1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat yang utama dalam komunikasi. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan kepada mitra wicara. Bahkan, bahasa tidak semata-mata untuk menyampaikan informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun dan membina hubungan antarwarga masyarakat. Selain itu, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya. Bahasa, masyarakat, dan budaya sangatlah berkaitan. Bahasa adalah alat pengembangan kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dengan demikian, bahasa merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural masyarakat (Rahardi, 2010:31). Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan seseorang hendaknya disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday dan Hasan (1994:63) dengan tegas mengatakan bahwa semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks situasi yang terdiri atas tiga unsur: (1) medan wacana, yaitu jenis kegiatan yang dikenal dalam kebudayaan yang sebagian diperankan oleh bahasa; (2) pelibat wacana, yaitu pemain, pelaku, atau tepatnya peran interaksi antara yang terlibat dalam penciptaan teks; dan (3) sarana wacana, yaitu fungsi khas yang diberikan kepada bahasa dan saluran retorisnya.
53
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I II III.pdf · secara adat tradisional masih mengenal bahasa Bali halus (BBH) dan bahasa Bali ... siang, malam. (2) Partisipants.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat yang utama dalam komunikasi. Dengan bahasa,
seseorang dapat menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan
kepada mitra wicara. Bahkan, bahasa tidak semata-mata untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun dan membina hubungan
antarwarga masyarakat.
Selain itu, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang beroperasi
dalam suatu masyarakat atau budaya. Bahasa, masyarakat, dan budaya sangatlah
berkaitan. Bahasa adalah alat pengembangan kebudayaan dan inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Dengan demikian, bahasa merupakan faktor penting dalam
membentuk identitas kultural masyarakat (Rahardi, 2010:31).
Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan seseorang hendaknya
disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday dan Hasan (1994:63) dengan tegas
mengatakan bahwa semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Konteks yang
dimaksud adalah konteks situasi yang terdiri atas tiga unsur:
(1) medan wacana, yaitu jenis kegiatan yang dikenal dalam kebudayaan yang
sebagian diperankan oleh bahasa;
(2) pelibat wacana, yaitu pemain, pelaku, atau tepatnya peran interaksi antara
yang terlibat dalam penciptaan teks; dan
(3) sarana wacana, yaitu fungsi khas yang diberikan kepada bahasa dan saluran
retorisnya.
2
Maksud konteks situasi di atas adalah lingkungan langsung tempat teks
atau tuturan itu benar-benar berfungsi. Artinya, konteks situasi menjelaskan
mengapa hal-hal tertentu dituturkan atau ditulis dalam suatu kesempatan dan hal
lainnya mungkin tidak dapat dituturkan atau tidak dapat dituliskan.
Menurut Moeliono (1988) dan Samsuri (1987, ed), konteks terdiri atas
beberapa hal, yaitu: situasi, partisipan, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk,
amanat, kode, dan saluran, sedangkan Syafi‟ie menyatakan bahwa konteks
terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu: (1)
konteks linguistik (linguistics context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan,
(2) konteks efistemis (epistemic context) adalah latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh partisipan, (3) konteks fisik (physical context) meliputi
tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan
tindakan para partisipan, dan (4) konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-
kultural yang melingkupi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Menurut Ibrahim (1994:89), alih style mengacu pada perubahan dalam
varietas bahasa yang melibatkan perubahan hanya pada pemarkah-pemarkah kode.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa semua hal ini merupakan ciri-ciri variabel yang
dihubungkan dengan dimensi sosial dan kebudayaan, seperti usia, jenis kelamin,
kelas sosial, dan hubungan antarpenutur.
Alih ragam atau alih style sering juga dilakukan oleh masyarakat Bali yang
secara adat tradisional masih mengenal bahasa Bali halus (BBH) dan bahasa Bali
lumrah (BBL). Kedua bentuk bahasa tersebut digunakan sesuai dengan sistem
kasta yang dianut oleh para partisipan, apakah dia berasal dari kasta Brahmana,
3
Ksatria, Waisya, ataupun Jaba. Seorang Jaba akan dikatakan mempunyai tata
krama berbahasa yang baik jika dia berbicara dengan seseorang yang berkasta
lebih tinggi (Brahmana, Ksatria, Waisya) dengan menggunakan BBH (ragam
tinggi).
Fenomena kebahasaan yang demikian tidak menutup kemungkinan terjadi
juga pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Status
partisipan sangat berpengaruh dalam komunikasi. Maksudnya, dalam komunikasi,
seorang penutur hendaknya menggunakan bahasa sesuai dengan status mitra
wicara. Dengan demikian, akan muncul fenomena-fenomena kebahasaan lainnya,
seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Hal ini sangat menarik untuk
diteliti dari segi sosiolinguistik.
Namun, dalam kenyataan di lapangan berbanding berbalik dengan
pernyataan di atas. Tidak jarang seseorang yang berkasta Brahmana merasa
canggung menggunakan BBL ketika berbicara dengan mitra wicara berkasta Jaba
yang memiliki status sosial lebih tinggi. Zaman sekarang, seseorang yang berasal
dari kasta Brahmana pun cenderung menggunakan bahasa Bali halus apabila
mitra wicaranya seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi di dalam
masyarakat. Situasi kebahasaan yang demikian sangat menarik diteliti dengan
menggunakan pendekatan sosiolinguistik.
Jika diamati secara saksama tentang fenomena kebahasaan dalam
kehidupan sehari-hari, tidak ada suatu peristiwa tutur terjadi tanpa melibatkan
konteks sosial, seperti yang telah dipaparkan. Sebuah kalimat atau wacana yang
terlepas dari konteks sosial sulit dipahami, baik oleh mitra wicara maupun
4
pembaca. Bahkan, Achmad dan Alek Abdullah (2012:147) mengemukakan bahwa
konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan
suatu wacana. Dengan kata lain, dalam berbahasa atau berkomunikasi, konteks
adalah segala-galanya. Misalnya, ada tuturan, “Saya pingin turun, sudah capek”.
Makna tuturan tersebut masih ambigu. Kalau yang mengucapkan tuturan tersebut
adalah seorang pejabat, sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah
„turun dari jabatan‟. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan tersebut
diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah,
yaitu „turun dari pohon‟.
Ragam bahasa yang digunakan seseorang juga ditentukan oleh kondisi
sekelompok orang menyatukan diri untuk mempertahankan dan membangun
kehidupan (Muhammad, 2011:63). Muhammad mencontohkan kata kamu, anda,
dan kau yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjuk mitra wicara.
Secara sosial ketiga kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa mitra
wicara. Bentuknya bervariasi, rujukannya sama (mitra wicara) bisa berbeda sesuai
dengan usia, jenis kelamin, status, dan hubungan sosial pembicara dengan mitra
wicara. Hal yang berbeda itu disebut sebagai faktor sosial. Kedua unsur tersebut,
baik bahasa maupun sosial berperan dalam komunikasi.
Ketika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, terdapat delapan
unsur yang diperhatikan oleh Hymes (1972). Unsur-unsur itu diakronimkan
menjadi SPEAKING. Penjelasan masing-masing tuturannya dapat dilihat pada
uraian berikut.
5
(1) Setting and Scene. Maksudnya, percakapan dapat dilakukan di suatu tempat
dalam waktu tertentu, misalnya di kantin, sekolah, masjid, pura, gereja, dan
lain-lain pada waktu istirahat, siang, malam.
(2) Partisipants. Unsur ini merujuk kepada orang-orang yang terlibat dalam
percakapan, yaitu pembicara, mitra wicara, dan lain-lain.
(3) End. Maksudnya, pembicara mempunyai maksud ketika percakapan
berlangsung.
(4) Act Sequeness. Artinya, percakapan mempunyai bentuk dan isi.
(5) Key. Maksudnya, percakapan juga memiliki cara atau semangat.
(6) Instrumentalitiet. Artinya, percakapan memiliki jalur percakapan ketika
dilaksanakan. Jalurnya dapat secara lisan dan tulis. Dengan perkataan lain,
instrumentalites merujuk pada ungkapan lisan atau tulisan.
(7) Norms. Artinya, ketika percakapan berlangsung, pelakunya memiliki norma
perilaku. Dalam hal ini, kegiatan berbahasa itu juga mempertimbangkan
kaidah tata bahasa dan nonbahasa. Kaidah tata bahasa berkaitan dengan tata
bahasanya, sedangkan kaidah nonbahasa terkait dengan paralinguistik, seperti
gerak-gerik mata, tangan, muka, dan lain-lain.
(8) Genres. Dalam percakapan, maksud diungkapkan oleh kategori atau ragam
bahasa. Artinya, ragam bahasa terkait dengan formal dan informal. Selain itu,
ragam ini dapat terkait dengan jenis teks, misalnya naratif, deskriptif,
argumentaif, eksposisi, dan lain-lain.
Masyarakat Bali di daerah transmigrasi biasanya membawa serta adat
istiadat, budaya dan bahasa dari daerah asalnya. Di tempat yang baru para
6
transmigran memelihara dan mengembangkan adat istiadat, budaya, dan
bahasanya dengan baik. Secara tidak langsung daerah transmigrasi merupakan
tempat berkumpulnya bermacam-macam adat istiadat, budaya dan bahasa dari
berbagai daerah (Budiono dkk.,1997). Oleh karena itu, tidak menutup
kemungkinan terjadinya kontak antara adat istiadat, budaya, dan bahasa dari
berbagai daerah. Apalagi mereka telah lama hidup berdampingan. Namun,
penelitian di Parigi lebih terfokus pada terjadinya kontak antara bahasa satu dan
bahasa lainnya.
Akibat terjadinya kontak bahasa, yaitu pihak yang berkontak atau salah
satu di antaranya melakukan penyesuaian diri secara verbal melalui modifikasi
tuturan sehingga menjadi sama atau lebih mirip dengan tuturan yang dipakai mitra
wicaranya. Peristiwa itu disebut konvergensi linguistik. Sebaliknya, di antara
komunitas yang melakukan kontak tersebut melakukan modifikasi tuturannya
sehingga menjadi semakin tidak sama atau tidak mirip dengan tuturan mitra
kontaknya disebut divergensi linguistik. Kedua peristiwa tersebut dikemukakan
oleh Giles (dalam Trudgill, 1986).
Topik penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi. Penggunaan bahasa yang dimaksud berkaitan dengan
pilihan penggunaan bahasa dalam ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian,
dan keluarga. Selain pilihan bahasa, topik penelitian ini juga mendeskripsikan alih
kode, campur kode, dan interferensi.
Berdasarkan pengamatan sepintas, masyarakat Bali yang bertransmigrasi
ke Parigi dibekali penguasaan dua bahasa atau lebih. Hal tersebut memperkuat
7
terjadinya kontak bahasa dengan masyarakat tutur di sekitarnya. Tidak menutup
kemungkinan mereka menguasai bahasa-bahasa di wilayah yang mereka tempati,
apakah itu bahasa Kaili, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu,
penelitian ini dilakukan di Parigi, Sulawesi Tengah. Selain itu, Parigi dipilih
sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh daerah ini merupakan daerah
transmigrasi pertama masyarakat Bali, yaitu sekitar tahun 1950-an. Lamanya
masyarakat Bali hidup berdampingan dengan etnis lain mengakibatkan terjadinya
kontak bahasa. Hal itu menimbulkan perilaku berbahasa yang beragam
(Weinreich, 1979)
Seperti diketahui, kontak bahasa terjadi pada masyarakat terbuka, sama
halnya dengan masyarakat Bali di Parigi. Melalui kontak bahasa itulah masyarakat
saling memengaruhi. Kontak bahasa juga memunculkan bilingualisme dan
multilingualisme. Dengan kontak ini juga muncul berbagai macam kasus, seperti
pilihan kode, alih kode, campur kode ataupun interferensi (Wijana dan Rohmadi,
2012:6).
Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah. Artinya, masyarakat bersifat
multilingual. Para anggota masyarakat menggunakan bahasa daerah itu untuk
keperluan yang bersifat kedaerahan. Jika masyarakatnya bergaul luas, seperti
halnya masyarakat Bali di Parigi, anggota-anggota masyarakatnya cenderung
menggunakan dua bahasa/lebih sesuai dengan kebutuhannya. Peristiwa
kebahasaan tersebut tampak pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi.
8
Namun, dalam kehidupan sehari-hari seorang penutur sering mengalami
kesulitan berkomunikasi dengan mitra wicara. Kesulitan yang dimaksud adalah
bahasa apa yang digunakan jika dihadapkan kepada mitra wicara yang usianya
lebih muda, tetapi status sosialnya lebih tinggi, atau sebaliknya, status sosialnya
lebih rendah, tetapi usianya lebih tua. Kerumitan tersebut perlu mendapatkan
perhatian peneliti bahasa, khususnya peneliti sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Kompleksnya kehidupan masyarakat Bali di Parigi telah menimbulkan
masalah, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Masalah tersebut
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dilihat
dari segi ranah penggunaannya?
(2) Macam alih kode apakah yang dilakukan guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi serta fungsi dan makna alih kode apakah yang ditimbulkannya?
(3) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung?
(4) Bagaimanakah wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa oleh
guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta faktor-faktor apa yang
menyebabkannya?
Masalah yang dikemukakan tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Pilihan bahasa pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi pada
hakikatnya terjadi dalam berbagai ranah, seperti ranah pekerjaan, kekariban,
9
agama, kesenian, dan keluarga. Berdasarkan pilihan penggunaan bahasa di
berbagai ranah tersebut, diketahui apakah guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
tergolong masyarakat multilingual atau tidak. Masyarakat multilingual adalah
masyarakat yang mengenal dua bahasa atau lebih. Situasi kebahasaan yang
demikian mengakibatkan terjadinya alih kode, campur kode, dan interferensi.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Pada umumnya penelitian yang baik harus dibatasi ruang lingkupnya agar
pembahasannya tidak melebar ataupun menyempit. Oleh karena itu, ruang lingkup
penelitian ini terbatas pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi, Sulawesi Tengah yang meliputi: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat
Bali di Parigi, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun
keluarga, (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi, (3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika komunikasi berlangsung, dan (4)
wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat
Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, serta faktor-faktor yang menyebabkannya.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
10
1.4.1 Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara
mendalam tentang penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Melalui penggunaan bahasa tersebut diketahui pilihan bahasa apa saja yang
digunakan penutur ketika berkomunikasi di berbagai ranah, seperti ranah
pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, dan keluarga. Sebagai akibat
digunakannya pilihan bahasa ketika berkomunikasi, dalam penelitian ini
ditemukan juga fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan
interferensi.
1.4.2 Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengkritisi:
(1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi;
(2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa;
(3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung; dan
(4) wujud serta faktor penyebab terjadinya campur kode dan interferensi
penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu (1) manfaat teoretis dan (2)
manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut.
11
1.5.1 Manfaat teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan
sosiolinguistik sehubungan dengan penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis di
berbagai ranah. Selain itu, hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan
kaidah-kaidah penggunaan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat.
1.5.2 Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi:
(1) pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu bagi guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi;
(2) guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dalam menggunakan bahasa sesuai
dengan situasi konteks sosial;
(3) masyarakat majemuk dengan menggunakan bahasa sebagai alat untuk
menjalin kehidupan yang harmonis, baik dengan sesama etnis maupun
dengan etnis lain;
(4) penutur masyarakat Bali di Parigi dalam menjalin rasa toleransi dengan etnis
lain melalui bahasa yang digunakan;
(5) Dinas Pendidikan di Sulawesi Tengah sehubungan dengan perlunya
pembinaan bahasa daerah Bali di daerah transmigrasi;
(6) Balai Bahasa di Sulawesi Tengah sebagai bahan dokumentasi; dan
(7) para peneliti sebagai bahan rujukan dalam melaksanakan penelitian bahasa di
daerah transmigrasi yang warganya tergolong masyarakat multilingual.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil
penelitian yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.
Pertama, hasil penelitian Jendra (1988) yang berjudul “Alih Kode
Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Masyarakat Kota Denpasar.”
Penelitian yang dilakukan oleh Jendra terfokus pada peralihan bahasa Indonesia
ke bahasa lain. Peralihan ke dialek atau variasi bahasa lain juga mendapatkan
perhatian. Dalam penelitiannya, Jendra menggunakan teori-teori kebahasaan yang
dikemukakan oleh Verhaar. Menurut Verhaar, teori-teori tentang kebahasaan
dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu l) teori yang mengakui tingkat ekspresi,
makna, dan tidak mengakui tingkat situasi, jika situasi diakuinya, hal itu sekadar
pengakuan lahiriah saja, 2) teori yang mengakui tingkat ekspresi dengan
mengesampingkan tingkat makna. Makna dianggap identik dengan situasi, 3) teori
yang mengakui ekspresi dan situasi, keduanya dianggap penentu terhadap makna,
dan 4) teori yang mengakui dan memperhitungkan makna, ekspresi, dan situasi.
Dari beberapa teori kebahasaan tersebut, Jendra lebih terfokus pada teori
keempat, yaitu teori yang mengakui makna, ekspresi, dan situasi. Selain teori yang
dikemukakan oleh Verhaar (1980:14), penelitian tersebut juga menggunakan teori
Hymes (1972). Menurut Hymes, ada delapan komponen tutur yang selalu terdapat
dalam peristiwa tutur. Kedelapan komponen tutur tersebut diformulasikan menjadi
akronim “Speaking” dalam bahasa Inggris.
13
Beberapa teori yang digunakan Jendra dalam penelitiannya berkaitan erat
satu dengan yang lainnya. Keduanya, sama-sama memperhatikan aspek situasi
dalam peristiwa tutur. Khusus teori speaking sangat relevan untuk dijadikan acuan
dalam meneliti fenomena alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya suatu peristiwa tutur terlepas dari kedelapan komponen tutur
tersebut. Minimal tiga komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes selalu
terlibat dalam peristiwa tutur, yaitu setting, partisipant, dan act sequence.
Simpulan yang diperoleh dari penelitian Jendra adalah sebagai berikut.
Fenomena alih kode muncul pada setiap situasi bicara, hanya kadar ketinggian
frekuensinya berbeda. Ada kecenderungan korelasi positif antara kadar ketinggian
frekuensi alih kode dan kadar tingkat keformalan situasi bicara. Semakin akrab
dan santai situasi bicara semakin memberi peluang terhadap kemungkinan
terjadinya fenomena alih kode dan kebalikannya.
Situasi bicara yang formal lebih menuntut pola struktur kalimat yang
lengkap dalam fungsi sintaktisnya sehingga kalimatnya menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan situasi bicara yang informal. Dalam situasi formal pada
umumnya digunakan ragam bahasa yang lebih baku atau dapat disebut ragam
lengkap, sedangkan dalam situasi informal lebih banyak terdapat kalimat ragam
ringkas yang pendek.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara penelitian Jendra dan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Parigi. Penelitian Jendra terfokus pada subjek
masyarakat Kota Denpasar, sedangkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Parigi terfokus pada subjek masyarakat Bali yang berdomisili di daerah
14
transmigrasi. Perbedaan lainnya, objek penelitian Jendra terfokus pada alih kode
pemakaian bahasa Indonesia, sedangkan objek penelitian yang dilakukan di
Kecamatan Parigi tidak hanya terfokus pada alih kode, tetapi juga campur kode
dan interferensi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Kedua, hasil penelitian Dhanawaty (2002) yang berjudul “Variasi
Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi, Lampung Tengah.” Masalah yang
dikaji dalam penelitian Dhanawaty adalah pengaruh kontak bahasa dan kontak
dialek terhadap bahasa Bali di Lampung Tengah. Dalam penelitiannya, terutama
tentang penelitian variasi fonologis, Dhanawaty menerapkan dialektologi
struktural dengan kerangka kerja Kurath (1974) yang memberi nilai berbeda di
antara variasi fonemis dan variasi subfonemis. Yang dikategorikan sebagai variasi
fonemis adalah variasi khazanah fonem dan variasi distribusi fonem, sedangkan
yang dikategorikan sebagai variasi subfonemis adalah variasi realisasi fonem, baik
yang sifatnya beraturan, tidak beraturan maupun variasi insidental.
Dalam mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan munculnya variasi dan
proses terjadinya variasi diterapkan teori akomodasi. Teori akomodasi ini
merupakan cabang sosiolinguistik yang memfokuskan diri pada penyesuaian diri
yang dilakukan oleh pewicara dalam mengadaptasi, memodifikasi, dan
mengakomodasi tuturannya dalam merespons mitra wicara, misalnya penutur
dialek atau bahasa lain, sehingga tuturan mereka menjadi lebih mirip satu dengan
yang lain (Matthews, 1997:5).
Teori akomodasi tersebut berguna untuk membahas persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan mengapa pewicara cenderung memodifikasi tuturannya
15
dalam kehadiran orang lain atau berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara
mereka berakomodasi, sejauh mana mereka berakomodasi, dan beberapa masalah
lainnya (Trudgill, 1986: 2).
Dalam penelitian bahasa Bali di Lampung Tengah tersebut juga diterapkan
teori prototipe yang dikembangkan oleh Rosch pada fase awal pemikirannya
tentang kategorisasi. Teori ini mengemukakan bahwa dalam kategori ada anggota
yang paling mewakili kategori yang disebut anggota prototipe. Anggota ini
dianggap sebagai contoh terbaik di dalam kategori. Dhanawaty (2002)
mencontohkan kursi meja dianggap lebih mewakili kategori kursi daripada kursi
goyang, kursi kantong, atau kursi plastik.
Dari beberapa teori yang digunakan Dhanawaty dalam penelitiannya,
rupanya teori akomodasi dapat dipakai sebagai acuan dalam meneliti fenomena
alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh seorang penutur yang
melakukan alih kode karena ingin menyesuaikan tuturannya dengan mitra
wicaranya. Dengan demikian, tuturannya menjadi lebih mirip satu sama lain.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dan dialek
dalam fungsi yang berbeda-beda menunjukkan adanya diglosia di daerah
Lampung Tengah. Pemakaian beberapa bahasa dan dialek secara silih berganti
menandai adanya kontak bahasa dan kontak dialek di daerah itu. Kontak yang
cukup intensif dengan bahasa Indonesia, kontak dengan bahasa daerah lain,
terutama bahasa Jawa, dan kontak dialek intrabahasa menyebabkan bahasa Bali di
Lampung Tengah mengalami derap perubahan yang lebih tinggi daripada bahasa
yang sama di daerah asal. Hal ini menyebabkan bahasa Bali di Lampung Tengah
16
bervariasi dan berbeda dengan bahasa Bali di Bali. Salah satu kebervariasiannya
terletak pada tuturan fonologi.
Ketiga, hasil penelitian Maksan (2005) yang berjudul “Alih Kode dalam
Pengajian Ramadan.” Dalam penelitian itu, Maksan mengupas bahasa yang
digunakan oleh para dai dalam pengajian-pengajian yang jumlah rekamannya 26
buah. Pembahasan lebih difokuskan pada masalah alih kode sebagai berikut:
1) Apa penyebab alih kode pada dai dalam wirid bulan puasa itu; dan 2) Apakah
latar belakang pendidikan dai berpengaruh terhadap alih kode dari bahasa
Indonesia (BI) ke bahasa Melayu (BM) tersebut.
Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa alih kode tidak selalu
disebabkan oleh faktor pembicara, mitra wicara, situasi informal atau formal,
kehadiran orang ketiga dan perubahan topik pembicaraan seperti yang
dikemukakan oleh Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 1995). Maksan dalam hal
ini telah menemukan penyebab alih kode mirip dengan pendapat Grosjean (dalam
Fatimah, 1996) yang mengatakan bahwa alih kode disebabkan oleh kepahaman,
menghindarkan seseorang dari peristiwa tutur, menjalin keakraban, dan
menunjukkan status. Selain itu, Maksan juga menemukan penyebab alih kode
karena mempergunjingkan orang yang berkelakuan tidak seperti seharusnya.
Dengan melihat bervariasinya faktor-faktor penyebab alih kode tersebut,
baik yang dikemukakan oleh Fishman maupun Maksan, penelitian yang dilakukan
di Parigi tidak menutup kemungkinan akan menemukan faktor-faktor penyebab
alih kode yang lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut yang
berkaitan dengan fenomena alih kode. Apalagi penelitian yang dilakukan di Parigi
17
tidak fokus pada peristiwa tutur satu arah saja, seperti yang dilakukan oleh
Maksan, tetapi fokus juga pada penelitian terhadap peristiwa tutur dua arah.
Keempat, hasil penelitian Putra (2008) yang berjudul “Penggunaan Kode
oleh Masyarakat Muslim Bali Pegayaman : Kajian Sosiolinguistik.” Teori yang
digunakan oleh Putra dalam penelitian tersebut meliputi: Teori tentang Skala
Implikasional Pilihan Kode dari Gal (1979), Teori Situasi Kontekstual Pilihan
Kode dari Hymes (1972), Teori Faktor-faktor Sosial dan Dimensi Sosial Pilihan
Kode dari Holmes (1997), dan Teori Sosiobiologi dari Dawkins (1995).
Selama proses pengumpulan data, subjek diminta menentukan pilihan
kode apa saja yang paling sering digunakan terhadap interlokutor tertentu, di
lokasi-lokasi tertentu dan dalam membicarakan topik-topik tertentu. Hasil laporan
pribadi mereka disajikan secara umum dalam bentuk pilihan dan penggunaan
kode di antara tiga sampai empat generasi - dari generasi Ego satu di bawahnya
(anaknya si Ego), satu generasi di atasnya (orang tuanya), dan dua generasi
(kakek-neneknya). Hasil pemaparan pilihan kode sesuai dengan ketujuh ranah