformasi (u) untuk mengganti istilah pengaruh sedangkan untuk permasalahan yang lain dapat menggunakan istilah temperature (T) atau fluid head (). Anggapan bahwa distribusi deformasi u sulit dicari dengan cara konvensional dan perlu menggunakan FEM yang berdasarkan konsep “diskretisasi”. Kita bagi suatu massa atau sejumlah daerah-daerah kecil yang disebut “Finite Element” atau elemen hingga. Pada analisa tegangan deformasi dari massa tersebut dalam kesetimbangan akibat beban luar, pengamatan kepada elemen ini menyangkut penurunan dari hubungan beban kekakuan bahan. Untuk menurunkan hubungan ini kita gunakan hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang mempengaruhi massa itu. Karena tujuan utama adalah mencari distribusi dari u dengan menyatakan hukum-hukum dan prinsip-prinsip tadi dengan besaran u, hal ini dapat dicapai dengan memilih pola atau bentuk dari distribusi u tersebut atas sebuah elemen. Di dalam memilih bentuk tersebut kita harus mengikuti beberapa aturan, misalnya salah satu aturan mensyaratkan bahwa suatu massa yang dikenai beban agar bisa dianalisa tidak boleh mengalami pecah/putus disuatu daerah, dengan kata lain beban tersebut harus tetap berkesinambungan.
ALTERNATIF DESAIN KONSTRUKSI TEROWONGAN HEADRACE BENDUNGAN WARSAMSON KABUPATEN SORONG DENGAN METODE ELEMEN HINGGA 2D DAN 3D
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Metode Elemen Hingga
2.1.1 Konsep Dasar Elemen Hingga
Konsep yang mendasari metode elemen hingga (Finite Element Method / FEM)
adalah membagi (discretize) sesuatu menjadi bagian-bagian kecil dan penyatuan secara
keseluruhan yang kita banyangkan akan merupakan sesuatu yang berkesinambungan.
FEM akan menganalisa pengaruh gaya, temperatur, aliran air atau angin yang besaran-
besaran seperti deformasi, tegangan, temperatur, dan kecepatan air. Karakteristik
distribusi pengaruh tersebut dalam suatu massa tergantung daripada karakteristik system
gaya dan sistem massa itu sendiri (Hadipratomo, Winartni., & P. Raharjo, Paulus. 1985)
Tujuan penggunaan FEM adalah untuk mendapatkan distribusi pengaruh - peng-
aruh tersebut. Untuk memudahkan pengertian, baik kita gunakan istilah deformasi (u)
untuk mengganti istilah pengaruh sedangkan untuk permasalahan yang lain dapat
menggunakan istilah temperature (T) atau fluid head ( ). Anggapan bahwa distribusi
deformasi u sulit dicari dengan cara konvensional dan perlu menggunakan FEM yang
berdasarkan konsep “diskretisasi”. Kita bagi suatu massa atau sejumlah daerah-daerah
kecil yang disebut “Finite Element” atau elemen hingga.
Pada analisa tegangan deformasi dari massa tersebut dalam kesetimbangan
akibat beban luar, pengamatan kepada elemen ini menyangkut penurunan dari hubungan
beban kekakuan bahan. Untuk menurunkan hubungan ini kita gunakan hukum-hukum
atau prinsip-prinsip yang mempengaruhi massa itu. Karena tujuan utama adalah mencari
distribusi dari u dengan menyatakan hukum-hukum dan prinsip-prinsip tadi dengan
besaran u, hal ini dapat dicapai dengan memilih pola atau bentuk dari distribusi u
tersebut atas sebuah elemen. Di dalam memilih bentuk tersebut kita harus mengikuti
beberapa aturan, misalnya salah satu aturan mensyaratkan bahwa suatu massa yang
dikenai beban agar bisa dianalisa tidak boleh mengalami pecah/putus disuatu daerah,
dengan kata lain beban tersebut harus tetap berkesinambungan.
Gambar 2.1 Contoh Distribusi Perpindahan “u”
Sumber: Hadipratomo, Winarni, & Paulus, P. Raharjo. 1985:2
2.1.2 Tahapan Penggunaan Metode Elemen Hingga
Perumusan dan penerapan FEM dianggap terdiri beberapa langkah dasar,
langkah tersebut akan dibahas secara umum dengan maksud untuk mempersiapkan
kepada pengertian yang lebih detail, sesuai dengan gambar diagram alur dibawah ini.
TAHAPAN PENGGUNAAN METODE ELEMEN
HINGGA
DISKRETISASI & PEMILIHAN KONFIGURASI
ELEMEN
MENENTUKAN HUB. TEGANGAN DAN
REGANGAN
MENURUNKAN PERSAMAAN ELEMEN
MEMILIH SYARAT BATAS
SELESAIKAN PRIMARY UKNOWN
PENGGABUNGAN PERSAMAAN ELEMEN
MEMILIH MODEL ATAU FUNGSI PENDEKATAN
MENURUNKAN PERSAMAAN ELEMEN
SELESAIKAN BESARAN KEDUA
INTERPRETASI HASIL
Gambar 2.2 Skematisasi Tahapan Penggunaan Metode Elemen Hingga
Sumber: Hadipratomo, Winarni, & Paulus, P. Raharjo. 1985:8
2.1.3 Metode Elemen Hingga Pada Plaxis 3D Tunnel
Berdasarkan konsep dari metode elemen hingga, yaitu proses diskiritisasi, maka
suatu system akan dibagi-bagi menjadi elemen-elemen yang lebih kecil. Ada berbagai
jenis elemen-elemen yang dapat dipakai dan dipilih berdasarkan jenis struktur dan ke-
perluannya.
Secara garis besar, elemen dibagi menjadi:
1. Elemen Satu Dimensi
2. Elemen Dua Dimensi
3. Elemen Selaput (shell)
4. Elemen Tiga Dimensi
5. Elemen Simetri-aksial
Masing-masing jenis elemen diatas masih dapat dikembangkan lagi menurut
kebutuhan, antara lain jenis struktur dan ketelitian yang diinginkan.
2.1.3.1 Fungsi Interpolasi Dan Integrasi Numerik Garis Elemen
Dengan sebuah elemen perpindahan u = (uxuy)T
diperoleh dari diskretisasi
nodal bernilai vectorv = (v1v2.. vn) T
menggunakan fungsi interpolasi menghimpun di
matriks N:
u = N v (2.1)
Fungsi interpolasi N digunakan untuk menginterpolasi nilai di dalam ber-
dasarkan nilai yang diketahui di nodal dan juga menunjukan fungsi bentuk. Pertama
anggapan adalah elemen garis. Elemen garis merupakan basis dari distribusi pem-
bebanan vertikal di bidang datar di model 3D.
Saat posisi ξ merupakan poin yang biasanya poin tegangan diketahui bisa ditulis
Perpindahan komponen u:
u (ξ) = ∑ ( ) vi (2.2)
Gambar 2.3 Fungsi Bentuk Dari 3 Nodal Garis Elemen
Sumber: Anonim, 2001. b:3-1
2.1.3.2 Integerasi Numerik Garis Elemen
Metode yang digunakan pada program ini menggunakan Integrasi Gauss,
dimana posisi ξ dan berat wi dipilih dengan cara khusus untuk memperoleh keakuratan
tinggi. Untuk interasi Gauss fungsi polynomial pangkat 2k-1 bisa di integrasi dengan
menggunakan poin k. catatan bahwa jumlah factor berat merupakan kesamaan menuju 2
yang kesamaan panjang dari garis di koordiant local. Tipe dari integrasi digunakan
untuk 3 nodal garis elemen di PLAXIS merupakan abu-abu gelap.
Tabel 2.1 Integrasi Gauss
ξi wi max. polyn. degree
1 point 0.000000… 2 1
2 points ±0.577350…(±1/√3) 1 3
3 points ±0.774596…(±√0.6) 0.55555… (5/9) 5
0.000000… 0.88888… (8/9)
4 points ±0.861136… 0.347854… 7
±0.339981 0.652145…
5 points ±0.906179 0.236926… 9
±0.538469 0.478628…
0.000000… 0.568888…
Sumber: Anonim, 2001. b:3-3
2.1.3.3 Struktur Elemen
Struktur elemen pada program PLAXIS 3D Tunnel merupakan plat dan geogrid
dan menghubungkan didasarkan oleh 8 nodal quadrilateral elemen. Geogrid elemen
tidak berbeda dari 8 nodal quadrilateral elemen, memiliki delapan nodal dan 3 per-
pindahan pangkat per nodal (ux, uy, uz).
Gambar 2.4 Jumlah Dan Posisi Nodal Dan Integrasi Poin Dari 8 Nodal Elemen Plat
Sumber: Anonim, 2001. b:3-7
2.2 Hidrolika Terowongan
Aliran air yang melewati terowongan memiliki kondisi yang berbeda-beda, dan
dapat dikelompokkan dua kondisi yaitu bebas dan tekan. Pada kondisi bebas yaitu aliran
yang melewati terowongan seperti pada salluran terbuka.
2.2.1 Aliran Bebas (free flow)
Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka
air di waduk (H) ≤ 1,5 diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit yang
lewat pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila aliran
adalah subkritis.
Gambar 2.5 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas
Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446
Aliran bebas melalui terowongan memiliki tinggi muka air yang beragam pada
perencanaan alternatif desain terowongan headrace menganalisa tinggi muka air pada
dimensi ¼, ½, dan ¾ terhadap diameter terowongan.
2.2.2 Aliran Tekan (Pressure Flow)
Diasumsikan bahwa aliran tekan ini akan terjadi bila tinggi air di waduk (H) >
1,5 diameter pengelak (D)
Gambar 2.6 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak Pada Aliran Tekan
Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446
2.3 Geologi Teknik
Ilmu batuan (geologi) yang berhubungan dengan disiplin ilmu keteknikan sipil
merupakan definisi geologi teknik, pada ilmu geologi teknik memiliki penggolongan
batuan, berdasarkan warnanya, kekerasannya, kandungan kimianya, kandungan fosil, u-
murnya, dan masih banyak lagi. Salah satu pengklasifikasian batuan yang banyak
manfaatnya bagi para pakar ilmu pengetahuan tentang bumi ialah berdasarkan cara
terbentuknya, dan juga berdasarkan material yang dikandungnya.
2.3.1 Pelapukan Batuan
Pada perencanaan terowongan diperlukan klasifikasi geologi yang tepat
sehingga dapat menentukan jenis geologi, karena berpengaruh terhadap hasil
pembebanan pada terowongan. Pada penentuan pelapukan acuan yang dipakai untuk
menentukan tingkat pelapukan batuan adalah British Standard (BS 5930, 1981) dengan
batasan batuan dan batuan adalah tingkat pelapukan moderat (MW). Untuk tingkat
pelapukan mulai dari F sampai MW diperlukan sebagai batuan, sedangkan batuan
dengan tingkat pelapukan MW sampai RS dianggap batuan.
Tabel 2.2 Klasifikasi Tingkat Pelapukan Batuan (BS5930,1981)
Term Description Grade
F- Fresh/Segar
Tidak menunjukkan tanda-tanda pelapukan pada material batuan,
dapat juga ditemui terjadinya perubahan warna pada permukaan
diskontinutas.
I
SW - Slightly
Weathered/Lapuk
Ringan
Perubahan warna yang menunjukkan pelapukan material batuan
terjadi pada permukaan diskontinuitas. Dapat terjadi perubahan
warna pada semua material batuan oleh pelapukan.
II
MW -
Moderately
Weathered /
Lapuk Moderat
Kurang dari setengah material batuan terdekomposisi atau ter
desintegrasi menjadi batuan. Batuan segar yang tidak mengalami
perubahan warna ditemui pada rangka batuan atau inti batuan.
III
HW - Highly
Weathered /
Lapuk Lanjut
Lebih dari setengah material batuan terdesintegrasi atau
terdekomposisi menjadi batuan. Batuan segar yang tidak mengalani
perubahan warna ditemui pada rangka batuan atau inti batuan.
IV
CW - Completely
Weathered /
Lapuk Sempurna
Seluruh material batuan tedekomposisi atau terdesintegrasi menjadi
batuan. Struktur massa asli batuan masih terlihat. V
RS - Residual
Soil / Batuan
Residu
Semua material batuan terkonversi menjadi batuan. Massa struktur
dan fabrik material telah mengalami kerusakan. Terjadi perubahan
volume akan tetapi batuan belum tertransportasi.
VI
Sumber: Anonim, 2012. b:4-10
2.3.2 Karakteristik Batuan
Setiap batuan memiliki karakteristik tersendiri dengan besaran gaya aksial yang
dihasilkan pada kedalaman tertentu, Berdasarkan cara terbentuknya batuan dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Batuan beku ( Igneuous Rock )
b. Batuan sedimen ( Sedimentary Rock )
c. Batuan metamorf ( Metamorphie Rock )
Jenis tersebut masih memiliki tipe batuan yang bermuara pada 3 jenis batuan
berdasarkan diatas, pada ilmu geologi teknik tipe batuan memiliki kekuatan gaya aksial
yang berbeda-beda pada proses perhitungan desain terowongan memiliki pengaruh yang
besar pada faktor pembebanan (load Factor). Pada buku Tunneling In Weak Rock
menjelaskan besara gaya aksial berdasarkan tipe batuan.
2.3.3 Penentuan Parameter Batuan
2.3.3.1 Rock Quality Designation (RQD)
Sesuai dengan Deere (1967), kualitas inti pemboran (Rock Quality Designation
– RQD) didefinisikan sebagai prosentasi panjang kolektif contoh batuan padat yang
terambil oleh pemboran inti dengan panjangnya lebih dari 100 mm terhadap panjang
pemboran tiap pengambilan. Klasifikasi kualitas inti pemboran tersebut seperti pada
Table 4.13 berikut ini:
Tabel 2.3 Klasifikasi kualitas inti pemboran (RQD)
Klasifikasi Kualitas RQD (%) Frekuensi pecahan
batuan / meter
Very Poor / Sangat jelek 0 – 25 Lebih dari 15
Poor / Jelek 25 – 50 15 – 8
Fair / Cukup 50 – 75 8 – 5
Good / Bagus 77 – 90 5 – 1
Exellent / Istimewa 90 - 100 Kurang dari 1
Sumber: Anonim, 2012. b:4-10
2.3.3.2 Geological Strenght Index (GSI)
GSI dipublikasikan oleh Hoek (1995) yaiut sstem untuk menilai kekuatan batuan
berdasarkan reduksi kekuatan batuan dari struktur rekahan dan kondisi permukaan intact
rock. Pada penggunaan GSI ini adalah input mencari konstanta pada criteria keruntuhan
Hoek-Brown dengan menggunakan rumus:
(
)
(2.3)
Dengan mengetahui σci dan nilai mb maka dapat disusun grafik tegangan σ1
terhadapa tegangan σ3 menggunakan persaman Hoek-Brown. Grafik tersebut akan
menunjukan persamaan berikut:
σ1’ = σcm + k σ3’ (2.4)
kemudian dari nilai σcm dan k diatas, sudut geser dan kohesi dapat ditemukan
dengan persamaan:
( )
( ) (2.5)
( ( ))
( ( )) (2.6)
Nilai GSI ditentukan berdasarkan tabel dibawah ini:
Tabel 2.4 Karasteristik Geological Strength Index (GSI) untuk Batuan
Sumber: Hoek, E., Torres, C.C., Corkum, B. (2002):13
Untuk nilai mi diperoleh dari tabel konstanta batuan menurut Hoek-Brown
seperti pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2.5 Nilai mi untuk Intact Rock
Sumber: Hoek, E., Torres, C.C., Corkum, B. (2002) : 7
Tabel 2.6 Klasifikasi Nilai Rock Mass Rating (RMR)
Desain suatu bendungan tipe urugan yang menahan air dalam volume yang besar
harus mempertimbangkan faktor keamanan terhadap pengaruh kegempaan. Untuk itu
nilai koefisien gempa suatu daerah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
k = g
Ad
(2-7)
dimana,
k = koefisien gempa
Ad = percepatan gempa terkoreksi (cm/det2)
g = percepatan gravitasi (cm/det2)
sedangkan,
Ad = z . Ac . v (2-8)
dimana,
z = koefisien zona (Gambar 2.19)
Ac = percepatan gempa dasar (gal) (Tabel 2.15)
v = faktor koreksi (Tabel 2.16)
untuk menentukan nilai Ac dan v diatas, diperoleh dari tabel berikut:
Tabel 2.8. Percepatan Gempa Dasar untuk Berbagai Periode Ulang
T
(Tahun)
Ac
(gal)
10
20
50
100
200
500
1000
5000
10000
90
120
160
190
220
250
280
330
350
Sumber: Analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa, 2004
Tabel 2.9. Faktor Koreksi Pengaruh Jenis Tanah / Batuan
Jenis Batuan Dasar Faktor Koreksi(v)
Batuan
Dilluvium
Alluvium
Alluvium lunak
0,8
1,00
1,10
1,20
Sumber: Analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa, 2004
Gambar 2.7. Peta zona gempa Indonesia
Sumber: Peta Zona Gempa Indonesia Sebagai Acuan Dasar Perencanaan Dan
Perancangan Bangunan, 2005
2.5 Teori Pembebanan Terzaghi
2.5.1 Umum
Teori ini bisa menjadi usaha pertama yang sukses di klasifikasi batuan pada
pekerjaan keteknikan. Terzaghi (1946) mengusulkan bahwa factor beban batuan Hp
adalah tinggi dari zona kelenturan diatas atap terowongan seperti pembebanan
lengkungan baja. Faktor beban batuan ini diperkirakan oleh Terzaghi dari 5,5 meter luas
lengkungan baja mendukung sepanjang terowongan di pegunungan alpen selama abad
dekat ini (Singh, Bhawani., & Rajnish, K.Goel. 2006:25)
2.5.2 Klasifikasi Batuan
Terzaghi (1946) menganggap struktur dari batuan tidak berkelanjutan dan
klasifikasi dari semua secara kualitatif dijadikan dalam 9 kategori seperti pada tabel
2.10 Pengalaman yang panjang dari perencanaan di Himalaya ditunjukkan bahwa istilah
penekanan batuan adalah kondisi tekanan batuan. Ini karena penggabungan dan batuan
yang lemah mengakibatkan kegagalan di muatan tegangan tinggi dan tekanan menuju
terowongan.
Tabel 2.10 Klasifikasi Batuan Menurut Terzaghi
Kelas Batuan Jenis Batuan Definisi
I Hard and Intact
Batuan unweathered. Mengandung sendi atau retak rambut. Jika
retak, rusak di batu masih utuh. Setelah penggalian, batu itu
mungkin memiliki beberapa kegagalan dan pecahana acatap akibat kegagalan. Pada tegangan spontan yang tinggi, pecahan lempengan
batu dapat terjadi dari samping atau atap. Kekuatan tekan bebas
sama dengan atau lebih dari 100 MPa.
II Hard stratified and schistose Batu yang keras dan berlapis. Lapisan ini biasanya banyak terpisah. Batu tersebut mungkin atau tidak memiliki bidang yang lemah.
Dalam batuan tersebut, terjadi pecahan adalah sangat umum.
III Massive, moderately jointed
Jointed Rock, memiliki banyak ruang yang luas sambungan
mungkin atau tidak bisa disemen. Hal itu juga mungkin berisi retak rambut tapi blok besar antara sambungan sangat erat saling
bertautan sehingga dinding vertikal tidak memerlukan dukungan lateral. pecahan mungkin dapat terjadi
IV Moderately blocky and seamy
Sambungan dengan ruang yang pendek. Blok berukuran sekitar 1
m. Batu tersebut bisa lunak atau keras Pada sambungan mungkin
atau tidak dapat diperbaiki tetapi saling mengunci sangat erat dan tidak ada tekanan samping yang diberikan
V Very blocky and seamy
Sambungan dengan jarak saling berdekatan. Ukuran blok kurang
dari 1 m. Terdiri dari fragmen batuan yang hampir utuh secara kimiawi yang seluruhnya terpisah satu sama lain dan saling
bertautan sempurtna. Dinding vertikal mungkin memerlukan
dukungan.
VI Completely crushed but chemically Terdiri dari batu masih utuh secara kimiawi yang bersifat agregat crusher-run. Belum ada saling mengunci. Tekanan samping yang
diharapkan pada dukungan terowongan.
VII Squeezing rock - moderate depth
Squeezing adalah proses mekanik dimana batu tersebut menekan terowongan tanpa peningkatan yang jelas dalam volume.
Kedalaman yang cukup adalah istilah relatif dan mungkin antara
150-1000 m.
VIII Squeezing rock - great depth Squeezing lebih dari 150 m. Kedalaman terowongan maksimum
yang disarankan adalah 1000 m.
IX Swelling rock
Pembengkakan dikaitkan dengan perubahan volume dan akibat
perubahan kimia batu itu, biasanya di hadapan kelembaban dari udara dan membengkak. Batuan yang mengandung mineral
membengkak seperti monmorilonit, ilit, kaolinit dan lain-lain dapat
mengembang dan mengerahkan tekanan berat pada batuan pendukung.