1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Artillerie Constructie Winkel (ACW) yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, berfungsi sebagai tempat persediaan dan peralatan militer yang rusak. Herman Willem Deandels, Gubernur Jenderal Belanda mendirikan fasilitas ini juga untuk perbaikan dan pemeliharaan perkakas senjata bagi serdadu Belanda pada tahun 1808. Selain berfungsi sebagai bengkel senjata dan melengkapi kebutuhan serdadu Belanda dengan sebuah pabrik amunisi berkaliber besar yang lengkap dengan laboratorium kimia. Saat itu dibangun sebuah pabrik yang ia namai Proyektiel Fabriek (PF) di Semarang. Inisiatif Deandels dilanjutkan oleh penerusnya 42 tahun kemudian. Pemerintah Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1850 mendirikan sebuah bengkel pembuatan dan perbaikan amunisi serta bahan peledak khusus untuk armada angkatan lautnya, industri ini dibangun di Surabaya, bernama Pyrotechnische Werkplaats (PW). 1 Bengkel ini terus berkembang dan dibuat juga beberapa lokasi baru seperti, Semarang dan Jakarta. Kegiatan utamanya adalah memproduksi berbagai jenis senjata, amunisi, dan bahan peledak. Dengan alasan keamanan, seluruh pabrik dan persenjataan dan amunisi yang berat di seluruh Pulau Jawa dipindahkan ke Bandung. Sejarah perkembangan pabrik ini sangat panjang, mulai didirikan oleh Belanda yang digunakan untuk membantu dalam krisis perang di Eropa hingga kebutuhan untuk militer yang dapat dipenuhi. Jauh sebelum berdirinya pabrik ini 1 Silmy Karim., Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia , (Jakarta : PT. Gramedia, 2014), hlm. 100.
15
Embed
BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.id · Pada masa itu, Pabal AD tak sekadar memproduksi senjata dan amunisi, tapi juga peralatan militer yang lain. Tujuannya untuk mengurangi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Artillerie Constructie Winkel (ACW) yang dibangun oleh pemerintah
Hindia Belanda, berfungsi sebagai tempat persediaan dan peralatan militer
yang rusak. Herman Willem Deandels, Gubernur Jenderal Belanda mendirikan
fasilitas ini juga untuk perbaikan dan pemeliharaan perkakas senjata bagi serdadu
Belanda pada tahun 1808. Selain berfungsi sebagai bengkel senjata dan
melengkapi kebutuhan serdadu Belanda dengan sebuah pabrik amunisi berkaliber
besar yang lengkap dengan laboratorium kimia. Saat itu dibangun sebuah pabrik
yang ia namai Proyektiel Fabriek (PF) di Semarang. Inisiatif Deandels dilanjutkan
oleh penerusnya 42 tahun kemudian.
Pemerintah Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1850 mendirikan sebuah
bengkel pembuatan dan perbaikan amunisi serta bahan peledak khusus untuk
armada angkatan lautnya, industri ini dibangun di Surabaya, bernama
Pyrotechnische Werkplaats (PW).1 Bengkel ini terus berkembang dan dibuat juga
beberapa lokasi baru seperti, Semarang dan Jakarta. Kegiatan utamanya
adalah memproduksi berbagai jenis senjata, amunisi, dan bahan peledak.
Dengan alasan keamanan, seluruh pabrik dan persenjataan dan amunisi yang
berat di seluruh Pulau Jawa dipindahkan ke Bandung.
Sejarah perkembangan pabrik ini sangat panjang, mulai didirikan oleh
Belanda yang digunakan untuk membantu dalam krisis perang di Eropa hingga
kebutuhan untuk militer yang dapat dipenuhi. Jauh sebelum berdirinya pabrik ini
1 Silmy Karim., Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia , (Jakarta : PT. Gramedia, 2014), hlm. 100.
2
kebutuhan militer yaitu persenjataan maupun berbagai alat perang didatangkan
dari Belanda, tetapi karena mahalnya biaya transportasi serta jaminan alat bantu
yang dikirim dalam kondisi yang baik tidak bisa dipastikan karena perjalanan
yang bisa dianggap panjang dari Eropa hingga Asia.
Relokasi terbagi menjadi dua tahap, tahap pertama dilakukan dalam dua
tahun, yakni tepatnya pada rentan waktu 1918-1920. Kala itu, ACW adalah pabrik
pertama yang dipindahkan dari tempat asalnya. Setelah itu, pada 1932, PW
(Pyrotechnische Werkplaats) juga pindah dan kemudian bergabung besama PF
(Proyektiel Fabriek) dan laboratorium kimia dari Semarang.2 Menyusul ketiga
pabrik tersebut, pemerintah Belanda juga merelokasi Institut Pendidikan
Pemeliharaan dan Perbaikan Senjata dari Jatinegara, yang kemudian berubah
nama menjadi Geweemarkerschool. Meleburlah empat instansi di Bandung dan
dibalut dengan nama bendera Artillerie Inrichtingen (AI), yang dalam bahasa
Indonesia memiliki arti Perangkat Persenjataan.3
Pada periode tahun 1923-1932, bengkel-bengkel yang ada di
Surabaya, dan lain-lain dipindahkan ke Bandung dan digabung menjadi satu
dengan nama Artilerie Inrichtingen (AI).4 Masa ini produksi diutamakan untuk
kebutuhan pasukan Belanda yang tergabung dalam Sekutu akibat penyerangan
Jerman terhadap Belanda masa Perang Dunia Pertama (1914-1918). Kebutuhan
akan produksi juga bertambah, bahkan setelah Perang Dunia I selesai dan
kemudian terjadi krisis yang melanda di Eropa akibat kekalahan kubu Axis
(Jerman dan sekutunya, Austria dan Italia).
2 Ibid., hlm. 101.
3 Ibid. 4 Fikiran Rakyat , 29 April 1983, Koleksi Monumen Pers, hlm. 6.
3
Perang Dunia I yang berkecamuk pada pertengahan 1914, melibatkan
banyak negara Eropa, Belanda salah satunya. Tak sedikit kebutuhan senjata dan
bahan peledaknya didatangkan dari ACW. Sedikitnya ada tiga alasan mengapa
kota Bandung menarik untuk dijadikan tempat relokasi industri strategis milik
kolonial tersebut. Pertama, kontur daerahnya, yang berupa perbukitan dan
pegunungan, bisa menjadi pertahanan alami terhadap serangan musuh. Kedua,
Bandung dianggap siap karena memiliki sarana transportasi darat yang memadai
dilalui oleh Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dan memiliki jalur kereta api
(Staatsspoorwegen). Dan terakhir, Bandung juga dipilih karena tak terpisah jauh
dari Batavia, pusat pemerintahan Hindia Belanda.5
Pada masa pendudukan Jepang, AI sama sekali tak disentuh. Artinya
selama tiga setengah tahun Jepang berkuasa di Indonesia, tak ada satu pun yang
diubah, dari instalasi hingga proses produksinya. Perubahan hanya terjadi pada
nama, sisi administrasi, dan organisasi, yang disesuaikan dengan sistem
kekuasaan militer Jepang. Jepang kemudian mengganti ACW dengan nama Dai
Ichi Kozo. Lalu Dai Ni Kozo untuk Geweemarkerschool, Dai San Kozo untuk PF,
Dai Shi Kozo untuk PW, serta Dai Go Kozo untuk Montage Artillerie, instalasi
pecahan ACW. 6
Pada saat Jepang menyerah kepada Sekutu, terjadi kekosongan kekuasaan
di Indonesia (Vacuum of Power). Dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, beragam upaya dilakukan Republik guna
merebut instalasi-instalasi pertahanan di Kota Bandung. Pada akhirnya, tanggal 9