1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak lepas dari nilai-nilai yang telah dibangun oleh masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada warga suatu masyarakat tersebut (Sujarwa, 1999). Kluckhohn mengatakan, bahwa sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan di dunia terkait dengan lima hal pokok dalam kehidupan manusia yaitu diantaranya : masalah hakekat dari hidup manusia (makna hidup), masalah hakekat dari karya manusia (makna dan fungsi kerja), masalah hakekat dan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (makna ruang dan waktu), dan masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (makna alam) (Koentjoroningrat; Putri, 2009). Wilhelm Wundt, dikenal sebagai bapak psikologi modern yang mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig pada tahun 1879. Memperkenalkan dua tradisi dalam psikologi, yaitu Naturwissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan alami) dan Geisteswissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan budaya), (Hoorn & Verhave; Kim & Berry, 1993). Wundt juga mempublikasikan Volkerpsychologie (Folk Psychology) yang terkait dengan penelitian tentang beragam tahapan perkembangan mental manusia yang dimanifestasikan ke dalam bahasa, seni, mitos, kebiasaan sosial, hukum, dan moral. Dua tradisi yang diperkenalkan oleh
27
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66343/potongan/S2-2013... · masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (makna alam)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak lepas dari
nilai-nilai yang telah dibangun oleh masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai
budaya merupakan konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar
warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan
penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi kepada warga suatu masyarakat tersebut (Sujarwa,
1999). Kluckhohn mengatakan, bahwa sistem nilai budaya dalam suatu
kebudayaan di dunia terkait dengan lima hal pokok dalam kehidupan manusia
yaitu diantaranya : masalah hakekat dari hidup manusia (makna hidup), masalah
hakekat dari karya manusia (makna dan fungsi kerja), masalah hakekat dan
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (makna ruang dan waktu), dan
masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (makna alam)
(Koentjoroningrat; Putri, 2009).
Wilhelm Wundt, dikenal sebagai bapak psikologi modern yang mendirikan
laboratorium psikologi di Leipzig pada tahun 1879. Memperkenalkan dua tradisi
dalam psikologi, yaitu Naturwissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan alami) dan
Geisteswissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan budaya), (Hoorn & Verhave;
Kim & Berry, 1993). Wundt juga mempublikasikan Volkerpsychologie (Folk
Psychology) yang terkait dengan penelitian tentang beragam tahapan
perkembangan mental manusia yang dimanifestasikan ke dalam bahasa, seni,
mitos, kebiasaan sosial, hukum, dan moral. Dua tradisi yang diperkenalkan oleh
2
Wundt implikasinya adalah adanya dua tradisi keilmuan dalam ilmu psikologi,
yakni psikologi eksperimental dan psikologi sosial budaya (Schultz, Toulmin &
Leary dalam Putri, 2009).
Penemuan Wundt bahwa analisis perkembangan individu tidak dapat
bergantung sepenuhnya pada psikogenesis, sebab seorang anak yang dilahirkan
pada komunitas budaya yang sudah ada dan kemudian dibentuk oleh budaya itu
sendiri. Hal yang di tegaskan oleh Wundt, pada komunitas budaya dan kelompok
sosial (seperti keluarga, suku bangsa, dan komunitas sosial) anak dilahirkan
harus dikaji secara historis, sebab sudah menjadi kesatuan yang tetap berlaku
pada generasi-generasi selanjutnya. Namun, hal tersebut kini telah berevolusi
mengikuti ruang dan waktu. Untuk itu, budaya perlu dipahami dari sudut
pandangnya sendiri dan diketahui bahwa analisis evolusi sejarah dari budaya
tertentu adalah fundamental untuk dapat memahami orang dari budaya tersebut
(Danziger; Kim & Berry, 1993).
Pola asuh, merupakan hal yang penting dalam mewujudkan kelangsungan
dari keberadaan nilai-nilai budaya di masyarakat, terutama dalam hal peran
orangtua sebagai lingkup terkecil dari masyarakat. Peran yang meliputi perilaku,
tindakan, atau keikutsertaan dalam menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai
budaya yang dianut suatu masyarakat di suatu daerah. Fenomena yang unik dan
menarik pada budaya Bali Age (Bali Kuno/tua) di Desa Adat Tradisional
Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, sebagai suatu bukti bahwa peran
keluarga menjadi penting dalam kelangsungan tradisi leluhur yang dianut oleh
masyarakatnya.
3
Milgram, mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rapuh yang terikat
pada jaringan-jaringa sosial yang membatasi ruang gerak manusia itu sendiri.
Milgram berpendapat, bahwa dalam berperilaku manusia didasari dengan
adanya batasan yang mencakup norma, peran, dan budaya. Norma adalah
kesepakatan mengenai kehidupan sehari-hari yang membuat interaksi individu
dengan individu lain diduga dan teratur. Peran adalah kedudukan yang diatur
oleh norma mengenai cara individu, dalam kedudukan atau posisi tertentu,
menunjukkan perilaku yang pantas (Wade & Travis, 2007). Sedangkan budaya
adalah sebagai program dan kumpulan aturan yang diterima bersama dan
mengatur perilaku seseorang dalam masyarakat atau komunitas tertentu, serta
seperangkat nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang diterima oleh sebagian
anggota masyarakat. Nilai, kepercayaan, serta kebiasaan diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Lonner, 1995).
Masyarakat tradisional Bali pada umumnya, tradisi selalu dijalankan secara
turun temurun. Meskipun berada dalam satu budaya dan satu pulau, namun
tradisi masyarakat di pulau Bali memiliki keanekaragaman. Desa Adat
Tradisional Tenganan Pegringsingan salah satunya, yakni suatu tempat yang
dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sampai dengan saat ini masih
menggunakan adat-istiadat Bali Age (Bali Kuno/Bali Tua). Budaya Bali Age pada
masyarakat Tenganan Pegringsingan tentunya memiliki nilai-nilai tradisi yang
sedikit berbeda dari tradisi budaya Bali pada umumnya.
Penerapan pola asuh, hak waris, busana adat, perilaku sosial, prosesi ritual,
serta cara pandang masyarakatnya terkait dengan perekonomian tentunya juga
berbeda tradisi dengan orang Bali Age lainnya yang ada di pulau Bali. Kehidupan
sehari-hari orang Bali Age (Tenganan Pegringsingan) dihabiskan dengan
4
menjalankan ritual dan disela-sela waktu yang ada digunakan untuk membuat
kerajinan tangan sebagai penopang perekonomian. Orang Bali Age sangat taat
pada aturan adat dan menjalankan tradisi leluhur dengan penuh kesadaran pada
individunya.
Kepercayaan dalam masyarakat Bali Age dibagi atas dua yaitu kepercayaan
secara kultural, orang Bali Age di Tenganan Pegringsingan meyakini bahwa
dengan menjalankan tradisi, maka kehidupan yang dijalani akan terhindar dari
malapetaka dan memberika kemakmuran. Sedangkan kepercayaan secara
spiritual, orang Bali Age pada dasarnya menganut kepercayaan kepada Dewa
Indra (Dewa Peperangan) dan meyakini bahwa orang-orang asli yang berada di
Tenganan Pegringsingan sebagai keturunan dari Raja Indra yang berasal dari
Kerajaan Bedahulu, Gianyar, Bali, yang memiliki kepercayaan sama sebagai
Sekte Indra.
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terdahulu, masyarakat Bali Age pada
mulanya hanya menganut sekte-sekte dalam ajaran agama Hindu Budha.
Sehingga, secara tidak langsung menunjukkan beberapa kebiasaan-kebiasaan
yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Besarnya pengaruh
peradaban dan kepercayaan yang sangat kental pada masyarakat Bali Age,
dapat terlihat dari adanya beberapa ritual yang tidak biasanya dilakukan pada
masyarakat Bali umumnya.
Perang Pandan (Megeret Pandan), dan Usaba Sambah, merupakan dua
contoh dari beberapa ritual dan tradisi besar yang di laksanakan setiap tahunnya
oleh orang Tenganan Pegringsingan. Tradisi (Budaya) Age pada masyarakat
Tenganan Pegringsingan memang terlihat sangat kental. Hal tersebut dapat
dilihat dari salah satu ritual yang disebut dengan upacara atau ritual Metruna
5
Nyoman (Truna Nyoman). Uniknya, ritual Metruna Nyoman tersebut berlangsung
pada periode waktu yang cukup lama, yaitu satu tahun. Ritual akan berjalan
ketika anak sudah merasa siap atau mempersiapkan diri untuk mengemban
tanggungjawab. Prosesnya berlangsung setidaknya 7-10 tahun sekali.
Erikson mengutarakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip
epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut
delapan tahapan perkembangan. Manusia dalam perkembangannya dari tahap
satu ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilannya
dalam menempuh tahapan sebelumnya. Jika dilihat dari tahap perkembangan
seperti yang diutarakan oleh Erikson, pada usia 7-12 tahun dikatakan sebagai
usia sekolah. Pada masa ini ditandai adanya kecenderungan industry-inferority,
yaitu adanya dorongan untuk mengetehui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar (Santrock, 2002). Maka dari itu, terlepas dari pengetahuan
masyarakat Tenganan Pegringsingan mengenai tahap-tahap perkembangan
dalam ilmu psikologi, menganggap bahwa pada usia-usia tersebut anak
dianggap sudah cukup mengerti dan matang dalam menjalankan ritual Metruna
Nyoman.
Tradisi ritual Metruna Nyoman, merupakan tradisi sakral yang wajib diikuti
oleh semua anggota masyarakat dengan usia yang ditentukan tersebut. Bagi
kepercayaan masyarakat Tenganan Pegringsingan, ritual ini sebagai wujud dari
sebuah proses kematangan dan kedewasaan pada seseorang yang
menjalaninya, serta sebagai sebuah komitmen bagi para generasinya untuk
memahami dan menjalankan tradisi turun-temurun dengan berbagai
pengetahuan selama mengikuti prosesi ritual. Dalam pelaksanaan ritual ini, anak-
anak yang mengikutinya berada dalam asrama-asrama yang sesuai dengan
6
garis keturunan ayah bagi yang laki-laki atau garis keturunan ibu bagi yang
perempuan (dalam arti lain menjalankan karantina tanpa diperbolehkan bertemu
dengan siapapun, kecuali yang bersangkutan dengan ritual).
Sesuai dengan tahap perkembangan yang diutarakan Erikson diatas, pada
usia 7-12 tahun merupakan usia sekolah, dan dalam pelaksanaan ritual ini anak
harus merelakan satu tahun masa sekolahnya demi menjalankan ritual Metruna
Nyoman tersebut. Informasi dari Penglingsir (sesepuh) mengatakan bahwa ritual
ini tidak berjalan setiap tahun, melainkan harus menunggu hingga beberapa
tahun untuk dapat memastikan dan mengumpulkan minimal sepuluh orang anak
yang akan menjalankan ritual ini. Untuk itu, tidak mudah bagi setiap orang dapat
mengetahui kapan ritual ini berlangsung dan menjadi semakin sakral karena
tidak diperbolehkan sembarang orang (orang asing/orang luar Tenganan
Pegringsingan) untuk dapat menyaksikannya.
Ritual dan tradisi tersebut ditujukan kepada leluhur dan sebagai wujud
persembahan suci kepada Dewa Indra yang diikuti oleh seluruh masyarakat Bali
Age di Tenganan Pegringsingan, mulai dari anak-anak hingga orang tua tanpa
terkecuali. Selain ritual Metruna Nyoman, ada pula tradisi Megeret Pandan
(Perang Pandan) dan Usaba Sambah. Perang Pandan sendiri merupakan suatu
tarian yang menggunakan pandan berduri sebagai sarananya, yang pada
pelaksanaannya menggosokkan pandan berduri pada punggung penari Perang
Pandan lainnya, sehingga menimbulkan luka-luka. Jadi, tarian ini merupakan
tarian perang yang khusus di tarikan atau dilaksanakan oleh kaum laki-laki yang
sudah menjalankan Metruna Nyoman sebelumnya.
7
Orang Tenganan Pegringsingan percaya, bahwa darah yang mengalir dari
tubuh penari Perang Pandan tersebut, merupakan simbol dari persembahan suci
kehadapan Dewa Indra (Dewa Peperangan) sebagai manifestasi dari Ida Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Masyarakat awam tentunya melihat
ritual ini sebagai suatu tradisi ekstrim yang berbeda dari tradisi masyarakat Bali
lainnya. Namun, bukan berarti orang Tenganan Pegringsingan menganggap
bahwa peperangan itu hal yang baik. Tarian ini hanya sebagai simbol jati diri
orang Tenganan Pegringsingan yang tidak pernah melupakan tradisi leluhurnya
yang lampau (sebagai kesatria perang). Para Daha (pemudi) akan menyaksikan
jalannya tarian Perang Pandan yang dilakukan oleh kaum laki-laki di atas Bale
Petemuan. Artinya, ketika ritual berlangsung, para gadis berkesempatan melihat
kepiawaian dan keberanian para Truna (pemuda) dalam ritual Perang Pandan..
Namun seperti sekarang ini, pesatnya perkembangan jaman dan teknologi ,
membuat tradisi semakin sulit untuk dipertahankan sebagaimana makna ritual
terdahulu.
Banyaknya minat masyarakat awam untuk mengetahui ritual ini lebih dekat,
seringkali melewati batas-batas kesakralan dari ritual ini. Sehingga, kesannya
pelaku ritual adalah objek wisata (hiburan). Melalui upacara Perang Pandan ini,
menjadikan generasi Tenganan Pegringsingan memiliki rasa kebanggaan
tersendiri karena menjalankan ritual tersebut ditengah kemajuan modernisasi
global dan diketahui oleh banyak kalangan sebagai suatu tradisi kuno yang
masih bertahan.
Serupa halnya dengan ritual Perang Pandan, upacara Usaba Sambah juga
dijalankan setiap setahun sekali, sebagai pralambang memasuki tahun Saka
Baru pada masyarakat Tenganan Pegringsingan. Upacara ini berlangsung
8
sebulan penuh sebelum berlangsungnya ritual Perang Pandan, atau saat
memasuki awal tahun dalam kalender nasional. Tidak jauh berbeda dengan ritual
lainnya, upacara ini juga melibatkan peran orangtua dan juga anak-anak. Selama
berjalannya upacara Usaba Sambah, anak-anak, para Daha, dan juga Truna
secara bergilir menari Rejang (tarian sakral dalam setiap upacara) sesuai dengan
garis keturunan dari bapak, yaitu Temu Kaja, Temu Tengah, atau Temu Kelod.
Pada upaca ini juga menggambarkan tentang pencarian jodoh setelah berhari-
hari menjalankan upacara.
Digambarkan bahwa Daha (gadis) yang menari dengan merentangkan
tangannya secara bergantian guna memikat Truna agar mau menari
bersamanya. Dahulunya, dalam tarian ini antara Daha dan Truna saat menari
saling berbincang dan membuat kesepakatan “bak gayung bersambut”. Namun,
dimasa sekarang sudah sedikit bergeser, tarian tersebut hanya sebagai simbol
yang merekatkan relasi antar sesama pemuda agar berkesempata berpikir
kembali jika kelak dalam mencari pasangan haruslah dari sesama orang
Tenganan Pegringsinga.
Melalui serangkaian gambaran ritual dan upacara tersebut, konsep identitas
sendiri dapat dijelaskan sebagai tahapan perkembangan kepribadian yakni
pengalaman akumulatif dari kemampuan ego untuk mengintegrasikan semua
identifikasi dengan perubahan libido, dengan kemampuan berkembang, dan
sebagian berperan secara sosial (Erikson, 1963). Individu dalam
perkembangannya pasti mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya, begitu
pula perkembangan yang dialami oleh orang Tenganan Pegringsingan. Selain
dipengaruhi oleh perkembangan alamiah individu, pengaruh modernisasi juga
9
banyak memberikan dampak terhadap perkembangan seseorang terutama pada
pemaknaan nila-nilai budaya.
Pada setiap perkembangan individu berlangsung dalam suatu konteks
latarbelakang kebudayaan. Konteks atau setting tersebut meliputi, rumah,
sekolah, kelompok teman-teman sebaya, tempat ibadah, kota, lingkungan, dan
komunitas. Ada tiga konteks sosiokultural yang diyakini oleh banyak ahli
perkembangan sebagai suatu yang patut mendapatkan perhatian khusus,.
Pertama kebudayaan (culture), yaitu menyangkut dengan pola-pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari sekelompok orang yang diteruskan dari
generasi satu pada generasi selanjutnya. Produk-produk tersebut adalah hasil
dari interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok manusia dan
lingkungannya yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Kedua aspek studi lintas kebudayaan (cross-culture-studies), yaitu terkait
dengan adanya pengetahuan tentang perbandingan suatu kebudayaan dengan
satu atau lebih kebudayaan lain, dalam arti memberi informasi tentang
sejauhmana perkembangan manusia secara universal, lintas kebudayaan, atau
sejauhmana perkembangan khas kebudayaan tertentu. Etnisitas yang
merupakan bagian dari perkembangan identitas etnis, yakni rasa keanggotaan
yang didasarkan atas bahasa, agama, adat-istiadat, niali-nilai, sejarah, dan ras
suatu kelompok etnis yang sama. Identitas etnik pada suatu kelompok
mencerminkan suatu keputusan dari seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya
terhadap leluhur atau kelompok leluhur. Ketiga gender, yaitu menyangkut
dimensi sosiokultural sebagai perempuan atau laki-laki. Beberapa aspek
perkembangan juga mengatakan bahwa identitas diri sebagai laki-laki atau
10
perempuan untuk dapat menjalin hubungan relasi, menentukan sikap-sikap, dan
nilai-nilai pada kelompok atau lingkungannya (Santrock, 2002).
Religiusitas pada suatu kelompok etnik merupakan faktor penting, yakni
kepercayaan tentang eksistensial (iman). Kepercayaan eksistensial merupakan
suatu hal yang universal yang dimiliki oleh manusia, merupakan suatu ciri dari
seluruh hidup, tindakan dan pengertian diri yang mengandung pengakuan
terhadap eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya (Fowler, 1978; Fitria,
2000). Perkembangan eksistensial dalam perkembangan individu adalah ketika
seseorang menyadari bahwa ego dapat mencapai mutualitas dalam suatu relasi
yang ditandai oleh adanya kepercayaan kepada pemberi perhatian utama (ibu).
Sifat dipercaya sebagai fundamental yang perlu ada dalam anak dan orang lain,
sebab sifat merupakan tuntunan yang utama dalam perkembangan identitas diri
(Erikson; Immink, dalam Fitria, 2000).
Kesan modern terasa ketika masuknya beberapa barang-barang elektronik
dan kendaraan bermotor di lingkungan Tenganan Pegringsingan. Seperti halnya
jaringan internet, televisi, komputer, dan rata-rata orang Tenganan Pegringsingan
kini sudah memfasilitasi diri dengan telepon genggam. Ada beberapa hal terkait
dengan kemajuan jaman dan teknologi yang dapat diterima oleh orang Bali Age
ini, namun ada juga yang ditolak seperti halnya perbaikan jalan atau perubahan
konsep pemukiman yang sudah memiliki aturan baku. Bagi orang Tenganan
Pegringsingan awig-awing (aturan adat pada suatu banjar/daerah) hanya berlaku
sebagai aturan atau hukum adat dalam masyarakat Bali secara umum, berbeda
halnya dengan aturan tradisi dari leluhur yang ketat dan memiliki sanksi tegas.
11
Dari generasi ke generasi, aturan adat tradisi masyarakat Tenganan
Pegringsingan baik yang tertulis maupun tidak, salah satunya tidak
memperkenankan untuk menebang pepohonan secara liar atau tampa ijin dari
pihak yang berwenang, sekalipun itu adalah milik pribadi. Sebab, lahan
perkebunan, pemukiman, dan peliharaan sejatinya adalah milik desa adat. Oleh
sebab itu, apabila pada musim buah-buahan ketika buah tersebut jatuh yang
berada dikebun milik siapapun maka siapa saja bisa mengambilnya atau secara
bergantian menjaga dan memelihara ternak-ternak yang diperuntukkan sebagai
sarana ritual. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa meskipun
perkembangan teknologi semakin berkembang pesat, namun orang Tenganan
Pegringsingan masih tetap berupaya melestarikan tradisi yang dimilikinya
dengan tetap melestarikan lingkungan disekitarnya.
Padatnya serangkaian ritual dan upacara adat pada masyarakat Tenganan
Pegringsingan, bukan berarti mereka tidak memiliki profesi lain diluar aktivitasnya
menjadi orang Bali Age. Bagi anak-anak masih diperkenankan untuk menerima
pendidikan formal dan menempuh pendidikan tinggi diluar lingkungan Tenganan
Pegringsingan. Ada beberapa yang memiliki profesi sebagai PNS, seperti guru
atau pegawai suatu lembaga Pemerintahan, ada pula yang menjalankan
profesinya dengan berwirausaha. Keunikannya adalah tentang sikap yang
ditunjukan oleh orang Tenganan Pegringsingan, yang harus mengadaptasikan
dirinya pada situasi yang jauh berbeda dengan dirinya sebagai orang Bali Age.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seorang individu dapat menjadi anggota dua
atau lebih kelompok yang berlainan, Individu juga dapat dikategorisasikan ke
dalam beberapa segi yang dimungkinkan, misalnya pria atau wanita, hitam atau
putih, muda atau tua, tergantung pada konteks sosial dan dimungkinkan bisa
saja memiliki lebih dari hanya satu identitas kelompok yang menonjol pada suatu
12
waktu, kondisi demikian disebut persilangan kategori atau crossed categorization
(Crips, Walsh, dan Hewstone, 2007).
Identitas sosial yang peneliti maksudkan adalah identitas yang terbentuk dari
adanya pengkategorisasian dalam kelompok, yang muncul akibat dari
kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk
membagi dua kategori yaitu in group dan out group. In group sebagai: „kita‟ dan
out group sebagai: „mereka‟. In group merupakan kelompok sosial ketika seorang
individu mempersepsikan dirinya sendiri sebagai „kita‟. Out group merupakan
seluruh kelompok yang berada di luar kelompok individu yang mempersepsikan
dirinya sebagai anggota kelompok tersebut. Untuk mengurangi prasangka
dilakukan kategorisasi ulang, atau rekategorisasi.
Rekategorisasi merupakan perubahan dalam batas antara individu in group
„kita‟ dan beberapa out group, „mereka‟. Rekategorisasi menghasilkan
pandangan yang berbeda, individu yang sebelumnya dipandang sebagai out
group kini dipandang sebagai in group (Baron & Byrne, 2003). Oleh sebab itu,
orang Tenganan Pegringsingan masih dapat menerima keberadaan orang asing
(orang diluar lingkungan masyarakatnya) dalam kaitannya dengan interaksi
sosial kehidupan sehari-hari.
Proses pembentukan identitas individu tersebut sudah dimulai sejak kecil,
yakni pada masa anak-anak dmulai dengan mengadakan identifikasi pada orang-
orang disekelilingnya, namun pembentukan identitas diri menjadi puncak dan
tugas perkembangan yang harus diselesaikan di masa remaja. Untuk itu, proses
pembentukan identitas diri ini terjadi melalui adanya krisis antara dua ekstrim,
yakni positif dan negatif (Erikson, 1974). Keberadaan krisis tersebut
mengharuskan individu untuk dapat memilih alternatif-alternatif dan membuat
13
suatu komitmen untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya
(Larkin dalam Erikson, 1963).
Logan berpendapat, bahwa individu tidak mencapai suatu komitmen untuk
menyelesaikan konflik-konfliknya dalam proses pembentukan identitas diri.
Namun akan menunjukan beberapa mekanisme pertahanan, salah satunya
adalah membentuk identitas negatif yaitu mengambil nilai-nilai yang
bertentangan dengan moral dan agama yang berkembang dalam masyarakat