-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bila dicermati, maka transaksi elektronik dapat dikatakan
merupakan hubungan antara dua pihak yang mana menggunakan
media internet dalam melaksanakan transaksi bisnis baik
dalam
pertukaran informasi, barang dan jasa. Kedua pihak tersebut
terdiri
dari pihak yang ingin berbisnis namun belum menjadi mitra, juga
yang
sudah menjadi mitra bisnis atau pun antara para pihak yang
dalam
suatu intern perusahaan, sebagaimana yang di defenisikan
oleh
berbagai pihak-pihak, dimana UNCITRAL (United Nations
Commission on International Trade Law, Model Law on
Electronic
Commerce, 1998) e-commerce sebagai: Electronic commerce,
which
involves the use of alternatives to paper-based methods of
communication and storage of information1.
Di dalam Black’s Law Dictionary, seperti dikutip oleh
Khairandy, mendefinisikan e-commerce sebagai berikut: The
practice
of buying and selling goods and services through online
consumer
1 UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1998,
www.uncitral.org.
-
2
services on the internet. The e, a shortened form of electronic,
has
become a popular prefix for other terms associated with
electronic
transaction2.
Definisi singkat yang diuraikan dalam Black‟s Law Dictionary
secara jelas menguraikan bahwa, transaksi elektronik
merupakan
praktek jual beli barang dan jasa melalui media internet, di
mana
istilah e merupakan singkatan dari elektronik yang juga
berhubungan
dengan suatu transaksi elektronik.
Pengertian di atas merupakan salah satu jenis e-commerce
yaitu
perjanjian jual beli. Pada dasarnya, e-commerce tidak hanya
berkaitan
dengan jual-beli, namun juga mencakup jenis
perjanjian-perjanjian
lainnya.
Oleh karena itulah, dalam tulisan ini, fokus utama bukan
ditujukan pada pengertian e-commerce sebagai transaksi
jual-beli
semata, melainkan e-commerce dalam konteks yang lebih luas,
yaitu
sebagai suatu perbuatan hukum yang memiliki ciri dan
karakteristik
perjanjian.
Selain itu, definisi tentang e-commerce juga dapat dilihat
dalam pendapat Vladimir Zwass, yaitu transaksi komersial
elektronik
2 Ridwan Khairandy, “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai
Antisipasi Transaksi Elektronic
E-Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16, November 2001, hal.
57.
-
3
(e-commerce) sebagai pertukaran informasi bisnis,
mempertahankan
hubungan bisnis, dan melakukan transaksi bisnis melalui
jaringan
komunikasi3.
Lebih jauh Fuady mendefenisikan istilah e-commerce dalam
arti sempit diartikan sebagai suatu transaksi jual beli atas
suatu produk
barang, jasa atau informasi antara mitra bisnis dengan
memakai
jaringan komputer yang berbasiskan pada internet, sedangkan
e-
commerce dalam arti luas di artikan sama dengan istilah
e-business,
yakni mencakup tindakan transaksi on-line, tetapi juga
termasuk
layanan pelanggan, hubungan dagang dengan mitra bisnis, dan
transaksi internal dalam sebuah organisasi4.
Namun apabila dicermati dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 telah mencakup tentang transaksi e-commerce,
dimana
sesuai dengan kentuan dalam Pasal 1 angka 2 tentang
pengertian
transaksi, yang pada intinya semua transaksi yang
menggunakan
media elektronik dengan sistem elektronik merupakan
transaksi
elektronik.
3 Seperti dikutip oleh Andrew Coulson, Electronic-Commerce: The
Ever- Evolving Online
Marketplace, IEEE, September 1999, halaman 58 yang berbunyi:
Sharing business
information, maintaining business relationships, and conducting
business transactions by
means of communication networks. 4 Munir Fuady. “Pengantar Hukum
Bisnis „Menata Bisnis Modern di Era Global‟”. Cetakan
III. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2008. Hlm. 407.
-
4
Akan tetapi menurut Penulis, transaksi semacam ini masih
belum mampu memberikan rasa aman, kepastian hukum dan
keadilan,
oleh karena kedekatan para pihak dalam transaksi tidak
bertemu
langsung sebagaimana suatu transaksi konvensional.
Menurut Sanusi, realitas sosial dan dinamika masyarakat
menunjukkan bahwa dalam hubungan satu sama lainnya antar
masyarakat tidak selalu berbicara secara jujur dan benar,
tetapi
kadangkala juga diwarnai oleh sebuah kompetisi yang memaksa
untuk
berbuat curang, berbohong, acuh dan lain sebagainya. Untuk
meminimalisasikan hal-hal negatif dalam hubungan-hubungan
tersebut
maka dalam pergaulan dan kontrak diperlukan dokumen sebagai
pembuktian, baik itu dokumen sifatnya tertulis, ataupun berupa
record
lainnya5.
Menurut pendapat Mansur dan Gultom, masing-masing pihak
praktis tidak mengenal secara dekat satu sama lain (pengenalan
hanya
di ketahui oleh media komputer). Ketidakjelasan mengenai
barang
yang ditawarkan membutuhkan pengenalan secara fisik (seperti
parfum, obat-obatan) kepastian bahwa barang-barang yang
dikirim
sesuai dengan barang yang dipesan dan sebagainya, padahal
kita
5
Didik M. Areif Mansur & Elisatris Gultom. “Cyber Law „Aspek
Hukum Teknologi
Informasi‟”. Rafika Aditama. Bandung. 2005. Hlm. 133-134.
-
5
ketahui bahwa hubungan yang timbul antara konsumen dengan
pelaku
usaha senantiasa dimaksudkan agar kedua belah pihak
menikmati
keuntungan6.
Sebagaimana yang dikatakan Sanusi, pembuktian dalam e-
commerce juga memegang peranan yang sangat penting bahkan
tidak
kalah pentingnya dengan masalah yurisdiksi dan pilihan
hukum,
karena doktrin yurisdiksi dan pilihan hukum yang diterapkan
sangat
memperhatikan adanya bukti yang melandasi terjadinya kontrak
antara
para pihak.7
Lewis menyatakan bahwa dalam konrak bisnis sering timbul
sengketa yang di sebabkan hal dasar dari kontrak, meliputi
penawaran,
penerimaan, konsiderasi dan niat untuk menciptakan hubungan
yang
sah. Aspek lain yang dapat menimbulkan sengketa ialah
keabsahan
dasar perjanjian itu dan perkara seperti kesalahan (mistake),
akibat dari
kesalahan, pernyataan yang tidak benar (missrepresentation),
dan
paksaan (duress). Terakhir, pada penafsiran kontrak dan
akibat
kontrak, dan tata cara pelaksanaan kontrak dan metode
pembebasan
kontrak, bila ada unsur asing, hukum mana yang harus di pakai
untuk
6 Op Cit Didik M. Areif Mansur & Elisatris Gultom hlm:
133-134.
7 Arsyad Sanusi. “E-Commerce Hukum & Solusinya”. Mizan
Grafika Sarana. Bandung.
2001. Hlm: 95.
-
6
memecahkan sengketa tersebut8 .
Dengan demikian permasalahan
dalam kontrak bisnis ini dapat terjadi juga dalam kontrak
e-commerce.
Maka berdasarkan permasalahan yang dapat mengakibatkan
sengketa yang di gambarkan Lewis, maka penulis ingin melihat
sejauh
mana pengaturan e-commerce dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sehingga
memberikan kepastian hukum bagi konsumen dalam bertransaksi
e-
commerce yang didasari pada perjanjian e-commerce.
Dengan menggambarkan pengaturan secara jelas tentang e-
commerce maka dapat ditemukan kedudukan e-commerce dalam UU
ITE. Kedudukan yang dimaksud adalah bagaimana karakteristik
e-
commerce yag diatur dalam UU ITE mengadung pula asas-asas
hukum
perjanjian sehingga dapat disebut sebagai suatu perjanjian.
Sebagaimana yang sudah tertera di dalam alasan pemilihan
judul bahwa dasar dalam transaksi e-commerce ialah kontrak
maka
kontrak e-commerce yang menjadi unsur penting untuk
digunakan
sebagai dasar pembuktian perdata apabila kasus tersebut diproses
di
peradilan perdata. Oleh karena dalam ketentuan Pasal 18 ayat
1
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi
8 Artur Lewis “Dasar Hukum Bisnis „Introduction to Busines
Law‟”. Nusa Media.
Bandung. 2009. Hlm. 488.
-
7
Elektronik menegaskan bahwa “Transaksi Elektronik dituangkan
dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Sehingga, jika
sudah
terjadi kesepakatan antara para pihak, maka akan menimbulkan
hak
dan kewajiban yang nantinya harus dipenuhi.
Dalam kaitan transaksi e-commerce didasarkan hubungan
antara dua pihak yang mana menggunakan media internet, dalam
melaksanakan transaksi bisnis baik dalam pertukaran
informasi,
barang dan jasa, maka konrak e-commerce dapat disebut juga
kontrak
elektronik.
Hal tersebut juga secara jelas diuraikan oleh Gunawan yakni,
“kontrak elektronik adalah kontrak baku yang dirancang,
dibuat,
ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara digital
melalui situs
internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam
hal ini
pelaku usaha), untuk ditutup secara digital pula oleh penutup
kontrak
(dalam hal ini konsumen)9.
Oleh karena kontrak e-commerce yang dibahas adalah masuk
dalam yurisdiksi Indonesia, maka kontrak e-commerce tersebut
harus
memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
Kitab
9
Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, ,”Mengenal e-Commerce”,
Elex Media
Komputindo, Jakarta,2001 hlm: 5
-
8
Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Untuk sahnya
suatu
perjanjian di perlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka mengikat dirinya;
2. Kecakapan membuat suatu perikatan;
3. Sauatu hal tertentu;
4. Suatu sebab hal lain.
` Meskipun telah memenuhi syarat sah perjanjian (1320 KUH
Perdata), namun menurut Iman Sjahputra, E-Commerce masih ada
celah hukum yakni pada syarat “kesepakatan” yang rentan
adanya
unsur penipuan dan “kecakapan” untuk sulit diketahui, dan
untuk
pembuktiannya menggunakan alat bukti berupa “print out”
dengan
mendasarkan pada Pasal 1866 KUH Perdata, 164 HIR jo pasal 15
UU
No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Hukum e-commerce di Indonesia secara signifikan tidak meng-
cover aspek transaksi yang dilakukan secara on-line
(internet).10
Akan
tetapi menurut Fuady masih banyak bagian dari hukum kontrak
yang
mesti mendapat kajian yang seksama manakala dihadapkan
dengan
transaksi e-commerce. Bidang-bidang dari hukum kontrak yang
bersentuhan dengan bisnis e-commerce ini antara lain sebagai
berikut11
:
10
http: //prothelon.com/imtelkom/7.%20Cyberlaw%20bw.pdf. 11
Op Cit Munir Fuady. hlm: 410.
-
9
1. Ada atau tidaknya penawaran (offer)
2. Ada atau tidaknya penerimaan (acceptance)
3. Ada atau tidaknya kata sepakat
4. Jika ada kata sepakat, sejak kapan mulai ada
5. Keharusan kontrak tertulis dan tanda tangan tertulis
6. Masalah pembuktian perdata
7. Bagaimana mengetahui para pihak dan kecakapan berbuat
para
pihak
8. Perumusan kembali masalah wanprestasi
9. Perumusan kembali masalah force majeure
10. Ganti rugi yang bagaimana yang paling cocok untuk kontrak
e-
commerce
11. Masalah kontrak berat sebelah dan kontrak baku.
Dengan demikian menurut Penulis apabila konsumen dirugikan
dalam transaksi e-commerce yang disepakati berdasarkan kontrak
e-
commerce yang telah dibuat, dan untuk memperoleh ganti rugi
dengan
melakukan gugatan perdata, yang merupakan amanah dari Pasal 39
ayat
1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa “
Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan”, yang mana secara otomatis didasarkan pada
alat
bukti yang diakui dalam hukum perdata dalam ketentuan Pasal
1866
-
10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Alat bukti
terdiri atas:
bukti tulisan;
bukti dengan saksi-saksi;
prasangkaan-prasangkaan
pengakuan
sumpah
Menurut penulis, kapan suatu penawaran diterima oleh
konsumen, kemudian disepakati sebagai suatu kontrak
e-commerce,
apakah pada saat penerimaan penawaran tersebut, atau pada
saat
pelaksanaan kontrak, serta kapan dimulainya kesepakatan
dalam
kontrak e-commerce. Untuk mengetahui kapan pihak yang
mengetahui
kontrak, kapan terjadi prestasi dan wanprestasi, kapan terjadi
keadaan
memaksa, dan kedudukan kontrak baku yang memberatkan
konsumen
harus dibuktikan dalam penyelesaian sengketa perdata, dimana
harus
sesuai dengan ketentuan hukum perdata.
Padahal kontrak e-commerce sangat berbeda dengan kontrak
biasa, dimana kontrak e-commerce dilakukan dengan
menggunakan
media elektronik dan sistem elektronik tertentu, sedangkan
kontrak
-
11
biasa dibuat secara tertulis yang sesuai dengan ketentuan yang
diatur
dalam hukum perdata sehingga apabila dibuktikan akan menjadi
rumit.
Jika Perjanjian dibuat memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian, maka perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak
sejak
tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok.
Kontrak
elektronik juga merupakan kesepakatan yang diperjanjikan kedua
belah
pihak yang akan mempunyai kekuatan mengikat apabila sudah
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang
ditentukan
dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata yaitu
para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu
perjanjian
dalam bertransaksi yang dilakukan dengan itikad baik (Pasal
1338).
Jadi apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut,
tetap
mengikat para pihak karena perjanjian tersebut merupakan
undang-
undang bagi yang membuatnya.
Transaksi elektrorik e-commerce yang beragam, menurut
Fuady apabila di lihat dari sudut para pihak dalam bisnis
e-commerce,
maka yang merupakan jenis-jenis transaksi dari suatu kegiatan
e-
commerce adalah sebagai berikut12
:
1. Business to Business (B2B)
12
Ibid hal: 408-409.
-
12
Transaksi Business to Business (B2B) ini merupakan bisnis e-
commerce yang paling banyak dilakukan. Business to Business
(B2B) ini terdiri dari:
a. Transaksi Inter-Organizational Systems (IOS),
misalnya transaksi extranets, electronic funds transfer,
electronic forms, integrated messaging, share data
based, supply chain management, dan lain-lain.
b. Transaksi pasar elektronik (electronic market
transaction)
2. Business to Consumer (B2C)
Business to Consumer (B2C) merupakan transaksi ritel dengan
pembeli individual.
3. Consumer to Consumer (C2C)
Consumer to Consumer (C2C) merupakan transaksi di mana
konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumen
lainnya. Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk
barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliaannya di salah
satu situs lelang.
4. Consumer to Business (C2B)
-
13
Merupakan individu yang menjual produk atau jasa kepada
organisasi dan individu yang mencari penjual dan melakukan
transaksi.
5. Non-Business Electronic Commerce
Dalam hal ini meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan
lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, keagamaan dan lain-
lain.
6. Intrabusiness (Organization) Electronic Commerce
Kegiatan ini meliputi semua aktifitas internal organisasi
melalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa dan
informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan
lain-lain.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 memiliki peranan penting sebagai instrumen untuk
membuat kontrak e-commerce yang dapat melindungi konsumen
dalam transaksi e-commerce, sebagaimana yang dikataka
Sjahputra,
mengenai Doktrin Paternalistik Menjustifikasi.
Menurut Dokrin Paternalistik Menjustifikasi Intervensi yang
dilakukan pemerintah. Intervensi dilakukan agar keseimbangan
hak
dan kewajiban antara produsen dan konsumen dapat diwujudkan,
-
14
karena masalah yang dihadapi konsumen terus meningkatkan
intensitasnya, sehingga pemerintah perlu mengambil kebijakan
intervensi untuk mengatasi potensi yang merugikan
konsumen.13
Sebagaimana yang dikemukakan Cartwright, manifestasi
hukum yang bersifat paternalistik adalah untuk mencegah
kerugian
yang dialami konsumen akibat perjanjian yang merugikan
mereka.14
Maka Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 harus memberikan
kepastian hukum terkait dengan permasalahan yang dapat
menimbulkan sengketa perdata tidak hanya pada perkara
pidana,
dengan demikian maka konsumen memperoleh kemudahan dalam
membuktikan apabila hendak melakukan gugatan di peradilan
perdata,
dan terwujud cita-cita dari Undang-undang No 11 Tahun 2008,
yang
mana di atur dalam ketentuan Pasal 4 huruf e, yang pada
intinya
memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi
pengguna
dan penyelenggara teknologi informasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam skripsi ini adalah: Bagaimana kedudukan e-commerce
dalam
13
Iman Sjahputra, “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi
Elektronik”, Alumni. Bandung.
2010. hlm:54. 14
Ibid hlm: 54.
-
15
perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi
yang
dilakukan adalah untuk mengetahui kedudukan e-commerce dalam
perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Manfaat Penelitian
(i) Manfaat Teoritis
Untuk memberikan tambahan pengetahuan bagi ilmu
hukum khususnya Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana.
(ii) Manfaat Praktis
Untuk memberikan wawasan tentang kedudukan e-
commerce dalam perspektif Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Metode Penelitian
-
16
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang
dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan15
.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis terapkan adalah penelitian
yuridis
normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.16
2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (statute
approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.17
Di sini penulis melakukan analisa terhadap
kedudukan e-commerce dengan mengacu pada Pasal 5 dan Pasal
18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
3. Bahan Hukum.
15
Wiryono Surachmand. “Pengantar Penelitian Ilmiah”. Tarsito.
Bandung. 1991. hlm: 5 16
Jhoni Ibrahim. “Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif”.
Bayu Media. Malang.
2005.hlm 295. 17
Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Cetakan ke-4 tahun. Kencana
Pradana Media Grup.
Jakarta. 2008. hlm: 93
-
17
Bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan sekunder, adapun pengertian dari
bahan hukum itu, sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat otoratif artinya mempunyai otoritas, yang terdiri
dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan hakim18
. Dalam penelitian ini bahan primer yang di
gunakan:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Peraturan Pelaksana Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku
hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan
jurnal-jurnal hukum.
18
Ibid, hlm:141