1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen konflik sumber daya alam di tanah Using 1 Banyuwangi, khususnya di tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo Multi Niaga (IMN) di kawasan itu. PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group. Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi 1 Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
53
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81273/potongan/S2...1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen
konflik sumber daya alam di tanah Using1 Banyuwangi, khususnya di tambang
emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya
manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam
pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal
tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa
Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra
konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo
Multi Niaga (IMN) di kawasan itu.
PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines
Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir
dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group.
Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang
Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton.
Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan
dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi
1 Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli
Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk
mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal
sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
2
mencapai 1.577 ton per tahun. Total investasi awal yang disiapkan PT IMN
mencapai US$ 4,3 juta.2
Pada periode 2005-2010, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dipimpin
Bupati Ratna Ani Lestari mendukung rencana PT IMN dengan dalih bahwa
cadangan emas Tumpang Pitu akan mampu menyumbang 10-20 persen
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Surat Keputusan Bupati Banyuwangi nomor
188/05/KP/429.012/2007 menjadi dasar bagi PT IMN untuk melakukan
eksplorasi. Penelusuran lebih lanjut, Gubernur Jawa Timur periode itu, Imam
Utomo merekomendasikan eksplorasi PT IMN di Tumpang Pitu dengan
menandatangani surat nomor 522/7150/021/2007. Dukungan pusat memperkuat
dengan ijin yang diterbitkan Menteri Kehutanan periode itu, M.S. Kaban dengan
ijin eksplorasi kepada PT IMN untuk jangka waktu dua tahun terhitung sejak 27
Juli 2007 melalui surat bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007.3
Proses transisi sejak bergulirnya era reformasi telah merubah peta
kekuasaan yang dulunya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Kondisi ini
telah memunculkan aktor-aktor baru yang dengan kemampuannya mampu
memperebutkan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Weber
bahwa determinasi kelas yang dikuasai oleh pasar dan kekuasaan ditentukan
secara ekonomi serta tatanan hukum yang berpengaruh langsung pada distribusi
kekuasaan.4 Sesungguhnya eksplorasi kawasan Tumpang Pitu telah dimulai dari
tahun 1995 yang mana rezim Orde Baru masih berkuasa.
2 Berdasarkan data dari Tabloid Intelijen Nomer 9/Tahun V/Juni 2008 "Eksplorasi Emas
Banyuwangi, Konspirasi Elit Politik". 3 Ibid.
4 Max Weber. 2006. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3
Beberapa perusahaan telah silih berganti mendulang hasil alam di kawasan
Tumpang Pitu. Pada periode 1995-2005, PT Hakman Platino Metallindo (HPM)
memiliki ijin untuk mengeksplorasi kawasan Tumpang Pitu. Pada tahun 2005, ijin
PT HPM berakhir, muncul PT Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian pada tahun
2006 memindahkan kuasa pertambangan kepada PT Indo Multi Niaga (IMN).
Aroma persaingan korporasi muncul ketika sebenarnya pada tahun 2004, PT HPM
telah memperoleh perpanjangan ijin eksplorasi dari Kepala Baplan Dephut.
Kondisi awal yang terjadi tersebut menunjukkan anggapan bahwa beda penguasa,
beda korporasi.
Berakhirnya era kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari (2005-2010) dan
terpilihnya Bupati Abdullah Azwar Anas untuk memimpin Kabupaten
Banyuwangi periode 2010-2015 menjadi periode baru bagi penguasaan di
kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu. PT Indo Multi Niaga pada tahun
2012 mengalihkan sahamnya kepada PT Bumi Suksesindo. PT Bumi Suksesindo
merupakan perusahaan yang dikuasai oleh Edwin Soeryadjaya, merupakan bos
dari PT Adaro Energy, Tbk dan Saratoga Investama Sedaya. Pada saat ini,
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyepakati Izin Usaha Pertambangan
(IUP) kepada PT Bumi Suksesindo selaku perusahaan yang mengeksplorasi
kawasan tambang emas Tumpang Pitu.
Keberadaan tambang emas Tumpang Pitu yang terletak di Desa
Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi tersebut,
permasalahan konflik yang muncul bukan hanya mengenai dampak lingkungan
dari adanya kegiatan pertambangan. Namun lebih jauh juga menyangkut masalah
bagi hasil yang diajukan oleh Pemerintah Daerah hingga manfaat yang bisa
4
diterima oleh masyarakat sekitar kawasan pertambangan yang secara langsung
juga merasa dirugikan terkait adanya kegiatan pertambangan.
Warga masyarakat Desa Sumberagung yang terdampak langsung kegiatan
pertambangan telah melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan tersebut
seperti melakukan perusakan atas alat-alat pertambangan ketika proses eksplorasi
dipegang oleh PT IMN hingga melakukan aksi-aksi unjuk rasa menuntut adanya
kompensasi. Pada Januari 2014, ratusan warga masyarakat berunjuk rasa di depan
kantor PT Bumi Suksesindo untuk menuntut adanya kompensasi yang belum
mencapai titik temu, padahal dalam klausul kontrak pertambangan saat ini,
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperoleh 10 persen saham pertambangan
emas Tumpang Pitu.
Kabupaten Banyuwangi yang selama ini identik dengan keberadaan dukun
santet bagi masyarakat luas, ternyata memiliki sumber daya alam yang besar.
Sumber daya alam tersebut dapat berkontribusi pada struktur keuangan daerah
Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan literatur review penelitian sebelumnya,
penulis menyimpulkan bahwa perlu dilakukan analisa manajemen konflik pada
konflik sumber daya alam, khususnya di kawasan pertambangan emas Tumpang
Pitu Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dinilai penting untuk dilakukan karena
paradigma pembangunan ekonomi selama ini masih bertumpu pada ekstraksi
sumber daya alam (SDA) oleh penyelenggara negara. Sehingga penulis
melakukan penelitian "Menambang Emas di Tanah Using: Kekuasaan dan
Manajemen Konflik Pada Tambang Emas Tumpang Pitu di Kabupaten
Banyuwangi".
5
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan permasalahan penelitian
yang dikaji lebih lanjut, yaitu:
Bagaimana manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah
Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu
Kabupaten Banyuwangi di tahun 2011-2013?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan dalam rangka
menjawab pertanyaan penelitian, maka penelitian ini bertujuan:
1. Memahami politik pertambangan di Indonesia khususnya
pertambangan emas di tingkat lokal.
2. Memahami peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
3. Memahami proses manajemen konflik dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, manfaat penelitian antara lain:
1. Menjadi rujukan dalam membaca dan mengetahui politik
pertambangan di Indonesia khususnya pertambangan emas.
6
2. Mengetahui peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
3. Mengetahui proses manajemen konflik dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.5 Literatur Review
Bahasan mengenai sumber daya alam tentunya sudah banyak dikaji oleh
banyak peneliti pada periode ini. Namun, dalam studi ini, fokus yang diteliti
hanya pada kajian-kajian mengenai pertambangan di ranah ilmu sosial. Dalam
skala mikro, beberapa penelitian mengenai pertambangan yang dilakukan di
daerah seperti yang dilakukan Holimin5 (2003) menekankan sejauh mana peranan
PT. Timah, Tbk dalam dinamika perubahan sosial dan menunjukkan adanya peran
PT. Timah, Tbk terhadap perubahan sosial yang terjadi di Kabupaten Bangka.
Penelitian ini tidak mengaitkan pembahasan dari aspek legalitas dan ilegalitas
penambangan yang dilakukan para penambang TI (Timah Inkonvensional) selain
itu studi ini juga lebih fokus pada peranan PT. Timah, Tbk sebagai bagian dari
perusahaan besar, padahal dalam satu dekade terakhir PT. Timah, Tbk tidak lagi
menjadi aktor utama dalam dunia pertambangan timah.
5 Holimin. 2003. Peranan Industri Penambangan Timah dalam Dinamika Perubahan Sosial dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi PT.Timah, Tbk Kabupaten Bangka). Tesis,
tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
7
Penelitian yang dilakukan John F. McCarthy6 (2007) menyajikan
berjalannya kekuasaan atas sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Penelitian
ini mencermati bagaimana bekerjanya pengerukan ekonomi pada sektor sumber
daya kehutanan. McCarthy melihat bahwa perebutan atas keuntungan-keuntungan
dari sumber hutan di Kalimantan Tengah sangat besar dimana proses yang
berlangsung tersebut tidak tersentuh oleh masyarakat luas. Proses perebutan
keuntungan pada sumber daya hutan semakin menajam ketika Indonesia
memasuki era desentralisasi. Proses-proses tersebut melibatkan lembaga-lembaga
pemerintah kabupaten dan polisi, kepentingan-kepentingan bisnis, preman,
wiraswasta dan pribumi dan penduduk sekitar kawasan hutan. McCarthy
mengemukakan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi telah membawa
pengaruh besar pada konstelasi aktor di Kalimantan Tengah, utamanya bagi aktor-
aktor yang mampu mengelola transisi di awal reformasi.
McCarthy mengungkapkan bahwa selama periode 1998-2004 terjadi alur
khusus perubahan politiko-legal pada perebutan sumber daya hutan. Kemudian
konstelasi para aktor yang menengguk keuntungan dari sistem akses pada sumber
dapat dengan mudah berubah-ubah ketika sistem tunduk pada pergeseran
kekuasaan, kedudukan politis, dan otoritas legal. Hal tersebut karena aktor-aktor
kabupaten dan masyarakat bawah tergantung pada ikatan-ikatan pribadi dan
klientalis dengan pejabat-pejabat di berbagai lembaga negara dengan para
pengelola keuangan (financier) luar dan kepentingan-kepentingan terkait
perkayuan, dimana mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan legal-
6 John F. McCarthy. 2007. Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam
di Kalimantan Tengah. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan
Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-
KITLV, hlm 189-224.
8
administratif serta politis, khususnya perubahan-perubahan yang mempengaruhi
patron-patron berbasis negara dalam sebuah pemerintahan yang tengah
menghadapi transisi. Bagi masyarakat desa, para wiraswasta dan pejabat
kabupaten, legitimasi atau ilegitimasi sistem pengurasan sumber daya hutan
tergantung pada kapasitasnya untuk mendistribusikan keuntungan, dan bukan
pada sesuatu gagasan abstrak tentang akuntabilitas atau legalitas negara. Pada
konteks tersebut, aktivitas-aktivitas politis, legal, atau fisik para aktor difokuskan
pada usaha memastikan agar partisipasi mereka sendiri dalam sistem klientalis
untuk mendistribusikan keuntungan-keuntungan, dan bukan pada fungsi-fungsi
penetapan kebijaksanaan formal pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh Erwiza Erman7 (2007) mengulas liku-liku
praktik pertimahan di Bangka Belitung pada kondisi beberapa tahun terakhir.
Menurut Erman, praktek penambangan timah ilegal (Timah Inkonvensional) yang
sedang marak terjadi di Pulau Bangka telah memberi kontribusi besar dalam
praktek ekonomi ilegal seperti penyelundupan. Meskipun bukan hal yang baru,
praktek ini sejatinya dipicu oleh “konflik regulasi” yang terjadi antara pemerintah
daerah dan pusat, yang kemudian celah ini dimanfaatkan oleh oknum pengusaha
timah untuk menjalankan praktek ekonomi ilegal tersebut. Deregulasi tata niaga
timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada Januari 2001, menjadi
babak baru dalam sejarah pengelolaan tambang timah Indonesia. Erman
mengemukakan bahwa otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang
pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada
7 Erwiza Erman. 2007. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal:
Studi Kasus Bangka. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan Gerry
van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-KITLV,
hlm 225-266.
9
pertentangan budaya dan politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang
merupakan hasil otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis.
Deregulasi tata niaga timah dan penambangan timah telah membuat
pergeseran nyata dari sistem penambangan timah yang lama yang hirarkis,
birokratis yang diorganisir dari pusat ke sistem penambangan timah yang baru
yang lebih efisien di bawah kontrol Bupati. Erman menyimpulkan bahwa sistem
pengelolaan timah baru dibawah rezim Bupati telah memunculkan sebuah negara
bayangan sejak reformasi digulirkan. Negara bayangan lokal ditandai dengan
keterlibatan aktor-aktor dari institusi negara di tingkat lokal dalam ekonomi
informal. Keterlibatan ekonomi informal tersebut terlihat dalam cara-cara
memberikan atau mengamati pemberian akses, tindakan-tindakan manipulatif dan
pemberian proteksi atau jaminan keamanan. Negara bayangan tersebut telah
melibatkan kepala daerah, pebisnis lokal, polisi, tentara, angkatan laut, preman,
dan organisasi-organisasi sosial. Aktor-aktor negara di tingkat lokal tersebut
melakukan tingkah laku informal untuk mencari keuntungan dan bahkan ikut
terlibat dalam mafia dalam bisnis pertimahan.
Senada dengan penelitian Erwiza Erman, penelitian Widiarti8 (2012)
mengkaji relasi antara penguasa dan pengusaha yang mana menjadi aktor kunci
yang berperan dalam sistem eksploitasi sumber daya batubara. Dalam tulisan
tersebut, koneksi yang kuat antara penguasa dan pengusaha telah menjadi bagian
penting dalam kegiatan ekonomi informal pada proses pengelolaan sumber daya
alam di Kalimantan Selatan.
8 Maulidya Widiarti. 2012. Relasi Penguasa-Pengusaha di Bumi Antasari (Studi Kasus: Aktifitas
Pertambangan Sumberdaya Emas Hitam di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.
Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
10
Dalam skala makro, ahli otonomi daerah Cornelis Lay9 (2003)
memberikan catatan penting mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu
dari poin penting dalam catatan tersebut adalah mengenai pengaturan bagi hasil.
Revenue Sharing dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Namun
terdapat peluang besar terjadinya ketimpangan antar daerah sebagai akibat dari
penguasaan sumber daya alam (SDA) yang berbeda. Melihat pengalaman banyak
negara, strategi pembangunan dan pengembangan sistem alokasi anggaran yang
tepat, introduksi teknologi dan penerapan sebuah sistem distribusi nasional yang
baik akan mampu menjembatani persoalan tersebut.
Selanjutnya bahwa pemahaman mengenai SDA hanya berdimensi tunggal-
ekonomi, dimana hal tersebut sangat tipikal orde baru, yang masih mencengkeram
benak para politisi dan pengambil SDA tanpa kendali dengan alasan-alasan yang
sepenuhnya menyangkut keuntungan pribadi. Keinginan untuk memacu
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara cepat, berakibat pada proses pemusnahan
semua potensi dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah. Padahal, dibalik
peningkatan PAD terdapat kepentingan-kepentingan ekonomi birokrasi dan
politik lokal, misalnya kepentingan untuk mendapatkan remunerasi atau insentif
material yang lebih baik serta alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis-politis,
misalnya demi kesejahteraan rakyat daerah ataupun demi pelayanan publik yang
lebih baik.
Dikeruknya sumber-sumber dan potensi SDA ini memiliki implikasi
lanjutan. Sustainabilitas yang menjadi substansi dari pengelolaan SDA akan
berada pada fase kritis dimana berimplikasi pada nasib generasi mendatang.
9 Cornelis Lay. 2003. Otonomi Daerah dan Ke-Indonesiaan. dalam Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah di Indonesia, Editor: Abdul Gaffar Karim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 3-
31.
11
Demikian pula, akibat-akibatnya yang bersifat trans-daerah, bahkan trans-
nasional. Alasan politis-ideologis serta vested interest para “penguasa” daerah,
seperti disebutkan di atas sudah cukup kuat untuk membawa kebijaksanaan daerah
ke arah tersebut. Kondisi tersebut mengungkapkan bahwa pengalihan kekuasaan
kepada daerah untuk mengelola SDA-nya sendiri, akan dengan cepat menderivasi
keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang akan dibayar mahal dalam
jangka panjang. Laju eksploitasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa
kendali, kecuali terbentuk kesadaran baru secara sungguh-sungguh di kalangan
pengambil kebijaksanaan di daerah pemilik SDA.
Ekspansi eksploitasi SDA akan menempatkan “komunitas lokal” sebagai
“musuh” atau pada tingkat paling moderat sebagai “penghalang”. Benturan
diantara keduanya merupakan resiko jangka pendek yang akan terjadi. Apabila
hasil akhir pertarungan berwujud sebagai “kekalahan” komunitas lokal terhadap
hasrat “ingin kaya cepat dari otoritas politik pengusaha”, maka bisa diduga sejak
awal bahwa kolaborasi antara kekuasaan politik lokal dan ekonomi kapitalis akan
sulit diimbangi masyarakat, akibatnya konflik vertikal yang sekian lama mewajah
sebagai konflik Jakarta-daerah akan tereplikasi secara sempurna dalam skala lokal
yang melibatkan pemerintah dan politisi daerah dengan masyarakat “asli”.
Arah konflik tersebut dapat dengan mudah bertukar ke berbagai arah,
terutama dalam konteks politik lokal yang ditandai oleh tingkat kemajemukan
yang tinggi. Konflik dalam kategori komunal atau primordial, misalnya etnisitas
ataupun agama, dapat dengan mudah hadir di tengah-tengah komunitas lokal.
Apalagi, jika pengelola SDA juga terjerembab pada model KKN yang memang
masih mengakar dalam pemerintahan, termasuk di daerah.
12
1.6 Kerangka Teori
A. Konflik
Sebagai kerangka konseptual dalam studi ini, penulis menggunakan
konsep otoritas teori konflik Ralf Dahrendorf dan konsep manajemen konflik
sebagai upaya memaparkan kekuasaan dan konflik pengelolaan sumber daya alam
khususnya dalam studi pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di
Kabupaten Banyuwangi. Sebagai bagian awal dalam membangun kerangka teori
ini perlu dikemukakan bahwa konflik adalah hubungan dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-
sasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 1981).10 Sehingga berdasar pada pengertian
tersebut konflik berbeda dengan kekerasan yang dalam hal ini meliputi tindakan,
perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan
secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensi secara keseluruhan.11
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik dapat terjadi bilamana tujuan masyarakat tidak sejalan.
Adanya berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa
kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar
atau semua pihak yang terlibat.12 Sehingga dalam konteks ini konflik merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kehidupan manusia. Dari
tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan
10 Simon Fisher. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta:
The British Council and Zed Books, Hlm 4. 11 Ibid.
12 Ibid.
13
negara, semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekerasan –
mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik.13
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
tersebut, sebagai contoh – adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya
kemakmuran, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang
terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian
menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan,
penindasan, dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan,
membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan
perubahan, baik yang konstruktif maupun destruktif.14
Adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan
akses yang tidak seimbang atas sumber daya serta kondisi kekuasaan yang tidak
seimbang disinyalir telah membentuk perubahan pada pengelolaan sumber daya
alam khususnya di pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
Sebagai bagian konseptual dalam studi ini, teori konflik merupakan sebuah
pendekatan umum terhadap keseluruhan kaidah sosiologi dan merupakan teori
dalam paradigma fakta sosial. Landasannya dapat dikaji dari teori Marxian dan
Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi solusi terjadinya
konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel mengemukakan bahwa kekuasaan
otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang menyebabkan
konflik.
Apabila kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan
kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-Undang sebagai sarana
13 Ibid.
14 Ibid.
14
untuk meningkatkan integrasi sosial, maka kalangan penganut teori konflik justru
meilhat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain
saling bertarung untuk memperebutkan kekuasaan dan mengontrol bahkan
melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain
merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu
ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Dahrendorf membawa asumsi yang membedakan pemikirannya dengan
teori Marxian. Ralf Dahrendorf memiliki pandangan lain dalam melihat konflik
sosial. Dalam pandangannya konflik disebabkan oleh berbagai aspek sosial, tidak
hanya oleh permasalahan ekonomi yang dikemukakan Karl Marx. Berbagai aspek
sosial yang ada di masyarakat tersebut kemudian terwujud dalam bentuk yang
teratur melalui organisasi sosial. Dahrendorf memandang konflik sosial
merupakan suatu hal yang endemik. Dalam pandangannya ia menganggap
masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi konsensus (kemudian
posisi ini disempurnakan menjadi segala susatu yang dapat dianalisa dengan
fungsionalisme struktural dan dapat dianalisa dengan teori konflik).15
Dahrendorf mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial
yang mempunyai peran dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.
Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat
dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang
menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Lebih lanjut dalam
pemahaman konteks hubungan kekuasaan (authority) tersebut, Dahrendorf
menyatakan bahwa terdapat dasar baru bagi pembentukan kelas, yaitu adanya
15 Argyo Demartoto. 2010. Strukturalisme Konflik: Pemahaman akan Konflik pada Masyarakat
Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf. Dalam Jurnal Sosiologi “Dilema” Vol 24 No.
1 Tahun 2010.
15
hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan
atasan, adanya pendikotomian antara mereka yang berkuasa dan dikuasai.16
Pemahaman hubungan kekuasaan lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa
beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok.
Namun, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang
berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang
tidak berpartisipasi melalui pendudukan.17 Dalam kondisi tersebut teori konflik
memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.
Sehingga posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan
otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta tersebut mengarahkan tesis utama
Dahrendorf bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial sistematis.
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.
Lebih jauh ia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu melainkan dalam
posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Sehingga menurutnya, tugas
pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam
masyarakat. Konsep otoritas (authority) yang melekat pada posisi merupakan
unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.18
Otoritas secara tersirat menyatakan supraordinasi dan subordinasi.19
Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Hal
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ralf Dahrendorf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society California: Stanford
University Press; Edisi Indonesia: Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. 1986.
Penerjemah Drs. Ali Mandan. Jakarta: CV Rajawali. 19 Ibid.
16
tersebut berarti mereka memegang kekuasaan karena harapan dari orang yang
berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.
Otoritas bukan merupakan fenomena sosial yang umum, melainkan mereka
tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam
masyarakat. Sehingga kesimpulannya karena otoritas adalah absah, sanksi dapat
dijatuhkan pada pihak yang menentang. Bilamana kekuasaan merupakan tekanan
(coercive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok
terkoordinasi tersebut memeliharanya menjadi legitimate dan oleh karena itu
sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif
untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang
pernah mendominasi dalam ranah sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa
konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial tersebut merupakan
kunci bagi struktur sosial. Sehingga Dahrendorf menganjurkan agar perspektif
konflik dipergunakan dalam rangka memahami fenomena sosial dengan lebih
baik. Lebih lanjut Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik ke
dalam dua kelompok kelas (group). Kelompok semu (quasi group) merupakan
kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang
sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan (the rise of
interest group). Kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest
group) yang terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
17
yang jelas. Dalam konteks tersebut kelompok kepentingan (interest group) yang
menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.20
Menurut acuan konseptual tersebut dalam membaca pengelolaan konflik
tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi maka posisi kelas
kelompok terdiri dari Pemerintah Daerah dan korporasi yang menduduki posisi
kelompok semu (quasi group) dan kelompok kedua sebagai kelompok
kepentingan (interest group) adalah aliansi masyarakat yang menentang dan
menuntut kesetaraan hak untuk masuk dalam pengelolaan tambang emas
Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga posisi kelompok kepentingan
yang dalam hal ini adalah aliansi masyarakat menjadi sumber timbulnya konflik
dalam masyarakat.
Dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau
yang muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara
struktural (perubahan nilau atau aturan sosial pada masyarakat). Gesekan yang
terjadi dalam masyarakat timbul akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Hasil
dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan
kekerasan. Hal tersebut akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang
menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal. Sehingga Dahrendorf
mengemukakan pendapat utamanya antara lain (1) setiap masyarakat dalam segala
hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan tersebut dapat terjadi dimana
saja; (2) setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan
konflik, serta konflik sosial ada dimana saja; (3) setiap unsur dalam satu
masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya; (4)
20 Ibid.
18
setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian
anggotanya terhadap anggota lain (Lauer, 1993: 281-282; Poloma, 1994: 115-
117).21 Penelusuran mengenai perubahan sosial pada konflik pengelolaan tambang
emas Tumpang Pitu dengan melihat perubahan-perubahan pada aspek otoritas
yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas, pihak korporasi dan aliansi
masyarakat serta perubahan-perubahan secara keseluruhan pada mekanisme
pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu pada periode 2011-2013.
B. Manajemen Konflik
Fisher menjelaskan pandangannya terkait konflik sumber daya adalah
kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya
seperti bahan baku, teknologi, keuangan, dan kepemilikan alat-alat produksi.22
Konflik yang berhubungan dengan sumber daya alam disebabkan adanya
inequality yang disertai dengan terjadinya perebutan sumber daya alam yang
terbatas. Pendapat tersebut secara tersirat mengadopsi dari apa yang telah
dirumuskan oleh Ralf Dahrendorf.
Perebutan sumber daya alam merupakan salah satu sumber pertentangan
antar masyarakat, antar pemerintah daerah, bahkan bisa melibatkan perusahaan
yang mengelolanya. Hugo Van Der Merwe dalam Fisher (2000) menunjukkan
adopsi pemikiran Dahrendorf tentang penyebab konflik. Dia mencoba
memberikan ringkasan mengenai teori-teori utama mengenai penyebab konflik.23
Dua diantaranya adalah berkaitan dengan teori identitas dan teori kebutuhan
manusia. Teori identitas; berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas
21 Demartoto, Op.Cit.
22 Fisher, Op.Cit., hlm 40.
23 Ibid, hlm 8.
19
yang terancam. Teori kebutuhan manusia; berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam, disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi sering menjadi inti pembicaraan.
Analisa konflik yang berlangsung tidak dapat dipisahkan dengan
pendekatan dalam manajemen konflik. Manajemen konflik terdiri dari 3
pendekatan yang saling berkesinambungan. Ketiga pendekatan itu antara lain:
1) Pencegahan Konflik
Bloomfield and Reilly (1998)24 mengemukakan:
“Conflict management is the positive and constructive handling of
difference and divergence. Rather than advocating methods for
removing conflict, [it] addresses the more realistic question of
managing conflict: how to deal with it in a constructive way, how
to bring opposing sides together in a cooperative process, how to
design a practical, achievable, cooperative system for constructive
management of difference.”
Pencegahan konflik adalah penerapan pengelolaan yang positif dan
konstruktif terkait perselisihan dan perbedaan. Hal tersebut penting daripada
menganjurkan untuk menghilangkan konflik, dimana hal itu akan lebih baik
menjawab pertanyaan yang realistis untuk mengelola konflik: bagaimana
menghadapinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa sisi yang
berlawanan bersama-sama dalam proses yang kooperatif, bagaimana merancang
praktisnya, yang dapat dicapai, dengan sistem yang kooperatif untuk manajemen
yang konstruktif atas perbedaan.
24 D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict
Management. in Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict.
Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.
20
Hal tersebut mengandung maksud bahwa pencegahan konflik merupakan
suatu cara bagaimana mengatur atau mengelola suatu konflik yang berkaitan
dengan penanganan konflik dan penyelesaiannya, bukan sekedar menghilangkan
konflik semata. Lebih lanjut Bloomfield dalam Anstey (2000) mengemukakan
manajemen konflik adalah suatu bentuk pengelolaan konflik berkaitan dengan
bagaimana menangani konflik dengan cara yang konstruktif, bagaimana
membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses kooperatif,
bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk
mengelola perbedaan secara konstruktif.25
Konflik kekerasan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari
adanya perbedaan norma dan kepentingan di dalam dan antar kelompok
masyarakat. Kecenderungan konflik kekerasan muncul dari bentuk dan sejarah
pola relasi antar kelompok serta pola distribusi kekuasaan yang ada. Konflik
kekerasan tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan. Hal terbaik yang dapat
dilakukan adalah dengan cara mengelola dan mengantisipasi atau terkadang
merumuskan kompromi untuk mengesampingkan kekerasan melalui penyelesaian
politik.
Manajemen konflik adalah seni menyusun skema intervensi yang tepat
untuk meraih penyelesaian politik, terutama oleh aktor-aktor kuat yang memiliki
kapabilitas untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menerima skema
penyelesaian yang ditawarkan. Manajemen konflik juga merupakan seni
merancang institusi yang tepat untuk mengelola konflik.
25 Mark Anstey, dkk. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk
Negosiasi. IDEA Internasional, hlm 20.
21
2) Resolusi Konflik
Fisher mempunyai pendangan bahwa resolusi konflik menangani sebab-
sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama
di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.26 Sumardjono (2009)
menjelaskan, apabila dalam konflik tercapai kesepakatan (consensus), maka
hasilnya tidak akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan.27 Artinya kedua
belah pihak merasa tidak direndahkan dan dipermalukan dengan adanya
kesepakatan bersama itu.
Perbedaan dan pertarungan kepentingan yang merupakan wujud dari
konflik akan mendorong munculnya usaha-usaha untuk menyelesaikannya,
menghasilkan alternatif-alternatif baru dalam resolusi, sehingga diharapkan dapat
mengkahiri konflik. Dalam konflik komunal terutama yang terkait dengan
identitas atau ideologi, kompromi sangat sulit dicapai. Akan tetapi konflik
mungkin dapat diselesaikan apabila para pihak dapat melakukan perubahan
terhadap posisi, kepentingan, dan pola pikir masing-masing pihak.
Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar para pihak dapat
bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan
konstruktif. Tujuan utama dari resolusi konflik adalah membangun proses
penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif dalam
menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986).28
26 Fisher, Op.Cit., hlm 7.
27 Maria Sumardjono. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Budaya. Jakarta:
Kompas, hlm 116. 28 Edward Azar and John Burton. 1986. International Conflict Resolution: Theory and Practice.
Colorado: Lynne Rienner Publishers, hlm 1.
22
Menurut John Galtung pendekatan dalam resolusi konflik antara lain
merujuk kepada upaya deskripsi konflik.29 Hal ini memuat tiga unsur utama yaitu:
(1) ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan,
atau dalam bahasa yang dikemukakan C.R. Mitchell sebagai suatu ketidakcocokan
di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; (2) perilaku negatif dalam bentuk
persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik;
dan (3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan. Konflik berlaku
dalam konteks kelangkaan: sumber daya, kekuasaan, status dan lain-lain. Oleh
karena itu, kompetisi di antara individu, kelompok, atau antarkelompok dalam
suatu negara menjadi tak terhindarkan.
Konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak-pihak yang berkonflik dapat
menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan
menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Penanganan konflik atau
khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh struktur konflik.30 John Burton
menjelaskan studi konflik memiliki dua fokus perhatian.31 Pertama, menjelaskan
gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna
menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Kedua, memberikan
penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari
29 John Galtung. 1996. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjemahan Tri
Budhi Satrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm 302-344. 45 Lihat Syafuan Rozi, (et.al). 2006. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 30.
31
ketiga. Transformasi konflik merupakan proses gradual melalui berbagai
perubahan kecil dan besar dimana berbagai aktor dapat berperan.
Lederach (1995)46 menyampaikan bahwa:
“Conflict transformation must actively envision, include, respect,
and promote the human and cultural resources from within a given
setting. This involves a new set of lenses through which we do not
primarily, see the setting and the people in it as the, problem and
the outsider as the, answer. Rather, we understand the long-term
goal of transformation as validating and building on people and
resources within the setting.”
Hal tersebut memiliki maksud bahwa transformasi konflik harus secara
aktif membayangkan, mencakup, menghormati, dan mempromosikan sumber
daya manusia dan budaya dari aturan yang telah diberikan. Hal tersebut
melibatkan pengamatan yang jelas terutama mengenai aturan yang berlaku di
masyarakat yang dalam satu sisi sebagai sebuah masalah dan sebagai jawaban di
sisi lain. Sebaliknya, kita memahami tujuan jangka panjang dari transformasi
sebagai suatu kejelasan kebenaran dan membangun masyarakat dan sumber daya
melalui suatu aturan.
Lebih lanjut dalam proses penyelesaian suatu konflik, Curle
menyampaikan bahwa suatu hubungan asimetris sebenarnya dapat
ditransformasikan melalui pergeseran dari kondisi yang tidak seimbang ke posisi
yang seimbang melalui proses penyadaran, konfrontasi, negosiasi dan
pembangunan. Sehingga dalam hal ini jelas bahwa maksud dan tujuan dalam
menangani suatu konflik tidak harus selalu dengan cara-cara kekerasan, tetapi
dapat melalui proses dialog bersama antar aktor yang berkonflik yang kemudian
memunculkan mekanisme baru yang dapat diterima oleh masing-masing aktor 46 J.P. Lederach. 1995. Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures. New York:
Syracuse University Press.
32
dengan analisa yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian kita
meyakini bahwa sesungguhnya konflik itu secara dinamis mengalami perubahan.
Setiap perubahan itu dilihat Vayrynen (1991:4) sebagai konsekuensi dari adanya
dinamika sosial ekonomi dan politik di masyarakat. Dalam hal ini kemudian
penting dalam merumuskan bukan hanya proses penyelesaian konflik namun juga
merancang cara-cara atau mekanisme yang dapat mengatasi atau memprediksi
konflik yang mungkin muncul di masa mendatang.
Dalam melihat dan merumuskan penyelesaian konflik, terdapat hal-hal
yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu (1) adanya transformasi aktor
–perubahan internal atau munculnya pihak-pihak baru; (2) transformasi masalah –
dalam hal ini berkaitan adanya perubahan agenda isu konflik; (3) transformasi
aturan –terjadinya perubahan dalam norma-norma atau aturan yang berlaku dalam
mengatur konflik; dan (4) transformasi struktural –dimana seluruh struktur
hubungan dan distribusi kekuasaan dapat sewaktu-waktu berubah (Vayrynen,
1991). Pentingnya untuk memperhatikan poin-poin tersebut dalam penyelesaikan
konflik akan menjadi pokok dalam mewujudkan perdamaian.
Dalam konteks keseluruhan maka transformasi konflik merupakan
pendekatan yang komprehensif dalam menangani masalah konflik –dari akar
rumput aktor konflik, isu makro-mikro jangka pendek, hingga pada tingkat lokal
sampai global untuk waktu yang jangka panjang. Hal tersebur bertujuan untuk
mengembangkan kapasitas dan untuk mendukung perubahan struktural yang
mengarahkan pada terjalinnya perdamaian yang berkelanjutan, bukan hanya pada
proses jangka pendek dimana konflik dapat terjadi kembali, namun lebih tertuju
33
pada tercapainya kesepahaman bersama antar aktor yang berkonflik untuk
menjaga dan memelihara perdamaian.
Berdasarkan ketiga pendekatan dalam mengelola konflik di atas, maka
dapat dibandingkan antara manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi
konflik dalam tabel berikut:
Tabel 1.2 Perbandingan Pencegahan Konflik, Resolusi Konflik, dan
Transformasi Konflik47
Isu Pokok Pencegahan Konflik Resolusi Konflik Transformasi Konflik
Pertanyaan
Utama
Bagaimana menata
agar persoalan tidak
muncul ke permukaan?
Bagaimana
menghentikan kondisi
yang tidak
diinginkan?
Bagaimana
menghentikan kondisi
yang tidak diinginkan
dan menciptakan yang
diinginkan?
Fokus Aturan Main atau
Institusi
Pokok Persoalan Relasi
Tujuan Merumuskan solusi
alternatif untuk
meredam konflik
Merumuskan solusi
yang disepakati
bersama
Mengembangkan
proses yang inklusif
untuk menghasilkan
solusi jangka pendek
dan perubahan jangka
panjang
Proses Berpijak pada sumber-
sumber persoalan
Berpijak pada lingkup
persoalan yang
muncul
Mengatasi persoalan
yang muncul sekaligus
mengurai akar
persoalan
Jangka
Waktu
Menengah Pendek Menengah dan Panjang
Pandangan
terhadap
Konflik
Konflik tidak dapat
dihilangkan melainkan
dapat diredam atau
dihindarkan dengan
instrumen yang tepat
Konflik harus segera
di-deeskalasikan atau
diselesaikan
Konflik merupakan
proses dinamik, intinya
adalah bagaimana
memperkuat aspek
konstruktif dari proses
eskalasi dan deeskalasi
47 Dikaji dan dibahas dalam kegiatan perkuliahan mengacu pada slide materi Mata Kuliah
Manajemen Konflik di Program S2 Politik dan Pemerintahan Konsentrasi Politik Lokal dan
Otonomi Daerah yang dibimbing oleh Arie Ruhyanto, M.Sc dan Dr. Hayanto, MA.
34
C. Strategi Intervensi
Ada beberapa strategi dan langkah yang dapat digunakan dalam
pengaturan konflik:
1. Konsiliasi
Semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai
kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau
memaksakan kehendak (Dahrendorf, 1959).48
Berkenaan kaidah tersebut, maka upaya konsiliasi juga dapat didefinisikan
sebagai upaya penyelesaian konflik untuk membantu para pihak yang berbeda
dalam merundingkan penyelesaian konflik dengan mengidentifikasi permasalahan
dan memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan permasalahan, memahami
kebutuhan para pihak, hingga mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu
sama lain.
Tujuan dari konsiliasi adalah membawa pihak yang berkepentingan untuk
bersama-sama mencari jalan keluar dalam menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi
mencari jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan
permasalahan, sehingga pihak-pihak yang berselisih dapat melewati perselisihan
tersebut. Berkenaan dengan proses konsliliasi memperbolehkan pihak-pihak yang
berselisih untuk membicarakan masalah mereka, sehingga memungkinkan bagi
salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang
lain. Hal tersebut dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang
disebabkan oleh prasangka atau adanya informasi yang tidak benar dan pada
prosesnya dapat mencapai perubahan sikap yang nyata.